Minggu, 28 Juni 2015

PUISI-PUISI M. AAN MANSYUR

SUATU SIANG DI SEBUAH KAMAR AKU DIAM
DI DEPAN SEPASANG JENDELA KEMBAR
YANG MEMBAGI LANGIT BERWARNA BIRU CERAH
MENJADI DUA SAMBIL SEKALI LAGI
MENDENGAR KAU MERENCANAKAN PERPISAHAN

aku membayangkan sepotong langit akan menyerap
airmata kau, sementara airmata aku akan menguap ke
langit yang sepotongnya lagi. sesaat kemudian hujan
berjatuhan karena sedih

membuat kau batal meninggalkan kamar, membuat kau
gagal meninggalkan aku


SEKIRANYA AKU PABLO NERUDA
DAN KAU PEREMPUAN YANG DICINTAINYA,
PERISTIWA SEDERHANA DI RUANG TENGAH ITU,
SEHARI SEBELUM KAU MATI, SAAT RIBUAN
BURUH BERJALAN TANPA ALAS KAKI DI ATAS
MATAHARI YANG MELELEH DI JALAN RAYA
SAMBIL BERTANYA DENGAN MARAH
PERIHAL LAPAR MEREKA, KELAK AKAN
BERUBAH MENJADI EPITAF INDAH DI NISANKU

aku berbaring di atas halaman korang yang dipenuhi kabar
kenaikan harga, perceraian dan perselingkuhan artis,
pembunuhan dan korupsi. kau berbaring di atas kertas-
kertas yang tak bertuliskan apa-apa kecuali tubuh kau yang
telanjang, seolah kau mau mengatakan tubuh kaulah kata-
kata, tubuh kaulah puisi

aku yang lahir dari rahim petani membayangkan tubuh
kau sebagai ladang semata. aku tebarkan bebijian di sana
sambil berdoa mereka akan tumbuh dan berbuah kelak

sebab tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir kita
yang gemetar hari itu, aku tak tahu apakah karena itulah
kau menanam tubuh kau di kedalaman makam sebulan
setelahnya?

(aku terus beroda sambil membayangkan suatu hari ada
pohon tumbuh dan berbunga dari perut kubur kau)


APAKAH AKU HARUS BETUL-BETUL MELUPAKAN
KAU AGAR AKU BISA BETUL MENCINTAI KAU
ATAU MENGIKUTI AJAKAN ORANG-ORANG
UNTUK MENYEBUT NAMA KAU MERAYAKAN
HARI KEMATIAN KAU (HARI YANG NAMPAKNYA
MENGHENDAKI KEMATIAN AKU JUGA)
SEBAB SUNGGUH AKU TELAH BERUSAHA MENEPI
DARI RIUH NAMA KAU SAMBIL UNTUK TERAKHIR
KALI MENGUCAPKAN APA YANG PERNAH
KAU KECUPKAN KE BIBIR AKU?

aku menutup telinga aku, menutup semua telinga aku,
namun masih hingar aku dengar nama kau diteriakkan
mikrofon. hei, sejak kapan nama kau berbiak begitu
banyak? jadi belukar nama seperti warna bendera partai.
kau mati, dimasukkan ke dalam peti, lalu ditanam tetapi
kau malah tumbuh jadi nama-nama

kadang-kadang aku dengar nama kau bergulir jadi munir.
kadang-kadang aku dengar tumbuh jadi thukul. kadang-
kadang terdiri dari sejumlah huruf aneh dan selalu salah
disebutkan. kadang-kadang nama raja yang mati jatuh dari
kursi. kadang-kadang keren seperti nama mahasiswa yang
punya obsesi jadi model iklan atau bintang film. kadang-
kadang pahlawan. kadang-kadang messiah. kadang-kadang
hanya jargon

bagaimana caranya aku mencintai kau yang banyak?
bagaimana caranya mencintai kau yang semakin banyak
yang tinggal di masa lalu?

aku tiba-tiba bingung mencintai kau. aku tiba-tiba bingung
mencintai aku.

aku juga. aku juga. aku juga.


JIKA MUNGKIN, HARI INI, DI HARI LAHIR
KEMATIAN KAU INI, AKU TAK AKAN BICARA
PERIHAL KAU LAGI DAN HANYA BICARA PERIHAL
AKU YANG KAU TINGGALKAN DENGAN MASALAH
YANG TAK MAU BERHENTI MEMANJANG,
BERCABANG-CABANG, BERLUBANG-LUBANG,
YANG KADANG-KADANG AKU BAYANGKAN
SEPERTI ULAR PALING PANJANG
ATAU JALAN-JALAN ATAU PERJALANAN
YANG TAK PERNAH MENEMUKAN UJUNG
ATAU KELELAHAN SAMBIL MENCURIGAI KAU
SEBETULNYA MATI BUNUH DIRI
SEUSAI MENCURI NAMA AKU DAN SELURUH
PERSEDIAAN NAMA UNTUK MASA DI DEPAN AKU

hari ini aku yang tanpa nama berjalan terkatung-katung di
antara jutaan aku lainnya yang juga tanpa nama membawa
cinta yang marah dan pisau ke mana-mana

sambil memikirkan semua rencana yang pernah kau
katakan, semua janji yang pernah kau sumpahkan, semua
cita-cita yang pernah kau ucapkan. semuanya. yang masih
rencana, yang masih janji, yang masih cita-cita
sambil mengenang perpisahan aku dan kau, saat nafas
lepas dari tubuh kau dan masuk memenuhi tubuh aku

sambil mencari jam yang tepat untuk merasakan
bagaimana pisau melepas nafas kau dari tubuh aku
jika mungkin
2009


KELAK SUATU HARI SEBELUM SALAH SATU
DI ANTARA AKU DAN KAU TERSANGKUT MAUT,
DI HARI ULANG TAHUN KAU, SAAT TIDAK ADA
PEKERJAAN KANTOR YANG MELARANG KAU CUTI,
AKU AKAN MENGAJAK KAU MENJADI TUA RENTA
LALU MENGAJAK KAU KEMBALI
MENJADI ANAK-ANAK

aku akan mengajak kau menginap semalam di salah satu
panti jompo, tempat orang-orang yang punya anak-anak
terlalu sibuk, tempat orang-orang merasa dekat sekali
dengan makam, tempat orang-orang susah payah
mengingat bagaimana caranya tersenyum. di sana aku dan
kau akan membaca sajak-sajak cinta kepada mereka.
dengan begitu kita bisa membayangkan bagaimana kelak
kalau kita sudah tua, bagaimana rasanya berjalan-jalan di
tepi jurang maut

besoknya, aku akan membuat sepasang layang-layang.
kemudian akan aku ajak kau ke sebuah padang. jika aku
susah menemukan padang, aku dan kau akan memanjat
ke atap gedung yang menyerupai tanah lapang, di mana
seseorang sering memarkir pesawatnya. di sana kita akan
bermain layang-layang sepuasnya. mungkin aku dan kau
sepasang tubuh dewasa yang tak lagi memiliki jiwa kanak-
kanak. siapa tahu layang-layang menerbangkan aku dan
kau kembali ke masa kanak-kanak, saat senja masih
bening, saat pohon-pohon masih hijau, saat cinta belum
terlalu rumit buat dipahami.


PAGI INI, DI HARI ULANG TAHUN KESEPULUH
KEMATIAN KAU, DENGAN BASAH LUMPUR PASAR
DI TUNGKAI AKU DUDUK DI HADAPAN BAYAM,
KACANG PANJANG, WORTEL, TOMAT, CABAI
DAN BAWANG YANG BELUM DIPOTONG
JUGA PISAU YANG LUPA DIASAH SAMBIL
MEREKA-REKA KABAR KAU DI DALAM AKU

masih. aku melihat kau masih ada di dalam aku. alangkah
pulas kau tertidur seolah tak punya keinginan untuk
bangun dan mengucapkan: selamat pagi, sayang!

ingin sekali aku membisikkan mimpi ke bibir kau, agar
kau juga bisa mengeluh tentang mall yang semakin banyak
dan harga-harga barang yang bengkak, tentang jalan-jalan
yang dibangun untuk mesin cuma, tentang tayangan
hiburan tivi yang menyengsarakan. agar kau tahu betapa
susah bertahan mencintai seseorang di tengah semua
itu

agar kau tahu aku masih mencintai kau

(bayam, kacang panjang, wortel, tomat, cabai dan bawang
belum juga diiris. pisau itu mengapa berdiri begitu dekat
dengan urat nadi aku? tiba-tiba airmata menyentuh bibir
aku membuat aku sadar seperti biasa aku lupa lagi
membeli garam)


DI SEBUAH UJUNG KEMARAU, BEBERAPA HARI
SEBELUM KAU PERGI, SAAT PETANI DI KAMPUNG
SEDANG MENCIPTAKAN MUSIM HUJAN,
BENDUNGAN DAN IRIGASI DI MATA MEREKA,
KAU MEMINTA AKU MENDONGENG
SAMBIL BERHARAP KAU BISA TERTIDUR
DAN MEMIMPIKAN SESEORANG DARI MASA LALUMU,
MAKA AKU BERTANYA: TAHUKAH KAU KENAPA
LELAKI ITU SENANG BERMAIN HUJAN?

suatu hari, di bawah langit bermata teduh, di wajah sungai
yang keruh seorang anak sejenak berkaca hendak mencuci
wajahnya yang belepotan airmata. sungai menangis tersedu
diseduh wajah sedih anak itu

sungai itu menangis semakin deras, lewat sepasang mata
anak itu, sungai menyaksikan wajahnya yang keruh. dan
sungai itu pelan-pelan jernih, dijernihkan airmatanya
sendiri

anak itu semakin deras menangis. sedihnya tidak hendak
sudah melihat sungai ikut tersedu. dan wajah anak itu
pelan-pelan bersih, dibersihkan airmatanya sendiri
langit bermata teduh goyah hampir jatuh menyaksikan
peristiwa itu

bertahun-tahun kemudian, anak itu sudah gadis dan
sungai itu sudah panjang, keduanya sungguh-sungguh
bening, bertemu kembali. mereka bermandian, gadis
mandi di mata sungai, sungai mandi di mata gadis, sampai
tubuh mereka tembus pandang sampai tubuh mereka
menghilang

langit bermata teduh yang sejak lama hampir jatuh
menyerah menyerap tubuh mereka yang menguap itu


MUNTAH-MUNTAH KARENA TAK TAHAN
PENDINGIN UDARA ADALAH SALAH SATU ALASAN
KENAPA AKU BERKERAS BERTAHUN-TAHUN
MENCINTAI KAU BAHKAN SETELAH BERJALAN
MENGGOTONG KERANDA MAYAT KAU
BERKILO-KILO METER DARI RUMAH
KE PEKUBURAN DI ANTARA KERAMAIAN HUJAN
YANG MENANGIS DERAS

sekarang aku yakin kau bisa menikmati ruangan paling
nyaman sebab kata seorang pengkhutbah yang suka marah
dan punya anak kembar lucu bernama haram dan halal, di
sana tak ada toko yang menjual alat pendingin ruangan.
yang ada hanya tungku pemanas dan kolam tempat
banyak buah dan susu berenang bersenang-senang

dan kau tak perlu khawatir, aku tak akan pernah berpikir
membayar salah satu partai agar gambar wajah aku bisa
dipasang di pinggir-pinggir jalan membuat sebagian orang
tertawa dan sebagian lagi kecewa kemudian membuangnya
di kotak suara. sebab aku tak mau menyiksa tulang-tulang
kau di dalam daging aku. sebab aku tak mau
memuntahkan jantung kau yang tambah tumbuh dari
tubuh aku

aku tak mau punya ruangan dan mobil yang beralat
pendingin yang wajib dimiliki para anggota dewan

aku tak mau. meski dulu setiap malam di tempat tidur kau
bilang pada aku: sampai mati, sampai hidup kembali, aku
pilih kau!


MENJELANG SEBELAS TAHUN KEMATIAN KAU,
SAAT USIA BANGUN AKU (ATAU TIDUR AKU
TAK ADA BEDANYA) SUDAH SEABAD LEBIH
SETAHUN, AKU SEMAKIN BANYAK MENGINGAT
KAU, SEMAKIN BANYAK MENGULANG
KALIMAT KAU, SEPERTI KALI INI AKU
MENGATAKAN SEKALI LAGI YANG KAU SEBUTKAN
DI UJUNG NAFAS KAU (YANG MUNGKIN WASIAT)

jangan! jangan terlalu banyak kau panggil nama aku. orang
mati tak membutuhkan nama. nisan itu untuk orang
hidup, bukan untuk orang mati. atau untuk orang mati
yang masih hidup. aku ingin jadi orang mati yang sangat
mati. biarkan aku lepas dari belit belut masalah. begitu
harusnya kau mencintai aku!

semakin sering kau sebut semakin subur nama aku.
semakin subur nama aku semakin kerdil nama kau.
semakin kerdil nama mereka yang kecil. semakin kecil

(kalimat kau patah di situ. lalu jadi gema. cuma gema.
gema)


TENTANG M. AAN MANSYUR
M. Aan Mansyur tinggal di Makassar. Mendirikan dan bekerja sebagai relawan di lembaga literasi bernama Kafe Baca Biblioholic. Di sela kesibukan menulis, sesekali ia membuat film dokumenter. Bukunya yang sudah terbit: Hujan Rintih-rintih (kumpulan sajak, Ininnawa, 2005), Perempuan, Rumah Kenangan (novel, InsistPress, 2007) dan Aku Hendak Pindah Rumah (kumpulan sajak, Nala Cipta Litera, 2008 – masuk longlist Khatulistiwa Literary Award 2008).

PUISI-PUISI L.K. ARA

TAK ADA LAGI

Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali merasakan sinar bulan
Yang dingin oleh rindu

Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali mendengar rintih angin
Di air danau

Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali memandang kuburan tua
Tempat istirahat nenek moyang ku

Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali menyaksikan embun turun
Membasuh wajah rakyatku

Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali merasakan gema doa
Dari orang yang menderita
Doa yang membumbung ke langit
Bersatu dengan awan
Bersatu dengan matahari
Lalu turun kebumi
Mendatangi rumahmu
Memberi salam padamu
Masuk kehatimu
Bicara tentang keadilan

Tak ada lagi yang ku cari disini
Tak ada lagi
Kecuali bekas masa kanak-kanak
Yang tertutup debu

Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali melihat bayang sejarah
Perlahan tenggelam
Tak tertulis

Tak ada lagi yang ku cari disini
Tak ada lagi
Selain menyaksikan kasih Mu
Yang terus menyirami bumi
Lho’Seumawe – Takengon, Januari 1986

 

166 NAMAKU

166 namaku
Aku bukan angka
Bukan pepohonan dan rimba

166 namaku
Aku bukan angka
Bukan sungai dan segara

166 namaku
Aku bukan angka
Bukan besi dan baja

166 namaku
Aku bukan angka
Bukan langit dan angkasa

166 namaku
Aku bukan angka
Bukan angka
Tapi kuncup bunga
Yang disirami ibu-bapa
Kuncup bunga
Yang digayuti embun dinihari
Kuncup bunga
Yang diusap mentari pagi

Ya aku bukan angka
Tapi kuncup bunga
Yang ingin mekar
Ingin mengirim wangi sekitar
Jakarta, 1985 

 

SEDEKAH

Tujuh puluh bencana
Mengarah pada kita
Bagai mana menolaknya

Tujuh puluh sakit
Mendera kita
Bagaimana menyembuhkannya

Tujuh puluh pencuri
Mengganyang harta kita
Bagaimana mencegahnya

Tujuh puluh amarah Tuhan
Membakar kita
Bagaimana menghindarkannya
Bahkan membakar nadi kita
Bagaimana memadamkannya

Hampir kita lupa
Untuk itu semua
Ada satu cara
Sedarhana dan bersahaja
Mari kita bersedekah
Sedekah menolak bencana
Menyembuhkan sakit
Mencegah pencuri
Menghapus amarah Tuhan

Sedekah mencipta
Keakraban handai taulan
Sedekah mencipta
Suasana sejuk antara kita
Ia embun pagi
Menetes ke hati
Jakarta, 1985

 

SEORANG TUA BERJALAN

Setiap hari ia berjalan
Dijalan itu juga
Setiap hari ia berjalan
Badan sedikit terbungkuk
Langkah satu-satu
Di jalan itu juga

Ada senja
Menyamarkan jalannya
Tapi ada bintang
Terbit menolongnya
Semua tak ia minta
Tapi turun begitu saja
Di jalan itu juga

Ada matahari terik
Meneteskan keringatnya
Tapi ada angin
Meniup tubuhnya
Datang begitu saja
Semua turun begitu saja
Di jalan itu juga

Setiap hari ia berjalan
Di jalan itu juga
Dibawah langit itu juga
Pohon, dedaunan
Tiang listrik, aspal jalanan
Begitu ramah padanya
Kadang seperti menegurnya
Selamat pagi
Atau selamat sore
Atau selamat malam

Oarng tua itu
Melangkah dan melangkah
Di jalan itu juga
Setiap langkah
Ia mengucap Allah
Jakarta, 1986

 

JABAL GHAFUR

Untuk N.A.R.

Kulalui petak sawah yang luas
Padinya hijau melambai padaku
Kulalui kebun kelapa
Tinggi pohonnya
Daun menggapai awan
Lalu turun
Menggapai hatiku

Kulalui desa-desa tua
Desa perjuangan masa lalu
Disana tersenyum ayah bundaku
Lalu kutembus kabut debu
Kutembus juga sejarah gelap masa lalu
Kutembus semua yang menghalangiku
Aku harus bertemu dengan mu
Aku juga sangat rindu padamu
Engkau adalah kekasihku
Engkau adalah
Rumah di bawah langit biru
Disitu menitik kasih Tuhan
Aku terpana
Aku bertanya siapa namamu
Lalu pepohonan, gunung di jauhan
Sungai dan lautan gelombang berseru
Semua berseru
Jabal Ghafur, Jabal Ghafur
Sigli, 25 Januari 1986

 

UNTUK DO KARIM

Pagi ini
Seperti ada yang menitik ke bumi
Barangkali embun
Atau gerimis sunyi
Atau desah syair sepi

Pagi ini
Seperti ada yang bergumam di bumi
Barangkali suaramu
Atau jerit luka
Atau tusukan syairmu
Ke hulu hati

Pagi ini
Seperti terdengar kersik angin
Atau percik keringat bumi
Mengguratkan namamu
Di pualam abadi
Sigli, 20 Juli 1986

 

SINAR

Tuhan
Aku perlu matahari
Sinar yang kau hamparkan
Bagi umat semesta
Tapi aku perlu juga
Sinar mata kekasih
Sinar mata yang menggorek dosa
Dan menggantinya
Dengan amal dan iman
Lamprik, 9 Agustus 1986

 

DI TANGSE

Siapa yang masih mendengar suara
Yang bangkit dari rumput
Siapa yang masih mendengar suara
Yang mengalir dari air
Siapa yang masih mendengar suara
Yang menjerit dari tanah
Dari daun
Dari pohon
Dari duri
Dihutan Tangse ini
Suara serak parau
Suara wanita
Yang berkata
Jangan sentuh aku
Jangan
Meski aku haus
Dan kau tawarkan air minum
Jangan sentuh aku
Meski lukaku menganga
Dan kau ingin membalutnya
Jangan
Jangan sentuh kulitku
Kerena kau kafir
Musuhku
Banda Aceh, 2 Agustus 1986

 

MENCARI JEJAK

Malam itu
Aku
Seperti terlempar
Di kotamu

Aku memang tidak punya apa-apa
Dan tak mencari siapa-siapa
Jendela dan pintu
Telah tertutup untuk ku

Angin dengan leluasa
Merubuhkan tubuhku
Di emper-emper toko
Dan got jalanan

Tapi mimpiku mengalir
Bersama sunyi
Mencari jejakmu
Sampai dini hari
Penayung, 8 Agustus 1986 

 

BILA KELAK

Wahai
Bila kelak
Kau berangkat
Memetik bunga
Dan menari
Sepanjang jalan raya
Lemparkan aku di pasir

Aku akan tinggal di pasir
Aku akan berumah dipasir
Aku akan tidur di pasir
Aku akan mengutip nyanyianmu di pasir
Aku akan meraba kasihmu di pasir
Di pasir
Rindu kita akan tetap mengalir
Jakarta, 1986 

 

PERJALANAN MALAM

Seperti awan
Menjamah punggung bukit di jauhan
Begitu jemariku
Penuh kasih
Penuh rindu

Sebuah perjalanan malam
Sudah kita lalui
Perjalanan rindu
Antara awan dan bukit
Antara kau dan aku
Jakarta, 1986

 

KENING BULAN

Kening bulan
Bagai perak berkilau
Bersinar oleh cahaya iman
Yang selalu melekat
Di sajadah

Kening bulan
Bagai perak berkilau
Mendekatlah
Kepada angin kembara
Yang nestapa
Yang mencari
Dan mengembara
Di belantara dunia

Mendekatlah
O kening bulan
Angin kembara
Ingin mengecupnya
Untuk melepas risaunya
Jakarta, 1986

 

KASUR

Kau rajut daun
Dengan benang kasih
Kau susun pasir
Dengan nada rindu
Menyiapkan kasurku
Untuk tergolek tidur
Dan mimpi
Di sampingmu
Ujung Bate, 1986

 

LAUT SIGLI

Semua keluh kukirim kepadamu
Semua risau kubenam kelaut mu
Rasa kesal dan benci kusampaikan kepadamu
Rasa kawatir dan takut kuceritakan padamu
O, laut Sigli

Semua derita ku tumpahkan kepadamu
Semua rindu kunyanyikan untukmu
Rasa sunyi dan nyeri kukirim padamu
Rasa takluk dan menyerah rubuh kepangkuanmu
O, laut Sigli
Izinkan aku memanggilmu
Ibu

Sigli, 21 Juli 1986

 

BANDA ACEH

Yang masih ku ingat tentang dirimu
Adalah pahatan sejarah di batu
Dalam goresan bisu
Yang kuraba dengan rindu
Ujung Bate, 8 Agustus 1986

 

IYA

Angkasa yang sepi
Lihatlah
Ibu terbang
Sebelah sayapnya
Iya
Bumi yang tua
Lihatlah
Bapa berjalan
Sebelah kakinya
Iya
Matahari, bulan, dan bintang-bintang
Yang semua nampak serta
Terbungkuk-bungkuk menerangi
Ibu dan bapa menempuh jalannya

 

CATATAN PADA DAUN

Kau mencatat pada daun
Sebuah pesan
Ketika langit sempat biru
Tanpa awan
Setelah kau pergi
Jauh
Kubaca pesanmu
Lalu kusimpan
Jauh
Dalam diriku
Kini pesan itu
Mengalir dalam darahku
Dan bila aku mati
Ia kusimpan di syair sunyi

 

DENGAN SETIA YANG MARAK

Biar perjalanan jauh masih
Dan badan terkulai lunglai
Namun hasrat jati dihati
Tetap marak pada tujuan
Kamboja di dalam taman
Menaungi jasad kejang dan dingin
Tergeletak diam pada lahirnya
Pada batinya meneruskan perjalanan
Sungguh teramat jauh ujung
Oleh ramai onak dipangkal jalan
Tapi relai sakit dan senang
Di jalanan Ia tentukan
Langkah barulah berarti dilangkahkan
Dengan setia jang marak kepadaMu, Tuhan

 

SALAM 1

Salam kepada pintu terbuka yang tersenyum memandang kita
Salam kepada kerikil yang menciumi kaki kita yang bersih dan kotor
Salam kepada bunga di dalam pot dan bunga di luar pot yang memberi
Wangi harum kepada kita
Salam kepada rumput yang hijau yang jadi permadani
Salam kepada kendi yang berisi air dingin yang membasuh tangan, kaki,
Dan wajah kita
Salam kepada tangga yang tinggi yang diam dan setia
Salam kepada lantai yang rapat dan renggang
Salam kepada tikar yang berkembang dalam warna-warni
Yang mengasyikan mata
Salam kepada seisi rumah, lelaki, perempuan yang besar dan kecil
Salam kepada kita semua
Salam

 

DI GERBANG KAMPUS ITU

Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Tiba-tiba berdiri
Di gerbang kampus itu
Ia tengadah ke langit
Lalu menjerit
Suaranya hilang entah kemana
Tapi tiba-tiba menetes kata
Dari bintang
Jatuh kebumi
Berserakan di bumi
Menjadi syair

Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Tiba-tiba terengah
Di gerbang kampus itu
Setelah ribuan kilometer berlari
Mencari
Lalu tertunduk
Menangis
Tangisnya kemudina hilang
Entah kemana
Tapi tiba-tiba menetes kata
Dari batu
Tergulir ke bumi
Menjadi puisi
Yang abadi

Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Kemudian pergi
Entah kemana
Di subuh hari
Ketika seorang mahasiswa
Membuka pintu gerbang kampus itu
Ia lihat kertas lusuh
Di sana tertulis
Tuhan, berkahi usaha mulia ini
Jakarta, 1986 

KUTACANE
sebuah kota berpagar gunung
matahari terik langit biru
tanah subur bersyukur
memercikkan tanaman
berkat keringat tumpah
dari gagang cangkul
lelaki kuat
atau dari sabit langsing
di lengan halus
gegadis jingga

sebuah kota digelitiki sungai
bersemu malu gadis jelita
bulan muda di kaki langit
membungakan senyum
melihat nelayan mengembangkan jala
dari perahu
atau tangan-tangan teracung
menahan pancing di atas air

sebuah kota mekar oleh dongengan
mimpi-mimpi disuburi cerita nenek moyang
setiap pintu rumah tahu
kisah beru dihe dan sipihir
kasih tak sampai
atau silayar tunggal dan beru jinem
kasih satria di ujung pedang
atau beru pagan
putri jelita tanpa bandingan

sebuah kota
tanpa patung-patung megah
hanya menyimpan kuntum luka
amis darah di rumpun bambu
benteng tua tinggal kenangan



LAWEE BULAN
hati gelisah reda oleh kecipakmu
airmu jernih rela menerima
tubuh berlumpur hitam keringatan

dada sepi hangat oleh nyanyianmu
lenggangmu lapang
tubuhmu putih ramping
melenggokkan angan ke labuhan mimpi

pagi sebelum fajar
mencium wajahmu sejuk
gadis-gadis merebahkan pipi
menyentuhkan tubuhnya di arusmu
bertanya
berapa banyak pemuda di muara
yang rubuh mempertahankan negeri

sungai bulan kala senja
sebelum tudung malam terkembang
menampung keringat dan daki
menyambut jari-jari dan dada terbuka
menyirami kaki kanak-kanak
dan membasuh mata para janda

sepanjang malam sungai bulan
memerciki batang padi
mengedipi bintang-bintang
angin bersiul
lawee bulan lawee bulan


LAUT TAWARKU
di lereng-lereng gunung menujumu
di atas bus yang menderu
detak hati kian keras
kuatir nasibmu
sore itu

parasmu diusap senja
alangkah tenang
salam sederhana kau ulurkan padaku
tanpa iringan gelombang
ataupun pikatan kecipak riak
pertanda bulan akan mengambang

dalam sunyi malam
sebelum fajar
perahu nelayan lesu
pulang ke pangkalan
setelah semalaman direndam dingin
kulihat baju-baju lusuh
dan mata diberati kantuk

jalan yang meliku ke pangkuanmu
wangi oleh kenangan lama
kian terasa
sentuhan riang riak-riakmu
pada mukaku yang meminati

jalan menurun ke jantungmu
lembut oleh siraman embun
yang menetes teduh
tanpa suara
menjamah langkahku
satu satu
kala kuturun ke tepian
dengan debaran mesra di hati

BUAT PAMONG
kami sudah tahu
kami akan nyanyi indah sekali
jadi jangan senandungkan lagu biru
kami sudah tahu
bapa butuh tugu buat diri
percuma itu semua merdu
malam tak selalu purnama
bintang timbul bintang tenggelam

kami mau bapa datang dengan seluruh diri
kami akan terima dengan seluruh hati
kami tahu rasa kami tahu warna

nanti bila datang malam bapa
jangan takut
kami telah jadi penyair
kami telah jadi pelukis
segala kata dan nada dipahatkan nanti
tembaga atau emas tugu buat bapa
sejarah bakal tentukan

ANGIN HUTAN CEMARA
angin hutan cemara
ditegur fajar
buru-buru bangkit
menyongsong petani
yang bergegas naik
ke lamping gunung
ke ladang luas
di mana harapan berkecambah hijau
semakin hijau

angin hutan cemara
siang-siang
mengantar harum bunga
ke tiap tangga
dengan kipasnya riuh
mengibas panah surya
yang terpacak di punggung pekerja
melegakan dada
untuk nyanyi-nyanyi kecil
diselang-seling ayunan cangkul

angin hutan cemara
sore hari
habis perjalanan jauh
walau lelah
masih sempat
melipur pengambil kayu
atau nelayan di sungai
dan pengembala di padang-padang hijau
meringankan langkah mereka
menuju rumah dan rumah tangga

angin hutan cemara
biasanya gemerisik
hanya sesekali menderu
tapi kian kalinya mengingatkan
enam puluh ribu hektar
cemara menderai
tak jemu-jemu menderai
minta diolah
namun tak pernah diacuhkan
walau dua puluh tahun lebih
kita merdeka

angin hutan cemara
ceramah namun ramah
menawarkan bagia
bagi tiap orang
yang ingin mencicipinya

KABAR
dalam caya senja
suratmu tiba
baris-baris puisi
berdiri
menatapku
bola-bola matamu
memandangku
memandang

angin cemara
senja itu
mengusikku
menggeraikan rambut
duh, kian putih juga
aku kembali
ke matamu bening
ke kisah kotamu kini
agung oleh menara
lampu warna-warni
tapi di lorong-lorong gelap
rakyat merintih
ditindas beban berat
ya, anakku
di caya matamu sayu
derita rakyat kecil
kusaksikan
dalam caya senja
suratmu tiba
baris-baris puisi
bola-bola matamu
memandangku
ya, anak
rangkullah ibu

GUNUNG SINGAH MATA
dari puncak Singah Mata
memandang ke bawah
ke lembah pagi
ke liku-liku senyap

dari puncak Singah Mata
menyaksikan awan
berguguran
berkas-berkas caya
turun ke rimbun pohon
burung-burung
hinggap dan terbang
kijang-kijang berkejaran
di panas bertelau
pekik dan ciap
meriangi siang hari
panorama abadi
mengusir keresahan

dari puncak Singah Mata
memandang ke gunung di depan
di sampingnya jalan meliku
tadi pagi kita lalui
tanpa engah

tiap jengkal tanahnya
mengandung perih
darah dan keringat
riwayat derita
di bawah sangkur penjajah


SUNGAI PESANGAN
airmu jernih
kaca alam yang permai
kala angin lena
dalam genangan siang

dengan kemilau
caya surya
kau elus kaki tebing
yang berkukuh
dalam tapanya bisu

kadang arusmu gemuruh
menempuh batu-batu
seakan tergesa
membawa berita
putri hijau
berbaju ular
bakal bangkit
dari danau

arusmu pun gitu deras
gitu tergesa
hingga tak engah
ada gadis
membungkuk di tebing
termangu mencari
bayang cintanya hilang
dalam golak air
di antara batu-batu

riakmu kecil-kecil
putih-putih oleh bulan
adalah selingan mesra
dari umbang-ambing peristiwa

RAHMAT
angin lembut
yang menjamah ladangmu
menyepoikan puisi
membisikkan lagu juang tanpa akhir

alunan sungai
yang membelah sawahmu
mengapungkan puisi
caya-caya semangat dan keyakinan teguh

pada hujan renyai
turun ke bumi
mendesah napas puisi
dendang petani lagukan kerja berkepanjangan

panas mentari
yang menyiramimu
menaburkan puisi
himmah dan hikmah yang kekal

bersyukurlah
bersyukurlah
Tuhan tak putus melimpahkan rahmat-Nya


TENTANG L. K. ARA
Menamatkan SD dan SMP di tanah kelahiran, Takengon, Acah, L. K. Ara melanjutkan belajar di Taman Madya, Taman Siswa, Medan, sembari bekerja sebagai pengantar koran. Kemudian masuk perguruan tinggi jurnalistik Medan. Ke Jakarta, mula-mula bekerja sebagai guru SMP “Sinar Kemajuan“ (1959), menjadi pegawai di kantor Kabinet Perdana Menteri dan tahun 1963 pindah ke Balai Pustaka. L. K. Ara punya perhatian yang besar pada sastra darah Gayo dan telah mengumpulkan puisi, melengkan (prosa liris), pribahasa dan teka-teki dan menghasilakn lebih kurang 20 judul khasanah sastra daerah Gayo. Karyanya yang telah terbit antara lain: Angin Laut Tawar (1969), Kumandang (1971), Serangkum Saer Gayo (1980), Namaku Bunga(1981), Anggrek Berbunga (1982), Kur Lak Lak (1982), Buah-buah di Kebun (1982), Senandung Burung-burung (1982),Senjata Pusaka Kita (1983), Umbi Sahabat Kita (1983).