DENGAN SAJAK
dengan sajak kutitipkan rindu
laut pada pantai yang menggaramkan buihnya
dengan sajak kudedahkan cinta
bunga pada angin yang menyerbukkan putiknya
dengan sajak kularutkan mimpi
embun pada awan yang merelakan hujannya
dengan sajak kutadahkan pinta
perahu pada sungai yang menyisir arusnya
dengan sajak kutorehkan luka
hutan pada kota yang merabuk kepurbaannya
dengan sajak kudendangkan puisi
agar setiap kata menjelma semesta doa
dengan sajak kutarikan zikir
hingga segalanya merabuk dalam ketiadaan
2002
PADA AKHIRNYA
akhirnya kita tinggalkan pantai itu
dengan diam yang menghapus peristiwa
tanpa jejak tanpa segores sejarah
ada yang tetap tersembunyi di situ
bait-bait puisimu masih bisikkan cinta
pada angin yang selalu memburu gelombang
ada yang tetap tak terungkap di situ
meski bahasa telah lahirkan berjuta kata
untuk menerjemahkan tanda-tanda
akhirnya kita tinggalkan pantai itu
dengan bisu laut kekalkan jagat samudera
suara ombak yang selalu membentur di dada
maka simpanlah rindumu di pantai itu
pada kedalaman laut yang sembunyikan cinta
sebelum pasang kembali menyisir segala
2001
AFORISME SEKUNTUM MAWAR
pada duri yang menjaga tidurmu
kupinjamkan sebait sajak cinta
dunia kata yang menerbangkan mimpi
menuju keasingan demi keasingan
kota yang membawamu ke puncak peradaban
“aku hanya ingin menjadi diriku
selalu terjaga di antara duri-duri
rahasia yang tak perlu kaupahami
maka sudahilah,” katamu dengan mata nanar
seakan menyangsikan keakanan yang jauh
sekarang tak lagi kutulis sajak cinta
tapi kerinduan itu telah menghanguskan segala
bahkan mantra pun telah kehilangan tuahnya
“aku hanya ingin menjadi diriku
selalu terjaga di antara duri-duri,”
ulangmu sekali lagi dengan galau di dada
kalaupun tak lagi kutulis sajak cinta
cahaya rindumu sudah terpantul di situ
pada damai suara keilahian
1995
LAGU GELOMBANG
gemuruh yang senantiasa getarkan dada
apungkan kapal-kapal mimpi hingga korona
selepas perih saat kelasi angkat sauh
gelombang yang selalu geram memukul dunia
menepis zikirku hingga ke batas sunyi
pada damai pantai yang mengatas keniscayaan
o, keabadian yang terus merajut kisah cinta
yang meluluh sujudku dalam rindu berkepanjangan
debur ombakmu menggema sampai ke bising kota
seperti lagu gelombang yang tak sudah terbaca
seperti lagu gelombang yang tak sudah terbaca
sampai jua syahadatku mendampar di sunyi pantaimu
badai rindu yang terus menggelorakan api cinta
laut yang senantiasa terjaga dalam rahasia
1995
KUBAH HIJAU
di sinilah kulihat rumi menari-nari
mengitari titik damai sambil pejamkan mata
seperti laron tak jemu-jemu memuja cahaya
berputaran mengukir zikir sebagai hamba
di sinilah kutemukan rabi’ah bersunyi-sunyi
meneteskan airmata dalam kehangatan cinta
seperti balam biduan nyanyikan lirik rindu
tak sudah-sudah membentang sayap zahidnya
di sinilah kukenang al-hallaj dengan jubahnya
menunggu maut dalam senyum rela semata
seperti ismail memandangi kilat pedang ibrahim
yang segera mengayun menembus batas syahadat
di sinilah hafizh, zunnun, sa’di, sana’i
para pencinta yang mengatas ruang waktu
dari segala zaman dari segala peristiwa
menyatu dalam kata, keagungan asmaul husna
kunamai dia sebagai kubah hijau, rumahmu
ruang pertemuan segala makhluk segala rupa
bukan di sana karena ia ada di mana-mana
tapi di sini, di kedalaman hati para pencari
2002
PERJALANAN KESUNYIAN
telah kutafsirkan namamu, wahai diam
dalam gaduh bunyian yang tabuhkan maut
dari kemersik daun-daun bersahut rindu
desah angin yang senantiasa berzikir
menyapu gelombang di keluasan lautmu
telah kubaca nun dari sunyi ke sunyi
puncak syahadat yang gigilkan peradaban
galau dunia dalam ketelanjangan malam
melepas dekor-dekornya menuju ketiadaan
wahai diam, segala kupulangkan padamu
ya, inilah kisah perjalanan sunyiku
biduk cinta sang fakir memikul mimpi
melukis kota-kota dalam dingin tahajjud
sebelum nafasku kehabisan ghirah-nya
inilah untaian gurindam sang perindu
selalu bernyanyi dalam gelora cinta
mengekalkan keindahan sunyi demi sunyi
lalu segala bermuara pada keabadianmu
2001
MENGARUNGI SAMUDERA
lihatlah, sayang, betapa lengang bidukku kini
setelah lelah memandangi pantai yang jauh
pertukaran abad yang terus dikunyah usia
seperti permen karet —kehidupan, kematian
berganti tangkap nyanyikan sawang di langit senja
mengiring burung-burung pada sarangnya
alangkah sunyi, wahai, alangkah kian sendiri
dalam debur ombak, guruh gelombangmu
meski empasan tajam memuncak amuk
tak terasa —ya, sungguh tak terasa
maka sekalian saja kurangkul segala cinta
ingin kusudahi rindu beribu rindu di dada
tanpa kerumitan filsafat dan matematika
kembalilah, ya, burung makrifatku
pengembaraan jiwa mengitari cakrawala
masuklah ke dalam sangkar damaiku
dalam biduk sunyi yang terus kukayuh
mengarung keluasan samudera tak berbatas
pelayaran panjang menuju puncak tiada
mengarungi samudera, rahasia al-fatihahmu
duhai, betapa dingin, betapa dinginnya
2002
TENTANG JAMAL T. SURYANATA
Jamal T. Suryanata dilahirkan pada 1 September 1966 di Kandangan, Kalimantan Selatan. Menyesaikan pendidikannya di STKIP PGRI Banjarmasin, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, dengan skripsi berjudul “Sajak-sajak Ajamuddin Tifani dalam Sentuhan Sufistik: Hermeneutika Kerohanian Sebagai Titik Tolak Pengkajian” (1999) dan di Program Pascasarjana FKIP Unlam Banjarmasin dengan mengangkat tesis tentang “Cerpen Banjar 1980-2000: Tinjauan Struktur, Isi, dan Konteks Sosialnya” (2004).
Mulai menekuni dunia penulisan sejak akhir dekade 80-an, tetapi merasa kian serius baru sejak awal 90-an. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, kritik dan esai sastra, serta artikel umum lainnya pernah dimuat di Banjarmasin Post, Media Masyarakat, Radar Banjarmasin, Bali Post, Koran Tempo, Kompas, Swadesi, Wanyi, Ceria Remaja, Al-Zaytun, Matabaca, On-Pff, Gong, Matra, Basis, Horison, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Kebuadayaan Kandil, dan Dewan Sastera (Kuala Lumpur, Malaysia).
Sejumlah puisi, cerpen, dan esainya ikut disertakan dalam beberapa buku antologi bersama seperti Festival Puisi Kalimantan(1992), Tamu Malam (1992), Bosnia dan Flores (1993), Batu Beramal 2 (1995), Kebangkitan Nusantara II (1995), Antologi Puisi Serayu (1995), Jendela Tanah Air (1995), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (2000), Wasi(2000), La Ventre de Kandangan (2004), Dian Sastro for President! (2005), Ragam Jejak Sunyi Tsunami (2005), Perkawinan Batu (2005), Jendela Terbuka: Antologi Esai Mastera (2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Sastra Banjar Kontekstual(2006), Tongue in Your Ear: Indonesian Poetry Festival (2007), dan sajaknya ”Datanglah Sang Cahaya” telah diterjemahkan ke dalam bahasa Portugal —dimuat dalam buku Antologia de Poeticas: Antologi Puisi Indonesia—Portugal—Malaysia (2008).
Selain menulis dalam bahasa Indonesia, ia juga menulis puisi dan cerpen dalam bahasa Banjar. Buku-bukunya yang sudah diterbitkan adalah Untuk Sebuah Pengabdian (Balai Pustaka, 1995), Mengenal Teknologi Penerbangan dan Antariksa (Adicita Karya Nusa, 1998), Di Bawah Matahari Terminal (Adicita Karya Nusa, 2001), Problematik Pembelajaran Bahasa dan Sastra(Adicita Karya Nusa, 2003), Galuh: Sakindit Kisdap Banjar (Cerpen bahasa banjar, Radar Banjarmasin Press, 2005), Penyesalan Sang Pemburu (Pabelan Cerdas Indonesia, 2005), Bulan di Pucuk Cemara (Cerpen, Gama Media dan LPKPK, 2006), Bintang Kecil di Langit yang Kelam (Cerpen, Tahura Media, 2009) dan Debur Ombak Guruh Gelombang (Puisi, Tahura Media, 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar