KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat untuk menyelesaikan makalah
ini, tentunya penulis memiliki keterbatasan yang menyebabkan makalah ini tidak
sesempurna yang diharapkan.
Makalah yang berjudul “SEJARAH
DAN KONSEP DASAR POSTMODERNISME”
ini akan membahas sejarah dan konsep dasar postmodernisme; indikator postmodernisme; dan analisis
fenomena faktual.
Makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk semakin bermutunya masalah dalam makalah ini.
Akhirnya,
penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
sumbangan pikiran dalam menyelesaikan makalah ini. Khususnya kepada Pak Izhar Lubis, S.Pd sebagai dosen pengampu
mata kuliah Sosiologi Sastra yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.
Sosorgadong,
Januari 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar........................................................................................................ i
Daftar Isi................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang....................................................................... ......... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................ 2
1.3 Batasan Masalah..................................................................... ......... 2
1.4 Tujuan Penulisan.................................................................... ......... 2
BAB II KAJIAN TEORITIK..................................................................... ......... 3
2.1 Sejarah dan Konsep Dasar Postmodernisme................................. 3
2.2 Indikator Postmodernisme.............................................................. 9
2.3 Analisis Fenomena Faktual............................................................. 12
BAB III KESIMPULAN
DAN SARAN..................................................... ......... 15
3.1 Kesimpulan.............................................................................. ......... 15
3.2 Saran-Saran............................................................................ ......... 17
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... ......... 18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Istilah
Postmodernisme sangat membingungkan, bahkan meragukan. Asal usulnya adalah dari
wilayah seni: Musik, seni rupa, roman dan novel, drama, fotrografi, arsitektur.
Dan dari situ merembet menjadi istilah mode yang dipakai oleh beberapa wakil
dari beberapa ilmu. Dan akhirnya istilah itu oleh filosof Prancis,
Jean-Francois Lyotard, dimasukkan ke dalam kawasan filsafat dan sejak itu
diperjualbelikan sebagai sebuah “isme” baru.
Istilah
“Postmodernisme” membingungkan karena memberikan kesan bahwa kita berhadapan
dengan sebuah aliran atau paham tertentu, seperti Marxisme, eksistensialisme, kritisisme, idealisme, dan
lain-lain. Padahal para pemakai label itu biasanya tidak berbicara
tentang “postmodernisme”, melainkan tentang “pemikiran pascamodern”. Misalnya Rorty atau Derrida, amat beraneka ragam cara pemikirannya. Di Indonesia, sesuai kebiasaan, kita
malah malas mengungkapkan seluruh kata “postmodernisme” dan menggantikannya
dengan “posmo”. Sesuai dengan gaya
berfikir mitologis dan parsial dimana yang penting simbolnya saja, bukan apa
yang sebenarnya dimaksud.
Padahal
pemikiran “posmo” itu ada banyak dan tidak ada kesatuan paham. Namun benar
juga, ada sesuatu yang mempersatukan pendekatan-pendekatan itu, atau lebih tepatnya
ada dalam filsafat modern salah satu kecenderungan yang muncul dalam
bentuk-bentuk berbeda, namun ada kesamaan wujudnya, dan barangkali itulah
kesamaan segala macam gaya berfikir yang ditemukan unsur “posmo”- nya itu.
Dapat
dikatakan bahwa “postmodernisme” lebih merupakan sebuah suasana, sebuah naluri,
sebuah kecenderungan daripada sebuah pemikiran eksplisit. Kecenderungan itu
lalu memang mendapat ekspresi melalui pelbagai sarana konseptual yang sangat
berbeda satu sama lian. Adalah jasa istilah “postmodernisme” bahwa dengan
demikian kita memperoleh sebuah payung konseptual untuk melihat kesamaan di
antara mereka itu yang umumnya justru mencolok ketidaksanaannya.
Untuk menghindari kebingungan
yang lebih lanjut, maka penulis akan membahas postmodernisme secara lebih
gamblang dalam pembahasan makalah ini. Setidaknya ada tiga unsur atau elemen
yang akan dibahas lebih rinci dalam pembahasan nanti. Yang pertama adalah
mengenai sejarah ataupun konsep dasar dari postmodernisme itu sendiri. Yang
kedua adalah mengenai ciri atau indikator daripada postmodernisme. Serta yang
ketiga adalah mengenani fenomena faktual yang terkait dengan postmodernisme.
1.2
Rumusan Masalah
Merujuk dari latar belakang di atas, maka penulis di sini
memberikan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah dan konsep dasar postmodernisme?
2.
Apa saja yang
termasuk ke dalam indikator postmodernisme?
3.
Bagaimana analisis
fenomena faktual dalam postmedernisme?
1.3
Batasan Masalah
Dari rumusan masalah d atas, maka dapat pualah di tentukan batasan masalah
dalam makalah ini, yakni:
1. Sejarah dan konsep dasar postmodernisme.
2.
Indikator postmodernisme.
3.
Analisis fenomena faktual.
1.4
Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar
belakang, rumusan masalah, dan batasan masalah di atas, maka tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sejarah dan konsep dasar postmodernisme.
2.
Untuk mengetahui indikator postmodernisme.
3.
Untuk mengetahui analisis
fenomena faktual.
***
BAB II
KAJIAN TEORITIK
2.1 Sejarah dan Konsep Dasar Postmodernisme
Miletos, kota kecil di gugusan kepulauan Yunani abad ke-6 SM adalah
tempat bermulanya cerita besar tentang penaklukan alam oleh manusia. Di kota
itulah sebermula runtuhnya mitos-mitos arkhaik tentang alam yang berupa
dongeng, fabel ataupun kepercayaan. Sejak saat itu manusia serta-merta
memberontak dari kungkungan kebudayaan mitologis dan berusaha menggunakan
akalnya untuk menjelaskan dunia.
Sejarah penaklukan alam dibawah tatapan akal pikiran kemudian bergulir.
Sokrates, filsuf besar Yunani, mempertegas usaha ini dengan semboyannya yang
sangat terkenal, Kenalilah dirimu sendiri. Salah seorang murid Sokrates, Plato,
seraya menggemakan pemikiran sang guru, menarik garis lebih tajam mengenai
konsep manusia. Menurut Plato, manusia terdiri dari tiga tingkatan fungsi yakni, tubuh (epithymia), kehendak (thymos)
dan rasio (logos). Rasio adalah tingkatan tertinggi, sekaligus mengatur
dan melingkupi fungsi-fungsi yang lain. Pandangan Plato tentang manusia ini
membawanya pada konsepsi negara ideal yang analog dengan tingkatan fungsi dalam
diri manusia. Pertama, para pemimpin (analog dengan rasio). Kedua, para
prajurit (analog dengan kehendak). Ketiga, para petani dan tukang (analog
dengan tubuh) (Harun Hadiwijono, 1994: 43-44). Dengan konsepsi seperti ini
Plato memperteguh keyakinan subjektivitas manusia dengan konstruksi kebudayaan
(negara) yang berpijak pada rasio.
Sejarah filsafat berikutnya bergulir sampai pada satu titik yang
memiliki makna penting bagi kelahiran era modernitas. Dipicu oleh gerakan
humanisme Italia abad ke-14 M, Renaisans lahir sebagai jawaban terhadap
kebekuan pemikiran abad pertengahan. Renaisans yang berarti kelahiran
kembali, membawa semangat pembebasan dari dogma agama yang beku selama abad
pertengahan; keberanian menerima dan menghadapi dunia nyata; keyakinan
menemukan kebenaran dengan kemampuan sendiri; kebangkitan mempelajari kembali
sastra dan budaya klasik; serta keinginan mengangkat harkat dan martabat
manusia (Harun Hadiwijono, 1994: 11-12). Makna penting Renaisans dalam sejarah
filsafat Barat adalah peranannya sebagai tempat persemaian benih Pencerahan
abad ke-18 M yang menjadi embrio kebudayaan modern.
Seorang filsuf besar yang menjejakkan pengaruhnya pada masa ini adalah
Rene Descartes, Bapak Rasionalisme, sekaligus arsitek utama filsafat modern.
Dengan mengadopsi dan mensintesakan pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya,
Descartes berambisi membangun metode pengetahuan yang berlaku untuk setiap
bentuk pengetahuan. Menurutnya, kepastian kebenaran dapat diperoleh melalui
strategi kesangsian metodis. Dengan meragukan segala sesuatu, Descartes ingin
menemukan adanya hal yang tetap yang tidak dapat diragukan. Itulah kepastian
bahwa Aku sedang ragu-ragu tentang segala sesuatu. Rumusan terkenal dari
pemikiran Descartes ini adalah diktum, Cogito ergo sum, Aku berpikir maka aku
ada. Dengan diktum ini, rasio sekali lagi diyakini mampu mengatasi kekuatan
metafisis dan transendental. Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci
kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. Sejarah kematangan kebudayaan
modern selanjutnya ditunjukkan oleh pemikiran dua filsuf Jerman, Immanuel Kant
dan Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir inilah nilai-nilai modernisme
ditancapkan dalam alur sejarah dunia. Kant dengan ide-ide absolut yang sudah
terberi (kategori). Hegel dengan filsafat identitas (idealisme absolut) (Ahmad
Sahal, 1994: 13). Konstruksi kebudayaan modern kemudian tegak berdiri dengan
prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut,
kemajuan linear, objektivitas, otonomi, emansipasi serta oposisi biner.
Sejarah pemikiran dan kebudayaan yang dibangun di atas
prinsip-prinsip modernitas selanjutnya merasuk ke berbagai bidang kehidupan.
Seni modern hadir sebagai kekuatan emansipatoris yang menghantar manusia pada
realitas baru. (Awuy, 1995: 41). Sementara itu dalam dunia ilmu dan kebudayaan,
modernitas ditandai dengan berkembangnya teknologi yang sangat pesat, penemuan
teori-teori fisika kontemporer, kejayaan kapitalisme lanjut, konsumerisme,
merebaknya budaya massa, budaya populer, maraknya industri informasi
televisi, koran, iklan, film, internet berkembangnya konsep nation-state
(negara-bangsa), demokratisasi dan pluralisme.
Namun dalam penampilannya yang mutakhir tersebut, modernisme mulai
menampakkan jati dirinya yang sesungguhnya: penuh kontradiksi, ideologis dan
justru melahirkan berbagai patologi modernisme. Modernisme inilah yang telah
mencapai status hegemonis semenjak kemenangan Amerika dan para sekutunya dalam
Perang Dunia II (Ariel Heryanto, 1994: 80), yakni modernisme yang tidak lagi
kaya watak seperti saat awal kelahirannya, namun modernisme yang bercorak
monoton, positivistik, teknosentris dan rasionalistik; modernisme yang yakin
secara fanatik pada kemajuan sejarah linear, kebenaran ilmiah yang mutlak,
kecanggihan rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat
pengetahuan dan sistem produksi.
Unsur-unsur utama modernisme: rasio, ilmu dan antropomorphisme, justru
menyebabkan reduksi dan totalisasi hakekat manusia. Memang benar, di satu sisi
modernisme telah memberikan sumbangannya terhadap bangunan kebudayaan manusia
dengan paham otonomi subjek, kemajuan teknologi, industrialisasi, penyebaran
informasi, penegakan HAM serta demokratisasi. Namun di sisi lain, modernisme
juga telah menyebabkan lahirnya berbagai patologi: dehumanisasi, alienasi,
diskriminasi, rasisme, pengangguran, jurang perbedaan kaya dan miskin,
materialisme, konsumerisme, dua kali Perang Dunia, ancaman nuklir dan hegemoni
budaya serta ekonomi. Berbagai patologi inilah yang menjadi alasan penting
gugatan pemikiran postmodernisme terhadap modernisme.
Jejak-jejak pemikiran yang bernaung di bawah payung
postmodernisme dalam banyak bidang kehidupan: seni, sastra, politik,
ekonomi, arsitektur, sosiologi, antropologi dan filsafat sebenarnya
sudah dapat dilacak jauh ke alur sejarah modernisme sendiri. Lahirnya beragam
bentuk realitas baru: seni bumi, seni video, sastra marjinal, sastra yang
terdiam, arsitektur dekonstruksi, antropologi kesadaran, paradigma Thomas Kuhn
dan pemberontakan terhadap filsafat modern semenjak Nietzsche, Husserl,
Heidegger, hingga Mahzab Frankfrut adalah benih-benih lahirnya pemikiran
postmodernisme.
Terutama dalam dunia filsafat, postmodernisme mendapatkan pendasaran
ontologis dan epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang
filsuf Perancis. Lewat bukunya yang merupakan laporan penelitian kondisi
masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge (1984). Lyotard secara radikal menolak ide
dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang
dilegitimasikan oleh prinsip kesatuan ontologis (Awuy, 1995: 158). Menurut
Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi,
prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Kekuasaan telah dibagi-bagi
dan tersebar berkat demokratisasi teknologi. Karena itu prinsip kesatuan
ontologis harus di delegitimasi dengan prinsip paralogi. Paralogi berarti
prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur, permainan dengan logikanya
masing-masing tanpa harus saling menindas atau menguasai (Awuy, 1995: 161).
Persis permainan catur, dimana setiap bidak memiliki aturan dan langkah
tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini, seperti
dikatakan Susan Sontag seorang kritikus seni merupakan indikasi lahirnya
sensibilitas baru: yakni sebuah kesadaran akan kemajemukan, bermain dan
menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang atau
menaklukan realitas lain (Lash, 1990: 234).
Lebih jauh Lyotard menyatakan prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme:
rasio, ego, ide absolut, totalitas, oposisi biner, subjek, kemajuan sejarah
linear yang disebutnya Grand Narrative telah kehilangan legitimasi
(Awuy, 1995: 158-161). Cerita-cerita besar modernisme tersebut tak ayal
hanyalah kedok belaka, mistifikasi, yang bersifat ideologis, eksploitatif,
dominatif dan semu.
Dari arah berbeda dengan fokus filsafat bahasa Jacques
Derrida, seorang filsuf Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida
mengajukan strategi pemeriksaan asumsi-asumsi modernisme yang seolah-olah sudah
terberi itu dengan dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa
struktur-struktur yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang senantiasa
dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya (Ahmad Sahal, 1994:
21). Dengan dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas dipertanyakan,
dirongrong dan disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh dekonstruksi hendak
memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di bawah totalitas modernisme.
Implikasi logis strategi ini adalah melumernya batas-batas yang selama ini
dipertahankan antara konsep-metafor, kebenaran-fiksi, filsafat-puisi, serta
keseriusan-permainan. Wacana-wacana yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis,
kaum feminis, dunia ketiga, ras kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau
gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah
modernisme hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.
Strategi yang sarat emansipasi ini pula yang mendorong seorang filsuf
sejarawan Perancis Michel Foucault untuk menyingkap mistifikasi
hubungan pengetahuan dan kekuasaan yang disodorkan modernisme. Berbeda dengan
pandangan modernisme yang menyatakan adanya distingsi antara pengetahuan murni
dan pengetahuan ideologis, Foucault menyatakan pengetahuan dan kekuasaan
adalah dua sisi mata uang yang sama. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan.
Selanjutnya menurut Foucault kekuasaan tidaklah seperti yang dipahami kaum
Weberian atau Marxian. Kaum Weberian memahami kekuasaan sebagai kemampuan
subjektif untuk mempengaruhi orang lain. Sementara kaum Marxian memahami
kekuasaan sebagai artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan untuk
menindas kelas lain. Secara cerdas Foucault menyatakan bahwa di era yang
dihidupi oleh perkembangan ilmu dan teknologi seperti saat ini, kekuasaan bukan
lagi institusi, struktur atau kekuatan yang menundukkan. Kekuasaan tidak
dimiliki, tidak memiliki, melainkan merupakan relasi kompleks yang menyebar dan
hadir di mana-mana (Ahmad Sahal, 1994: 17). Pandangan tentang kuasa/pengetahuan
yang tidak berpusat, tidak mendominasi dan menyebar ini kemudian membawa
Foucault untuk menolak asumsi rasio-kritis yang universal ala Kantian. Baginya
rasio tidak universal, karena seperti disuarakan Charles Baudelaire,
seorang penyair Perancis ada tanggapan lain terhadap modernisme yakni:
ironi. Karenanya Foucault sama sekali tidak berambisi membangun teori-teori
yang universal. Ia memilih membaca realitas pada ukuran mikro. Tema-tema tak
jamak semisal penjara, orang gila, rumah sakit, barak-barak tentara, pabrik,
seks, pasien dan kriminal adalah pilihan yang disadarinya. Dan dengan pilihan
ini, sekali lagi Foucault meneguhkan semangat emansipasi kaum tertindas yang
telah diawali oleh Lyotard dan Derrida.
Postmodernisme
secara umum dikenal sebagai antitesis dari
modernisme. Sementara itu modernisme itu sendiri diartikan oleh Lyotard
(Berstens, 1996) sebagai proyek intelektual dalam sejarah dan kebudayaan Barat
yang mencari kesatuan di bawah bimbingan suatu ide pokok yang terarah kepada
kemajuan dimana “Aufklarung” (masa pencerahan) pada abad ke-18 menandai proyek
besar ini.
Sebagai gerakan
pemikiran, postmodernisme ‘berhasil’ menawarkan opini, melontarkan apresiasi
dan menikamkan kritik yang tajam terhadap wacana modernitas dan kapitalisme
(global) mutakhir. Di tengah kemapanan dan pesona yang ditawarkan oleh proyek
modernisasi dengan rasionalitasnya, postmodernisme justru ditampilkan dengan
sejumlah evaluasi kritis dan tajam terhadap impian-impian masyarakat modern.
Kritik tersebut, tidak saja mengagetkan dunia publik intelektualitas Barat yang
sejak beberapa abad terbuaikan oleh modernisme yang membius melalui ciptaan
sains dan teknologinya.
Istilah
postmodernisme diketahui muncul pada tahun 1917 ketika seorang filsuf Jerman,
Rudolf Pannwitz menggunakan istilah itu untuk menangkap adanya gejala nihilisme
kebudayaan Barat modern. Federico de Onis sekitar tahun 1930-an menggunakan
dalam sebuah karyanya untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari modernisme.
Kemudian di bidang historiografi digunakan oleh Arnold Toynbee dalam “A
Study of History” tahun 1947, dan sekitar tahun 1970, Ilhab Hasan
menerapkan istilah ini dalam dunia seni dan arsitektur. Pada akhirnya istilah
postmodernisme menjadi lebih popular manakala digunakan oleh para seniman,
pelukis dan kritikus.
Sehingga demikian
ada banyak ragam dan terminologi dan makna dalam istilah postmodernisme
tergantung pada wilayah pendekatan yang berbeda sebagai berikut :
1.
“Kian berkembangnya
kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang bersamaan
dengan semakin bebasnya daya instingual dan kian membubungnya kesenangan dan
keinginan” (Daniel Bell dalam “Beyond Modernism; Beyond Self”)
2.
“Logika kultural
yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya” (Frederic Jameson
dalam “New Left Review” tahun 1984)
Pada perkembangan
selanjutnya, istilah postmodernisme dilembagakan dalam konstelasi filsafat oleh
Francois Lyotard dalam bukunya “The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge” tahun 1984. Lyotard menjelaskan bahwa akibat pengaruh teknologi
informasi, maka prinsip kesatuan ontologis yang selama ini mendasari ide dasar
filsafat modern sudah tidak lagi relevan dengan realitas kontemporer.
Maka itu prinsip
homologi (kesatuan ontologis) harus didelegitimasi oleh paralogi (pluralisme)
dengan tujuan agar kekuasaan, termasuk kekuasaan oleh ilmu pengetahuan, tidak
lagi jatuh pada sistem totaliter yang biasanya bersifat hegemonik dan pro
status-quo atau meminjam terminologi Ibrahim Ali Fauzi bahwa postmodernisme
adalah sebuah gerakan global renaissans atas renaissans yang diartikan
ketidakpercayaan atas segala bentuk narasi besar, penolakan filsafat metafisis,
filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang men-totalisasi seperti
Hegelianisme, Kapitalisme, Liberalisme, Marxisme, Nasionalisme, Komunisme,
Sosialisme dan lainnya.
Cukup banyak
peristiwa yang bisa dikumpulkan akibat ide narasi besar (meta-narasi) yang
menandai kegagalan dari modernisme seperti kekejaman pasukan Nazi pada perang
dunia kedua yang menandai kegagalan nasionalisme. Pemberontakan kaum buruh
terhadap partai komunis yang terjadi di Berlin (1953),
Budapest (1956) dan Polandia (1980) yang menunjukkan betapa komunisme sebagai
ideologi totaliter mengandung banyak kotradiksi, yaitu bahwa pekerja
memberontak terhadap partai yang memperjuangkan nasib mereka sendiri. Dan
banyak kejadian lainnya yang bisa disebutkan termasuk aneksasi neo-liberalisme
dan neo-kapitalisme Amerika Serikat terhadap Irak.
Dalam konteks ini
tidak berlebihan apabila janji modernitas, yang dibangun oleh rasionalitas, untuk
mencapai emansipasi manusia dari kemiskinan, kebodohan, prasangka dan tiadanya
rasa aman dianggap tidak masuk akal. Modernisme disamping menciptakan kemajuan
teknologi juga menciptakan totalitarianisme, pembunuhan yang lebih massif
(genosida) dan aneksasi kolonialisme yang membabi buta. Sehingga demikian,
Lyotard menolak segala macam bentuk meta-narasi, yang ada bukan kebenaran
tetapi kebenaran-kebenaran yaitu kebenaran majemuk dan lokal (mini-narasi).
2.2 Indikator Postmodernisme
Akbar S.
Ahmed
dalam bukunya Posmodernisme dan Islam menyebutkan delapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol,
yaitu :
Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek
modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden
(meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran.
Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan
perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya
menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa
telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku
orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari
telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.
Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini
muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan
terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi
janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah
penindasan.
Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan
apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu. Lima, semakin
menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah
pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya
dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik
pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”.
Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau
kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era
postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi. Tujuh, era
postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya
eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan
realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok
budaya secara eksklusif. Delapan, bahasa yang digunakan dalam waacana
postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi
sehingga apa yang disebut “era postmodernisme” banyak mengandung paradoks.
Sedangkan
menurut Pauline Rosenau mengatakan bahwa, postmodernisme menganggap modernisme
telah gagal dalam beberapa hal penting antara lain :
Pertama,
modernisme gagal mewujudkan
perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana diinginkan para pedukung fanatiknya. Kedua,
ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari
kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas seperti tampak pada
preferensi-preferensi yang seringkali mendahului hasil penelitian. Ketiga, ada
semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.
Keempat,
ada semacam keyakinan yang
sesungguhnya tidak berdasar, bahwa
ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia
dan lingkungannya.
Ternyata keyakinan ini keliru manakala kita menyaksikan bahwa kelaparan,
kemiskinan, dan kerusakan lingkungan terus terjadi menyertai perkembangan ilmu
pengetahuan dan tehnologi. Dan Kelima, ilmu-ilmu modern kurang
memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena
terlalu menekankan pada atribut fisik individu.
Postmodernisme
muncul untuk “meluruskan” kembali interpretasi sejarah yang dianggap otoriter.
Untuk itu postmodernisme menghimbau agar kita semua berusaha keras untuk
mengakui adanya identitas lain (the other) yang berada di luar wacana
hegemoni.
Postmodernisme
mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan
menawarkan pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi
(pengakuan bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi
mempunyai banyak “sentral”)
Postmodernisme
mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan
dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan saja, tetapi juga melihat pada
hal-hal yang berada pada alur vulgar material yang selama ini dianggap
sebagai penyakit dan obyek pelecehan saja.
Postmodernisme
sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik dalam
filsafat Barat yang mengajak kita untuk melakukan perombakan filosofis secara total
untuk tidak lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai
suatu “dialektika” seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal
bahwa kemunculan suatu wacana baru pasti meniadakan wavana sebelumnya.
Sebaliknya gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana
sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.
Berkaitan
dengan kapitalisme dunia misalnya, Postmodenisme menyatakan bahwa krisis yang
terjadi saat ini adalah akibat keteledoran ekonomi modern dalam beberapa hal,
yaitu:
1
Kapitalisme
modern terlalu tergantung pada otoritas pada teoretisi sosial-ekonomi seperti
Adam Smith, J.S.Mill, Max Weber, Keynes, Samuelson, dan lain-lain yang
menciptakan postulasi teoritis untuk secara sewenang-wenang merancang skenario
bagi berlangsungnya prinsip kapitalisme;
2
Modernisme
memahami perkembangan sejarah secara keliru ketika menganggap sejarah sebagai
suatu gerakan linear menuju suatu titik yang sudah pasti. Postmodenisme muncul
dengan gagasan bahwa sejarah merupakan suatu genealogi, yakni proses yang
polivalen, dan
3
Erat
kaitannya dengan kekeliruan dalam menginterpretasi perkembangan sejarah,
ekonomi modern cenderung untuk hanya meperhitungkan aspek-aspek noble
material dan mengesampingkan vulgar material sehingga berbagai upaya
penyelesaian krisis seringkali justru berubah menjadi pelecehan. Inkonsistensi
yang terjadi adalah akibat rendahnya empati para pembuat keputusan terhadap
persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Postmodernisme bukanlah suatu gerakan
homogen atau suatu kebulatan yang utuh. Sebaliknya, gerakan ini dipengaruhi
oleh berbagai aliran pemikiran yang meliputi Marxisme Barat, struktualisme Prancis, nihilisme,
etnometodogi, romantisisme, popularisme, dan hermeneutika.
Heterogenitas
inilah yang barangkali menyebabkan sulitnya pemahaman orang awam terhadap
postmodernisme. Dalam wujudnya yang bukan merupakan suatu kebulatan,
postmodernisme tidak dapat dianggap sebagai suatu paradigma alternatif yang
berpretensi untuk menawarkan solusi bagi persoalan-persoalan yang ditimbulkan
oleh modernisme, melainkan lebih merupakan sebuah kritik permanen yang selalu
mengingatkan kita untuk lebih mengenali esensi segala sesuatu dan mengurangi
kecenderungan untuk secara sewenang-wenang membuat suatu standar interpretasi
yang belum tentu benar.
2.3 Analisis Fenomena Faktual
Jika kita melihat dan menelaah konteks
politik hari ini, masalah postmoderrnisme juga kerap muncul. Modernisme dengan
konsep universalismenya menghendaaki semua Negara menerapkan sistem demokrasi.
Namun demokrasi yang diperjualbelikan adalah demokrasi ala Amerika yang konon
katanya paling demokratis. Amerika serikat juga didaulat, jika tidak pantas
disebut mendaulatkan diri, sebagai Negara penjunjung tinggi HAM.
Untuk dapat menjunjung tinggi HAM seperti
Amerika Serikat, maka sistem demokrasi harus dianut terlebuh dahulu. Jadi,
Negara manapun yang ingin menghargai Hak Azasi warganya harus menerapkan sistem
demokrasi ala Amerika Serikat. Sebab Amerika Serikat lagi-lagi dianggap sebagai
Negara terdepan pengimplementasi demokrasi. Hal tersebut kemudian lebih
ditekankan lagi dalam peraturan lembaga internasional (United Nation). Semua
Negara yang menjadi anggota United nation diwajibkan untuk menjunjung tinggi
HAM.
Tidak ada masalah jika Negara
anggota United Nation diwajibkan menjunjung tinggi HAM. Yang menjadi masalah
adalah ketika demokrasi dianggap satu-satunya jalan untuk menjunjung tinggi
HAM. Secara tidak langsung, mereka telah menafikan sistem lain seperti Kerajaan
Khilafah dan sistem politik lokal. Oleh karena demokrasi merupakan satu-satunya
jalan, maka Negara yang ingin menjunjung tinggi HAM harus pula menganut sistem
demokrasi. Barang siapa (negara) yang tidak mau menjunjung tinggi HAM (menganut
demokrasi), maka akan dikenai sanksi oleh lembaga tertinggi dunia tersebut.
Sanksi dapat beraneka ragam, mulai dari embargo sampai penjajahan yang berkedok
penyelamatan umat manusia.
Para postmodernis melihat proyek
pendemokrasian tersebut sebagai akibat dari modernisme. Sebab dalam modernism
terdapat satu cirri penting, yaitu universalisme dalam segala bidang. Selain
universalisme, ada juga karakter penting dari modernism yaitu Oposisi Biner
(jika A benar, maka B pasti salah). Modernism beranggapan bahwa demokrasi
Amerika Serikat sudah benar, maka sesuai dengan prinsip oposisi biner, semua
sistem diluar itu adalah salah.
Postmodernisme lahir untuk mengkritik
semua ambisi dan proyek mahabesar modernism tersebut. Universalisme yang
ditawarkan oleh modernism tidak mungkin bias tercapai, sebab dunia ini dipenuhi
oleh perbedaan dan keanekaragaman baik dalam hal ekonomi, social, politik
dan terlebih lagi budaya. Merupakan sebuah kemustahilan jika kita ingin membuat
semua Negara yang penuh dengan warna dan perbedaan tersebut hidup dengan satu
cara yang sama.
Berkaitan dengan masalah HAM juga
demikian halnya. Amerika serikat mengaku sebagai penjunjung tinggi Ham, tetapi
mereka pulalah yang membunuh puluhan bahkan ratusan ribu rakyat sipil di Irak.
Amerika pulalah yang membuat dan menghidupkan penjara Guantanamo, yang notabene
pelanggaran besar terhadap HAM. Dengan label menjunjung tinggi HAM pulalah,
amerika serikat kerap melakukan genosida (pembunuhan secara massal). Pertanyaan
yang kemudian muncul adalah, dimana HAM yang dijunjung tinggi tersebut.
Selain hal tersebut diatas, satu karakter
penting modernism yang dikritik oleh postmodernisme adalah Oposisi biner. Tidak
ada yang salah dan benar dalam dunia ini. Akan tetapi semuanya memiliki
kebenaran masing-masing. Contoh yang paling sering diangkat oleh para
postmodernis adalah masalah budaya dan agama. Semua budaya yang terdapat dimuka
bumi ini memiliki cerita dan makna masing-masing. Demikian juga halnya dengan
agama, semua punya kebenaran tersendiri. Tidak ada agama yang salah dan agama yang
benar, namun semua agama memiliki dan membawa kebenarannya.
Demikian jugalah pula dengan sistem
politik yang akan dianut oleh setiap Negara. Demokrasi yang dianut oleh Amerika
serikat mempunyai kebenaran, tetapi sistem kerajaan yang dianut oleh Inggris juga
mempunyai kebenarannya sendiri. Begitu juga dengan sistem politik di Negara
atau daerah lain (politik local / identitas misalnya) mempunyai kebenaran
tersendiri lagi.
Untuk mengatasi semua perbedaan dan
banyaknya kebenaran yang ada tersebut. Maka postmodernisme menawarkan satu
prinsip baru, yaitu Paralogi. Bahwa semua bias hidup dalam keberagaman, yang
dibingkai dalam prinsip Multikulturalisme. Atau jika kita melihat Negara
Indonesia misalnya, ada istilah Bhineka Tungggal Ika (walaupun berbeda-beda, tetapi
tetap satu jua).
***
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1
Kesimpulan
Menurut Pauline
Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang
berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas
masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern
cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas:
akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi,
kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka
meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab
personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme,
penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal
dan rasionalitas.
Kedua, teoritisi
postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world
view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard
(1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan
positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis
biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas (lokal
naratif) atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan
bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka
terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis
menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk
teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari
narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut.
Ketiga, pemikir
postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti
emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan,
kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan,
dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard
(1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic
exchange).
Keempat, teoritisi
postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara
hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan
teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung
mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain
mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori
sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya.
Kelima, banyak
postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar
(Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan
mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan
argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Akhirnya, postmodern
bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern
mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan
oleh Rosenau (1992:8) bahwa … perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken
for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan,
ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik,
kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, penolakan, ketidakesensian,
kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan,
pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan. Dari beberapa pendapat
tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmodern menawarkan
intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan
(unity).
Secara lebih umum,
Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan postmodern antara lain: pluralistis,
berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang
mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, didominasi
oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala
yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa.
Lebih lanjut Bauman
(1992:98) menjelaskan bahwa postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari
kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan
kejelasan tunggal akan keseragaman. Postmodernitas
adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang
direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan
kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup
dengannya. Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa
objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa postmodernitas mengkhawatirkan namun demikian masih
menggembirakan. Atau dengan kata lain, postmodernitas penuh dengan sebuah
inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang
bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan kaum postmodernis
memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih
pesimistis atas masyarakat postmodern.
Hal tersebut sesuai
dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat postmodern tersusun atas lima
elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmodern dibedakan oleh
superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau
pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas,
akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya
teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilambangkan oleh
teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional.
3.2
Saran-Saran
Sebagai penutup dari uraian makalah ini,
penulis memberikan sejumlah saran yang kiranya mampu semakin mengembangkan ajaran
postmodernisme ke arah positif dalam segala segi kehidupan. Di antara saran
tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Ajaran postmodernisme merupakan ajaran yang semula
dikembangkan dalam kehidupan untuk memudahkan manusia dalam kehidupannya, namun
pada perkembangannya, banyak orang menyalahartikan konsep postmodernisme, untuk
itu kepada kita sebagai calon guru kiranya mampu menempatkan aliran
postmodernisme ini pada segi positif peserta didik kita nantinya
2.
Sebagai calon guru, kita sepatutnya bisa memilah mana
ajaran postmodernisme yang positif dan negatif agar kelak kita tidak memberikan
hal yang keliu kepada peserta didik kita.
***
DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben. 2003. Teori Sosial kritis: Kritik, Penerapan
dan Implikasinya. Kreasi Wacana: Yogyakarta
Ahmed, Akbar S.
1992. Postmodernisme:
Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan: Bandung
http://learning-of.slametwidodo.com/?s=modernisme diakses pada
tanggal 27 Januari 2012
http://librarianship-umir.blogspot.com/2010/08/pendekatan-postmodernisme.html# uds-search-results diakses pada tanggal 27 Januari 2012
http://umum.kompasiana.com/2009/07/07/postmodernisme-101/ diakses pada
tanggal 27 Januari 2012
Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari
Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme. Yayasan Obor Indonesia:
Jakarta
Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern.
Juxtapose bekerjasama dengan Kreasi Wacana: Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar