KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat
Allah SWT, atas ijin-Nyalah makalah ini akhirnya dapat terselesaikan. Meskipun
belum mencapai taraf kesempurnaan seperti apa yang telah diharapkan penyusun.
Namun, penyusun tidak berkecil hati sebab penyusun sangat menyadari segala
kesempurnaan hanyalah milik-Nya.
Makalah yang berjudul “POSTMODERNISME: SEBAGAI MODE PEMIKIRAN” ini akan membahas sejarah
lahirnya postmodernisme; postmodernisme: sebagai mode pemikiran; munculnya
kesadaran baru pemikiran Islam; postmodernisme: sebagai periode kesejarahan;
aspek-aspek peradaban postmodernisme dalam Islam.
Penyusun sangat menyadari, makalah ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan untuk menjadi konsumsi publik/masyarakat umum. Dari itu penyusun
sangat mengharapkan kritik dan saran semua pihak yang telah membaca makalah ini
agar semakin bermutunya makalah ini dan dapat menjadi konsumsi publik yang
berharga.
Akhirnya penyusun mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan kepada penyusun dalam menyelesaikan makalah ini.
Khususnya kepada Bapak Izhar Lubis, S.Pd sebagai dosen mata kuliah Sosiologi Sastra yang telah memberikan tugas ini, sehingga
mampu memotivasi dan merangsang jiwa tulis penyusun, sehingga penyusun yang
selama ini hanya tertarik menulis karangan fiksi, dengan adanya tugas ini
penyusun merasa bersugesti untuk aktif pula menggiati penulisan karya-karya
non-fiksi, sejenis makalah ini.
Andam
Dewi, Januari 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar........................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................... ......... 1
1.2 Batasan Masalah................................................................................. 1
1.3 Rumusan Masalah..................................................................... ......... 2
1.4 Tujuan Penulisan Masalah......................................................... ......... 2
BAB II KAJIAN TEORITIK..................................................................... ......... 3
2.1 Sejarah Lahirnya Postmodernisme..................................................... 3
2.2 Postmodernisme: Sebagai Mode Pemikiran....................................... 4
2.3 Munculnya Kesadaran Baru Pemikiran Islam.................................... 6
2.4 Postmodernisme: Sebagai Periode Kesejarahan................................. 12
2.5 Aspek-Aspek Peradaban Postmodernisme Dalam Islam................... 14
BAB
III KESIMPULAN
DAN SARAN..................................................... ......... 17
3.1 Kesimpulan............................................................................... ......... 17
3.2 Saran-Saran............................................................................... ......... 18
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................... ......... 19
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perjalanan sejarah umat manusia telah memasuki apa yang
disebut zaman Postmodern. Namun demikian nampaknya belum ada kesepakatan
tentang konsep Postmodern tersebut. Dalam studi Postmodernisme mengisyaratkan
adanya dua hal. Pertama, Postmodernisme dipandang sebagai keadaan
sejarah setelah zaman Modern. Dalam pengertian ini era modern telah dianggap
berakhir dan dilanjutkan dengan zaman berikutnya, yaitu Postmodern. Kedua,
Postmodernisme dianggap sebagai gerakan intelektual yang mengkritik dan
mendekonstruksi paradigma pemikiran pada zaman modern.
Sebagaimana diketahui bahwa modernisme yang sangat
mengagungkan kekuatan rasionalitas, mengusung pandangan hidup saintifik,
sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara befikir dikotomis, pragamatisme,
penafian kebenaran metafisis meskipun telah menghasilkan berbagai sains modern
dan teknologi akan tetapi telah menyisakan problem serius, yakni membawa
manusia pada absolutisme, alienasi serta cenderung represif. Oleh karenanya Postmodern
muncul sebagai gugatan atas worldview zaman modern yang bersifat absolut
dan represif ini. Postmodern membawa dan mewacanakan Pluralisme,
relativisme dan penolakan terhadap kebenaran tunggal seperti yang terjadi di
zaman modern.
1.2
Batasan
Masalah
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka penulis
pun membuat batasan masalah sebagai batasan kajian dalam makalah ini. Meskipun
batasan makalah ini dibuat, namun tidak secara mutlak batasan masalah ini
meniadakan masalah lain yang mungkin mampu menunjang tercapainya tujuan tulisan
makalah ini, hanya saja pembahasannya hanya diperuntukkan demi manunjang lebih
spesifiknya masalah dalam makalah ini. Adapun batasan masalah tersebut sebagai
berikut:
a. Menjelaskan
Sejarah Lahirnya Postmodernisme.
b. Menjelaskan
Postmodernisme: Sebagai Mode Pemikiran.
c. Menjelaskan
Munculnya Kesadaran Baru Pemikiran Islam.
d. Menjelaskan
Postmodernisme: Sebagai Periode Kesejarahan.
e. Menjelaskan
Aspek-Aspek Peradaban Postmodernisme Dalam Islam.
1.3
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini akan menjadi
sangat berguna mengungat rumusan masalah inilah yang akan menjadi landasan
pembahasan dalam makalah ini. Adapun batasan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
a. Bagaimanakah
Sejarah Lahirnya Postmodernisme?
b. Bagaimanakah
yang dikatakan dengan Postmodernisme: Sebagai Mode Pemikiran?
c. Bagaimanakah
proses Munculnya Kesadaran Baru Pemikiran Islam?
d. Bagaimanakah
yang dikatakan dengan Postmodernisme: Sebagai Periode Kesejarahan?
e. Bagaimanakah
Aspek-Aspek Peradaban Postmodernisme Dalam Islam?
1.4
Tujuan
Penulisan Masalah
a. Untuk
mengetahui sejarah lahirnya postmodernisme.
b. Untuk
mengetahui postmodernisme merupakan mode pemikiran.
c. Untuk
mengetahui tentang munculnya kesadaran baru pemikiran Islam.
d. Untuk
mengetahui Postmodernisme merupakan periode kesejarahan.
e. Untuk
mengetahui aspek-aspek peradaban postmodernisme dalam Islam.
BAB II
KAJIAN TEORITIK
2.1
Sejarah
Lahirnya Postmodernisme
Postmodernisme berasal dari kata post dan modern.
“Post” atau” pasca” secara literal mengandung arti sesudah, jadi istilah
Postmodernisme berarti era pasca modern berupa gugatan kepada modernisme.
Berkaitan dengan definisi Postmodernisme itu sendiri, belum ada rumusan yang
baku sampai saat ini, karena Postmodernisme sebagai wacana pemikiran masih
terus berkembang sebagai reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad
19.
Istilah postmodernisme digunakan dalam berbagai arti, dan
tidak mudah untuk membuat dan merumuskan satu definisi yang dapat mencakup atau
menjangkau semua dimensi arti yang dikandungnya. Istilah postmodernsme
pertama kali muncul sebelum tahun 1926, yakni tahun 1870 an oleh seniman
Inggris bernama John Watkins. Ada juga yang menyatakan bahwa istilah
Postmodernisme telah dibuat pada akhir tahun 1040 oleh sejarawan Inggris,
Arnold Toynbee. Akan tetapi istilah tersebut baru digunakan pada pertengahan
1970 oleh kritikus seni asal Amerika, Charles Jenck untuk menjelaskan gerakan
anti modernisme.
Istilah postmdernisme pertama-tama dipakai dalam seni
arsitektur. Diantara ciri utama arsitektur modern adalah gedung-gedung tinggi
menjulang yang sangat teratur tanpa banyak variasi. Dari seni arsitektur,
istilah postmodernisme dipakai juga untuk bidang teori sastra, teori sosial,
gaya hidup, filsafat, bahkan juga agama.
Dalam kajian postmodernisme mengisyaratkan pada dua hal.
Pertama. postmodernisme dipandang sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern.
Dalam hal ini modernisme dipandang telah mengalami proses akhir yang akan
digantikan dengan zaman berikutnya, yaitu postmodern. Kedua, postmodern
dianggap sebagai gerakan intelektual (intellectual
movmen) yang mencoba menggugat, bahkan mendekonstruksi pemikiran
sebelumnya yang berkembang dalam bingkai paradigma pemikiran modern dengan
pilar utamanya kekuatan rasionalitas manusia, hal ini ingin digugat karena
telah menjebak manusia kepada absolutisme dan cenderung represif, yang keduanya
akan kami bahas dalam bab-bab selanjutnya.
Adapun inti pokok alur pemikiran Postmodernisme adalah menentang
segala hal yang berbau kemutlakan, baku, menolak dan menghindari suatu
sistematika uraian atau pemecahan persoalan yang sederhana dan skematis, serta
memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari berbagai aneka ragam sumber.
2.2
Postmodernisme:
Sebagai Mode Pemikiran
Dalam upaya pemetaan wilayah postmodernisme, menurut Amin
Abdullah ada tiga fenomena dasar yang menjadi tulang pungung arus
pemikiran postmodernisme yang ia istilahkan dengan ciri-ciri strukur
fundamental pemikiran postmodernisme, yaitu:
1.
Dekonstruktifisme
Hampir semua bangunan atau konstruksi dasar keilmuan yang
telah mapan dalam era modern, baik dalam bidang sosiologi, psikologi,
antropologi, sejarah, bahkan juga dalam ilmu-ilmu kealaman yang selama ini
dianggap baku – yang biasa disebut dengan grand
theory – ternyata dipertanyakan ulang oleh alur pemikiran Postmodernisme.
Hal itu terjadi karena grand theory
tersebut dianggap terlalu skematis dan terlalu menyederhanakan persoalan yang
sesungguhnya serta dianggap menutup munculnya teori-teori lain yang barangkali
jauh lebih dapat membantu memahami realitas dan pemecahan masalah. Jadi
klaim adanya teori-teory yang baku, standar, yang tidak dapat diganggu gugat,
itulah yang ditentang oleh para pemikir postmodernisme.
Para protagonis pemikiran postmodernisme tidak meyakini
validitas “konstruksi” bangunan keilmuan yang “baku”, yang “standar” yang telah
disusun oleh genarasi modernis. Standar itu dilihatnya terlalu kaku dan
terlalu skematis sehingga tidak cocok untuk melihat realitas yang jauh lebih
rumit. Dalam teori sosiologi modern, para ilmuan cenderung untuk melihat
gejala keagamaan sebagai wilayah pengalaman yang amat sangat bersifat individu.
Pengalaman keagamaan itu tidak terkait dan harus dipisahkan dari kenyataan yang
hidup dalam realitas social yang ada.
Era postmodernisme ingin melihat suatu fenomena social,
fenomena keberagamaan, realitas fisika apa adanya, tanpa harus terkurung oleh
anggapan dasar atau teori baku dan standar yang diciptakan pada masa
modernisme. Maka konstruksi bangunan atau bangunan keilmuan yang telah
dibangun susah payah oleh generasi modernisme ingin diubah, diperbaiki, dan
disempurnakan oleh para pemikir postmodernis. dalam istilah Amin Abdullah
dikenal dengan “deconstructionism” yakni upaya mempertanyakan ulang teori-teori
yang sudah mapan yang telah dibangun oleh pola pikir modernisme, untuk kemudian
dicari dan disusun teori yang lebih relevan dalam memahami kenyataan
masyarakat, realitas keberagamaan, dan realitas alam yang berkembang saat ini.
2.
Relativisme
Thomas S. Kuhn adalah salah seorang pemikir yang mendobrak
keyakinan para ilmuan yang bersifat positivistik. Pemikiran positivisme
memang lebih menggarisbawahi validitas hukum-hukum alam dan sosial yang
bersifat universal yang dibangun oleh rasio.
Manifestasi pemikiran postmodernisme dalam hal realitas
budaya (nilai-nilai, kepercayaan agama, tradisi, budaya dan lainnya) tergambar
dalam teori-teori yang dikembangkan oleh disiplin antropologi. Dalam pandangan
antropolog, tidak ada budaya yang sama dan sebangun antara satu dengan yang
lain. Seperti budaya Amerika jelas berbeda dengan budaya Indonesia. Maka
nilai-nilai budaya jelas sangat beraneka ragam sesuai dengan latarbelakang
sejarah, geografis, demografis dan lain sebagainya. Dari sinilah nampak, bahwa nilai-nilai
budaya bersifat relatif, dalam arti antara satu budaya dengan budaya yang lain
tidak dapat disamakan seperti hitungan matematis. Dan hal ini sesuai dengan
alur pemikiran postmdernisme yaitu bahwa wilayah budaya, bahasa, cara berpikir
dan agama sangat ditentukan oleh tata nilai dan adat kebiasaan masing-masing.
Dari sinilah nampak jelas, bahwa para pemikir Postmodernisme
menganggap bahwa segala sesuatu itu sifatnya relative dan tidak boleh absolut,
karna harus mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada. Namun konsepsi
relativisme ini ditentang oleh Seyyed Hoessein Nasr, seorang pemikir kontempor.
Baginya tidak ada relativisme yang absolut lantaran hal itu akan menghilangkan
normativitas ajaran agama. Tetapi juga tidak ada pengertian absolut yang benar-benar
absolut, selagi nilai-nilai yang absolut itu dikurung oleh historisitas
keanusiaan itu sendiri.
3.
Pluralisme
Akumulasi dari ciri pemikiran postmodernisme yaitu pluralisme.
Era pluralisme sebenarnya sudah diketahui oleh banyak bangsa sejak dahulu kala,
namun gambaran era pluralisme saat itu belum dipahami sepeti era sekarang, Hasil
teknologi modern dalam bidang transportasi dan komunikasi menjadikan era
pluralisme budaya dan agam telah semakin dihayati dan dipahami oleh
banyak orang dimanapun mereka berada.
Adanya pluralitas budaya, agama, keluarga, ras, ekonomi, sosial,
suku, pendidikan, ilmu pengetahuan, militer, bangsa, negara, dan politik
merupakan sebuah realitas. Dan berkaitan dengan paradigma tunggal seperti
yang dikedepankan oleh pendekatan kebudayaan barat modernis, develop, mentalis,
baik dalam segi keilmuan, maupun lainnya telah dipertanyakan keabsahannya oleh
pemangku budaya-budaya di luar budaya modern. Maka dalam konteks keindonesiaan
khususnya, dari ketiga ciri pemikiran postmodernisme, nampaknya fenomena
pluralisme lebih dapat diresapi oleh sebagian besar masyarakat.
2.3
Munculnya
Kesadaran Baru Pemikiran Islam
Di tengah arus global Postmodernisme, di mana agama dituntut
untuk mampu menjawab tantangan zaman maka pemikiran rasionalisme menjadi
keharusan sejarah (historical necessity) dalam mendekonstruksi – salah
satu ciri postmodernisme – kembali wacana agama, pada setiap wilayah kajian
keagamaan.
1.
Dekonstruksi
Pembacaan Terhadap Teks dari Transmisi menuju Kreasi
Teks adalah kodifikasi semangat zaman dari baik pengalaman
pribadi dan kolektif dalam berbagai situasi tertentu. Tujuan dalam
mengkodifikasi sejarah adalah mewariskan pengalaman-pengalaman setiap generasi
kepada generasi-generasi selanjutnya, demi mengkontinukan kekuatannya atau
paling tidak demi membimbing dan mengorientasikannya menuju masa depan.
Dalam tradisi Islam, sejak awal diyakini bahwa teks itu
tidak hanya terbatas pada kitab suci Al-Quran. Juga alam raya adalah teks,
bahkan perilaku (tradisi) kenabian itu sendiri juga merupakan teks yang
kesemuanya menyimpan dan hendak mengkomunikasikan makna dan pesan yang
dikandungnya. Terdapat korelasi yang dialogis antara subjek (seorang muslim),
teks Al Quran, tradisi kenabian, dan realitas alam raya dengan huku-hukumnya.
Sejak pertama kali Al Qur’an diwahyukan, ia sudah melakukan dekonstruksi
radikal terhadap epistemologi serta syair-syair jahiliyyah waktu itu. Ayat
pertama yang diturunkan bunyinya adalah: “Bacalah! Bacalah atas nama Tuhanmu
apa-apa yang telah Dia ciptakan” (Q.S.96:1) jadi,sejak pertama umat Islam sudah
ditantang untuk membaca teks berupa alam raya. Alam itu sendiri artinya “tanda”
yang menunjuk kepada realitas di luarnya. Kemudian Al Quran memperkenalkan
“ada” (being) yang mendasari “semua
yang ada” (beings) dengan berbagai
cara yang bersifat dialogis dan relasional, bukannya definitive positivistik.
Kita perlu melakukan dekonstruksi terhadap teks dikarenakan
beberapa alas an dibawah ini:
Pertama
kitab suci sebagai firman Tuhan diturunkan dalam penggalan ruang dan waktu,
sementara manusia yang menjadi sasaran atau “pemakai jasa” senantiasa
berkembang terus dalam membangun peradabannya. Dengan warisan kulminasi
peradaban yang turun temurun masyarakat modern bias berkembang tanpa rujukan
kitab suci sehingga posisi kitab suci bias saja semakin assign meskipun secara
substansial dan tanpa disadari berbagai ajarannya dilaksanakan oleh masyarakat.
Kedua bahasa
apapun juga, termasuk bahasa kitab suci, memiliki keterbatasan yang bersifat
lokal karena bahasa adalah realitas budaya. Sementara itu pesan dan kebenaran
agama yang termuat dalam bahasa lokal tadi mempunyai klaim universal. Disini
sebuah bahasa agama akan diuji kecanggihannya untuk menyimpan pesan agama tanpa
harus terjadi anomali atau terbelenggu oleh kendaraan bahasa yang digunakannya.
Ketiga ketika
bahasa agama “disakralkan”, maka akan muncul beberapa kemungkinan. Biasa jadi
pesan agama terpelihara secara kokoh, tetapi bias juga justru makna dan pesan
agama yang fundamental malah terkurung oleh teks yang telah disakralkan tadi.
Keempat kitab
suci – disamping kodifikasi hukum Tuhan – adalah sebuah “rekaman” dialog Tuhan
dengan sejarah Diana kehadiran Tuhan diwakili oleh RasulNya. Ketika dialog tadi
dinotulasi, maka amat mungkin telah terjadi reduksi dan pemiskinan nuansa
sehingga dialog Tuhan dengan manusia tadi menjadi kehilangan “ruh”-nya ketika
setelah ratusan tahun kemudian hanya berupa teks.
Kelima ketika
masyarakat dihadapkan pada krisis epistemology, kembali pada teks Kitab suci
yang disakralkan tadi akan lebih menenangkan ketimbang mengambil faham
dekonstruksi yang mengarah pada relativisme-nihilisme.
Keenam semakin
otonom dan berkembang pemikiaran manusia, maka semakin otonom manusia untuk
mengikuti atau menolak ajaran agama dan kitab sucinya. Lebih dari itu, ketika
orang membaca teks kitb suc,bisa jadi yang sesungguhnya terjadi adalah sebuah
proses dialog kritis antara dua subyek. Dengan demikian,orang bukannya
menafsirkan dan minta fatwa pda kitab suci sebagai teman dialog yang bebas dari
dominasi.
Oleh karena itu ketika membaca teks, seorang pembaca
tidaklah pergi menuju sejarah teks-teks sejak awal dibukukan untuk memahami
makna-makna historisnya dan perkembangan kata-kata yang membutuhkan
berhari-hari bahkan bertahun-tahun berkutat dalam berbagai rujukan, referensi
induk, kamus bahasa, serta ensiklopedia. Akan tetapi membaca teks adalah proses
memahami makna yang digunakan sebagai argmen sesuai dengan semangat zaman. Teks
dalam pengertian ini tidak memiliki faktor-faktor permanen, akan tetapi adalah
kumpulan faktor yang berubah, dimana setiap zaman membaca dirinya karena
zamanlah yang menafsirkan teks dalam pembacaan. Ketika zaman-zaman berubah maka
pembacaan terhadap teks pun berubah sesuai dengan tuntutan perubahan. Oleh
karena itu teks bukanlah dokumen yang layak untuk ditimbun karena
ke-kuno-annya, akan tetapi ia adalah realitas yang hidup dalam keadaan diam
yang akan bangkit melalui pembacaan sehingga hidup kembali dalam berbagai
bentuk yang menarik.
2.
Dekonstruksi
Terhadap Barat: Upaya Pembebasan Diri Demi Berkreasi
Pada era posmodernisme narasi-narasi besar mulai dikritik
orang dan sekarang narasi kecil semakin memperoleh perhatian. Implikasi trend
ini di dalam dunia antropologi sangat terasa. Dimana Barat mulai sadar dan
memperhatikan adanya ”the other world” yang memiliki eksistensi dan hak hidup
sebagaimana “dunia barat”. Tren ini sekaligus merupakan kritik terhadap
arogansi Barat yang menganggap mereka sebagai wakil dari dunia yang paling
beradap, paling demokratis, dan paling digdaya sehingga merka merasa berhak
menjadi pemimpin dan polisi dunia.
Klaim-klaim semacam ini mempunyai alasan tersendiri,
walaupun pada tataran operasional mereka sering melanggar dan merusak
prinsip-prinsip yang telah mereka bangun sendiri. Dan pada akhirnya sikap
seperti ini akan menyudutkan posisi mereka sendiri dimata Negara-negara lain,
terutama bagi Negara yang memiliki faham agama, ideologi dan kebudayaan yang
berbeda.
Oleh karena itu Hassan Hanafi merupakan salah satu dari
sekian banyak intelektual Muslim telah memulai untuk melakukan pengawalan
terhadap kesadaran peradaban umat Islam yang selama ini sedikit banyak masih
dibawah pengaruh Barat. Perhatian terhadap peradaban Islam itu ia buktikan
melalui bukunya Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat yang merupakan
wajah lain dan tandingan Orientalisme. Dimana orientalisme melihat ego (Timur)
melalui the other, maka Oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah
yang mendua antara ego dengan the other, dan dialektika antara
kompleksitas inferioritas pada ego dengan kompleksitas superioritas.
Dengan bahasa yang lebih sederhana Orientalisme lama adalah pandangan ego eropa
terhadap the other non eropa; subyek pengkaji muncullah kompleksitas
superioritas dalam ego eropa, sedangkan akibat posisinya sebagai obyek yang
dikaji juga mengakibatkan munculnya kompleksitas inferioritas dalam diri the
other non eropa.
Sedangkan dengan adanya kajian tentang Oksidentalisme telah
menyeimbangkan peran yang selama ini berlaku, dimana ego eropa yang
kemarin berperan sebagai pengkaji, kini berubah arah menjadi obyek yang dikaji.
Sedangkan the other non eropa yang kemarin menjadi objek yang dikaji,
kini berperan sebagai subyek pengkaji. Oleh karena itu adanya kajian tentang
Oksidentalisme ini sebagai upaya untuk menumbangkan superioritas Barat dalam
bidang bahasa, kebudayaan, ilmu pengetahuan, madzhab, teori, dan pendapat.
Teugas lain dari Oksidentalisme di sini adalah mengembalikan keseimbangan
kebudayaan umat manusia, memperbaiki keseimbangan yang selama ini hanya
menguntungkan kesadaran eropa dan merugikan kesadaran non eropa.
Meskipun demikian, dengan sikap rendah hati, Hassan HAnafi
menyatakan bahwa Oksidentalisme sesungguhnya bukan merupakan lawan dari
Orientalisme, melainkan hanya sebuah hubungan dialektis yang salaing mengisi dan
melakukan kritik antara yang satu dengan yang lain sehingga terhindar dari
relasi hegemonik dan dominatif dari dunia barat atas timur.
Menurut Hassan Hanafi, jika Oksidentalisme telah selesai
dibangun dan dipelajari oleh para peneliti dari berbagai generasi, lalu menjadi
arus utama pemikiran di Negara kita serta memberikan andil dalam membentuk
kebudayaan tanah air, maka akan terdapat hasil-hasil pokok sebagaimana di bawah
ini:
a. Kontrol atau pembendungan atas
kesadaran Eropa dari awal sampai akhir. Dengan demikian terror kesadaran eropa
akan berkurang, sebab kesadaran Eropa kini bukan lagi menjadi pihak yang
berkuasa.
b. Mempelajari kesadaran Eropa dalam
kapasitas sebagai sejarah bukan sebagai kesadaran yang berada di luar sejarah.
c. Mengembalikan barat ke batas
alamuahnya, mengakhiri perang kebudayaan, menghentikan ekspansi tanpa batas,
mengembalikan filsafat Eropa kelingkungan di mana ia dilahirkan, sehingga
partikulasi barat akan terlihat.
d. Menghapus mitos “kebudayaan
kosmopolit”; menemukan spesifikasi bangsa di seluruh dunia, dan bahwa setiap
bangsa memiliki tipe peradaban serta kesadaran tersendiri.
e. Membuka jalan bagi terciptanaya
inovasi bangsa non Eropa dan membebaskannnya dari “akal” Eropa yang menghalangi
nuraninya.
f. Dengan Oksidentalisme, manusia akan
mengalami era baru di mana tidak ada lagi penyakit rasialime terprndan seperti
yang terjadi selama pembentukan kesadaran Eropa yang akhirnya menjadi bagian
dari strukturnya.
Dari semua penjelasan di atas dapat kita ambil kesimpulan
bahwa Oksidentalisme ini diharapkan posisi Timur yang selama ini menjadi obyek
kajian Barat bisa berubah bentuk relasinya menjadi sebuah titik keseimbangan
antara Barat dan Timur. Selain itu, yang ingin diwujudkan oleh Hassan Hanafi
adalah mendobrak dan mengakhiri mitos Barat yang selama ini memegang supremasi
dunia.
2. Dekonstruksi Hukum Islam
Pada pertengahan 1980-an, Prof. Dr. Muanawir Sjadzali, MA.
Melemparkan gagasan reaktualisasi ajaran Islam. Salah satugagasan beliau adalah
tentang perlunya pemikiran ulang mengeni pembagian harta waris yang selama ini
menggunakan hukum lama dalam pelaksanaannya.Terlepas setuju atau tidak dengan
gagasan pembaruan itu, pak munawir telah ikut merangsang dan mendorong umat
Islam khususnya di Indonesia untuk mebicarakan kembai aspek tertentu hukum
Islam sehingga tetap relevan digunakan dalam setiap masa. Berangkat dari
penulis beranggapan, bahwa masalah hukum Islam akan selalu menjadi
perbincangan, perdebatan, dan pembahasan yang tidak akan pernah berakhir,
karena problematika social akan terus berkembang seiring dengan laju dan
semangat zaman.
Pada dasarnya para ulam membagi hukum menjadi dua macam,
yaitu hukum syari’at yang bersumber dari nash agama yaitu al-Qur’an dan Hadis
yang sifatnya mengikat dan tidak berubah. Hanya sja dalam melaksanakannya Allah
selalu meberikan kemudahan dan keringanan disaat menemukan kesulitan. Allah
berfiiran (Al-Baqarah, 2:185). Sedangkan hukum fikih dalah hasil ijtihad dari
para mujahid. Ijtihad di sini akan menghasilkan hukum yang berbed karena setiap
mujahid bisa jadi mempunyai pandangan yang berbeda dengan yang lain sesuai
dengan tingkatan intelektual, lingkungan, serta latar belakang pemikirannya.
Oleh karena itu hukum fikih adalah produk pemikiran manusia yang tidak
berrsifat “sakral” (bisa berubah) dan kebenarannya terikat oleh waktu.
Oleh Karena itu,dalam suatu masalah terkadang terjadi
perbedaan pendapat dalam penerapan hukumnya, misalnya masalah hukum potong
tangan sebagai akibat perbuatan mengambil harta orang lain secara diam-diam
dengan maksud untuk memiliki serta tidak adanya paksaan. Dalam kaitannya dengan
masalah potong tangan di atas ulama tradisional serta modern dihadapkan dengan
realitas zaman yang berbeda sehingga dalam penerapannya tidak berada dalam satu
warna.
Menurut hemat penulis perbedaan pendapat di atas lahir
karena perrbedaan pemahaman teks nash serta tuntutan untuk bisa menyesuaikan
dengan kondisi lingkungan yang ada, sehingga dalam kerangka Postmodernisme
perlu diupayakan untuk melakukan dekonstruksi hukum islam yang sudah tidak
relevan dengan semangat zaman melalui pemahaman kontekstual terhadap nash-nash
yang ada ssuai dengan realitas masyarakat. Sehingga akhirnya muncul cendekiawan
muslim kontemporer seperti Fazlurrahman yang dalam kasus pencurian perlu
diterapkan teori gradasi. Artinya, pencuri yang baru pertama kali mencuri tidak
harus dipotongtangan, melainkan hukum ta’zir. Sementara Muhammad Syahrur,
memahami hukuman potong tangan daam al-Qur’an sebagai hukum yang tertinggi .
artinya kita boleh berijtihad mengurangi hukuman tersebut dan tidak boleh
melebihi ketentuan hukum yang ada dalam al-Qur’an.
Sebagai catatan akhir, pembaruan hukum Islam mutlak
diperlukan. Pendekatan-pendekatan model apa pun dalam
mengimple-mentasikannya berhak untuk diketengahkan, kemudian dibahas serta
diuji kelayakannya. Untuk itu jika dekonstruksi hukum Islam merupkan
sebuah keniscayaan maka tentu tidak pada tempatnya kalau ia hanya diserahkan
kepada Fazlurrahman ataupun Muhammad Syahrur, karena dalam hal ini semua
kalangan bisa ambil bagian asalkan pendapatnya sesuai dengan proporsinya dan
bisa dipertanggung jawabkan.
2.4
Postmodernisme:
Sebagai Periode Kesejarahan
a. Ciri
Postmodernisme
Dalam analisa sosio-historis, kaitan antara Postmodernisme
dan Islam sampai sejauh ini sedikit sekali mendapat perhatian. Diantara yang
sedikit itu adalah karya Akbar S. Ahmed Postmodernisme bahaya dan Harapan
Bagi Islam. Dalam analisanya terdapat cirri-ciri Postmodernisme yang sangat
menonjol, diantaranya sebagai berikut:
1. Berusaha memahami era posmodernis
berarti mengasumsikan pertanyaan tentang, hilangnya kepercayaan pada proyek
modernitas; memudarnya kepercayaan keapada agama yang bersifat transenden dan
semakin diterimanya semangat pluralism.
2. Meledaknya industri media massa,
dimana kekuatan media massa menjelma bagaikan “agama”, dalam artian perilaku
orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, dan tanpa disadari
telah diatur oleh media massa, seperti televisi dan sinema yang menjadi
instrument kut dakam memproyeksikan kultur dominant dari peradaban global.
3. Munculnya radikalisme etnis dan
keagamaan yang diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin
semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafatyang dinilai
gagal memenuhi janjinyauntuk mebebaskan manusia.
4. Munculnya kecenderungan baru untuk
menemukan identitas dan apresiasi serta ketertarikan romantisme dengan masa
lalu.
5. Semakin menguatnya wilayah perkotaan
sebagai sentral kebudayaan
6. Semakin terbukanya peluang bagi
kelas-kelas untuk mengemukakan pendapat dengan bebas, karena demokrasi adalah
syarat mutlak bagi perkembangan era posmodernisme
7. Semakin terbukanya peluangakan
berkembangnya eklektisme dan percampuran berbagai wacana.
8. Ide tentang bahasa sederhana
terkadang terlewatkan oleh ahli posmodernis, meskipun mereka mengklaim dapat
menjangkaunya.
b. Kaum
Muslim Memasuki Fase Sejarah Postmodernisme
Untuk mendapatkan penjelasan tentang apa yang sedang terjadi
dalam masyarakat muslim, kita perlu menganalisis posmodernisme sebagai ilmu
sosial. Sebagai langkah awal kita lihat apakah trend posmodernisme telah
empengaruhi pemikiran muslim kontemporer. Terlepas dari membanjirnya literatur
di barat-tentang seni, arsitektur, sastra- posmodernisme belum cukup berkesan
di mata kaum muslim.
Lalu apa makna Postmodernisme bagi umat Islam? Adakah perbedaan
antara posmodernisme dengan modernisme? Atau jangan-jangan Postmodernisme – secara
esensial – merupakan bentuk lain dari modernisme? Untuk menjawab beberapa
pertanyaan di atas kita harus memperjelas apa yang dimaksudkan dengan
modernisme menurut kacamata umat Islam.
Bagi umat Islam, modernisme adalah salah satu fase sejarah
yang ditandai dengan maraknya aktivitas mulai dari maraknya pemikiran Islam
hingga tindakan politik, dari arsitektur hingga mode berpakaian. Fase modernis
Muslim pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh kolonialisme Eropa, sehingga dalam
beberapa hal umat Islam banyak unsur kesamaannya dengan Negara Eropa. Oleh
Karena itu jika fase modern berarti mengejar pendidikan Barat, tekhnologi dan
industrialisai pada fase pertama periode pasca colonial, maka postmodern bias
diartikan sebagai upaya kembali kepada nilai-nilai tradisional Muslim dan
menolak modernisme yang nantinya akan mebangkitkan rospon kaum muslim dalam
segala bidang, termasuk politik, arsitektur, serta mode pakaian. Oleh karena
itu Postmodernisme dalam dunia islam mempunyai arti peralihan menuju identitas
Islam yang sejati yang bertentangan dengan identitas Barat.
Berbagai respon diberikan masyarakat muslim terhadap
posmodernisme ini. Jika Postmodernisme dipandang semata-mata sebagai bentuk
respon dan jawaban terhadap kekurangan-kekurangan dan kelemahan modernisme,
maka kita dapat melihat kembali bentuk-bentuk respon masyarakat muslim terhadap
modernisme. Karena baik disadari atau tidak, respon masyarakat terhadap
modernisme sebenarnya merupakan refleksi, apresiasi dan respon masyarakat
muslim terhadap munculnya posmodernisme. Di antara respon masyarakat muslim
tersebut adalah:
a. Ada yang mengingkari seluruh
nilai-nilai modernitas dan melihatnya sebagai akar penyebab munculnya problem
modern
b. Ada yang melihatnya sebagai sebuah
berkah
c. Ada yang melakukan kritik dan
memodifikasi modernisme
Sikap-sikap seperti ini ada pada masyarakat muslim
pascamodern atau postmodern. Maka logika dialektikanya, bahwa respon masyarakat
muslim terhadap postmodernisme adalah:
a. Ada yang menerima secara utuh
posmodernisme dalam Islam sebagai jawaban terhadap problem-problem modern
b. Ada yang masih terkagum-kagum
terhadap modernisme sehingga tidak peduli dengan wacana posmodernisme.
c. Mayoritas di antara umat muslim
tetap dalam bentuknya yang tradisional
d. Yang paling banyak di antara mereka
adalah tidak tahu wacana postmodernisme sama sekali sehingga tidak memberikan
respon apa-apa, kendatipun kadang-kadang tanpa disadari pola pemikira maupun
tindakan mereka mengarah pada pola posmodernisme.
2.5
Aspek-Aspek
Peradaban Postmodernisme Dalam Islam
a. Dalam Bidang
Pendidikan
Ditandai dengan adanya pergeseran paradigma dalam memandang
ilmu pengetahuan, dari pemisahan keilmuan agama dengan keilmuan umum kepada
paradigma integralistik, yaitu penyatuan antara dua kelompok besar ilmu
tersebut. Hal ini karena dinilai bahwa pemisahan antar keduanya telah
menyebabkan pada kehidupa yang tidak seimbang. Mereka yang mengenyam pendidikan
umum akan terasa jauh dari agama sehingga merasa kekeringan spiritualitasnya.
Pergeseran nilai juga terjadi akibat berkembang pesatnya ilmu dan tehnologi
yang tidak berwawasan manusiawi. Pemaknaan hiduppun menjadi tidak lagi
pengabdian suci untuk menata kehidupan berkebudayaan secara harmonis, melainkan
sudah mengukuhkan suatu tatanan hukum rimba. Nilai-nilai cinta kasih telah
bergeser pada individualistik.
Oleh karenanya, dalam transformasi nilai yang amat krusial
itu, orientasi pendidikan memegang peranan penting sebagai suatu harapan untuk meluruskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pranata sosial sehingga diperlukan
konsep pendidikn yang memberika gambaran dalam upaya memanusiakan manusia
dengan menekankan harmonisasi hubungan, baik dengan sesama maupun dengan
lingkungan alam yang ditopang oleh nilai-nilai normatif ilahiyah.
b. Dalam
Bidang Teknologi Informasi
Sebagaimana dinyatakan Akbar S. Ahmad, bahwa ciri sosiologis
peradaban posmodernisme adalah dengan mendominasinya media massa. Dalam
realitas kehidupan, hal ini bisa dilihat dengan sangat nyata. Dalam kehidupan
muslim, hal ini dapat dilihat seperti semakin luasnya media dakwah. Dakwah
tidak lagi hanya dengan pengajian-pengajian akan tetapi melalui telavisi,
radio, internet, telephone celluler, majalah, buku, dan berbagai media baik
elektronik maupun cetak yang lain. Bagaimana pentingnya media massa ini juga
telah turut mengilhami umat Muslim untuk mendirika stasiun televisi maupun
radio, memiliki penerbitan dan percetakan. Hal ini terlihat dengan mulai
munculnya stasiun televisi maupun radio yang Islam oriented. Pada
umumnya ini didirikan oleh lembaga-lembaga pendidikan.
Demikianlah karakteristik masyarakat posmodern, sebagaimana
dinyatakan Jalaluddin Rahmat bahwa masyarakan yang akan datang adalah
masyarakat yang ditandai dengan dominasi teknologi komunikasi. Sebagaimana alam
pada zaman pertanian, modal pada zaman industri, maka informasi adalah kekayaan
dan kekuasaan pada zaman pascamoderndalam masyarakat.
c. Dalam Bidang
Arsitektur
Dinyatakan oleh Andy Siswanto, bahwa kecenderungan
arsitektur posmodernisme adalah bersifat naratif, simbolisme dan fantasi. Masa
lalu bisa ditulis kembali sebagai fiksi. Ide regionalisme berkembang pada zaman
posmodernisme, terlebih di dunia ketiga seperti Indonesia. Konsep ini sering
diromantisir dan dipolitisir dalam semangat nasionalisme. Bahkan bisa dipadukan
dalam kerangka “eksotisme atau orientalisme”. Pandangan ide ini adalah bahwa
arsitektur tradisional, baik yang adiluhung maupun yang merakyat dipercaya
mampu merepresentasikan sosok arsitektur yang sudah terbukti ideal: sebuah
harmoni yang lengkap dari “bentuk jadi, budaya, tempat dan iklim”. Oleh
karenanya, misi gerakan ini adalah mengembalikan kelangsungan rangkaian
arsitektur masa kini dengan kekhasan arsitektur masa lampau yang ada pada suatu
wilayah budaya tertentu dengan mencoba mengimbangi perusakan budaya setempat
oleh kombinasi kekuatan sistem produksi baik rasionalisasi, birokrasi,
pengembangan skala besar maupun oleh gaya internasional.
Beberapa bangunan di Indonesia dinilai memiliki mazhab
sendiri –bercitra arsitektur tropis tradisional yang non purisme, adanya dialog
antara elitisme dan populisme dan berwawasan ekologis. Dari segi perancangan
bersifat hibrid, eklektik dan liberal, seni ornamentasi dan simbolisme. Dan
demikianlah bangunan-bangunan yang terlihat sekarang, seperti pada
masjid-masjid yang baru, bangunan UIN Sunan Kalijaga, pusat-pusat perbelanjaan
yang baru dan sebagainya.
d. Dalam Bidang
Seni Islam
Tradisi yang secara sadar mengikat spritualitas dengan seni
terus berjalan di kalangan muslim. Seni bertindak sebagai jembatan yang membawa
inspirasi, trend, gaya dan ide-ide di antara kultur Islam. Selama beberapa
periode di negara-negara muslim seni dihambat dan sulit mencari pelindung.
Karena itu, ekspresi seni di negara Muslm diaprisiasi secara steril.
Bakat-bakat seni muslim kontemporer telah menemukan ekspresinya. Salah satu
buktinya bayaknya seni film yang disutradari oleh seniman muslim, antara lain
kontribusi muslim dalam sinema India yang memiliki industri perfilman terbesar
di dunia.
***
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Dari data yang telah diungkapkan diatas, bisa ditarik
kesimpulan bahwa:
1. Gambaran tentang Postmodernise jika
dipahami sebagai mode pemikiran, maka akan ditemukan adanya karakteristik yang
diantaranya:
a.
Dekonstruktif
b.
Relativisme
c.
Pluralisme
2. Gambaran peradaban postmodernisme
dalam Islam jika dipahami sebagai mode pemikiran adalah:
a.
Adanya
pemikiran dekonstruksi terhadap pembacaan teks agama
b.
Adanya
wacana dekonstruktif terhadap pemahaman akan peradaban Barat yang diwujudkan
sebagai kajian Oksidentalisme
c.
Adanya
Dekonstruksi dalam hukum Islam
3. Gambaran peradaban
postmodernisme dalam Islam jika dipahami sebagai periode kesejarahan, maka akan
ditemukan adanya karakteristik yang di antaranya:
a.
Timbulnya
sikap kritis terhadap proyek modernitas
b.
Meledaknya
industri media massa.
c.
Munculnya
radikaisme etnis dan keagamaan sebagai reaksi terhadap kegagalan proyek
modernitas.
d.
Munculnya
kecenderungan baru untuk menemukan identitas baru.
e.
semakin
menguatnya wilayah perkotaan sebagai sentral kebudayaan
f.
semakin
terbukanya pintu demokrasi
Dengan aspek-aspek peradaban :
a.
Dalam
aspek pendidikan dan ilmu pengetahuan adalah adanya pergeseran paradigma dari
yang memisahkan ilmu umum dengan ilmu agama kepada integrasi antar keduanya.
b.
Dalam
aspek teknologi dan Informasi, mulai banyaknya media masa-media massa yang
dimiliki oleh umat muslim, baik yang elektronik maupun yang cetak.
c.
Dalam
bidang arsitektur berkembangnya arsitektur yang berpaham regional, yaitu
memadukan khazanah klasik dengan arsitektur modern, seperti bangunan UIN Sunan
Kalijaga.
d.
Dalam
bidang Seni, mulai banyaknya seni muslim yang bermunculan dan mengembangkan
berbagai aliran musik dengan bernafaskan Islam.
3.2
Saran-Saran
Sebagai akhir dari makalah ini, penulis ingin menyampaikan
beberapa saran sebagai refleksasi dari apa yang penulis tulis dalam makalah
ini, karena tentunya banyak yang kurang tepat dalam makalah ini, namun semuanya
akan memberikan kenyataan bahwa penulis masih membutuhkan banyak saran. Saran
berikut ini hanya memberikan perbandingan pemahaman pembaca terhadap pemahaman
penulis sendiri.
Adapun saran tersebut adalah sebagai berikut:
a. Dalam dunia postmodern yang telah
menyentuh seluruh segi kehidupan masyarakat, agaknya akan lebih baik jika
postmodern itu diperkenalkan mulai dari awal, sehingga pemahaman siswa terhadap
postmodern lebih lengkap dan bukan sekilas saja.
b. Postmodern juga telah menyentuh
dunia pendidikan yang tidak terelakkan. Dari situ kita harus bisa mengambil sisi
positif dari dampak merambahnya postmodern ke dunia pendidikan dan
menyingkirkan sisi negatif yang ditimbulkanya.
***
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
Ahmed, Akbar S., Postmodernisme: Bahaya dan Harapan
bagi Islam terj. M. Sirozi, Bandung: Mizan, 1993
Arifin, Syamsul, et.all. Spiritualisasi Islam dan
Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: SIPRESS, 1996.
Hanafi,
Hassan, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, Jakarta:
Paramadina, 2000.
Hidayat,
Komarudin, “Melampaui Nama-nama; Islam dan Postmodernisme”, Kalam,
Jurnal Kebudayaan edisi 1 (1994).
Munajat Makhrus,
Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.
Kamal,
Zainul, Islam Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam
Kontemporer, Kumpulan Karangan, Jakarta: Paramadina, 2005.
Nata,
Abuddin , Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002.
Nazir,
Muhammad, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.
Rahmat,
Jalaluddin. Islam Aktual: Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan Muslim.
Bandung: Mizan, 1998
Suyoto
dkk. Postmodernisme dan Masa depan Peradapan, Yogjakarta: Penerbit
Aditya Media, 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar