KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat untuk menyelesaikan makalah
ini, tentunya penulis memiliki keterbatasan yang menyebabkan makalah ini tidak
sesempurna yang diharapkan.
Makalah yang berjudul “POSTMODERNISME
DAN GEREJA” ini akan membahas tentang
latar belakang munculnya postmodernisme, hubungan postmodern dan gereja, reaksi Kristen/respon untuk
postmodernisme, dan navigasi postmodern dalam masyarakat majemuk.
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk semakin
bermutunya masalah dalam makalah ini.
Akhirnya,
penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
sumbangan pikiran dalam menyelesaikan makalah ini. Khususnya kepada Pak Izhar Lubis, S.Pd sebagai dosen pengampu
mata kuliah Sosiologi Sastra yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.
Andam
Dewi, Januari 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar........................................................................................................ i
Daftar Isi................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang....................................................................... ......... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................ 2
1.3 Batasan Masalah..................................................................... ......... 2
1.4 Tujuan Penulisan.................................................................... ......... 2
BAB II KAJIAN TEORITIK..................................................................... ......... 3
2.1 Latar Belakang
Munculnya Postmodernisme............................... 3
2.2 Postmodern dan Gereja................................................................... 9
2.3 Reaksi
Kristen/Respon Untuk Postmodernisme............................ 13
2.4 Navigasi
Postmodern dalam Masyarakat Majemuk..................... 14
BAB III KESIMPULAN
DAN SARAN..................................................... ......... 16
3.1 Kesimpulan.............................................................................. ......... 16
3.2 Saran-Saran............................................................................ ......... 16
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... ......... 18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kesemarakan dan
kegairahan kepada tema postmodernisme bukanlah tanpa alasan. Sebagai sebuah
pemikiran, postmodernisme pada awalnya lahir sebagai reaksi kritis dan
reflektif terhadap paradigma modernisme yang dipandang gagal menuntaskan proyek
Pencerahan dan menyebabkan munculnya berbagai patologi modernitas. Pauline M.
Rosenau, dalam kajiannya mengenai postmodernisme dan ilmu-ilmu sosial, mencatat
setidaknya lima alasan penting gugatan postmodernisme terhadap modernisme
(Rosenau, 1992: 10).
Pertama,
modernisme dipandang gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah masa depan
kehidupan yang lebih baik sebagaimana diharapkan oleh para pendukungnya. Kedua,
ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan
dan penyalahgunaan otoritas keilmuan demi kepentingan kekuasaan. Ketiga,
terdapat banyak kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu
modern. Keempat, ada semacam keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern mampu
memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia. Namun ternyata keyakinan ini
keliru dengan munculnya berbagai patologi sosial. Kelima, ilmu-ilmu modern
kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisis manusia karena
terlalu menekankan atribut fisik individu.
Dengan latar
belakang demikian, modernisme mulai kehilangan landasan praksisnya untuk
memenuhi janji-janji emansipatoris yang dahulu lantang disuarakannya.
Modernisme yang dulu diagung-agungkan sebagai pembebas manusia dari belenggu
mitos dan berhala kebudayaan abad pertengahan yang menindas, kini terbukti
justru membelenggu manusia dengan mitos-mitos dan berhala-berhala baru yang
bahkan lebih menindas dan memperbudak.
Pada titik inilah
pemikiran tentang kebudayaan postmodern memiliki arti penting. Perubahan watak
dan karakter modernisme dalam tampilannya yang paling kontemporer, telah
mendorong lahirnya tanggapan kritis terhadap kebudayaan dewasa ini. Pemikiran
kebudayaan postmodern Jean Baudrillard, sebagai salah satu kajian penting
paradigma postmodernisme, adalah salah satu kunci untuk memahami pengertian dan
watak postmodernisme.
1.2
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang di atas, maka dapatlah penulis buat rumusan masalah, yang antara lain:
a.
Bagaimanakah latar belakang munculnya postmodernisme?
b.
Bagaimanakah hubungan postmodern
dan gereja?
c.
Bagaimanakah reaksi Kristen/respon untuk postmodernisme?
d.
Bagaimanakah navigasi postmodern dalam masyarakat majemuk?
1.3
Batasan Masalah
Merujuk dari
latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka intinya makalah ini adalah
membahas tentang:
a.
Membahas tentang latar belakang munculnya postmodernisme.
b.
Menjelaskan hubungan postmodern
dan gereja.
c.
Menjelaskan reaksi Kristen/respon untuk postmodernisme
d.
Menjelaskan navigasi postmodern dalam masyarakat majemuk
1.4
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.
Untuk mengetahui latar belakang munculnya postmodernisme.
b.
Untuk mengetahui hubungan postmodern
dan gereja
c.
Untuk mengetahui reaksi Kristen/respon untuk postmodernisme
d.
Untuk mengetahui navigasi postmodern dalam masyarakat
majemuk
***
BAB II
KAJIAN
TEORITIK
2.1 Latar Belakang
Munculnya Postmodernisme
Secara historis, kelahiran postmodernisme
dapat dilacak jauh ke alur sejarah kegagalan modernisme. Benih-benih kekecewaan
terhadap modernisme pertama kali muncul pada tahun 1950-an dalam dunia sastra,
ketika Charles Olson, seorang penyair Amerika, menggunakannya untuk menyebut
gerakan anti-modernisme dan anti-rasionalitas modern dalam dunia puisi
kontemporer Amerika (Bertens, 1995: 20).
Gerakan anti-modernisme, yang dipelopori
oleh John Cage, Robert Rauschenberg, Merce Cunningham, ini adalah gerakan yang
mencoba membangun kesadaran untuk keluar dari kungkungan dan kuasa rasionalitas
seni modern. Para seniman dan penyair saat itu mulai merasa jenuh berada dalam
ketertutupan dan kekakuan rasionalitas instrumental dunia modern. Dalam
tulisannya Human Universe (1951), Olson menyatakan bahwa dunia kebudayaan Barat,
karena orientasi ontologisnya yang membabi-buta terhadap rasionalitas modern,
telah menyebabkan hilangnya otentisitas kehidupan dan kesejatian pengalaman
manusia.
Sebagai akibatnya manusia tidak lagi
mampu mengalami dan menghayati kekayaan realitas kehidupan dengan segenap
keunikannya masing-masing (Bertens, 1995: 21). Hal yang ada hanyalah sebuah
realitas tunggal yang monolitik, dogmatis dan ideologis. Sebaliknya, gerakan
anti-modernisme menyatakan sikap penolakan terhadap pandangan rasionalitas modern
yang menjunjung tinggi universalitas, subjek transenden, ego individual, dan
merayakan otentisitas kehidupan. Gerakan anti-modernisme hendak mencoba melawan
keangkuhan nilai dan estetika sastra modern.
Perbincangan mengenai postmodernisme
selanjutnya berkembang dalam lapangan seni. Pada kurun waktu tahun 1960-an,
muncul tulisan-tulisan tentang postmodernisme dengan artikulasi dan pemihakan
yang lebih jelas. Dalam dunia sastra, Ihab Hassan dan Susan Sontag menyatakan
mulai bangkitnya dunia sastra yang terdiam. Sontag juga menyatakan telah
lahirnya sensibilitas baru, yaitu suatu sikap yang lebih terbuka menerima
keberagaman gaya dan bentuk, serta tidak lagi menuntut penghormatan terhadap
seniman dan karya seni.
Selama rentang waktu tahun 1960 sampai
1970-an, perbincangan tentang postmodernisme mulai masuk ke dunia arsitektur.
Diruntuhkannya bangunan perumahan Pruitt Igoe, St. Louis, Missouri, yang
memiliki karakter arsitektur modern (arus arsitektur International Style yang
dipelopori Mies van der Rohe) menandai lahirnya pemikiran arsitektur
postmodernisme. Arsitektur postmodern membawa tiga prinsip dasar yakni:
kontekstualisme, allusionisme dan ornamental. Prinsip kontekstualisme berarti
adanya pengakuan bahwa gaya arsitektur suatu bangunan selalu merupakan bagian
fragmental dari sebuah gaya arsitektur yang lebih luas. Prinsip allusionisme
berarti adanya keyakinan bahwa arsitektur selalu merupakan tanggapan terhadap
sejarah dan kebudayaan. Sementara prinsip ornamental berarti pengakuan bahwa
bangunan merupakan media pengungkapan makna-makna arsitektural.
Adalah Robert Venturi, arsitek sekaligus
teoritisi awal konsep arsitektur postmodern, dalam bukunya Complexity and
Contradiction in Architecture (1966), yang mulai membuka pembicaraan konsep
arsitektur postmodern. Ia memaparkan bahwa arsitektur postmodern adalah
konsepsi teoritis arsitektur yang memiliki beberapa karakter. Menurutnya,
arsitektur postmodern lebih mengutamakan elemen gaya hibrida (ketimbang yang
murni), komposisi paduan (ketimbang yang bersih), bentuk distorsif (ketimbang
yang utuh), ambigu (ketimbang yang tunggal), inkonsisten (ketimbang yang
konsisten), serta kode ekuivokal (ketimbang yang monovokal) (Bertens, 1995:
54).
Sementara itu Charles Jencks, yang diakui
sebagai mahaguru arsitektur postmodern, dalam bukunya The Language of Postmodern Architecture (1977), menyebut beberapa
atribut konsep arsitektur postmodern. Beberapa atribut tersebut adalah
metafora, historisitas, ekletisisme, regionalisme, adhocism, semantik,
perbedaan gaya, pluralisme, sensitivisme, ironisme, parodi dan tradisionalisme
(Bertens, 1995: 58). Lebih lanjut arsitektur postmodern, menurut Jencks juga
memiliki sifat-sifat hibrida, kompleks, terbuka, kolase, ornamental, simbolis
dan humoris. Jencks juga menyatakan bahwa konsep arsitektur postmodern ditandai
oleh suatu ciri yang disebutnya double coding. Double coding adalah prinsip
arsitektur postmodern yang memuat tanda, kode dan gaya yang berbeda dalam suatu
konstruksi bangunan. Arsitektur postmodern yang menerapkan prinsip double
coding selalu merupakan campuran ekletis antara tradisional/modern,
populer/tinggi, Barat/Timur, atau sederhana/complicated.
Memasuki rentang tahun 1980-an, tema
postmodernisme mulai mendapat perhatian yang lebih serius. Upaya membangun
kerangka teoritis terhadap tema ini terutama berlangsung dalam lapangan
filsafat. Dalam bidang filsafat, istilah postmodernisme kerap dipergunakan
dengan acuan yang sangat beragam. Walaupun karya masterpiece Jean Francois
Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), tetap menjadi
acuan kunci, namun banyak kalangan mengaitkan istilah itu dengan teori
dekonstruksi Derrida, semiologi Barthes, semiotika Eco, poststrukturalisme
Foucault, hermeneutika Gadamer sampai kepada pemikiran holistisisme Capra, Prigogine
dan Whitehead.
Istilah postmodernisme juga sering
dirujukkan pada berbagai fenomena realitas masyarakat kontemporer sebagai
masyarakat post-industri (post-industrial society), masyarakat komputer
(computer society), masyarakat konsumer (consumer society), masyarakat media
(media society), masyarakat tontonan (spectacle society) atau masyarakat tanda
(semiurgy society). Sementara kalangan memandang postmodernisme sebagai bagian
dari proyek modernisme yang belum usai (misalnya Juergen Habermas dan Mahzab
Frankfurt generasi kedua), sementara kalangan yang lain memandang
postmodernisme sebagai penolakan radikal terhadap nilai-nilai dan asumsi-asumsi
modernisme (misalnya Lyotard, Derrida, Foucault). Pauline M. Rosenau, dalam
bukunya Postmodernism and Social Sciences (1992), membedakan postmodernisme
menjadi dua bentuk.
Pertama, postmodernisme sebagai paradigma
pemikiran. Sebagai paradigma pemikiran, postmodernisme meliputi tiga aspek
ontologi, epistemologi serta aksiologi. Ketiga aspek dasar ini menjadi kerangka
berpikir dan bertindak penganut postmodernisme bentuk pertama (misalnya
Lyotard, Derrida, Foucault). Kedua, postmodernisme sebagai metode analisis
kebudayaan. Dalam konteks ini, prinsip dan pemikiran postmodernisme digunakan
sebagai lensa membaca realitas sosial budaya masyarakat kontemporer (misalnya
Rortry dan Baudrillard).
Dari arah yang agak berbeda, Frederic
Jameson menyatakan bahwa postmodernisme tak lain adalah konsekuensi logis
perkembangan kapitalisme lanjut. Melalui tulisannya Postmodernism or The
Cultural Logic of Late Capitalism (1989), Jameson meyakinkan resiko tak
terelakkan dari dominasi kapitalisme lanjut yang telah menyempurnakan dirinya,
yakni kapitalisme yang telah berubah watak karena telah banyak belajar dari
berbagai rongrongan dan kritik. Kapitalisme yang titik beratnya bergeser dari
industri manufaktur ke industri jasa dan informasi. Kapitalisme yang, demi
kepentingan jangka panjang, secara cerdas mengakomodasikan tuntutan serikat
pekerja, kelangsungan hidup lingkungan, dan daya kreatif/kritis konsumen.
Kapitalisme yang mengintegrasikan banyak
unsur sosialisme ke dalam dirinya. Kapitalisme yang bekerja dengan prinsip
desentralisasi dan deregulasi karena sistem terpusat tak sigap menghadapi
perubahan cepat. Kapitalisme yang tidak menawarkan keseragaman gaya/citra
kultural karena pasar dan tenaga kerja telah mengalami diversifikasi begitu
jauh.
Dengan perkembangan kapitalisme lanjut
yang tampil dengan kehadiran perusahaan multinasional, jaringan informasi
global dan teknologi telekomunikasi, maka whole new type of society pun lahir.
Inilah masyarakat yang dihuni oleh subjek-subjek dengan ciri-ciri terbelah,
kehilangan rantai hubungan pemaknaan, larut dalam citra-citra dan imaji serta
gagal memahami latar belakang sejarah dirinya sendiri (Turner, 1990: 170).
Namun untuk memahami postmodernisme secara mendasar terutama pada dataran
ontologism dan epistemologis adalah mutlak untuk mengetahui asumsi-asumsi dasar
serta argumentasi para penyuara postmodernisme dalam wilayah filsafat. Jean Francois
Lyotard berpendapat kebudayaan postmodern ditandai oleh beberapa prinsip yakni:
lahirnya masyarakat komputerisasi, runtuhnya narasi-narasi besar modernisme,
lahirnya prinsip delegitimasi, disensus, serta paralogi.
Masyarakat komputerisasi adalah sebutan
yang diberikan Lyotard untuk menunjuk gejala post-industrial masyarakat Barat
menuju the information technology era. Realitas sosial budaya masyarakat dewasa
ini seperti yang ditelitinya secara seksama di Quebec Kanada adalah masyarakat
yang hidup dengan ditopang oleh sarana teknologi informasi, terutama komputer.
Dengan komputerisasi, prinsip-prinsip produksi, konsumsi dan transformasi
mengalami revolusi radikal. Penggunaan tenaga manusia yang semakin terbatas
dalam sektor ekonomi, pelipatan ruang dalam dunia telekomunikasi, percepatan
pengolahan data dan informasi yang mampu mengubah bahkan memanipulasi realitas,
penyebaran pengetahuan dan kekuasaan secara massif, adalah beberapa konsekuensi
perkembangan teknologi (Sarup, 1989: 118).
Dalam masyarakat komputerisasi seperti
ini, nilai-nilai serta asumsi dasar modernisme: rasio, hukum sejarah linear,
subjek, ego, narasi besar, otonomi, identitas tidak lagi mampu menggambarkan
realitas. Bahkan, realitas telah berubah sesuai dengan perubahan karakter masyarakat
postmodernisme. Realitas masyarakat seperti inilah yang menjadi wadah, arena
perjuangan, nilai-nilai baru postmodernisme.
Menggarisbawahi sifat transformatif
masyarakat komputerisasi yang lebih terbuka, majemuk, plural dan demokratis,
Lyotard selanjutnya menyatakan bahwa kebenaran yang dibawa oleh narasi-narasi
besar (Grand Narratives) modernisme sebagai metanarasi kini telah kehilangan
legitimasinya. Hal ini karena dalam masyarakat kontemporer, sumber pengetahuan
dan kebenaran pengetahuan tidak lagi tunggal. Realitas kontemporer tidak lagi
homolog (homo: satu, dan logi: tertib nalar), melainkan paralog (para: beragam,
dan logi: tertib nalar) (Awuy, 1995: 161).
Pengetahuan dan kebenaran kini menyebar
dan plural. Konsekuensinya, prinsip legitimasi modernisme harus dibongkar
dengan prinsip delegitimasi. Dengan delegitimasi, berarti diakui adanya
berbagai unsur realitas yang memiliki logikanya sendiri. Dengan delegitimasi,
menurut Lyotard, prinsip lain yakni disensus menjadi lebih bisa diterima ketimbang
prinsip konsensus seperti ditawarkan Juergen Habermas. Karena disensus adalah
prinsip yang mengakui perbedaan dan keunikan setiap unsur dalam realitas, yang
memiliki logika dan hak hidupnya sendiri.
Dengan titik perhatian yang berbeda namun
sampai pada kesimpulan yang sama, Michel Foucault, seorang filsuf
poststrukturalis Perancis, mencatat beberapa karakter khas kebudayaan
postmodern. Berangkat dari Kant, Foucault bersepakat bahwa Era Pencerahan
adalah saat dimana rasio mendapatkan tempat istimewa dalam sejarah perkembangan
kebudayaan. Namun ia menolak anggapan Kant bahwa rasio berlaku universal.
Baginya rasio hanyalah salah satu cara
untuk menanggapi situasi zaman saat itu. Menurutnya terdapat tanggapan lain
terhadap Pencerahan seperti diwakili Baudelaire yaitu ironi. Ironi adalah
keberanian, yang disertai kegetiran, untuk terlibat secara aktif dengan situasi
kini dan disini, historis dan lokal (locally determined), tanpa harus
mencantolkan diri pada status-status khusus dari kebenaran kebenaran absolut,
di luar diri manusia, baik atas nama Tuhan, logos, atau yang lainnya. Ironi
juga berarti menjalani kehidupan tanpa dibebani oleh prinsip baku, yang sudah
terpatok sebelumnya (Ahmad Sahal, 1994: 16).
Dengan ironi, Foucault menerima keyakinan
bahwa sejarah modernitas bukanlah sejarah tunggal, dengan narasi besar yang
monolog: rasionalitas. Lebih jauh ia menyingkapkan bahwa narasi-narasi besar
modernisme hanyalah mistifikasi yang bersifat ideologis dan semu. Ia misalnya,
menolak pandangan para filsuf Pencerahan yang mengatakan bahwa manusia adalah
subjek otonom, mandiri dan mampu menentukan dirinya sendiri.
Sebaliknya menurut Foucault, manusia
modern sebagai subjek ataupun objek sebenarnya tidak lebih dari individu yang
lahir dan diciptakan oleh multiplisitas kekuasaan melalui disiplin, normalisasi
dan regulasi, pengakuan dan penguasaan diri (Ahmad Sahal, 1994: 16-17).
Kekuasaan dalam pandangan Foucault ini berbeda sama sekali dengan yang dipahami
oleh kaum Weberian dan Marxian. Bagi kaum Weberian, kekuasaan adalah kemampuan
subjektif untuk mempengaruhi orang lain. Sementara bagi kaum Marxian, kekuasaan
adalah artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan untuk mendominasi dan
menekan kelas lain.
Menurut Foucault, kekuasaan bukanlah
kekuatan, institusi atau struktur yang bersifat menundukkan. Kekuasaan adalah
label nominal bagi relasi strategis yang kompleks dalam masyarakat. Ia menyebar
dan hadir di mana-mana, dimiliki oleh siapa saja. Untuk itu, ketimbang berusaha
mengimami gagasan besar yang cenderung manipulatif, Foucault lebih memilih
untuk menyibuki persoalan-persoalan kecil dan lokal yang seringkali tak jamak
dibicarakan.
Tema-tema seperti rumah sakit, penjara,
barak-barak tentara, sekolah, pabrik, pasien, seks, orang gila dan para
kriminal menjadi titik perhatian utama selama karir kefilsafatannya. Dengan
upaya ini, Foucault memberikan dua sumbangan besar terhadap postmodernisme.
Pertama, keberhasilannya menyingkap mitos-mitos modernisme yang menampilkan
dirinya sebagai kebenaran absolut, yang universal, namun sebenarnya palsu.
Kedua, pemihakannya terhadap persoalan-persoalan yang selama ini ditindas oleh
rasionalitas modern, tersisih, marjinal dan dikucilkan agar lebih didengar dan
diperhatikan.
Seorang filsuf lain yang mencoba
menyingkap sifat paradoks modernisme adalah Jacques Derrida. Melalui Derrida
terbongkar karakter kekerasan dan teror yang disebar oleh modernisme semenjak
diuarkannya prinsip logosentrisme. Dalam logosentrisme, salah satu ciri yang
menonjol adalah cara berpikir oposisi biner yang bersifat hierarkis (esensi –
eksistensi, substansi – aksidensi, jiwa – badan, makna – bentuk, transenden –
imanen, positif – negatif, lisan – tulisan, konsep – metafor) dengan anggapan
bahwa yang pertama adalah pusat, sedang yang kedua adalah derivasi, pinggiran.
Cara berpikir ini mendorong sejarah filsafat Barat cenderung bersifat totaliter
karena menganggap bahwa yang bukan pusat, yang pinggiran, yang lain, the
others, harus disubordinasikan ke dalamnya.
Mencermati hal itu, Derrida lantas
melakukan strategi dekonstruksi terhadap cara berpikir oposisi biner.
Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa sejauh mana struktur-struktur yang
terbentuk hendak dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya,
yakni melalui pembalikan hierarki oposisi biner secara terus-menerus (Ahmad
Sahal, 1994: 21).
Dengan dekonstruksi hendak dimunculkan
kembali dimensi-dimensi metaforis dan figuratif dari bahasa yang menjadi
pembentuk realitas. Implikasinya adalah mulai melumernya batas-batas antara
konsep dan metafor, antara kebenaran dan fiksi, antara filsafat dan puisi, dan
antara keseriusan dan permainan. Melalui dekonstruksi Derrida mencoba
meletakkan kembali kedudukan struktur dalam keadaan asalinya, yakni keadaan
dimana relasi antara pusat dan pinggiran belum lagi mengeras. Dengannya
diinginkan pluralitas dan heterogenitas kehidupan yang membeku dan tertindas
selama masa modernisme kembali terhampar.
2.2 Postmodern dan Gereja
Haruskah orang Kristen dan gereja-gereja
yang lebih kontemporer dalam ibadah mereka dan gaya pelayanan segera diberi
label sebagai “postmodern”? Apakah itu kafir total, sekularisasi masyarakat dan
Gereja? Lebih khusus lagi, adalah City Harvest menjadi postmodern dalam upaya
untuk menjadi budaya yang relevan?
Postmodernisme adalah periode pemikiran
dan ideologi yang muncul setelah Era Modern. Modernitas dianggap suatu periode
pemikiran di Eropa yang dikembangkan dari Renaissance (abad ke-14-17) dan
tumbuh dalam Pencerahan (abad ke-17 ke-19). Itu adalah waktu pengembangan yang
signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan, politik, perang dan teknologi.
Postmodernisme adalah suatu reaksi terhadap periode tersebut. Menurut definisi,
postmodernisme secara harfiah berarti “setelah modernitas.” Hari ini,
masyarakat pada umumnya adalah menghadapi lonjakan terhadap pemikiran modernis
yang lebih besar, apakah itu menyadari atau tidak.
Modernisme, sebagai sebuah ideologi,
merupakan rasionalisasi dan kategorisasi dunia sosial. Dalam pandangan dunia
modern, segala sesuatu dalam hidup ini, dan harus, ditafsirkan secara rasional.
Sains dan logika telah mencapai keunggulan seperti dalam semua wacana publik
bahwa segala sesuatu harus dijelaskan melalui lensa mereka. Semua itu tidak
ilmiah harus ditolak. Menurut pandangan modern, ilmu pengetahuan dan iman tidak
dapat mencampur sejak transaksi terakhir dengan wilayah yang dijelaskan. Karena
pengetahuan dan kecerdasan inordinately ditinggikan, modernis selalu menjadi
elitis dalam kategorisasi mereka dari masyarakat. Contohnya adalah Adolf Hitler
yang percaya pada supremasi absolut dari ras Arya atas semua ras lain. Enam
juta orang Yahudi dibunuh dalam Holocaust karena dalam “analisis ilmiah
Hitler,” mereka tidak layak mendapatkan tempat di dunia yang beradab.
Postmodernisme, di sisi lain, tantangan
yang prasangka dan keyakinan dari Zaman Modern. Ini berusaha secara radikal
menafsirkan kembali apa yang saat ini diklasifikasikan sebagai pengetahuan yang
berlaku umum. Untuk pascamodernis sebuah, konsep-konsep seperti benar dan
salah, baik dan buruk, atau apa yang benar dan yang salah tidak mutlak, tetapi
bisa berubah dari budaya ke budaya, dan situasi ke situasi. Dengan demikian,
postmodernisme merupakan budaya dan etika relativisme mengenai kebenaran,
kenyataan, alasan, nilai, makna linguistik, seni, arsitektur, dan setiap bentuk
lain dari kehidupan sosial. Para dogmatis, atau siapa saja yang percaya pada
suatu kebenaran hakiki, dianggap menjijikkan dan berbahaya.
Sebagai sebuah pandangan dunia,
postmodernisme membenci yang stereotip kelas sosial menurut jenis kelamin, ras,
umur, dll reaksi terhadap apa yang mempersepsikan sebagai prasangka angkuh dari
modernis, ia menghargai dan terutama empathizes dengan yang terpinggirkan. Ini
menolak chauvinisme dan penindasan yang diberikan oleh setiap jenis kelamin,
kelompok atau penyebab atas orang lain (putih vs hitam, pria vs wanita, kaya vs
miskin, berpendidikan vs buta huruf, mampu vs cacat, agama vs nonreligius, dll)
. Ini bertujuan untuk juara nasib pertumbuhan populasi orang-orang yang
terpinggirkan secara sosial atau dikucilkan.
Postmodernisme adalah yang paling banyak
diterima dan dihormati dalam kerangka arsitektur. Ambil Guggenheim Museum
Bilbao di Spanyol, dirancang oleh arsitek terkenal, Frank Gehry. Alih-alih
merancang bangunan dalam skema sederhana dan logis, Gehry ingin menantang
prinsip-prinsip yang berlaku umum arsitektur. Tidak ada garis lurus di dalam
gedung karena setiap dinding melengkung. Setiap sudut yang terlihat dari
memberikan Anda perspektif baru bangunan. Tidak ada dua foto dari Guggenheim
pernah terlihat sama. Dan karena berlokasi di tepi sungai, façade titanium
mencerminkan berbagai nuansa warna sepanjang hari. Hasil dari semua ini adalah
bahwa tidak ada yang dapat mengklaim gambar mutlak museum. Hal ini relatif
terhadap posisi melihat dan waktu hari. Dengan ketiadaan dari absolut visual,
Guggenheim dianggap sebagai perwujudan dari konsep postmodernisme.
Konsep pascamodernisme juga dinyatakan
dalam bidang seni. Hal ini terutama berlaku dalam kasus gerakan seni awal abad
ke-20 yang dikenal sebagai Dada, yang mempromosikan konsep mempertanyakan
norma-norma yang sebelumnya ditetapkan dalam seni. Meskipun dipengaruhi sastra,
teater dan desain grafis, gerakan ini yang paling sangat diakui untuk dampaknya
dalam drastis menantang perintah-perintah dasar seni rupa. Sebuah karya seni
yang mencontohkan konsep adalah Fountain oleh Dadaist seniman terkemuka saat
itu, Marcel Duchamp.
Fountain hanyalah sebuah wadah limbah
umum manusia. Untuk seorang modernis, wadah ini hanya merupakan instrumen,
fungsional ilmiah untuk membuang limbah. Mengambil objek yang umumnya dianggap
kotor dan tidak berharga, Duchamp dikonversi menjadi sebuah karya seni mahal.
Dia menanamkan nilai ke sebuah obyek yang paling berharga akan
mempertimbangkan. Duchamp ingin membuktikan poin: dengan seni fabricating dan
mendapatkan masyarakat menganggapnya sebagai bermakna, kita dapat meningkatkan
nilai dan nilai. Ini menyatukan perbedaan yang signifikan antara masyarakat
modernis dan modernis. Sementara tempat modernis nilai yang lebih besar pada,
postmodernis tempat nilai intrinsik yang lebih besar pada ekstrinsik. Dengan
karya seni nya, Duchamp menunjukkan bahwa dalam dunia postmodern, kebenaran tidak
lagi tergantung pada nilai intrinsik (sebuah wadah, umum kotor); ekstrinsik
tergantung pada bagaimana masyarakat mendefinisikan itu (sebuah karya mahal
dari seni rupa).
Seperti halnya sistem ideologis atau isme, ada aspek positif dan negatif kita dapat memungut dari postmodernisme:
Seperti halnya sistem ideologis atau isme, ada aspek positif dan negatif kita dapat memungut dari postmodernisme:
Aspek positif Postmodernisme
1.
Karena postmodernisme memiliki penghinaan untuk apa yang
dilihatnya sebagai arogan kemutlakan sains dan logika, itu membuat ruang untuk
kemungkinan iman dan supranatural. Ilmu pengetahuan dan iman dapat hidup
berdampingan.
2.
Postmodernisme adalah empati terhadap yang terpinggirkan
dan tertindas, percaya nilai yang dapat ditambahkan ke orang-orang yang mungkin
dianggap berharga. Dalam konteks ini yang lebih pendeta dan pemimpin gereja
saat ini mulai menganggap diri mereka sebagai “orang Kristen postmodern.”
3.
Hal ini memungkinkan toleransi yang lebih besar antara
keyakinan, dan berpotensi membuka jalan bagi Amanat Agung melalui cinta yang
lebih besar dan penerimaan untuk non-Kristen.
4.
Hal ini memungkinkan untuk kebebasan berpendapat dalam
perspektif seseorang tentang “kebenaran” yang relatif atau non-absolut. Hal ini
menjadikan satu kurang menghakimi dan mengutuk terhadap perilaku, gaya dan
preferensi pribadi yang mungkin kurang konvensional. Ini adalah penawar sifat
munafik benar sendiri.
5.
Hal ini memungkinkan untuk empati yang lebih besar menuju
masyarakat yang semakin pluralistik, menantang kita untuk tidak keluar dari
berhubungan dengan bagaimana orang berpikir dan fungsi saat ini.
6.
Konsep kontrol, kekuasaan dan kepastian digantikan dengan
cinta, pelayanan dan iman.
7.
Postmodernisme memungkinkan keterbukaan lebih untuk
spiritual dan kebenaran emosional, dan epistemologi (teori pengetahuan) yang
melampaui batasan sains, logika dan alasan.
Aspek negatif Postmodernisme
1.
Postmodernisme adalah skeptis mengenai semua klaim
kebenaran. Dibawa ke sebuah ekstrim, itu adalah perseteruan terhadap mereka
yang mengklaim mengetahui kebenaran mutlak. Postmodernis bisa menjadi sangat
menentang orang-orang yang percaya pada ketidakmungkinsalahan dan infalibilitas
Alkitab. Filsuf Jerman Friedrich Nietzsche (1844-1900) berpendapat bahwa mereka
yang menerima sistem etika Yahudi-Kristen, yang ia sebut sebagai moralitas
budak “,” menderita dari kepribadian lemah dan takut. Seorang yang berbeda dan
lebih kuat dari orang semacam, katanya, akan menolak nilai-nilai etika dan
menciptakan dirinya.
2.
Postmodernisme dilihat semua klaim untuk pengetahuan
sama-sama sah, terlepas dari preposterousness jelas di klaim tertentu
(misalnya, “aku tidak ada).
3.
Postmodernisme dilihat individu semata-mata sebagai
konstruksi masyarakat. Dengan demikian, tanggung jawab individu untuk hidup
menurut Firman Allah berkurang.
4.
Seseorang yang pertanyaan keyakinan lain berkaitan dengan
faktualitas dianggap tidak toleran.
5.
proposisional kebenaran, atau kebenaran yang ditemukan,
dianggap inexistent. Sebaliknya, hanya posisi masyarakat, bukan individu,
dianggap sah. Tapi bagaimana kalau perbudakan, genosida, atau penyalahgunaan
fisik perempuan dimaafkan dan dianggap “benar” menurut standar masyarakat?
Apakah itu membuat mereka benar? Tanpa standar objektif untuk moralitas,
relativisme budaya dan etika dapat mengakibatkan konsekuensi yang mengerikan di
masyarakat.
6.
Postmodernis sering melihat kemajuan, entah itu ilmiah, pendidikan,
politik, dan sebagainya, sebagai merugikan. Kemajuan setara dengan dominasi
dari marjinal.
7.
Toleransi terhadap setiap keyakinan, kecuali terhadap
mereka yang merasa bahwa keyakinan mereka lebih penting daripada orang lain.
Paradoks di sini adalah bahwa dalam semangat mereka untuk mempromosikan
toleransi, postmodernis sendiri bisa menjadi sangat tidak toleran terhadap
mereka yang tidak berbagi pandangan mereka sendiri postmodern.
2.3 Reaksi Kristen/Respon
untuk Postmodernisme
Seperti kebanyakan kasus, orang Kristen
harus mengambil sikap yang moderat terhadap postmodernisme, menyerap aspek
positif dan menolak yang negatif. Kami tidak berlangganan ideologi bahwa
individu hanyalah produk dari masyarakat sendiri, atau bahwa kebenaran harus
ditentukan oleh sekelompok individu kolektif. Dan sementara pendapat yang
penting, kita berpegang pada yang mutlak ditemukan dalam Kitab Suci, dan tidak
bimbang dalam keyakinan ketika datang dengan hukum moral dan prinsip-prinsip
dasar iman kita.
Namun, yang mengatakan bahwa, orang
Kristen memiliki kecenderungan untuk mengarah ke arah sifat munafik dan
legalisme. konservatisme Self-benar berusaha untuk menjaga Gereja terisolasi,
dibersihkan dan tidak berhubungan dengan masyarakat kontemporer. posisi saya
sendiri ini adalah: dalam hal-hal yang mutlak (Sepuluh Perintah, Pengakuan Iman
Rasuli, dll), marilah kita mutlak. Tapi dalam hal-hal yang non-mutlak
(anggur-minum, tattooing, budaya pop, dll), mari kita memungkinkan untuk
kebebasan yang ada di dalam Yesus Kristus (Galatia 5:1).
Sebuah kontribusi utama dari
postmodernisme adalah apresiasi terhadap terpinggirkan, dan mereka yang
sebelumnya dianggap tidak signifikan. Ini benar-benar sesuai dengan kasih Allah
telah menuju miskin, miskin, rusak dan disalahgunakan (Is. 58:10, Lukas
4:18-19, Yakobus 2:14-17).
Postmodernisme harus memprovokasi
orang-orang yang takut memeluk suatu injil “sosial” untuk memiliki hubungan
yang lebih besar, hormat dan pelayanan dengan menyakiti dan terluka di dunia.
Toleransi bukan kata jahat. Sebagai orang Kristen, kita harus berpegang pada
keyakinan moral Firman Allah dalam hati kita. Namun pada saat yang sama, kita
harus lebih ramah dan menerima dari mereka yang berbeda keyakinan dari kita.
Saldo adalah kuncinya.
2.4 Navigasi Dalam Masyarakat
Majemuk
Melekat dalam masyarakat postmodernis
adalah konsep pluralisme: ada array besar agama dan keyakinan bahwa orang
mematuhi. Ada tiga pendekatan konseptual seorang Kristen boleh berasumsi
terhadap orang yang percaya dalam agama-agama lain.
1.
Eksklusivisme. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa “aku
benar, kau salah”, sebuah sikap pembatalan terhadap kepercayaan orang lain.
Rasul Paulus mengerti bahwa dia tidak perlu membongkar keyakinan orang lain
melalui kritik dan kutukan agar dia berbicara tentang iman sendiri. Sebaliknya,
Paulus berusaha menjadi seperti hormat dan relatable untuk pendengarnya dalam
usahanya untuk memenangkan mereka kepada Kristus (Kisah 17:22-34).
2.
Universalisme. Hal ini dapat diringkas oleh pernyataan,
“Selama Anda tulus, maka apa pun yang Anda percaya benar.” Ini adalah kebalikan
dari eksklusivisme, dan sikap populer postmodernis yang ekstrim. Masalah
mendasar yang membuat posisi ini tidak masuk akal adalah kenyataan bahwa setiap
agama atau kepercayaan menyajikan klaim sendiri untuk kebenaran mutlak.
Universalisme mengambil toleransi ke ekstrim, dan meskipun awalnya mungkin
tampak terhormat, itu mengarah ke jalan buntu dalam upaya pelayanan.
3.
Inklusivisme. “Kami percaya kita benar, tapi kami terbuka
untuk mendiskusikan dan mencakup cara lain untuk berpikir dalam diskusi kami.”
(Inklusivisme tidak menjadi bingung dengan Injil “sesat inklusi.”) The New
Oxford American Dictionary mendefinisikan “inklusivisme” sebagai “niat atau
kebijakan termasuk orang-orang yang dinyatakan mungkin akan dikecualikan atau
terpinggirkan, seperti cacat, belajar-cacat, atau ras dan minoritas seksual.”
Ini adalah pendekatan kita harus ambil untuk membawa kasih Allah kepada audiens
semakin kritis dan canggih di abad 21.
Tidak, dalam arti bahwa kita percaya
Alkitab menjadi mungkin-salah, sempurna Firman Allah. Kita hidup dengan Sepuluh
Perintah Allah dan prinsip-prinsip dasar iman Kristen kita yang dituangkan
dalam Pengakuan Iman Rasuli, yang Nicea Creed, dll
Tapi, ya, dalam arti bahwa kita berusaha
untuk menjadi seorang toleran, menerima dan orang-orang ramah. Kami cinta yang
terpinggirkan dan tertindas, percaya nilai yang dapat ditambahkan ke
orang-orang yang dianggap berharga. Kami tidak bertentangan dengan masyarakat
atau budaya populer, tetapi berusaha untuk terlibat secara keseluruhan sebagai
garam dan terang (Matius 5:13-16).
Meskipun kami tinggal dirusak, dunia
menyimpang, saya tidak percaya dalam menjaga Kristen naif dan bodoh dari
realitas yang keras dari masyarakat. Sekali lagi, di absolut, kita harus
mutlak. Tapi non-absolut, kita harus membiarkan kebebasan preferensi pribadi
dan memberikan ruang untuk Roh Kudus memimpin setiap orang Kristen secara
individual. Aku tidak pernah ingin Gereja City Harvest begitu terisolasi dan
disterilkan bahwa kita menjadi kehilangan kontak dengan dunia. Melainkan, saya
ingin mendidik dan memberdayakan generasi saya menjadi sebagai kreatif dan
penuh warna mungkin, hidup, dinamis yang canggih, kehidupan diurapi dalam
ketaatan kepada Kristus dan penyebab kerajaan-Nya.
***
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1
Kesimpulan
Dari uraian
singkat tentang postmodernisme di atas maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
Secara historis, kelahiran postmodernisme
dapat dilacak jauh ke alur sejarah kegagalan modernisme. Benih-benih kekecewaan
terhadap modernisme pertama kali muncul pada tahun 1950-an dalam dunia sastra,
ketika Charles Olson, seorang penyair Amerika, menggunakannya untuk menyebut
gerakan anti-modernisme dan anti-rasionalitas modern dalam dunia puisi kontemporer
Amerika (Bertens, 1995: 20).
Postmodernisme harus memprovokasi
orang-orang yang takut memeluk suatu injil “sosial” untuk memiliki hubungan
yang lebih besar, hormat dan pelayanan dengan menyakiti dan terluka di dunia.
Toleransi bukan kata jahat. Sebagai orang Kristen, kita harus berpegang pada
keyakinan moral Firman Allah dalam hati kita.
Melekat dalam masyarakat postmodernis
adalah konsep pluralisme: ada array besar agama dan keyakinan bahwa orang
mematuhi. Ada tiga pendekatan konseptual seorang Kristen boleh berasumsi
terhadap orang yang percaya dalam agama-agama lain, yaitu: Eksklusivisme (Kisah
17:22-34); Universalisme; Inklusivisme.
3.2
Saran-Saran
Sebagai
penutup dari makalah ini, penulis merasa perlu memberikan sejumlah saran kepada
pembaca terutama kepada diri penulis sendiri. Adapun saran tersebut adalah
sebagai berikut:
a.
Pada prinsipnya,
postmodernisme merupakan penolakan pada modernisme dan telah menjalar ke
seluruh aspek kehidupan beragama. Di sinilah tugas para guru untuk menempatkan
postmodernisme tersebut ke dalam kehidupan para siswa.
b.
Tidak bisa dihindar
bahwa postmodernisme juga telah mengimbas ke kehidupan yang sesederhana mungkin
dan inilah tugas para guru sebagai tenaga pendidik untuk mengantisipasi semakin
meluasnya pengaruh negatif dari postmodernisme itu sendiri.
***
DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben. 2003. Teori Sosial kritis: Kritik, Penerapan
dan Implikasinya. Kreasi Wacana: Yogyakarta
Ahmed, Akbar S.
1992. Postmodernisme:
Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan: Bandung
http://learning-of.slametwidodo.com/?s=modernisme diakses pada
tanggal 27 Januari 2012
http://librarianship-umir.blogspot.com/2010/08/pendekatan-postmodernisme.html# uds-search-results diakses pada tanggal 27 Januari 2012
http://umum.kompasiana.com/2009/07/07/postmodernisme-101/ diakses pada
tanggal 27 Januari 2012
Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari
Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme. Yayasan Obor Indonesia:
Jakarta
Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern.
Juxtapose bekerjasama dengan Kreasi Wacana: Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar