KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat untuk menyelesaikan makalah
ini, tentunya penulis memiliki keterbatasan yang menyebabkan makalah ini tidak
sesempurna yang diharapkan.
Makalah yang berjudul “IMPLIKASI
PERGESERAN MODERNISME KE POSTMODERNISME KEPADA KEKRISTENAN” ini
akan membahas Menjelaskan pergeseran era dari pramodern ke postmodern; perbedaan
modern dengan postmodern; implikasi pergeseran modernisme ke postmodernisme
kepada kekristenan; kekristenan di tengah postmodernisme.
Makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk semakin bermutunya masalah dalam makalah ini.
Akhirnya,
penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
sumbangan pikiran dalam menyelesaikan makalah ini. Khususnya kepada Pak Izhar Lubis, S.Pd sebagai dosen
pengampu mata kuliah Sosiologi Sastra yang telah memberikan tugas ini kepada
penulis.
Barus,
Januari 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar........................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................... ......... 1
1.2 Batasan Masalah................................................................................. 2
1.3 Rumusan Masalah..................................................................... ......... 2
1.4 Tujuan Penulisan....................................................................... ......... 2
BAB II KAJIAN TEORITIK..................................................................... ......... 3
2.1 Pergeseran Era dari Pramodern Ke Postmodern................................ 3
2.2 Perbedaan Modern dengan Postmodern............................................ 7
2.3 Implikasi
Pergeseran Modernisme ke
Postmodernisme
kepada Kekristenan............................................................................ 9
2.4 Kekristenan di Tengah Postmodernisme............................................ 10
BAB
III KESIMPULAN
DAN SARAN..................................................... ......... 12
3.1 Kesimpulan............................................................................... ......... 12
3.2 Saran-Saran............................................................................... ......... 12
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................... ......... 13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dengan perkembangan
teknologi yang sedemikian canggih, masyarakat saat ini masih merasa berada di
era modern. Bahkan, mungkin sebagian besar orang berpikir bahwa era modern
adalah era terakhir sampai nanti kehidupan di bumi berakhir. Namun,
kenyataannya tidaklah demikian. Hidup bergulir, dunia berputar; dan
perkembangan teruslah menjadi proses yang tidak berujung. Saat ini, disadari
atau tidak, masa modern telah bergerak lebih jauh memasuki era baru yang
ditandai dengan perubahan paradigma di berbagai bidang kehidupan.
Berbicara mengenai
pergeseran masa dari modern ke postmodern sesungguhnya memang lebih tepat
merupakan pembicaraan mengenai pergeseran filsafat hidup modernisme ke
postmodernisme. Modernisme dianggap dalam keadaan sekarat –meskipun belum
sepenuhnya kehilangan kekuatan — dan sedang dalam proses digantikan oleh
postmodernisme. Penulis pada akan memaparkan mengenai pergeseran modernisme
ke postmodernisme, perbedaan antara keduanya, dan pada bagian
akhir penulis akan memaparkan implikasi pergeseran modernisme ke
postmodernisme kepada kekristenan saat ini.
1.2
Batasan Masalah
Adapun batasan masalah
dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Menjelaskan
pergeseran era dari pramodern ke postmodern.
b. Menjelaskan
perbedaan modern dengan postmodern.
c. Menjelaskan
implikasi pergeseran modernisme ke postmodernisme kepada kekristenan.
d. Menjelaskan
kekristenan di tengah postmodernisme.
1.3
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah
proses pergeseran era dari pramodern ke postmodern?
b. Bagaimanakah
perbedaan modern dengan postmodern
c. Bagaimanakah
implikasi pergeseran modernisme ke postmodernisme kepada kekristenan?
d. Bagaimanakah
kekristenan di tengah postmodernisme?
1.4
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk
menjelaskan pergeseran era dari pramodern ke postmodern.
b. Untuk
menjelaskan perbedaan modern dengan postmodern.
c. Untuk
menjelaskan implikasi pergeseran modernisme ke postmodernisme kepada kekristenan.
d. Untuk
menjelaskan kekristenan di tengah postmodernisme.
***
BAB II
KAJIAN TEORITIK
2.1 Pergeseran
Era Dari Pramodern ke Postmodern
a. Dari
Pramodern ke Modern
Bermula dari
Renaissance dan humanisme yang berhasil membuat perubahan yang radikal, tema
yang berpusat pada Tuhan berbelok ke arah manusia. Persoalan waktu dan materi
menjadi perhatian utama manusia. Dengan demikian Renaissance bermakna sebagai
sebuah kelahiran kembali keunikan Yunani dan Roma klasik, serta perhatian mereka
akan pengajaran pra-kekristenan dimana individu-individulah yang menjadi pusat
perhatian. Humanisme berkembang dengan menemukan pokok perhatian dalam dirinya
sendiri.
Antropologi humanis
pada bagian yang paling dasar menemukan bahwa seorang pribadi memiliki
kemampuan untuk belajar dan dapat diajar. Pengetahuan adalah segalanya; yang
paling diperlukan. Pendidikan menjadi tujuan utama yang harus diterima oleh
setiap pribadi. Karena setiap pribadi dapat bertumbuh menjadi pribadi yang
lebih baik, maka humanisme modern sangat bersifat optimistik. Filsafat
egosentris ini secara kritis dikembangkan oleh Rene Descartes yang mencari
kejelasan mutlak dalam konsep ‘keraguan’. Descartes bukanlah seorang peragu
tanpa prinsip yang jelas –yang berusaha menghancurkan kemutlakan-kemutlakan
kebenaran —, Ia sungguh-sungguh menjadi seorang skeptis yang serius mencari
kebenaran melalui metodenya sendiri berdasarkan observasi empiris atau deduksi
rasional. Pada akhirnya, kejelasan yang diperoleh oleh Descartes hanyalah ada
dalam dirinya sendiri sebagai kebenaran yang tidak dapat disangkali: Cogito,
ergo sum —saya berpikir, karena itu, saya ada. Pendekatan Alasan (Reasoning)
Descartes ini serupa dengan karakteristik pemikiran modern yang kemudian
berkembang menjadi antroposentris. Perumusan dari manusia yang berpikir dan
dunia yang mekanis membuka jalan bagi ledakan pengetahuan dibawah panji-panji
Program Pencerahan (Enlightment Project, istilah Jurgen Habermas).
Dalam masa reformasi,
Luther pun secara langsung menentang pandangan antropologi humanisme ini dalam
tulisannya, “De servo arbitrio”. Dalam tulisan melawan Erasmus ini,
Luther mewaspadai keadaan keterhilangan manusia (dari hadapan Tuhan) dan
kebergantungan kita kepada karya keselamatan dari Tuhan sebagai kontras atas
keangkuhan Erasmus yang menganggap bahwa adalah mungkin untuk mengubah
seseorang menjadi pribadi yang baik.
Berangkat dari sini,
dari masa pencerahan sampai abad modern, banyak pakar sudah meramalkan bahwa
suatu saat agama pasti akan mati. Namun, ramalan ini ternyata tidak pernah
menjadi kenyataan. Abad kedua puluh dibuka dengan debat teologis antara
kelompok Modernis dengan kelompok Fundamentalis. Pemikiran modernis mulai masuk
dan menguasai mayoritas gereja dan seminari-seminari. Tidak heran jika kemudian
mereka berusaha membuang segala hal yang berbau supranatural dari Alkitab.
Standar pada rasio dan ilmu pengetahuan telah menyusup masuk ke dalam
kekristenan melalui teologi liberal yang berkembang seiring dengan modernisme.
Mukjizat, wahyu ilahi dan Allah yang tidak kelihatan disingkirkan dari iman
kekristenan. Prinsip penafsiran ‘Historis-Kritis’ pun menjadi prinsip utama
dalam penafsiran Alkitab. Dengan demikian, Alkitab pun tidak lagi dianggap
berotoritas ilahi.
Di dunia yang
sedemikian, cukup sulit bagi kekristenan untuk bertahan melawan segala
perlawanan rasional atas kekristenan yang sangat menekankan iman yang bersifat
abstrak. Tidak heran jika kemudian di dunia modern pula kekristenan banyak
dipengaruhi oleh peranakan-peranakan dari pemikiran modern, e.g. gerakan jaman
baru.
b. Dari
Modernisme ke Postmodernisme
Tantangan modernisme
yang sedemikian menekan kekristenan belumlah usai ketika gereja kemudian harus
berhadapan dengan filsafat baru —postmodernisme. Berbeda dengan filsafat modern
yang berusaha memutlakkan kebenaran hanya berdasarkan rasio dan ilmu
pengetahuan, postmodernisme justru memberikan pernyataan bahwa tidak ada
kebenaran yang bersifat mutlak dan universal. Posisi kekristenan menjadi lebih
sulit karena sesungguhnya pengaruh modern belum sepenuhnya lepas dan
postmodernisme telah mulai menancapkan akar-akarnya semakin dalam. Kekristenan
seakan dipaksa berdiri dengan berpijak pada dua perahu yang segera akan
bersilang arah. Namun, sebelum berbicara lebih lanjut mengenai implikasi
permasalahan ini bagi kekristenan, kita perlu mengetahui lebih jelas mengenai
filsafat postmodernisme ini.
Pada dasarnya,
postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta tidak pernah tercapainya impian
yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern yang berkembang antara abad
kelima belas sampai dengan delapan belas –dan mencapai puncaknya pada abad
sembilan belas dan dua puluh awal— memiliki cita-cita yang tersimpul dalam lima
kata, yaitu: reason, nature, happiness, progress dan liberty. Semangat
ini harus diakui telah menghasilkan kemajuan yang pesat dalam berbagai bidang
kehidupan dalam waktu yang relatif singkat. Nampaknya, mimpi untuk memiliki
dunia yang lebih baik dengan modal pengetahuan berhasil terwujud. Namun, tidak
lama, sampai kemudian ditemukan juga begitu banyak dampak negatif dari ilmu
pengetahuan bagi dunia. Teknologi mutakhir ternyata sangat membahayakan dalam
peperangan dan efek samping kimiawi justru merusak lingkungan hidup. Dengan
demikian, mimpi orang-orang modernis ini tidaklah berjalan sesuai harapan.
Rasionalitas modern
gagal menjawab kebutuhan manusia secara utuh. Ilmu pengetahuan terbukti tidak
dapat menyelesaikan semua masalah manusia. Teknologi juga tidak memberikan
waktu senggang bagi manusia untuk beristirahat dan menikmati hidup. Di masa lampau,
ketika hanya ada alat-alat tradisional yang kurang efektif, semua orang
mengharapkan teknologi canggih akan memperingan tugas manusia sehingga
seseorang dapat menikmati waktu senggang. Saat ini, teknologi telah berhasil
menciptakan alat-alat yang memudahkan kerja manusia. Seharusnya, semua orang
lebih senggang dibanding dulu, tetapi kenyataannya, justru semua orang lebih
sibuk dibanding dulu. Teknologi instan yang ada saat ini justru
menuntut pribadi-pribadi untuk lebih bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang
maksimal dari efektifitas yang diciptakan. Ironis.
Berangkat dari
perbedaan mimpi dan kenyataan modernism inilah postmodern muncul dan
berkembang. Modernisme sesungguhnya sudah mendapat serangan dan kritik sejak
Friederich Nietzsche (1844-1900), namun serangan tersebut belum benar-benar
diperhatikan sebelum tahun 1970-an. Gerakan untuk menyingkirkan modernisme
secara langsung datang melalui kehadiran dekonstruksi sebagai sebuah teori
sastra yang mempengaruhi aliran baru dalam filsafat. Dekonstruksi merupakan
sebuah gebrakan awal untuk menentang teori strukturalis dalam sastra yang
mengatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai struktur yang sama
sehingga teks (hasil sastra) dapat dibaca dan dimengerti secara universal.
Dekonstruksi, dalam hal ini, menganggap bahwa tidaklah benar demikian. Makna
tidaklah terdapat dalam teks, tetapi pemaknaan muncul dari masing-masing
pribadi yang membaca teks. Secara tidak langsung, hal ini seakan menyatakan
bahwa seorang penulis tidak dapat menuntut haknya atas pemaknaan teks yang
ditulisnya, semua orang boleh membaca teks tersebut dan memaknainya sesuai
dengan penafsiran masing-masing.
Dari teori sastra
dekonstruksi, filsafat postmodern menerapkannya kepada realitas. Pemaknaan
sebuah realitas sah-sah saja dinilai berbeda oleh masing-masing orang. Tidak
ada standar tertentu untuk memaknai atau memahami suatu hal tertentu. Makna
tidak lagi bernilai obyektif –dalam artian diterima secara universal. Pemaknaan
menjadi subyektif; dan pemaknaan subyektif menjadi kebenaran bagi pribadi
bersangkutan. Karena itu, postmodernisme tidak mengakui adanya satu kebenaran
dan modernisme dianggap sebagai suatu kebodohan. Tidak ada makna tunggal dalam
dunia, tidak ada titik pusat dari realitas secara keseluruhan.
Dalam dunia postmodern,
manusia tidak lagi percaya bahwa pengetahuan itu baik. Untuk menghindari mitos
Pencerahan, postmodernisme menggantikan optimisme dengan pesimisme. Harapan
untuk mendapatkan hidup yang lebih baik di masa depan pun dianggap kebohongan.
Tidak heran jika banyak dikatakan bahwa era postmodern dimulai setelah proyek
rumah Pruitt-Igoe di St. Louis yang menjadi lambang arsitektur modern
diledakkan dengan sengaja oleh para penghuninya. Bangunan yang berusaha
menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi para penghuni ‘rumah-susun’ itu
dianggap tidak dapat menjawab kebutuhan penghuninya secara utuh. Charles Jencks
–seorang arsitektur postmodernis — mengatakan bahwa peristiwa peledakan
Pruitt-Igoe ini menandai kematian modernisme dan kelahiran postmodernisme.
Walaupun ada cukup
banyak pengaruh baru yang dimunculkan oleh postmodern dalam berbagai aspek
kehidupan, sangat penting diperhatikan bahwa gerakan baru ini bukanlah anti
terhadap hasil-hasil yang dicapai oleh era modern. Yang menjadi titik
perlawanan postmodern terhadap modernsime adalah cara pandang (worldview)
dan filsafat modernis yang dianggap gagal. Yang dilakukan kaum postmodernis
pada intinya adalah pembongkaran cara pandang dan asumsi-asumsi dasar dibalik
segala cita-cita modern –yang dilihatnya sebagai akar permasalahan timbulnya
berbagai bencana. Karena itu, tidaklah salah jika dikatakan bahwa
postmodern lebih menunjuk pada suasana intelektual dan ekspresi kebudayaan yang
mendominasi masyarakat kini.
2.2 Perbedaan
Modern dengan Postmodern
Dari pembahasan di
atas, kita telah melihat bagaimana pergeseran era itu nampaknya berjalan dengan
perlahan tapi pasti. Pergeseran modernisme ke postmodernisme memang bukanlah
sebuah revolusi yang tiba-tiba, tetapi lebih merupakan sebuah proses yang
berlangsung dalam rentang waktu tertentu. Ketidakpuasan terhadap hasil era
modern tidak terlalu menonjol sampai adanya ancaman bagi umat manusia yang
jelas diketahui bersama, e.g. perang nuklir; sejak itulah modernitas dianggap
lebih menghasilkan kecemasan daripada kesejahteraan. Dengan demikian,
modernisme jelas bukanlah sebuah idealisme yang dapat diterima secara utuh.
Pemikiran pun bergeser ke arah yang dianggap lebih baik — dan disinilah
postmodernisme mengambil peran utamanya.
Secara rinci, adalah
mustahil untuk mendefinisikan postmodernisme secara utuh. Hal ini dikarenakan
oleh adanya ketidaksepahaman pula akan ‘modernitas’ yang digantikan oleh
postmodernis. Kenyataannya, kata postmodern sendiri sulit untuk dimengerti
secara tepat. Kata ‘modern’ sendiri berarti ‘terbaru, barusan, mutakhir’;
sedangkan kata ‘post’ (pasca) berarti ‘sesudah’. Jadi secara harafiah
sesungguhnya pengertian postmodern mengandung makna pengingkaran, maksudnya
‘sesuatu’ itu bukan modern lagi. Jadilah kemudian postmodernisme mengaburkan pengertian
modernisme.
Postmodernisme secara
umum dapat berarti sensibilitas budaya tanpa nilai absolut. Hal ini kemudian
membuat jalan bagi pluralisme dan keragaman pemikiran. Pada intinya, postmodern
– sebagaimana berulang kali ditekankan oleh Grenz – merupakan reaksi menentang
totalisasi Pencerahan. Pada saat modernisme berada pada titik ‘krisis
identitas’ ketika berhadapan dengan banyak masalah, postmodern seakan
memberikan sebuah sudut pandang yang lebih realistis. Masyarakat yang sudah
lelah dan putus asa pun segera berpaling untuk mendapatkan ‘rekreasi’ dari
tekanan dan kefrustrasian yang ditimbulkan oleh modernitas. Dari sini, kita
dapat segera menyimpulkan bahwa memang modernisme dan postmodernisme menawarkan
perbedaan yang berarti.
Berbicara mengenai
kedua filsafat ini secara berdampingan, seringkali banyak orang mengalami
kesulitan untuk mendapatkan titik temu yang tepat. Perbedaan antara kedua era
ini sulit dirumuskan karena memang –seperti yang telah dikemukakan di atas—
definisi atau pengertian keduanya masih terlalu kabur untuk dirumuskan. Namun,
perbedaan umum antara modernisme dengan postmodernisme dapat disimpulkan dalam
kontras sbb.
Modernism Postmodernism
Purpose
(Tujuan) Play
(Permainan)
Design
(Rencana) Chance
(Kesempatan)
Hierarchy
(Hirarki) Anarchy
(Anarkhi)
Centring
(Berpusat) Dispersal
(Tersebar)
Selection
(Seleksi) Combination
(Kombinasi)
Perhatikan bagaimana
kata-kata yang menggambarkan modernisme memiliki nuansa yang kuat akan
kemampuan (ability) subyek pemikir untuk menganalisa, menyusun,
mengontrol dan menguasai. Sedangkan, yang berada di bawah kategori
posmodernisme juga memberikan indikasi kekuatan yang sama akan ketidakmampuan (inability)
dari subyek pemikir untuk menguasai atau mengontrol –sehingga mereka harus
meninggalkan segala sesuatu sebagaimana adanya dalam keberagaman. Dalam hal
ini, implikasi perbedaan kedua pemikiran ini sangat terasa dalam aspek
religius.
2.3 Implikasi
Pergeseran Modernisme ke Postmodernisme Kepada Kekristenan
Tanpa nilai absolut
yang menjadi satu standar acuan tertentu dalam segala hal, postmodernisme
memberikan kebebasan yang tidak pernah ada sebelumnya dalam sejarah dunia.
Kebebasan yang seperti ini -tidak dapat tidak— jelas telah membuka jalan bagi
relativisme dan pluralisme. Pluralisme dalam aspek keagamaan telah menciptakan
sebuah ‘warna’ baru lagi bagi posisi kekristenan dalam dunia. Jika di era
modern kekristenan mendapat tekanan yang hebat dari kaum rasionalis pencerahan,
sebaliknya dalam era postmodern, kita mendapatkan ‘pengakuan’. Namun pengakuan
yang diberikan ini pun memiliki nada tuntutan agar kekristenan pun dapat
mengakui ‘kebenaran’ yang lain.
Demikianlah,
kekristenan mendapat tekanan untuk dapat pula menyesuaikan diri dengan lingkungan
sekitarnya. Dalam hal ini, dari kelompok kristen sendiri muncul tiga pendekatan
yang berbeda. Ada yang berusaha mengakomodasi filsafat postmodern ke dalam iman
kristen –yang jelas mengarah pada penerimaan pluralisme agama (e.g. David
Tracy); ada yang mencari jalan tengah dengan metode sintesis (e.g. George
Lindbeck dan Stanley Grenz); dan ada pula yang secara ekstrim menolak
postmodernisme (e.g. Carl Henry).
Bagian Teologi Kristen
yang paling segera harus mengalami penyesuaian adalah apologetika — usaha untuk
mempertahankan dan memberitakan klaim kebenaran bagi dunia. Secara apologetis,
kekristenan harus dapat memberikan jawaban atas pernyataan mengapa kebenaran kekristenan
harus ditanggapi dengan serius di tengah begitu banyak alternatif. Di dunia
postmodern tidak seorang pun dapat mengklaim memiliki kebenaran yang paling
benar. Semua kebenaran bagi pribadi-pribadi adalah kebenaran valid. Tidak
seorang pun memiliki hak untuk memaksakan kebenarannya pada orang lain. Tidak
ada standar lagi untuk menentukan benar atau salah; satu-satunya standar adalah
diri sendiri. Disinilah tantangan terberat bagi kekristenan untuk tetap berdiri
teguh dan mengerjakan pemberitaan injil sebagaimana yang Tuhan Yesus
perintahkan.
2.4 Kekristenan
di Tengah Postmodernisme
Douglas Groothuis
mengatakan bahwa kondisi sosial yang diciptakan postmodernisme mempengaruhi
semua orang –baik modernis, orang kristen maupun postmodernis. Ia juga menyatakan
bahwa kesaksian kekristenan akan kebenaran Kristus dan injilnya dalam masa
postmodern ini berarti menjadi tahu bagaimana kenyataan postmodern secara
budaya. Hal ini tidak berarti kita menyerah kepada filsafat mereka, tetapi
kebudayaan atau cara pikir merekalah yang harus kita manfaatkan.
Dalam hal ini, sebagai
orang kristen, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan ketika kita hidup
dalam masa postmodernisme, sebagai berikut:
a. Kesempatan untuk memberitakan Injil
secara luas.
Walaupun sepertinya
kekristenan berada dalam tekanan untuk harus mengakui kesamaan dan kesejajaran
dengan agama lain, sesungguhnya kita justru dapat memanfaatkan kesempatan ini
untuk ‘unjuk gigi’. Jika dulu kita ditolak mentah-mentah oleh modernis rasionalis,
pengakuan yang diberikan oleh filsafat postmodern bagi kekristenan merupakan
kesempatan emas bagi kita untuk memberitakan kabar keselamatan dalam Kristus
kepada banyak orang. Dalam hal ini pluralisme agama yang terbentuk menjadi
celah bagi kita untuk memaparkan kebenaran kristen kepada umat beragama lain.
Misalnya, pelaksanaan simposium keagamaan Muslim-Kristen akan menjadi celah
untuk memasukkan kebenaran iman kristen pada pikiran mereka yang berpandangan
lain. Tidak apa jika kita ditolak, tetapi bagaimanapun pemikiran kristen
tersebut telah kita sampaikan untuk mereka mengerti – sedikit banyak.
b. Kesempatan untuk menjangkau mereka
yang kecewa terhadap modernisme.
Idealisme modern telah
gagal menjamin kenyamanan dan kesejahteraan umat manusia. Banyak orang telah
menaruh harapan mereka kepada ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
menyelesaikan masalah mereka telah merasa putus asa. Inilah waktunya bagi
kekristenan untuk memberikan kepada orang-orang sedemikian jaminan yang
sempurna dan kekal dalam janji Tuhan –bahwa hanya Tuhan, Dialah satu-satunya
yang menjanjikan kebahagiaan yang sejati.
c. Kekristenan dapat menawarkan
kebenaran yang absolut bagi kerancuan yang ditimbulkan postmodernisme.
Sesungguhnya tidak
seorangpun yang dapat hidup tanpa standar kebenaran yang diterima secara
universal. Kebebasan yang ditawarkan postmodernisme nampaknya hanyalah sebuah
konsep yang dimunculkan sebagai ‘obat penenang’ bagi banyak orang yang kecewa
dan frustrasi terhadap mimpi kebahagiaan modernis. Kenyataannya, kebebasan
memegang kebenaran pun jelas membuka lebih banyak celah bagi perselisihan. Apakah
kebenaran yang sejati menghasilkan kontradiksi? Tentu saja tidak
seharusnya demikian. Kebenaran seperti apa yang menghasilkan kontradiksi?
Siapa yang bersedia hidup dengan kebenaran yang menghasilkan perang? Dari
pergumulan inilah, kekristenan dapat menawarkan kebenaran yang mutlak dalam
Kristus Yesus.
Dari ketiga
masukan di atas jelaslah bahwa sebenarnya kekristenan sesungguhnya justru
mendapatkan kesempatan yang baik untuk membuat perbedaan. Pokok penting yang
harus diperhatikan kaum kristen adalah back to the Bible (kembali
kepada Alkitab) dan berdiri kokoh dalam iman. Keteguhan umat Kristen tinggal
tetap dalam iman dan menolak pengaruh postmodernisme akan membuat banyak orang
berpikir dan ‘tertarik’ untuk mengenal kekristenan. Sebaliknya, jika
kekristenan terpengaruh akan postmodern dan mengadopsinya ke dalam gereja;
kekristenan akan menjadikan dirinya sendiri ‘sama’ dengan kebenaran yang lain
dan semakin tidak diperhatikan.
***
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Di tengah pergeseran
era modernisme ke postmodernisme ini, kekristenan memang seakan dipaksa berdiri
di antara dua perahu; namun, bagaimanapun, gereja harus tetap memiliki imannya
dengan teguh. Keyakinan dan keteguhan inilah yang tidak ada dalam filsafat
modernisme maupun postmodernisme. Dan inilah, yang kita dapat tawarkan bagi
dunia. Inilah yang harus tetap menjadi perbedaan kekristenan di tengah dunia
ini. Dalam hal ini, gereja Tuhan perlu terus berdiri dan bersandar kepada Roh
Kudus untuk dapat bertahan dalam imannya. Gereja Tuan tidak boleh lengah.
Tawaran kebebasan yang disediakan oleh Postmodernisme dapat menjadi sebuah
pencobaan dan godaan yang besar bagi gereja untuk kemudian jatuh. Hal ini tentu
tidak boleh terjadi. Karena itu, untuk menjawab tantangan zaman ini gereja
Tuhan dan kekristenan harus membuat perbedaan.
3.2 Saran-Saran
Sebagai penutup
makalah ini, penulis memberikan sejumlah saran yang mungkin bisa sebagai
pembanding untuk pembaca dan penulis sendiri. Adapun sejumlah saran tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Aliran
postmodernisme yang menyentuh ke seluruh sisi kehidupan juga tidak luput dari
dunia keagamaan, sebagai calon guru disinilah kita berperan.
b. Sebagai
calon guru, anak didik adalah tanggung jawab kita secara moral maupun material
yang kelak akan dibawanya ke kehidupannya masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Efferin, Henry. “Pascamodernisme dan Keyakinan
Injili: Suatu Sorotan dari Segi Metodologi,” Jurnal Pelita Zaman 14/1 (1999).
Harianto GP. “Postmodernisme dan Konsep
Kekristenan,” Jurnal Pelita Zaman 15/1 (2001).
Grenz, Stanley. A Primer on Postmodernism.
Yogyakarta: Andi, 2001.
Groothius, Douglas. Truth Decay: Defending
Christianity Against the Challenging of Postmodernism. Downers Grove:
InterVarsity, 2000.
McGrath, Alister. A Passion for Truth: The
Intellectual Coherence of Evangelical. Downers Grove: InterVarsity, 1996.
Hille, Rolf. “From Modernity to Post-modernity:
Taking Stock at the Turn of the Century,” Evangelical Review of Theology
24/2 (2000).
————–, “Transition from Modernity to Post-Modernity:
A Theological Evaluation,” Evangelical Review of Theology 25/2 (2001).
Philips, Timothy R. dan Dennis L. Okholm, eds. Christian
Apologetics in the Postmodern World. Downers Grove: InterVarsity, 1995.
Surya, Kalvin. “Mengenal Postmodernisme dan
Pengaruhnya bagi Kekristenan,” dalam
[http://www.lrii.or.id/Artikel%200christian5.html] 1998.
Veith, Gene Edward. “Postmodernisme: Spiritualitas
Tanpa Kebenaran” disadur oleh Gunung Maston dari Postmodern Times: A
Christian Guide to Contemporary Thought and Culture http://www.geocities.com/reformed_movement/artikel/
spiritual.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar