KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat untuk
menyelesaikan makalah ini, tentunya penulis memiliki keterbatasan yang
menyebabkan makalah ini tidak sesempurna yang diharapkan.
Makalah
yang berjudul “POSMODERNISME, PEDAGOGI, DAN
FILSAFAT PENDIDIKAN”
ini
akan membahas tentang sejarah perkembangan posmodernisme; membahas
tentang hubungan pedagogi (pendidikan) pada postmodernisme; dan membahas
tentang hubungan filsafat pendidikan dengan postmodernisme.
Makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk semakin bermutunya masalah dalam makalah ini.
Akhirnya, penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam
menyelesaikan makalah ini. Khususnya kepada Pak Izhar Lubis, S.Pd sebagai dosen pengampu mata kuliah Sosiologi
Sastra yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.
Andam
Dewi, Januari 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................... ......... 1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................. 1
1.3 Batasan Masalah....................................................................... ......... 2
1.4 Tujuan Penulisan....................................................................... ......... 2
BAB II KAJIAN TEORITIK..................................................................... ......... 3
2.1 Sejarah
Perkembangan Posmodernisme....................................... 3
2.2 Hubungan
Pedagogi (Pendidikan).................................................. 4
2.3 Hubungan
Filsafat Pendidikan....................................................... 8
BAB
III KESIMPULAN
DAN SARAN..................................................... ......... 11
3.1 Kesimpulan............................................................................... ......... 11
3.2 Saran-Saran............................................................................... ......... 12
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................... ......... 13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pendidikan
di Indonesia berkibkat pada ideologi Pancasila dan konstitusi Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai falsafahnya. Oleh karena itu, tujuan pendidikan secara umum
ditujukan untuk menghasilkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang sikap dan
perilakuknya senantiasa dijiwai oleh nilai-nilai pancasila. Dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa:
”Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Mahaesa
dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
Hakekatnya
manusia adalah makhluk yang tumbuh dan berkembang. Oleh karena tumbuh dan
berkembang, maka manusia tidak pernah stagnan dalam hidupnya, tetapi selalu
dinamis. Dalam upaya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik ia selalu bereksplorasi
dengan alam dan sesamanya, serta berusaha untuk mencapai yang terbaik dalam
hidupnya. Untuk dapat mencapai yang terbaik, manusia terus belajar, selama
itulah pendidikan terus berjalan.
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah sejarah perkembangan
posmodernisme?
b. Apakah hubungan pedagogi (pendidikan)
pada postmodernisme?
c. Apakah hubungan filsafat pendidikan
dengan postmodernisme?
1.3
Batasan Masalah
Batasan masalah dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Membahas tentang sejarah perkembangan
posmodernisme.
b. Membahas tentang hubungan pedagogi
(pendidikan) pada postmodernisme.
c. Membahas tentang hubungan filsafat
pendidikan dengan postmodernisme.
1.4
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan
masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui tentang sejarah
perkembangan posmodernisme.
b. Untuk mengetahui tentang hubungan
pedagogi (pendidikan) pada postmodernisme.
c. Untuk mengetahui tentang hubungan
filsafat pendidikan dengan postmodernisme.
***
BAB II
KAJIAN TEORITIK
2.1 Sejarah
Perkembangan Posmodernisme
Posmodernisme
mula-mula muncul karena adanya keinginan untuk berpaling dari paham modernisme
yang dianggap berlebihan dalam mendefinisikan kehidupan. Sebagaimana yang dijelaskan
oleh Subangun (1994:154) bahwa, Lyotard dan Foucault, tokoh aliran ini, menolak
keteraturan yang didituntut oleh modernisme. Lebih-lebih Lyotard, ia mengatakan
bahwa konsesus dalam apapun dan terutama dalam pengetahuan, bukan dan tidak
akan menjadi akhir untuk dirinya sendiri. Demikian pula objektivitas tidak
merupakan tujuan akhir, sebab dalam tingkat perkembangan ilmu seperti sekarang
ini bukan lagi mengejar objektivitas atau kosensus rasional, melainkan mengejar
hal-hal yang jauh lebih penting yakni; hal-hal yang tidak bisa diduga dan
diambil keputusan (Subangun, 1994:156).
Pemikiran
posmodernisme sendiri sebenarnya telah diawali oleh teori dialogis Bakhtin yang
disusun pada tahun 1920-an. Teori tersebut telah menunjukkan kecenderungan ke
arah posmodernisme. Namun, secara faktual baru pada tahun 1950-an posmodernisme
muncul sebagai sebuah aliran. Selanjutnya, aliran ini baru dikenal di kalangan
luas pada tahun 1970-an.
Istilah
posmodernisme mula-mula dikenalkan oleh Lyotard secara eksplisit lewat karyanya
The Postmodern Condition: A Report and Knowledge. Dalam bukunya
tersebut Lyotard menolak ide dasar filsafat modern yang dilegitimasi prinsip
kesatuan ontologis. Menurutnya prinsip-prinsip seperti itu sudah tidak lagi
relevan dengan realitas kontemporer. Sebaliknya, ia menawarkan ide parologi
atau pluralitas. Manusia harus membuka kesadaranya dan menerima realitas
plural. Menurutnya tiap pengetahuan bergerak dalam language game
masing-masing, dan kebenaran selalu terkait pada penilaian orang melalui bahasa
yang digunakan (Arifin, 1994:34). Jadi, kebenaran adalah selalu interpretatif,
dan karena interpretatif maka sulit untuk dipastikan.
Aliran
modernisme dianggap bergantung dan terpaku pada grand narrative
(cerita-cerita besar) dari kemapanan filsafat yang hanya mengandalkan akal,
dialektika roh, emansipasi subjek yang rasional, dan sebagainya (Arifin,
1994:34). Yang menjadi kegelisahan Lyotard bahwa, aliran ini mengklaim diri
sebagai aliran yang mampu mencapai kebenaran dan keadilan. Lyotard menolak
dengan keras bentuk metanarasi, dan tidak percaya adanya kebenaran tunggal yang
universal, sebab menurutnya kebenaran adalah kebenaran.
Aliran
posmodernisme berkembang pesat pada tahun 1970-an dengan beberapa tokoh yang
dikenal gigih menolak aliran modernisme dan menawarkan solusi terbaik dalam
upaya untuk mengikuti perkembangan zaman yang serba menuntut tersebut.
Tokoh-tokoh itu ialah: Jeans Francois Lyotard, Michel Foucault, Jacques
Derrida, Richard Rorty, dan sebagainya, dan orang-orang ini dikenal sebagai
gembong aliran posmodernisme.
2.2 Pedagogi
(Pendidikan)
a.
Makna Pendidikan
Pendidikan
secara khusus dapat diartikan sebagai pemberian bimbingan oleh orang dewasa
kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan (Langeveld, dalam
Sadulloh, 2003:54; Pidarta, 1997:10), sedangkan pendidikan secara luas menurut
Hoogeveld dapat diartikan sebagai bentuk bantuan yang diberikan kepada anak
supaya anak itu kelak cakap dalam menyelesaikan tugas hidupnya atas tanggung
jawab sendiri (Sadulloh, 2003: 54). Sementara itu, Brojonegoro memberi makna
pendidikan secara luas sebagai bentuk pemberian tuntunan kepada manusia yang
belum dewasa dalam pertumbuhan dan perkembangan sampai tercapainya kedewasaan
dalam arti rohani dan jasmani (Sadulloh, 2003: 54). Selanjutnya, menurut tokoh
pendidikan dari Indonesia yakni, Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah upaya
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai
manusia dan sebagai masyarakat mendapat keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya (Pidarta, 1997: 10).
Berpijak
dari pendidikan dalam arti khusus, maka setelah anak menjadi dewasa dengan
segala cirinya, pendidikan dianggap selesai. Tampaknya pendidikan yang dimaknai
khusus tersebut tercermin dalam pendidikan di lingkungan keluarga. Orang tua
yang terdiri dari Ayah dan Ibu menjadi figur sentral dalam pendidikan keluarga.
Mereka bertanggung jawab untuk memanusiakan, membudayakan, dan menanamkan
nilai-nilai terhadap anak-anaknya. Setelah sang anak menjadi dewasa, atau
menjadi manusia sempurna, maka bantuan pendidikan yang diberikan oleh Ayah dan
Ibu tersebut dianggap telah selesai.
Ditilik
dari uraian tersebut, maka munculnya sekolah tak lain karena orang tua
menganggap dirinya tidak sanggup dengan sepenuh waktu mendampingi anak-anaknya
belajar mencapai kedewasaan. Bahkan, akhir-akhir ini ada kecenderungan seorang
ibu demi sebuah kariernya, menitipkan anak-anaknya di tempat-tempat penitipan
anak. Tampaknya mereka tidak menyadari bahwa dampak psikologi anak akan
mempengaruhi perkembangan di masa mendatang.
Pendidikan
dalam arti luas menurut Henderson (Sadulloh, 2003: 55) merupakan proses
pertumbuhan dan perkembangan sebagai hasil intraksi individu dengan lingkungan
sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir.
Di
Indonesia secara umum pendidikan dalam arti luas telah tertuang dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1973 bahwa, ”Pendidikan pada
hakekatnya merupakan suatu usaha yang disadari untuk mengembangkan kepribadian
dan kemampuan manusia, yang dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah dan
berlangsung seumur hidup”. Demikian pula dalam amanat Undang-Undang tentang
Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 disebutkan bahwa, pendidikan
adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan atau latihan bagi perananya di masa yang akan datang. Kedua hal
tersebut kini menjadi landasan sistem pendidikan di negara kita.
b.
Pendidikan Sebagai Proses Transformasi
Pada
hakekatnya pendidikan adalah mencakup kegiatan mendidik, mengajar, dan melatih.
Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 Sistem
Pendidikan Nasional bahwa, pendidikan mencakup kegiatan bimbingan, pengajaran
dan latihan. Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai suatu usaha untuk mentrasformasikan
segala nilai. Nilai-nilai yang dimaksud meliputi nilai-nilai religi, budaya,
sains dan teknologi, seni dan nilai ketrampilan. Tujuan dari pentransformasian
nilai tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan, mengembangkan. Bahkan, (kalau
perlu) mengubah kebudayaan yang dimiliki masyarakat (Sadulloh, 2003: 57).
Untuk
mencapai proses transformasi yang efektif diperlukan syarat- syarat tertentu.
Adapun syarat-syarat yang dimaksud menurut Sadulloh (2003:58) ialah:
1. Harus
ada hubungan edukatif yang baik antara pendidik dengan terdidik. Hubungan yang
dimaksud adalah hubungan kasih sayang antara siswa dengan guru berdasarkan atas
kewibawaan;
2. Harus
ada metode pendidikan yang sesuai. Maksudnya ada kesesuaian metode dengan
kemampuan pendidik, materi, kondisi peserta didik, tujuan yang akan dicapai,
dan kondisi lingkungan tempat pendidikan berlangsung;
3. Harus
ada sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan. Maksudnya ada
kesesuaian antara nilai yang akan ditransformasikan dengan sarana dan prasarana
yang dibutuhkan serta sarana tersebut harus didasarkan atas pengabdian pada
peserta didik; dan
4. Harus
ada suasana yang memadai. Suasana yang memadai dan menyenangkan sangat
menunjang terjadinya proses transformasi nilai agar berjalan dengan baik.
c.
Tujuan Pendidikan
Berbicara
tentang tujuan pendidikan maka terkait erat dengan sistem nilai dan norma-norma
dalam suatu konteks kebudayaan. Menurut Hummel (1977: 39, dalam Sadulloh, 2003:
58) untuk menentukan tujuan pendidikan ada beberapa nilai yang perlu
diperhatikan. Nilai-nilai itu ialah:
1. Autonomi,
yaitu memberi kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan secara maksimum kepada
individu maupun kelompok untuk dapat hidup mandiri, dan hidup bersama dalam
kehidupan yang lebih baik;
2. Equity
(keadilan), berarti bahwa tujuan pendidikan tersebut harus memberi kesempatan
kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan
berbudaya dan kehidupan ekonomi dengan memberinya pendidikan dasar yang sama;
3. Survival,
berarti bahwa dengan pendidikan akan menjamin pewarisan kebudayaan dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Sebagaimana
yang tersebut dalam uraian sebelumnya bahwa pendidikan secara khusus dapat
diartikan sebagai pemberian bimbingan oleh orang dewasa kepada anak yang belum
dewasa untuk mencapai kedewasaan, atau pendidikan secara luas sebagai bentuk
pemberian tuntunan kepada manusia yang belum dewasa dalam pertumbuhan dan
perkembangan sampai tercapainya kedewasaan. Secara umum yang disebut dengan
manusia dewasa ialah: manusia yang dianggap telah mandiri, bertanggung jawab,
telah mampu memahami norma-norma serta moral dalam kehidupan dan sekaligus
berkesanggupan untuk melaksanakan norma dan moral tersebut (cf. Sadulloh, 2003:
59).
Pendidikan
di Indonesia berkibkat pada ideologi Pancasila dan konstitusi Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai falsafahnya. Oleh karena itu, tujuan pendidikan secara umum
ditujukan untuk menghasilkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang sikap dan
perilakuknya senantiasa dijiwai oleh nilai-nilai pancasila. Dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa:
”Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang
Mahaesa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
d.
Pendidikan Berlangsung Sepanjang Hayat
Hakekatnya
manusia adalah makhluk yang tumbuh dan berkembang. Oleh karena tumbuh dan
berkembang, maka manusia tidak pernah stagnan dalam hidupnya, tetapi selalu
dinamis. Dalam upaya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik ia selalu
bereksplorasi dengan alam dan sesamanya, serta berusaha untuk mencapai yang
terbaik dalam hidupnya. Untuk dapat mencapai yang terbaik, manusia terus
belajar, selama itulah pendidikan terus berjalan.
Sekarang
orang berpendapat bahwa pendidikan tidak hanya dilakukan di bangku sekolah,
tetapi dapat dilakukan di mana saja. Di sekolah, di luar sekolah (di rumah, di
masyarakat), dan sebagainya. Selain itu, kegiatan belajar juga tidak hanya
berlangsung pada masa anak-anak, tetapi merupakan kegiatan yang terus menerus
sampai meraka mati. Pendidikan yang demikian itu di sebut pendidikan seumur
hidup (long life education). Jadi, pendidikan seumur hidup adalah
pendidikan yang berlangsung sejak manusia lahir sampai ia mati (Natawidjaya,
1979: 105).
Konsep
pendidikan sepanjang hayat, menurut Sadulloh (2003: 63) adalah semua kegiatan
pendidikan dianggap sebagai suatu keseluruhan. Maksudnya seluruh sektor
pendidikan merupakan suatu sistem yang terpadu. Selain itu, model pendidikan
yang diterapkan bersifat adaptif. Maksudnya pendidikan yang dilakukan selalu
mengikuti perkembangan lingkungan dan disesuaikan dengan kenyataan serta
kebutuhan masyarakat. Masyarakat yang telah maju tentu akan memiliki kebutuhan
yang berbeda dengan masyarakat yang belum maju.
2.3 Filsafat
Pendidikan
a.
Pengertian Filsafat Pendidikan
Menurut
Pidarta (1997: 84) yang disebut filsafat pendidikan adalah hasil pemikiran dan
perenungan secara mendalam sampai keakar-akarnya mengenai pendidikan. Berbicara
tentang filsafat pendidikan, hampir semua negara di dunia ini dihadapkan pada
tiga pertanyaan besar. Ketiga pertanyaan itu ialah:
1. apakah
pendidikan itu?
2. apa
yang hendak dicapai?
3. bagaimana
cara terbaik merealisasikan tujuan-tujuan itu? (Sutisna, 1990, dalam Pidarta,
1997:84).
Jika
ingin diuraikan secara detail masing-masing pertanyaan itu akan
memberikan beberapa rincian lagi. Namun, yang perlu dijelaskan di sini
tampaknya hal-hal yang berkaitan dengan maksud dari filsafat pendidikan itu
sendiri kaitanya dengan para pelaksana (praktisi) pendidikan di lapangan.
Menurut
Sutan Zanti Arbi (1988, dalam Pidarta, 1997: 86) setidaknya ada empat maksud
filsafat pendidikan dalam perannya terhadap pendidikan. Keempat maksud itu
ialah, menginspirasikan, menganalisis, mempreskriptifkan, dan menginvestigasi.
Meginspirasikan
dalam uraian tersebut berarti bahwa filsafat pendidikan memberi inspirasi
kepada para pendidik untuk melaksanakan ide tertentu dalam pendidikan. Melalui filsafat tentang pendidikan, filsof
menjelaskan idenya bagaimana pendidikan itu, ke mana diarahkan pendidikan itu,
siapa saja yang patut menerima pendidikan, dan bagaimana cara mendidik serta
apa peran pendidik. Menganalisis dalam filsafat pendidikan adalah
memeriksa secara teliti bagian-bagian pendidikan agar dapat diketahui secara
jelas validitasnya. Hal ini dimaksudkan agar dalam menyusun konsep pendidikan
secara utuh tidak terjadi kerancuan (tumpang tindih).
Mempreskriptifkan
dalam filsafat pendidikan adalah upaya menjelaskan atau memberi pengarahan
kepada pendidik melalui filsafat pendidikan. Yang dijelaskan bisa berupa
hakekat manusia bila dibandingkan dengan makhkuk lain, atau aspek-aspek peserta
didik yang memungkinkan untuk dikembangkan, proses perkembangan itu sendiri,
batas bantuan yang diberikan, batas keterlibatan pendidik, arah pendidikan,
target pendidikan, perbedaan arah pendidikan, dan bakat serta minat anak.
Menginvestigasi
dalam filsafat pendidikan adalah untuk memeriksa atau meniliti kebenaran suatu
teori pendidikan. Maksudnya pendidik tidak dibenarkan mengambil begitu saja
suatu konsep atau teori pendidikan untuk dipraktekkan di lapangan, tetapi
hendaknya konsep yang dipraktekkan tersebut hasil dari penelitian yang
dilakukan, sedangkan posisi filsafat hanya sebagai latar pengetahuan saja.
Selanjutnya, setelah pendidik berhasil menemukan konsep, barulah filsafat
digunakan untuk mengevaluasi atau sebagai pembanding, berikutnya sebagai bahan
revisi agar konsep pendidikan itu menjadi lebih baik dan mantap.
Filsafat
pendidikan selalu bereksplorasi menemukan sebuah format pendidikan yang ideal
untuk diterapkan di suatu negara. Format pendidikan yang dimaksud harus sejalan
dengan keadaan masyarakat di mana pendidikan itu dilaksanakan.
b.
Peranan Filsafat Pendidikan
Sebagaimana
telah disinggung dalam uraian sebelumnya bahwa filsafat pendidikan selalu
mencari format pendidikan yang ideal dan tepat dengan kondisi di mana
pendidikan itu dilaksanakan. Filsafat pendidikan menjadi landasan dari sistem
pendidikan suatu negara. Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang tanpa
memiliki filsafat dalam menentukan arah pendidikan yang akan dicapai. Tanpa filsafat
pendidikan maka dapat dipastikan suatu negara tersebut kesulitan menentukan
capaian yang diharapkan dalam sistem pendidikan yang diselenggarakan.
Setiap
negara memiliki filsafat pendidikan sendiri-sendiri sesuai dengan corak
kehidupan negara tersebut. Corak kehidupan yang dimaksud adalah corak kehidupan
yang tercermin dalam perilaku masyarakatnya. Negara mempunyai kewenangan
menentukan landasan filsafat pendidikan sebagai arah kebijakan yang akan
dicapai dalam tujuan pendidikan yang diselenggarakan. Tidak ada satu negara pun
memiliki filsafat pendidikan yang sama persis, kecuali negara tersebut memiliki
sejarah peradaban yang sama. Sekalipun demikian arah dan tujuan pendidikan yang
akan dicapai tetap berbeda.
Di
Indonesia filsafat pendidikan dirumuskan berdasarkan corak dan budaya kehidupan
bangsa Indonesia. Filsafat pendidikan di Indonesia didasarkan pada ideologi
negara dan konstitusi negara. Oleh karena itu, filsafat pendidikan di Indonesia
disebut Filsafat Pendidikan Pancasila. Segala kebijaksanaan pendidikan harus
mencerminkan nilai-nilai pancasila. Hasil akhir dari pendidikan pun harus mampu
mencerminkan perilaku yang senantiasa dijiwai oleh nilai-nilai pancasila.
Berdasarkan
perbedaan filsafat pendidikan yang dianut, maka setiap negara tidak patut
mengadopsi sistem pendidikan negara lain tanpa mempertimbangkan kondisi
masyarakat negara tersebut. Kesuksesan negara tertentu terhadap sistem
pendidikan yang diterapkan, tidak mesti cocok untuk diterapkan di negara lain.
Oleh karena itu, suatu negara harus bertidak bijaksana dalam menetapkan segala
keputusan berkaitan dengan sistem pendidikan.
***
BAB III
KESIMPULAN
DAN SARAN
3.1
Kesimpulan
Dari
uraian masalah dia atas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:
Posmodernisme
mula-mula muncul karena adanya keinginan untuk berpaling dari paham yang
dianggap berlebihan dalam mendefinisikan kehidupan. Sebagaimana yang dijelaskan
oleh Subangun (1994:154) bahwa, Lyotard dan Foucault, tokoh aliran ini, menolak
keteraturan yang didituntut. Lebih-lebih Lyotard, ia mengatakan bahwa konsesus
dalam apapun dan terutama dalam pengetahuan, bukan dan tidak akan menjadi akhir
untuk dirinya sendiri. Demikian pula objektivitas tidak merupakan tujuan akhir,
sebab dalam tingkat perkembangan ilmu seperti sekarang ini bukan lagi mengejar
objektivitas atau kosensus rasional, melainkan mengejar hal-hal yang jauh lebih
penting yakni; hal-hal yang tidak bisa diduga dan diambil keputusan (Subangun,
1994:156).
Berpijak
dari pendidikan dalam arti khusus, maka setelah anak menjadi dewasa dengan
segala cirinya, pendidikan dianggap selesai. Tampaknya pendidikan yang dimaknai
khusus tersebut tercermin dalam pendidikan di lingkungan keluarga. Orang tua
yang terdiri dari Ayah dan Ibu menjadi sistem sentral dalam pendidikan keluarga.
Mereka bertanggung jawab untuk memanusiakan, membudayakan, dan menanamkan
nilai-nilai terhadap anak-anaknya. Setelah sang anak menjadi dewasa, atau
menjadi manusia sempurna, maka bantuan pendidikan yang diberikan oleh Ayah dan
Ibu tersebut dianggap telah selesai.
Pada
hakekatnya pendidikan adalah mencakup kegiatan mendidik, mengajar, dan melatih.
Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 Sistem
Pendidikan Nasional bahwa, pendidikan mencakup kegiatan bimbingan, pengajaran
dan latihan. Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai suatu usaha untuk
mentrasformasikan segala nilai. Nilai-nilai yang dimaksud meliputi nilai-nilai
religi, budaya, sains dan teknologi, seni dan nilai ketrampilan. Tujuan dari
pentransformasian nilai tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan,
mengembangkan. Bahkan, (kalau perlu) mengubah kebudayaan yang dimiliki
masyarakat (Sadulloh, 2003: 57).
Hakekatnya
manusia adalah makhluk yang tumbuh dan berkembang. Oleh karena tumbuh dan
berkembang, maka manusia tidak pernah stagnan dalam hidupnya, tetapi selalu
dinamis. Dalam upaya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik ia selalu
bereksplorasi dengan alam dan sesamanya, serta berusaha untuk mencapai yang
terbaik dalam hidupnya. Untuk dapat mencapai yang terbaik, manusia terus
belajar, selama itulah pendidikan terus berjalan.
Menurut
Pidarta (1997: 84) yang disebut filsafat pendidikan adalah hasil pemikiran dan
perenungan secara mendalam sampai keakar-akarnya mengenai pendidikan. Berbicara
tentang filsafat pendidikan, hampir semua sistem di dunia ini dihadapkan pada
tiga pertanyaan besar.
Sebagaimana
telah disinggung dalam uraian sebelumnya bahwa filsafat pendidikan selalu
mencari format pendidikan yang ideal dan tepat dengan kondisi di mana
pendidikan itu dilaksanakan. Filsafat pendidikan menjadi landasan dari sistem
pendidikan suatu sistem. Tidak ada satu pun sistem di dunia ini yang tanpa
memiliki filsafat dalam menentukan arah pendidikan yang akan dicapai. Tanpa
filsafat pendidikan maka dapat dipastikan suatu sistem tersebut kesulitan
menentukan capaian yang diharapkan dalam sistem pendidikan yang
diselenggarakan.
3.2
Saran-Saran
Untuk mengakhiri
makalah ini, penulis ingin memberikan sejumlah saran kepada pembaca sebagai
bahan perbandingan. Adapun saran tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kehadiran postmodern dalam dunia
pendidikan telah memberi warna baru dan inilah yang diharapkan pada seluruh
calon guru dalam memilah nilai positif dan negatifnya.
b. Apa yang diberikan oleh postmodern
pada seluruh sisi kehidupan ini ternyata tidak semuanya baik dan tidak semuanya
buruk, gurulah yang memberikan wacana baru terhadap sisi negatif dan positif
itu kepada siswa.
***
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, Syamsul. 1994. Postmodernisme
dan Masa Depan Peradaban. Yogyakarta: Aditya Media.
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi
sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Natawidjaya, Rochman. 1979. Pendidikan
Nasional. Jakarta: CV Kurnia Esa Jakarta.
Pidarta, Made. 1994. Landasan
Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Shimogaki, Kazuo. 1993. Kiri Antara
Islam Modernisme dan Posmodernisme: Telah Kritis atas Pemikiran
hasssan Hanafi. Yogyakarta: LKIS
Sugiharto, I. Bambang. 1996. Posmodernisme:
Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: kanisius.
Subangun, Immanuel. 1994. Dari
Saminisme ke Posmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sadulloh, Uyoh. 2003. Filsafat
Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar