POSTMODRENISME
DAN BEBERAPA TOKOHNYA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat untuk menyelesaikan makalah
ini, tentunya penulis memiliki keterbatasan yang menyebabkan makalah ini tidak
sesempurna yang diharapkan.
Makalah yang berjudul “POSTMODRENISME
DAN BEBERAPA TOKOHNYA” ini akan membahas runtuhnya era modernism yang
dilanjutkan dengan postmodernisme dan beberapa tokohnya.
Makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk semakin bermutunya masalah dalam makalah ini.
Akhirnya,
penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
sumbangan pikiran dalam menyelesaikan makalah ini. Khususnya kepada Pak Izhar Lubis, S.Pd sebagai dosen pengampu
mata kuliah Sosiologi Sastra yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.
Andam
Dewi, Januari 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar........................................................................................................ i
Daftar Isi................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang....................................................................... ......... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................ 3
1.3 Batasan Masalah..................................................................... ......... 3
1.4 Tujuan Penulisan.................................................................... ......... 3
BAB II KAJIAN TEORITIK..................................................................... ......... 4
2.1 Runtuhnya Era Modernisme.......................................................... 4
2.2 Postmodernisme dan Beberapa Tokohnya.................................... 12
BAB III KESIMPULAN
DAN SARAN..................................................... ......... 18
3.1 Kesimpulan.............................................................................. ......... 18
3.2 Saran-Saran............................................................................ ......... 18
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... ......... 19
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Hancurnya bangunan Pruitt Igoe yang
merepresentasikan konsep arsitektur modern dengan karakter ruang isotropis,
homogen, monoton, anti-ornamen, anti-metafor, anti-humor, mono-simbolik, dan
berestetika mesin sekaligus menandai kematian era arsitektur modern dan segera
lahirnya sebuah era baru: era arsitektur postmodern. Arsitektur postmodern,
yang disuarakan oleh Charles Jenks, Heinrich Klotz dan Robert Venturi, hanyalah
salah satu interpretasi wacana estetis-filosofis yang saat itu sedang membentuk
dirinya: postmodernisme.
Postmodernisme adalah wacana kesadaran
yang mencoba mempertanyakan kembali batas-batas, implikasi dan realisasi
asumsi-asumsi modernisme; kegairahan untuk memperluas cakrawala estetika, tanda
dan kode seni modern; wacana kebudayaan yang ditandai dengan kejayaan
kapitalisme, penyebaran informasi dan teknologi secara massif, meledaknya
konsumerisme, lahirnya realitas semu, dunia hiperrealitas dan simulasi, serta
tumbangnya nilai-guna dan nilai-tukar oleh nilai-tanda dan nilai-simbol.
Serangkaian kesadaran dan keyakinan baru
ini mencakup berbagai bidang kehidupan. Dalam dunia seni misalnya, terdapat
nama Marcel Duchamp dengan readymade art dan Andy Warhol dengan seni pop kaleng
sup. Dalam dunia arsitektur terdapat nama Charles Jenks dengan karya
teoritisnya The Language of Postmodern Architecture (1984) dan Robert Venturi
dengan Complexity and Contradiction in Architecture (1962) yang memproklamirkan
semboyan less is bore (mengejek semboyan less is more dalam arsitektur modern
yang dikumandangkan oleh Mies van der Rohe, salah seorang penggagas awal
arsitektur modern) (Andy Siswanto, 1994: 36).
Dalam dunia drama terdapat nama Bertold
Brecht dengan konsep pengasingan dan Antonin Artaud dengan teater absurd. Dalam
dunia musik terdapat nama Nicholas Cage dengan musik alam dan Stockhausen
dengan oriental music. Dalam dunia sinema terdapat nama David Lynch dengan Blue
Velvet dan Quentin Tarantino dengan serangkaian film generasi baru (Denzin,
1988: 461). Dalam dunia sastra muncul nama Burroughs dengan cerita cut up dan
Gabriel Marquez dengan novel realisme magis One Hundred Year of Solitude
(1976).
Dalam disiplin antropologi terdapat nama
S.A Tyler, M.J Fischer dan kelompok Rice Circle dengan experimental
ethnography. Dalam disiplin sosiologi terdapat nama Norman Denzin dengan kajian
film dan Pierre Bordieu dengan theatrum politicum. Dan dalam wilayah filsafat
terdapat nama Jean Francois Lyotard dengan konsep paralogi, disensus dan
delegitimasi, Jacques Derrida dengan dekonstruksi, Michel Foucault dengan
kajian tentang arkeologi pengetahuan, genealogi sejarah seksualitas dan
teknologi kekuasaan, serta Jean Baudrillard dengan kajian budaya tentang dunia
simulasi, hiperrealitas, simulacra dan dominasi nilai-tanda dan nilai-simbol
dalam realitas kebudayaan dewasa ini (Featherstone, 1988: 196).
Kesemarakan dan kegairahan kepada tema
postmodernisme ini bukanlah tanpa alasan. Sebagai sebuah pemikiran,
postmodernisme pada awalnya lahir sebagai reaksi kritis dan reflektif terhadap
paradigma modernisme yang dipandang gagal menuntaskan proyek Pencerahan dan
menyebabkan munculnya berbagai patologi modernitas. Pauline M. Rosenau, dalam
kajiannya mengenai postmodernisme dan ilmu-ilmu sosial, mencatat setidaknya
lima alasan penting gugatan postmodernisme terhadap modernisme (Rosenau, 1992:
10).
Pertama, modernisme dipandang gagal
mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah masa depan kehidupan yang lebih baik
sebagaimana diharapkan oleh para pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan modern
tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan
otoritas keilmuan demi kepentingan kekuasaan. Ketiga, terdapat banyak
kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.
Keempat, ada semacam keyakinan bahwa ilmu
pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia.
Namun ternyata keyakinan ini keliru dengan munculnya berbagai patologi sosial.
Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan
metafisis manusia karena terlalu menekankan atribut fisik individu.
Dengan latar belakang demikian,
modernisme mulai kehilangan landasan praksisnya untuk memenuhi janji-janji
emansipatoris yang dahulu lantang disuarakannya. Modernisme yang dulu
diagung-agungkan sebagai pembebas manusia dari belenggu mitos dan berhala kebudayaan
abad pertengahan yang menindas, kini terbukti justru membelenggu manusia dengan
mitos-mitos dan berhala-berhala baru yang bahkan lebih menindas dan
memperbudak.
Pada titik inilah pemikiran tentang
kebudayaan postmodern memiliki arti penting. Perubahan watak dan karakter
modernisme dalam tampilannya yang paling kontemporer, telah mendorong lahirnya
tanggapan kritis terhadap kebudayaan dewasa ini. Pemikiran kebudayaan
postmodern Jean Baudrillard, sebagai salah satu kajian penting paradigma postmodernisme,
adalah salah satu kunci untuk memahami pengertian dan watak postmodernisme.
1.2
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang di atas dapatlah penulis merumuskan masalah di bawah ini, di
antaranya:
a.
Bagaimanakah proses runtuhnya era
modernisme yang dilanjutkan oleh era postmodernisme?
b.
Bagaimanakah tentang
postmodernisme dan beberapa tokohnya?
1.3
Batasan Masalah
Selanjutnya,
berdasarkan rumusan masalah di atas, dapatlah penulis membuat batasan masalah,
yaitu:
a.
Menjelaskan runtuhnya era modernisme.
b.
Menjelaskan postmodernisme dan
beberapa tokohnya.
1.4
Tujuan Penulisan Masalah
Adapun tujun
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.
Untuk mengetahui proses runtuhnya
era modernisme.
b.
Untuk mengetahui aliran postmodernisme
dan beberapa tokohnya.
***
BAB II
KAJIAN TEORITIK
2.1 Runtuhnya Era Modernisme
Ricardo Contreras, seorang penulis
Meksiko, pada tahun 1888 mencatat mulai munculnya referensi pertama istilah
modernisme dalam sejarah kebudayaan masyarakat Barat (Smart. 1990: 18). Menurut
Contreras, istilah modernisme atau modernismo dalam bahasa Spanyol saat itu
merupakan sebutan bagi gerakan-gerakan kebudayaan lokal di Amerika Latin yang
memperjuangkan emansipasi dan otonomi budaya baru untuk melepaskan diri dari
cengkeraman hegemoni kebudayaan Spanyol.
Istilah modernisme saat itu tentu belum
merupakan epoch sejarah baru yang bermaksud memutuskan diri dari realitas
sejarah sebelumnya. Ia baru muncul sebagai istilah kebudayaan yang menghendaki
sesuatu yang baru, yang berbeda, seperti halnya arti kata modern yang diadopsi
dari bahasa Latin tersebut. Namun semenjak saat itu istilah modern dan
modernisme beserta kata-kata turunannya: modernitas dan modernisasi telah mulai
kerap digunakan sebagai kata kunci untuk menjelaskan telah lahirnya cahaya baru
kebudayaan dan realitas social masyarakat Barat.
Secara historis, semangat dan jiwa
modernisme sendiri sebenarnya bisa ditelusuri semenjak era Renaisans abad ke-16
M dan Pencerahan abad ke-18 M. Bahkan Arnold Toynbee, seorang filsuf sejarawan,
melalui bukunya A Study of History (1947), menyatakan bahwa awal Era Modern
dalam Sejarah Kebudayaan Masyarakat Barat terjadi pada paruh kedua abad ke-15 M
di daratan Eropa, dimana saat itu muncul fenomena pharisaisme budaya dan
teknologi penguasaan samudera secara ekstensif (Smart, 1990: 16).
Kedua fenomena sejarah tersebut, menurut
Toynbee, merupakan titik awal kedewasaan dan kematangan manusia untuk mulai
berani menguasai alam dan melepaskan diri dari dogma-dogma institusi agama.
Dengan keberanian inilah manusia menyatakan telah memasuki era baru, era pasca
Abad Pertengahan, yakni era modern. Di sisi lain, Marshall Berman, dalam
kajiannya tentang modernisme, menyatakan bahwa era modern telah dimulai sejak
era Renaisans abad ke-16 M dan berkembang dalam tiga fase sejarah modernisme.
Fase pertama, adalah modernisme yang berkembang
semenjak awal abad ke-16 M hingga akhir abad ke-18 M, dimana orang baru mulai
merasakan pengalaman kehidupan modern. Modernisme pada tahap ini ditandai oleh
mulai diyakininya rasio, keberanian menghadapi kehidupan secara nyata,
memudarnya religiusitas dalam berbagai segi kehidupan, serta lahirnya
pemberontakan kreatif dalam dunia seni. Fase kedua, adalah modernisme yang
ditandai dengan Revolusi Perancis dan kekacauan sosial, politik dan ekonomi
yang seringkali dihubungkan dengan momentum
Gelombang Revolusi Besar 1790. Inilah
wajah modernisme yang mulai diwarnai oleh benih-benih konflik, perbedaan dan
anomali. Lenturnya ikatan sosial, runtuhnya keyakinan tradisional dan agama,
serta pesatnya perkembangan sosial, telah mendorong munculnya berbagai masalah
yang sebelumnya tidak diperhitungkan.
Fase ketiga, adalah modernisme yang
dimulai ketika terjadi proses modernisasi global dan pembentukan kebudayaan
dunia modern secara massal dimana semakin banyak terjadi kekacauan sosial dan
politik, ketidakpastian dan ancaman terhadap realitas dunia yang baru terbentuk
Inilah puncak anomali realitas modern, yang ternyata tidak mampu mewujudkan
impian menciptakan kehidupan yang lebih baik. Dan justru sebaliknya,
menciptakan berbagai masalah besar yang menyengsarakan umat manusia (Smart,
1990: 16).
Istilah modern sendiri, yang berarti
zaman baru, berasal dari bahasa Latin modernus, yang telah digunakan pada abad
ke-5 M untuk menunjuk batas antara era kekuasaan agama Kristen dan era
Paganisme Romawi (Smart, 1990: 15). Istilah ini kemudian berkembang menjadi
beberapa istilah turunan yang kesemuanya menunjuk pada suatu kurun sejarah
setelah era Abad Pertengahan. Beberapa istilah tersebut adalah modernitas,
modernisasi dan modernisme.
Dalam penggunaannya, seringkali terjadi
tumpang tindih dan simplifikasi pengertian diantara berbagai istilah ini.
Meskipun demikian, diterima suatu kenyataan bahwa yang diacu oleh
istilah-istilah ini adalah suatu era kebudayaan baru yang ditegakkan oleh
rasio, subjek dan wacana antropomorfisme. Istilah modernitas diartikan sebagai
kondisi sosial budaya masyarakat modern. Ia juga menyiratkan adanya perubahan
paradigma yang diperoleh dengan jalan pintas, dari bentuk lama ke bentuk baru.
Istilah ini sekaligus menggambarkan
hubungan antara masa kini dan masa silam yang tampil dalam bentuknya yang baru
dengan jasa Renaisans abad ke-16 M dan Pencerahan abad ke-18 M sebagai kurun
sejarah yang berbeda dan superior dalam alur sejarah kebudayaan masyarakat
Barat. Modernitas inilah merujuk Calinescu yang merupakan era yang lebih
dewasa, lebih utuh dan mendasar dalam aspek-aspek rasio, religi dan estetika
dibanding era sebelumnya (Smart, 1990: 16). Modernitas sekaligus juga menjadi
titik awal baru lantaran ia menawarkan hal-hal baru seperti: pengetahuan, moral,
ilmu, kebudayaan, politik serta seni.
Modernisasi berarti proses berlangsungnya
proyek mencapai kondisi modernitas yang digerakkan oleh semangat rasionalitas
instrumental modern. Modernisasi mencakup proses pengucilan karya-karya klasik,
warisan masa lampau dan sejarah purbakala, karena modernitas pada hakekatnya
mengambil posisi yang berlawanan dengan hal-hal lama demi terciptanya hal-hal
baru.
Dengan demikian, modernisasi adalah
pandangan dan sikap hidup yang dianut untuk menghadapi masa kini, yakni
pandangan dan sikap hidup dalam menghadapi kenyataan hidup masa kini.
Modernisasi ditandai oleh pemutusan hubungan secara tegas terhadap nilai-nilai
tradisional; berkembangnya sistem ekonomi kapitalisme progresif; rasionalisasi
administratif; serta diferensiasi sosial dan budaya (Featherstone, 1988: 197).
Kembali merujuk Berman, realitas modern yang dicapai melalui proses modernisasi
ini memiliki beberapa komponen utama, yakni industrialisasi, urbanisasi, konsep
negara-bangsa (nation-state), struktur birokrasi, pertumbuhan penduduk yang
tinggi, sistem komunikasi dan kekuasaan baru, serta pasar kapitalisme dunia
(Turner, 1990: 137).
Sementara itu modernisme umumnya dilihat
sebagai paradigma kebudayaan, khususnya seni. Ia mengacu pada gaya dan gerakan
seni yang mula-mula muncul sebagai konsekuensi perlawanan terhadap seni Abad
Pertengahan. Tokoh-tokoh seni yang dianggap mewakili gerakan modernisme
misalnya adalah Kafka, Mann, dan Gide dalam dunia sastra; Stravinsky,
Schoenberg dan Berg dalam musik; Strindberg, Pirandelo dan Wedehind dalam
drama; serta Picasso, Matisse dan Cezanne dalam seni lukis (Featherstone, 1988:
202). Dalam konteks ini, modernisme dianggap bermula pada akhir abad ke-19 M
(Lash, 1990: 123).
Modernisme merupakan keyakinan yang
cenderung mensubordinasikan yang tradisional di bawah yang baru. Dalam wilayah
seni, ia merupakan tindak diferensiasi terhadap dunia nyata yang bersifat
non-referensial dan anti-realis (Lash, 1990: 124). Akibat praksis tindakan ini
bisa terbagi dua: konservatif dan radikal. Modernisme menjadi konservatif
manakala proses subordinasi yang lama di bawah yang baru justru menyelamatkan
yang lama dari kehancuran. Sebaliknya, modernisme menjadi radikal manakala
proses subordinasi tadi mengambil bentuk pengingkaran bahkan penghapusan yang
tradisional. Modernisme konservatif seringkali terdapat dalam lapangan agama.
Sementara modernisme radikal banyak terdapat pada wilayah kebudayaan, terutama
seni.
Rasionalitas modernisme yang berkembang
semenjak era Renaisans abad ke-16 M ini memiliki dua karakter mendasar.
Pertama, sebagai rasionalitas tujuan (Zweckrationalitat). Kedua, sebagai
rasionalitas nilai (Wertrationalitat). Merujuk Max Weber, sosiolog Jerman yang
mengkaji modernisme secara mendalam, karakter pertama rasionalitas modernisme
mengacu pada pengertian perhitungan yang masuk akal untuk mencapai sasaran
berdasarkan pilihan-pilihan yang masuk akal dan dengan sarana-sarana yang
efisien serta mengacu pada perumusan nilai-nilai tertinggi yang mengarahkan
tindakan dan orientasi-orientasi yang terencana secara konsisten dari
pencapaian nilai-nilai tersebut. Rasionalitas ini berwatak formal, karena hanya
mementingkan cara-cara mencapai tujuan dan tidak mengindahkan nilai-nilai yang
dihayati sebagai intisari kesadaran.
Karakter kedua rasionalitas modernisme
mengacu pada kesadaran akan nilai-nilai etis, estetis dan religius.
Rasionalitas ini berwatak substantif, karena lebih mementingkan komitmen
rasional terhadap nilai-nilai yang dihayati secara pribadi. Namun, diantara kedua
bentuk rasionalitas ini yang sangat dominan dalam realitas dunia modern adalah
rasionalitas tujuan.
Dalam kajian pentingnya tentang
modernisme tersebut, selanjutnya Weber menyatakan bahwa pada dasarnya
modernitas adalah gagasan yang menyangkut persoalan pemisahan bidang-bidang
nilai dan tatanan kehidupan. Ia berpendapat bahwa wilayah-wilayah nilai
ekonomi, etika, hukum dan estetika, yang sebelumnya terstruktur dengan satu
prinsip kesatuan dalam wilayah religius Abad Pertengahan, kemudian mulai dipisahkan
oleh rasionalisme Pencerahan.
Landasan utama argumen Weber ini adalah
adanya fenomena otonomisasi wilayah-wilayah nilai terutama wilayah nilai
estetis. Dengan merosotnya agama, lapangan estetika seolah menjadi satu-satunya
tempat pelarian dalam dunia yang sarat beban mencapai rasionalitas tujuan
(Lash, 1990: 157). Karakter lain modernitas adalah, ia bukan hanya memutuskan
hubungan dengan seluruh warisan historis masa lampau, namun juga mendesakkan
proses fragmentasi internal yang tak pernah berhenti dalam dirinya sendiri
(Harvey, 1990: 12).
Modernitas, menurut Weber merupakan
konsekuensi proses modernisasi, dimana realitas sosial berada di bawah
bayang-bayang dan dominasi asketisme, sekularisasi, klaim universalistik
tentang rasionalitas instrumental, diferensiasi bidang-bidang kehidupan,
birokratisasi ekonomi, praktek-praktek politik dan militer, serta tumbuhnya
moneterisasi nilai-nilai. Modernitas lahir bersamaan dengan menyebarnya
imperialisme Barat abad ke-16 M; dominasi kapitalisme Eropa Utara, khususnya di
Inggris dan Belanda; pengakuan dan penerapan metode ilmiah Francis Bacon dan
Isac Newton; institusionalisasi keyakinan dan praktek-praktek Calvinisme di
Eropa Utara; pemisahan konsep keluarga dari kelompok kekerabatan yang umum;
serta pembentukan konsep negara-bangsa (nation-state) abad ke-19 M (Turner,
1990: 6-10).
Modernitas juga menunjuk pada perubahan
sosial budaya secara massif, pemutusan hubungan secara radikal terhadap tradisi
dan kemapanan sosial peradaban yang mandeg. Dengan kata lain, modernitas adalah
sejarah penaklukan nilai-nilai lama Abad Pertengahan oleh nilai-nilai baru
Modernisme (Turner, 1990: 4).
Secara epistemologis, modernitas meliputi
empat unsur pokok.
Pertama, subjektivitas
yang reflektif, yakni pengakuan akan kekuatan-kekuatan rasional dalam
memecahkan masalah-masalah kehidupan. Kedua,
subjektivitas yang berkaitan dengan kritik atau refleksi, yakni kemampuan untuk
menyingkirkan kendala-kendala kebebasan dari tradisi dan sejarah.
Ketiga, kesadaran
historis yang dimunculkan oleh subjek, bahwa waktu berlangsung secara linear,
unik, tak terulangi dengan titik berat pada kekinian sebagai sumber sejarah.
Oleh sebab itu, modernisme memiliki kata-kata kunci: revolusi, evolusi,
transformasi serta progresi. Dengan kata lain, modernitas mendukung rasio (di
atas wahyu), kemajuan (di atas kemapanan) dan kebaruan (di atas kelampauan).
Keempat, universalisme
yang mendasari ketiga unsur sebelumnya. Dengan universalisme dimaksudkan bahwa
elemen-elemen modernitas bersifat normatif untuk masyarakat yang akan
melangsungkan modernisasi. Secara historis, sifat normatif ini diaktualisasikan
dalam gerakan Renaisans abad ke-16 M dan Pencerahan abad ke-18 M.
Dengan modernisasi, kebenaran wahyu diuji
di hadapan rasio, legitimasi kekuasaan digugat melalui kritik dan kesahihan
tradisi dipertanyakan berdasarkan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Dengan kata lain, semenjak suatu masyarakat menyatakan diri melaksanakan proses
modernisasi, maka masyarakat tersebut harus siap meninggalkan sikap-sikap naif,
dogmatis dan anti-perubahan, untuk kemudian meleburkan diri dalam suatu proyek
sejarah umat manusia mencapai tujuan tertentu di masa depan.
Sementara itu dalam diskursus filsafat,
modernisme mulai dibicarakan dan menemukan kematangannya melalui filsuf-filsuf
Descartes, Immanuel Kant dan Hegel. Melalui pemikiran tokoh-tokoh inilah
modernisme mulai memperkokoh diri dengan kebenaran-kebenaran ontologis, etis
dan epistemologis.
Perkembangan modernisme dalam berbagai
wilayah kehidupan lainnya tidak dapat dipungkiri merupakan implementasi
pemikiran filosofis ketiga tokoh ini. Rene Descarteslah yang menyadarkan
manusia akan kedudukan rasio sebagai determinan pengetahuan dan pembacaan
realitas dengan diktumnya Cogito ergo sum: aku berpikir maka aku ada. Melalui
Kant, hasrat emansipasi ini selanjutnya dibawa kepada kritisism yang
menyarankan kategori-kategori sebagai batas-batas realitas yang terberi. Dengan
kategori-kategori ini setiap ide, gagasan, pengalaman bahkan khayalan
direkonstruksi dalam sebuah ruang pembacaan baku.
Dengannya setiap realitas tidak dapat
lolos dari mekanisme pembacaan ini. Kualitas, kuantitas, ruang, waktu,
modalitas, substansi, kausalitas dan lain-lain, seolah-olah telah ditentukan
batas dan nilainya. Selanjutnya melalui Hegel, realitas modernisme
disempurnakan dengan ide gerak sejarah dialektis yang berpuncak pada rasio.
Idealisme absolut, yang merangkul tese dan antitese ke dalam konsepsi Aufgehoben
suatu filsafat identitas menjadi sebuah narasi utama modernisme.
Gerakan Renaisans, yang mendapat ilham
dari semangat Humanisme Italia pada abad ke-16 M, selanjutnya semakin
memperkokoh keyakinan akan segera lahirnya era baru menggantikan era Abad Pertengahan
yang dipandang telah jenuh, dogmatis dan beku. Sementara Pencerahan
(Aufklarung) abad ke-18 M menjadi landasan tegaknya era baru, yakni era modern.
Modernisme yang rasional, ketat, serius, sistematis dan tertib inilah wacana
dominan yang mengisi diskursus sejarah filsafat Barat abad ke-18 M hingga
sekarang. Semangat emansipasi, optimisme dan heroisme menghadapi situasi zaman
seolah merupakan satu-satunya tanggapan terhadap proyek sejarah modernisme.
Padahal, sebagaimana diungkap Michel
Foucault, pada waktu itu terdapat pula tanggapan menyimpang terutama dari
kalangan seniman yang bernada ironi terhadap modernisme. Ironi adalah semacam
keberanian, yang disertai kegetiran, untuk terlibat secara aktif dalam dunia
kini dan disini (lokal-historis) tanpa harus menggantungkan diri pada
kebenaran-kebenaran di luar diri manusia. Ironi juga berarti menjalani hidup
tanpa dibebani oleh prinsip-prinsip baku dan tidak berpretensi untuk menjadi
juru selamat.
Membaca modernisme dengan sikap ironi ini
berarti menolak anggapan bahwa modernitas membawa nilai-nilai universal (Ahmad
Sahal, 1994: 16). Terdapat pelbagai nilai, keyakinan, realitas dan
praktek-praktek sosial yang ternyata menyimpang dari rasionalitas era modern.
Penyair Perancis Charles Baudelaire misalnya, adalah salah seorang pembaca
modernisme dengan cara demikian.
Cara membaca seperti diwakili Baudelaire
inilah yang kini mulai menyingkap paradoks modernitas. Suara-suara minoritas
modernisme : subkultur, hippies, punk, skin head, masyarakat terasing, dunia
ketiga, kaum gay, gerakan lingkungan hidup, kaum feminis, budaya tanding mulai
menggugat kesombongan modernisme yang dianggap gagal merampungkan proyek
heroisme Pencerahan untuk membangun sebuah masa depan yang lebih baik.
Setidaknya terdapat enam alasan ekses
negatif proyek modernisme yang kini sedang digugat dan dipertanyakan.
Pertama, lantaran pandangan dualistiknya
yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek-objek, spiritual-material,
manusia-dunia, dan lain-lain, telah mengakibatkan objektivasi alam secara
berlebihan dan eksploitasi alam secara semena-mena.
Kedua, pandangan modern yang cenderung
objektivistik dan instrumentalis-positivistik akhirnya jatuh pada pembendaan
(reifikasi) manusia dan masyarakat. Sebagai akibatnya modernisme yang dahulu emansipatif
kini justru bersifat dehuman. Ketiga, dominasi ilmu-ilmu empiris-positivistik
terhadap nilai moral dan religi menyebabkan meningkatnya tindak kekerasan fisik
maupun kesadaran keterasingan dan pelbagai bentuk depresi mental.
Keempat, merebaknya pandangan
materialisme, yakni prinsip hidup yang memandang materi dan segala strategi
pemuasannya sebagai satu-satunya tujuan.
Kelima, berkembangnya militerisme karena
moral dan agama tidak lagi memiliki kekuatan disiplin dan regulasi. Keenam,
bangkitnya kembali tribalisme, semangat rasisme dan diskriminasi, yang
merupakan konsekuensi logis hukum survival of the fittest Charles Darwin (I.
Bambang Sugiharto, 1996: 29-30).
Dampak negatif modernisme ini sekaligus
menjadi senjata para seniman dan kelompok marjinal lainnya untuk menyerang dan
mendesak dipikirkannya kembali Proyek Modernisme. Pauline M. Rosenau, dalam
kajiannya mengenai postmodernisme dan ilmu-ilmu sosial, mencatat setidaknya
lima alasan penting terjadinya krisis modernisme (Rosenau, 1992: 10).
Pertama, modernisme dipandang gagal
mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah masa depan kehidupan yang lebih baik
sebagaimana diharapkan oleh para pendukungnya.
Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak
mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas
keilmuan demi kepentingan kekuasaan.
Ketiga, terdapat banyak kontradiksi
antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.
Keempat, ada semacam keyakinan bahwa ilmu
pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia.
Namun ternyata keyakinan ini keliru dengan munculnya berbagai patologi sosial.
Kelima, ilmu-ilmu modern kurang
memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisis manusia karena terlalu
menekankan atribut fisik individu.
Sementara itu dalam dunia seni, konsep
seni modernisme pun perlahan-lahan mulai menemui kondisi krisis. Merujuk
Featherstone, seni modernisme memiliki beberapa ciri utama yakni: kesadaran dan
refleksi estetis yang cukup tinggi, penolakan terhadap struktur narasi realitas
dan penerimaan terhadap konsep simultanisme dan montase, eksplorasi terhadap
hakekat realitas yang paradoks, ambigu, dan terbuka, serta penolakan terhadap
gagasan kepribadian yang utuh sembari merayakan gagasan subjek yang dehuman dan
terbelah (Featherstone, 1988: 202). Pandangan modernis demikian mulai digugat
karena tendensi universalisme dan kebenaran estetis yang seolah-olah merupakan
sebuah keniscayaan. Para seniman dan kritikus seni mulai malas berbicara
tentang seni modern yang beku, kelelahan dan kering.
Gagasan seni populer, seni massa, seni
fashion yang merangkum pastiche, parodi, kitsch dan camp, serta perpetual art,
seni perpetual, sebaliknya, mulai banyak dibicarakan. Kondisi yang sama terjadi
dalam wilayah kehidupan dan disiplin ilmu yang lain: sastra, arsitektur,
sosiologi, antropologi, sejarah, politik dan ekonomi.
Panorama modernisme yang terjebak
heroisme inilah yang menurut Daniel Bell, salah seorang pembicara awal
postmodernisme, yang merupakan benih krisis modernitas. Ditambah oleh
perkembangan kapitalisme lanjut yang luar biasa dahsyat, sebagaimana diungkap
Fredric Jameson dalam bukunya Postmodernism or The Cultural Logic of Late
Capitalism (1984), maka menjadi wajarlah gugatan, kejenuhan dan kekecewaan
terhadap semangat modernisme.
2.2 Postmodernisme dan Beberapa Tokohnya
Semenjak awal paruh kedua abad ke-20 M,
tepatnya pada kisaran tahun 1960-an, postmodernisme telah muncul sebagai
diskursus kebudayaan yang banyak menarik perhatian. Berbagai bidang kehidupan
dan disiplin ilmu seperti: seni, arsitektur, sastra, sosiologi, sejarah,
antropologi, politik dan filsafat hampir secara bersamaan memberikan tanggapan
terhadap tema postmodernisme. Meskipun tidak mudah atau malah hampir tidak ada
cara baku untuk mendefinisikan postmodernisme, namun tema ini bukanlah lahir
tanpa sejarah.
Postmodernisme hadir setelah melalui
perjalanan sejarah yang membentuknya hingga sampai pada keadaannya saat ini.
Inilah postmodernisme yang menggugat watak modernisme lanjut yang monoton,
positivistik, rasionalistik dan teknosentris; modernisme yang yakin secara
fanatik pada kemajuan sejarah yang linear, kebenaran ilmiah yang mutlak,
kecanggihan rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat
tata pengetahuan dan sistem produksi; modernisme yang kehilangan semangat
emansipasi dan terperangkap dalam sistem yang tertutup; dan modernisme yang tak
lagi peka pada perbedaan dan keunikan (Ariel Heryanto, 1994: 80).
Sebaliknya, postmodernisme menawarkan
ciri-ciri yang bertolak belakang dengan watak era pendahulunya, yakni:
menekankan emosi ketimbang rasio, media ketimbang isi, tanda ketimbang makna,
kemajemukan ketimbang penunggalan, kemungkinan ketimbang kepastian, permainan
ketimbang keseriusan, keterbukaan ketimbang pemusatan, yang lokal ketimbang
yang universal, fiksi ketimbang fakta, estetika ketimbang etika dan narasi
ketimbang teori (Ariel Heryanto, 1994: 80). Karakter yang sering disuarakan
postmodernisme antara lain adalah pluralisme, heterodoks, eklektisisme,
keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi, dekonstruksi,
pemencaran, perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi, de-definisi, demistifikasi,
delegitimasi serta demistifikasi (Bertens, 1995: 44).
Merujuk Akbar S. Ahmed, dalam bukunya
Postmodernism and Islam (1992), terdapat delapan ciri karakter sosiologis
postmodernisme.
Pertama, timbulnya pemberontakan secara
kritis terhadap proyek modernitas, memudarnya kepercayaan pada agama yang
bersifat transenden dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme
kebenaran.
Kedua, meledaknya industri media massa,
sehingga ia seolah merupakan perpanjangan dari system indera, organ dan syaraf
manusia. Kondisi ini pada gilirannya menjadikan dunia dan ruang realitas
kehidupan terasa menyempit. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma
menjadi Agama dan Tuhan baru yang menentukan kebenaran dan kesalahan perilaku
manusia.
Ketiga, munculnya radikalisme etnis dan
keagamaan. Fenomena ini muncul sebagai reaksi manakala orang semakin meragukan
kebenaran ilmu, teknologi dan filsafat modern yang dinilai gagal memenuhi janji
emansipatoris untuk membebaskan manusia dan menciptakan kehidupan yang lebih
baik.
Keempat, munculnya kecenderungan baru
untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisme dengan
masa lampau.
Kelima, semakin menguatnya wilayah
perkotaan (urban area) sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya, wilayah
pedesaan (rural area) sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi
menguatnya dominasi negara maju (Negara Dunia Pertama) atas negara berkembang
(Negara Dunia Ketiga).
Keenam, semakin terbukanya peluang bagi
pelbagai kelas sosial atau kelompok minoritas untuk mengemukakan pendapat
secara lebih bebas dan terbuka. Dengan kata lain, era postmodernisme telah
turut mendorong proses demokratisasi.
Ketujuh, munculnya kecenderungan bagi
tumbuhnya ekletisisme dan pencampuradukan berbagai diskursus, nilai, keyakinan
dan potret serpihan realitas, sehingga sekarang sulit untuk menempatkan suatu
objek budaya secara ketat pada kelompok budaya tertentu secara eksklusif.
Kedelapan, bahasa yang digunakan dalam
diskursus postmodernisme seringkali mengesankan tidak lagi memiliki kejelasan
makna dan konsistensi, sehingga bersifat paradoks (Ahmed, 1992: 143-4).
Istilah postmodernisme, merujuk Ihab
Hassan, dipergunakan pertama kali oleh Federico de Onis, seorang kritikus seni,
pada tahun 1930 dalam tulisannya Antologia de la Poesia Espanola a
Hispanoamericana untuk menunjuk kepada reaksi minor terhadap modernisme yang
muncul pada saat itu (Featherstone, 1988: 202). Istilah ini kemudian sangat
populer di tahun 1960-an ketika seniman-seniman muda, penulis dan krikitus seni
seperti Hassan, Rauschenberg, Cage, Barthelme, Fielder dan Sontag
menggunakannya sebagai nama gerakan penolakan terhadap seni modernisme lanjut.
Seni postmodern memiliki ciri-ciri yang
berbeda dengan seni modernisme lanjut, yakni: hilangnya batas antara seni dan
kehidupan sehari-hari, runtuhnya distingsi antara budaya tinggi dan budaya
massa/populer, maraknya gaya eklektis dan campur aduk, munculnya kitsch,
parodi, pastiche, camp dan ironi, merosotnya kedudukan pencipta seni, serta
adanya asumsi seni sebagai pengulangan, perpetual art (Featherstone, 1988:
202). Penggunaan istilah postmodernisme selanjutnya perlahan-lahan mulai
menyentuh bidang-bidang yang lain.
Dalam bidang arsitektur, istilah
postmodernisme mengacu kepada perlawanan bentuk-bentuk arsitektur modern yang
menonjolkan keteraturan, rasionalitas, objektif, praktis, ruang isotropis dan
estetika mesin, dimana prinsip bentuk mengikuti fungsi menjadi dewa. Arsitektur
postmodernisme, sebaliknya menawarkan konsep bentuk asimetris, ambigu, naratif,
simbolik, terpiuh, penuh kejutan dan variasi, ekuivokal, penuh ornamen, metafor
serta akrab dengan alam (Andy Siswanto, 1994: 36). Doktrin bentuk mengikuti
fungsi dibalik menjadi fungsi mengikuti bentuk.
Jika modernitas dipahami sebagai kurun
waktu sejarah yang berkembang semenjak era Renaisans, maka postmodernitas
adalah kurun waktu sejarah yang seringkali dikaitkan dengan perubahan realitas
dunia seusai Perang Dunia II (Featherstone, 1988: 197). Postmodernitas ditandai
dengan lahirnya totalitas struktur sosial baru, perkembangan teknologi dan
informasi yang pesat, serta terbentuknya masyarakat komputerisasi, dunia
simulasi dan hiperrealitas.
Merujuk Mike Featherstone, seorang
sosiolog dan kritikus kebudayaan, postmodernisme memiliki tiga ruang pengertian
yang berada dalam wilayah kebudayaan. Pertama, sebagai perubahan bentuk
teorisasi, presentasi dan diseminasi karya seni dan intelektual yang tidak
dapat dipisahkan dari perubahan mikro dalam wilayah kebudayaan. Kedua, sebagai
perubahan ruang budaya yang lebih luas mencakup bentuk-bentuk produksi,
konsumsi dan sirkulasi tanda dan simbol yang dapat dikaitkan dengan perubahan
yang lebih luas pula dalam relasi keseimbangan dan kekuasaan dalam masyarakat.
Ketiga, sebagai perubahan praktek dan pengalaman keseharian berbagai kelompok
yang menggunakan rezim penandaan (regime
of signification) dalam berbagai cara dan gaya, serta mengembangkan
sarana-sarana baru bagi orientasi dan pembentukan identitas (Featherstone,
1988: 208).
Sementara itu, Daniel Bell, seorang
sosiolog, bahkan melihat postmodernisme sebagai puncak tendensi perlawanan
terhadap modernisme, dengan hasrat, insting dan kegairahan untuk membawa logika
modernisme sampai ke titik terjauh yang mungkin bisa dicapai (Featherstone,
1988: 202). Agak berbeda dengan Bell, Jean Baudrillard, salah seorang pembicara
terdepan postmodernisme, memandang postmodernisme lebih sebagai strategi
pembacaan realitas dengan objek sentral prinsip reproduksi tanda-tanda,
kapitalisme multinasional yang membawa akibat perluasan luar biasa dalam dunia
sosial dan meledaknya budaya massa. Postmodernisme dengan demikian adalah
metode analisa kritis yang mencoba membongkar mitos dan anomali paradigma modernisme,
membuka ironi, intertekstualitas dan paradoks, mencoba menemukan suatu teori
masyarakat postmodern atau postmodernitas, dan menggambarkannya dalam realitas
sosial yang ada dalam masyarakat kontemporer Barat dewasa ini (Featherstone,
1988: 204).
Untuk memudahkan pemetaan prinsip dan
kedudukan modenisme dan postmodernisme, Ihab Hassan mencoba menyusun sebuah
tabel sistematis yang menggambarkan perbandingan prinsip kedua paradigma
pemikiran tersebut (Harvey, 1995: 43):
MODERNISME POSTMODERNISME
Romantis/Simbolis
Parafisik/Dadisme
Bentuk/Berhubungan/Tertutup
Anti Bentuk/Tak
Berhubungan/Terbuka
Tujuan Permainan
Desain Kesempatan
Hierarki Anarki
Master/Logos Kejenuhan/Kediaman
Objek Seni/Karya Proses/Penampilan/Happening
Berjarak Partisipasi
Kreasi/Totalisasi/Sintesis
Dekreasi/Dekonstruksi/Anti
Sintesis
Kehadiran Ketidakhadiran
Pemusatan Tersebar
Genre/Batas Teks/Interteks
Semantik Retorik
Paradigma Sintagma
Hipotaksis Parataksis
Metafor Metonimi
Seleksi Kombinasi
Akar/Kedalaman Rhizoma/Permukaan
Interpretasi/Pembacaan
Melawan-Interpretasi/Kesalahbacaan
Petanda Penanda
Terlihat/Terbaca Tercatat/Tertulis
Narasi/Narasi
Besar Anti-Narasi/Narasi
Kecil
Tanda Idiolek
Simtom Hasrat
Jenis Mutan
Genital/Phalik Polimorphi/Androgini
Paranoia Schizophrenia
Asli/Sebab Perbedaan/Jejak
Tuhan Setan
Metafisik Ironi
Determinasi Indeterminasi
Transenden Imanen
Secara historis, kelahiran postmodernisme
dapat dilacak jauh ke alur sejarah kegagalan modernisme. Benih-benih kekecewaan
terhadap modernisme pertama kali muncul pada tahun 1950-an dalam dunia sastra,
ketika Charles Olson, seorang penyair Amerika, menggunakannya untuk menyebut
gerakan anti-modernisme dan anti-rasionalitas modern dalam dunia puisi
kontemporer Amerika (Bertens, 1995: 20). Gerakan anti-modernisme, yang
dipelopori oleh John Cage, Robert Rauschenberg, Merce Cunningham, ini adalah
gerakan yang mencoba membangun kesadaran untuk keluar dari kungkungan dan kuasa
rasionalitas seni modern.
Para seniman dan penyair saat itu mulai
merasa jenuh berada dalam ketertutupan dan kekakuan rasionalitas instrumental
dunia modern. Dalam tulisannya Human Universe (1951), Olson menyatakan bahwa
dunia kebudayaan Barat, karena orientasi ontologisnya yang membabi-buta
terhadap rasionalitas modern, telah menyebabkan hilangnya otentisitas kehidupan
dan kesejatian pengalaman manusia. Sebagai akibatnya manusia tidak lagi mampu
mengalami dan menghayati kekayaan realitas kehidupan dengan segenap keunikannya
masing-masing (Bertens, 1995: 21).
Hal yang ada hanyalah sebuah realitas
tunggal yang monolitik, dogmatis dan ideologis. Sebaliknya, gerakan
anti-modernisme menyatakan sikap penolakan terhadap pandangan rasionalitas
modern yang menjunjung tinggi universalitas, subjek transenden, ego individual,
dan merayakan otentisitas kehidupan. Gerakan anti-modernisme hendak mencoba
melawan keangkuhan nilai dan estetika sastra modern.
***
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapatlah
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Istilah modernisme saat itu tentu belum
merupakan epoch sejarah baru yang bermaksud memutuskan diri dari realitas
sejarah sebelumnya. Ia baru muncul sebagai istilah kebudayaan yang menghendaki
sesuatu yang baru, yang berbeda, seperti halnya arti kata modern yang diadopsi
dari bahasa Latin tersebut.
Postmodernisme memiliki tiga ruang
pengertian yang berada dalam wilayah kebudayaan. Pertama, sebagai perubahan
bentuk teorisasi, presentasi dan diseminasi karya seni dan intelektual yang
tidak dapat dipisahkan dari perubahan mikro dalam wilayah kebudayaan. Kedua,
sebagai perubahan ruang budaya yang lebih luas mencakup bentuk-bentuk produksi,
konsumsi dan sirkulasi tanda dan simbol yang dapat dikaitkan dengan perubahan
yang lebih luas pula dalam relasi keseimbangan dan kekuasaan dalam masyarakat.
Ketiga, sebagai perubahan praktek dan pengalaman keseharian berbagai kelompok
yang menggunakan rezim penandaan (regime
of signification) dalam berbagai cara dan gaya, serta mengembangkan
sarana-sarana baru bagi orientasi dan pembentukan identitas (Featherstone,
1988: 208).
3.2 Saran-Saran
Sebagai penutup dari makalah ini penulis
menyampaikan sejumlah saran, sebagai berikut:
a.
Sebagai calon guru, ilmu postmodernisme sudah sangat perlu
dikuasai untuk menunjang ilmu pegetahuan yang kita miliki.
b.
Sebuah ilmu tidaklah baik dikuasai tanpa mengetahui asal
usulnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben. 2003. Teori Sosial kritis: Kritik, Penerapan
dan Implikasinya. Kreasi Wacana: Yogyakarta
Ahmed, Akbar S.
1992. Postmodernisme: Bahaya
dan Harapan Bagi Islam. Mizan: Bandung
http://learning-of.slametwidodo.com/?s=modernisme diakses pada
tanggal 27 Januari 2012
http://librarianship-umir.blogspot.com/2010/08/pendekatan-postmodernisme.html# uds-search-results diakses pada tanggal 27 Januari 2012
http://umum.kompasiana.com/2009/07/07/postmodernisme-101/ diakses pada
tanggal 27 Januari 2012
Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari
Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme. Yayasan Obor Indonesia:
Jakarta
Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern.
Juxtapose bekerjasama dengan Kreasi Wacana: Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar