MENGULIT KENANGAN
Cerpen
Sihaloho, Ar. Zainal
Tiba-tiba aku
teringat ibu setelah sekian lama aku terpisah atau tepatnya memisahkan diri
dari mereka. Di mata mereka aku memang bukan anak yang berbakti. Ya, memang
begitulah kanyataannya. Aku memang bukan anak yang berbakti. Tapi tentunya ini
bukanlah kemauanku juga. Aku tau, apapun yang diharapkan orangtuaku padaku
sebenarnya adalah tujuanku juga. Tapi disaat aku asyik mewujudkan harapan ibu
dan ayah yang sebenarnya adalah tujuan hidupku juga, sebuah cinta telah
membutakan mataku dan menanarkan langkahku, hingga jadilah aku seperti sekarang
ini.
Aku dan ibu
selalu sejalan dalam segala hal, paling hanya perdebatan kecil yang terjadi
antara aku dan ibu. Jika argumenku
diterima ibu, ibu selalu mengalah dan jika argumen ibu bisa kuterima,
aku pun mengalah juga.
Sayangnya cinta
telah membuat mataku buta. Kebutaan terhadap cinta itupun bukan tanpa alasan.
Sebagai orang yang berpendidikan, tentunya aku punya nalar yang cukup tinggi
hanya saja aku memang terlalu terbuai dengan mimpi hingga tenggelam di
dalamnya. Ini menurut Syam, sahabat kentalku sejak kecil.
“Apa kabar lo
sekarang, Syam? Siapa ya yang akhirnya menjadi pendamping hidup lo?” kataku
pelan dalam lamunanku. Aku jadi sangat merindukannya. Syam seorang sahabat yang
cukup setia dan dialah satu-satunya sahabat yang pernah aku miliki.
Air mataku
menetes mengalir hingga ke daguku dan menetes pada kertas koran yang sedang
kubaca. Sebuah cerpen Syam yang dimuat di koran. Aku tau, cerita itu tentang
aku. Semuanya dinyatakan, namaku, namanya, dan sederet peristiwa-peristiwa yang
cukup mengesankan yang masih segar diingatanku. Peristiwa yang pernah
diungkitnya ketika beberapa saat sebelum aku menceritakan masalahku saat itu
yang esoknya dia mengajakku menikah.
Andai saja saat
itu aku tidak sedang positif hamil di luar nikah, hanya ditinggalkan Gery
semata, mungkin lamaran itu segera aku sanggupi. Sekian lama aku menunggunya
mengungkapkan cintanya padaku. Tapi sampai kehadiran Gery dalam hidupku, mimpi
aku yang satu itu tidak pernah terkabul. Ketika Gery mengungkapkan cintanya dan
jadilah aku pacaran dengan Gery dan mulai menghapus mimpiku untuk suatu saat
jadi pendamping hidup Syam.
Aku juga pernah
mendengar ibuku berbincang dengan ayah yang mendambakan Syam sebagai suamiku.
Saat itu aku berharap mereka memutuskan untuk mempertunangankan aku dengan Syam,
karena aku tau Syam adalah anak yang paling berbakti kepada orangtua yang
pernah aku kenal. Sayangnya, pemikiran ayah dan ibu sudah maju dan tak ada
dalam kamus mereka masalah jodoh menjodohkan. Mereka sangat demokratis pada
semua anak mereka yang membiarkan anak mereka memilih pasangan hidup sendiri.
Mereka tak
sedikitpun kecewa dengan pilihan Kak Aulia yang seorang dokter memilih pasangan
hidup seorang tukang ojek. Mereka juga tidak menunjukkan kekecewaan ketika Mas
Nurman yang menikah dengan janda beranak tiga. Tapi mereka menikah dengan
baik-baik dan tidak berbuat yang dilarang agama, itu yang aku tau. Sementara
aku, udah melakukan perbuatan dosa, eh, malah ditinggalkan pergi. Meskipun saat
ini aku hidup bersamanya, tapi seminggu yang lalu ia ditangkap polisi karena
terlibat peredaran Narkoba. Tinggallah aku sendiri saat ini dengan kondisi
hamil tua dan tanpa tempat tinggal.
Bagaimana nanti
kalau tiba saat melahirkan? Siapa yang akan membantu aku? Siapa yang peduli?
Andai saja waktu bisa berputar kembali. Aku tertegun menatap ke kejauhan dari
tepatku duduk.
Sebuah mobil
berhenti di depanku dan kaca jendelanya terbuka.
“Mbak, sekitar
sini ada bengkel, gak?” tanya pengemudi mobil itu.
“Sekitar seratus
meter ke depan sana ada bengkel, Pak!” jawabku menunjuk ke tepat yang aku
maksud kemudian menoleh padanya.
“Dian…!”
teriaknya.
Aku kaget
mendengar namaku di panggil pengemudi mobil itu dari dalam mobilnya yang segera
keluar. Kutatap wajahnya lekat-lekat, tapi tetap tak dapat kukenali laki-laki
itu.
“Aku Syam. Masa
lo udah gak kenal aku, Di!” katanya ketika aku mengernyitkan keningku mencoba
mengingat-ingat.
“Syam?” pikirku
dalam hati.
“Syam siapa, ya?”
tanyaku. “Trus kamu tadi manggil aku dengan nama Dian, maksudnya Dian yang
mana?”
“Ternyata seorang
Gery udah ngeracuni pikiran lo, Di. Persahabatan kita?” katanya sambil meraih
koran yang ada di tanganku dan membukanya. “Ini cerpenku dan ada tetes air
mata, apa lo masih mau ngelak, kalo lo itu Dian?”
Aku menunduk, tak
sanggup menatap pandangan matanya.
“Lebih dua puluh
tahun kita bersahabat, Di, gerak-gerikmu udah aku hafal luar kepala. Penampilan
lo boleh berganti, ingat sorot mata lo gak bakal bisa lo ubah sedikitpun.”
katanya.
Air mataku
menetes.
“Kalo lo bukan
Dian, kenapa lo nangis?”
“Syam…!”
“Ya, aku, Di. Apa
kabarmu?”
“Baik?”
“Mana Gery?”
“Penjara!”
“Kenapa
dengannya?”
“Dia seorang
pengedar Narkoba.”
“Udah berapa lama
dia di penjara?”
“Baru seminggu,
aku yang menjebaknya?”
“Kenapa?”
“Aku udah gak
tahan diperlakukan seperti binatang.”
“Jadi kamu
tinggal di mana sekarang?”
“Aku tidak punya
tempat tinggal.”
“Trus?”
“Melanglang
buana, sementara aku punya ibu dan ayah, tapi tak mungkin aku kembali.
Perbuatanku telah menghina mereka dan meninggalkan luka yang terdalam.”
jelasku. “Lo, apa kabar sekarang?”
“Baik!”
“Mana istri lo?”
“Aku belum
menikah.”
“Kok belum?”
“Aku…aku… nunggu
lo.”
“Untuk apa?”
“Untuk kujadikan
istri.”
“Itu tak pantas,
Syam.”
“Kenapa?”
“Lo tau siapa aku
kan?”
“Lo sahabat aku
dan satu-satunya cewek yang pernah aku impikan jadi istri aku.”
“Berhentilah
bermimpi, Syam!”
“Udah lama aku
berhenti bermimpi, Di, tapi kini lo udah aku temukan dan aku pengen bermimpi
lagi.”
“Itu gak mungkin,
Syam!”
“Kenapa? Karena
lo udah begini? Aku gak peduli!”
“Meski lo ga
peduli tapi lo mesti peduli ama Om dan Tante.”
“Andai lo tau
gimana marahnya ayah dan ibuku waktu aku certain yang sesungguhnya ke mereka
dan nganggap aku sahabat yang gagal karena gak berhasil menahan lo untuk tidak
pergi.” jelasnya. “Sekarang, kamu ikut pulang! Bayi yang ada dikandunganmu
butuh perhatian!”
“Tidak, Syam! Aku
tidak mungkin pulang dengan kondisi begini.”
“Jadi, dengan
kondisi begini lo pantasnya melanglang buana di sini, bukan istirahat. Apa
peduli lo ama Gery sekarang?”
“Dia ayah dari
bayi yang ada dalam kandunganku.”
“Itu anggapan lo,
Di. Anggapan dia gak gitu, kan. Dia gak pernah nganggap bayi yang ada dalam
kandungan lo itu anaknya.”
“Kok bisa lo
ngomong gitu?”
“Di, apa masih
kurang buktinya ama lo? Kalau dia nganggap anak yang ada dalam kandungan lo itu
anaknya, dia gak mungkin nyia-nyiain lo kek gini. Lo ini aneh, Di, orang yang
sayang ama lo, lo malah tinggalin demi orang yang ga sayang ama lo. Aku pikir
setelah ngejalani hidup ama dia, lo tau siapa dia, ternyata nggak. Sekali lagi
aku bilang ama lo, Di, Gery itu laki-laki brengsek.”
Aku terdiam
mendengar kata-kata Syam.
“Apa lagi yang lo
pikirin, Di? Sekarang, kalo lo gak mau pulang, ok, aku maklum. Tapi setidaknya
lo ikut aku nyari kontrakan buat lo.” katanya menarik tanganku dan membukakan
pintu mobilnya untukku. Tak ada pilihan lain, aku tak bisa menolak lagi.
Hampir seharian
kami berputar-putar mencari rumah yang bisa dikontrak, baru setelah senja rumah
itu kami ketemukan dan ia meninggalkan aku setelah berpesan sesuatu pada
pemilik rumah. ***
Andam Dewi
Senin-Rabu, 18-20 April 2011
Pukul 22.44 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar