CINTA JANGAN DIKEJAR
Cerpen:
Sihaloho, Ar. Zainal
SECARA
tiba-tiba pergelangan tanganku digenggam sebuah tangan mungil dan menarikku
dari tempat dudukku. Aku segera berdiri dengan tarikan tangan itu karena tidak
menduga sebelumnya.
“Syam, kamu ikut
aku sebentar!” katanya sambil terus menarik tanganku.
“Iya, aku ikut
tapi lepaskan tanganku dulu! Aku bisa jalan sendiri dan gak bakal nyasar di
kampus ini.” balasku pada Dian. Dian sahabatku sejak kecil, dia orangnya
energik, ceria dan selalu mamerin senyum manis ama siapa saja, gak pandang
bulu. Semua dipukul rata. Tapi kali ini tak seperti biasanya, wajahnya keliatan kusut dan
rambutnya agak sembraut. Aku berpikir, kenapa dia.
“Gak. Emang napa
kalo aku megang tangan kamu?” balasnya masih tetap menarik tanganku.
“Lo kenapa, Di.
Kusut banget, mana wajah kamu pucat lagi?” kataku ketika kami sampai di tempat
yang agak sepi, di situ hanya ada kami berdua.
Tanpa menjawab
pertanyaanku, dia langsung berhambur ke pelukanku dengan tangisnya.
Perlakuannya jelas membuat aku bingung, tapi aku tak tau harus berbuat apa-apa
selain membiarkannya berbuat sesukanya.
Rasa ingin tauku
memaksa aku menggenggam kedua bahunya dan melepaskan dekapannya padaku.
“Kamu, napa
nangis gak jelas gini?”
Dia memalingkan
mukanya dan membelakangiku, tapi apa yang ingin aku tau darinya belum juga
terjawab. Ia menggigit bibirnya sebelah bawah seolah ia sedang melepaskan
sebuah beban yang tak sanggup dipikulnya. Beban yang aku tak tau apa. Aku hanya
manusia biasa yang tak bisa membaca semua tingkah lakunya.
“Lo napa, sih?”
tanyaku kembali sedikit emosi setelah pertanyaanku tidak dijawab olehnya. “Lo
udah sinting kali ya, nongol di depan aku, narik tangan aku membawa ke tempat
ini dan di sini lo nangis dipelukan aku tanpa jelas sebabnya?” protesku. “Kalau
lo punya masalah, lo boleh cerita ama sahabat lo ini. Aku siap jadi teman
curhat kamu dan sebiasaku akan aku bantu. Toh, sejak dulu lo juga gitu, kan.
Gak ada masalah lo yang gak lo certain ke aku.” lanjutku mencoba
memancingnyauntuk bercerita.
“Tapi ini beda,
Syam. Ini gak kek masalah yang dulu-dulu.” jawabnya. Jawaban yang membuat tanda
tanya dibenakku semakin gede. “Aku gak tau apa komentar lo ama aku ntar dan aku
yakin lo gak bakal bisa bantu aku.” lanjutnya.
“Oh, gitu, ya!”
sahutku singkat. Tanpa menoleh dia mengangguk. “Kalau gitu aku cabut, ya!
Kebetulan aku gak bisa dan kayaknya
bukan aku yang tepat ngedengar masalah lo.” kataku. Kata-kataku cukup ampuh
untuk membuatnya sekedar berbalik dan menghadap ke aku.
Sesaat dia
menatapku dengan perasaan kecamuk yang tak bisa kutangkap apa yang sedang
dihadapinya.
“Mungkin aku
bukan sahabat yang baik buat kamu, karena tanpa ngomong aku gak bisa tau apa
yang terjadi ama lo. Yang jelas, aku bukan malaikat yang tau tanpa lo ceritain
apa masalah lo meskipun kita udah cukup lama bersahabat, tapi tetap aku punya
keterbatasan. Meskinya lo bersahabat ama peri seperti yang ada dalam khayalan
lo itu, bersahabat ama mimpi-mimpi lo yang
nurut aku sangat mustahil itu.” kataku menatapnya tajam. “Dari awal aku
udah bilang ama lo, jangan terlalu kebawa mimpi, gak baik meskipun mimpi itu
bisa beri kita semangat.”
Dia masih menatap
aku dengan perasaan kecamuk. Sesaat ia menengadah ke atas langit sambil
memejamkan matanya. Digigitnya bibirnya bagian bawah menahan tangis yang hampir
pecah. Sesaat dia kembali menegakkan kepalanya sambil membuka matanya dan
menatap aku.
“Kenapa mentapku
seperti itu?”
Tak ada jawaban
yang kudengar darinya.
Akhirnya aku
mendekatinya dan mulai melunakkan hatiku. Kuraih tangannya dan menggenggamnya
berharap memberikannya sedikit ketenangan, meskipun entah ketenangan seperti
apa yang dia harapkan dariku saat itu, yang pasti hanya itu yang bisa kuperbuat
saat ini sebelum dia menceritakan masalahnya kepadaku. Aku berharap dengan
berbuat demikian aku bisa mendengar ceritanya tentang masalah yang dihadapinya
saat itu.
“Di, mau nggak
kita ke suatu tempat?”
“Ke mana?”
“Yuk…!” kini aku
yang menarik tangannya tapi dengan lembut seperti menggandengnya. Sedikitpun
aku tidak menimbulkan kesan memaksa. Setelah sampai di motor bututku kunyalakan
mesin dan menyuruhnya naik. Kupacu motor bututku itu hingga sampai ke tempat
yang aku tuju. Di situ aku menghentikan laju motor bututku dan mematikannya.
“Masih ingat
tempat ini?” tanyaku sambil menatapnya dengan sedikit senyum. Dia balik
menatapku setelah memandangi hamparan air yang menggenang di danau yang tenang.
Ia tersenyum.
Hanya sedikit. Cukup tipis dan itulah senyum khasnya yang membuat aku kagum
dengan sahabat kentalku satu ini. Aku sedikit lega karena ia masih punya senyum
itu. Aku pikir senyum itu ikut pudar saat ia menghadapi masalah yang aku juga
tidak tau masalahnya apa.
“Dulu tempat ini
adalah tempat paforit kita. Waktu SD kita sering belajar di sini, mancing di
sini dan aku selalu kalah dengan hasil pancingan yang lo dapat meskipun
akhirnya hasilnya kita satukan dan kita bagi dua.” kenangku padanya. “Di sini
juga kita menyepakati sebuah nama yang kita sandang, lo dipanggil ‘Marmut’ dan
aku dipanggil ‘Bodat’. Waktu SMP kita pernah bolos kemari dan kerja kita hanya
duduk-duduk saja sampai tiba-tiba kedua orang tua kita mengejar-ngejar kita.”
lanjutku.
Tiba-tiba dia
tertawa kecil, suara tawanya cukup membuat aku menoleh padanya.
“Ya…!” aku masih
ingat itu. “Sampai di rumah, aku dituduh ibu sebagai dalang semuanya, ibu
menuduh akulah yang mengajakmu kemari.”
“Aku juga dituduh
seperti itu. Ayah menuduhku kalau akulah yang mengajakmu kemari.” balasku.
“Sampai sekarang aku belum tau kenapa mereka jadi tau kalau kita ada di sini
waktu itu, padahal tempat ini hanya tau kita berdua.”
Sesaat dia
terdiam, pandangan matanya terlihat kosong dan jauh. Seolah ada sesuatu yang
sangat berat menghimpitnya, sayangnya sampai saat ini dia belum mau cerita
tentang masalah yang terjadi padanya.
“Aku heran, kok
tadi tiba-tiba aja lo nangis tanpa sebab yang jelas. Sebenarnya ada apa ama lo.
Aku bingung. Benar-benar gak ngerti dengan sikap lo tadi, tapi ada untungnya
juga buat aku, kejadian tadi adalah saat yang pertama kali aku dipeluk ama lo.”
kataku sambil meliriknya.
Dia tidak
menolehku. Pandangan matanya tetap kosong. Sikapnya membuat aku semakin
bingung.
“Gimana hubungan
kamu ama Gery, baik-baik aja, kan?” akhirnya kuputuskan saja menanyakan hal itu
siapa tau dari situ ada celah buat dia menceritakan masalahnya.
Dia segera
menolehku dan menatapku dengan muka yang paling kusut yang dimilikinya
menurutku, selama ini dia tak pernah menatapku seperti itu.
“Inilah
masalahnya, Dat!” akhirnya dia buka bicara dengan panggilan khas yang kami
miliki dan hanya kami gunakan saat kami berdua.
“Kok bilang gitu,
Mut, emang hubungan kamu ama Gery….”
“Dia menghilang
dan ninggalin aku. Sudah seminggu komunikasi terputus dengannya dan ini yang
buat aku bingung.”
“Kok bisa?”
tanyaku dengan sedikit lega, mungkin ini kesempatanku buat memilikinya dan
mengungkapkan perasaan aku ke dia, tapi gak mungkin secepat ini.
“Ntahlah…!”
balasnya pendek. Air mukanya seketika tambah keruh sambil memegang perutnya dan
memukul-mukulnya dengan pelan.
“Lo lapar, Mut?”
Ia tak menjawab
hanya menggeleng.
“Trus? Masuk
angin?” lanjutku ketika kuliat wajahnya pucat dan tiba-tiba ia mual. Aku yang
duduk di sampingnya langsung melingkarkan tanganku ke pundaknya. “Lo kenapa,
sih, sebenarnya?” tanyaku agak kesal sambil menyodorkan sapu tang padanya.
“Dat, apa lo
masih nganggap aku sahabat lo jika aku certain semua ke lo?” tanyanya setelah
menyeka mulutnya dengan sapu tangan yang kuberikan tadi.
“Marmut…Marmut…,
kek lo baru kenal aku aja.” balasku menanggapi pertanyaannya, meskipun bukan
jawaban itu yang diharapkannya.
“Ini sangat
memalukan, Syam. Mungkin setelah lo dengar, lo langsung ninggalin aku di sini
tanpa pernah mau ketemu aku lagi.”
“Anggap aku
sahabat lo, dan ceritain semua, ya meskipun tanpa menganggap pun kita emang
udah sahabat sejak kita kecil dulu.”
“Perut aku,
Syam…!” katanya. Dia tidak lagi menggunakan panggilan ‘Bodat’ ke aku. Tapi kini
ia memanggil nama yang diberikan kedua orang tuaku.
“Kenapa dengan
perutmu, Di?”
“Syam…!” katanya
ragu. Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku udah stress banget mikirin ini,
sementara Gery nggak tau di mana.”
“Tunggu…tunggu…,
jangan bilang ke aku kalo lo…lo….” Aku memberanikan diri memegang perutnya
dengan penuh harap kalau itu tidak benar-benar terjadi. Aku menatapnya dengan
raut tanya yang …., ah, entahlah.
“Syam…, itulah
yang terjadi….” tangisnya pecah tanpa sanggup lagi melanjutkan kata-katanya. Ia
segera menghambur kepelukanku.
Air mataku tak
dapat kubendung. Dian yang ada dalam dekapanku kudekap seerat-eratnya. Dua
bulir air mataku telah mengalir sampai pada daguku, dan bulir-bulir yang lain
segera saling susul dan jatuh ke punggungnya. Aku tak tau apakah ia merasakan
air mataku yang jatuh kepunggungnya atau tidak.
“Sejak awal aku
udah ngeliat gelagat yang tak bersahabat dari Gery, tapi untuk mengatakannya ke
lo aku gak bisa. Aku takut kalo kamu anggap aku yang gak bersahabat. Aku udah
pernah pengen tulis semua ini dan ngasih ke lo. Tapi aku takut, hal itu akan
merenggangkan hubungan persahabatan kita. Sementara, aku gak ngelakuin itu aja
hubungan kita udah terbentang jauh.” kataku terbata-bata sambil mempererat
dekapanku padanya.
Ia tak menggubris
kata-kataku. Ia malah memperkeras tangisnya. Jelas aku gak tau apa yang bisa
kuperbuat saat ini. Aku tak tau harus cari Gery ke mana.
“Di, apa dia
pernah nyeritain tentang asal usulnya ke lo?” tanyaku untuk mencari ide apa
yang harus kuperbuat.
Aku merenggangkan
pelukanku dan berusaha menatap wajahnya. Baru beberapa saat ia menangis tapi
wajahnya telah sekuyu itu. Sesaat ia menyeka air matanya dengan sapu tangan
yang tadi kuberikan.
“Aku tak pernah
menanyakan hal itu padanya.” katanya setelah air matanya kering.
“Lantas ke mana
aku akan mencarinya, Di? Sementara ini tak bisa kita anggap sepele, apalagi
menunda-nundanya.”
Ia tak menjawab.
Wajahnya dialihkan ke hamparan danau yang luas dan berair bening serta tenang.
Lama kami terdiam, bermain dengan jalan pikiran masing-masing.
“Apa dia sudah
tau?”
“Aku baru cek
kemarin, sementara dia udah menghilang selama dua minggu ini. Semua nomornya
telah aku hubungi tapi usahaku sia-sia.”
Otakku segera
kuputar mencari tau apa yang harus aju lakukan sebagai sahabatnya. Tentu bukan
hanya sebatas sahabat saja, tapi lebih dari itu.
“Mungkin lebih
baik kita pulang saja agar kita berpikir secara jernih dan besok aku jemput ke
rumahmu.” kataku akhirnya. Dia hanya mengikut saja tanpa memberi komentar
apa-apa.
Setelah mesin
motor bututku nyala, ia naik dan kami segera meninggalkan tempat itu
***
MALAM akhirnya
tinggalkan siang. Sesuatu yang berat kini menghimpit dadaku. Aku harus berpikir
keras agar bisa membantu Dian lepas dari masalahnya. Masalah yang aku anggap
tak sepele, bahkan cukup serius, menurutku. Otakku terus kuputar mencari
berbagai macam ide. Sungguh sejak siang tadi aku tak mampu menemukan ide
apa-apa. Bahkan aku malah ketiduran tadi setelah lama berpikir.
Ah, Di…, kenapa sih mesti kek gini? Kenapa dengan
gamblangnya lo nyerahin semuanya ama laki-laki yang gak jelas asal usulnya? Lo
liat sekarang hasil mimpi-mimpi lo, semua bikin hidup lo berantakan, pikirku.
Aku keluar dari
kamar dan mencari ibu. Tapi aku tak mungkin menceritakan hal ini pada ibuku.
Itu sama saja menceritakan pada orangtua Dian. Apa bedanya, toh antara mereka
juga tak ada yang namanya rahasia. Sama antara aku dan Dian.
Aku kembali berbalik
dan masuk ke kamarku, tapi sebelum pintu aku kunci, ibu malah memanggilku.
“Syam!”
“Ya, Bu!” aku
kembali keluar dari kamar.
“Kamu kenapa,
sejak pulang dari kampus tadi kok ngurung diri terus?”
“Eh…, anu, Bu. Ini,
ngoreksi tugas siswaku!” jawabku asal. Ini pertama kalinya aku bohong pada ibu
sejak aku kuliah. Padahal waktu aku lulus SMA dulu aku sudah berjanji untuk
tidak bohong lagi pada ibu, tapi aku tidak mungkin menceritakan masalah Dian ke
ibu.
Aku memang
seorang guru di sebuah SMP, tempatku dulu sekolah. Kepala Sekolah mempercayakan
aku mata pelajaran Bahasa Indonesia dan kepercayaan itu memang aku buktikan
dengan meningkatnya prestasi siswaku. Aku memang berprinsip, mereka harus punya
kreativitas dan setelah aku mengajar di sana, satu persatu karya siswaku mulai
bermunculan di berbagai surat kabar lokal dan nasional. Bahkan aku telah
ditawari kepala sekolah untuk membuka kelas menulis di luar jam sekolah. Aku
hanya bisa member janji kepada Kepala Sekolah itu nanti, kalau aku sudah
selesai kuliah, karena siang aku terpaksa kuliah.
“Oh…! Ibu pikir
kamu sakit.” balas ibu. “Tadi kamu nggak ngajar?”
“Hari Senin kan
aku nggak nggak ngajar, Bu!” kataku mendekat pada ibu dan duduk di samping ibu.
“Bu, bagaimana menurut ibu kalau aku menikah sekarang?”
“Eh, kenalkan
dulu sama ibu baru ibu menjawab pertanyaan kamu.”
“Masalahnya ku
juga belum nyinggungnya ama dia, Bu. Cuman kalau ibu kasih lampu hijau, aku
berencana menceritakannya dengannya dan menemui orangtuanya.”
“Ya, kalau ibu,
sih, lebih cepat lebih baik. Rasanya ibu sudah rindu tangisan anak bayi di
rumah ini. Tapi, apa kamu gak tunggu kuliahmu selesai, biar di undanganmu nanti
ada embel-embel S.Pd-nya?”
“Ya, aku tanya
dia dulu, Bu. Kalau masalah embel-embel kayaknya tak perlu, Bu.”
“Ya, terserah
kamu sajalah. Kalau ibu sangat setuju, cuman ibu hanya kasih pertimbangan. Ntar
kamu perlu biaya besarkan waktu mau selesai.”
“Ya, pakai uang
ibu dulu, kalau ibu gak kasih cuma-cuma, ya dipinjam.” kataku bangkit. “Syam ke
kamar, Bu.” kataku dan ibu hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Syam, kalau udah
ada kesepakatan, mungkin bulan ini udah rame ya di rumah kita.”
“Satu bulan…?”
kataku berbalik sambil berpikir kalau sebulan keburu terbongkar neh, bisa-bisa
gawat.
“Kenapa? Terlalu
cepat?”
“Kelamaan, Bu!”
“Ha….?”
Kutinggalkan ibu
dengan kebingungannya mendengar ucapanku.
***
SEPULANG ngajar
aku segera menemui Dian dan mengajaknya ke tempat kemarin sesuai janji. Selama
diperjalanan aku belum menyinggung rencanaku yang aku pikir merupakan jalan
satu-satunya menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari aib dan aku harap semua
berjalan sempurna. Di tempat kami kemaren, kami duduk menghadap ke danau yang
tenang dan bening, tak ada gemuruh di sana. Hanya sedikit bergelombang
mengikuti simpony alam yang bernyanyi yang dibwa oleh hembusan angin siang itu.
“Gimana
keadaanmu, Di?”
“Baik-baik saja,
Syam.”
“Aku udah usaha
nyari cara untuk bantu kamu dari masalah ini, tapi satu ide pun gak bisa aku
temukan, Di. Sebagai sahabat aku ngerasa gak berarti apa-apa buat kamu, saat
kamu dapat masalah aku gak bisa ngapa-ngapain.” ungkapku berbias kecewa.
“Gak apa-apa,
Syam. Meskinya aku juga gak terlalu percaya dengan laki-laki kek Gery. Aku juga
gak mestinya memperturutkan mimpi-mimpiku.”
“Di, bagaimana
nanti kalau Om tau semua ini?”
“Ntahlah, Syam!
Mungkin aku akan diusir dari rumah dan mau tak mau aku harus pergi.” balasnya
pasrah. Matanya mulai berkaca-kaca menghadapi kenyataan yang telah dihadapinya
dan semua telah terlanjur.
“Bagaimana
kalau….” aku ragu meneruskan kata-kataku. Aku takut dia tersinggung dan
menuduhku memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
“Kalau apa,
Syam?” tanyanya dengan suara yang sudah mulai bergetar.
Rupanya
kesedihannya telah sampai pada titik didih hingga dalam beberapa saat, dua
bulir air mata telah mengalir dengan derasnya hingga ke dagunya yang indah.
“Bagaimana kalau
aku menikahimu?” akhirnya kalimat itu mampu kuucapkan juga.
“Apa? Lo mau
nikahi aku yang udah ternoda ini? Maksud lo?” tanyanya menolehku dengan
ekspresi wajah yang dapat ku tatap. Aku menunduk.
“Sebagai sahabat,
aku pengen bantu lo dan aku hanya dapat ide ini. Semalam aku udah ngobrol ama
ibu dan dia nyerahin ke aku. Aku gak peduli ama keadaan lo saat ini, karena
udah cukup lama aku mendam perasaan aku, sayangnya aku kalah ama Gery dan selama
ini aku udah berusaha tegar, tapi ketegaran itu malah ngelempar aku dalam sepi
yang entah kek gimana aku ngelaluinya. Sebenarnya udah sejak lama aku ada rasa
ama kamu tapi sepertinya kamu memang gak ada rasa ama aku.”
“Lo emang sahabat
terbaik aku, Syam. Tapi gak adil rasanya jika lo ngedapatin cewek kek aku, yang
udah jadi barang bekas. Sementara lo, jalan ama cewek aja gak pernah. Selama
ini lo terus bangun imej positif ama semua orang dan gak mungkin lo ngedapatin
balasan semua itu dengan beristri perempuan kek aku.”
“Di, aku gak
peduli.”
“Gak peduli
apanya?” teriaknya. “Jika lo ngedapatin aku, mana keadilan Tuhan, Syam?”
“Tapi aku cinta
ama lo, Di!”
“Hentikan omong
kosongmu, Syam! Jangan sebut-sebut lagi kata cinta di depanku!” dia berlari
meninggalkanku.
Aku tak
mengejarnya. Aku tetap duduk di tempatku semula hingga malam menyelimuti siang,
ia tak kembali dan aku tetap duduk di tempatku. Tak berbuat apa-apa selain
menatapi hamparan danau yang tenang tanpa gemuruh, yang
hening tanpa gairah,
yang sepi tanpa naluri, yang
diam tanpa hasrat,
yang dalam tanpa gejolak, dan yang
bening tanpa birahi.
Aku bangkit
sambil berujar lirih, “Dalam keadaan gimanapun, lo gak pernah ada rasa ama aku,
Di!”
***
Andam Dewi.
Minggu,
17 April 2011
Pukul
00.16 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar