KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat untuk menyelesaikan makalah
ini, tentunya penulis memiliki keterbatasan yang menyebabkan makalah ini tidak
sesempurna yang diharapkan.
Makalah yang berjudul “POSTMODERNISME IMPLIKASI ATAS PARADIGMA PENDIDIKAN INDONESIA” ini
akan Menjelaskan tentang postmodernisme yang berimplikasi atas paradigma
pendidikan Indonesia; menjelaskan tentang pengaruh postmodernisme dalam
pendidikan; menjelaskan tentang postmodernisme dari grand narative ke local
narrative; menjelaskan tentang terminologi postmodern dalam pendidikan
Indonesia.
Makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk semakin bermutunya masalah dalam makalah ini.
Akhirnya,
penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
sumbangan pikiran dalam menyelesaikan makalah ini. Khususnya kepada Pak Izhar Lubis, S.Pd sebagai dosen
pengampu mata kuliah Sosiologi Sastra yang telah memberikan tugas ini kepada
penulis.
Sirandorung,
Januari 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar........................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................... ......... 1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................. 2
1.3 Batasan Masalah....................................................................... ......... 2
1.4 Tujuan Penulisan....................................................................... ......... 2
BAB II KAJIAN TEORITIK..................................................................... ......... 3
2.1 Postmodernisme: Implikasi
Atas Paradigma Pendidikan
Indonesia............................................................................................ 3
2.2 Melacak
Pengaruh Postmodernisme dalam Pendidikan.............. 4
2.3 Dari Grand
Narative ke Local Narrative....................................... 6
2.4 Terminologi
Postmodern dalam Pendidikan Indonesia................ 13
BAB
III KESIMPULAN
DAN SARAN..................................................... ......... 16
3.1 Kesimpulan............................................................................... ......... 16
3.2 Saran-Saran............................................................................... ......... 17
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................... ......... 18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Postmodernisme yang
semula hanya berkembang dalam bidang arsitektur, mulai merambah ke dalam
seluruh bidang kehidupan manusia, justru setelah Lyotard mengintegrasikannya ke
dalam filsafat sebagai bentuk ketidakpercayaan pada metanarasi (Lyotard,
1979/1984: xxiv). Pengintegrasian gerakan postmodern ke dalam (ruang) filsafat
memberikan konsekuensi logis bagi munculnya ‘pembacaan ulang’ pada setiap dasar
kehidupan manusia (Sugiharto, 1996: 28-32). Hal ini karena filsafat merupakan
pengetahuan dasar yang memberikan konstruksi bagi munculnya setiap bentuk
pemahaman (ideologi) dalam masyarakat. Postmodernisme dalam filsafat berujung
pada sikap kritis untuk mengkaji ulang setiap bentuk kebenaran yang selama ini
diterima secara apa adanya. Terminologi inilah yang kemudian dikenal dengan metode
dekonstruksi yang dalam banyak hal diusung oleh Derrida (Norris, 2003:
20).
Gerakan postmodernisme
ini pada dasarnya muncul sebagai kritik atas kegagalan manusia modern
(kehidupan modernitas) dalam menciptakan situasi sosial yang lebih baik,
kondusif dan berkeadilan sosial (Ritzer, 2003: 31). Munculnya perang, gejolak
sosial dan revolusi yang menimbulkan anarki dan relativisme total. Keadaan
tersebut melahirkan sejumlah kegelisahan berkaitan dengan problem pengetahuan
dasar manusia mengenai modernisme yang diklaim mengusung kemajuan,
rasionalitas, dan sebagainya. Rasio manusia yang oleh masyarakat modern
diyakini sebagai suatu kemampuan otonom, mengatasi kekuatan metafisis dan transendental.
Kemudian diyakini pula mengatasi semua pengalaman yang bersifat partikular, dan
dianggap menghasilkan kebenaran mutlak, dan tidak terikat waktu.
1.2
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang di atas, maka dapatlah penulis rumuskan masalah dalam makalah ini,
yakni:
a. Bagaimanakah
postmodernisme yang berimplikasi atas paradigma pendidikan Indonesia?
b. Bagaimanakah pengaruh postmodernisme
dalam pendidikan?
c. Bagaimanakah yang disebut dengan
postmodernisme dari grand narative ke local narrative?
d. Bagaimanakah terminologi postmodern
dalam pendidikan Indonesia?
1.3
Batasan Masalah
Batasan masalah dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Menjelaskan
tentang postmodernisme yang berimplikasi atas paradigma pendidikan Indonesia.
b. Menjelaskan tentang pengaruh postmodernisme
dalam pendidikan.
c. Menjelaskan tentang postmodernisme dari
grand narative ke local narrative.
d. Menjelaskan tentang terminologi
postmodern dalam pendidikan Indonesia.
1.4
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut
a. Untuk
mengetahui tentang postmodernisme yang berimplikasi atas paradigma pendidikan Indonesia.
b. Untuk mengetahui tentang cara melacak
pengaruh postmodernisme dalam pendidikan.
c. Untuk mengetahui tentang
postmodernisme dari grand narative ke local narrative.
d.
Untuk mengetahui tentang terminologi postmodern dalam
pendidikan Indonesia.
***
BAB II
KAJIAN TEORITIK
2.1 Postmodernisme:
Implikasi Atas Paradigma Pendidikan Indonesia
Kehadiran
postmodernisme dalam ruang pergulatan intelektualitas manusia disadari telah membuat
warna baru yang menarik untuk dikaji. Hal ini tidak saja karena kehadirannya
cukup menyentakkan dunia akademik, melainkan juga postmodernisme telah turut
membawa pesan-pesan kritis untuk melakukan pembacaan ulang atas berbagai
tradisi yang selama ini diyakini kebenarannya. Masyarakat dikagetkan dengan
munculnya gejala postmodernisme yang cukup untuk ‘meluluh-lantakkan’
dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, bahkan aksiologi yang tumbuh dalam
pengetahuan dasar masyarakat mengenai realitas. Bagi gerakan postmodernisme,
manusia tidak akan mengetahui realitas yang objektif dan benar, tetapi yang
diketahui manusia hanyalah sebuah versi dari realitas.
Asumsi-asumsi mutlak di
atas dengan tegas ditolak oleh Heidegger, Horkheimer dan Adorno. Menurut mereka
modern (modernisasi) bukanlah sekedar perjalanan terseok-seok, melainkan
perjalanan ke sebuah disintegrasi total, sebuah malapetaka sejarah umat
manusia. Dalam pemikiran Bataille, Rorty, Foucault, dan Derrida, juga
terkandung “nafsu” yang sama untuk menyingkapkan bahwa “kehendak untuk menjadi
modern tak kurang untuk berkuasa (Hardiman, 2003: 151).
Untuk itu, usaha
membebaskan diri dari dominasi konsep dan praktek ilmu, filsafat dan kebudayaan
modern. Jika dalam visi modernisme, penalaran (reason) dipercaya sebagai
sumber utama ilmu pengetahuan yang menghasilkan kebenaran-kebenaran universal,
maka dalam visi postmodernisme hal itu justru dipandang sebagai alat dominasi
terselubung yang kemudian tampil dalam bentuk imperialisme dan hegemoni
kapitalistik. Sebuah warna yang paling dominan dalam masyarakat modern. Maka
postmodernisme menyadari bahwa seluruh budaya modernisme yang bersumber pada
ilmu pengetahuan dan teknologi pada titik tertentu tidak mampu menjelaskan
kriteria dan ukuran epistemologi bahwa yang ‘benar’ itu adalah yang real, dan
yang real benar itu adalah ‘rasional’. Meskipun postmodernisme sendiri juga
berusaha menggiring manusia ke dalam sebuah paradoks, yaitu di satu pihak telah
membuka cakrawala dunia yang serba plural yang kaya warna, kaya nuansa, kaya
citra, tetapi di lain pihak, ia menjelma menjadi sebuah dunia yang seakan–akan
tanpa terkendali (Pilliang, 2004: 358).
Persoalannya, bangunan
epistemologi yang demikian, apakah mempunyai pengaruh signifikan dalam bidang
pendidikan ? Kalaulah ia terintegrasi dalam filsafat sebagaimana dilontarkan
oleh Lyotard, apakah sistem filsafat pendidikan dalam banyak hal juga mulai
bersinggungan dengan gejala postmodernisme ? Lalu, bagaimana bentuk
keterpengaruhan (kalau memang ada) dalam sistem pendidikan, baik persoalan
kurikulum maupun praktek pengajarannya ? Sebab sejak beberapa dekade tema
postmodernisme lebih banyak dikontekskan pada seni, arsitektur, kebudayaan, dan
juga filsafat.
Untuk melihat pengaruh
pendidikan (utamanya dalam persekolahan) oleh pendekatan postmodernisme memang
sulit untuk dilacak. Hal ini dikarenakan sangat jarang diskursus
postmodernisme dikaitkan dengan masalah pendidikan. Akan tetapi, kalau
diperhatikan secara kritis dan mendasar, berbagai bentuk kritik epistemologi
yang ditampilkan oleh gerakan postmodernisme yang mengusung tema; dekonstruksi,
pluralitas, anti kemapanan, deferensiasi, dan lain-lain, tampaknya secara
implisit ditemukan dari problem pendidikan di Indonesia, maka untuk itu yang
penting bagaimana menempatkan paradigma baru pendidikan Indonesia dari
keterpengaruhan postmodernisme.
2.2 Melacak
Pengaruh Postmodernisme dalam Pendidikan
Berdasarkan ciri
menonjol postmodernisme, maka dapat dilacak dimana letak keterpengaruhan
gerakan ini terhadap paradigma pendidikan. Pendidikan pada saat sekarang tidak
lagi dipahami sebagai peneguhan proses transformasi pengetahuan (knowledge)
yang hanya dikuasai oleh sekolah (pendidikan formal). Guru dengan demikian
tidak lagi dipandang sebagai ‘dewa’ dengan segala kemampuannya untuk melakukan
proses pencerdasan masyarakat. Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak lagi
terpusat pada guru. Ruang pendidikan tidak lagi harus berada pada ruang-ruang
sempit, yang bernama sekolah, melainkan juga harus dimainkan oleh masyarakat,
entah itu melalui pendidikan alternatif maupun melalui pendidikan luar sekolah.
Ivan Illich (2003: 33-34) mengatakan bahwa proses pendidikan akan memperoleh
keuntungan dari upaya membebaskan masyarakat yang cendrung mendewakan sekolah,
dengan demikian kegiatan sekolah tidak lebih hanya sebagai pengkhianatan
terhadap upaya pencerahan budi.
Postmodernisme yang
mengusung tema pluralitas, heterogenitas serta deferensiasi adalah bukti betapa
pendidikan harus disebarkan melalui kerja-kerja yang tidak harus dibebankan
pada sekolah. Apalagi, realitas membuktikan betapa sekolah justru seringkali
memainkan peran dogmatis dan dominannya dalam melakukan transfer of value
(transformasi nilai) serta transfer of knowledge (transformasi
pengetahuan). Peran guru, bahkan juga institusi sekolah seringkali menampilkan
diri dalam batas-batasnya sebagai pembelenggu kreativitas anak didik, anak
didik disekolah sering diperlakukan oleh guru tak ubah sebagai bejana kosong
yang siap diisi tanpa boleh dibantah, pendidikan seperti ini yang dikritik oleh
Freire sebagai model pendidikan “gaya bank” (banking system) (Freire,
2002 : 28). Sementara pola Sistem Kredit Semester (SKS) bahkan juga ujian akhir
nasional (UAN) sebagai ukuran terakhir kemampuan anak didik adalah representasi
bagi ‘penindasan’ yang dilakukan institusi-institusi tersebut terhadap
pengembangan kreativitas anak didik. Beban pelajaran yang sedemikian berat,
meminimilisasikan kemampuan anak didik untuk ‘melakukan’ eksperimentasi’
berdasarkan kemampuannya secara profesional, karena disibukkan dengan
beban-beban yang cukup membelenggu.
Selama ini, pendidikan
seolah hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sehingga beban berat pengajaran seringkali diarahkan pada penguasaan
pada bidang-bidang tersebut. Padahal dalam perspektif postmodernisme, justru
masyarakat modern mengalami degradasi, krisis moral, krisis sosial dan
sebagainya, yang dimulai dari dominasi iptek dengan penerapan rasio manusia
sebagai ukuran kebenarannya telah mendatangkan persoalan yang cukup berat
menimpa masyarakat modern.
Rasio manusia an
sich tidak lagi diharapkan dapat memberikan jawaban atas berbagai problem
yang muncul dalam masyarakat modern, sehingga proses pendidikan hanya diarahkan
pada kepentingan rasio atau nalar rasionalitas justru akan mendatangkan bencana
kemanusiaan. Padahal sejak awal diyakini bahwa pendidikan diselenggarakan
sebagai alat untuk memanusiakan manusia (Drost, 1998 : 74). Pengangkatan harkat
dan martabat kemanusian tidak hanya dapat dimainkan oleh nalar rasio semata,
tetapi harus integratif antara nalar rasional dan nalar spiritual.
Dalam konteks ini tidak
berlebihan bila dalam konsep pendidikan nasional pengembangan kemampuan anak
didik juga diarahkan pada tiga kemampuan dasar yaitu kognitif, afektif serta
psikomotorik (Suparno, 1996: 43). Ketidakmampuan mengembangkan ketiga ranah
tersebut akan melahirkan out put pendidikan yang timpang. Itulah
sebabnya, proses pendidikan harus dijalankan untuk memainkan ketiga ranah
tersebut agar tetap berjalan. Kritik postmodernisme atas situasi masyarakat
modern sebenarnya juga merupakan kritik atas proses pendidikan yang hanya
mengedepankan satu aspek dari keseluruhan nilai yang dimiliki manusia.
Dalam kondisi yang
demikian postmodernisme tampil memberikan berbagai alternatif bagi proses
pendidikan yang harus dijalankan. Kritik mendasar postmodernisme terhadap
modernisme telah memunculkan berbagai tema-tema penting seperti paralogy
atau pluralisme (Santoso, 2003 : 331), deferensiasi atau desentralisasi,
dekontsruksi atau kritik dasar atas sebuah tatanan, relativisme, dan
sebagainya. Tema-tema inilah yang sesungguhnya memberikan peluang baru bagi
munculnya model (paradigma) pendidikan yang perlu diselenggarakan oleh negara
ataupun masyarakat Indonesia.
2.3 Dari Grand
Narative ke Local Narative
Bangsa Indonesia saat
ini tengah disibukkan dengan geliat reformasi di segala bidang, termasuk bidang
pendidikan. Salah satu upaya yang hendak dilakukan adalah mereformasi sistem
pendidikan nasional yang selama ini terkesan sentralistik menuju
prinsip-prinsip desentralisasi, otonomi dan keadilan. Reformasi sistem
pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan mutu, efisiensi, dan
efektivitas pengelolaan pendidikan. Prinsip ini juga untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat secara luas dalam penyelenggaraan pendidikan.
Ikhtiar reformasi
sistem pendidikan nasional tersebut diawali dengan dibentuknya Komite Reformasi
Pendidikan (KRP) yang bertugas untuk menyempurnakan Undang-Undang No. 2 Tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selain mempersiapkan RUU Sistem
Pendidikan Nasional, KRP juga akan menyiapkan aturan pelaksanaannya. Mengapa harus
menyempurnakan UU Sisdiknas?
Setidaknya ada tiga
argumentasi mengapa UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN)
sangat urgen direvisi untuk mengelolan pendidikan secara demokratis. Pertama,
dengan mengesampingkan bahwa UUSPN adalah produk pemerintahan Orde Baru, dalam
10 tahun usianya sejak disahkan 27 Maret 1989, muatan UU tersebut dianggap
sudah kadaluwarsa. Maksudnya, perkembangan terakhir menunjukkan banyak sekali
substansi muatan UU tersebut yang dirasa berbagai kalangan tidak lagi
akomodatif bagi kepentingan perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan
nasional. Semangat sentralistik yang dianut UU tersebut dalam mengelola pendidikan
nasional, selain menjadikan praktik pendidikan nasional sebagai sub-ordinat
kekuasaan, juga dirasakan tidak mampu lagi menjawab tantangan kekinian dan
kemasadepanan.
Kedua, mau tidak mau, kelahiran UU No.
22/2999 tentang Pemerintah Daerah (UUPD) dalam beberapa hal mesti berbenturan
dengan muatan UUSPN. Dimana UU tersebut mengisyaratkan adanya kewenangan penuh
bagi daerah untuk mengelola daerahnya secara mandiri. Terlebih-lebih diketahui,
pemerintah pusat tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengelola pendidikan
nasional karena Pasal 11 ayat 2 UUPD menyatakan bahwa satu diantara 11
kewenangan bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah daerah
sebagai daerah otonom adalah pendidikan dan kebudayaan.
Ketiga, dari berbagai kajian hasil Konferensi
Asia Pasifik mengenai pelaksanaan Education for All (EFA) yang
berlangsung di Bangkok, Thailand pada 17-20 Januari tampak jelas bahwa ada
persoalan serius dalam hal pembiayaan pendidikan nasional masing-masing negara,
dimana kenaikan nasional setiap negara untuk pendidikan (dasar) cenderung
menurun lima tahun terakhir. Bantuan internasional memang naik 3,8 milyar
dollar pada 1985, namun kemudian berhenti. Artinya, negara-negara donor gagal
memenuhi komitmennya memberi 0,7 % GNP-nya guna membantu negara-negara
berkembang, sehingga target alokasi 20 % untuk sektor pembangunan sosial
terpenuhi. Sementara anggaran untuk pendidikan di Indonesia, pada tahun
1998/1999 berkisar 8 % dan telah menurun menjadi 6 % pada tahun 1999/2000
(Wahono, 2001 : 109). Anggaran pendidikan yang kecil tersebut sampai sekarang
belum mencapai 20 % meskipun sudah memasuki tahun 2009.
Pendidikan diberbagai
belahan dunia selalu dipakai sebagai modal dasar pengembangan dan pemilihan
kebijakan pembangunan. Hampir di semua negara selalu menggunakan pendidikan
sebagai proses pencapaian pembentukan kualitas sumberdaya manusia, baik sebagai
subjek sekaligus objek pembangunan. Negara yang mempunyai konsep dan proses
pendidikan yang baik dan modern biasanya menghasilkan output
pendidikan yang mempunyai kemampuan melaksanakan segenap agenda pembangunan.
Melalui pendidikan,
proses pemenuhan kualitas sumberdaya manusia (SDM) dan penggalian potensi
nasional maupun lokal sebagai pendukung utama keberlangsungan pembangunan dapat
terpenuhi. Itulah sebabnya di banyak negara maju, selalu menggunakan pendidikan
sebagai proses mengejar ketertinggalan di berbagai bidang. Dalam hal ini bisa
dilihat negara Jepang, dan Jerman, yang memiliki SDM berkualitas dapat
membangun negara mereka dengan cepat meskipun dalam perang dunia (PD) II, kedua
negara tersebut mengalami kekalahan dan hampir seluruh infrastrukturnya hancur
(Nugroho, 2003: 115-116).
Memahami apsek
pendidikan sebagai bagian yang tidak terpusatkan dalam proses berlangsungnya
pembangunan nasional maupun lokal, selayaknya untuk selalu dikedepankan. Selama
ini terkesan bahwa pendidikan nasional kita selalu menjadi agenda yang dinomor
sekiankan setelah agenda pembangunan bidang ekonomi dan politik. Padahal kedua
bidang tersebut tidak pernah bisa berjalan tanpa keberhasilan di sektor
pendidikan. Apalagi dalam terminologi memasuki otonomi daerah (otda) yang telah
dilaksanakan pada bulan Januari 2001, maka sektor pendidikan sebagai sarana
awal pemecahan persoalan-persoalan lokal, seperti pemenuhan kebutuhan SDM,
penentuan kurikulum yang selaras dengan kebutuhan lokal dan sebagainya, harus
menjadi agenda pembangunan yang tidak bisa ditunda-tunda.
Selama ini yang terjadi
adalah betapa proses pendidikan selalu tidak sejalan dengan agenda pembangunan
lokal. Artinya, proses pendidikan, dalam artian pendidikan formal (sekolah)
sesunguhnya diterapkan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan sumberdaya
manusia yang (minimal) sanggup menyelesaikan persoalan lokal yang
melingkupinya. Dalam artian, setiap proses pendidikan di dalamnya seharusnya
mengandung berbagai bentuk pelajaran dengan muatan lokal yang signifikan dengan
kebutuhan masyarakat. Sehingga output pendidikan adalah manusia yang
sanggup untuk memetakan sekaligus memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh
masyarakat. Bagaimana mungkin dapat diperoleh keluaran pendidikan yang mengerti
kebutuhan daerah (lokal) manakala proses belajarnya tidak pernah bersentuhan
dengan kebutuhan-kebutuhan yang memang mengakar dalam masyarakat.
Berbagai ilustrasi
dimunculkan, betapa proses pendidikan yang dijalankan seringkali tercerabut
dari akar persoalan riil, tapi ilustrasi tersebut hanya menjadi bahan
pembicaraan yang tidak bergaung. Misalnya; fakta bahwa mayoritas masyarakat
Indonesia ada di pedesaan yang notabene adalah masyarakat agraris,
tetapi dalam praktek pendidikannya hampir tidak berorientasi pada problem
masyarakat, khususnya masyarakat desa. Praktek pendidikan yang demikian
disinyalir membuat orang sekolahan menjadi asing dan tidak mengenal persoalan
yang sedang terjadi di sekitarnya. Bahkan tidak jarang, justru banyak
produk-produk pendidikan tersebut seringkali malah melecehkan kehidupan dan
pekerjaan masyarakat sekitar misalnya sebagai petani. Hal ini karena anak didik
lebih banyak di ‘intervensi’ oleh praktek pendidikan model perkotaan dengan
tipikal masyarakat industrialnya sehingga muncul ketidak percayaan diri anak
didik atas profesi sebagai petani dan memilih gaya hidup sebagai priyayi dengan
fenomena rebuatan keluaran pendidikan untuk menjadi pegawai negeri sipil atau
minimal bekerja di perkantoran.
Selain itu ada sebuah
ilustrasi menarik untuk mencoba menggambarkan seringnya praktek pendidikan yang
tidak berkorelasi dengan kebutuhan mendasar. Di beberapa daerah pedalaman dan
masyarakat terisolir, yang merupakan daerah pedesaan dan perkampungan hutan
serta masyarakat nelayan; ditemui suatu kenyataan betapa anak-anak yang
seharusnya berada pada jam sekolah tetapi justru melakukan kegiatan atau
aktivitas kerja, semisal bertani, mencari rumput, menggembala, berladang di
hutan serta mencari ikan dan sebagainya.
Secara spontan kita
akan menuduh bahwa budaya masyarakat di tempat tersebut kurang mendukung
pembangunan pendidikan dengan adanya kebiasaan orang tua untuk mengajak
anak-anak mereka masuk hutan, bertani atau berlayar mencari ikan. Pernyataan
tersebut nampaknya mau menunjuk bahwa kebiasaan orang tua mengajak mereka
untuk masuk ke hutan berladang dan menangkap ikan adalah anti tesis tersendiri
dari dunia pendidikan yang seharusnya diikuti oleh anak-anak. Anti tesis dunia
pendidikan bisa diperluas cakupannya menyangkut kebiasaan orang tua nelayan
yang mengajak anaknya melaut, kebiasaan orang tua perkotaan yang mengharuskan
anaknya bekerja di sektor informal.
Ketika anak-anak lain
sedang menekuni pelajaran di bangku sekolah dengan paket kurikulum yang telah
digariskan, anak-anak pedalaman, (anak nelayan dan juga anak-anak petani)
justru mengikuti orang tuanya berladang menembus hutan belajar tentang dunia
hutan sekitar mereka. Mereka belajar tentang kesuburan tanah, bibit tanaman,
tanda-tanda alam, pergantian musim, berpindah lahan demi pemulihan kesuburan
dan daur alam. Atau anak-anak nelayan yang seperahu dengan bapaknya tentang
angin, ombak, kehidupan laut dan sebagainya. Kita jangan bertanya; mengapa
mereka tidak bersekolah ? Ini soal biaya atau kesempatan ? Karena sesungguhnya
mereka belajar tentang keseharian dengan lingkungan yang terdekat; persoalan
riil yang mesti dihadapinya, bukan persoalan global yang seringkali jauh dari
pikirannya.
Ilustrasi di atas
sekedar memberikan sebuah gambaran bahwa banyak sekali praktek pendidikan yang
diterapkan justru mencerabut anak didik dari akar budayanya, mencerabut juga
dari persoalan-persoalan yang semestinya ia pelajari untuk kemudian bersama
dicarikan titik solusinya melalui proses yang bernama pendidikan.
Kegagalan membentuk
hasil pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan lokal sesungguhnya seringkali
menghambat keberhasilan agenda pembangunan daerah yang sudah dicanangkan. Hal
ini karena, sekali lagi proses pendidikan yang tidak bersentuhan langsung
dengan persoalan kehidupan yang dihadapi oleh anak didik dan masyarakat
sekitar.
Berdasarkan ilustrasi
ini sebenarnya yang menjadi landasan pijak bagi dunia pendidikan untuk kembali
merenungkan beberapa aspek yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar.
Apalagi dalam konteks saat ini telah diberlakukan paket otonomi pada
masing-masing daerah, tentang pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah yang
tentu saja di dalamnya ada bidang pendidikan, maka praktek pendidikan harus
dibuat sedemikian rupa agar berkorelasi dengan kebutuhan mendasar masyarakat,
yang pada akhirnya pola kebijakan pendidikan selaras dengan pemenuhan
keberhasilan program otonomi daerah. Itulah sebabnya, maka wacana mengenai
desentralisasi pendidikan menjadi mengedepan seiring dengan pelimpahan
kewenangan pusat ke daerah. Dalam konteks ini pola pengambilan keputusan
mengenai proses pendidikan yang berintikan pada kepentingan lokal, tanpa
mengesampingkan kepentingan lain yang melingkupinya yaitu kepentingan nasional.
Mendesaknya agenda
pengembangan pendidikan dalam rangka pembangunan, baik nasional maupun daerah
sebenarnya terkait dengan dua (2) dokumen penting yang keluar beberapa waktu
yang lalu yang diperkirakan berdampak langsung pada sistem pendidikan
nasional yang layak mendapat perhatian serius. Dokumen pertama adalah
rekomendasi jangka panjang Bank Dunia terhadap pendidikan Indonesia dalam
menghadapi krisis ekonomi dan moneter sebagaimana tercantum dalam Laporan Nomor
18651-IND Bank Dunia bertajuk Education ini Indonesia: From Crisis to
Recovery (9 Desember 1998) yang berisis tentang kegagalan pendidikan di
Indonesai yang dianggap masih belum memuaskan, sehingga salah satu
rekomendasinya adalah mendesaknya diberlakukan desentralisasi pendidikan.
Dokumen kedua adalah
keluarnya Undang-Undang No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah, dimana kabupaten
dan kotamadya menjadi basis pengelolaan pemerintah daerah otonom.
Pemberlakukaan UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah secara
politis-sosiologis bermakna strategis dalam jangka panjang. Secara politis, UU
ini akan mereduksi peranan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan administrasi
pemerintahan yang selama tiga (3) dasawarsa telah mengalami proses
sentralisasi. UU ini merupakan landasan hukum bagi diberlakukannya proses
desentralisasi kekuasaan dengan memberikan otonomi penuh kepada daerah. Secara
sosiologis, UU ini merupakan langkah nyata pemberdayaan daerah (Amich Alhumami,
Kompas, 11/9/2000).
Berkaitan dengan sistem
penyenggaraan pendidikan, maka revisi UUSPN tentang perlunya asas
desentralisasi dan otonomi pendidikan merupakan babak baru menguatnya iklim
demokratisasi dalam pendidikan nasional. Desentralisasi pendidikan mengandaikan
dimulainya pemberian peran lebih besar kepada pemerintah daerah tingkat
kabupaten kota atau kotamadya sebagai basis pengelolaan pendidikan.
Desentralisasi ini berkaitan oleh sebuah keinginan mendasar bahwa kebutuhan
lokal atau juga nilai-nilai sosial kultural setiap daerah berbeda sehingga
memungkinkan diberlakukannya suatu sistem pendidikan yang mengakomodir
kebudayaan lokal tersebut (Suparno, 2001: 71).
Desentralisasi
pendidikan mengisyarakatkan suatu sistem pendidikan yang bersifat indegneous
(pribumisasi) karena didasarkan pada aspek-aspek dasar dari lokalitas
masyarakat. Hal ini agar masyarakat atau peserta didik tidak tercerabut dari
akar kebudayaannya. Dengan demikian ada relasi mutualistik antara penyelenggaraan
pendidikan dengan situasi lokal yang membutuhkan penjelasan dan pengenalan
secara lebih komprehensif.
Sistem ini jelas
memberikan peluang terjadinya demokratisasi pendidikan, karena ia tidak lagi
terpusat dalam soal penyusunan kurikulum bahkan soal pengangkatan guru.
Desentralisasi pendidikan merupakan langkah strategis untuk menguatkan daerah
dan memberikan kebebasan dalam menyusun sebuah kurikulum yang belakangan sedang
ramai dibicarakan.
Peralihan kewenangan
dari pusat ke daerah ini bertujuan agar setiap daerah mampu memberikan
kontribusi positif bagi pengembangan pendidikan nasional yang disesuaikan
dengan kebutuhan-kebutuhan daerah untuk mampu dihadapkan pada wacana global
(Jalal, 2003: 99). Misalnya, daerah Sabang yang dikelilingi oleh laut, hendaknya
juga diberikan penekanan pada sistem pembelajaran mengenai kelautan dan
perikanan, sehingga sumberdaya alam dapat dioptimalisasikan dan sumberdaya
manusia dapat diarahkan pada kerja-kerja tersebut.
Dari uraian tentang
desentralisasi pendidikan tersebut tampak jelas betapa tema tentang local
narative merupakan pilihan penting untuk menggantikan grand narative
yang selama ini mendominasi sistem pendidikan nasional. Awalnya negara
memainkan peranan besar untuk menghegemoni sistem penyelenggaraan pendidikan di
setiap sekolah. Negara mencoba menerapkan pendidikan yang sifatnya homogen.
Situasi ini jelas menjadi tema dan sasaran kritik utama postmodernisme, yang
sejak semula tidak sepakat dengan apa yang disebut sebagai homogen, sebab
masyarakat adalah heteregon, baik karakter maupun kebutuhannya. Sehingga
menjadi tidak populer kalau negara masih memaksakan kehendaknya untuk
mempengaruhi dan menjadi pendidikan persekolahan menjadi seragam atau homogen.
Peralihan wacana dari grand
narative ke local narative tersebut ditandai dari pergeseran
peran yang semula sentralistik menuju desentralistik. Jika dulu negara yang
sangat berperan dalam menentukan berbagai kebijakan menyangkut pendidikan
persekolahan, maka dengan diterapkannya sistem disentralisasi, pihak sekolah
dan masyarakatlah yang harus berperan aktif secara profesional mengembangkan
sistem pendidikan persekolahannya.
2.4 Terminologi
Postmodern dalam Pendidikan Indonesia
Terminologi
postmodernisme terlalu sulit untuk dikontekskan pada bidang pendidikan secara
ekplisit. Tetapi kalau memperhatikan tema-tema besar yang diusung oleh
postmodernisme, maka secara implisit paradigma pendidikan yang ada di Indonesia
dalam banyak hal sudah menggunakan akar-akar pemikiran postmodernisme.
Namun, yang pasti
diperjuangkan oleh kaum postmodernisme adalah pembelaannya terhadap suatu
komunitas dan narasi kehidupan yang tersingkir, yang telah tergilas oleh narasi
besar (grand narative) modernisme dengan berbagai dimensi yang
dominatif dan imperalistik. Arus pemikiran postmodernisme bagaikan sebuah
protes terhadap berbagai pemikiran yang absolutistik dan cendrung
untuk menggembor-menggemborkan fenomena modernisme, seperti emosi, perasaan,
intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, tradisi, dan seterusnya
(Rosenou, 1992: 6), dan sebagai substitusinya tak lain adalah pendekatan yang
bersifat relativistik dan pluralistik dengan sikap kerendahan hati untuk
mendengarkan dan mengapresiasi ‘yang lain’. Absolutistik tersebut biasanya
hadir dalam bentuk dominasi penguasaan ilmu oleh guru dan sekolah kepada anak
didik, dan itu menjadi sasaran kritik dari gerakan postmodernisme.
Selain itu, sebagai
semangat zaman, postmodern dapat juga diartikan sebagai keterbukaan untuk
melihat hal-hal baru, yang berbeda, ‘yang lain’ sambil menolak kecenderungan
dogmatis dan ketaatan pada suatu otoritas, tatanan, atau kaidah baru. Era
postmodernisme memiliki karakteristik betapa kebenaran memang terlalu besar
untuk bisa dimonopoli satu sistem saja dan bahwa keragaman pandangan itu lebih
‘indah’ daripada keseragaman yang meskipun menghasilkan kesatuan, namun
membelenggu kebebasan manusia bahkan mengeksploitasinya. Bahasa-bahasa yang
kerap dimunculkan dalam postmodernisme kemudian bernada ‘sinis’ atas kemapanan
pengetahuan, kemapanan kebudayaan bahkan apalagi kemapanan kekuasaan. Entah
model ‘dekonstruksi’, ‘instabilitas’, fragmentasi, anarkisme, menjadi ciri khas
postmodernisme. Model-model seperti ini memang acapkali ‘membahayakan’ bagi
kepentingan status quo, di bidang apapun, sehingga menjadi wajar bila
banyak yang tidak menyukainya. Persoalannya, bukanlah suka atau tidak suka,
melainkan itulah ‘wajah’ postmodern. ‘Wajah’ itu telah terpampang secara lugas
di hadapan kita semua; ironisnya justru sebagai komunitas yang sebenarnya baru
merangkak menjadi modern.
Diskursus
postmodernisme pada akhirnya hanya bisa dilihat dalam tiga (3) kategori besar;
di luar kepentingan pilihan tematiknya. Pertama, pemikiran-pemikiran
yang dalam rangka merevisi kemodernan tetapi cenderung kembali pada pola
berpikir pra-modern. Misalnya, ajaran yang biasa menyebut dirinya metafisika new
age, seperti Capra, Prigonine. Kedua, pemikiran-pemikiran yang
terkait erat dengan dunia sastra dan banyak berurusan dengan persoalan
linguistik. Kata kunci yang populer digunakan adalah ‘dekonstruksi’;
yang berusaha membongkar segala unsur yang penting dalam gambaran dunia modern.
Sebut saja tokoh seperti Derrida, Foucault, Vattimo, Loytard, dan ketiga,
segala pemikiran yang hendak merevisi modernisme, tidak dengan menolak
modernisme itu secara total, melainkan dengan meperbarui premis-premis modern.
Artinya, lebih merupakan kritik imanen terhadap modernisme dalam rangka
mengatasi berbagai konsekuensi negatif yang ditimbulkannya.
Realitas yang demikian
tampak nyata dalam dekonstruksi atas model pendidikan kontemporer yang selama
ini digunakan untuk memajukan masyarakat. Kritik-kritik yang digulirkan oleh
postmodernisme juga merambah pada dunia pendidikan, yang berakibat semakin
dipertanyakannya keampuhan institusi pendidikan (sekolah) dalam memberikan transformation
of value dan transformation of knowledge.
Kenyataan tersebut
dapat dilihat dari keinginan untuk melakukan berbagai bentuk revisi atas sistem
pendidikan yang selama dijalankan. Misalnya melalui revisi UUSPN. Melalui
revisi UUSPN No. 2/1989 diharapkan pengembangan pendidikan nasional mengarah
pada accepbilitas dan partisipasi aktif masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan di daerah. Prinsip ini menunjukkan adanya progress
ke arah yang lebih demokratis, sebab ada peralihan penentuan kebijakan
pendidikan di sekolah, dari soal pendanaan sampai kurikulum, oleh pusat kepada
daerah dan sekolah.
Peralihan kewenangan
secara penuh ini mencitrakan sebuah demokrasi pendidikan. Artinya, masyarakat
dan sekolah berkepentingan dan bertanggungjawab secara optimal atas kemajuan
sebuah penyelenggaraan pendidikan. Melalui desentralisasi pendidikan, maka
komponen kurikulum dan pengangkatan guru misalnya akan dapat disesuaikan dengan
kebutuhan dan kepentingan masyarakat, sesuai dengan kesiapan sumberdaya alam,
dan sumberdaya manusia. Prinsip ini jelas menuntut kesiapan SDM agar penentuan
kurikulum berbasiskan kompentensi dapat diwujudkan dan dihasilkan secara
optimal.
Desentralisasi
pendidikan dengan demikian juga mengharuskan didirikannya manajemen berbasiskan
sekolah yang beraggota seluruh elemen masyarakat yang berkepentingan dengan
sekolah untuk bersama-sama memikirkan tentang model pembelajaran dan kurikulum
yang hendak diberikan oleh sekolah. Sehingga diperoleh model pendidikan yang
khas, yang berakar atas kenyataan riil masyarakat, dalam konteks inilah
demokrasi pendidikan Indonesia dapat diwujudkan.
***
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas, dapatlah ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
Kehadiran
postmodernisme dalam ruang pergulatan intelektualitas manusia disadari telah
membuat warna baru yang menarik untuk dikaji. Hal ini tidak saja karena
kehadirannya cukup menyentakkan dunia akademik, melainkan juga postmodernisme
telah turut membawa pesan-pesan kritis untuk melakukan pembacaan ulang atas
berbagai tradisi yang selama ini diyakini kebenarannya. Masyarakat dikagetkan
dengan munculnya gejala postmodernisme yang cukup untuk ‘meluluh-lantakkan’
dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, bahkan aksiologi yang tumbuh dalam
pengetahuan dasar masyarakat mengenai realitas. Bagi gerakan postmodernisme,
manusia tidak akan mengetahui realitas yang objektif dan benar, tetapi yang
diketahui manusia hanyalah sebuah versi dari realitas.
Berdasarkan ciri
menonjol postmodernisme, maka dapat dilacak dimana letak keterpengaruhan
gerakan ini terhadap paradigma pendidikan. Pendidikan pada saat sekarang tidak
lagi dipahami sebagai peneguhan proses transformasi pengetahuan (knowledge)
yang hanya dikuasai oleh sekolah (pendidikan formal). Guru dengan demikian
tidak lagi dipandang sebagai ‘dewa’ dengan segala kemampuannya untuk melakukan
proses pencerdasan masyarakat. Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak lagi
terpusat pada guru. Ruang pendidikan tidak lagi harus berada pada ruang-ruang
sempit, yang bernama sekolah, melainkan juga harus dimainkan oleh masyarakat,
entah itu melalui pendidikan alternatif maupun melalui pendidikan luar sekolah.
Bangsa Indonesia saat
ini tengah disibukkan dengan geliat reformasi di segala bidang, termasuk bidang
pendidikan. Salah satu upaya yang hendak dilakukan adalah mereformasi sistem
pendidikan nasional yang selama ini terkesan sentralistik menuju
prinsip-prinsip desentralisasi, otonomi dan keadilan. Reformasi sistem
pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan mutu, efisiensi, dan
efektivitas pengelolaan pendidikan. Prinsip ini juga untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat secara luas dalam penyelenggaraan pendidikan.
Terminologi
postmodernisme terlalu sulit untuk dikontekskan pada bidang pendidikan secara
ekplisit. Tetapi kalau memperhatikan tema-tema besar yang diusung oleh
postmodernisme, maka secara implisit paradigma pendidikan yang ada di Indonesia
dalam banyak hal sudah menggunakan akar-akar pemikiran postmodernisme.
3.2 Saran-Saran
Sebagai akhir dari makalah ini, penulis ingin
memberikan sejumlah saran yang kiranya akan mampu menjadi pembanding bagi
pembaca dan pribadi penulis. Adapun saran-saran tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Badai postmodernisme di segala sisi
kehidupan telah membawa dampak positif dan negatif, terutama dalam dunia
pendidikan di Indonesia, inilah salah satu peran guru di masa mendatang untuk
bisa memilah dampak positif dan negatif tersebut bagi para siswa.
b. Sebagai calon guru, bukan guru Bahasa
Indonesia saja, kiranya mampu memahami arus postmodernisme ini dalam segala
sisi kehidupan, karena sukses tidaknya kehidupan para peserta didik sekitar 50%
ada di tangan guru. Untuk itu badai postmodernisme di segala sisi kehidupan
harus diperkenalkan kepada siswa, dan bagaimana kita memperkenalkannya kalau
guru tidak memahaminya.
***
DAFTAR PUSTAKA
Drost. J. Sekolah Mengajar Atau Mendidik.
Yogyakarta: Kanisius. 1998
Freire, Paulo. Politik Pendidikan: Kebudayaan,
Kekuasaan Dan Pembebasan, Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002
Hardiman, Budi. F. Melampaui Positivisme Dan
Modernitas: Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah Dan Problem Modernitas. Yogyakarta:
Kanisius. 2003
Illich, Ivan. Bebaskan Masyarakat Dari Belenggu
Sekolah. Terjemahan, Sonny Keraf. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2003
Santoso, Listiyono, “Postmodernisme: Kritik Atas
Epistemologi Modern, dalam, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz.
2003
Mangunwijaya, Y.B. Saya Ingin Membayar Utang
Kepada Rakyat. Yogyakarta: Kanisius. 1999
Mulyasa, E. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Konsep, Karakteristik, Dan Implementasi. Bandung: Rosdakarya.
2003
Norris, Christopher. Membongkar Teori
Dekonstruksi Jaques Derrida, Terjemahan. Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta:
Ar-Ruzz. 2003
Nugroho, Heru. Menumbuhkan Ide-Ide Kritis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2003
Pilliang, Amir Yasraf. Posrealitas: Realitas Kebudayaan
Dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra. 2004
Ritzer, George. Teori Sosial Postmodern.
Terjemahan, Muhammad Taufik Yogyakarta: Juxtapose. 2003
Sugiharto, Bambang I. Postmodernisme Tantangan
Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 1996
Supriyadi, Dedi, dan Faslil Jalal. Reformasi Dalam
Pendidikan Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. 2001
Wahono, Francis. Kapitalisme Pendidikan Antara
Kompetensi Dan Keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001
Tulisan (makalah) ini sama dengan artikel yang dibuat oleh Firdaus M. Yunus yang diposting tanggal 24 Juni 2010 dengan judul yg sama... Seorang akademisi harusnya anti dengan plagiasi :)
BalasHapusBisa tidak saudari tunjukkan alamat webnya?
Hapus