KETIKA MANCING
pagi bening begini hening
di tepi rawa pening
betapa senang mancing
plung kulempar kail berumpan cacing
cuma sebentar
ikan telah menyambar
tersangkut di ujung pancing menggelepar
di pangkal siang ikanikan lapar
siapa tak betah
terlingkung gunung sangat indah
ya illahi kauberi juga aku hiburan hari ini
di setebah lembah begini sepi
KETIKA MENGIKUTI ANGAN
kitri
mari kita tebas tumbuhan rawa begitu subur
biar akarnya tidak mencakar dasar lungsur
kitri
mari kita keruk segenap lumpur
biar hidup kita lebih makmur
kitri
mari kita tabur benih ikan
biar berbesaran dan berbiakan
kitri
mari kita kerja sementara menanti musim tiba
biar anakanak kita menjaringi hasilnya
kitri
usulku betapa indah
mengangguklah
KETIKA MENDENGAR TANGIS
kaudengarkah tangis bocah itu sejak tadi
suaranya menebari desa sunyi
merambati bibirbibir air sepi
mungkin ibunya ke pasar kota belum kembali
ajaklah kemari kita bawa nembang gambang suling
di tepi rawa pening begini hening
sementara dari dangau kita menghalau gelatik dan pipit peking
yang mau neba merusak bulir-bulir padi mulai menguning
jiwanya kan terajun tembang kita
raganya kan terselimuti udara begini segarnya
pasti sebentar saja dia pulas di sini
meski jarumjarum mentari lepas menusuki kulit bumi
biarkan dia mendengkur tetap di pangkuanmu
sementara kita terus berlagu
barangkali dia kan mekarkan mimpinya yang indah
tentang dunianya yang sumringah
MEMUSAR PADA DIRI
kudengar
dengus angin gunung
kapan kuikuti kembaranya
kulihat
langit seperti tempurung
kapan kugapai cakrawala
kusadari
berdiri di pinggang gunung
diriku sebutir debu di dunia
kurasakan
demikian keras detak jantung
kapan usai menggetar dada
kurenungkan
allah yang mahaagung
kapan aku kembali padanya
ADA JARAK
berdiri di pinggang bukit meniti garis alit
pertemuan bumi dengan langit
sadar ada jarak antara sini dengan sana
tapi entah berapa jauhnya
mungkinkah kita meraih satu titik di cakrawala
berdiri di pinggang bukit meniti jalan jarum jam
sementara bernapas lepas dalamdalam
sadar ada jarak antara kini dengan nanti
tapi entah berapa lamanya
mungkinkah kita menangkap satu detik di ujung waktu
berdiri di pinggang bukit kini di sini
berdampingan tersaput sepi
siapa tahu pasti
berapa panjang jarak hati kita
berapa lama tegangan rasa tahan menanti putusnya
JALAN TUNTANG
mendung tebal menjemputku
mengucapkan selamat datang
ketika aku sampai ke jalan tuntang
yang masih seperti dulu juga
lengang menjelang senja
kuperlambat langkahku
menatapi pepohonan
tepi jalan tambah tua
menggoyangkan rerantingnya
menyampaikan salam
gerimis luruh menyapu debu
di jalan ini pernah juga luruh rinduku
pada perawan ayu yang kini
mungkin sudah punya menantu
bila dulu kami jadi berumah tangga
kuusapusap jalan beraspal dengan sepatuku
barangkali masih menyimpan bekas
telapak kaki kami berdua
di jalan ini kami sadap malam
dan hatiku kulabuhkan padanya
mungkinkah kabut tipis itu
bisa menghapus kenangan di jalan ini
ketika kugandeng gadis menggelitiki hati
waktu aku masih jejaka
dan sekarang entah di mana dia
MENANTI WAKTU PISAH
barangkali ada sisa waktumu
yang kausediakan bagiku
lalu kita menangkap sepi di tepi kota
menancapkan mata di gunung telamaya
bukankah kau telah tahu
setiap kabut lewat kemelut batinku
mungkin kau pun ingin menumpahkan hati
sebagai bekal yang kubawa pergi
sementara angin mendesir
betapa aku gelisah
karena ketika mentari menggelincir
kita pasti berpisah
DALAM RINDU
ambarawa sudah jauh di bawah
udara dingin jenuh menjamah
masihkah hatimu kemelut
sebab bumi tersaput kabut
sementara menanti mentari bersinar
marilah kita diam sebentar
mengisi rongga sepi
menangkap bahasa sunyi
nah kaudengarkah
risik bumi
angin menyibak ampakampak
turun dari puncak bukit biru
nah kaudengarkah
risik hati
meningkah batin bergolak
seberkas rasa mengorak rindu
DI JALAN JENDERAL SUDIRMAN DI SEBUAH LOTENG TUA TIGA LELAKI MENYANYIKAN LAGU LAPALOMA
tiga lelaki ketemu pada suatu hari
penyair pelukis dan penyanyi
si penyair mengerti musik dan seni rupa
si pelukis tahu lagu dan sastra
si penyanyi penikmat lukisan dan puisi
dalam mengisi sepi loteng tua
pecahlah percakapan mereka
tentang iqbal tagore dan li tai po
tentang rembrandt dan picasso
tentang schubert dan mozart
hingga lupa waktu terus merambat
ketika jam dinding terdengar samar
si penyair memetik gitar
menentukan nada dan irama
lalu ketiganya tegak dekat jendela
dari mulutnya mengalir lagu lapaloma
pandang menembus sawang
mengejar megamega
tatapan menebar jauh
pada batas kota dan desa teduh
menyaksikan keluasan wajah bumi
di hati mekar ucap syukur kepada illahi
rasa keindahan yang bersembulan
lebur pada panorama alam gubahan tuhan
dan lagu lapaloma terus terbang
entah di mana bersarang
KETIKA BERDIRI DI SINI
ah terbayang masa mudaku dulu
bersama orang tua hidup di kaki gunung membiru
sementara bapak nembang pangkur di tengah sawah membajak
aku istirah di pematang sempat membuat sajak
kini memandang bulir padi runduk bergoyangan
di pinggir rawa pening begini sepi
sementara mengusir burung beterbangan
di sekerat bumi ini aku ingin memetiki puisi
MENATAP MENDUNG KETIKA SENJA
mungkin seperti mendung itu
merunduk dari punggung gunung
cepat diterpa angin turun
menyergap kota
dalam hening
begitu pun maut nanti
merunduk dari balik pintu waktu
di kamar tibatiba ketika senja
menyergap aku
dalam terbaring
TENTANG PIEK ARDIJANTO SOEPRIJADI
Piek Ardijanto Soeprijadi lahir di Magetan, 12 Agustus 1929. Berprofesi sebagai guru. Menggeluti senis sastra, seni drama dan seni musik. Oleh HB Jassin dimasukkan ke dalam golongan angkatan 66. Kumpulan puisinya: Burung-burung di Ladang (1983), Percakapan Cucu dengan Neneknya (1983), Desaku Sayang (1983), Lelaki di Pinggang Bukit. Tulisannya juga terkumpul dalam Apresiasi Sastra dalam Nilai-nilai Luhur Budaya Bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar