WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
KARYA: BASTIAN TITO
Maut
Bernyanyi Di Pajajaran
SATU
Di
bawah terik panasnya matahari di siang bolong itu maka bertiuplah angin kencang
dan gersang. Debu pasir di pedataran beterbangan ke udara, memekat tebal,
menutup pemandangan beberapa saat lamanya.
Suara siulan aneh yang
melengking-lengking membawakan lagu tak menentu terdengar di lereng bukit di
ujung pedataran. Siulan
aneh ini seperti mau menerpa dan menumbangkan hembusan angin gersang yang
datang dari pedataran.
Tiba-tiba
sekali suara siulan aneh ini terhenti!
Sebagai
gantinya mengumandangkan suara tertawa mengekeh di seantero bukit. Pemuda
berpakaian putih yang ada di puncak bukit saat itu memandang ke samping.
Sebelum jelas telinganya menangkap suara tertawa tadi sejenis cairan harum
telah melesat ke arahnya. Kalau saja dia tidak cepat-cepat melompat ke belakang
pastilah sebagian mukanya kena disambar cairan itu. Cairan yang tak mengenai si
pemuda baju putih rambut gondrong ini menghatam pohon besar. Bukan olah-olah
hebatnya semburan cairan aneh tadi itu!....
Si pemuda sendiri kejutnya bukan
kepalang. Baru saja setengah harian berjalan tahutahu sudah ada orang lain yang
inginkan nyawanya! Dia memandang ke arah datangnya semburan cairan aneh tadi.
Baru saja dia palingkan kepala mendadak dari atas menderulah ratusan tetes
cairan tadi laksana air hujan yang deras ditiup badai!
Pemuda itu berseru nyaring dan
hantamkan tangan kanannya ke atas. Ratusan tetes cairan itu muncrat kembali ke
atas dan ratusan lagi menyibak ke samping. Daun-daun pohon tembus
berlubang-lubang sedang batang-batang kayu seperti kena tusukan paku!
Gelak mengekeh menggema lagi di
seantero puncak bukit. Anehnya si pemuda belum juga dapat mencari dengan
matanya, manusia yang telah mengeluarkan suara tertawa itu. Padahal jelas dekat
sekali kedengarannya.
Hatinya penasaran sekali. Sambil
garuk kepala dia memandang berkeliling. Kedua matanya kemudian tertuju
lekat-lekat pada sebatang pohon raksasa yang tinggi menjulang ke langit,
mungkin lebih dari tiga puluh meter tingginya. Suara tertawa itu datang dari
atas pohon tapi orangnya masih tak kelihatan. Mungkin tertutup oleh daun-daun
pohon yang lebar-lebar dan lebat.
“Manusia di atas pohon!,” bentak
pemuda itu: “Kalau berani buka urusan, berani unjuk diri!” Sehabis berkata
begitu pemuda itu pukulkan telapak tangan kanannya ke atas. Serangkum angin
yang dahsyatnya laksana topan melanda pohon raksasa itu. Ranting dan cabang
berpatahan.
Daun-daun berguguran. Hampir
sekejapan mata saja maka pohon raksasa yang menjulang ke langit itu sudah
menjadi ranggas gundul!
Dan di puncak batang pohon yang
masih utuh kelihatanlah duduk seorang laki-laki tua berselempang kain putih. Karena tingginya
pohon itu tampangnya tak kentara betul. Tapi jenggotnya yang panjang sampai ke
dada dilihat jelas berkibar-kibar ditiup angin gersang dari pedataran. Pada
pangkuannya ada sebuah bumbung bambu yang panjangnya sekira satu meter.
Bumbung
bambu seperti itu masih ada satu iagi tergantung di belakang punggungnya. Dan
kedua bumbung bambu itu berisi tuak murni yang harum sekali dan lezat rasanya.
Tuak itulah tadi yang telah disemburkannya kepada pemuda yang di bawah pohon!
Pukulan
tangan kosong si pemuda yang telah meluruhkan cabang-cabang dan daun-daun pohon
mau tak mau akan membuat mental si orang tua berjanggut putih diatap pohon.
Sekurangkurangnya akan membuat terluka tubuhnya di sebelah dalam. Tapi anehnya
saat itu si janggut putih tetap saja duduk enak-enak berpangku kaki di puncak
pohon yang gundul itu, bahkan sambil meneguk tuaknya dan tertawa-tawa,
seakan-akan tak ada terjadi apa-apa!
Bukan
main geramnya pemuda itu. Tapi untuk bertindak gegabah dia tidak mau. Manusia
tua di puncak pohon tinggi berjanggut putih dengan dua buah bumbung tuak itu
pernah diceritakan oleh gurunya waktu dia masih di puncak Gunung Gede. Dia
adalah seorang pendekar sakti dari empat puluh tahun yang lalu jarang
memperlihatkan diri dan dia adalah golongan persilatan putih, artinya yang
mempergunakan ilmu silat dan kesaktian untuk maksud-maksud baik. Tapi mengapa
tadi dia telah mempergunakan tuaknya untuk menyerang adalah tidak dimengerti si
pemuda rambut gondrong.
“Orang tua!” seru si pemuda.
Bibirnya bergetar tanda ucapannya disertai tenaga dalam agar dapat sampai ke
puncak pohon raksasa yang tingginya lebih dari tiga puluh meter. “Kalau aku
tidak salah lihat bukankah hari ini aku berhadapan dengan seorang tokoh
terkenal di dunia persilatan yang digelari Dewa Tuak?”
Orang tua di puncak pohon elus
jenggotnya sebentar, teguk tuak lalu tertawa lagi macam tadi. “Orang muda! Matamu sangat tajam dapat mengenali aku yang sudah delapan
puluh tahun ini! Tapi apakah kau mau terima undanganku untuk datang ke puncak
pohon ini dan meneguk tuak harum dari Kahyangan bersamaku?” Begitulah. Dewa Tuak menamakan tuaknya dari “kahyangan”. Memang soal rasa
dan harumnya tuak itu sukar dicari tandingan.
Si pemuda tersenyum. “Orang tua, kau
baik sekali. Hari ini aku ada keperluan mendesak. Mungkin di lain kali aku bisa
terima undanganmu.... Terima kasih atas kebaikanmu dan sungguh senang rasanya
dapat kenal dengan seorang tokoh persilatan yang selama ini namanya dikenal di
delapan penjuru angini”
“Ah, kau keliwat memuji, orang
muda,” jawab Dewa Tuak pula. “Aku sudah lihat kau sejak dari ujung pedataran
gersang sana. Kutunggu kau sampai kesini. Tapi sampai di hadapanku kau menolak
undanganku. Mungkin tuakku ini kurang baik? Tidak harum.. .?”
Si pemuda berpikir sebentar. Agaknya
tak menjadi halangan kalau dia menerima undangan Dewa Tuak dan bicara-bicara
dengan orang tua itu di puncak pohon. Mulutnya dikatup rapat-rapat, kedua
tangan mengembang ke samping dan kedua kaki menghenjot bumi maka laksana seekor
elang melayanglah pemuda itu ke puncak pohon. Puncak pohon itu selebar meja
bundar luasnya. Meski tidak beranting dan bercabang serta tak berdaun lagi
namun ditempat setinggi itu sejuk juga rasanya.
“Aku terima undanganmu. Dewa Tuak,”
kata si pemuda seraya duduk disatu bagian yang menonjol bekas patahan cabang
pohon.
“He...
he... he...,” Dewa Tuak girang sekali. “Memang tak ada
ruginya menerima undanganku orang muda. Tuak enak, tempat duduk bagus. Seantero
daerah sini bisa kau tihat dengan jelas!”
Memang
ketika duduk di atas pohon itu si pemuda dapat melihat pemandangan indah sejauh
mata memandang. Dewa Tuak segera ambil salah satu bumbung tuaknya dan
memberikannya pada tamunya.
“Kau biasa minum tuak, anak muda?”.
Si pemuda itu menjawab. “Pernah
juga”. Padahal seumur hidupnya baru hari itu dia melihat dan membual serta akan
merasakan minuman yang bernama tuak itu. Disambutinya bumbung bambu itu dari
tangan Dewa Tuak sementara Dewa Tuak mengambil bumbung yang satu lagi dia masih
juga berpura-pura menikmati pemandangan sekelilingnya.
“Ayo orang muda, silahkan minum!”.
Dewa Tuak memperbasakan: “Kau harus tahu, tuakku tuak murni. Kalau belum biasa nanti kau bisa mabuk atau pusing dan menggelinding dari
pohon ini!”
Si pemuda tertawa. Ditempelkannya
bibimya ke tepi bumbung bambu. Sedikit saja tuak itu menjalari tenggorokannya
maka seluruh badannya menjadi hangat, pemandangannya menjadi jernih sedang
pikirannya terasa tenang!
“Bagaimana
rasanya?”.
“Tuakmu betul-betul bagus sekali,
orang tua. Tak salah kalau kau namakan tuak dari kahyangan!“.
Dewa Tuak tertawa senang.
“Kau ini datang dari mana, anak
muda?”.
“Barusan dari Jatiwalu...”.
“Jatiwalu kampung jelek. Banyak
rampok...,” kata Dewa Tuak pula. “Dan rampoknya orang situ-situ juga”
Si pemuda berpikir kalau Dewa Tuak
tahu apa yang terjadi di Jatiwalu kenapa dia tidak turun tangan?
Dewa Tuak agaknya maklum apa yang
terpikir oleh si pemuda. Lantas dia berkata: “Aku malas dan bosan dengan
urusan-urusan tengik macam begituan. Karenanya kubiarkan saja apa yang terjadi
di kampung itu. Orang kampung sana agaknya tidak mau perduli dengan nasib
mereka. Lebih senang ditindas. Nanti keadaan di sana akan baik sendirinya...”
Dewa Tuak meneguk tuaknya kembali.
Setelah diam beberapa lamanya
bertanyalah si pemuda: “Dewa Tuak, apakah pohon besar ini tempat kediamanmu?”
“Kenapa kau tanya begitu?”
“Karena kalau betul berarti aku yang
muda telah turun tangan semena-mena membuat pohon ini jadi gundul begini! Dan aku harus
haturkan maaf kepadamu... !”
Dewa
Tuak tertawa mengekeh sampai tuaknya berlelehan di tepi mulut.
“Aku senang pada pemuda macammu. Tak
percuma satu tahun aku duduk di sini menunggu. Kau cocok buat jodoh muridku!”
Dewa Tuak meneguk tuaknya lagi tapi
sambil meneguk matanya melirik pada si pemuda.
Akan tetapi si pemuda tentu saja
kagetnya tiada terkira, mendengar ucapan DewaTuak itu. Mukanya merah karena
jengah. Rupanya dunia ini terlalu banyak manusia-manusia aneh, pikirnya.
Diteguknya sedikit lagi tuak harum dalam bumbung. Kemudian bumbung bambu itu
diserahkannya kepada pemiliknya
kembali.
“Dahagaku sudah lepas Dewa Tuak.
Tuakmu enak sekali. Aku ucapkan terima kasih dan sekarang aku minta diri untuk
meneruskan perjalanan.,..”
“Ah, orang muda, matahari masih
belum bergeser, angin masih sejuk dan pemandangan indah masih banyak yang belum
kau lihat. Kenapa musti kesusu?”.
Si pemuda tersenyum. “Kurasa sudah
cukup. Di lain hari jika ada kesempatan aku yang muda ini pasti akan membalas
undangan serta suguhan tuakmu yang enak itu...”.
Dewa Tuak letakkan kedua bumbung
tuaknya di pungggung. Ditepuknya bahu pemuda itu. “Kau tak boleh pergi anak
muda. Kau musti ketemu dulu dengan muridku. Kau berjodoh dengan
dia! Mari kita turun!”.
Dewa Tuak menarik lengan si pemuda
dan keduanya loncat turun ke tanah laksana dua ekor burung rajawali. Tapi
sampai di tanah si pemuda segera lepaskan tangannya yang dipegang dengan halus.
Dia menjura hormat: “Lain kali kita bertemu lagi, Dewa Tuak. Terima kasih atas
suguhanmu!”
Tapi baru saja si pemuda berlalu
beberapa tombak, tubuhnya sudah terhenti dan tertarik ke belakang kembali.
Seutas benang sutera halus telah melilit pinggangnya. Ternyata Dewa Tuaklah
yang empunya benang itu dan menariknya.
“Anak muda, aku sudah bilang kenapa
buru-buru. Kau belum ketemu dengan muridku... Mari...”
Kalau bukan berhadapan dengan Dewa
Tuak mungkin si pemuda sudah keluarkan semprotan memaki. Namun saat itu dengan
menahan hati berkatalah si pemuda: “Dewa tuak, kita baru saja berkenalan hari
ini. Manusia bodoh dan jelek macam aku ini mana pantas dijodohkan dengan
seorang murid pendekar besar macam kau! Masih banyak lain orang yang lebih
pantas!”
Pemuda itu hendak berlalu lagi tapi
benang sutera halus itu masih juga melilitipinggangnya. Meneliti sutera halus
itu si pemuda bukan tak mampu untuk memutuskannya. Tapi dia khawatir itu akan
membuat Dewa Tuak tidak bersenang hati. Sementara itu didengarnya Dewa Tuak
mengeluarkan Suara suitan aneh.
Sesosok bayangan ungu muncui di
hadapan pemuda itu dan nyatanya adalah seorang gadis berpakaian ungu dan
berpita ungu. Metihat paras gadis ini mau tak mau pemuda rambut gondrong itu
tertarik juga.
“Orang muda? Kau lihat sendiri.
Muridku toh tidak jelek?! Bagaimana...?”
Paras si pemuda jengah sekali. Gadis
baju ungu lebih lagi. Ditundukkannya kepalanya sampai dagu dan dadanya hampir
menempel.
“Muridmu memang cantik Dewa Tuak,”
kata si pemuda. “Tapi tampangku yang
terlalu buruk sehingga tidak cocok!
Sebaiknya cari pemuda yang dia sukai sendiri.
Dewa Tuak. Selamat tinggal!”
Habis berkata demikian si pemuda
sentil benang sutera yang melilit pinggangnya.
Benang itu putus!
“Pemuda geblek! Dikasih perawan
malahan kabur!,” maki Dewa Tuak. Dia
berseru: “Hai pemuda! Tunggu dulu!
Kau masih belum terangkan nama!”.
Orang tua ini keluarkan segulung
tali rotan dan dilemparkannya ke arah pinggang
pemuda yang tengah larikan diri. Si
pemuda yang tahu dirinya hendak dilibat kembali
pukulkan telapak tangan kanannya ke
belakang.
Sesiur angin kencang menderu deras,
menahan lontaran tali rotan, terus
menyambar ke arah si orang tua. Dewa
Tuak terpaksa loncatkan diri ke atas karena
maklum
angin yang datang menyambar itu bukan angin biasa. Sambaran angin
memberantakkan
semak-belukar rendah kemudian menghantam pohon kayu besar.
“Krak”
Tak
ampun lagi pohon raksasa itu tumbang patah dua dengan suara berisiknya
hampir
terdengar di seluruh lereng bukit. Dewa Tuak geleng-gelengkan kepalanya.
“Sayang...
sayang...,” katanya. “Sayang aku tak dapatkan itu pemuda...”. Ketika
dia
memasukkan tali rotannya ke balik pakaiannya, orang tua ini terkejut. Pada
bagian
pohon
besar yang masih berdiri di tanah tapi akar-akarnya hampir berserabutan ke
luar,
kelihatan
tertera tiga buah angka 212. Dewa Tuak memandang pada gadis baju ungu
disampingnya
lalu memandang lagi pada tiga buah angka dibatang pohon dan leletkan
lidah
kemudian merenung.
Tiga
deretan angka itu telah menggemparkan dunia persilatan pada dua puluh
tahun
yang lalu. Tiga deretan angka yang berarti maut bagi kaum persilatan itu
golongan
hitam!
Apakah kini angka 212 itu telah muncui kembali?! Dunia persilatan pasti akan
gempar
seperti masa dua puluh tahun yang lalu! Tapi yang menjadi
tanda tanya besar di
kepala Dewa Tuak saat itu ialah
siapa adanya pemuda gagah tadi. Apakah dia muridnya
Eyang Sinto Gendeng? Kalau betul
berarti munculnya kembali seorang tokoh gagah
dengan gelar: “Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212...”!
Dewa Tuak palingkan kepala pada anak
muridnya.
“Anggini! Kau telah lihat kehebatan
itu pemuda. Kau musti cari dan kejar dia!
Musti dapat! Kalau tidak dapat
jangan kembali kepertapaan...”
“Tapi guru...”
“Tidak ada tapi-tapian. Anggini!
Kejar pemuda itu. Kau ... dengan jalan apa pun
musti bisa ambil dia jadi kawan
hidupmu karena dia akan menguasai dunia persilatan
dalam waktu yang singkat!”
Anggini si gadis baju ungu berdiri
termanggu.
“Tunggu apa lagi?” tanya gurunya.
Gadis ini tak bisa berkata apa-apa
lagi melainkan segera meninggalkan tempat itu
ke jurusan lenyapnya si pemuda yang
telah menerakan angka 212 pada batang pohon!
-- == 0O0 == --
DUA
Sang surya sudah lama bergeser ke
ufuk barat. Warnanya yang tadi demikian
terik menyilaukan kini memudar merah
kekuningan seperti tiada sanggup menahan
diinya dirampas oleh kedatangan
sore. Sore
yang akan dirampas oleh senja dan senja
yang akan bertekuk lutut di pintu
malam.
Jalan yang ditempuh pemuda itu
semakin sukar. Berliku dan menanjak. Di kiri
kanan senantiasa mengapit batu
karang putih yang tiada berubah dari zaman ke zaman
atas kerasnya. Mendadak dari puncak
batu karang di sebelah timur melengking suara
suitan aneh yang menusuk sepasang
gendang-gendang telinga si pemuda. Dengan
waspada pemuda ini putar kepala dan
mendongak ke atas.
Puncak karang itu tingginya sekira
dua puluh lima tombak. Curam dan terjal
sukar didaki. Tapi mata si pemuda
yang tajam dapat melihat bekas cungkilan-cungkilan
pada sepanjang lereng karang mulai
dari bawah sampai ke atas. Cungkilan-cungkilan itu
merupakan tangga penolong. Meski
demikian, jangan harap manusia biasa bisa
mempergunakannya. Sekali tergelincir
tubuh akan amblas ke bawah, ditunggu oleh
unggukan batu karang runcing!
Suara suitan aneh itu terdengar lagi
lebih keras dan nyaring dari yang pertama.
Dan sesaat mata si pemuda berputar
kembali ke puncak batu karang itu dia terkejut
melihat kemunculan seorang tua
bermuka brewok yang kaki kanan dan tangan kanannya
buntung.
Anggota badan yang buntung ini disambung dengan kayu. Pada ujung kayu
dari
lengan menancap sebuah benda berbentuk arit yang bergemerlap ditimpa sinar
matahari
di ambang sore itu! Di tangan kirinya ada sebuah tongkat biru dari besi murni.
Karena
puncak karang di mana manusia berewok ini berdiri tinggi sekali maka si
pemuda
tak dapat mengenali dengan jelas potongan muka orang ini, apalagi tertutup
berewok.
Hanya
samar-samar bisa dilihatnya bahwa manusia ini adalah seorang tua yang
bertampang
angker.
Melihat kepada berewok yang memenuhi mukanya keraslah hati si pemuda bahwa dia
sudah
dekat ketempat tujuannya. Mungkin juga sudah sampai.
Dipandang tajam-tajam demikian rupa,
si muka angker berewok juga memandang
pada si pemuda secara tajam
menyorot. Tapi sebegitu jauh tidak buka suara.
Si pemuda yang menjadi tak sabar
lambaikan tangan dan menjura hormat sedikit.
“Orang tua, aku yang muda ini mau
tanya apakah ini jalannya ke Gua Sanggreng?!”.
Orang yang ditanya kerutkan kening.
“Bocah gondrong, apakah kau yang
dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212...?!”. Pemuda yang berada di
bawah batu karang terkejut sekali. Siapakah orang tua
berewok bermuka angker ini? Apakah
guru atau kakak seperguruannya Bergola Wungu yaitu
musuh
yang telah mengundangnya untuk datang ke Gua Sanggreng?.
“Aku
merasa tak ada orang yang menjuluk demikian, orang tua...!,” menyahuti si
pemuda
yang tak lain dari Wiro Sableng adanya. .
Si muka berewok masih memandang
menyorot pada pemuda itu. Memang adalah tak
dapat dipercayanya kalau pemuda ini
adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 karena
angka 212 telah menggetarkan dunia
persilatan pada dua puluh tahun yang lalu. Tapi ciri-ciri
yang diterangkan muridnya tentang
pemuda ini cocok betul. Akhirnya si berewok bersuit lagi.
Kali ini suara suitannya lain dari
dua kali tadi. Dan sesaat kemudian muncullah sosok tubuh
berpakaian hitam. Orang ini mukanya
juga berewok dan Wiro dapat mengenalinya sebagai
orang yang dulu telah menantangnya
yaitu Bergola Wungu! Kini dia yakin bahwa si kaki
buntung itu punya sangkut-paut erat
dengan Bergola Wungu. Dari bawah dilihatnya kedua
orang itu bercakap-cakap sedang si
buntung sekali-kali menunjuk-nunjuk dengan tongkat
birunya ke arah Wiro.
Tiba-tiba mengumandanglah tawa
bergelak dari si kaki buntung. Daerah sekitar situ
seperti dirobek oleh suara
tertawanya. Sambil
tertawa diketuk-ketukkannya tongkat di tangan
kirinya ke atas batu karang. Batu karang itu
bergetar dan bagian yang kena ketuk lebur
menjadi
pasir!
Kemudian
kedua mata orang tua buntung itu kembali memandang tajam pada Wiro
Sableng.
“Kalau kau bukan Pendekar 212 palsu pastilah kau muridnya si Sinto Gendeng...:
Ah,
kiranya kau tak ubah seperti bocah-bocah ingusan lainnya. Tak ubah seperti
gurumu
sendiri!
Bego dan keblinger...!”
“Jaga
mulutmu, orang tua!,” bentak Wiro marah karena gurunya dimaki. Tapi diamdiam
dia
juga heran kalau si muka berewok yang satu ini tahu nama gurunya. Melihat kepada
umur mungkin kira-kira dia seumur dengan
Eyang Sinto Gendeng. Berewok
buntung itu
tertawa
lagi. Tongkatnya diketuk-ketukkannya lagi.
“Muridku
Bergola Wungu bicara terlalu hebat tentang kau. Tapi setelah berhadapan
muka
nyatanya kau hanya kosong melompong! Tadinya mendengar kematian tiga muridku
aku
ingin mengajaknya bertempur sampai seratus jurus. Hendak kupecahkan kepalanya
dengan
tongkat biru besi murni ini! Tapi nyatanya dia adalah seorang bocah pitit,
masih pantas
ngempeng! Pakai baju pun belum
becus! Pendekar potongan macammu ini sekali aku ayunkan
tongkat saja pasti sudah kelojotan!”
Panas hati Wiro Sableng tiada
terkirakan. Darah mudanya menggeru dalam
pembuluhnya. “Orang tua!,” serunya.
“Bicaramu terlalu sombong! Apakah kau tahu bahwa
semut itu sanggup mengalahkan gajah?
Apakah kau juga tahu bahwa manusia itu bisa terpeleset
oleh sebutir batu kecil
berlumut...?!”
Si berewok kaki buntung tertawa
dingin. “Barangkali kau belum tahu kebalikan
ucapanmu itu, orang muda! Tahukah
kau bahwa semut itu sekali dipijak oleh gajah akan mejret
amblas ke dalam tanah?! Tahukah kau
kerikil kecil itu kalau ditendang akan mental jauh tiada
daya?”
Wiro Sableng keluarkan suara
mendengus dari hidung. “Kadangkala manusia keliwat
pintar jadi bicara terbalik-balik
macam kau!,” sahutnya. “Tapi tak apa... aku tak ada urusan
dengan kau. Biar aku bicara dengan
Bergola Wungu!”.
Si orang tua tertawa berkekeh.
“Jangan sebut soal tak ada urusan,
geblek! Muridku mati tiga orang...”
“Bukan aku yang bunuh...!”.
“Tapi kau turut bertanggung jawab!”
Menukas Bergola Wungu.
“Buset!,” kata Wiro.”Di depan hidung
gurumu kau bisa buka bacot keras Bergola! Aku
sudah datang untuk menerima
tantanganmu!”
Bergola Wungu tertawa mengejek.
“Ini
bukan Gua Sanggreng, Wiro! Bukan di sini ajalmu harus kau pasrahkan!”
“Keren
betul kau Bergola! Manusia kalau sudah lupa nasib memang persis macam kau!
Kau
tahu bahwa kau dulu anak kampung Jatiwalu kentut?! Yang sekarang punya sedikit ilmu
lantas jadi kepala rampok! Tapi
lantas menantang aku dengan lari kepada gurunya? Kalau aku
jadi kau lebih baik terjun dari atas
puncak karang itu ke bawah, mampus bunuh diri!”
Merah muka Bergola Wungu sampai ke
telinga dan ke kuduk. Mulutnya terkatup rapat.
Gerahamnya bergemeletakkan. Namun
tak ada suara jawaban dari dia.
Maka berkatalah si berewok tua kaki
buntung. “Bocah 212, karena kau bicara begitu
congkak tentu kau punya sedikit ilmu
yang diandalkan. Aku yang sudah tua ingin sekali
bertukar pengalaman!”.
Wiro Sableng tertawa-tawa. “Kau yang
sebenarnya congkak orang tua! Apakah
umurmu yang sudah bangkotan itu masih
belum cukup puas untuk melakukan pertempuran?
Tapi kalau kau berkeras hati mau
iseng-iseng tukar pengalaman katamu, aku yang muda tidak
keberatan....” Wiro gosok-gosokkan
telapak tangannya satu sama lain “Tapi aku ingin tahu
nama dan siapa kau lebih dahulu.:..”.
Si orang tua kembali tertawa macam
tadi yang menggetarkan seantero daerah batu
karang itu.
“Aku adalah penghuni Gua Sanggreng
yang sudah empat puluh tahun malang melintang
dalam rimba persilatan! Kau dengar
itu bocah? Dan kalau kau perlu tahu namaku... akulah yang
bernama Bladra Wikuyana Angin Topan
Dari Barat!”.
Tentu saja Wiro Sableng terkejut
mendengar nama asli serta nama julukan si berewok
kaki buntung itu karena dari gurunya
dia mengenai bahwa Angin Topan Dari Barat adalah satu
tokoh persilatan sakti yang memimpin
sebuah perguruan di Jawa Barat, yang namanya cukup
tenar tapi dicurigai adalah kaki
tangan golongan hitam (golongan jahat).
Namun demikian pemuda ini sama
sekali tidak unjukkan paras kecut. Malah dia tertawa
bergelak: “Julukanmu hebat juga,
orang tua! Tapi setahuku angin itu hanyalah satu benda kosong
belaka dan berbau busuk bila ke luar
dari pantat!”
Bladra Wikuyana bersuit marah.
“Bocah setan! Kau berani kurang ajar
terhadap Angin Topan Dari Barat! Terima ini...!”.
“Wuuuuuutt”!
Tongkat birunya disapukan ke bawah!
-- == 0o0 == --
TIGA
Angin sedahsyat topan melanda
Pendekar 212. Pemuda ini balas dengan hantaman tangan
ke
udara mengirimkan putaran lengan yang mengandung serangkum angin puyuh!
Hal
yang hebat sekali terjadilah.
Dua
pukulan angin yang sama mengeluarkan suara mengaung itu begitu bentrokkan
menimbulkan
letupan udara yang kerasnya bukan kepalang. Bukit-bukit dan puncak-puncak,
karang
bergetar. Semak-belukar dan pohon-pohon rambas ke tanah. Pukulan angin puyuh
Wiro
Sableng
telah membuyarkan pukulan angin topan dari tongkat Bladra Wikuyana. Namun
demikian
Wiro Sableng masih kena juga diterpa kipratan angin pukulan lawan sehingga
sesaat
tubuhnya
menjadi limbung huyung!
Bladra
Wikuyana terbeliak kaget.
Hantaman
tongkat birunya tadi telah mempergunakan hampir sepertiga bagian tenaga
dalamnya.
Dia sudah memastikan kalau tidak mampus pastilah sekurang-kurangnya pemuda itu
kelojotan
muntah darah! Tapi kepastiannya itu tidak berkenyataan. Di bawahnya Wiro
Sableng
ditihatnya
masih berdiri utuh!
Maka
berserulah Bladra Wikuyana: “Orang muda! Ilmumu cukup bagus untuk
diandalkan!
Aku tunggu kau di Perguruan Gua Sanggreng!”
Habis berkata begitu manusia ini
menarik lengan Bergola Wungu. Sekejapan saja guru
dan murid itu lenyap dari
pemandangan Wiro Sableng.
Si pemuda garuk kepala. “Tongkat itu
hebat sekali!,” katanya dalam hati. Tapi dia tak
menunggu lebih lama. Segera dia
lompatkan diri ke atas puncak karang yang tingginya puluhan
tombak itu. Puncak karang itu
ternyata licin sekali. Kalau saja ilmu meringankan tubuhnya dari
kelas
rendahan pastilah kakinya akan tergelincir!
Wiro
memandang berkeliling mencari jejak ke mana larinya kedua orang tadi. Matanya
yang
tajam segera menangkap bayangan Bladra Wikuyana dan muridnya di balik karang
sebelah
Timur.
Tanpa buang waktu Pendekar 212 segera lompat ke karang yang terdekat. Laksana
seekor
rajawali
demikianlah dia melompat kian kemari sampai akhirnya orang yang dikejamya itu
lenyap
di sebuah jurang batu karang yang dalam sekali!
Wiro
berdiri di tepi jurang batu itu, memandang ke bawah. Untuk melompat turun tidak
mungkin.
Jurang itu dalamnya lebih dari seratus tombak. Berarti
tidak mungkin pula Bladra
Wikuyana dan Bergola Wungu lenyap
turun ke jurang batu itu. Tapi tiba-tiba Wiro melihat
sebuah tangga tali yang kuat di tepi
jurang sebelah Selatan. Segera dia menuju ke
sana dan
memeriksa tangga tali itu. Dia
berpikir sebentar, kemudian dengan cepat menuruni tangga tali.
Bagian bawah jurang batu itu hampir
merupakan pedataran batu yang sedikit sekali
tetumbuhannya. Penuh waspada
Pendekar 212 segera memeriksa keadaan. Tiba-tiba menggema
suara suitan dari arah Utara yang
dibalas pula oleh suara suitan dari arah barat. Wiro segera
menuju ke Barat!
Sementara itu di atas jurang,
sesosok tubuh yang sudah sejak lama menguntit Wiro
Sableng hentikan langkahnya dekat
tangga tali, tak berani terus ikut menuruni tangga tali itu.
Wiro berdiri di balik sebuah batu
karang berbentuk pilar. Sekurang-kurangnya batu
karang itu bisa menjadi tameng
baginya dari musuh yang menyerang dengan diam-diam. Dari
balik batu berbentuk pilar ini dia
memandang ke muka. Tepat di antara dua batang kayu besar
yang sangat rendah maka beberapa
puluh tombak di mukanya dilihatnya sebuah gua besar.
Kemudian didengarnya lagi suara
suitan. Kali ini dari sebelah belakangnya. Suitan ini disambut
oleh suitan yang menggema ke luar
dari dalam gua.
Pemuda ini menunggu dengan tidak
sabar. Ke mana perginya kedua orang tadi? Apakah
masuk ke dalam gua itu? Dan apakah
gua Itu yang bernama Gua Sanggreng? Lalu apakah saat itu
dia sudah berada di Perguruan Gua
Sanggreng?
Tiba-tiba terdengar suara suitan
yang lebih hebat dari suitan-suitan tadi. Dan Wiro melihat
dari mulut gua ke luar dua lusin
manusia, semuanya laki-laki, ada yang berewokan ada yang tidak
dan semuanya mengenakan pakaian
hitam dengan ikat pinggang kain putih. Pada pinggang
masing-masing tersisip sebatang
tongkat biru yang sama bentuknya dengan milik Bladra
Wikuyana. Keduapuluh empat orang itu
membentuk dua barisan panjang mulai dari mulut gua
sampai ke pelataran batu. Tak lama
kemudian muncullah Bladra Wikuyana diiringi oleh Bergola
Wungu.
“Pendekar Kapak Naga Geni 212 tak
usah sembunyi di balik pilar! Keluarlah!,” seru
Bladra Wikuyana.
Pemuda itu segera ke luar dari balik
tiang batu karang dan berdiri waspada di ujung
pelataran. “Angin Topan Dari Barat!
Sandiwara atau tari-tarian apakah yang akan kau
pertunjukkan kepadaku?!”
Bladra Wikuyana tertawa hambar. “Dasar manusia tolol! Ajal sudah di depan mata masih
juga mau jadi badut! Tahukah kau
bahwa siapa-siapa yang sudah masuk ke mari berarti tak ada
lagi jalan keluar! Berarti mampus di
sini?!”.
Wiro Sableng menyengir. Katanya:
“Kalau begitu kalian semua di sini juga samasama
ikut mampus dengan aku!”.
Kembali Bladra Wikuyana tertawa
hambar. Ditepukkannya kedua tangannya.
“Turunkan tangga tali,” perintahnya.
Dua orang anak murid Perguruan Gua
Sanggreng segera melaksanakan tugas itu.
Bladra Wikuyana berkemik. “Tangga
tali telah diturunkan berarti umurmu
semakin singkat. Tapi ada syarat
jika kau kepingin hidup terus...”
“Apa?”
tanya Wiro Sableng kepingin tahu. “Berlutut minta ampun di hadapanku
dan
bergabung denganku!”.
Wiro
Sableng tertawa meledak.
“Muridmu Bergola Wungu menantang aku
datang kemari untuk bertempur! Tahutahu
kini diajak bergabung, disuruh
berlutut malah! Enak betul bikin aturan...!”
“Kalau begitu kau datang ke sini
betul-betul untuk antarkan jiwa!” kata Bladra
Wikuyana pula. Habis berkata begini
dia bertepuk tangan satu kali.
“Bereskan dia dengan gebrakan enam
tongkat merenggut nyawa!” bentak Bladra
Wikuyana dengan geram sekali.
Maka enam orang muridnya segera
melompat mengurung Pendekar 212 dengan
tongkat di tangan.
“Ketahuilah:..” kata Bladra Wikuyana
pula. “Yang akan kalian hajar itu adalah
seorang bocah yang mengaku bergelar
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Mulai!”
Bladra Wikuyana bersuit keras.
Keenam muridnya juga bersuit keras dan dengan
serentak menyerang Wiro Sableng!
Enam larik sinar biru mengambang di
udara kian ke mari dalam gerakan yang
sangat tak menentu, mengeluarkan
suara bersiuran dan kesemuanya menyerang
pendekar bertangan kosong itu. Wiro
lompat ke udara dan berteriak: “Angin Topan Dari
Barat! Kerapa anak muridmu yang tak
ada sangkut paut dengan aku kau suruh.maju?
Apa kau tidak punya nyali?!”.
Biadra Wikuyana menyahut dengan membentak:
“Kalau kau ada urusan dengan
salah seorang di sini berarti kau
berurusan dengan Perguruan Gua Sanggreng...!”
Saat itu keenam murid Perguruan Gua
Sanggreng melompat pula ke udara dan
menyerang Wiro Sableng dengan sebat.
Tapi dengan pergunakan jurus: Belut Menyusup
Tanah, maka Pendekar 212 yang
diserang oleh mereka telah berdiri di pelataran batu
kembali. Maka bentrokkanlah enam
tongkat biru itu di udara!
“Tolol,” makl Bladra Wikuyana pada
murid-murudnya: “Aku beri kesempatan
tiga
jurus lagi pada kalian! Kalau tak berhasil merubuhkan bangsat itu kalian musti
mundur
dan terima hukuman!”.
Ternyata
gebrakan enam tongkat merebut nyawa yang dikeluarkan enam murid
Perguruan
Gua Sanggreng tadi tidak mampu merubuhkan Pendekar 212. Kini karena
takut
terima hukuman dari guru mereka, keenamnya segera putar tongkat dengan sebat
dan
lancarkan enam tusukan pada enam bagian tubuh Wiro Sableng!
“Ciaaat!”
Bentakan
dahsyat menggema dan menggetarkan jurang batu itu. Bulu-bulu
tengkuk
anak-anak murid Perguruan Gua Sanggreng meremang, bukan saja oleh
kedahsyatan
bentakan tadi tapi juga menyaksikan bagaimana enam kawan mereka kini
berdiri
kaku tegang di tengah pelataran karena tubuh masing-masing sudah kena ditotok
lawan.
Sedang Pendekar 212 berdiri saat itu berdiri tenang-tenang bahkan bersiul-siul!
Rasa
tak percaya membuat Bladra Wikuyana buka matanya lebar-lebar. Dan hatinya
merutuk.
Tiba-tiba dicabutnya tongkat birunya dari pinggang dan disapukannya ke muka.
Keenam
tubuh muridnya berpelantingan laksana daun kering tapi sekaiigus angin topan
dashyat
yang
keluar dari tongkat ampuh itu telah melepaskan keenamnya dari totokan!
Kemudian
Pemimpin atau Ketua Perguruan Gua Sanggreng itu berkata pada Bergola
Wungu:
“Kau majulah, pimpin semua muridku yang ada di sini! Bentuk-lingkaran pasang
surut!”.
Mendengar
ini Bergola Wungu segera melangkah ke muka seraya cabut golok panjang
dan bersuit keras tiga kali
berturut-turut. Maka dua puluh empat manusia berpakaian hitam-hitam
dengan tongkat di tangan di bawah
pimpinan Bergola Wungu yang memegang golok panjang
segera membentuk dua lapis lingkaran
yang disebut lingkaran pasang surut, mengurung Wiro
Sableng di tengah-tengah. Gilanya,
yang mau diserang malah tetap berdiri tenang-tenang, kemak
kemik
dan sambil bersiul-siul.
Tiba-tiba
Bergola Wungu bersuit nyaring. Maka berputarlah barisan lingkaran yang
sebelah
dalam ke kiri sedang barisan lingkaran sebelah luar berputar ke kanan.
Mula-mula lambat
pelahan
kemudian makin lama makin kencang, makin kencang sampai tubuh kedua puluh
empat.
manusia
berpakaian hitam itu tidak jelas iagi, hanya merupakan bayang-bayang. Debu yang
menutupi
pelataran menggebu ke atas dan sambil berputar-putar itu Bergola Wungu dan
kawankawannya
tiada
henti berteriak melengking-lengking.
Karena
putaran dua barisan lingkaran itu makin cepat dan saling berlawanan serta
diiringi
lengking
pekik hiruk pikuk yang memekakkan dan mengacaukan pikiran lambat laun kedua
pandangan mata Pendekar 212 menjadi
berkunang. Kepalanya terasa pusing. Dia tertegun
beberapa jurus lamanya. Dan dua baris
lingkaran itu kini kelihatan semakin menciut
mendekatinya!
Bergola Wungu melihat lawan muiai
terpengaruh dengan bentakan lantang menyerbu dan
tebaskan goloknya ke kepala lawan
yang terkurung ditengah lingkaran. Serangan ini datangnya
secara pengecut yaitu dari belakang!
Dan Wiro Sableng dalam tertegunnya itu masih juga
bersiul-siul seperti orang lupa
diri!
-- == 0O0 == --
EMPAT
Dia hanya merasakan datangnya
sambaran angin dari arah belakang. Lalu cepat-cepat
menggeser kaki ke muka, bergerak ke
samping dan sambil bungkukkan diri balikkan badan!
Golok panjang Bergola Wungu lewat
satu setengah jengkal di atas kepalanya, mengibarkan
rambutnya
yang gondrong!
“Dasar
pengecut! Sudah main keroyok menyerang dari belakang!,” bentak Wiro
Sableng.
Kedua tangannya bergerak ke muka untuk merampas golok lawan. Namun hampir hal
itu
terlaksana, tahu-tahu dua belas ujung tongkat menderu menyerang kedua
lengannya.
“Sialan!”
maki Pendekar 212 dan terpaksa tarik pulang tangannya sambil hantamkan
kaki
membabat ke arah beberapa orang pengeroyok dari barisan sebelah muka. Mereka
yang
diserang
tendangan kaki anehnya tidak melakukan sesuatu apa, tapi tiba-tiba dari
belakang
menyeruak
kawan-kawan mereka dari barisan kedua, dan menangkis tendangan Wiro Sableng.
Sejurus
kemudian barisan muka kembali menyerang dengan dua belas tongkat biru mengarah
pada dua belas bagian tubuh Wiro
Sableng! Sementara itu dari atas laksana alap-alap golok
Bergola Wungu kembati membabat! Ini
lah kehebatannya lingkaran pasang surut! Ciptaan
Bladra Wikuyana! Dua tahun dia
melatih murid-muridnya untuk betul-betul memahami jurus
tersebut. Meski belum begitu
sempurna tapi hasilnya tidak mengecewakan! Sambil senyumsenyum
dia berdiri menunggu saat di mana
matanya akan menyaksikan tubuh Wiro Sableng
terpancung belasan senjata muridnya,
telinganya bakal mendengar pekik kematian pemuda itu!
Tapi tiada kelihatan, Pendekar 212
terpancung meregang nyawa di tengah pelataran itu!
Tiada terdengar pekik kematian Wiro
Sableng! Dengan kecepatan luar biasa yang tiada terlihat
oleh mata Bladra Wikuyana maka
tahu-tahu Wiro Sableng sudah berada di luar serangan anakanak
muridnya, berdiri dengan tenang dan
kembali bersiul-siul!
Sebenamya pemuda bermata tajam ini
sudah dapat melihat di mana letak kelemahan
barisan lingkaran pasang surut yang
mengeroyoknya saat itu. Dengan merobohkan dua atau tiga
orang pengeroyok dari salah satu
barisan maka pastilah lingkaran pasang surut itu akan menjadi
kacau balau! Bisa juga sebagian atau
seluruh pengeroyoknya ditumpasnya dengan hantaman
pukulan
angin puyuh atau dinding angin berhembus tindih menindih! Tapi ini pemuda
inginkan
cara
lain yang lebih disukainya sendiri.
Maka
berserulah Pendekar 212.
“Angin
Topan Dari Barat! Apakah kau pernah iihat manusia dipakai jadi senjata untuk
menyerang
manusia...?!”
“Bocah
gila! Jangan banyak bacot! Nyawamu sudah di depan hidung! Anak-anak
ciutkan
lingkaran dalam sepertiga jurus!,” teriak Bladra Wikuyana dengan penasaran
sekali.
Siulan Pendekar 212 tiba-tiba lenyap
berganti dengan suara tertawa aneh yang
menegakkan bulu tengkuk. Tubuhnya
berkelebat tak kelihatan. Dan tiba-tiba pula Bergola
Wungu merasakan kedua pergelangan
kakinya dicengkeram erat sekali. Dicobanya untuk
meronta dan menendang tapi
cengkeraman itu laksana japitan besi tak mungkin untuk
di1epaskan. Sementara itu tubuhnya
menjadi limbung dan terasa terangkat ke atas! Dicobanya
membabatkan goloknya! Terdengar satu
pekikan! Pekikan kawannya sendiri yang, kemudian
roboh mandi darah! Sesudah itu
Bergola Wungu tak tahu apa-apa lagi!
Wiro Sableng dengan tertawanya yang
aneh memegang erat-erat kedua
pergelangan kaki Bergola Wungu lalu
memutar tubuh manusia itu laksana kitiran! Pekik
jerit
serta seruan-seruan tertahan terdengar di mana-mana! Barisan lingkaran pasang
surut
hancur berantakan. Beberapa orang yang masih tak mau menyingkir dan terpukau
oleh
kedahsyatan itu terpaksa dihantam kitiran dari tubuh Bergola Wungu! Belasan
anak
murid
Perguruan Gua Sanggreng bergeletakan di pelataran batu karang dalam keadaan
tubuh
luka-luka parah tanpa nyawa. Suara erangan terdengar
tiada hentinya. Yang masih
hidup yaitu sekira sembilan orang
menyingkir jauh-jauh ke dinding batu karang.
Suara tertawa Pendekar 212 berhenti.
“Angin Topan Dari Barat! Ini terima
bangkai muridmu!”. Tubuh Bergola Wungu
yang tadi dibuat menjadi kitiran
untuk melabrak kawan-kawannya sendiri melesat ke
arah Bladra Wikuyana. Orang tua ini
lambaikan tangan kirinya dan tubuh Bergola
Wungu
terpelanting ke dinding samping. Tentu saja sudah tanpa nyawa lagi karena
sudah
sejak tadi kepalanya nyenyar macam pepaya busuk!
Bau
anyirnya darah yang mengantarkan regangan-regangan nyawa manusia
menyesak
lobang hidung. Wiro Sableng meludah ke tanah. Dan memandang pada Angin
Topan
Dari Barat.
“Angin
Topan Dari Barat! Murid-muridmu menemui kematian dengan cara yang
tentu
kau tidak senangi! Dan mereka mati tanpa ada sangkut-paut kesalahan apa-apa
terhadapku!
Kau yang tanggung-jawab semuanya kalau malaekat maut tertanya di liang
kubur!”
“Pemuda
iblis!” bentak Bladra Wikuyana. “Tak usah banyak bacot! Terimalah
kematianmu
dalam tiga jurus!”. Tampang manusia ini kelihatan membesi dan tambah
angker.
Dia melangkah ringan ke hadapan Wiro Sableng dan cabut tongkat birunya!
Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan
selarik sinar biru melanda Pendekar 212. Pemuda ini
egoskan diri ke samping dengan
cepat. Tapi dari samping menderu tangan kanan Bladra
Wikuyana yang disambung-dengan kayu
dan ujungnya mempunyai senjata berbentuk
Arit!
“Heyyaaa!”.
Pendekar
212 membentak keras. Empat dinding jurang tergetar hebat. Tubuhnya
lenyap
dan sambil jatuhkan diri berjongkok pemuda ini hantamkan tangannya ke muka
lancarkan
pukulan Kunyuk Melempar Buah!
Tapi
tongkat biru Bladra Wikuyana sungguh hebat! Pukulan Kunyuk Melempar
Buah
yang dilancarkan Pendekar 212 mempergunakan sebahagian tenaga dalamnya
namun
sambaran angin tongkat biru membuat angin pukulan Pendekar 212 tersibak ke
samping
dan menghantam dinding karang! Dinding karang itu retak-retak pecah!
Kepingan-kepingan karang menghambur
ke udara berpelantingan!
Wiro Sableng penasaran sekali.
Tenaga dalamnya dilipat-gandakan sampai
tangannya tergetar hebat namun tetap
pukulan Kunyuk Melempar Buah yang
dilancarkannya masih sanggup disapu
oleh angin tongkat biru lawan!
“Edan!” maki pemuda ini dalam hati.
Dia menjerit setinggi langit dan berkelebat
lagi. Kini Pendekar 212 keluarkan
jurus Orang Gila Mengebut Lalat! Kedua tangannya
kiri kanan memukul kian kemari dan
mengeluarkan angin keras laksana badai!
Untuk dua jurus lamanya Bladra
Wikuyana terdesak hebat bahkan kepepet ke
dinding jurang sebelah Timur.
Anak-anak murid Perguruan Gua Sanggreng yang ada di
jurusan ini terpaksa menyingkir
kecuali kalau mau mampus terkena sambaran-sambaran
angin
dahsyat kedua manusia sakti yang bertempur itu!
Angin
Topan Dari Barat mengeluh dalam hati! Puluhan tahun hidup di dunia
persilatan
baru hari ini menghadapi lawan yang tangguhnya bukan olah-olah! Dan gilanya
lawan
itu adalah anak muda hijau yang baru berumur tujuh belas tahun!
Orang
tua ini kertakkan gerahamnya. Dari tenggorokkannya
keluar suitan kencang.
Dengan serta merta permainan tongkat
dan jurus-jurus silatnya berubah. Tongkat biru di
tangan kirinya menderu dan mencurah
taksana hujan badai, laksana menjadi ratusan
banyaknya!
Wiro Sableng terkejut sekali melihat
keganasan serangan tawan ini! Cepat dia
lompat tiga tombak ke udara.
“Ho-ho! Mau kabur hah?!” bental
Bladra Wikuyana. Dan segera manusia ini susul
melompat.
“Angin Topan Dari Barat!,” seru
Pendekar 212. “Antara kita sebenarnya tak ada
permusuhan yang berarti...”.
Bladra Wikuyana tertawa buruk.
“Ketika nyawa sudah di tenggorokan kau baru
ribut-ribut
segata permusuhan yang tak berarti! Sudah kepepet-mulai bicara rendah diri!
Sebaiknya
sebut nama Tuhanmu sebentar tagi roh busuk manusia yang mengaku bergelar
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 akan minggat ke neraka!” Bladra Wikuyana
menyerang
lagi dengan ganas membuat Wiro Sableng kembali terpaksa lompatkan diri
tiga
tombak ke belakang.
“Kalau
kau yang tua tetap berkeras kepata maka sambutlah pukulanku ini!”
Bladra
Wikuyana terbeliak kaget ketika melihat tangan kanan Wiro Sableng
berwarna
sangat putih sedang kuku-kuku jarinya memerah menyilaukan!
“Pukulan
Sinar Matahari!” teriaknya dengan keras. Sekaligus dia menyerukan pada
murid-muridnya
untuk mencari perlindungan sedang seturuh tenaga dalamnya
dialirkannya
ke tongkat biru!
Selarik
sinar putih yang menyilaukan mata melesat ke depan. Bladra Wikuyana
lompat
ke udara sampai tujuh tombak dan sapukan tongkatnya ke bawah! Dua angin keras
beradu
hebat. Bladra Wikuyana berseru keras. Tongkatnya hampir terlepas mental sedang
tangan kirinya tergetar hebat! Tiada
nyana tenaga dalam lawan yang muda belia itu lebih
tinggi beberapa tingkat dari
padanya. Dengan jungkir balik di udara jago tua ini jauhkan
diri untuk atur jatan nafas serta
darahnya dengan cepat! Ketika bola matanya berputar
memandang berkeliling terkejutlah
ia!
Seluruh sisa anak muridnya yang tadi
masih hidup menggeletak bergelimpangan
dipelataran batu karang itu. Tubuh
mereka semuanya termasuk yang sudah menemui ajal
lebih dahulu di tangan Wiro Sableng
mengepulkan asap dan udara dalam jurang itu kini
pengap
bau daging manusia yang hangus!
Ketika
Pendekar 212 lepaskan pukulan sinar matahari tadi. Bladra Wikuyana
berhasil
mengelakkannya. Angin pukulan menghantam dinding karang di sebelah
tenggara.
Bukan saja dinding karang itu menjadi pecah tapi juga hancur berantakan.
Bagian
atasnya longsor ke bawah sedang pukulan Sinar Matahari memantul dua kali
berturut-turut di dinding karang.
Hawa panas angin pukulan ini telah melabrak sisa-sisa
anak murid Bladra Wikuyana sehingga
tubuh mereka tersambar hangus dan menggeletak mati
di situ juga!
.Dan sementara itu di tepi jurang
sebelah atas, sesosok tubuh berpakaian ungu
menyaksikan apa yang terjadi di
dalam jurang batu karang itu dengan mulut menganga dan mata
terbeliak
sedang bulu kuduk merinding....
Kembali
ke dalam jurang.
Air
muka Bladra Wikuyana kelihatan kelam membeku. Tubuhnya laksana patung berdiri
di
tengah pelataran. Cambang bawuk atau berewoknya kelihatan meranggas kaku sedang
sepasang
matanya menjadi merah angker.
“Pendekar
212!” desis Bladra Wikuyana. “Detik ini jangan harap nyawamu akan
selamat...!”
Tongkat birunya diacungkan ke muka lurus-lurus dan kini tongkat itu berubah
menjadi hitam legam. Sinar hitam
yang memancar dari senjata ampuh Itu menggidikkan sekali...
“Bersiaplah untuk minggat ke
neraka!” teriak Bladra Wikuyana. Serentak dengan itu
menyerbulah dia ke muka. Seluruh
bagian tenaga dalamnya telah mengalir ke dalam tongkat dan
serangannya kini luar biasa
ganasnya! Sambil menyerang itu Bladra Wikuyana tiada hentinya
bersuit-suit aneh, menggetarkan
telinga dan raga!
Wiro Sableng begitu merasakan
tekanan serangan yang hebat luar biasa segera percepat
gerakannya. Namun ilmu mengentengi
tubuhnya yang sudah sangat tinggi itu masih sangat terasa
lamban ditindih oleh sinar pukulan
Angin Hitam yang ke luar dari tongkat lawan.
“Breet”!
Tersirap darah Pendekar 212.
Nyawanya serasa iepas! Ujung tongkat lawan telah
merobek pakaiannya di bagian dada.
Angin tongkat membuat tulang-tulang dadanya seperti
melesak! Pendekar ini
berteriak nyaring dan jungkir balik ke belakang ke luar dari kalangan
pertempuran!
-- == 0O0 == --
LIMA
“Ho ho.... Mau merat ke mana?!”
tanya Bladra Wikuyana. “Aku sudah bilang, sekali
masuk ke sini musti lepas nyawa di
sini!”
Wiro Sableng tak berikan sahutan.
Kalau saja ada sepuluh manusia jahat sesakti
Bladra Wikuyana ini di atas jagat
pastilah dunia akan tenggelam dalam kekalutan pikirnya.
Ketika lawan menyerang kembali
Pendekar 212 sambut dengan pukulan Benteng
Topan Melanda Samudera. Untuk
beberapa ketika lamanya serangan tongkat Bladra
Wikuyana terbendung dan kesempatan
ini dipergunakan oleh Wiro Sableng untuk melompat
ke udara, menukik kembali dan
lancarkan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Dentuman yang
dahsyat terdengar. Wiro terpaksa
turun ke pelataran batu karang kembali karena pukulannya
kena
disapu aliran angin hitam tongkat lawan. Pemuda ini kepepet ke dinding jurang
sebelah
Timur!
Pemuda ini merutuk sendiri dalam
hatinya. Dalam merutuk itu tongkat lawan
menyapu di atas kepalanya. Wiro lompat ke
samping. Tongkat menghantam dinding karang
sampai
hancur berantakan! Ketika Bladra Wikuyana balikkan tubuh siap untuk menyerang
kembali,
langkahnya tertahan. Kedua matanya yang merah memandang tak berkedip pada
senjata
berbentuk kapak bermata dua yang ada di tangan lawannya.
Bergidik
juga Angin Topan Dari Barat melihat senjata tersebut. Dua puluh tahun yang
silam
dia pernah saksikan sendiri kehebatan Kapak Maut Naga Geni 212. Kini apakah
sanggup
dia menghadapinya?!
“Angin
Topan Dari Barat,” Pendekar 212 buka mulut. “Baiknya kau lekas-lekas minta
tobat
atas kejahatanmu selama ini. Sebentar lagi tentu sudah tak keburu.... !”
Angin
Topan Dari Barat atau Bladra Wikuyana tindih rasa jerihnya dengan tertawa
bergelak.
Tahu akan kehebatan senjata di tangan lawan maka dia segera menyerang lebih
dahulu!
Sinar hitam bergulung-gulung ke arah Pendekar 212.
Pemuda
ini sambut serangan lawan dengan pergunakan jurus: Orang Gila Mengebut
Lalat.
Kapak Naga Geni 212 di tangannya berkelebat cepat ke kiri dan ke kanan,
mengeluarkan suara berdengung macam
suara ribuan tawon!
Terkejutnya Bladra Wikuyana bukan
kepalang ketika merasa bagaimana kini tongkat
saktinya tak dapat lagi bergerak
leluasa, tertindih, terbendung dan terpukul angin kapak
bermata dua di tangan lawan!
Bladra Wikuyana percepat permainan
tongkatnya dan menyerang dengan jurus-jurus
lihay mematikan. Namun tetap saja
tak dapat ke luar dari tindihan senjata lawan. Dan kini
sesudah bertempur di jurus yang
kesembilan puluh delapan maka mulailah jago tua ini
terdesak hebat! Diam-diam Bladra
Wlikuyana cucurkan keringat dingin. Ditahannya sedapatdapatnya
serangan senjata lawan. Satu kali
tongkatnya beradu dan tak ampun ujung tongkat
terbabat puntung! Bladra Wikuyana
tak berani lagi bentrokan senjata! Matanya kini liar
mencari kesempatan untuk kabur. Dia
menggeram karena telah menyuruh murid-muridnya
menurunkan tangga gantung karena
tangga dari tali itulah satu-satunya jalan untuk kabur ke
luar jurang batu karang!
Karena pikirannya bercabang dua,
satu memikir jalan untuk lari, kedua memusatkan
pada
serangan lawan maka pertahanan Bladra Wikuyana sering-sering melompong. Hal ini
bukan
tak dilihat oleh Pendekar 212, kalau saja dia mau maka sudah sejak tadi dia
melabrak
manusia
berewok bertangan dan kaki buntung itu.
Dari mulut Pendekar 212 mulai terdengar
siulan membawakan lagu tak menentu!
Sambil kirimkan bacokan ke pinggang,
Wiro Sableng putar gagang kapak. Kedua mata kapak
membuat setengah lingkaran, salah
satu dari padanya memapas pergelangan tangan kanan
Bladra Wikuyana yang terbuat dari
kayu! Tangan palsu yang ujungnya berbentuk arit itu
kutung dan lepas! Mental ke udara!
Bladra
Wikuyana melompat ke belakang. Mukanya pucat pasi. Dia mengerang karena
aliran
aneh yang berhawa panas dari senjata lawan merembes melalui kutungan tangan
kayu ke
dalam
tubuhnya!
“Cuma
lengan kayumu saja. Angin Topan Dari Barat! Kenapa musti pucat macam
mayat?”
Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. “Sekarang aku minta kaki kayumu!”
Habis
berkata begitu. Wiro Sableng bersiul dan melompat ke muka. Kapaknya
membabat
ke kepala Bladra Wikuyana. Jago tua ini yang tak berani lakukan bentrokan
senjata
cepat-cepat
melompat berkelit dan lancarkan serangan balasan dengan pukulan tangan kosong
yang
menimbulkan angin hebat. Namun dengan Kapak Naga Geni 212 di tangan, segala
pukulan
tangan kosong bagaimanapun hebatnya dari manusia berewok yang bergelar Angin
Topan
Dari Barat itu tiada artinya lagi!
Kapak
Naga Geni 212 membacok ke bahu, berbalik merambas pinggang, menderu lagi
ke
kepala membuat tokoh silat tua dan berpengalaman luas itu menjadi sangat sibuk.
Dan ketika
tiba-tiba
sekali senjata lawan membabat ke bawah, dia tak punya kesempatan lagi untuk
mengelak!
Untuk
kedua kalinya mata kapak membabat anggota badannya yaitu kaki kayu Bladra
Wikuyana
sebelah kanan! Meski huyung-huyung tapi laki-laki ini masih sempat lompatkan
diri
ke luar dari kalangan pertempuran. Mukanya pucat sekali dan keningnya penuh
keringat!
Di
dalam dadanya menggelegak rasa benci, dendam dan nafsu untuk membunuh!
Dengan
tahan tubuhnya pada ujung tongkat, Bladra Wikuyana pejamkan mata.
Mulutnya
komat kamit.
“Ilmu
apa yang kau mau keluarkan Angin Topan Dari Barat? Sebaiknya dengar
omonganku!
Aku yang muda ini masih mau kasih ampun kepada kau jika kau berjanji untuk
bertobat
dan hidup di jalan yang benar, tidak lagi berbuat kejahatan tapi mempergunakan
iimumu
buat menolong sesama manusia. Bagaimana...?!”
Bladra
Wikuyana buka sepasang matanya sedikit. Mulutnya berkemik mengejek.
“Jangan
kira kau sudah menang bocah hijau! Aku masih jauh dari kalah! Lihat mukaku
bocah
hijau...
lihat mukaku.... “ Mata Wiro Sableng menyipit. Ketika diperhatikannya tampang
Bladra
Wikuyana terkejutlah dia. Kepala tokoh silat itu kini rnenjadi enam dan
berwarna
hitam,
gigi-giginya merupakan caling-caling yang mengerikan, bola-bola matanya besar
sedang
lidahnya panjang menjulai sampai ke dada. Dari dua belas mata yang ada di enam
kepala itu memancar sinar hijau.
“Ah... ilmu siluman macam begini
hanya pantas untuk menakut-nakuti anak kecil!”
ejek Wiro Sabteng. Disapukannya
Kapak Naga Geni 212 ke muka. Angin deras membuat
Bladra Wikuyana terpelanting tapi
muka silumannya masih juga seperti tadi malah semakin
menyeramkan. Tiba-tiba dengan
menggereng keras laksana harimau terluka menerjanglah
tokoh silat itu didahului oleh dua
belas sinar hijau yang ke luar dari mata silumannya!
“Tua bangka geblek! Dikasih ampun
malah keluarkan Ilmu yang bukan-bukan!” rutuk
Wiro Sableng. Ditunggunya beberapa
detik. Sesaat kemudian berkiblatlah kapak mautnya dari
atas ke bawah!
Angin Topan Dari Barat terkapar di
pelataran batu karang tanpa berkutik, juga tanpa
menjerit. Kepalanya sampai ke dada
terbelah dua. Darah membanjir! Tamatlah riwayat tokoh
silat dari golongan hitam itu yang
selama hidupnya telah menebar benih kejahatan dan
mendidik manusia-manusia untuk
disesatkan!
Wiro Sableng garuk rambut
gondrongnya dan meludah. Jijik juga dia melihat darah
yang membanjir dari tubuh Bladra
Wikuyana. Dipandangnya Kapak Maut Naga Geni 212 di
tangan kanannya. Mata kapak itu
berlumuran darah. Pemuda ini goleng-goleng kepala. “Kapak
hebat... kapak hebat....” katanya.
Kemudian sekali hembus saja maka noda darah pada mata
kapak pun lenyaplah! Senjata sakti
pemberian Eyang Sinto Gendeng itu segera dimasukkannya
ke balik pinggang kembali.
Selama setengah jam Wiro Sableng
memasuki dan menggeledah isi Gua Sanggreng. Di
sini ditemuinya banyak sekali
persediaan makanan dan uang serta barang-barang perhiasan.
Menurut pikiran Wiro uang serta
perhiasan itu mungkin sekali hasil rampokan yang ditimbun
menjadi milik Perguruan Gua
Sanggreng. Wiro
mengambil sejumlah uang dan perhiasan
sekedar
bekal di perjalanan. Kemudian pemuda ini duduk di sebuah kursi besar dan
menikmati
makanan
yang ada di dalam gua itu. Waktu dia ke luar dari gua dilihatnya langit sudah
sangat
merah kekuningan tanda matahari
hampir tenggelam. Pemuda ini segera mencari tangga tali.
Tangga tali itu kemudian
dilemparkannya pada patok runcing batu karang di tepi jurang sebelah
atas dan mulailah pendekar ini
menaiki anak tangga demi anak tangga menuju ke atas. Dari atas
sebelum berlalu dilayangkannya
pandangannya untuk terakhir kali ke dalam jurang batu.
Duapuluh enam mayat bergelimpangan
di mana-mana. Pemuda ini garuk dan goleng-goleng
kepala. Dan mulailah dia melangkah
sepembawa kakinya. Malam tiba nanti entah di mana dia
akan berada. Suara siulannya
mengumandang di belantara batu-batu karang. Sambil terus
berjalan. bernyanyilah pendekar ini:
Langit merah angin silir....
Surya tenggelam di ufuk Barat....
Malam yang datang tentu dingin dan
gelap....
Berjalan seorang diri memang tidak
enak....
Tapi selalu diikuti orang lain juga
tidak enak....
Nyanyian ini tiada menentu nadanya
dan diulang-ulang sampai beberapa kali.
Akhirnya disatu penurunan curam
Pendekar 212 hentikan nyanyiannya dan duduk di sebuah
unggukan batu. Sambil tertawa-tawa
berkatalah dia: “Manusia yang ikuti aku kenapa
sembunyi di belakang batu? Coba ke
luar unjukkan jidat, apa betul manusia atau hantu...?”
Wiro memandang pada celah batu
karang yang tadi dilewatinya. Suasana hening
saja.
“Ah, manusia di belakang batu tentu
seorang pemalu,” katanya. “Biarlah aku sendiri
yang lihat tampangnya!”
Habis berkata begitu Wiro Sableng
hantamkan tangan kanannya ke arah celah batu.
Sebagian
lagi terguling ke bawah. Dan dari balik batu terdengar seruan tertahan!
Apa
yang tidak diduga oleh Pendekar 212 ternyata bahwa penguntitnya sejak
dari
jurang Gua Sanggreng tadi adalah seorang gadis!
--
== 0O0 == --
ENAM
“Aha…
Nyatanya seorang gadis molek! Pantas malu-malu unjukkan diri…!”
kata
Wiro Sableng pula dengan tertawa lebar. melihat kepada pakaian ungu yang
dikenakan
gadis itu segera pemuda ini mengenali bahwa gadis itu adalah anak murid
Dewa
Tuak. “Gadis molek, ada apa kau menguntit aku sejak dari lereng bukit sampai
ke
jurang maut sana...?”
bertanya Wiro.
Anggini,
si gadis baju ungu, tak memberikan jawaban. Mukanya merah karena
malu
dan jengah. Wiro Sableng tertawa lagi dan berkata: “Mungkin ada mengandung
suatu
maksud tidak baik .... “
“Saudara...
a...aku...” Anggini gugup sekali. Apa yang harus
dikatakannya pada
pemuda itu? “Apakah gurumu si Dewa Tuak
itu juga ikut bersamamu saat ini?
Barangkali juga kalian hendak
menjebakku...?”
“Saudara dengarlah...” kata Anggini
pula. “Aku sebenarnya tidak mau dengan
semuanya ini...”
“Semuanya ini apa...?” potong Wiro
Sableng.
Anggini menggigit bibir.
“Gurumu bersamamu?”
“Tidak....”
“Gurumu yang menyuruh untuk
menguntit aku?”
Gadis itu anggukkan kepala.
“Perlu apa gurumu menyuruh
demikian?”
Kembali Anggini menggigit bibir.
“Apa dia belum puas dengan sedikit
pertempuran siang tadi...?”
Anggini tetap membungkam. Ya,
bagaimana dia harus mengatakan pada si
pemuda bahwa gurunya menyuruhnya
mengejar untuk kemudian berusaha menjadi
kawan hidup pemuda itu? Bagaimana
dia harus terangkan semua itu! Ingin dia menangis
dan lari dari hadapan pemuda itu.
Tapi kepada Dewa Tuak gadis ini takut sekali!
Pendekar 212 kerutkan kening.
Mendadak mukanya menjadi merah, semerah
langit yang disaputi sinar sang
surya yang mau tenggelam di saat itu. Dia ingat akan
ucapan Dewa Tuak yang mengatakan
bahwa dirinya cocok untuk jadi jodoh muridnya!
Pendekar muda ini melirik pada gadis
baju ungu. Anggini berparas bujur telur dan
molek. Kulitnya kuning dan potongan
tubuhnya sedap dipandang mata. Tapi urusan
jodoh mana ini pemuda berpikir
sampai di situ. Tak ada ingatannya sampai sejauh itu.
Bahkan kewajiban berat yang
dipikulkan gurunya ke pundaknya, hutang nyawa
dendam seribu karat terhadap
Suranyali alias Mahesa Birawa sampai hari ini masih
belum lunas! Masih belum
dilaksanakannya!
Wiro Sableng berdiri dari duduknya.
Dipandanginya gadis baju ungu itu
seketika
lalu mengumandanglah gelak tawanya. “Saudari... apakah penguntitan ini ada
sangkut
pautnya dengan ucapan gurumu si Dewa Tuak?”
Paras
Anggini semakin merah. “Tadi aku sudah bilang... sebenarnya aku tak
senang
dengan semua ini. Tapi guru memaksaku...”
“Memaksa
bagaimana?!”
“Katanya
aku harus mengejarmu sampai dapat. Kalau tak berhasil tak usah
kembali
kepertapaan. Katanya lagi aku harus... harus...” Anggini tak dapat meneruskan
ucapannya.
“Kurasa gurumu itu sudah sinting!
Sekurang-kurangnya seperempat sintingl”
Meski Anggini memang tak suka
menjalankan apa yang diperintahkan Dewa
Tuak namun mendengar nama gurunya
dicaci demikian rupa gadis ini jadi marah.
“Jangan hina guruku, saudara!”
bentaknya.
Wiro Sableng garuk kepala. “Ah...
guru dan murid sama saja gebleknya!” kata
ini pemuda. “Kalau gurumu suruh kau
makan beling dan minum racun, apakah kau
juga akan ikuti ucapannya itu...?!”
“Guruku tidak segila itu!” bentak si
gadis.
“Aku memang tidak bilang gurumu
gila, tapi sinting!” menukasi Wiro Sableng.
“Sekali lagi kau berani menghina
guruku, kutampar mulutmu!” ancam Anggini.
Wiro Sableng keluarkan suara
bersiul! “Gurumu memang sinting!” katanya lagi.
Anggini telah menyaksikan kehebatan
ilmu silat dan ketinggian kesaktian
Pendekar 212 waktu terjadi pertempuran
di jurang Sanggreng beberapa saat yang lalu.
Dari situ dia dapat menyimpulkan
bahwa gurunya sekali pun belum tentu akan dapat
mengalahkan pemuda itu dengan mudah.
Namun
saat itu kegemasannya tak dapat
ditahan lagi. Tangan kanannya
bergerak cepat. Sebaliknya Wiro Sableng malah
angsurkan pipi ke muka!
“Plaak!”
Tamparan mendarat di pipi Wiro
Sableng. Pendekar muda ini tertawa. “Betapa
lembutnya jari-jarimu mengelus
pipiku..,” katanya dengan pejamkan mata. “Ayo,
tamparlah sekali lagi... dua kali
lagi... tiga kali lagi... sesuka hatimulah...!”
Wiro menunggu tapi tamparan
berikutnya tak datang dan pemuda ini bukakan
kedua matanya 'kembali. Dilihatnya
Anggini berdiri dengan hidung kembang kempis
menahan
geram yang menyesaki dadanya. Pendekar 212 tertawa. “Kenapa tidak mau
tampar?”
tanyanya sinis.
Karena
digemasi terus-terusan Anggini jadi penasaran sekali. Segera dibukanya
selendang
ungu yang melilit di pinggangnya yang berpinggul besar. “Eh... saudari kau ini
apa
mau
buka pakaian di depanku?” tanya Wiro Sableng sambil kedip-kedipkan mata dengan
ceriwis.
“Pemuda rendah terima selendangku
ini!” bentak Anggini. Tangan kanannya bergerak.
Ujung selendang berputar pelahan dan
lamban ke arah kepala Wiro Sableng.
Selendang terbuat dari kain yang
halus. Bila benda itu bergerak lamban berarti benda itu
dialiri oleh aliran tenaga halus.
Dan Wiro tahu bahwa kadangkala tenaga halus lebih berbahaya
daripada tenaga kasar yang di
luarnya kelihatan hebat. Pemuda ini tak mau menyambuti liuk
liku selendang itu. Dia menggeser
kedua kaki dan menjauhkan kepalanya. Masih tertawa dia
mengejek: “Saudari, tarianmu bagus
sekali! Apakah ini juga dari gurumu kau pelajari?!”
Dugaan Pendekar 212 memang tepat.
Kalau sekiranya dia mencoba memapasi
selendang yang meliuk-liuk itu maka
dengan satu sentakan cepat Anggini akan menarik
selendang dan melesatkan ujungnya ke
mata si pemuda. Ini pun sebenarnya belum ketentuan
Wiro Sableng akan kena dihajar
begitu saja. Tapi demikianlah kenyataannya bahwa kadangkala
ilmu halus dan lembut harus dihadapi
dengan kehalusan dan kelembutan pula.
Melihat si pemuda geser kaki menjauh
tapi masih dengan sikap mengejek maka kini
Anggini rubah permainan
selendangnya. Laksana seekor naga selendang ungu itu meliuk dan
mematuk kian ke mari. Dan kini
barulah Wiro menghadapinya dengan kekasaran pula.
“Saudari, permainan selendangmu
patut dikagumi!” memuji Pendekar 212. “Tapi tak
cukup pasal kalau kau sampai
menyerangku begini rupa. Aku...” Ucapan Wiro Sableng
terpotong
oleh bentakan Anggini.
“Tutup
mulut pemuda ceriwis! Lihat selendang!” Ujung selendang ungu dengan sangat
tiba-tiba
mematuk ke arah mata kiri Wiro Sableng. Ganda tertawa
pemuda ini tundukkan kepala
untuk mengelak. Sejak tadi meski dia
menghadapi serangan-serangan lawan dengan cara kasar
tapi sesungguhnya Pendekar 212
terus-terusan mengambil sikap mengelak.
Tapi pada saat Wiro Sableng
mengelak, pada detik itu pula ujung selendang dengan
sangat cepat turun dan melibat
leher! Setengah libatan Pendekar 212 cepat-cepat pergunakan
tangan kiri untuk rnengibaskan
selendang ujung tapi ini tak bisa dilakukannya karena serentak
dengan itu Anggini kirim satu
tusukan dua ujung jari tangan kiri ke dada kiri Wiro Sableng.
Hebat sekali serangan ini sehingga
kalau dilihat dari atas maka serentakan dengan serangan
selendangnya tadi, maka sepasang
serangan Anggini tak ubahnya seperti sebuah gunting besar
yang hendak menggerus tubuh dan
leher si pemuda!
“Ah... ah... bagus, bagus sekali
saudari! Tak percuma kau jadi murid si Dewa Tuak!”
memuji Wiro Sableng. Tangan kirinya
terpaksa dipalangkan untuk menunggu tusukan jari
tangan lawan. Anggini yang tahu
bahwa tenaga dalam pemuda itu jauh lebih tinggi darinya
batalkan serangan sebaliknya tangan
kanannya siap menyentakkan selendang ungu yang
ujungnya telah melibat setengah
leher Wiro Sableng.
Pendekar 212 cepat angsurkan
lehernya ke muka untuk mengendurkan selendang
sehingga kalaupun detik itu
disentak, sentakan itu tak akan mencelakainya. Kemudian dengan
tangan
kanannya, cepat sekali disampoknya bagian tengah selendang!
Anggini
sama sekali tak dapat melihat cepatnya tangan kanan lawan yang menyampoki
senjatanya.
Dia hanya tahu tiba-tiba saja bagaimana selendangnya menjadi menegang dan
tertarik
ke muka!
Sesaat
mengetahui bahwa selendangnya kena terpegang lawan terkejutlah gadis ini, tapi
juga
penasaran sekali. Dibetotnya selendang itu namun mana Wiro Sableng mau
lepaskan,
malahan
sebaliknya pemuda ini tarik selendang tersebut sehingga tubuh Anggini sedikit
demi
sedikit,
selangkah demi selangkah ikut tertarik ke hadapannya.
Anggini
memaki dalam hati.
“Sambut
paku perakku, rnanusia rendah!” bentak gadis itu.
Sekali
dia gerakkan tangan kirinya maka selusin benda yang besarnya setengah jengkal,
berbentuk
paku dan berwarna putih perak mendesing ke arah Wiro Sableng. Karena jarak
mereka
terpisah dekat sekali maka dua belas senjata rahasia ini sangat berbahaya bagi
keselamatan si pemuda. Anggini
sendiri tiba-tiba merasa menyesal melepaskan senjata rahasia
itu karena kawatir si pemuda tak
dapat berkelit atau memapakinya, karena bukankah gurunya
telah berpesan bahwa pemuda itu
adalah cocok bakal jadi jodohnya...?!
Sebaliknya
yang diserang tenang-tenang saja. Bahkan sambil bersiul dilambaikannya
tangan
kirinya. Delapan paku perak luruh ke tanah sedang yang empat lagi dielakkan
dengan
berkelit
sedikit ke samping.
Kalau
tadi dia merasa menyesal menyerang pemuda itu dengan senjata rahasianya maka
kini setelah si pemuda berhasil
selamatkan diri, kembali Anggini menjadi penasaran. Dia
memekik keras, lompat ke atas dan
kirimkan dua tendangan jarak dekat susul rnenyusul.
“Ah, tak sangka gadis molek begini
galak sekali!” kata Wiro Sableng pula. Dia
melompat ke samping. Membuat gerakan
satu putaran, dan sebelum Anggini turun ke tanah,
kedua kaki gadis itu sudah terlibat
selendangnya sendiri! Membuatnya berdiri dengan
terhuyung-huyung tak bisa melangkah!
Wiro tertawa gelak-gelak.
“Ayo, kenapa berhenti galaknya?”
tanyanya mengejek.
Karena sampai saat ini Anggini masih
memegang ujung yang lain dari selendangnya
maka dengan cepat dia dapat
membukanya kembali. Paras gadis ini merah sekali. Matanya
menyorot memandang kepada Wiro
Sableng, sebaliknya Pendekar 212 dengan ceriwis
mengedip-ngedipkan matanya!
“Senjata apa lagi yang bakal kau
keluarkan?!” tanya Wiro.
“Lepaskan selendangku!” teriak
Anggini.
Wiro hanya tertawa.
“Lepaskan!” teriak gadis itu lagi.
Dicobanya menyentakkan selendang itu tapi Wiro
memegangnya erat sekali. Kalau
ditariknya keras pasti selendang kain itu akan robek. Kesal dan
gemas akhirnya dengan menghentakkan
kaki Anggini lepaskan selendangnya, putar tubuh dan
lari ke balik sebuah batu besar. Di sini menangislah gadis itu.
“Heh... kenapa jadi nangis?” tanya
Wiro ketika dia melangkah dan datang di balik batu
besar. Pemuda ini jadi garuk-garuk
kepala. Lalu katanya: “Saudari, lihat, hari sudah senja.
Sebaliknya kau kembalilah ke tempat
gurumu! Kalau tidak pasti kau akan sesat di malam yang
gelap nanti!”
“Aku tak mau kembali! Tak bisa
kembali ke pertapaan!” jawab Anggini di antara tangis
sesungguhnya.
“Kenapa tak mau? Kenapa tak bisa?”
“Guruku akan marah!”
“Marah kenapa?” tanya Wiro tagi.
“Sudah... sudah! Kau tidak tahu!” Dan tangis Anggini semakin mengeras.
“Lalu kalau kau tak mau kembali ke
tempat gurumu, apa kau bakal nginap di sini?!”
“Tak usah perdulikan aku! Biar aku
mau malang mau melintang tak usah ambil pusing!
Pergi dari sini kau...!” Anggini
menyeka mata dan pipinya.
“Tak perlu bicara keras macam
begitu, Saudari. Antara kita tak ada permusuhan. Ini
semua adalah gara-gara gurumu yang
berotak sinting itu!”
“Jangan
hinakan guruku!” hardik Anggini.
“Kau
seorang murid yang baik. Patuh terhadap guru dan juga hormati Tapi sayang kau
juga
turut-turutan bertindak tidak pakai pikiran sehat. Sekarang sudah, kembalilah
ke pertapaan
gurumu
sebelum hari menjadi malam...”
“Tidak!”
Wiro
Sableng melangkah ke belakang Anggini. Kasihan-kasihan lucu dia merasa saat
itu.
Akhirnya pemuda ini berkata juga: “Ini selendangmu. Kalau kau banyak berlatih
pasti kau
menjadi
seorang gadis yang hebat....”
Wiro
lantas menyampirkan selendang ungu itu di pundak si gadis. Ketika dia memandang
ke
langit dilihatnya bintang-bintang sudah bermunculan dan bulan sabit kelihatan
samarsamar
di balik awan. “Sudah malam....”
desis pemuda ini. Kemudian dia memandang pada
gadis yang berdiri di depannya
dengan membelakang itu. “Pergilah cepat, saudari. Nanti kau
kemalaman di jalan....”
Anggini gelengkan kepala. “Guruku
akan marah... akan marah kalau aku kembali.... “
“Kalau begitu ya tak usah kembali
saja...” ujar Wiro Sableng.
“Aku memang tak bakal kembali...”
kata Anggini pula.
“Hem... dan kau mau pergi ke mana?”
“Apa urusanmu tanya-tanya?”
“Ah...” Wiro tertawa. Dia melangkah
ke hadapan si gadis. Kemudian dipegangnya
pundak Anggini. Si gadis dengan
serta merta hendak menyibakkan tangan itu. Tapi tubuhnya
sudah keburu dijalari perasaan aneh
yang menggelora-gelora sampai ke lubuk hatinya. Tak
kuasa dia menyibakkan pegangan
tangan pada bahu itu.
“Saudari, dengarlah…” kata Wiro
pula. Tangannya masih memegang bahu si gadis
malahan meremas-remasnya dengan
lembut. “Dalam
hubungan guru dan murid walau
bagaimana pun kau musti kembali ke
pertapaan. Kau tak boleh tempuh jalan sehdiri. Kalau kau
tak kembali malah gurumu akan marah
sekali. Kau pasti akan dihukumnya!”
“Tapi bagaimana aku mungkin bisa
kembali? Tidak bisa saudara.., kau tidak tahu....”
“Apa yang aku tidak tahu?” tanya
Wiro.
Tak mungkin bagi Anggini untuk
mengatakannya dengan terus terang. Namun
terluncur juga ucapan dari mulutnya:
“Kalau aku musti kembali kata guruku... aku harus
bersamamu...”
Wiro tertawa. Suara tertawanya
menggema di daerah sepi dingin di permulaan malam
itu.
“Saudari... namamu siapa?” bertanya
Wiro Sableng. Dan karena tadi gadis itu diam
saja diremas bahunya maka tangan
Wiro kini meluncur ke pipi, membelai pipi yang masih
belum
kering dengan air mata itu. Rasa yang menyentak-nyentak mendebarkan dada si
gadis
kini
tambah keras dari tadi. Lagi-lagi tak kuasa dia menyibakkan tangan yang
membelai-belai
itu.
Ditundukkannya kepalanya.
“Siapa
namamu, saudari...?” tanya Wiro lagi.
“Anggini,”
jawab si gadis perlahan.
“Nama bagus... nama bagus,” puji
Pendekar 212 dan tangannya semakin berani
membelai muka Anggini. “Dengar
Anggini, orang tua macam gurumu itu memang suka bicara
ngelantur. Sekarang kau kembali saja
ke pertapaannya dan katakan bahwa kau tak berhasil
mengejar atau menemui aku. Habis
perkara. Atau kalau tidak katakan saja kau telah menemuiku
dalam keadaan tak bernyawa mati di
jurang Sranggreng!”
“Aku tak bisa berdusta... kalau aku
berdusta dia selalu mengetahuinya!” kata Anggini
pula.
“Wah berabe kalau begini!” ujar
Pendekar 212 dengan garuk-garuk kepala. Dia
berpikir-pikir apa yang akan
diperbuatnya. Kalau ditinggalkannya gadis itu sendirian di situ, tak
tega pula hatinya. Pemuda ini hela nafas panjang. Akhirnya diajaknya gadis itu duduk di sebuah
batu datar. Daerah belantara di mana
mereka berada saat itu serba asing baginya. Mungkin
sampai ratusan tombak bahkan ribuan
tombak perjalanan belum menemui rumah penduduk.
Apakah dia dan gadis itu terpaksa
tinggal terus di tempat itu malam ini?
Angin bertiup dari celah-celah
batu-batu yang meruncing memenuhi tempat itu.
“Dingin...?” bisik Pendekar 212.
Anggini mengangguk. Dan tangan kiri
Pendekar 212 bergerak di balik punggung si
gadis untuk kemudian merangkul bahu
Anggini. Suasana berubah hangat. Dan untuk beberapa
lamanya mereka tiada bicara.
Wiro memecah kesunyian. “Kalau kau
tak mau kembali ke pertapaan dan aku tak bisa
pula meninggalkan kau sendirian maka
kita terpaksa bermalam di sini. Tunggulah sebentar aku
akan cari tempat yang baik....”
“Nanti sajalah.... “ kata Anggini.
Diletakkannya tangan kanannya di paha Pendekar 212
dan dia memandang ke angkasa.
“Langit cerah,” kata Wiro. “Kalau
nanti turun hujan, memang. kita yang sialan.... !”
Anggini tertawa. Manis sekali
tertawa itu. Hati Pendekar 212 sejuk sekali jadinya. Dan
diperketatnya rangkulannya. Kemudian
dengan beraninya pendekar ini menggelitiki tengkuk si
gadis
dengan hidungnya.
“Jangan
begitu ah....” kata Anggini menggeliat kegelian. Tapi tubuh dan tengkuknya
tidak
dijauhkannya.
Malam
itu Wiro Sableng sengaja tidak membuat, perapian. Dia khawatir kalau-kalau
nyala
api hanya akan mengundang datangnya hal-hal yang tidak diingini. Apalagi kalau
yang
datang
itu adalah Dewa Tuak adanya. Meskipun dingin, meskipun mereka hanya terbaring
di
balik
batu besar hitam itu dan beratapkan langit luas namun tubuh mereka yang berada
berdekatan
itu saling memberi kehangatan. Pendekar 212 ingat pada
suatu malam ketika dia
berada berdua-duaan di sebuah dangau
di tengah sawah dengan Nilamsuri. Malam ini tak ada
bedanya dengan malam yang dulu itu.
Sama-sama ada seorang gadis di sampingnya. Tapi
terhadap Anggini, Pendekar 212 masih
punya pikiran panjang dan sehat: Meski saat itu
Anggini sudah berbaring pasrahkan
seluruh tubuhnya untuknya dan memang sudah hampir
setiap bagian dari tubuh Anggini
disentuh oteh Pendekar 212, namun untuk berbuat lebih jauh
dari itu pemuda ini tidak mau. Tubuh
perawan itu laksana bara hangatnya, tangannya
menggapai punggung Wiro dan pahanya
melejang-lejang halus. Tapi Pendekar 212 hanya
merangkuli tubuh itu, hanya
mengecupi bibirnya yang basah, hanya menciumi matanya yang
sayu kuyu tapi menyembunyikan hasrat
yang meluap itu.
* * *
Sinar matahari yang menyapu mukanya
membuat gadis ini terbangun dari kenyenyakan
tidurnya. Dibukanya kedua matanya
dengan pelahan, digosoknya beberapa kali kemudian
dipalingkannya kepalanya ke samping.
Dia terkejut mendapatkan pemuda itu tak ada di
sampingnya, la segera bangun duduk,
lalu berdiri dan memandang ke belakang. Tapi pemuda
itu tidak kelihatan.
“Wiro,” panggilnya.
Tak ada yang menyahut.
“Wiro.... !” panggilnya sekali lagi
lebih keras. Hanya gaung suaranya yang menjawab.
Tiba-tiba ketika matanya memandang
ke batu besar di samping pembaringan di mana
dia dan Wiro tidur semalam terbentur
olehnya tulisan. Tulisan.
Anggini
Maafkan kalau aku pergi tanpa pamit.
Aku terpaksa
meninggalkan kau. Kalau ada umur
kita pasti bertemu lagi.
Kembalilah ke tempat gurumu. Terima
kasih untuk segala-galanya
malam tadi.
212
Anggini merasakan dadanya menyesak.
Digigit-gigitnya bibirnya. Nyatanya pemuda itu
sudah pergi. Tubuhnya masih terasa
hangat oleh pelukan Wiro malam tadi. Seperti masih terasa
jari-jari tangan pemuda itu
mengelusi kulit tubuhnya. Juga kecupan-kecupan yang disertai
gigitan-gigitan kecil.
Terima kasih untuk segala-galanya
malam tadi
Anggini membaca lagi tulisan itu.
Termangu dia. Diputarnya tubuhnya, parasnya ke
kemerahan, ditambah lagi sentuhan
sinar matahari pagi. Tak mungkin baginya untuk mengejar
pemuda itu kembali. Dia tak tahu
apakah Wiro pergi larut malam tadi atau dinihari, atau pagi
tadi sebelum dia bangun. Gadis ini
tarik nafas panjang dan dalam. Ketika dia membetulkan
ikatan selendang ungunya yang di
pinggang, maka pada ujung selendang itu dilihatnya
sederetan angka: 212. Sekali lagi
gadis ini tarik nafas dalam dan panjang. Lalu dengan langkah
gontai ditinggalkannya tempat itu.
-- == 0O0 == --
TUJUH
Kerajaan Pajajaran… Pada masa itu
Kerajaan Pajajaran masih belum luas pengaruhnya di
Jawa Barat. Bahkan dengan kesultanan
Banten di pantai Utara masih terdapat hubungan baik,
belum ada silang sengketa. Di bawah
pemerintahan Prabu Kamandaka maka Kerajaan Pajajaran
aman
tenteram. Penduduk hidup berkecukupan.
Tapi
di dunia ini selalu saja ada manusia yang berbusuk hati, yang iri dan dengki.
Yang
tidak
senang dengan kebahagiaan orang lain, yang tidak suka dengan keberuntungan
orang lain,
yang
tidak suka akan kekuasaan orang lain dan ingin meruntuhkan kekuasaan orang lain
itu lalu
ganti
menguasainya!
Saat
itu satu-satunya manusia di seiuruh Pajajaran yang paling membenci Prabu
Kamandaka
ialah Werku Alit. Dalam tambo keturunan raja-raja Pajajaran maka Prabu
Purnawijaya
adalah satu-satunya raja pajajaran yang tidak mempunyai keturunan kandung dari
permaisurinya.
Mungkin ini sudah menjadi takdir Dewa-dewa di Kahyangan, dan ini jugalah
yang
menjadi pangkal sebab buntut daripada terjadinya banjir darah di Pajajaran.
Ketika
Prabu Purnawijaya mangkat maka tokoh-tokoh istana, ahli-ahli agama dan
orangorang
tua
kerajaan menyepakati untuk menobatkan Kamandaka, adik kandung Prabu
Purnawijaya,
menjadi raja Pajajaran. Kamandaka memang seorang yang bijaksana, pandai serta
berilmu
tinggi, disegani dan dihormati. Memang dia telah menunjukkan bakat untuk
menjadi
seorang
pemimpin agung. Lagi pula memang tak ada manusia lain di Pajajaran saat itu
yang
punya
hak dan pantas untuk dinobatkan sebagai pengganti mendiang Prabu Purnawijaya.
Dari
seorang selirnya, Prabu Purnawijaya mempunyai seorang anak yang bernama
Werku Alit. Werku Alit ini tua
beberapa bulan dari Kamandaka. Ketika masih orok keduanya
sama-sama disusukan pada seorang
perempuan penyusu istana sehingga boleh dikatakan antara
Werku Alit dan Kamandaka terjalin
sudah satu pautan tali persaudaraan!
Namun ketika Kamandaka dinobatkan
sebagai Prabu Pajajaran timbullah dengki di hati
Werku Alit. Bukankah Kamandaka hanya
adik Prabu Purnawijaya; bukan anak kandungnya?
Dan bukankah dia sebagai anak dari
Prabu Purnawijaya, lebih mempunyai hak untuk memegang
tahta kerajaan? Werku Alit dalam
dengkinya, apalagi sesudah kena hasutan oleh golongangdongan
tertentu yang memang tidak suka pada
Kamandaka, lupa bahwa dirinya hanyalah
seorang anak yang dilahirkan dari
selir Prabu Pumawijaya, yang sama sekali tidak punya hak
untuk menjadi raja Pajajaran.
Demikianlah, secara diam-diam Werku
Alit meMnggalkan istana Pajajaran, mengembara
menuntut ilmu dan menghubungi
beberapa orang tertentu. Ketika dia kembali ke istana maka
saat itu dia sudah menyusun suatu
rencana besar. Yaitu untuk merebut takhta kerajaan dengan
jalan kekerasan! Dengan pertempuran,
dengan peperangan! Dalam pengembaraan itulah Werku
Alit bertemu dengan Suranyali atau
Mahesa Birawa. Tahu bahwa Mahesa Birawa seorang
manusia sakti luar biasa maka Werku
Alit mengambilnya sebagai tangan kanan dengan
perjanjian bila kerajaan berhasil
digulingkan maka Mahesa Birawa akan dijadikan Perdana
Menteri!
Dalam menjadi tangan kanan membantu
rencana busuk Werku Alit. Mahesa Birawa
mempunyai rencana sendiri, rencana
dalam selimut. Jika kerajaan jatuh dan Werku Alit menang,
maka Mahesa dan kawan-kawannya akan
menyingkirkan Werku Alit untuk kemudian dia sendiri
yang akan menampilkan diri menduduki
tahta kerajaan Pajajaran
* * *
Di hutan belantara di sekitar kaki
Gunung Halimun kelihatan bertebaran ratusan buah
kemah. Inilah pusat balatentara
pemberontak yang hendak merebut tahta kerajaan Pajajaran di
bawah pimpinan Werku Alit. Sementara
Werku Alit kembali ke Pajajaran maka pimpinan
dipegang langsung oleh tangan
kanannya yaitu Mahesa Birawa. Di sini berhimpun
sekitar seribu
prajurit. Kebanyakan dari
pasukan-pasukan ini didapat Werku Alit dan Mahesa Birawa dari
Adipati-adipati kecil yang bernaung
di bawah Pajajaran tapi yang kena dipengaruhi dan dihasut
oleh kedua orang itu. Bahkan saat
itu Mahesa Birawa masih menunggu beberapa orang Adipati
lagi yang telah dihubunginya.
Jika Adipati-adipati ini datang dan
menyerahkan beberapa ratus prajurit tambahan maka
dapatlah diatur kapan dilaksanakan
penyerangan terhadap Pajajaran. Sementara waktu menunggu
maka semua prajurit senantiasa
dilatih perang-perangan. Para kepala-kepala pasukan diberi
tambahan ilmu silat dan kesaktian
yang lumayan oleh Mahesa Birawa sedang para Adipati yang
saat itu sudah bergabung Mahesa
Birawa menurunkan beberapa ilmu kesaktiannya. Mahesa
merasa sangat menyesal sekali ketika
mendapat kabar bahwa tiga orang anak buahnya yang;
diam di Jatiwalu telah menemui ajal
akibat bentrokan dengan anak-anak murid Perguruan Gua
Sanggreng sedang Kalingundii hilang
lenyap tak tentu rimbanya. Kalau saja keempat manusia itu
ada di sana tentu tak usah
payah-payah dia menggembleng kepala-kepala pasukan dan Adipatiadipati
itu. Tapi tak apa payah sedikit.
Nanti dia akan memetik hasilnya sendiri!
Di dalam kemah besar yang terletak
di tengah-tengah ratusan kemah di kaki Gunung
Halimun itu, mengelilingi sebuah
meja bulat telur maka duduklah empat orang laki-laki. Yang
pertama tak lain dari Mahesa Birawa,
kumis melintang dan badan semakin gemuk. Yang kedua
Adipati Karangtretes yaitu
Jakaluwing, bercambang bawuk lebat, potongan tubuhnya tegap
kekar. Yang ketiga, yang duduk di
samping kiri Mahesa Birawa ialah seorang berbadan tinggi
kurus bermuka licin bernama
Surablabak. Dia adalah Adipati Manganreja. Yang terakhir seorang
laki-laki berbadan gemuk pendek,
berkepala sulah. Sinar lampu dalam kemah membuat
kepalanya itu berkilat seperti
bersinar-sinar. Manusia ini bernama Lanabelong, Adipati Kendil.
Di atas meja, di hadapan keempatnya
terletak masing-masing segelas tuak murni dan harum.
Ketiga Adipati itu telah kena
dihasut oleh Mahesa Birawa dan Werku Alit untuk memberontak
terhadap Pajajaran dan kepada mereka
dijanjikan kedudukan sebagai Menteri kerajaan bila
pemberontakan mereka berhasil kelak.
“Silahkan diteguk tuaknya,
saudara-saudara Adipati,” kata Mahesa Birawa pula sesudah
keheningan mengungkungi kemah itu
beberapa lamanya. Masing-masing
kemudian meneguk
tuak
yang enak itu. Di malam yang dingin minum tuak memang enak menghangatkan tubuh.
Jakaluwing
raba cambang bawuknya. Lalu bertanya:'“Kapan kira-kira saatnya kita akan
menggempur
Pajajaran, adimas Mahesa Birawa?”
“Soal
penggempuran itu kangmas Jakaluwing, sebenarnya saat ini pun kita sudah
sanggup
melakukannya. Jumlah prajurit cukup, tenaga pimpinan, rata-rata sudah
berpengalaman
dan
dapat diandalkan. Cuma kita tak enak kalau meninggalkan saudara-saudara Warok
Gluduk
dan
Tapak Ireng. Kedua Adipati itu telah berjanji akan bergabung dengan kita
bersama beberapa
ratus
prajurit-prajurit mereka. Ada
baiknya jika kita tunggu kedatangan mereka. Sesudah itu baru
kita
hubungi Raden Werku Alit untuk menentukan kapan saat yang baik untuk
penyerangan....”
Adipati
Jakaluwing manggut-manggut.
“Begitu
memang bagus,” kata Lanabelong. Adipati berkepala sulah. Lalu diteguknya
tuaknya.
“Di
samping itu, mengingat bahwa di Pajajaran tentunya terdapat tokoh-tokoh
pelindung
yang
berilmu tinggi maka kita musti tidak pula menyia-nyiakan bantuan yang hendak
diberikan
oleh
Begawan Sitaraga yang diam di puncak Gunung Halimun!”
“Ah,
hebat sekali kalau Begawan yang tersohor ini ikut di pihak kita!” kata
Surablabak
sambil
pukul meja.
“Sebenarnya,”
kata Mahesa Birawarpula. “Begawan Sitaraga ini mempunyai dendam
kesumat
yang masih belum terbalaskan terhadap toa Pajajaran yaitu kakek dari
Kamandaka....”
“Kalau
Begawan ini setingkat umurnya dengan kakek Kamandaka, tentu kini kira-kira
sudah
seratusan usianya...” kata Lanabelong.
“Kira-kira
begitutah,” sahut Mahesa Birawa. Kemudian laki-laki ini
berseru memanggil
pelayan untuk menyuruh tambah tuak
di keempat gelas itu.
Sesudah pelayan pergi Mahesa Birawa
buka mulut kembali. “Besok aku akan kirimkan
dua orang kurir ke Pajajaran untuk
menemui Raden Werku Alit. Kuminta kepadanya untuk
menyebar mata-mata lebih banyak,
terutama di dalam istana guna mengetahui perkembangan
terakhir, terutama mencari kabar
selentingan apakah gerakan kita ini bocor atau tidak.... “
“Dan jangan lupa pula untuk meneliti
pertahanan Pajajaran di mana yang lemah,” kata
Lanabelong.
Mahesa Birawa mengangguk.
“Saudara-saudara Adipati, agaknya pertemuan kita malam
ini cukup. Sampai besok pagi.”
Keempat orang itu saling menjura
kemudian satu demi satu meninggalkan kemah besar
khusus
untuk tempat perundingan, menuju ke kemah masing-masing.
--
== 0O0 == --
DELAPAN
Laki-laki
itu berjalan di liku-liku lorong bagian belakang istana dengan menundukkan
kepala.
Sekali-sekali dilewatinya para pengawal. Pengawal-pengawal istana tidak menegur
atau
menahan
laki-laki ini karena semuanya tahu bahwa laki-laki itu adalah Udayana, pembantu
Prabu
Kamandaka. Segala urusan rumah tangga sang Prabu dialah yang mengurusnya.
Di
pintu besar gedung istana sebelah belakang laki-laki ini berhenti sebentar lalu
menyeberangi
halaman kecil dan masuk ke pintu sebuah bangunan kecil yang bagus bentuknya.
Justru
di sini dua orang pengawal memalangkan tombak menghentikannya.
“Aku
mau ketemu Raden Werku Alit,” kata Udayana.
“Ada keperluan apa?” tanya
salah seorang pengawal.
“Beliau
sudah tahu.”
“Tunggu
di sini,” Pengawal itu masuk yang seorang tetap di tempatnya.
Tak
lama kemudian pengawal yang masuk muncul kembali. “Kau dipersilahkan
menghadap.”
katanya memberi tahu.
Udayana
mengangguk dan memasuki pintu gedung.
Di
dalam sebuah kamar yang luas, Werku Alit menyambut kedatangannya.
Ditepuktepuknya
bahu
Udayana. “Bagaimana? Ada
perkembangan baru...?” Werku Alit berbadan tinggi
langsing
dan me-melihara kumis panjang menjulai seperti tali, seperti raja-raja
Tiongkok!
“Perkembangan baru belum ada Raden....
Cuma ada satu berita. Mungkin sedikit banyak
nya ada perlunya juga saya sampaikan
kepada Raden...”
“Bagus, katakanlah Udayana....”
“Rara Murni adik Kamandaka siang
besok akan berangkat ke Kalijaga untuk
menyambangi adik neneknya. Dia akan
pergi dengan kereta dan dikawal secukupnya.... “
“Hem....”
Werku Alit menggumam dan mengusut-usut kumis talinya. “Aku belum
melihat
adanya hubungan keteranganmu ini dengan rencanaku. Tapi tunggu sebentar, coba
kupikir....”
Tangan yang tadi mengusut kumis ini memijit-mijit kening. Dan tangan itu
tiba-tiba
menepuk
bahu Udayana sampai laki-laki ini terkejut. “Aku telah melihat kegunaan
keteranganmu
ini Udayana. Suruh seorang mata-mata kita menghubungi Kalasrenggi. Katakan
bahwa
aku akan bicara dengan dia malam ini di pondok tua di luar tembok kerajaan.”
Udaya
menjura.
“Perintah
Raden akan saya jalankan,” katanya lalu cepat-cepat meninggalkan kamar itu.
*
* *
Seluruh
balatentara kerajaan Pajajaran dibagi atas lima kelompok pasukan dan tiap-tiap
pasukan
dibagi dual masing-masing bagian dikepalai oleh seorang yang disebut kepala
prajurit,
Kalasrenggi
adalah salah seorang dari kepala pasukan balatentara Pajajaran. Sebagai kepala
pasukan
tentu saja dia memiliki ilmu dan pengalaman yang dapat diandalkan. Dan memang
banyak
orang yang mengatakan bahwa diantara lima
kepala pasukan Pajajaran maka Kalasrenggi
adalah
yang paling tinggi ilmunya. Tapi sayang kepala pasukan ini, telah pula terseret
ke dalam
rencana
busuk Werku Alit dan Mahesa Birawa. Telah kena bujuk dan dihasut untuk
memberontak
dan menggulingkan pemerintahan Prabu Kamandaka!
Siang
tadi seorang suruhan Raden Werku Alit telah menemui Kalasrenggi dan
menyampaikan
pesan bahwa Werku Alit akan bicara dengan dia malam ini di pondok tua di luar
tembok
kerajaan. Maka malamnya dengan seorang diri berangkatlah Kalasrenggi ke ternpat
yang
ditentukan itu. Dia sampai ke pondok
tua itu. Sebenarnya tak pantas disebut pondok karena sama
sekali bangunan tua itu tiada
mempunyai dinding dan atapnya pun sudah sebagian melompong
dimakan
umur. Pondok atau lebih tepat teratak itu sunyi saja. Tak seorang pun kelihatan
di sana.
Kalasrenggi
berpikir tentu Raden Werku Alit belum sampai ke sana, maka dia pun menunggulah.
Dinyalakannya sebatang rokok. Dia
memandang ke angkasa. Langit
kelihatan mendung.
Bintang-bintang
mulai tertutup awan. Bulan menghilang dan angin bertambah besar serta dingin.
Dia
tak sabaran menunggu. Rokok yang dihisapnya sudah hampir habis. Berbarengan
ketika
rokok
itu dibuangnya ke tanah maka dipengkolan muncul tiga sosok bayangan. Dua dari
sosok
bayangan
itu berhenti sedang yang satu terus melangkah ke arah teratak itu.
“Sudah
lama kau...?” bertanya orang yang datang ini yang tak lain dari Werku Alit
adanya.
“Sudah
juga,” sahut Kalasrenggi. “Raden mau bicara apa
dengan saya?”
Sementara itu hujan rintik-rintik
mulai turun. Angin tambah kencang. “Ada tugas buatmu
besok Kalasrenggi,” kata Werku Alit.
“Tugas apakah, Raden?”
Hujan
rintik-rintik berubah menjadi lebat. Guruh menggelegar. Kilat menyambar.
Sesosok
bayangan putih dibawah penerangan kilat yang hanya sedetik saja terangnya,
kelihatan
berlari
sangat cepat menuju teratak tua itu. Werku Alit dan Kalasrenggi terkejut sekali
dan
tangan-tangan
mereka segera meraba hulu senjata di pinggang masing-masing!
“Hujan
sialan!” Terdengar orang yang baru datang ini merutuk. Kemudian
dia berpaling
pada Werku Alit dan Kalasrenggi dan
berkata: “Saudara-saudara, aku numpang mondok samasama
kalian.”
Werku Alit dan Kalasrenggi memandang
tajam pada laki-laki yang baru datang ini. Dia
masih muda, berbadan kekar dan
berambut gondrong. Kedatangannya mau tidak mau
mencurigakan kedua orang itu meski
ada alasan bahwa dia datang ke sana untuk berteduh karena
hari hujan lebat.
“Kau siapa?!” tanya Kalasrenggi
membentak garang. Pandangannya buas sekali. Tangan
kirinya menyelinap ke pinggang.
Laki-laki muda yang dibentak
memandang dengan keheran-heranan. “Memangnya apa
aku tidak boleh mondok di sini,
Saudara?!”
“Aku tanya kau siapa dan jangan
banyak tanya!” hardik Kalasrenggi.
Pemuda itu bersiul dan menyeringai.
“Tak usahlah bicara pakai membentak segala.
Urusan kecil kalau dipersoalkan
dengan kasar bisa menimbulkan gara-gara yang tidak diingini!”
Kalasrenggi dengan tidak sabar
melangkah ke hadapan pemuda itu dan hendak
menempelaknya. Tapi langkahnya
dihentfkan ketika dalam kegelapan dan masih sempat rnelihat
isyarat yang diberikan oleh Werku
Alit. Werku Alit tak ingin terjadi keributan yang buntutbuntutnya
bisa membocorkan rencana besamya.
Karena itu dengan terancam dia melangkah
mendekati pemuda itu.
“Saudara,” kata Werku Alit sambil
memegang bahu si pemuda. “Harap maafkan.
Kawanku memang lagi kasar berangasan
habis kalah judi! Sudahlah,
tak ada yang harus kita
ributkan
di malam buta begini, mana hujan, mana dingin. Bukankah begitu...?”
“Ah... tepat sekali saudara....”
jawab si pemuda. Werku
Alit tersenyum. Tiba-tiba laksana
kilat
cepatnya, dua jari tangan kirinya menusuk ke muka menghantam urat besar di
bagian kiri
tubuh si pemuda. Tak ampun lagi
pemuda itu rebah ke tanah. Sebagian kakinya terjulur lewat
atap dan segera diguyur oleh air
hujan!
Werku Alit tertawa mengekeh. “Pemuda
konyol mau banyak tingkah!”
“Tapi siapa tahu dia bukan pemuda
biasa. Raden. Mungkin mata-mata....”
“Ah, tampangnya saja geblek, dogol,
bagaimana bisa jadi mata-mata? Buktinya sekali
totok saja sudah rubuh!”
Kalasrenggi memandang sosok tubuh
yang menggeletak menelungkup itu. Dia
bermaksud untuk menggeledah pemuda
itu namun didengarnya Werku Alit berkata:
“Sudah, tak perlu perdulikan kunyuk
itu! Mad kita muiai pembicaraan. Menurut
keterangan pembantu rahasiaku, besok
siang Rara Murni akan berangkat dengan kereta ke
Kalijaga. Tugasmu culik gadis itu,
sekap di kuil tua di lembah Limanaluk. Bila sudah beri
laporan sama aku biar aku tentukan
langkah selanjutnya!”
“Itu tugas mudah, Raden,” kata Kalasrenggi.
“Tapi saya ingin tahu siapa-siapa saja yang
ikut
dengan Rara Murni...?”
“Aku
tak mendapat keterangan tentang hal itu. Yang penting kau harus tangkap Rara
Murni
hidup-hidup. Yang lainnya kalau melawan bereskan saja, habis perkara!”
“Baiklah
Raden. Sebelum malam tiba besok, saya akan mengirimkan seseorang untuk
memberitahukan
bahwa tugas sudah selesai....”
Werku
Alit menepuk bahu kepala pasukan itu. “Nah, aku pergi sekarang!”
Kalasrenggi
memperhatikan sampai ketiga orang itu lenyap di kejauhan dalam kegelapan
malam.
Kemudian laki-laki ini memutar tubuh dan kembali matanya memandangi manusia
yang
menelungkup
di bawah teratak itu. Dia membungkuk hendak menggeledah, meneruskan niatnya
yang
tadi batal, tapi kemudian terpikir olehnya, perlu apa susah-susah dengan diri
orang lain.
Dengan
seenaknya Kalasrenggi menendang tubuh laki-laki yang menggeletak itu sehingga
tubuh
itu terlontar sampai beberapa
tombak! Kalasrenggi kemudian berlalu pula dari teratak tua itu.
-- == 0O0 == --
SEMBILAN
Hanya beberapa ketika saja
Kalasrenggi meninggalkan teratak tua itu maka orang yang
tadi ditotok dan ditendang anehnya
tiba-tiba berdiri dengan cepat. Dia melangkah kembali ke
bawah teratak. Disekanya mukanya
yang basah oleh air hujan dan berselomotan lumpur.
Diperhatikannya pakaiannya, kotor
semua. Ditepuk-tepuknya pinggul kirinya yang tadi bekas
kena ditendang Kalasrenggi.
“Sialan betul! Sakit juga tendangan
kunyuk itu!” makinya seorang diri. “Di lain hari aku
akan balas keramah tamahannya tadi!”
Sesungguhnya sewaktu Werku Alit
menotoknya tadi, orang ini sudah dapat menduga
gerakan
dan maksud Werku Alit. Sebelum totokan datang cepat-cepat bagian tubuh di
samping
kiri
dialirkan dengan tenaga dalam. Kemudian ketika totokan Werku Alit mendarat di
tubuhnya,
taki-laki ini pura-pura jatuh tak
sadarkan diri. Demikian juga ketika Kalasrenggi menendangnya,
dia dalam meneiungkup pura-pura
pingsan masih sempat melihat gerakan kaki orang itu dan
bersiap menjaga diri sehingga waktu
ditendang tubuhnya hanya terasa pegal-pegal sedikit! Dan
apa yang telah dibicarakan kedua
orang itu dapat didengarnya dengan jelas.
Orang ini duduk bergelung lutut dan
berpikir-pikir. Siapakah gerangan kedua orang tadi?
Siapa yang dipanggil dengan sebutan
“raden” dan siapa yang satu lagi? Mengapa mereka bicara
di tempat terpencil dan di malam
hari berudara buruk seperti ini? Dan tugas yang diberikan
oleh
orang yang dipangglkan “raden” itu?
Siapakah Rara Murni? Apakah keduanya bukan
gerombolan-gerombolan rampok
pengacau? Yang hendak menculik Rara Mumi kemudian
melakukan pemerasan terhadap orang
tua gadis itu?
Orang
itu usut-usut dagunya. Banyak yang tak dimengertinya atas apa yang telah
dialaminya
tadi. Tapi esok bila hari sudah siang dia bisa mencari keterangan di Kotaraja.
Sejak pagi sampai saat itu sudah
beberapa jam dia mengelilingi Kotaraja. Berbagai
tempat dan pelosok didatanginya.
Namun tampang-tampang manusia yang dua orang yang
ditemuinya malam tadi tak berhasil
dicarinya. Akhimya masuklah dia ke dalam sebuah kedai.
Memang saat itu tenggorokannya sudah
seperti terbakar oleh rasa haus dan perutnya perih
keroncongan.
Sambil makan dia terus juga
berpikir-pikir. Rasanya tak mungkin kedua orang yang
semalam itu gerombolan-gerombolan
rampok. Seorang rampok tak akan dipanggil “raden”. Pasti
yang dipanggil “raden” itu seorang
bangsawan kaya. Lalu kenapa bangsawan kaya mau
menculik gadis orang? Mungkin pernah
melamar tapi tak diterima?
Dia menyudahi makanannya. Ketika dia
memandang berkeliling ternyata kedai itu sudah
penuh dengan tamu-tamu yang makan
siang. Dengan perut kenyang dia kemudian melangkah
mendekati pemilik kedai.
Ditanyakannya berapa jumlah yang harus dibayarkannya lalu
diberikannya sejumiah uang.
“lni kembalinya, Nak,” kata orang
kedai. Dia sudah tua. Rambutnya sudah putih semua.
“Ah, tak usah. Ambil saja....” kata
pemuda.
Si orang tua jadi keheranan.
Demikian juga beberapa orang yang duduk di dekat sana.
Pemuda
yang berambut gondrong, berpakaian lusuh serta bertampang keren tapi macam
anakanak
itu
berlagak seperti seorang kaya raya yang punya banyak uang, sok tak mau terima
uang
kembalian! Tapi perhatian orang
hanya sebentar tertuju kepada si pemuda. Masing-masing
kemudian sibuk mengurusi mulut dan
perutnya sendiri.
Si pemuda mendekati pemilik kedai
dan berkata pelahan: “Uang yang kulebihkan itu
untuk membayar beberapa keterangan
darimu, Bapak,” katanya.
“Keterangan?”
Si orang tua kerenyitkan kening. “Keterangan apa...?”
“Bapak sudah lama tinggal di
Kotaraja ini?”
“Dari masih orok sampai punya
buyut!” jawab pemilik kedai pula. Hatinya masih
bertanya-tanya
dan heran. “Kenapa anak tanya begitu?”
“Oh
tak apa-apa.... Mungkin bapak kenal dengan seorang perempuan bernama Rara
Murni?” Pertanyaan ini membuat si
orang tua lebih heran. “Semua orang di Pakuan ini tahu siapa
Rara Murni,” katanya.
“Oh pantas.. pantas... Rara Murni
yang kau tanyakan itu adalah adik Sang Prabu
Kamandaka!” Tentu saja si pemuda
mendengar ini jadi kaget sekali. Siapa sangka kalau Rara
Murni adik dari raja Pajajaran?!
Namun dengan pandainya dia menyembunyikan kekagetannya
itu. Kemudian terdengar suara orang
kedai bertanya.
“Anak muda, ada maksud apakah kau
bertanyakan adik Sang Prabu itu...?”
“Oh tidak apa-apa. Tidak
apa-apa....”
“Kalau kau bermaksud buruk
ketahuilah bahwa di Kotaraja ini banyak sekali hulubalanghulubalang
Sang Prabu yang bertelinga tajam!”
Si pemuda sunggingkan senyum.
“Kau terlalu bercuriga terhadapku,
orang tua. Aku hanya seorang pemuda desa yang
mendengar kabar disampaikan dari
mulut ke mulut bahwa Rara Murni adalah seorang yang
cantik jelita. Biasa bukan laki-laki
tanya perempuan...?” Pemuda ini kemudian tertawa geli.
Namun tawa gelinya itu diputuskan
oleh suara bentakan dari arah pintu.
“Manusia yang berani bicara
seenaknya tentang adik Sang Prabu coba putar tubuh! Aku
mau lihat tampangnya!”
.Suara itu keras dan garang.
Si pemuda melihat bagaimana orang
tua di hadapannya menjadi gemetar ketakutan. “Aku
sudah bilang apa... aku sudah bilang
apa...” katanya berulang kali.
Pemuda itu dengan perlahan memutar
tubuh. Di pintu dilihatnya berdiri seorang prajurit
berhadapan tegap bersenjata tombak.
“Bagus! Tampangmu memang mirip
kunyuk. Jadi cukup pantas untuk pengisi
kerangkeng istana!” Prajurit ini
melambaikan tangannya. Dua orang prajurit lagi muncul di
ambang pintu. “Tangkap pemuda rambut
gondrong itu! Dia telah menghina adik Sang Prabu!”
Dengan tombak terhunus kedua
prajurit itu melangkah ke hadapan pemuda rambut
gondrong. “Sebentar saudara...
sebentar!” kata si pemuda sambil pentangkan kedua telapak
tangannya
ke muka. Selarik sinar halus berhembus ke arah jalan darah kedua prajurit itu.
Dan
semua
mata dalam kedai yang tak tahu menahu ha1 itu hanya menyaksikan bahwa kedua
prajurit
itu hentikan langkah karena memenuhi
permintaan si pemuda. Padahal dua prajurit itu sudah
kena ditotok dari jarak jauh dan
berdiri kaku tak bisa bergerak tak bisa bicara! “Sebentar, aku
mau bicara dulu!” kata pemuda rambut
gondrong kini pada prajurit yang di pintu. “Bicara apa?!
Lekas? Katakan!”
Seekor lalat terbang dan hinggap di
lengan kiri si rambut gondrong.
“Ah lalat ini! Mengganggu aku yang
hendak bicara!” kata si rambut gondrong. Dengan
jari-jari
tangan kanannya disentilnya lalat itu. Namun tujuan sebenarnya bukan binatang
itu. Sang
lalat
memang terpental mati dengan tubuh hancur tapi angin sentilan terus menotok
jalan darah
prajurit
yang berdiri di pintu kedai. Orang-orang tetap
melihat dia berdiri sebagaimana biasa tapi
sesungguhnya tubuhnya sudah kaku
tegang!
Si rambut gondrong datang ke
hadapannya, pura-pura membisikkan sesuatu lalu
menepuk bahu prajurit itu dan
berlalu. Orang-orang mulai menjadi heran. Dan beberapa ketika
saja sesudah pemuda aneh tadi lenyap
tiba-tiba: “Bluk... bluk... b!uk.... !” Ketiga prajurit itu
rebah ke tanah susul menyusul!
Begitu mencium lantai begitu mereka kembali sadarkan diri!
Kedai itu menjadi hiruk pikuk. Tiga prajurit dengan rasa malu, geram dan amarah meluap
memburu ke luar kedai tapi si rambut
gondrong sudah lama lenyap!
Tiga prajurit ini tiada lain adalah
anak buah Kalasrenggi. Sewaktu pemuda rambut
gondrong mengeliling Kotaraja
mencari dua manusia yang ditemuinya malam tadi di teratak tua
di luar tembok kerajaan maka tanpa
setahunya sepasang mata telah menguntitnya. Yang
menguntit tiada lain dari
Kalasrenggi yang saat itu tengah bersiap-siap untuk melaksanakan tugas
yang
diberikan oleh Werku Alit. Ketika si rambut gondrong masuk kedai maka
dikirimnya tiga
orang
prajurit ke sana.
Diperintahkannya untuk menangkap pemuda itu dengan alasan yang
dibuat-buat.
Bila sudah ditangkap, maka pengusutan lebih lanjut siapa adanya pemuda ini akan
dilakukan
Kalasrenggi sesudahnya dia selesai melakukan tugas dari Werku Alit.
Ketika mereka masuk dengan diam-diam
mereka telah mencuri dengar apa yang
dipercakapkan si rambut gondrong
dengan orang kedai. lni mereka jadikan alasan untuk
menalngkap pemuda itu. Namun karena
tiga prajurit ini hanyalah mengandalkan tenaga-tenaga
lahir yang kasar, tak mempunyai ilmu
dalam maka dengan mudah si rambut gondrong
“mempermainkannya!”
-- == 0O0 == --
SEPULUH
“Kalau Rara Murni adalah adiknya
Raja Pajajaran...” kata pemuda itu sambil terus juga
menyusuri jalan di bawah panas
teriknya matahari musim kemarau, “Pasti peristiwa
penculikannya mempunyai latar
belakang yang besar dan buntut panjang!”
Dia menengadah ke langit.
“Ah, cepat benar bergesernya
matahari....” katanya lagi. Dan ketika dia berpapasan
dengan seorang penjual sayur mayur
maka bertanyalah dia, “Bapak, manakah jalan yang menuju
ke lembah Limanaluk?”
Penjual sayur mayur itu menyeka
peluh di keningnya terlebih dahulu. Diputarnya
badannya sedikit dan dia menunjuk ke
ujung jalan.
“Ikuti saja terus jalan ini, jangan
mengkol. Limanaluk sekira setengah hari perjalanan dari
sini.”
Pemuda yang bertanya mengucapkan
terima kasih lalu metanjutkan perjalanannya
kembali....
Kereta itu bagus dan mungil
potongannya. Dua ekor kuda coklat yang menariknya berlari
kencang. Empat prajurit terpercaya
mengawal kereta ini. Dua orang di depan, dua lainnya di
belakang. Debu menggebubu sepanjang
jalan yang mereka lalui.
Setelah dua jam perjalanan
meninggalkan Kotapraja jalan yang ditempuh mulai banyak
lobang-lobang dan batu-batunya.
Kusir memperlambat jalan kereta terutama ketika melewati satu
pengkolan tajam. Selewatnya sebuah
penurunan jalan yang mereka lalui baik kembali dan
menyusuri tepi sebuah kali kecil
berair jernih.
Prajurit di depan sebelah kanan
melambaikan tangan memberi tanda berhenti. Ketika
kereta itu berhenti maka tersibaklah
tirai jendela dan sebuah kepala berparas jelita remaja
munculkan diri ke luar.
“Ada apa berhenti?” Suara gadis ini
bertanya begitu merdu.
Kepala pengawal menjura sedikit dan
menjawab: “Kuda-kuda kita perlu diberi minum,
Tuan Puteri...”
Rara Murni menutupkan tirai jendela
kembali. Kusir turun dari kereta dan membawa kedua ekor kuda coklat ke tepi
kali. Enam ekor binatang itu kemudian seperti berebutan memasukkan mulutnya ke
datam air kali yang bening sejuk. Beberapa ketika berlalu maka rombongan
bersiap-siap untuk melanjutkan kembati. Namun belum lagi kusir naik ke atas
kereta empat orang penunggang kuda muncul di tempat itu. Badan tegap-tegap dan
muka mereka tak dapat dikenali karena kepala masing-masing tertutup dengan
kerudung kain hitam yang dilubangi di bagian matanya.
“Perjalanan kalian hanya sampai di
sini!” kata penunggang kuda paling depan. Suaranya
berat dan parau, disertai dengan
tenaga dalam sehingga tak mungkin untuk mengenali suaranya
yang asli.
Empat pengawal kereta yang tahu
bahwa manusia-manusia berkerudung kain hitam itu
datang
bukan dengan membawa maksud baik segera cabut pedang! Melihat ini orang yang
tadi
bicara
tertawa mengekeh.
“Kalian
kunyuk-kunyuk Pajajaran kalau masih ingin selamatkan batang leher segeralah
tinggalkan
tempat ini!”
“Bangsat
rendah! Berani menghina prajurit kerajaan! Terima pedangku!” bentak kepala
pengawal.
Dia melompat ke muka dan pedangnya berkelebat, berkilauan ditimpa sinar
matahari!
Manusia
berkerudung sentakkan tali kekang kuda dan miringkan badan. Berbarengan
dengan
itu kaki kanannya meluncur dengan sangat cepat. Kepala pengawal kereta
terpekik.
Pedangnya
lepas dan mental sedang sambungan sikunya yang dimakan tendangan tanggal dari
persendian!
Dia mengeluh kesakitan, terbungkuk-bungkuk sambil memegangi sambungan sikunya
yang
copot!
Tiga
pengawa! yang lain tanpa banyak bicara segera menyerbu dan disambuti oleh tiga
laki-laki
lainnya yang memakai kerudung. Setelah terlibat dalam dua jurus pertempuran maka
terdesaklah
ketiga pengawal kereta.
Sementara itu di dalam kereta,
mendengar suara ribut-ribut dan disusul dengan suara
beradunya senjata dengan hati cemas
Rara Mumi singkapkan tirai jendela. Dia terkejut sekali
melihat ada sesosok tubuh
berkerudung melangkah mendekati kereta. dan mengulurkan tangan
untuk membuka pintu kereta!
“Rara Murni... kau tak usah cemas!
Apa yang terjadi di,sini hanya pertunjukan biasa saja.
Silahkan turun...!”
“Kalian siapa...?!”
“Siapa kami itu tidak penting.
Turunlah....”
“Rampok-rampok biadab! Kalau kalian
tahu siapa aku segeralah tinggalkan tempat ini
sebelum pasukan kerajaan datang
menumpas kalian!” Laki-laki
berkerudung tertawa bergelak.
Dibukanya
pintu kereta dan diulurkannya tangan kanan untuk menarik Rara Murni keluar dari
kereta.
Kusir
kereta yang sejak tadi seperti terpukau melihat pertempuran yang berkecamuk di
depan matanya, ketika mengetahui bahwa Rara Murni hendak diperlakukan secara
kasar segera mengambil cambuk kereta dan menderu punggung laki-laki
berkerudung.
“Rampok
laknat! Berani mengganggu adik Sang Prabu!” Dan cambuk itu mendera lagi beberapa kali.
Laki-laki
berkerudung memutar tubuh. Sekali dia gerakkan
tangan maka berhasillah dia merampas cambuk itu. Dan kini cambuk itu dipakainya
untuk melecuti muka kusir kereta. Kusir ini menjerit-jerit. Kemudian dengan
kalap mencabut golok pendeknya dan menyerang si muka berkerudung. Namun hanya
dengan mengelak dan sekali tendang saja maka kusir kereta itu terpelanting ke
tebing kali, masuk ke dalam kali. Tubuhnya segera hanyut terbawa air, tenggelam
timbul karena sebelum jatuh ke dalam kali tendangan laki-laki berkerudung telah
membuatnya pingsan terlebih dulu!
Pertempuran antara tiga prajurit
pengawal dan tiga laki-laki berkerudung lainnya tak berjalan lama. Ketiga pengawal
itu menggeletak di tanah bermandikan darah. Sementara itu di atas kereta Rara
Murni berusaha melawan dan meronta-ronta, menerjang dan meninju laki-laki yang
hendak menyeretnya turun secara paksa. Namun apalah kekuatan seorang perempuan.
Dalam waktu sebentar saja segera laki-laki berkerudung itu dapat membekuknya.
Rara Murni dinaikkan ke atas kuda.
“Lemparkan ketlga mayat itu ke dalam
kali!” perintah laki-laki berkerudung yang sudah
naik ke atas punggung kudanya. “Juga
kereta itu!”
Tiga mayat pengawal dilemparkan ke
dalam kali. Kuda penarik kereta melonjak-lonjak dan
meringkik keras ketika tiga manusia
berkerudung itu mendorong kereta ke dalam kali!
Dalam waktu yang singkat keempat
orang itu segera berlalu. Yang tinggal kini di tempat
itu hanya bekas-bekas pertempuran,
darah, mayat, kereta dan kuda yang masih terus meringkikringkik
sementara tubuhnya dengan perlahan
tapi pasti tenggelam ke dalam kali!
-- == 0O0 == --
SEBELAS
Lembah Limanaluk satu daerah yang
jarang didatangi manusia. Daerah ini sunyi sepi,
ditumbuhi pohon-pohon raksasa dan
semak belukar lebat. Ke
sinilah keempat manusia
berkerudung
itu membawa Rara Murni. Di hadapan sebuah kuil tua mereka berhenti dan
menurunkan
gadis itu yang sampai saat itu masih terus juga melawan dengan segala daya yang
ada.
“Rara
Murni, kalau kau tak banyak cingcong aku tak akan perlakukan kau dengan
kekerasan...”
“Lepaskan
aku!” teriak Rara Murni.
“Masuklah
ke dalam kuil sana!”
“Tidak!”
dan Rara Murni berusaha hendak lari namun tangannya segera kena dicekat.
Laki-laki
berkerudung yang bertindak sebagai pemimpin tiga orang lainnya berpaling,
lalu
katanya pada ketiga orang itu: “Kalian kembalilah. Beritahukan bahwa tugas kita
berhasil
baik!”
Tiga
laki-laki berkerudung segera lompat kembali ke atas punggung kuda masing-masing
dan
meninggalkan tempat itu. Yang seorang tadi menyeret Rara Murni ke dalam kuil.
Kuil
itu sebuah kuil tua yang sudah tak dipakai lagi. Batu dindingnya sudah pada
luruh
dimakan
umur. Sebuah arca besar yang terdapat di pojok kuil sebagian mukanya rusak dan
tangan
serta kakinya sudah buntung.
“Lepaskan
aku dari sini!” teriak Rara Murni untuk kesekian kalinya. Suaranya mulai
parau.
“Kau
terlalu banyak cerewet, Rara Murni.” kata laki-laki berkerudung. Kedua bola
matanya
berkilat-kilat memandangi paras dan tubuh gadis itu. “Tapi...” kata orang ini
kemudian,
“Kau
mungkin tak akan banyak ulah bila mengetahui siapa aku.”
Habis
berkata begitu laki-laki ini membuka kerudung penutup mukanya. Kaget Rara
Murni
bukan kepalang. Seperti tak percaya dia akan pandangan kedua matanya. Betapakah
tidak!
Laki-laki
berkerudung itu ternyata adalah salah seorang kepala pasukan kerajaan yang
cukup
dikenalnya.
“Kalasrenggi!”
Kalasrenggi
tertawa mengekeh. “Kau sudah lihat mukaku dan tahu siapa aku. Apa kau
juga
masih mau cerewet?”
“Apa
maksudmu dengan semua ini, Kalasrenggi?!',
“Apa
maksudku? Kau akan lihat saja nanti!”
“Pengkhianat!
Pengkhianat terkutuk kau Kalasrenggi! Kau sadar apa akibatnya kalau
kakakku
mengetahui perbuatanmu ini?!”
“Kakakmu
tak akan pernah mengetahuinya!”
“Aku
akan adukan dan kau akan dibuang ke pulau Neraka! Tempat pengkhianatpengkhianat
kerajaan!”
Kalasrenggi
tertawa lagi. Matanya semakin berkilat-kilat memandangi paras Rara Murni.
Memang
sesungguhnya sudah sejak lama laki-laki ini secara diam-diam merasa tertarik
dan jatuh
hati
terhadap Rara Murni. Kini berada berdua-dua di tempat sunyi itu, hasrat yang
terpendam itu
menjadi
berkobar-kobar memanasi darah dan tubuhnya.
“Mungkin
kau tak akan pernah punya kesempatan untuk mengadu Rara Murni.
Kepalamu
cukup bagus untuk jadi benda persembahan kepada kakakmu sendiri!”
Rara Murni terkejut.
“Apa maksudmu?”
Kalasrenggi tertawa. Tawa yang
menjijikkan Rara Murni. Katanya: “Kalau kau mau
menuruti apa yang aku katakan,
mungkin aku masih bisa menyelamatkan kau dari kematian....”
“Kau benar-benar pengkhianat
terkutuk! Terkutuk!”
Masih dengan tertawa yang
menjijikkan itu Kalasrenggi melangkah maju mendekati Rara
Murni. Matanya berkilat-kilat,
cuping hidung kembang kempis dan dadanya bergejoiak. Melihat
ini Rara Murni segera melangkah
mundur. Mundur sampai punggungnya membentur dinding
kuil. Sebelum dia sempat lari ke
pintu jari-jari tangan Kalasrenggi yang besar-besar dan panas
digelorai nafsu telah mencekal
lengannya.
“Kenapa musti takut...?” ujar
laki-laki itu. Nafasnya yang keras dan panas menghembushembus
ke muka Rara Murni.
“Keparat! Lepaskan tanganku!
Lepaskan!” teriak Rara Murni.
Tiba-tiba Kalasrenggi menyentakkan
tangan itu. Rara Murni tenggelam ke dalam
pelukannya yang beringas dan ganas.
Ciumannya bertubi-tubi di paras jelita gadis itu. Rara
Murni memekik. Meronta dan memekik!
Badannya ditekan erat-erat ke dinding kuil oleh
Kalasrenggi, membuatnya hampir tak
bisa meronta dan menghindarkan kepalanya dan ciumanciuman
laki-laki itu. Bahkan Rara Murni tak
bisa berbuat sesuatu apa ketika Kalasrenggi dengan
beringasnya menarik kain yang
menutupi dadanya!
Rara Murni memekik lagi ketika
badannya digulingkan ke lantai kuil. Kedua kakinya
dilejang-lejangkannya. Namun
lejangan-lejangan ini hanya membuat kain yang dipakainya
menjadi turun sampai ke paha.
Pemandangan ini membuat nafsu yang sudah menggejolak dalam
diri Kalasrenggi jadi mengamuk
dengan dahsyat.
Rara Mumi menjerit tiada
henti-hentinya. Menjerit meski dia tahu bahwa jeritan itu tak
ada artinya bagi Kalasrenggi,
menjerit meskipun tahu bahwa dia dalam keadaan begitu rupa tak
akan mungkin lagi menyelamatkan diri
dan kehormatannya!
Dalam nafsu yang mengamuk itu
mendadak Kalasrenggi merasakan sesuatu menyambar
di atas punggungnya. Belum lagi dia
sempat palingkan kepala untuk melihat benda apa yang
menyambar itu maka terdengarlah
suara bergedebukan di lantai kuil! Dan sesaat bila Kalasrenggi
memalingkan kepala maka terkejutlah
dia, terkejut seperti melihat setan berkepala tujuh! Tiga
sosok tubuh bergeletakkan di lantai
kuil!
Bukan saja tiga sosok tubuh yang
bergeletakkan itu yang mengejutkan Kalasrenggi tapi
terlebih lagi ialah ketika mengenali
bahwa ketiga manusia ini adalah anak buahnya sendiri, yang
tadi disuruhnya kembali ke Kotaraja
untuk memberikan laporan pada Raden Werku Alit bahwa
tugas penculikan atas diri Rara
Mutni telah dilaksanakan.
Nafsu yang membara di tubuh
Kalasrenggi dengan serta merta mengendur dan lenyap
sama sekali. Perlahan-lahan
laki-laki ini berdiri dan meninggalkan Rara Murni yang tadi hampir
saja menjadi mangsa kebejatannya.
Ketika diperhatikannya ketiga anak
buahnya itu ternyata tidak bernafas lagi alias sudah
menjadi mayat! Muka-muka mereka
membiru sedang pada kening masing-masing dilihatnya tiga
deretan angka-angka 212. Muka yang
biru itu diketahuinya adalah akibat pukulan atau tamparan
yang ampuh sekali. Tapi adanya
angka-angka 212 pada kening ketiga orang ini adalah tidak
dimengerti sama sekali oleh
Kalasrenggi!
Pada saat dirinya dilepaskan oleh
Kalasrenggi maka pada saat itu pula dengan serta merta
Rara Murni bangkit berdiri dan
hendak lari ke pintu kuil. Namun baru tiga langkah kedua
kakinya bergerak, gadis ini hentikan
langkah, darahnya tersirap dan mukanya memucat. Pada
pintu kuil sesosok tubuh yang
memakai kerudung hitam berdiri dengan bertolak pinggang. Tak
bisa tidak pastilah manusia ini anak
buah Kalasrenggi juga, pikir Rara Murni...
Kalasrenggi sendiri ketika melihat
bayangan seseorang di pintu kuil cepat menoleh dan
kembali mukanya dilanda rasa
terkejut! Dia tidak kenal dengan manusia berkerudung di pintu
itu, tapi dia pasti betul bahwa
laki-laki ini bukanlah orangnya, tapi kerudung hitam yang
dikenakannya adalah kerudung salah
seorang anak buahnya yang telah menemui ajal dengan cara
yang aneh itu! Bukan tidak mustahil
manusia ini pulalah yang telah menamatkan riwayat tiga
anak buahnya itu!
Meski amarahnya tidak terkirakan
namun Kalasrenggi tidak mau bertindak gegabah.
Sepasang matanya memandang
tajam-tajam seperti mau menembus kerudung yang menutupi
kepala sosok tubuh manusia yang
berdiri di pintu kuil itu!
“Tamu tak diundang, silahkan buka
kerudung!” kata Kalasrenggi.
Orang yang di pintu menyeringai di
balik kerudung hitamnya. Lalu terdengarlah suara
tertawanya, mula-mula mengekeh
perlahan, tapi kemudian menjadi tawa bergelak yang
menggetarkan
gendang-gendang telinga serta menggetarkan dinding-dinding kuil tua itu!
Kalasrenggi
bersiap-siap dengan tenaga dalamnya dan berlaku waspada. Kalau suara
tertawa
manusia ini dapat menggetarkan gendang-gendang telinga bahkan menggetarkan
dinding
kuil,
maka ini suatu pertanda bahwa siapa pun adanya manusia ini, dia bukanlah orang
sembarangan!
Dan semakin yakin Kalasrenggi bahwa orang inilah yang telah menewaskan
ketiga
anak buahnya.
Akan
Rara Murni, kalau tadi hatinya kecut dan takut melihat munculnya manusia
berkerudung
ini, maka setelah mengetahui bahwa dia bukanlah di pihaknya Kalasrenggi,
diamdiam
Rara Murni menjadi sedikit lega
hatinya. Tapi dia tak tahu apakah manusia yang baru
datang ini adalah tuan penolongnya
ataukah seseorang yang lebih bejat dan terkutuk dari
Kalasrenggi! Dalam pada itu dia
sendiri masih belum dapat melihat tampang orang ini.
Hati Kalasrenggi serasa dibakar
karena ucapannya disahuti dengan suara tertawa macam
begitu oleh si kerudung hitam. Maka
berkatalah dia dengan menunjukkan nyali besar:
“Kalau kau tak mau buka kerudung,
terpaksa aku turun tangan....”
Orang berkerudung hentikan
tertawanya. Dan dia buka mulut menyahuti: “Diri manusia
tidak diukur dari tampangnya, tapi
dari hatinya! Bila dia seorang prajurit, maka kejujuran hati,
kesetiaan dan baktinya pada
kerajaanlah yang menjadi ukuran!” Merah paras Kalasrenggi
mendengar kata-kata ini.
Si kerudung hitam tertawa bergumam
dan berpaling pada Rara Murni dan berkata:
“Bukan
begitu Tuan Puteri Rara Murni...?”
Rara
Mumi tak menyahuti. Tapi dia menjadi terkejut karena tak menyangka kalau
lakilaki
itu
tahu namanya. Dan beratlah dugaannya bahwa laki-lakl ini adalah orang dalam
juga.
Orang
kerajaan juga, entah pengkhianat entah seorang penolong. Tapi kalau dia
bermaksud
menolong,
mengapa musti pakai kerudung hitam segala?
“Tapi...”
kata laki-laki yang di pintu pula melanjutkan bicaranya, “Kalau kau memang
kepingin
melihat tampangku, baiklah! Aku tak keberatan untuk membuka kerudung hitam ini.
Tampangku
memang buruk. Namun jika dibandingkan dengan tampangmu, masih mendingan
aku
ke mana-mana!” Sambil tertawa-tawa laki-laki ini membuka kerudung hitam yang
menutupi kepalanya.
-- == 0O0 == --
DUABELAS
Bila
Rara Murni memandang ke muka maka di balik kerudung yang telah dibuka itu
ternyata
laki-iaki yang berdiri di pintu adalah seorang pemuda gagah berambut gondrong.
Meski
tertawanya
tadi mengekeh dan bergelak namun parasnya yang gagah itu condong kepada paras
anak-anak.
Sebaliknya
begitu menyaksikan tampang manusia di depannya, kedua mata Kalasrenggi
menyipit,
kulit mukanya mengerenyit. Otaknya berputar dengan cepat, mengingat-ingat di
mana
dia pernah melihat pemuda ini
sebelumnya. Dan secepat dia ingat maka menggeramlah
Kalasrenggi. Pemuda yang ada di
hadapannya saat itu tak lain daripada pemuda yang malam tadi
telah berteduh di teratak di luar
Kotaraja sewaktu hari hujan lebat dan sewaktu dia tengah bicara
dengan Werku Alit! Juga pemuda
inilah yang kemudian ditotok Werku Alit! Dan dia sendiri
menghadiahkan satu tendangan!
“Ingat siapa aku...?”
“Saudara, apa urusanmu dalam hal
ini?!” bentak Kalasrenggi garang. Tangan kirinya
menyelinap ke balik pinggang di mana
tersisip sebilah keris.
“Ah... tentu ada saja, Saudara.
Pertama, kau telah menghadiahkan tendangan padaku
malam tadi. Enak juga tendangan
itu. He,.. he... he.... Lalu, aku tidak begitu
suka pada manusiamanusia
yang bersifat ular kepala dua,
pengkhianat besar serta tukang rusak kehormatan
perempuan.... Apa itu kurang cukup
untuk bikin urusan denganmu?!”
“Hem....” Kalasrenggi menggumam.
“Jadi hari ini aku berhadapan dengan seorang
pendekar budiman huh?! Satu hal yang
menyenangkan sekali!” Habis berkata begini Kalasrenggi
keluarkan suara berdengus dari
hidungnya. “Terangkan dulu siapa kau punya nama!” katanya
kemudian.
“Ah, kau keliwat ramah tanya-tanya
segala nama. Namaku sudah kutuliskan pada kening
ketiga anak buahmu!” jawab si pemuda
pula.
Kalasrenggi tertawa mengejek. “Baru
kali ini aku bertemu manusia yang namanya adalah
tiga buah angka. Angka-angka gila!”
Si pemuda tertawa. “Angka-angka itu
mungkin gila! Tapi tidak segila pengkhianat
macam kau Kalasrenggi!”
“Kau sudah tahu namaku. Kenapa tidak
lekas kabur tinggalkan tempat ini?!”
“Apa kabur dari sini? L.alu kau
teruskan maksud busukmu terhadap Tuan Puteri Rara
Murni? Aku tidak sebodoh dan
sepengecut yang kau sangka, Kalasrenggi!”
“Kalau betul kau punya nyali, tahan
ini!” bentak Kalasrenggi garang.
Dengan satu lompatan cepat
Kalasrenggi lancarkan serangan tangan kosong. Tapi
serangan yang hebat ini dapat
dielakkan lawan dengan mudah bahkan sambil bersiul dan tertawatawa.
“Kalasrenggi, kalau mau baku jotos
jangan di dalam sini, mari keluar!” kata si pemuda
rambut
gondrong atau pendekar 212 Wiro Sableng. Sengaja dia
berkata begitu karena khawatir
dalam pertempuran nanti Rara Murni
yang juga berada di ruangan itu akan mendapat celaka.
“Tak usah banyak mulut! Kau harus
mampus disaksikan ketiga mayat anak buahku!”
bentak Kalasrenggi pula. Untuk kedua
kalinya kepala pasukan Pajajaran yang berkhianat ini
menyerang, lebih hebat dari tadi.
Tiba-tiba orang yang diserangnya lenyap dari hadapannya.
Kemudian di belakangnya terdengar
suara siulan. “Aku di sini Kalasrenggi, mengapa
menyerang tempat kosong?!”
Kalasrenggi kertakkan rahang. Dia
berbalik dengan cepat dan menyerang lebih ganas.
Tangannya bergerak cepat, tendangan
kaki bertubi-tubi. Keseluruhannya mengeluarkan angin
yang keras dan bersiuran.
Agaknya permainan silat tangan
kosong Kalasrenggi tidak dari tingkat rendahan. Dari
angin pukulan dan tendangannya Wiro
sudah dapat menjajaki kehebatan lawan. Karena tak mau
ambil resiko pemuda ini segera
bergerak cepat. Dalam
waktu yang singkat tiga jurus berlalu
sebat.
Pada saat memasuki jurus keempat Wiro Sableng melihat Rara Murni melarikan diri
keluar
kuil.
Sambil
rundukkan kepala mengelakkan hantaman tinju Kalasrenggi, Wiro Sableng
berseru:
“Rara, tunggu! Jangan pergi dulu!”
Tapi
mana si gadis mau dengar. Sambil menyingsingkan kainnya ke atas Rara Murni
mempercepat
larinya. Terpaksa pendekar 212 lepaskan pukulan tangan kanan ke arah kedua kaki
gadis
itu. Serangkum angin melesat deras dan dingin. Rara Murni merasa kedua kakinya
seperti
disiram
air es, kemudian kedua kakinya itu kaku tak bisa lagi digerakkan. Larinya
dengan serta
merta
terhenti.
Melihat
lawan melakukan dua gerakan sekaligus maka kesempatan ini dipergunakan oleh
Kalasrenggi
untuk membobolkan pertahanan lawan. Tendangan kaki kanan dan tinju kiri kanan
menyerang
susul menyusul ke tempat-tempat terlemah dari Wiro Sableng!
Namun
dengan membentak keras dan berkelebat cepat ketiga serangan lawan dapat
dikelit
oleh pendekar 212. Penasaran sekali Kalasrenggi memburu lagi dengan satu
serangan
berantai.
Kali ini, pada saat tangan kanan Kalasrenggi memukul ke muka, pendekar 212
sengaja
menyongsong
datangnya lengan lawan. Maka beradulah lengan dengan lengan!
Kalasrenggi
terpekik. Tubuhnya terpelanting ke belakang sampai punggungnya
menghantam
dinding kuil. Lengan kanannya yang beradu dengan lengan lawan kelihatan biru
dan
bengkak besar. Sakitnya bukan alang kepalang! Karena tadi Wiro Sableng
melayaninya
seperti
acuh tak acuh, Kalasrenggi tidak menduga kalau kehebatan lawan demikian
lihainya.
Sesudah
mengurut lengannya yang bengkak biru serta mengalirkan tenaga dalam ke bagian
yang
terpukul
itu maka kemudian Kalasrenggi dengan tangan kirinya mencabut sebilah keris dari
balik
pinggang.
Senjata ini sebuah senjata pusaka juga rupanya karena memancarkan sinar
membiru.
Tanpa
banyak bicara kepala pasukan Pajajaran itu segera lancarkan serangan dahsyat.
Kalasrenggi
memang seorang kidal dan permainan kerisnya juga sudah mencapai tingkat yang
matang. Apalagi dengan mempergunakan
tangan kiri itu maka serangan-serangannya sukar
diduga.
Namun demikian pendekar 212 sudah
punya rencana sendiri terhadap manusia kepala
dua ini! Dibiarkan dan dielakkannya
saja untuk beberapa lamanya serangan-serangan keris
Kalasrenggi. Kepala pasukan
pengkhianat ini semakin gemas dan geram. Dipercepatnya
gerakannya namun tetap saja tiada
mencapai hasil yang dikehendakinya.
“Pegang senjatamu erat-erat,
Kalasrenggi.” kata pendekar 212 memberi ingat.
Kalasrenggi masih belum mengerti apa
maksud ucapan lawannya itu. Bahkan dia sama
sekali tidak dapat melihat dengan
jelas gerakan kedua tangan Wiro Sableng. Tahu-tahu saja
dirasakannya keris pusakanya
terlepas dari tangan. Laki-laki ini mengeluarkan seruan tertahan.
Memandang dengan tak percaya pada
tangan kirinya yang kosong!
Wiro Sableng tertawa mengekeh dan
melompat ke muka. Tangan kanannya terkembang
seperti hendak mencengkeram muka
Kalasrenggi. Yang
diserang cepat merunduk dan berusaha
menyodokkan
lipatan sikunya ke perut lawan. Tapi kali ini Kalasrenggi tertipu. Tangan yang
menyerang
dan hendak mencengkeram itu hanya gerakan palsu belaka. Tanpa dapat dikelit
lagi
oleh
Kalasrenggi maka dua ujung jari tangan kanan Wiro Sableng meluncur ke rusuk
kirinya.
Mendadak
sontak detik itu juga tubuh Kalasrenggi menjadi kaku tegang. Tangan dan kakinya
tak
bisa
digerakkan lagi, tapi mulutnya masih sanggup bicara, telinganya masih bisa
mendengar,
demikian
juga indera-inderanya yang lain masih tetap seperti biasa. Pendekar 212 sengaja
menotok
laki-laki itu demikian rupa, sesuai dengan rencananya.
Sambil
tertawa-tawa dan garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong Wiro Sableng
memandangi
Kalasrenggi beberapa lamanya. Kemudian pendekar muda ini melangkah
mendapatkan
Rara Murni. Dilepaskannya totokan yang telah memakukan kedua kaki gadis itu.
Rara
Murni begitu merasa kakinya bebas segera hendak lari namun tangannya cepat
dipegang
oleh
Wiro Sableng.
“Lepaskan
tanganku!” teriak Rara Murni. “Terhadapku tak usah takut, Rara Murni.” kata
pendekar
212 pula.
“Kau
siapa?!” tanya Rara Murni dan berusaha melepaskan tangannya yang dipegang.
“Siapa aku itu soal nanti. Tapi
apakah kau akan tinggalkan begitu saja Kalasrenggi tanpa
memberikan
satu hukuman yang setimpal terhadapnya?!”
“Aku
akan laporkan kejahatannya terhadap Sang Prabu. Pasukan Kerajaan akan
menyeretnya
ke Pakuan! Dia pasti akan dibuang ke pulau Neraka! “
Pendekar
212 tersenyum. “Kuil ini juga bisa menjadi tempat neraka baginya, Rara Murni.
Mari,
aku akan tunjukkan cara yang bagus untuk menghukum pengkhianat dan manusia
bejat
macam dia!” Dengan seutas tali
pendekar 212 mengikat kedua pergelangan kaki Kalasrenggi.
Kalasrenggi yang saat itu meski
tubuhnya kaku tapi masih bisa merasa, melihat dan bicara:
“Keparat! Kau mau buat apa terhadapku?!”
“Ah, kau masih bilang keparat,
Saudara...” jawab pendekar 212 dengan tertawa.
“Pernahkah kau melihat dunia
terbalik?! Melihat dengan kaki ke atas kepala ke bawah?!”
“Apa maksudmu?!” bentak Kalasrenggi.
Tapi dalam hatinya dia sudah dapat menduga
apa yang bakal dilakukan oleh Wiro
Sableng dan tubuhnya mengucurkan keringat dingin.
“Apa maksudku kita akan saksikan
sama-sama, Kalasrenggi,” kata Wiro Sableng pula.
Sekali saja tali yang mengikat kedua
pergelangan kaki Kalasrenggi ditariknya maka
terbantinglah laki-laki itu ke
lantai kuil. Kutuk serapah dan keluh kesakitan bersemburan dari
mulut Kalasrenggi.
“Sudahlah, jangan memaki-maki juga,
tak ada gunanya,” kata pendekar 212. Dia
memandang ke atas atap kuil dan
dilihatnya sebuah tiang yang membentang memalang di bawah
atap. Ujung tali yang dipegangnya
dilemparkannya ke atas. Bila ujung tali itu menjuntai ke
bawah kembali setelah terlebih
dahulu menyangkut di tiang palang maka pendekar 212 mulai
mengerek badan Kalasrenggi.
Gelap dunia ini bagi Kalasrenggi.
Dalam tempo yang singkat mukanya menjadi sangat
merah karena darah -yang mengalir
turun memberati mukanya. Laki-laki ini coba meronta, tapi
tubuhnya kaku tak bergerak, hanya
terbuai-buai saja macam karung diisi pasir dan digantung!
Yang bisa dilakukan Kalasrenggi
hanya memaki dan memaki tiada habisnya dia menjadi letih
sendiri.
Pendekar 212 tertawa mengekeh macam
kakek-kakek. Dia berpaling pada Rara Murni
sebentar lalu bertanya pada
Kalasrenggi: “Bagaimana, indahkah dunia ini bila dilihat terbalik...?”
“Demi setan bila bebas aku bersumpah
untuk mencincang tubuhmu keparat...!” hardik
Kalasrenggi.
“Sumpahmu terlalu hebat Kalasrenggi.
Tapi bisakah kau membebaskan dirimu dari jarijari
tanganku ini...?” Dengan
senyum-senyum Wiro Sableng melangkah mendekati Kalasrenggi.
Kemudian sepuluh jari-jari tangannya
menggerayang menggelitiki tulang rusuk Kalasrenggi!
Laki-laki ini menjerit, melolong
setinggi langit sampai suaranya menjadi serak!
Wiro Sableng tertawa senang. Rara
Murni sendiri hampir-hampir tak dapat menahan
gelinya. Dan Kalasrenggi terus juga
berteriak, menjerit, melolong dan memekik dengan suaranya
yang serak parau itu!
“Rara Murni, ayo mengapa diam saja?
Kalau kau ingin membalaskan sakit hatimu
terhadapnya, inilah saatnya,” kata
Wiro Sableng pula.
Meski amarahnya memang masih meluap
terhadap Kalasrenggi namun berada lebih lama
di situ menimbulkan kekhawatiran
bagi Rara Murni. Gadis ini walau bagaimanapun tak dapat
memastikan manusia yang bagaimana
adanya pemuda rambut gondrong itu, meskipun dianya
telah menolong dan menyelamatkan
diri serta kehormatannya. Karenanya tanpa banyak bicara
menyahuti ucapan Wiro Sableng tadi,
juga tanpa membuang waktu, Rara Murni segera lari
meninggalkan kuil itu. Kali ini Wiro
Sableng tidak berbuat apa-apa lagi untuk menahan Rara
Murni, diikutinya saja gadis itu
dengan pandangan mata.
“Gadis tolol!” gerendeng pendekar
212 dalam hati. “Dikiranya Kotaraja dekat dari sini!”
Kemudian ketika Rara Murni lenyap di
balik kelebatan pohonpohon di lembah Limanaluk itu
maka pendekar 212 segera angkat kaki
pula, menyusul dengan diam-diam dari belakang....
-- == 0O0 == --
TIGA BELAS
Begitu keluar dari lembah Limanaluk
maka sesaklah nafas Rara Murni karena telah
berlari itu. Sebelumnya jangankan
berlari, berjalan sejauh itu pun tak pernah dilakukannya! Dia
berhenti dan berdiri bersandar ke
sebatang pohon rindang. Saat itulah baru disadarinya keadaan
pakaiannya yang tidak menutupi
badannya, terutama letak kain di bagian dadanya. Segera
dibetulkannya letak pakaiannya,
dirapikannya pula rambutnya. Dia menunggu sampai nafasnya
yang memburu dan dadanya yang sesak
pulih seperti sedia kala. Saat itu kedua kakinya pun
terasa sakit.
Rara Murni merasa bahwa dia tidak
sendirian di tempat itu. Dipalingkannya kepalanya.
Darahnya tersirap karena begitu
kepalanya diputar maka kedua matanya membentur sesosok
tubuh yang berada dekat sekali di
sampingnya. Orang ini ternyata adalah pemuda rambut
gondrong yang di kuil tua tadi!
“Letih?”
tanya Wiro Sableng dengan senyum-senyum.
Rara
Murni tak menjawab.
“Kotaraja
tidak dekat dari sini, Rara...”
“Aku
tahu...”
“Lalu,
mengapa lari-lari macam begini? Mungkin juga aku membuat kau jadi takut?
Rambutku
yang gondrong ini barangkali ya?”
“Saudara,
kau ini siapa sebenarnya?”
“Aku?
Aku ya aku...” jawab Wiro pula.
“Kalau
kau hendak bermaksud jahat pula terhadapku sebaiknya berlalunya saat ini juga!”
“Ah...
tampangku memang jelek, tapi aku tidak sejahat yang kau sangkakan Rara Murni.
Aku
hanya tak ingin melihat kau musti lari setengah mati sampai di Kotaraja!
Mungkin
seperempat
jalan kau sudah mengeletak pingsan!”
Rara
Murni terdiam. Tapi kemudian dia berkata: “Walau bagaimanapun aku musti
kembali ke Kotaraja selekas
mungkin...”
“Itu
memang betul. Tapi bukan dengan lari caranya. Mari ikut aku...”
“Ikut
ke mana?”
“Dengar Rara, kau tak perlu terlalu
bercuriga terhadapku. Di tepi sungai sana ada
beberapa ekor kuda. Kau bisa naik
kuda?”
Gadis itu menggeleng.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya.
“Kalau begitu...” katanya, “Kau terpaksa naik
kuda bersama-samaku!”
Maka merahlah paras Rara Mumi.
“Jangan bicara seenak perutmu, saudara!” bentak
gadis ini.
“Heh... aku toh tidak bicara usil.
Habis kalau kau tak bisa naik kuda sendiri
bagaimana?”
“Aku lebih baik jalan kaki!” sahut
Rara Murni dengan hati dan suara keras.
Wiro Sableng tertawa. “Dengar Rara
Murni, aku mempunyai firasat bahwa peristiwa
penculikanmu ada ekornya. Ekor yang
panjang dan besar. Kalau Kalasrenggi berkhianat
terhadap Sang Prabu, terhadap
kerajaan Pajajaran, bahkan bukan hanya sekedar berkhianat tapi
juga hendak bikin celaka terhadap
kau, maka tidak mustahil masih ada pejabat-pejabat tinggi
kerajaan lainnya yang turut terlibat
dalam pengkhianatan ini...”
Ucapan Pendekar 212 itu memang
terpikir ada benarnya oleh Rara Murni. Tapi
menunggang kuda bersama pemuda itu,
tentu saja dia merasa malu sekali. Apa akan kata orang
bila melihat hal itu nanti?
Kemudian didengarnya pula oleh gadis
ini suara Wiro Sableng kembali: “Makin cepat
kau sampai ke Kotaraja semakin
baik...”
Rara Murni termenung sejurus. Tapi
hatinya tetap keras tak mau naik kuda bersama
pemuda itu. Tanpa banyak bicara
gadis ini kemudian putar tubuhnya dan bergegas
meninggalkan tempat itu.
Wiro Sableng menggerutu dalam
hatinya. “Gadis keras kepala! Kalau sudah lecet kulit
kakinya baru tahu rasa!” Dia
geleng-geleng kepala dan melangkah pula mengikuti.
Beberapa lama kemudian mereka sampai
di tepi sebuah jalan umum. Selama itu tak satu
pun dari keduanya yang buka mulut.
“Rara,” kata Wiro ketika mereka
sampai di jalan umum itu. “Ada baiknya kita berhenti
istirahat di sini. Siapa tahu ada
kereta atau gerobak yang lewat dan kita bisa menumpang.”
Gadis itu tak menjawab. Tapi dia
menghentikan langkah karena memang kedua kakinya
sudah letih. Hampir sepuluh menit
mereka berdiri di tepi jalan itu tapi tak satu kendaraan pun
yang lewat.
“Rara Murni...” kata Wiro Sableng. “Agaknya kau tidak
senang terhadapku...? Tak mau
bicara
denganku?”
Rara
Murni diam saja. Sebenarnya memang tak ada yang harus ditidaksenangkannya
terhadap
pemuda itu. Hanya segala apa yang tadi terjadi dan segala apa yang hampir
menimpa
dirinyalah
yang membuat dia jadi tak banyak bicara dan merasa bercuriga terhadap pemuda
berambut
gondrong yang sampai saat itu masih belum juga diketahuinya siapa adanya.
Wiro
Sableng memandang ke ujung jalan. Sepi tiada bermanusia. “Kita berangkat lagi,
Rara...?”
“Saudara....”
kata Rara Murni untuk pertama kalinya sesudah sedemikian
lama berdiam
diri. “Kau sendiri siapa sebenarnya
dan mau menuju ke mana?”
“Ah... ini pertanyaan yang bagus
sekali. Bagus sekali.” kata pendekar 212 dengan
senyum-senyum. “Siapa aku, kurasa
tidak penting. Dan ke mana aku mau menuju... aku sendiri
sebenarnya juga tidak tahu... !”
Rara Murni memandang dengan sudut
matanya memperhatikan pemuda itu.
Jawabannya seperti jawaban orang
yang tidak betul pikirannya, atau mungkin pula jawaban itu
hanya sekedar jawaban belaka.
Tiba-tiba keduanya memalingkan kepala ke ujung jalan sebelah
kanan. Di kejauhan kelihatan muncul
sebuah gerobak, ditarik oleh dua ekor lembu. Di bagian
depan
gerobak yang terbuka itu duduk dua orang laki-laki. Mereka berpakaian petani
sedang
setengah
dari gerobaknya sarat dengan sayur mayur.
“Nasib
kita baik juga rupanya Rara,” kata Wiro Sableng. Dan ketika gerobak itu datang
mendekat,
pemuda ini segera lambaikan tangannya. Gerobak berhenti.
“Saudara,
apakah kalian menuju ke Kotaraja?” Kedua orang di atas gerobak tak
menjawab
pertanyaan Wiro Sableng melainkan memandang lekat-lekat pada gadis di
sampingnya.
“Kalau
kami tak salah lihat,” kata laki-laki yang mengemudikan gerobak, “Agaknya
kami
berhadapan dengan Tuan Puteri Rara Murni, adik Sang Prabu Pajajaran...”
Rara
Murni mengangguk dan kedua orang itu segera turun dari kereta lalu menjura.
“Ada hal apakah sampai Tuan Puteri
berada di tempat ini...?” tanya laki-laki yang
memegang kemudi gerobak. Kedua
matanya kemudian melirik sekilas pada Wiro Sableng, lalu
melirik pada kawannya.
Rara Murni hanya menarik nafas
panjang. Karena mengira pemuda rambut gondrong
dan berpakaian sederhana itu adalah
hamba sahaya atau pembantu Rara Murni maka yang
ditanya menjawab dengan anggukan
kepala acuh tak acuh. Seorang dari mereka kemudian
berkata pada Rara Murni: “Jika Tuan
Puteri bermaksud hendak kembali ke Pakuan, kami tentu
saja bersedia bahkan merasa
berkewajiban untuk membawa Tuan Puteri. Tapi maafkanlah
keadaan kereta kami, kotor dan penuh
sayuran...”
“Itu tak menjadi apa, pokoknya asal
sampai ke Kotaraja.” Yang
menjawab adalah Wiro
Sableng.
Ini mengesalkan kedua orang itu. Kemudian mereka menolong
Rara Murni naik ke
atas gerobak. Gadis itu duduk di
sebelah muka, di samping pengemudi sedang kawannya
bersama Wiro Sableng duduk di
sebelah belakang, di samping tumpukan sayur. Tak lama
kemudian gerobak itu pun
bergeraklah.
-- == 0O0 == --
EMPAT BELAS
Kesunyian sepanjang jalan itu kini
dipecahkan oleh suara deru roda gerobak. Sekalisekali
diselingi dengan gemeletakkan-
gemeletakkan bila roda gerobak menggilas bebatuan atau
suara kayu-kayu kendaraan itu
bergerobyakan ketika salah satu rodanya memasuki lobang
jalanan.
Saat itu masih cukup jauh dari
Kotaraja, Pendekar 212 duduk melunjurkan kedua
kakinya di bagian belakang kereta.
Matanya terpejam-pejam oleh hembusan angin siang yang
sejuk. Beberapa kali dia sudah
menguap. Orang yang duduk di hadapannya senantiasa
membuang muka, segan atau tepatnya
tak senang memandang pada pemuda ini yang sebentarsebentar
menguap, sebentar-sebentar menggaruk
kepalanya yang berambut gondrong.
Beberapa saat kemudian Wiro Sableng
membuka juga kedua matanya. Dia menggeliat.
Ini menambah ketidaksenangan orang
yang di hadapannya.
“Saudara, aku minta mentimunmu
satu....” kata Wiro Sableng. Dan tidak menunggu
jawaban pemilik sayuran itu langsung
saja Wiro Sableng mengambil sebuah mentimun besar
dan menggerogotinya.
Orang yang di depan Wiro Sableng
memaki dalam hati. Rahangnya terkatup rapat-rapat.
“Rara Murni...” seru Wiro Sableng
tiba-tiba. “Apakah kau suka makan mentimun?”
Di bagian depan kereta Rara Murni
berpaling sebentar tapi tak menjawab.
“Panas-panas begini enak sekali
makan mentimun, untuk pelepas haus dan
mendapatkannya tak usah susah
payah...”
“Terima kasih... aku tidak haus,
Saudara....” Terdengar jawaban gadis itu.
“Hem....” Wiro Sableng menggumam dan
terus juga mengunyah mentimun dalam
mulutnya, dan gerobak terus juga
bergerak menempuh jalan berdebu dan berlobang serta
berbatu-batu.
Di bagian belakang kereta Wiro
Sableng mengusap-usap perutnya. Telah tiga butir ketimun amblas ke dalam perut
itu dan betapa asamnya tampang orang yang di hadapannya.
Kini kembali Wiro Sableng memejamkan
matanya. Kalau perut sudah kenyang memang kantuk segera datang.
Mendadak gerobak itu dibelokkan ke
sebuah jalan buntu yang menuju sungai oleh
pengemudinya. Begitu gerobak
berhenti maka terdengarlah suara Rara Murni bertanya:
“Saudara, kenapa ke sini dan
berhenti di sini?”
Pengemudi gerobak tertawa mengekeh.
Tiba-tiba tertawanya yang menjijikkan itu
lenyap dan diganti dengan teriakan
Rara Murni. Dan di bagian belakang kereta sendiri petani
yang duduk dihadapan Wiro Sableng
tiba-tiba mencabut sebatang golok dari balik pinggang.
Begitu golok tercabut keluar dari
sarungnya tanpa menungu lebih lama segera dibacokkan ke
kepala Wiro Sableng yang saat itu
masih pejamkan mata, keenakan tidur-tidur ayam tertiup
angin sejuk sepanjang perjalanan!
Satu jengkal lagi mata gotok yang
tajam akan membelah batok kepala pendekar 212,
maka terdengarlah bentakan
menggeledek.
“Ciaaat!”
Tubuh petani yang menyerang
terpental ke luar gerobak. Goloknya lepas dan tubuh itu
kemudian tergelimpang di tanah
dengan perut pecah dihantam tendangan! Manusia ini
hembuskan nafas tanpa keluarkan
sedikit suara pun!
Pandangan bola mata pendekar 212
menyorot bersinar. “Kentut betul!” makinya dan
meludahi muka mayat petani ini.
“Orang lagi enak-enak tidur mau dibacok, rasakan sendiri!
Puah...!” Diludahinya lagi muka
mayat itu kemudian dipalingkannya kepalanya dengan cepat.
Rara Murni tengah meronta-ronta
melepaskan cekalan petani yang mengemudikan
gerobak sayur.
“Saudara, tolong aku!” teriak gadis
itu pada Wiro Sableng.
“Petani sialan!” gerendeng Wiro
Sableng seraya melompat dari atas gerobak.
“Budak hina! Pergi dari sini atau
kutebas batang lehermu!” teriak laki-laki yang
mencekal Rara Murni. “Sreet!”
Dicabutnya sebuah golok dari batik pinggang.
“Hemmm... jadi kau hanyalah seorang
rampok bejat yang berkedok sebagai petani huh?
Seekor serigala yang berbulu
domba.... Lepaskan gadis itu atau jidatmu kubikin rengkah!”
“Anjing buduk tak tahu diri, dikasih
kebebasan malah minta mampus!”
Dengan tangan kirinya pengemudi
gerobak itu totok tubuh Rara Murni. Melihat
kelihayan totokan laki-laki itu
pendekar 212 segera maklum bahwa orang itu bukanlah seorang
petani biasa atau pengemudi gerobak
yang bodoh, tapi seorang pendekar lihay yang tengah
menyamar!
Maka ketika senjata lawan berkelebat
ke arah kepalanya pendekar 212 bergerak cepat
dan tak mau kasih peluang lagi.
Pengemudi gerobak itu buka matanya lebih lebar sewaktu
melihat orang yang diserangnya
tenyap dari hadapannya. Sambaran goloknya yang deras
mengenai tempat kosong. Ini membuat
laki-laki itu terdorong ke muka dan pada saat inilah
kedua matanya melihat sosok tubuh
kawannya yang menggeletak di tanah dengan perut pecah!
Berdiri bulu kuduk laki-laki ini.
Tapi hanya sebentar saja. Rasa ngeri ini segera digantikan
dengan rasa geram dan amarah yang
meluap. Tubuhnya diputar kembali, untuk kedua kalinya
berkiblatlah senjatanya menyerang
Wiro Sableng.
Tapi kali yang kedua ini justru
adalah saat kematiannya! Senjatanya lagi-lagi
menghantam angin kosong dan sebelum
dia sempat mengirimkan serangan berikutnya maka
lima jari tangan dilihatnya
berkelebat dekat sekali ke arah keningnya, tak bisa dipapaki dengan
golok, tak bisa dikelit dengan
kecepatan yang bagaimanapun!
“Plaaak!”
Telapak tangan kanan pendekar 212
mendarat di kening laki-laki itu, disusul dengan
suara jerit kesakitan. Laki-laki itu
terguling ke tanah tidak sadarkan diri lagi. Kulit keningnya
hitam seperti terbakar dan di bagian
tengah kulit kening itu terteralah angka 212. Laki-laki ini
bernasib masih untung dari kawannya
karena pendekar 212 tidak menamatkan riwayatnya.
Wiro Sableng melepaskan totokan yang
mengakukan tubuh Rara Murni. “Hari ini
nasibmu sial terus-terusan rupanya,
Rara,” kata pemuda itu dengan senyum-senyum. Si gadis
tak berkata apa-apa. Mukanya masih
agak pucat. Dan Wiro Sableng berkata lagi: “Tapi ada juga
untungnya. Gerobak ini sekarang jadi
milik kita. Ayo kita teruskan perjalanan. Rara Murni naik
kembali ke atas gerobak. Wiro
Sableng mengemudikan gerobak itu. Sepanjang perjalanan gadis
itu tak habis pikir. Pemuda yang
duduk di sampingnya itu bertampang gagah, tapi aneh dan juga
lucu. Dan di samping itu kehebatan
yang telah disaksikan sendiri olehnya tadi diam-diam
membuat dia mengagumi si pemuda. Dan
sampai saat ini Rara Murni tidak tahu sama sekali
siapa nama pemuda itu!
Beberapa jauh di luar tembok
kerajaan, Wiro Sableng menghentikan gerobak. Dia
berpaling ke samping. Lalu berkata:
“Rara, Pakuan sudah di depan mata. Aku mengantarkan
kau hanya sampai di sini. Kau
bawalah terus gerobak ini, tak susah untuk
mengemudikannya....”
“Kau sendiri hendak ke mana,
Saudara?” tanya Rara Murni heran.
Pendekar 212 tertawa. “Ke mana aku
mau pergi itulah satu hal yang aku tidak bisa
jawab,” ujar Wiro Sableng pula.
“Cuma pesanku, jangan lupa untuk mengatakan segala
kejadian yang kau alami pada Sang
Prabu. Kurasa peristiwa-peristiwa yang kau alami itu
mempunyai latar belakang. Dan bukan
mustahil kalau masih ada pembesar-pembesar istana
lainnya yang menjadi pengkhianat
macam Kalasrenggi....”
Rara Murni mengangguk.
Kemudian Wiro Sableng berkata lagi:
“Juga jangan lupa mengirimkan sepasukan
prajurit ke kuil di lembah Limanaluk
itu untuk membekuk Kalasrenggi....”
Rara Murni mengangguk untuk kedua
kalinya. Ketika dilihatnya pemuda rambut
gondrong itu memutar tubuh hendak
berlalu, gadis ini cepat-cepat berkata: “Saudara... tunggu
dulu.”
Pendekar 212 putar tubuhnya kembali.
“Ada apakah Rara...?”
“Aku belum bilang terima kasih pada
kau...”
“Ah....” Wiro Sableng goyangkan
tangannya, “Tak usah... tak usah. Itu hanya
kebetulan saja....”
“Sang Prabu mungkin akan banyak
bertanya tentang kau. Kurasa lebih baik kau ikut
sama-sama ke istana.”
“Terima kasih. Tapi aku ada urusan
lain Rara....” jawab Wiro Sableng.
“Lalu kalau hem... kalau Sang Prabu
bertanya siapa namamu, bagaimana aku musti
menerangkannya?”
Wiro Sableng tertawa. “Nama itu
sebenarnya tidak ada arti apa-apa. Rara. Kita semua
dilahirkan tidak bernama.
Orang-orang tua kita yang memberi nama dan itu hanya kebiasaan
saja....”
“Jadi, apakah kau tidak punya nama?”
tanya Rara Mumi pula.
Wiro
Sableng tertawa lagi. “Namaku tidak penting Rara. Tapi kalau kau penasaran
ingat-ingat angka ini....” Habis
berkata begitu ditariknya saja ujung bawah kain yang dikenakan
Rara Murni. Dan dengan ujung jari
tangannya, dengan mempergunakan tenaga dalam tentunya,
maka dituliskannya tiga rentetan
angka 212.
Rara Murni memperhatikan angka itu.
“Dua satu dua...:” desisnya. Diangkatnya
kepalanya hendak mengatakan sesuatu
pada pemuda itu. Namun dia terkejut dan tak habis
heran. Si pemuda sudah tak ada lagi
di hadapannya, seakan-akan gaib lenyap ditelan bumi. Rara
Murni memandang berkeliling. Tapi
pendekar 212 tetap saja tidak kelihatan.
Gadis itu menghela nafas panjang.
“Pemuda aneh... agak ceriwis... tapi berhati polos....”
kata Rara Murni dalam hati.
Dicambuknya sapi-sapi penarik gerobak. Gerobak itu pun
bergeraklah menuju pintu gerbang
Kotaraja.
Tentu saja Prabu Kamandaka sangat
terkejut ketika mendapat keterangan dan
mengetahui apa yang telah terjadi
atas diri adiknya. Sepasukan prajurit kerajaan segera dikirim
ke lembah Limanaluk. Tapi mereka
datang terlambat karena saat itu pengkhianat Kalasrenggi
sudah tak bernafas lagi, mati
tergantung dengan darah bercucuran dari hidung, mata serta
telinga!
Rara Murni sendiri, secara diam-diam
menyuruh beberapa orang kepercayaannya untuk
mencari jejak Wiro Sableng si
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, namun usaha mereka siasia
belaka.
Hari itu juga di seluruh Kerajaan
diadakan pembersihan, termasuk di dalam istana. Tapi
hasilnya tidak memuaskan sama
sekali. Bahkan biang racun pengkhianat yaitu Raden Werku
Alit tetap tenang-tenang saja di
tempatnya di dalam gedungnya yang mewah di lingkungan
istana. Siapa yang menduga kalau
saudara sepenyusuan dari Sang Prabu sendiri yang menjadi
tokoh pengkhianat terbesar?
Satu-satunya orang yang ditangkap
dalam pembersihan yang diadakan ialah petani yang
menggagahi Rara Murni di tengah
jalan sewaktu naik gerobak. Namun sebelum dibawa ke
hadapan Sang Prabu, petani ini
berhasil merampas pedang seorang perajurit dan
menghunjamkannya ke batang lehernya.
Tak ampun lagi manusia itu meregang nyawa di situ
juga. Siapakah petani ini
sesungguhnya? Siapa pula kawannya yang telah ditamatkan
riwayatnya oleh pendekar 212
sebelumnya? Mengapa pula petani yang satu itu memutuskan
untuk membunuh diri sendiri? Dia dan
kawannya tiada lain adalah mata-mata kaki tangan kaum
pemberontak yang dikirimkan oleh
Mahesa Birawa untuk menemui Raden Werku Alit dan
menyelidiki suasana di Pajajaran
menjelang saat-saat penyerangan total diadakan! Seperti yang
diceritakan di atas, dalam
perjalanan menuju ibu kota kerajaan yaitu Pakuan, mereka telah
bertemu dengan Rara Murni, adik Sang
Prabu, bersama seorang laki-laki gondrong yang
mereka sangkakan hamba sahaya Rara
Murni. Maka saat itu timbullah niat mereka untuk
menculik gadis itu dan membawanya ke
tempat persembunyian kaum pemberontak di kaki
Gunung Halimun.
Namun maksud mereka itu membawa
celaka kepada diri mereka sendiri. Yang satu mati
dihajar pendekar 212. Yang satu lagi
roboh pingsan di tengah jalan kemudian ditangkap oleh
serdadu-serdadu kerajaan tapi
berhasil bunuh diri sebelum dibawa ke hadapan Sang Prabu,
sebelum
dipaksa untuk memberikan keterangan!
-- == 0O0 == --
LIMA
BELAS
Malam
itu untuk kesekian kalinya di dalam kemah besar diadakan pertemuan
kali
ini sangat penting sekali rupanya karena di luar kemah itu dijaga dengan ketat
oleh para pengawal. Pertemuan ini
bukan saja penting karena datangnya dua tokoh
sekutu dari kaum pemberontak yaitu
Adipati Warok Gluduk dari Rajasitu dan Adipati
Tapak Ireng dari Ratujaya, tapi juga
karena kabar yang dibawa oleh seorang kurir
Raden Werku Alit dari Kotaraja.
Sebagaimana biasa pertemuan penting
ini di:pimpin oleh Mahesa Birawa yang
duduk di kepala meja. Setelah
mempersilahkan kelima Adipati meneguk minuman
masing-masing maka Mahesa Birawa
segera membuka pembicaraan.
“Pertama sekali perkenankanlah saya
atas nama Adipati-Adipati yang terdahulu
datang ke sini dan juga atas nama
Raden Werku Alit, mengucapkan selamat datang
pada Adipati Warok Gluduk dan
Adipati Tapak Ireng. Kemudian kami juga
mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya atas tekad
Adipati-Adipati berdua untuk bersedia
membantu dan bersekutu dalam perjuangan
mencapai cita-cita kita yang besar
yaitu menggulingkan Pajajaran, menumbangkan
Kamandaka dari takhta kerajaannya
karena sesungguhnya selama Raden Werku Alit
masih hidup maka Kamandaka tidak
punya hak sama sekali untuk menjadi Raja
Pajajaran....”
Mahesa Birawa memuntir-muntir
kumisnya yang melintang dua tiga kali lalu
melanjutkan bicaranya: “Kedua
kalinya, pertemuan ini adalah juga untuk membahas
keterangan yang telah disampaikan
kurir dari Kotaraja. Diterangkan bahwa dua orang
mata-mata kita tertangkap. Yang satu
terbunuh dan yang satu lagi bunuh diri. Mayat
mereka dibuang ke kali. Mengenai
peristiwa ini ada sedikit keterangan yang bersimpang
siur sehingga belum dapat saya
menarik satu kesimpulan bagaimana sampai kedua matamata
kita itu mengalami nasib demikian
rupa. Kabar
keterangan yang paling buruk ialah
bahwa
salah seorang pembantu utama kita yaitu kepala pasukan Kalasrenggi juga telah
menemui
kematiannya. Dia digantung di sebuah kuil tua di lembah Limanaluk.
Mengenai
kematian Kalasrenggi ini ada hal-hal aneh dan keterangan yang agak
bersimpang
siur. Menurut kurir Raden Werku Alit, ketika pasukan kerajaan datang ke
kuil
itu, Kalasrenggi sudah tidak bernafas, digantung kaki ke atas kepala ke bawah
dan
pada
keningnya tertera guratan-guratan yang membentuk tiga buah angka yaitu angka
212....”
Mahesa
Birawa memandang berkeliling dan melihat paras-paras Adipati itu
keheran-heranan.
“Sukar
diduga siapa sebenarnya yang membunuh Kalasrenggi dan juga tak dapat
ditafsirkan
apa arti angka 212 itu! Di samping itu, sesudah kejadian itu Sang Prabu
memerintahkan
pembersihan besar-besaran di kerajaan. Namun semua orang kita sudah
menyingkir.
Dan menurut Raden Werku Alit sampai saat dia mengirimkan kurir itu
masih
belum ada kecurigaan terhadap dirinya. Namun demikian dalam sehari dua ini dia
akan
segera berangkat ke sini untuk berunding terakhir kali, menentukan kapan
penyerangan
dilakukan
terhadap Pajajaran. Raden Werku Alit berharap agar kita terus dalam
kesiap
siagaan.....”
Sunyi
sebentar, Adipati Lanabelong dari Kendil yang berkepala sulah meneguk
tuaknya, mengumur-ngumurkan minuman
itu dalam mulutnya beberapa lama, lalu
bertanya: “Sampai saat ini berapakah
kekuatan balatentara Pajajaran?”
“Menurut keterangan Kalasrenggi sebelum
menemui kematiannya tempo hari sekitar
dua ribu lebih. Memang jumlah
kekuatan mereka lebih dari kita. Kita cuma sekitar seribu enam
ratusan. Tapi janganlah itu menjadi
kekhawatiran para Adipati sekalian. Mengapa aku katakan
tak usah khawatir sebabnya begini.
Pertama, dalam peperangan itu jumlah yang besar tidak
selamanya menentukan untuk mencapai
kemenangan. Sering pasukan yang lebih sedikit
sanggup mengalahkan pasukan yang
lebih besar. Ini adalah disebabkan bahwa sesungguhnya
unsur kekuatan atau jumlah tidak
terlalu menentukan tapi unsur taktiklah yang lebih
menentukan. Dengan taktik yang
tinggi serta matang, dengan mengetahui di mana kelemahankelemahan
pertahanan pasukan Pajajaran, pasti
kita dalam sekejapan mata bisa mengobrakabrik
mereka!
Kedua, dalam peperangan kecepatan
tempur atau waktu penyerangan yang tepat adalah
sangat menentukan. Bila lawan sedang
lengah, meskipun jumlahnya besar, sanggup dikacau
balaukan
dan disapu bersih oleh sepasukan kecil saja. Demikian pula dengan kita. Kita
akan
menyerang
dengan tiba-tiba, dengan menyergap! Pajajaran hanya baru akan mengetahui bila
balatentara kita sudah berada di
depan mata hidung mereka! Dan saat itu mereka tak akan ada
waktu lagi untuk mempersiapkan diri.
Aku rasa dengan berpegang teguh pada dua hal itu, tidak
sukar
bagi kita untuk membereskan Pajajaran. Apalagi para
Adipati di sini bukan pula manusia manusia berilmu rendah. Sedikit
banyaknya adalah murid-murid dari perguruan-perguruan silat
yang ternama juga, bukankah
demikian?”
Kelima Adipati itu sama mengulum
senyum. Memang rata-rata mereka dalah pewaris
ilmu-ilmu silat dari pelbagai cabang
dan aliran dan ilmu-ilmu mereka tidaklah dapat dianggap
ilmu pasaran yang rendah belaka!
“Di samping itu,” kata Mahesa Birawa
pula, “Jangan pula kita lupakan bantuan yang
akan diberikan oleh seorang tokoh
dunia persilatan yang terkenal yakni Begawan Sitaraga....”
“Oh, jadi Begawan sakti yang diam di
puncak Gunung Halimun itu membantu kita
pula?” tanya Warok Gluduk, Adipati
dari Rajasitu.
“Ya,” sahut Mahesa Birawa.
“Bagaimana sampai Begawan ini mau
membantu perjuangan kita?” tanya Tapak Ireng.
“Setahuku dia mempunyai pertikaian
dengan Toa Kamandaka.... “ jawab Mahesa
Birawa pula. “Kalau benar begitu,
satu hari saja Pajajaran pasti sudah sama rata dengan
tanah....”
kata Warok Gluduk sambil mengusap-usap dagunya. Dan dibayangkannya kedudukan
yang
bakai diterimanya bila pemberontakan mereka berhasil nanti!
*
* *
Waktu
itu hari hujan rintik-rintik. Angin malam bertiup kencang dan dingin. Sosok
tubuh
itu berjalan dengan acuh tak acuh. Tidak perduli hujan rintik-rintik, tidak
perduli angin
kencang,
tidak perduli segala rasa dingin yang menyembilui tulang-tulang sumsum. Dia
berjalan
terus bahkan sambil bersiul-siul. Sesampainya di ujung jalan itu maka
disusurinya
tembok
tinggi dan sekali-sekali, dalam jarak-jarak tertentu dilewatinya seorang
pengawal bersenjata
lengkap.
Di
hadapan sebuah pintu gerbang yang dikawal oleh delapan orang perajurit
berhentilah
pemuda
itu. Dia memandang ke kiri dan ke kanan, memandang ke atas pintu gerbang lalu
memandang
pada barisan pengawal dengan pandangan orang bodoh. Pengawal-pengawal pintu
gerbang
mula-mula memandang saja dengan penuh curiga namun kemudian salah seorang
daripadanya
membentak: “Pemuda gondrong! Ada apa kau celangak celinguk di sini?!”
Dibentak malahan pemuda itu
tersenyum.
“Apa kau tidak tahu berada di mana
saat ini?!” bentak
prajurit pengawal yang lain.
“Ah...
itulah yang aku mau tanya, saudara. Apakah ini istananya Sang Prabu Raja
Pajajaran?”
Delapan
pasang mata prajurit pengawal memandang dari atas ke bawah. Tak ada
kesimpulan
lain bagi mereka daripada berpendapat bahwa tentulah pemuda berambut gondrong
itu seorang yang kurang ingatan.
Seorang
prajurit yang agak berumur maju ke muka. “Orang muda, ini
memang istana
Raja Pajajaran. Siapapun tak
diperkenankan berdiri lama-lama di sekitar sini....”
Pemuda itu garuk-garuk kepalanya. “Kalau berdiri di sini tidak boleh... tentu masuk
lebih tidak boleh lagi.... “ katanya
perlahan seperti pada dirinya sendiri.
“Berlalulah dari sini,” kata
prajurit tadi.
“Tapi, aku mau bertemu dengan Rara
Murni....” kata si pemuda.
Prajurit tua itu tertawa. “Tak
seorang pun yang diizinkan bertemu dengan Tuan P.uteri,
apalagi kau....”
“Ini urusan penting sekali,
Saudara!” desak si pemuda.
Salah seorang prajurit yang lain,
yang sudah tak sabaran berkata: “Pemuda gila,
berlalulah dari sini. Atau pangkal
tombakku akan membenjutkan kepalamu!”
Tapi si pemuda tidak memperdulikan
ancaman itu. “Saudara pengawal, dengarlah,”
katanya. “Aku pernah kenal dengan
Rara Murni. Mungkin aku lebih kenal padanya dari kalian
semua di sini. Aku musti ketemu
dengan dia. Katakan saja bahwa ada seorang pemuda
berambut gondrong bernama 212 mau
bertemu dengan dia. Pasti dia tahu dan mengizinkan aku
masuk....”
Kedelapan
prajurit pengawal itu tertawa membahak. Beberapa di
antaranya malah
mencibir.
Dan seseorang di antara mereka
berkata: “Kau salah alamat, kawan. Mustinya kau
datang ke rumah dukun Gendong di
kampung Andawa, minta obat kepadanya agar otakmu
yang geblek sinting itu bisa diperbaikinya!”
“Siapa bilang aku sinting?!” radang
si pemuda rambut gondrong.
“Kau memang tidak sinting! Tapi
berotak miring atau setengah gila!”
Dan gelak membahak terdengar lagi di
depan pintu gerbang istana itu!
“Kalau kalian tidak mau kasih aku
masuk, tak apa,” kata si pemuda yang tiada lain
daripada pendekar 212 Wiro Sableng.
“Tapi satu hal aku katakan, aku tidak gila. Kalianlah
semua yang gila tertawa tiada
pangkal sebab!” Habis berkata begini pemuda itu berlalu,
melangkah
sambil bersiul-siul.
Rara
Murni seperti tidak percaya pada pemandangannya ketika melihat pintu terbuka
dan
dua sosok tubuh masuk ke dalam. Yang seorang adalah inang pengasuhnya, seorang
perempuan
tua, sedang yang satu lagi adalah pemuda rambut gondrong yang pernah
menolongnya
tempo hari.
“Kita
bertemu lagi, Rara,” kata Wiro Sableng. “Di pintu gerbang aku tak diperbolehkan
masuk,
terpaksa lompat lewat tembok dan memaksa perempuan tua ini untuk memberitahukan
kamarmu.... “
“Ada apakah kau datang ke sini,
Saudara 212?” tanya Rara Murni.
“Ah... rupanya kau masih belum
melupakan angka itu. Bagus sekali! Mengapa aku
datang ke sini.... Untuk bertemu
dengan kau tentunya.” kata pendekar 212 pula seraya
menyandarkan punggungnya ke pintu
yang tadi ditutupkannya.
Merah paras Rara Murni mendengar
kata-kata Wiro Sableng. Tentang diri penolongnya
ini memang tak pernah dilupakannya,
terutama mengingat kehebatannya. Maka bertanya pula dia:
“Mengapa kau ingin ketemu aku...?”
“Oh, jadi tak boleh ketemu?”
“Bukan begitu maksudku, Saudara....”
“Dengar Rara, aku musti bertemu dan
bicara dengan Sang Prabu malam ini juga....”
Rara Murni terkejut.
“Ada urusan apa...?”
“Urusan
penting. Penting sekali....”
Rara
Murni berpikir-pikir. Pemuda ini selama dikenalnya meski
ceriwis dan suka bicara
ngelantur tapi hatinya polos. Namun
demikian dia masih belum tahu siapa adanya pemuda ini.
Bukan mustahil dia adalah seorang
pengkhianat macam Kalasrenggi tapi yang menjalankan taktik
secara lain. Purapura menolong
pertama kali, kemudian bila tiba saatnya akan menggolong.
“Katakan saja urusan pentingmu itu,
saudara. Nanti aku yang sampaikan kepada Sang
Prabu....”
“Ini bukan urusan perempuan, Rara
Murni.” kata Wiro Sableng pula.
Rara Murni yang lebih mementingkan
keselamatan kakak kandungnya Prabu Kamandaka
menjawab: “Maaf, walau bagaimanapun
aku tak dapat mempertemukan kau dengan Sang
Prabu....”
Wiro Sableng tak berkata apa-apa.
Digaruknya kepalanya. “Sukar memang untuk percaya
pada manusia macamku. Tapi biarlah,
bertemu dengan kau puas juga hatiku.” Pendekar itu
tertawa dan kembali melihat
bagaimana kedua pipi Rara Murni menjadi merah. Tiba-tiba tangan
kirinya
dihantamkan ke muka dengan telunjuk terpentang lurus-lurus. Tanpa keluarkan suara
inang pengasuh yang tadi berlutut
kini rebah tiada sadarkan diri.
Rara Murni hendak menjerit. Tapi
mulutnya ditekap oleh Wiro Sableng. Pemuda ini
berkata: “Rara, perempuan itu tak
apa-apa. Aku hanya menotoknya agar jangan sampai dia
membocorkan rahasia. Ketahuilah,
istanamu ini kini penuh dengan pengkhianat-pengkhianat. Aku
tak tahu siapa yang menjadi biang
pengkhianat! Kalau tahu siang-siang sudah kupuntir kepalanya
dan kubawa ke hadapan Sang Prabu.
Kuharap besok pagi atau malam ini juga kau bawalah Sang
Prabu ke kamarmu ini dan baca
pesanku ini?”
Habis berkata demikian pendekar 212
melangkah ke dinding dan pergunakan jari
telunjuknya untuk menulis. Menulis
serentetan syair yang mengandung nasihat dan peringatan.
Dalam waktu yang dekat akan pecah
pemberontakan
Pemberontakan menggulingkan Sang
Prabu dari takhta
kerajaan
Istana penuh dengan pengkhianat-pengkhianat
bermuka
jujur tapi berhati seculas setan
Siapkan bala tentara di
luar tembok kerajaan
212
“Samapi ketemu lagi Rara Murni.”
kata pendekar 212 Wiro Sableng sehabis menulis
rentetan syair itu. Lalu cepat-cepat
ditinggalkannya kamar itu. Rara Murni memburu ke pintu
tapi si pemuda sudah lenyap.
Ketika malam itu juga Rara Murni
menemui Sang Prabu dan menerangkan tentang
kedatangan pemuda aneh itu maka
terkejutlah Prabu Kamandaka. Dengan langkah besar-besar
dan tanpa pengawal sama sekali Raja
Pajajaran itu bersama adiknya pergi ke kamar. Dan
memang apa yang tertulis di dinding
kamar cocok seperti apa yang diterangkan adiknya.
Dinding kamar itu dari batu dan
dilapisi dengan marmer putih yang sangat keras. Dengan
pahat sekalipun akan sukar
menuliskan rentetan syair itu. Tapi si pemuda aneh telah
menuliskannya dengan ujung jari!
“Bagaimana pendapat Kanda?” tanya
Rara Murni kepada kakaknya.
“Pemuda itu tentu seorang yang sakti
luar biasa.” kata Prabu Kamandaka. “Tapi apa
yang dituliskannya di dinding ini, adalah
satu hal yang aku belum bisa percaya. Tentara
kerajaan
telah mengadakan pembersihan. Dan tak seorang pengkhianat pun ditemukan....”
“Mungkin
mereka semua sudah menyingkir dan mempersiapkan diri di satu tempat
yang
tersembunyi di luar kerajaan,” kata Rara Murni pula.
Prabu Kamandaka mengusap-usap
dagunya. Lalu katanya: “Rahasiakan tentang tulisan
ini, Dinda. Meski aku tak percaya,
aku akan mengadakan penyelidikan juga.”
Sesudah itu, keluarlah Kamandaka
dari kamar adiknya.
-- == 0O0 == --
ENAM BELAS
“Berhenti!”
“Tahan!”
Enam prajurit maju ke muka, enam
ujung tombak ditujukan ke dada dan punggung
manusia berpakaian putih itu.
“Siapa kau?!”
“Aku mau bertemu dengan Mahesa
Birawa!”
“Keparat, aku tanya siapa,
menjawabnya lain” bentak prajurit itu.
Laki-laki itu menggeram dalam hati.
“Tunjukkan kemah Mahesa Birawa. Kalau tidak
antarkan aku kepadanya!”
“ Manusia bau tengik! Kau kira kami
ini budakmu? “
“Kau mata-mata Pajajaran ya?!”
bentak prajurit yang paling kanan sekali. Ujung
tombaknya kini digeser ke tenggorokan
laki-laki asing itu.
“Kalian sontoloyo semua! Aku bicara
baik-baik, dibalas dengan bentakan-bentakan!
Sialan!”
Enam ujung tombak dengan serta merta
bergerak ke muka. Laki-laki yang hendak
menjadi bahan sasaran ujung senjata
itu berkelebat cepat. Satu kali gebrakan saja maka
mentallah keenam prajurit itu! Empat tergelimpang di
tanah tak bangun lagi. Satu berdiri nanar,
sedang
yang satu sambil memegang perutnya yang kesakitan, masih sanggup berteriak
memanggil
kawan-kawannya. Maka dalam sekejapan mata saja puluhan prajurit dengan senjata
terhunus
sudah mengurung tempat itu, mengurung ketat laki-laki berpakaian serba putih.
Oborobor
menerangi
tempat itu dan jelaslah tampang manusia yang telah menggeprak enam prajurit
tadi.
Dia
memandang berkeliling dengan air muka melontarkan senyum mengejek.
“'Inikah
tampangnya manusia-manusia yang hendak memberontak pada
kerajaan....?”
Laki-taki itu tertawa mengekeh. “Kalian manusia dogol
semua. Mau saja
diperalat oleh segelintir manusia
yang hendakkan kekuasaan secara keji! Kalau kalian kalah,
kalian dan dipancung semua! Kalau
kalian menang, kalian dapat apa?!”
Seorang laki-laki berbadan tinggi
kekar dan berkulit hitam maju ke hadapan orang
asing itu. Dia adalah seorang
pelatih prajurit-prajurit yang hendak memberontak itu. Satu
tangan bertolak pinggang, satu lagi
menuding tepat-tepat ke muka si orang asing, dia berkata:
“Kurasa kau masih belum buta untuk
melihat kenyataan, di mana kau berada saat ini!”
kata laki-laki tinggi besar itu.
Si orang asing masih tertawa seperti
tadi, mengekeh mengejek. Si tinggi kekar yang
merasa dihina di hadapan orang
banyak dengan gemas sekali hantamkan tinju kanannya ke
perut si orang asing.
Apa yang terjadi kemudian terlalu
cepat untuk dilihat oleh mata orang banyak di tempat
itu. Tubuh kepala pelatih yang
tinggi besar itu jungkir balik di udara dan jatuh punggung di
tanah. Untuk beberapa lamanya tak
dapat bergerak-gerak! Kesunyian karena terkejut dan
keheranan hanya berlangsung beberapa
ketika saja. Begitu terdengar seseorang berteriak maka
menyerbulah puluhan prajurit itu.
Suara beradunya senjata riuh dan kacau balau.
“Tahan!,”
Seorang prajurit berteriak. “Lihat! Kita menghantam sesama
kita! Kunyuk itu
sudah ada di sana!”
Dan ketika semua mata memandang ke
jurusan yang ditunjuk maka kelihatanlah orang
asing tadi berjalan seenaknya di
sela-sela kemah prajurit!
Sewaktu dirinya diserang, secara
bersama-sama tadi, laki-laki itu dengan kecepatan luar
biasa jatuhkan diri di tanah dan
lolos di antara selangkangan para penyerangnya. Keadaan
malam yang gelap menolongnya untuk
lolos dan melangkah seenaknya di sela-sela kemah.
Metihat bahwa orang yang mereka
serang sudah berada di tempat lain, di samping
terkejut tentu saja
prajurit-prajurit itu menjadi geram sekali. Apa lagi kepala pelatih yang tadi
dibikin menggeletak di tanah dalam
satu kali gebrakan. Dia berseru memanggil
prajurit-prajurit
lainnya.
“Kurung bangsat itu! Kalau tak
mungkin ditangkap hidup-hidup, cincang sampai
lumat!,” perintahnya. Kepala pelatih
ini kemudian cabut kerisnya.
Sebelum menyerbu di antara anak
buahnya dia memberi perintah pada seorang prajurit
yang kebetulan berada di dekatnya:
“Beri tahu hal ini pada Mahesa Birawa....!”
Di dalam kemah besar itu tengah
berlangsung perundingan. Mahesa Birawa tengah
berkata: “Besok Raden Werku Alit
sudah berada di sini dan agaknya.... “
Ucapan Mahesa Birawa terputus.
Kepalanya berpaling ke kanan dan dari mulutnya
keluarlah suara bentakan: “Pengawal!
Apa kamu orang tidak tahu bahwa tidak siapa pun boleh
masuk ke dalam kemah ini? Keluar....
!”
“Mohon maaf Raden… kata pengawal
kemah seraya menjura dua kali. “Seorang
prajurit memberitahukan bahwa
terjadi kerusuhan di sebelah timur...”
“Kerusuhan....?!” Mahesa Birawa
berdiri dari kursinya.
“Ya, seorang asing diketahui
memasuki perkemahan. Ketika dikurung dan ditanyai
dia melawan. Dia merubuhkan enam
prajurit! Memukul kepala pelatih Suto Rande dan kini
tengah dikeroyok oleh puluhan
prajurit di bawah pimpinan Suto Rande!”
“Hanya seorang asing nyasar ke sini
saja kalian tidak bisa membereskan?!
Memalukan sekali!” kertak Mahesa
Birawa. Tapi dalam hatinya dia sebagai seorang yang
sudah berpengalaman dalam dunia
persilatan memaklumi, kalau seseorang sanggup
merubuhkan enam lawan sekaligus,
bahkan memukul jatuh kepala pelatih prajurit ini suatu
tanda bahwa dia bukanlah orang
sembarangan, pasti mempunyai ilmu yang diandalkan. Tapi
siapa adanya orang asing yang.berani
datang seorang diri ke perkemahan itu, inilah satu hal
yang ingin diketahui Mahesa Birawa.
Mahesa Birawa berpaling pada
Adipati-Adipati yang ada dalam kemah itu dan
berkata: “Harap maafkan. Aku
terpaksa meninggalkan persidangan sebentar untuk
membereskan keonaran...”
Semua Adipati menganggukkan kepala.
Adipati Tapak Ireng berkata: “Mungkin sekali
perusuh ini seorang mata-mata
Pajajaran...”
“Boleh jadi,” sahut Mahesa Birawa
seraya menindak ke pintu kemah.
Dan saat itu pengawal kemah berkata:
“Orang asing itu berkata bahwa dia ingin
bertemu
dengan Raden...”
“Dengan
aku?” Mahesa Birawa menuding dadanya sendiri.
Pengawal
mengangguk.
Ini
membuat Mahesa Birawa tambah ingin lekas-lekas mengetahui siapa adanya
perusuh
itu.
Pertempuran
berkecamuk seru ketika Mahesa Birawa sampai ke sana bersama seorang
prajurit.
Prajurit ini hendak berseru tapi diberi isyarat oleh Mahesa Birawa agar diam
saja. Akan
disaksikannya
dengan mata kepala sendiri beberapa jurus kehebatan pertempuran itu. Pekik dan
jeritan
terdengar hampir setiap saat. Setiap pekikan musti disusul dengan
menggeletaknya tubuh
seorang
pengeroyok. Menurut taksiran Mahesa Birawa saat itu ada sekitar tiga puluh
prajurit di
bawah
pimpinan Suto Rande yang mengeroyok si orang asing.
Diam-diam
Mahesa Birawa mengagumi juga kehebatan orang asing itu. Masih muda
belia,
bertampang keren dan senjatanya sebuah tombak yang diputar seperti kitiran,
menderu
dan
setiap saat meminta korban dari pihak pengeroyok! Mahesa Birawa tahu betul,
tombak
yang
di tangan pemuda itu adalah tombak rampasan. Dan yang membuat Mahesa Birawa
terpaksa
leletkan lidah ialah meski dikeroyok puluhan manusia, si pemuda itu dengan
seenaknya
saja melayani sambil tertawa dan bersiul!
Beberapa
orang lagi rubuh menggeletak dengan perut atau dada terluka parah disambar
ujung
tombak. Kemudian terdengar lagi satu pekikan dahsyat. Sesosok tubuh mental,
jatuh tepat
di
hadapan Mahesa Birawa. Ketika diteliti oleh Mahesa Birawa ternyata sosok tubuh
itu adalah
sosok
tubuh Suto Rande, kepala pelatih prajurit! Nyawanya sudah minggat dan pada
keningnya
kelihatan
guratan angka 212…!
Angka
ini sekaligus mengingatkan Mahesa Birawa pada keterangan kurir Raden Werku
Alit
tentang kematian Kalasrenggi secara aneh, digantung kaki ke atas kepala ke
bawah dan
juga ada angka 212 pada kulit
keningnya! Tanpa menunggu lebih banyak korban lagi yang jatuh
maka berserulah Mahesa Birawa!
-- == 0O0 == --
TUJUH BELAS
“Aku Mahesa Birawa memerintahkan
untuk hentikan pertempuran ini!”
Suara yang hampir menggeledek itu
dengan serta merta menghentikan pertempuran.
Prajurit-prajurit yang mengeroyok
melompat ke luar dari kalangan pertempuran. Si pemuda
asing masih berdiri di tempat dengan
tombak di tangan. Teriakan Mahesa Birawa tadi
membuat dia putar kepala ke arah
datangnya suara itu. Dan sepasang matanya segera
membentur sesosok laki-laki berbadan
tegap berkumis lebat melintang, berpakaian bagus.
Pada
pinggangnya terselip keris.
Dalam hatinya pemuda itu menggumam:
“Hem... jadi inilah dia manusianya yang
bernama Mahesa Birawa itu...”.
Selagi dia menggumam begitu laki-laki itu melangkah
mendatanginya.
“Orang
asing!,” kata Mahesa Birawa dengan nada keren dan lantang. “Meski kau punya
sedikit
ilmu yang diandalkan, tapi di sini bukanlah tempat untuk memamerkannya!”
Si pemuda keluarkan suara bersiul.
“Betul aku berhadapan dengan Mahesa Birawa saat
ini...?” tanyanya.
“Kau siapa?!,” membentak Mahesa
Birawa.
“Namaku
tertulis di kening anak buahmu itu!” Si pemuda
pendekar 212 menunjuk ke
mayat Suto Rande.
“Hem... bagus kalau begitu!” Mahesa
Birawa puntir kumisnya. “Kau yang membunuh
Kalasrenggi, bukan?”
“Tidak! Aku hanya menggantungnya dan
Tuhan kemudian mengambil rohnya....”.
Habis berkata begitu pendekar 212
Wiro Sableng tertawa mengekeh.
“Kau tahu Mahesa, manusia macam
Kalasrenggi itu tak layak hidup lama-lama di
dunia! Masih kebagusan ada kali
untuk tempat pembuang mayatnya! Dan kau tahu... di atas
bumi ini masih banyak
manusia-manusia macam Kalasrenggi malahan lebih terkutuk dari
Kalasrenggi yang musti dilenyapkan!”
Di sini bukan tempat pidato, budak
hina!,” bentak Mahesa Birawa.
“Oh, begitu…? Kalau demikian mari
kita bicara empat mata Mahesa Birawa. Aku
memang sudah lama mencari kau!”
Mahesa Birawa menyeringai. Kemudian
kelihatan bagaimana mukanya menjadi kelam
membesi. “Kalau aku bicara dengan
kau maka biar aku terangkan padamu bahwa
kedatanganmu ke sini hanyalah untuk
mengantar nyawa!”
Habis berkata demikian Mahesa Birawa
hantamkan tangan kanannya ke muka. Setiup
angin yang bukan olah-olah panasnya
menggebubu ke arah pendekar 212! Pendekar 212 lompat
tiga tombak ke atas. Angin pukulan
lewat di bawahnya dan menghantam sebuah pohon kayu.
“Buum!”
“Kraak!”
Pohon itu bukan saja tumbang dilanda
angin pukulan tapi juga berwarna hitam karena
hangus! Kedua orang itu sama-sama
terkejut. Pendekar 212 terkejut melihat kehebatan
pukulan dan tenaga dalam lawan
sedang Mahesa Birawa heran tidak menyangka kalau
pukulannya itu dapat dielakkan
dengan satu lompatan enteng ke udara!
Dengan penuh waspada Wiro Sableng
jejakkan kedua kakinya kembali ke tanah.
“Mahesa Birawa,” katanya, “Soal
pertempuran soal mudah. Mudah dimulai, mudah
diakhiri. Tapi aku bilang, aku mau
bicara dengan kau! Empat ma....”
“Budak hina! Siapa sudi bicara
dengan kau!” potong Mahesa Birawa membentak.
Sekali lagi tangan kanannya
dipukulkan ke muka. Kalau tadi dia hanya mempergunakan
sepertiga dari tenaga dalamnya maka
kini dialirkan ke dalam pukulannya itu setengah dari
tenaga dalamnya! Namun untuk kedua
kalinya pula Mahesa Birawa dibuat gemas karena
Pendekar 212 berhasil pula
mengelakkan serangannya yang dahsyat itu.
“Mahesa Birawa, apakah kau yang
lebih tua tidak memberikan kesempatan padaku
untuk bicara empat mata?!”tanya Wiro
Sableng pula. Kesabarannya mulai terkikis dari hatinya.
Kalau saja dia tiada ingat pesan
gurunya Eyang Sinto Gendeng pastilah saat itu juga dibalasnya
serangan-serangan Mahesa Birawa
tadi!
Untuk tidak terlalu kehilangan muka
karena dua pukulannya berhasil dielakkan lawan
maka berkatalah Mahesa Birawa:
“Percuma saja kau bicara, toh nantinya nyawamu akan aku
bikin merat juga dari kau punya
badan!”
Pendekar 212 tertawa.
“Dengar Mahesa Birawa…” kata
pendekar ini. Rahang-rahangnya bertonjolan.
Pelipisnya bergerak-gerak tanda dia
menekan amarahnya dan berusaha mempertahankan
kesabarannya. “Aku membawa pesan
dari Eyang Sinto Gendeng…”
Maka terkejutlah Mahesa Birawa
mendengar nama itu.
“Kau ini siapa kalau begitu?!” tanyanya.
“Siapa aku masih belum penting. Aku tunggu kau malam ini di bukit Jatimaleh. Seorang
diri, Mahesa Birawa. Datanglah
seorang diri....”
“Kau bisa bicara di sini!”
Pendekar 212 menggeleng. “Di bukit
Jatimaleh...” desisnya.
“Aku bilang di sini!,” bentak Mahesa
Birawa. “Takutkah kau datang ke bukit itu
malam-malam gelap begini? Atau mungkin takut pada dinginnya udara? Atau mungkin takut
pada roh-roh manusia yang selama ini
membayangimu....?!”
Mahesa Birawa kertakkan geraham. Dia
memberi isyarat. Bersama puluhan prajurit
yang ada di situ maka menyerbulah
dia! Pendekar 212 melompat sampai setinggi tujuh tombak.
Dia berpegangan pada ujung sebuah
cabang pohon, membuat satu kali putaran pada saat mana
Mahesa Birawa lemparkan sejenis
senjata rahasia.
Mahesa Birawa berseru tertahan
ketika melihat senjata rahasianya membalik kembali
menyerang dirinya sendiri.
Dikebutkannya tangan kirinya. Senjata rahasia itu bermentalan,
menghantam prajurit-prajurit di
sekitarnya. Empat
orang menggerang dan rebah ke tanah!
Bayangan
Wiro Sableng lenyap namun masih terdengarsuara seruannya mengiangi anak
telinga. “Bukit Jatimaleh, Mahesa!
Malam ini. Ingat, seorang diri.... !”
-- == 0O0 == --
DELAPAN BELAS
Bukit Jatimaleh tertetak tidak
berapa jauh dari perkemahan pemberontak. Ketika
Mahesa Birawa hendak meninggalkan
perkemahan, beberapa prajurit menyatakan hendak ikut
serta tapi Mahesa berkata: “Biar aku
sendiri yang membereskan urusan ini! Kalian semua di sini
bersiap siagalah. Perkuat penjagaan dan lipat gandakan prajurit-prajurit peronda!”
Cuaca malam di atas bukit Jatimaleh
gelap gulita. Di langit tiada rembulan tiada
bintang. Udara yang dingin mencucuki
daging menyembilui tulang-tulang sampai ke sungsum.
Dalam kegelapan inilah kelihatan dua
sosok tubuh berdiri berhadap-hadapan.
Yang satu membentak lantang: “Cepat
terangkan siapa kau adanya budak hina!”
“Ah... jangan bicara memaki
terus-terusan Mahesa Birawa. Belum tentu aku lebih hina
dari kau!,” jawab Pendekar 212.
Marahlah Mahesa Birawa. Dia
menggeser langkahnya ke muka. Tapi langkahnya segera
pula terhenti ketika didengarnya
pemuda di hadapannya berkata: “Pesan Eyang Sinto Gendeng
ialah agar kau segera kembali ke
puncak Gunung Gede dalam waktu secepat-cepatnya!”
“Kembali ke puncak Gunung Gede....
?!”
“Yeah... Untuk menerima hukuman atas
perbuatan-perbuatan jahatmu sejak kau turun
gunung tujuh belas tahun yang
silam!”
“Jangan bicara ngaco belo! Ada
hubungan apa kau dengan Eyang Sinto Gendeng?!”
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
tertawa datar. “Aku hanya pesuruh buruk saja,
Mahesa....” jawabnya.
“Dusta!,” bentak Mahesa Birawa
menggeledek. “Kalau kau tak mau bicara yang
sebetulnya jangan menyesal bila
kepalamu kupuntir sampai putus!”
Wiro
Sableng bersiul. “Aku tak tahu segala urusan puntir kepala. Aku hanya
menyampaikan
perintah Eyang Sinto Gendeng agar kau menghadapnya di puncak Gunung
Gede!
Kau dengar Mahesa.... He... he... he....”
Jari-jari
tangan Mahesa Birawa mengepal membentuk tinju.
“Aku
ingin tahu saat ini juga. Apakah kau bersedia
memenuhi perintah itu atau
tidak…?”
“Aku tanya dulu! Apa hubunganmu
dengan Eyang Sinto Gendeng? Jangan bikin
kesabaranku habis!”
“Kurasa akulah yang mustinya
kehabisan rasa sabar melihat tampangmu saat ini!” tukas
Wiro Sableng. “Katakan saja terus
terang bahwa kau tak mau menghadap Eyang Sinto
Gendeng! Itu lebih baik dan lebih
jelas....!”
Mahesa Birawa busungkan dada. Katanya:
“Kalau orang tua geblek itu butuh ketemu
dengan aku, suruh dia datang ke
sini!”
Suara menggeram jelas terdengar di
tenggorokan Pendekar 212. Mukanya kelam
membesi. Tanah yang dipijaknya
melesak sampai tiga senti!
“Bicaramu terlalu besar Mahesa
Birawa! Terlalu pongah! Dosamu sendiri sudah lebih
dari takaran! Hari ini kau hina
gurumu sendiri! Guru yang bertahun-tahun telah memeliharamu,
mengajarmu segala ilmu kepandaian!
Guru yang telah kau nodai nama baiknya! Kau
mengandalkan apakah, Mahesa
Birawa..... ?! “
“Bocah gila! Terpaksa mulutmu
kurobek detik ini juga!” bentak Mahesa Birawa.
Secepat kilat, belum lagi habis
bicaranya maka lima jari-jari tangan kanannya bergerak
mencengkeram ke muka. Pendekar 212
tertawa. Tertawa dan bersiul. Bentakan nyaring
menggeledek dari mulutnya dan dia
lompat ke samping sambil hantamkan tangan
kirinya. Mahesa Birawa terkejut
ketika merasakan satu angin yang deras mendorong
tubuhnya. Cepat-cepat dia pergunakan
tangan kanan untuk memapasi dorongan angin itu
tapi tak urung tubuhnya menjadi
gontai juga! Maka kini keringat dingin memercik di
kening laki-laki itu!
“Urusan kekerasan urusan mudah,
Mahesa!,” kata Wiro Sableng. “Tapi bicaraku
masih belum habis. Tujuh belas tahun
yang lewat kau pernah malang melintang di
Jatiwalu. Ingat.... ?”
“Pemuda sedeng! Darimana....”
“Ah... kau masih ingat! Bagus...
bagus sekali! Apa kau juga ingat bahwa pada
masa tujuh belas tahun itu kau telah
membunuh Ranaweleng, Kepala Kampung
Jatiwalu?! Apakah kau juga masih
ingat bahwa pada masa itu kau juga merusak
kehormatan seorang perempuan bernama
Suci, isteri Ranaweleng, kemudian karena
malu perempuan itu bunuh diri?! Apa
kau juga masih ingat dan sanggup menghitung
berapa banyak jiwa penduduk yang kau
renggut, kau bunuh?!”
Mulut Mahesa Birawa terkatup rapat-rapat.
Dan pendekar 212 buka mulut lagi:
“Kalau aku tidak ingat pesan Eyang Sinto
Gendeng, pada detik aku melihat
tampangmu aku sudah bertekad untuk mengermus
kepalamu! Kini setelah tahu bahwa
kau tidak mau diperintahkan untuk menghadap ke
puncak Gunung Gede maka tak ada lagi
halangan bagiku untuk membalaskan dendam
kesumat seribu karat, untuk
membalaskan sakit hati yang berurat berakar sejak tujuh
belas tahun yang lewat! Ketahuilah
Mahesa Birawa, aku adalah anak Ranaweleng. Dan
aku adalah juga murid Eyang Sinto
Gendeng! Adik seperguruanmu sendiri, tapi yang
akan memisahkan roh busukmu dengan
tubuh bejatmu!” Habis berkata begini maka
tertawalah pendekar 212. Suara
tertawanya keras dan panjang, menegakkan bulu roma.
Bergetar hati Mahesa Birawa
mendengar suara tertawa yang menegakkan bulu
kuduknya itu. Terbayang olehnya masa tujuh belas tahun yang silam. Begitu cepat waktu
berlalu dan tahu-tahu kini dia
berhadapan dengan kenyataan yang pahit! Berhadapan
dengan anak laki-laki dari suami
isteri yang pernah menjadi korbannya. Seperti tak
percaya dia akan kenyataan ini!
“Orang muda...!,” kata Mahesa Birawa
pula. Suaranya diperbawa dengan aliran
tenaga dalam agar tidak kentara
getaran hatinya. “Kuharap kau cepat-cepat saja bangun
dari mimpimu dan tahu berhadapan dengan
siapa...!”
Pendekar 212 tertawa lagi seperti
tadi. Lebih seram malah! Dan didengarnya
suara Mahesa Birawa, musuh besarnya
itu berkata pongah: “Jangankan kau... Eyang
Sinto
Gendeng sekalipun tak akan sanggup turun tangan terhadapku! Kalau kau teruskan
niat
edanmu, ketahuilah bahwa kedatanganmu sejauh ini dari puncak Gunung Gede
hanyalah
untuk mencari mampus sendiri!”
“Kita
akan lihat Mahesa Birawa! Kita akan saksikan! Darah siapa di antara kita
yang
akan dihisap oleh tanah! Kau telah menentukan kematian ibu bapakku di siang
hari!
Disaksikan oleh langit siang dan matahari! Karena itu besok, bila matahari
tepat
sampai
di puncak ubun-ubun, aku tunggu kau di atas bukit ini! Biar langit dan matahari
yang
dulu menyaksikan kematian ibu bapakku, besok menyaksikan pula kematianmu,
menyaksikan
pembalasan dendam kesumat seribu karat!”
Mahesa
Birawa keluarkan suara mendengus. “Aku bukan manusia yang bisa
menunggu,
apa lagi terhadap keroco macam kau! Tapi dengar orang
muda... daripada
kau mati tiada guna, aku ada usul
baik bagimu. Ikut bersamaku menghancurkan Pajajaran,
niscaya kau akan kuangkat kelak
menjadi seorang pejabat berpangkat tinggi.... !”
Wiro Sableng bersiul. “Aku tidak
butuh usul, Mahesa Birawa, juga tidak butuh
apa-apa. Saat ini aku hanya butuh
roh busukmu! Besok siang di tempat ini. Mahesa.
Darahmu atau darahku, nyawamu atau
nyawaku!”
Maka kini Mahesa Birawa tidak dapat
lagi menahan hatinya. “Tak perlu tunggu
sampai besok! Sekarang pun aku
bersedia melayani! Terima pukulan seribu badai ini!”
Mahesa
Birawa menerjang ke muka. Tangan kanannya memukul dan gelombang
angin
yang sangat hebat menderu menyambar ke arah pendekar 212. Yang diserang
tanpa
tunggu lebih lama berkelebat dan melompat setinggi tujuh tombak. Kedua kakinya
tergetar
dan linu ketika angin pukulan lawan dalam jarak setinggi itu masih sanggup
menyapu
kedua kakinya!
Dengan
kerahkan setengah dari tenaga dalamnya Wiro Sabteng hantamkan tangan
kanan
ke bawah melancarkan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera!
Mahesa
Birawa berseru tertahan melihat datangnya angin laksana badai ke
arahnya.
Cepat-cepat dia melompat ke samping. Tubuhnya hampir terpelanting
diserempet
angin pukulan lawan. Dengan kerahkan tenaga dalamnya dia masih sanggup
berdiri
di tempat setelah mengelak tadi. Namun demikian kedua kakinya melesak sampai
lima senti ke dalam tanah!
Dalam keterkejutan melihat kehebatan
lawan Mahesa Birawa mendengar suara
tertawa pendekar 212. “Kutunggu
besok siang Mahesa Birawa. Di sini,di puncak bukit
ini! Satu hal perlu kukatakan. Besok
aku menghadapimu bukan sebagai manusia bernama
Mahesa Birawa, tapi sebagai
Suranyali!”
Wiro
Sableng berkelebat.
“Budak
hina! Jangan lari!” teriak Mahesa Birawa alias Suranyali. Namun
pendekar 212 sudah lenyap dari
pemandangannya ditelan kegelapan malam.
-- == 0O0 == --
SEMBILAN BELAS
Malam itu Mahesa Birawa tak dapat
memicingkan mata. Dia gelisah sekali.
Sebentar-sebentar di atas
pembaringan dalam kemah dia membalik ke kiri, membalik ke
kanan. Ingatannya mengawang kembali
pada masa tujuh belas tahun yang silam.
Terbayang olehnya kematian
Ranaweleng. Terbayang olehnya Suci, perempuan yang
bunuh diri itu. Dan ketika
ingatannya berpindah pada pemuda yang mengaku anak dari
Ranaweleng itu, tubuhnya seperti
dijalari hawa dingin. Meski sudah dapat mengukur
kehebatan lawan namun Mahesa Birawa
tidak takut sama sekali untuk menghadapi
pemuda itu. Cuma kemunculan si
pemuda yang tidak terdugalah yang benar-benar mengejutkan
dan menyirapkan semangatnya.
Hati kecilnya mengutuki kebodohannya
sendiri. Pada masa tujuh belas tahun
yang silam itu dia tahu kalau
Ranaweleng dan Suci mempunyai seorang putera. Kenapa
dia tidak sekaligus membunuh orok
Ranaweleng itu? Tapi saat itu tentu saja dia tidak
mempunyai pikiran panjang seperti
waktu sekarang ini.
Mahesa Birawa membalikkan tubuhnya
kembali. Dia memandang ke dinding
kemah. Dan pada dinding kemah itu
seperti terbayang oleh matanya rentetan kalimat
yang pernah dibacanya pada dinding
tempat kediamannya tujuh belas tahun yang lalu
yaitu ketika dia baru saja berhasil
melarikan Suci dan memasukkannya ke kamarnya. Di
sana... di dalam ingatan Mahesa
Birawa alias Suranyali, seperti tertera kembali rentetan
kalimat itu. Rentetan kalimat yang
menjadi kenyataan:
“Apa yang kau lakukan hari ini akan
kau terima balasannya
pada tujuh belas tahun mendatang!”
Mahesa Birawa akhirnya turun dari
pembaringan. Beberapa lama dia mondar
mandir di dalam kemah besarnya itu.
Kemudian teringat dia pada kematian Kalasrenggi
dan dua orang mata-mata yang dikirim
ke Kotaraja tempo hari. Mereka
menemui
kematian
akibat turun tangannya seorang manusia aneh. Kalasrenggi mati dengan
guratan
angka 212 pada keningnya. Dan tadi dia juga saksikan sendiri kematian Suto
Rande dalam cara yang sama! Kalau
begitu sedikit banyaknya atau mungkin pasti... pasti
sekali pemuda yang mengaku anak
Ranaweleng itu, yang sesungguhnya adalah adik
seperguruannya sendiri, pastilah
mempunyai sangkut paut atau hubungan dengan
Pajajaran. Dan kalau sudah
begini berarti bocornya rencana untuk menggulingkan Prabu
Kamandaka,
bocornya rencana untuk memberontak terhadap Kerajaan!
Mahesa Birawa melangkah lagi mondar
mandir sambil mengepalkan tinjunya.
Dia harus bertindak cepat sebelum
Pajajaran benar-benar tahu keseluruhan rencananya.
Bukan mustahil saat itu balatentara
Pajajaran tengah menuju ke perkemahan mereka
untuk menyapu mereka!
Malam itu juga Mahesa Birawa
berunding dengan kelima Adipati. Dan malam itu
pula diputuskan untuk menggerakkan
seluruh pasukan ke Kotaraja.
Dua orang kurir dikirim terlebih
dahulu. Yang pertama untuk menemui Raden
Werku Alit di Kotaraja, memberitahukan
bahwa karena sesuatu hal yang mendesak
maka pasukan diberangkatkan malam
itu dan direncanakan untuk menggempur Pajajaran
selambat-lambatnya satu dua jam
sesudah fajar menyingsing! Kurir yang kedua
berangkat menuju puncak Gunung
Halimun, menemui Begawan Sakti Sitaraga yang
sebelumnya telah mengatakan bersedia
turun tangan membantu kaum pemberontak! Tapi
kurir ini kemudian tertawan oleh
prajurit-prajurit Pajajaran di perbatasan.
Meski tetap berhati bimbang akan
kebenaran peringatan yang dibacanya di dinding kamar
adiknya, namun Prabu Kamandaka tak
urung menyiapsiagakan balatentara Pajajaran secara diamdiam.
Dan ketika dini hari itu dia
dibangunkan secara mendadak, dilaporkan tentang terlihatnya
sepasukan besar mendatangi Kotaraja.
Raja Pajajaran ini benar-benar menjadi kaget. Benar juga
peringatan itu, katanya dalam hati.
Kepada Kepala-Kepala Pasukan Kerajaan segera diberikan
perintah kilat: “Kalau pasukan yang
datang itu adalah benar pasukan pemberontak, hadapi mereka
di luar tembok Kerajaan!”
Manakala sinar fajar pertama
memancar di ufuk timur maka pada saat itu pulalah mulainya
berkecamuk pertempuran yang dahsyat
di sepanjang tembok besar yang mengelilingi Kotaraja.
Yang paling seru adalah pertempuran
pada dua buah pintu gerbang. Pihak pemberontak menyerang
habis-habisan untuk dapat
membobolkan pintu gerbang Kotaraja itu. Yang diserang bertahan matimatian!
Suara beradunya senjata, pekik
kematian, lolong manusia-manusia yang terbabat senjata,
bau anyirnya darah, semuanya menjadi
satu menimbulkan suasana yang mengerikan.
Agaknya serangan lawan mulai tak
dapat dibendung. Hal ini kelihatan sesudah pertempuran
berkecamuk hampir setengah jam
lebih.
Prabu Kamandaka dengan
teriakan-teriakan hebat berkelebat kian ke mari memberi
semangat pasukan Pajajaran. Prabu
ini menunggangi seekor kuda putih dan di tangannya
tergenggam
sebilah golok panjang yang berlumuran darah!
Prabu
Kamandaka seperti terpukau dan tak mau percaya akan kedua matanya ketika dia
bergerak
ke medan pertempuran sebelah timur, dia langsung berhadap-hadapan dengan Werku
Alit,
saudara
sepenyusuan sendiri!
“Matakukah
yang terbalik atau benarkah kau yang ada di hadapanku ini, Alit?” ujar Sang
Prabu.
Raden
Werku Alit tertawa membesi. “Matamu masih belum
terbalik, Kamandaka! Cuma
otakmu yang miring sehingga
mengambil hak orang lain....!”
“Hak apakah yang aku telah ambil dan
siapakah orang lain itu?!”
“Takhta Kerajaan adalah hak syah
diriku, Kamandaka!” jawab Werku Alit garang.
Prabu Kamandaka tertawa dingin. “Kau
mengigau di slang hari Alit! Tak kusangka, kau
sendiri yang menjadi biang racun
pentolan pemberontak yang memberikan perintah untuk
mengeroyok Raja Pajajaran itu!”
Prabu Kamandaka dengan
teriakan-teriakan hebat berkelebat kian ke mari memberi
semangat pasukan Pajajaran. Prabu ini menunggangi kuda putih dan di tangannya tergenggam
golok
panjang yang berlumuran darah!
Agaknya
serangan lawan mulai tak dapat dibendung. Hal ini kelihatan sesudah pertempuran
berkecamuk
hampir setengah jam lebih.
Yang
diserang bertahan mati-matian! Suara beradunya senjata, pekik kematian, lolong
manusia-manusia
yang terbabat senjata bau anyirnya darah, semuanya menjadi satu menimbulkan
suasana
yang mengerikan.
Satu
demi satu prajurit yang bertempur bersama rajanya itu gugur bergelimpangan.
Keadaan
Sang
Prabu sangat kritis sekali sedang di sebelah barat balatentara pemberontak di
bawah
pimpinan
Mahesa Birawa sudah hampir berhasil membobolkan pertahanan pintu gerbang!
-- == 0O0 == --
DUA
PULUH
Pada
saat pertempuran berkecamuk dengan serunya, pada saat pintu gerbang Kotaraja di
sebelah barat hampir bobol dan pada
saat keselamatan Prabu Kamandaka sendiri terancam
maka pada saat itulah terdengar
suara yang keras laksana guntur mengatasi segala kecamukan
perang yang mendatangkan maut itu!
“Manusia-manusia bodoh! Hentikan
pertempuran ini!”
Hampir semua mereka yang bertempur
di medan sebelah timur itu jadi terkejut dan
hampir semua mata pula memandang ke
atas tembok Kotaraja di mana kelihatan berdiri seorang
pemuda
berpakaian putih-putih berambut gondrong!
Mungkin
sekali Raden Werku Alit adalah orang yang paling terkejut melihat pemuda di
atas tembok itu. Manusia ini
tampangnya sama betul dengan pemuda yang tempo hari
ditotoknya sewaktu hujan-hujan di
teratak tua!
“Orang-orang mati inginkan hidup,
kalian yang hidup mau bertempur sampai mati!
Goblok betul!” terdengar lagi pemuda
yang di atas tembok berkata dengan suaranya yang
mengguntur.
Werku Alit kertakkan rahang. Hatinya
gusar terhadap si pemuda. Diam-diam dia tahu
bahwa suara yang mengguntur itu
pastilah menandakan bahwa si pemuda yang memiliki tenaga
dalam yang sangat tinggi. Namun bila
dia melirik ke samping dan detik itu melihat Prabu
Kamandaka berada dalam keadaan
lengah maka kesempatan ini dipergunakan Werku Alit
dengan
sebaik-baiknya. Senjatanya berkelebat cepat dan ganas. Satu ujung tajam dari
toja
menyambar
ke leher sedang ujung yang lain menyapu ke kaki Prabu Kamandaka!
Melihat
datangnya serangan itu Prabu Kamandaka sadar akan keteledorannya berbuat
lengah.
Sangat terlambat baginya untuk dapat mengelakkan senjata lawan yang menyerang
dua
tempat itu sekaligus. Salah satu ujung tajam dari senjata lawan pastilah akan
mengenai
badannya.
Prabu Kamandaka lemparkan diri ke belakang meski dia tahu bahwa kakinya akan
disapu
ujung toja lawan.
Tapi
pada saat itu pula dari atas tembok melesat satu benda putih sekali laksana
bercahaya. Benda ini berbentuk
bintang dan mengeluarkan suara mendesing, menghantam
pertengahan
toja Werku Alit dengan tepatnya. Toja itu patah dua.
Salah satu patahannya
menggores dada Werku Alit sendiri!
Laki-laki ini menjerit kesakitan dan
lompat mundur namun diburu dengan sebat oleh
Prabu Kamandaka. Dalam keadaan
terluka, bersama orang-orangnya Werku Alit bertahan
dengan hebat. Dua Adipati lainnya
yang melihat terdesaknya Werku Alit segera berikan
bantuan sehingga Prabu Kamandaka dan
orang-orangnya kembali terdesak hebat!
Werku Alit mengamuk dahsyat.
Mengamuk dengan patahan tojanya. Namun keadaan
dirinya mulai payah akibat luka yang
dideritanya. Gerakan-gerakannya mulai menjadi lamban
sehingga dia terpaksa mengambil
posisi bertahan dan membiarkan pembantu-pembantunya
menyerang pihak lawan.
Adipati Tapak Ireng mendekati Werku
Alit dan sodorkan sebuah pil. “Telanlah cepat
Raden
Alit dan alirkan tenaga dalammu ke bagian yang terluka....”
Werku
Alit cepat-cepat telan pil yang berwama hitam itu lalu kerahkan tenaga
dalamnya.
Obat yang diberikan oleh Adipati Tapak Ireng memang manjur sekali. Sesaat
kemudian
darah pada luka Werku Alit berhenti dan tiada terasa sakit lagi. Maka dengan
cabut
kerisnya
Werku Alit kembali maju menghadapi Prabu Kamandaka. Ketika Adipati Lanabelong
dengan
ruyung besi putihnya turut pula membantu Werku Alit maka lebih buruk dari tadi
keadaan
Prabu Kamandaka kembali terdesak hebat.
“Kaum
pemberontak! Hentikan pertempuran ini!” teriak orang yang di atas tembok.
Tapi
tak ada yang memperdulikan malah Adipati Jakaluwing dari Karangtretes
menantang:
“Orang
gila berambut gondrong kalau mau rasakan toja besiku, turunlah!”
Orang di atas tembok menggerutu
penasaran. Dari balik pinggangnya dikeluarkannya
sebuah kapak bermata dua! Mata kapak
itu berkilat-kilat ditimpa sinar matahari pagi. Kemudian
dengan satu gerakan yang sangat
enteng dia melompat turun. Dan begitu sampai di tanah
ditempelkannya ujung gagang kapak ke
bibirnya. Maka sesaat kemudian menggemalah suara
seperti seruling. Mula-mula pelahan,
kemudian makin keras dan melengking-lengking!
Telinga pihak pemberontak yang
mendengar suara lengkingan seruling itu seperti
ditusuk-tusuk sakit sekali. Prajurit-prajurit rendahan menjadi terpukau dan dengan mudah
menjadi korban senjata
prajurit-prajurit Pajajaran! Werku Alit dan lima Adipati sekutunya
terkejut ketika merasa bagaimana
sakitnya telinga mereka sedang jalan darah mereka tidak lagi
teratur
tapi sesak tersendat-sendat. Dan ketika mereka memandang berkeliling mereka
melihat
bagaimana
pasukan mereka di bagian medan mayat prajurit dengan dada mandi darah!
Werku
Alit dan Adipati-Adipati yang masih hidup terkejutnya bukan main. Serangan
mereka
di samping dijuruskan kepada Prabu Kamandaka kini juga dititikberatkan pada
Wiro
Sableng!
Namun bila sekali lagi Kapak Naga Geni 212 berkelebat maka kini giliran Adipati
Jakaluwing
pula yang meregang nyawa dengan kepala hampir terbelah dual
Werku
Alit dan Adipati-Adipati yang masih hidup menjadi kecut. Mereka saling
berlirikan
tajam dan beri isyarat namun pada saat itu pula pendekar 212 yang sudah tahu
maksud
mereka membuat gerakan cepat. Rujung besi Ranabelong mental puntung dua ke
udara disusul dengan jerit
kematiannya!
Satu-satunya Adipati yang masih
hidup yaitu Warok Gluduk boleh dikatakan
sudah tak ada daya lagi sesudah
lengan kanannya tadi dibabat puntung oleh Prabu
Kamandaka. Dia memutuskan untuk
kabur saja tapi tombak seorang kepala pasukan
Pajajaran lebih dahulu menancap di
punggungnya terus menembus sampai ke dada!
Nyali Werku Alit semakin luntur
menciut. Di medan pertempuran sebelah timur itu
hanya dia sendiri kini yang menjadi
pucuk pimpinan. Kalau tadi dia dan anak-anak
buahnya merupakan pihak penyerang
yang mendesak maka kini keadaan terbalik! Di
mana-mana puluhan
prajurit-prajuritnya bergeletakan mati. Yang masih hidup bertempur
dengan setengah hati, mundur
terus-terusan dan kacau balau! Suara seruling Kapak Naga
Geni 212 yang terus menerus
melengking seperti melumpuhkan sekujur tubuh Raden
Werku Alit. Dicobanya mengerahkan
tenaga dalamnya namun tenaga dalamnya terasa
laksana punah! Telinganya sakit dan
kemudian dirasakannya ada yang meleleh pada kedua
liang telinganya itu! Darah!
-- == 0O0 == --
DUA PULUH SATU
Mahesa Birawa yang ada di medan
pertempuran sebelah barat, yang saat itu sudah
hampir berhasil mendesak pasukan
Pajajaran dan membobolkan pintu gerbang pertahanan
menjadi terkejut ketika selintas
kepalanya dipalingkan ke arah timur! Pasukan pihaknya di
jurusan ini dilihatnya bertempur
dengan kacau, malah sebagian besar mundur terdesak
hebat! Beberapa kelompok pasukan
bahkan dilihatnya melarikan diri kucar kacir! Dan di
antara semua apa yang disaksikannya
itu sayup-sayup telinganya mendengar lengkingan
suara
seruling! Jaraknya dengan medan pertempuran sebelah timur terpisah puluhan
tombak
tapi suara seruling itu seperti menerpa-nerpa kulit tubuhnya, menyendatkan
jalan
darahnya
dan menyakitkan anak telinganya. Dan saat demi saat
jumlah prajurit yang
bertempur di medan sana itu semakin
berkurang juga, banyak yang lari dan banyak yang
tergelimpang mati!
Mahesa Birawa serahkan pimpinan
kepada seorang kepala pasukan yang
dipercayainya. Kemudian dengan
gerakan sebat dia menuju ke medan pertempuran
sebelah timur. Begitu sampai di
medan pertempuran ini dia disambut oleh satu pemandangan
yang cukup membuat bulu kuduknya
merinding. Saat itu, Raden Werku Alit sudah
terdesak hebat dan tak sanggup
mengelakkan sambaran pedang Prabu Kamandaka. Dalam
jarak yang jauh Mahesa Birawa masih
berusaha untuk membokong Prabu Kamandaka
dengan pukulan tangan kosong. Namun
angin pukulannya yang dahsyat itu diterpa hebat
oleh satu gelombang angin ganas dari
samping! Ketika dia berpaling maka sepasang
matanya
membentur pemuda yang tak asing lagi baginya.
Maka
membentaklah Mahesa Birawa. Namun bentakannya belum lagi keluar, tahu-tahu
satu
benda menggelinding ke arah tempatnya berdiri, dan ketika diperhatikan benda
itu adalah
kepala
Raden Werku Alit yang sesaat sebetumnya lehernya kena ditebas pedang Prabu
Kamandaka!
Kemarahan
Mahesa Birawa tiada terperikan. Dengan keris di tangan kanan dan gada
berduri
yang mempunyai tiga mata rantai berduri pula dia menyerbu ke hadapan Prabu
Kamandaka!
Namun
setiup angin dahsyat memotong serangannya itu dari samping. Dan ketika dia
berpaling
ternyata lagi-lagi pemuda itu yang menghalanginya!
“Aku lawanmu, Mahesa Birawa!,”
teriak pendekar 212 dengan bola mata bersinar-sinar.
“Kutunggu kau di bukit Jatimaleh!”
“Budak hina! Kuburmu adalah di
antara tumpukan mayat di tempat ini juga!,” bentak
Mahesa Birawa.
Sementara itu Prabu Kamandaka yang
tahu bahwa yang tadi hendak menyerangnya
adalah tokoh pemberontak kaki tangan
Werku Alit yang berbahaya segera berteriak berikan
perintah:
“Kurung bangsat-bangsat pemberontak ini!”
Dua
lusin prajurit, tiga kepala pasukan dan Prabu Kamandaka sendiri segera
mengurung
Mahesa
Birawa. Namun pada saat itu pula Wiro Sableng melompat ke muka dan berseru:
“Prabu
Kamandaka! Kau memang punya hak untuk menangkap dan membunuh manusia karena
dia
adalah pentolan pemberontak musuh Pajajaran! Tapi aku merasa lebih punya hak
untuk
membereskannya
karena dialah pembunuh ayahku dan penyebab kematian ibuku! Serahkan dia
padaku
Prabu Kamandaka!”
Raja
Pajajaran meski amarahnya hampir tak dapat dikendalikan lagi, tapi mendengar
ucapan
Wiro Sableng itu menahan juga serangannya dan bertanya: “Orang muda gagah, kau
siapakah?!”
Wiro
Sableng senyum sedikit. Diacungkannya kapak yang di tangan kanannya. Dan
pada
kedua mata kapak itu jelas kelihatan tiga rentetan angka. 212! Terkejutlah Sang
Prabu!
Tak
disangka pemuda itulah kiranya manusia aneh yang telah memberikan peringatan
kepadanya
sebelumnya tentang akan pecahnya pemberontakan. Tahu kalau si pemuda gagah
betul-betul
berada di pihaknya sendiri maka Prabu Pajajaran itu tidak keberatan mengabulkan
permintaan
Wiro Sableng. Dia beri isyarat agar prajurit-prajuritnya mundur kembali.
Sementara
itu
boleh dikatakan pertempuran sudah hampir berakhir. Balatentara pemberontak yang
kini
tidak
berpimpinan lagi sudah mundur jauh dari tembok Kerajaan dan terus dikejar oleh
pasukan
Pajajaran
sehingga lari kucar kacir. Dan di antara
gelimpangan mayat manusia di atas tanah
yang banjir darah, di udara yang
masih hangat oleh baunya maut maka berhadapanlah dua
musuh besar, Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 dengan Suranyali alias Mahesa Birawa!
Pendekar 212 baru saja pasang
kuda-kuda dan melintangkan kapak Naga Geni di
muka dada ketika dengan membentak
dahsyat Suranyali menerjang ke muka. Keris menusuk
ke kepala dan gada rantai berduri
menyapu ke perut!
“Ciaat!”
Wiro Sableng tak kalah sebat.
Tubuhnya berkelebat, Kapak Naga Geni berputar
dahsyat menimbulkan gelombang angin
dan mengeluarkan suara mengaung laksana suara
ratusan tawon! Gelombang angin itu
sekaligus membentur senjata-senjata Suranyali membuat
kedua tangan-tangannya laksana kena
dipukul mental!
Suranyali alias Mahesa Birawa kini
tidak bisa bertempur tanggung-tanggung lagi.
Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan
dan untuk kedua kalinya dia menyerbu ke muka!
Serangan kali ini lebih dahsyat dari
yang pertama namun pendekar 212 menunggu dengan tenang!
Setengah tombak tubuh lawan
mengapung ke arahnya Wiro Sableng sapukan Kapak
Maut Naga Geni ke muka dalam jurus Orang Gila Mengebut Lalat. Suranyali
merasakan badannya seperti membentur dinding yang tak kelihatan! Dengan
andalkan ilmu mengentengi tubuh yang sudah sempurna sekali, laki-laki ini
lompat ke samping. Kapak Naga Geni melesat di bawahnya dan pada detik itu pula
Suranyali kembali menukik dan babatkan gada berdurinya!
Yang diserang sama sekali tidak mau
mengelak, tapi putar Kapak Naga Geninya di atas kepala. Maka dua senjata
bentrokanlah dengan hebat, mengeluarkan suara nyaring!
Kapak Naga Geni memancarkan bunga
api, dua dari rantai besi berduri yang bergandul pada gada berduri di tangan
kiri Suranyali putus! Membuat pemiliknya jadi terkejut sekali! Dan dalam saat
itu pula laksana topan Kapak Naga Geni membalik membabat ke arah
selangkangannya! Suranyali berseru keras dan jungkir balik di udara! Keringat
dingin mengucur di kuduknya!
Prabu Kamandaka leletkan lidah
melihat pertempuran yang hebat itu.
Dalam waktu yang singkat kedua orang
itu telah bertempur dua puluh jurus! Dan kentara sekali bagaimana kini
Suranyali alias Mahesa Birawa mulai mendapat tekanantekanan hebat! Dan pada
saat laki-laki ini terpaksa buang penggada berdurinya karena senjata itu
dibabat puntung oleh kapak lawan!
Dengan penasaran Suranyali cabut
senjatanya yang lain yaitu sebuah tongkat besi yang ujungnya bercagak dua.
Tongkat besi ini memancarkan sinar kehijauan tanda bukan senjata sembarangan
dan menggndung racun yang hebat! Dengan keris di tangan kanan dan tongkat besi
bercagak di tangan kiri berkelebatlah Suranyali. Kedua senjatanya memancarkan
sinar dahsyat yang membungkus lawannya.
Namun yang dihadapi Suranyali saat
itu bukan manusia berilmu rendah dan bukan pula yang bersenjatakan senjata
biasa! Kapak Naga Geni 212 menderu-deru mengaung mengeluarkan sinar putih
menyilaukan. Tubuh
kedua orang itu hanya merupakan bayangbayang saja dan tiba-tiba terdengar
teriakan Suranyali. Keris di tangan kanannya terlepas mental patah dua. Kalau
saja dia tidak cepat-cepat tarik tangan kanannya pastilah tangan itu kena pula
dibabat kapak lawan! Suranyali melompat ke luar dari
kalangan pertempuran! Mukanya memucat laksana salju! Cepat-cepat dia atur jalan
nafasnya.
Ketika dia melangkah ke muka maka
kelihatanlah tangan kanannya sampai ke pangkal siku berwarna sangat hijau dan
bergetar.
“Pemuda hina dina! Kau lihat lengan
kananku ini?!” tanya Suranyali sambil acungkan tangan kanannya. “Tujuh belas
tahun yang lalu bapakmu meregang nyawa oleh pukulan Kelabang Hijau-ku! Kini
anaknya akan menerima bagian yang sama pula!”
Wiro Sableng tahu. kalau tujuh belas
tahun yang lalu musuh besarnya itu telah memiliki ilmu pukulan Kelabang Hijau
itu maka kini kehebatannya tentu tak dapat dibayangkan. Namun hal ini sama
sekali tidak menggetarkan hatinya! Kapak Naga Geni 212 dipindahkan ke tangan
kiri dan tiga perempat bagian tenaga dalamnya dialirkan ke tangan kanan. Dan
kelihatanlahtangan kanan itu menjadi sangat putih sedang kuku-kuku jarinya bersinar
memerah menyilaukan!
Terkejutlah
Suranyali melihat hal ini. Hatinya tergetar. “Pukulan sinar matahari…,”
desisnya. Pendekar 212 tertawa menggumam. “Silahkan mulai dahulu, Suranyali...,” katanya menantang! Diam-diam
Suranyali alirkan teluruh tenaga dalamnya ke lengan kanan. Mulutnya
komat-kamit. Kedua kakinya amblas lima senti ke dalam tanah yang basah oleh
genangan darah. Dan sambil lompat sembilan tombak ke atas kemudian laki-laki
ini hantamkan tangan kanannya ke muka!
Pendekar 212 tetap tak bergerak di
tempatnya. Sinar hijau dari pukulan lawan melesat ke arahnya dan disambutinya
dengan pukulan tangan kanan! Dua pukulan dahsyat beradu di udara mengeluarkan
suara berdentum! Sinar hijau dan putih saling nyambar dan memecah ke samping! Pekik jerit dari orang-orang
yang berdiri di tepi kalangan pertempuran terdengar di mana-mana. Tubuh mereka tergelimpang mati. Ada yang menjadi hijau akibat
racun pukulan Kelabang Hijau Suranyali dan banyak yang menjadi hangus hitam
tersambar pukulan sinar matahari Wiro Sableng! Prabu Kamandaka sendiri jika
tidak cepat-cepat melompat pastilah akan menjadi korban pula!
Ketika dua sinar itu beradu keras
Suranyali merasakan badannya menjadi panas. Celaka!
Keluhnya. Pukulannya kelabang
Hijaunya bukan saja musnah oleh pukulan lawan tapi juga kena dihantam
dikembalikan ke arah kedua kakinya. Cepat-cepat laki-laki ini ambil sebuah pil
dari sabuk di pinggangnya dan menelannya. Kemudian sesaat sesudah itu laksana
seekor elang dia menukik ke bawah, tusukan besi bercagaknya ke leher Wiro
Sableng. Wiro memapasi dengan kapaknya. Suranyali coba menjepit gagang kapak
dengan gagakan besi. Tapi “trang!”
Sekali kapak itu berkiblat maka
patahkan senjata Suranyali. Sebelum dia sempat menjejakkan kaki di tanah,
sebelum dia sanggup menjauhi lawan maka Kapak Naga Geni 212 menderu lagi kali
ini tiada ampun membabat kuntung bahu kanan Suranyali! Laki-laki ini melolong
seperti srigala haus darah! Tubuhnya limbung menghuyung!
Wiro Sableng tertawa mengekeh.
“Itu dari ayahku, Suranyali!”
katanya. “Dan ini dari ibuku!” Kapak Naga Geni berkiblat lagi. Suranyali coba
menghindar dengan segala daya tapi tak berhasil. Bahu kirinya terpapas mental.
Darah menyembur! Sungguh mengerikan menyaksikan tubuh Suranyali yang tanpa
lengan itu!
“Yang ini dari Eyang Sinto Gendeng,
Suranyali!” kata Wiro Sableng pula dengan masih tertawa mengekeh seperti tadi.
Kapak Naga Geni sekali lagi menderu. Tubuh Suranyali mental tersandar ke tembok
Kerajaan! Dadanya sampai ke perut robek besar. Darah membanjir dan ususnya
menjela-jela. Pendekar 212 masih belum puas.
“Yang terakhir ini dariku sendiri,
Suranyali!,” katanya.
Ketika Kapak Maut Naga Geni 212 itu
membelah kepala Suranyali alias Mahesa Birawa itu, tiada terdengar pekikan atau
keluh kematian dari mulutnya.
Tubuhnya masih tersandar sesaat
lamanya pada tembok Kerajaan, kemudian merosot ke bawah dan tergelimpang di
atas mayat-mayat pemberontak lainnya. Tapi tubuh itu tak berada lama
menggeletak di sana. Sekali kaki kanan Wiro Sableng menendang maka mentallah
tubuh musuh bebuyutannya itu sampai belasan tombak!
Wiro Sableng tertawa mengekeh, lama
dan panjang. dimasukkannya Kapak Naga Geni 212 ke balik pinggangnya. Kemudian
seperti tak ada kejadian apa-apa, seperti dia bukan berada di antara hamparan
ratusan mayat, pemuda ini melangkah seenaknya bahkan dengan bersiul!
“Saudara muda!,” Prabu Kamandaka
memburu. “Tunggu dulu.... !”
Pendekar 212 berpaling.
“Ah.... aku sampai lupa minta diri
padamu Prabu Kamandaka....”
“Saudara, kau tak boleh pergi
dulu...”
“Kenapa?”
“Ikutlah ke istana. Kau telah
berjasa besar dan....”
“Jasa hanyalah jasa Sang Prabu.
Hanya sekedar kenang-kenangan indah. Bagiku jasa tidak berarti mengharapkan balas imbalan. Selamat tinggal....”
Prabu Kamandaka memegang bahu pemuda
itu. “Kuharap kau sudi datang ke istana terlebih dahulu, saudara,” katanya.
“Terima kasih Sang Prabu, terima
kasih....,” sahut pendekar 212.
“Kalau begitu beri tahu saja
namamu....”
Wiro
Sableng tersenyum. “Namaku tidak penting Sang Prabu. Cuma ingatlah angka 212.
Mungkin
suatu ketika angka itu akan kembali lagi ke Pajajaran ini.... Dan satu hal....
jangan lupa sampaikan salamku buat adikmu.... Rara Murni....”
“Akan
kusampaikan” kata Prabu Kamandaka pula., Dan semua mata kemudian menyaksikan
kepergian pendekar muda itu. Prabu Pajajaran akhirnya geleng-geleng kepala dan
tarik nafas panjang. “Pemuda hebat.... pemuda gagah....,”
katanya. “Pajajaran berhutang besar kepadamu. Jasamu tak akan dilupakan sampai
turun temurun....”.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar