KOLAM
Ikan-ikan berenangan dalam kolam yang bening-bening
Tak tepercik niat meloncat menerjang langit luas terbentang
Tak tepercik niat meloncat menerjang langit luas terbentang
WAYANG
Bayang-bayang yang digerakkan sang dalang
datang dan hilang, hanya jejaknya tinggal terkenang
datang dan hilang, hanya jejaknya tinggal terkenang
SUNGAI
Dari hulu hingga ke muara, berapa kali ganti nama?
Air yang mengalir sama juga, hanya saja bertukar warna
Air yang mengalir sama juga, hanya saja bertukar warna
DI DEPAN LUKISAN SADALI
Dalam keindahan kutemukan keheningan
dan dalam keheningan kudapati kesalihan
dan dalam keheningan kudapati kesalihan
MATAHARI
Kutembus mega yang putih, yang kelabu, yang hitam sekali
Di baliknya kucari yang terang : Sinar si matahari!
Di baliknya kucari yang terang : Sinar si matahari!
INGAT AKU DALAM DOAMU
Ingat aku dalam do'amu: di depan makam Ibrahim
akan dikabulkan Yang Maha Rahim
Hidupku di dunia ini, di alam akhir nanti
lindungi dengan rahmat, limpahi dengan kurnia Gusti
Ingat aku dalam do'amu: di depan makam Ibrahim
di dalam solatmu, dalam sadarmu, dalam mimpimu
Setiap tarikan nafasku, pun waktu menghembuskannya
jadilah berkah, semata limpahan rido Illahi
Ya Robbi!
Biarkan kasih-Mu mengalir abadi
Ingat aku dalam do'a-Mu
Ingat aku dalam firman-Mu
Ingat aku dalam diam-Mu
Ingat aku
Ingat
Amin
akan dikabulkan Yang Maha Rahim
Hidupku di dunia ini, di alam akhir nanti
lindungi dengan rahmat, limpahi dengan kurnia Gusti
Ingat aku dalam do'amu: di depan makam Ibrahim
di dalam solatmu, dalam sadarmu, dalam mimpimu
Setiap tarikan nafasku, pun waktu menghembuskannya
jadilah berkah, semata limpahan rido Illahi
Ya Robbi!
Biarkan kasih-Mu mengalir abadi
Ingat aku dalam do'a-Mu
Ingat aku dalam firman-Mu
Ingat aku dalam diam-Mu
Ingat aku
Ingat
Amin
SEMBAHYANG MALAM
Alam semesta
Hening menggenang
Air mata yang deras mengalir
bersumber pada kalbu-Mu
Hening menggenang
Air mata yang deras mengalir
bersumber pada kalbu-Mu
JARAK
Berapa jauh jarak terentang
antara engkau dengan aku
Berapa jauh jarak terentang
antara engkau dengan urat leherku?
Tak pun sepatah kata
memisahkan kita
antara engkau dengan aku
Berapa jauh jarak terentang
antara engkau dengan urat leherku?
Tak pun sepatah kata
memisahkan kita
HIDUP
Jika hidup telah kautetapkan hingga yang kecil mecil
Untuk apa suara hati terombang-ambing dalam sabil?
Untuk apa suara hati terombang-ambing dalam sabil?
TANDATANYA
Dalam diammu
engkau sebuah tandatanya
Dalam tandatanya
engkau adalah jawabnya
Dalam heningmu
Siapa masih bertanya?
Siapa masih menyeru?
Siapa masih ragu?
engkau sebuah tandatanya
Dalam tandatanya
engkau adalah jawabnya
Dalam heningmu
Siapa masih bertanya?
Siapa masih menyeru?
Siapa masih ragu?
NISAN
1
Dengan patuh kautempuh jentera hari
dari masyrik sampai maghribi
Tiba di jalan buntu : tak ayal lagi
Liang lahat dan nisanmu sendiri
2
Telah kauukur hidup: cuma sampai situ !
Di seberang sana bukan lagi daerahmu
Dengan patuh kautempuh jentera hari
dari masyrik sampai maghribi
Tiba di jalan buntu : tak ayal lagi
Liang lahat dan nisanmu sendiri
2
Telah kauukur hidup: cuma sampai situ !
Di seberang sana bukan lagi daerahmu
PERTEMUAN DUA ORANG SUFI
Ketika keduanya berpapasan, tak sepatah pun kata teguran
Hanya dua pasang mata yang tajam bersitatapan
Suhrawardi atas kuda : "Betapa dalam kulihat
Samudra segala hakikat!"
Dan Muhyiddin di atas keledai: "Betapa fana dia
yang setia menjalani teladan Rasulnya."
Ketika keduanya bertemu, tak pun kata-kata salam
Tapi keduanya telah sefaham dalam diam.
Hanya dua pasang mata yang tajam bersitatapan
Suhrawardi atas kuda : "Betapa dalam kulihat
Samudra segala hakikat!"
Dan Muhyiddin di atas keledai: "Betapa fana dia
yang setia menjalani teladan Rasulnya."
Ketika keduanya bertemu, tak pun kata-kata salam
Tapi keduanya telah sefaham dalam diam.
AKU
Tinju menghantam. Belati menikam.
Seluruh dunia bareng menyerang, menerkam.
Aku bertahan. Karena diriku
Dalam badai, gunung membatu.
Lengang sebatang pinang
Di padang pusaran topan.
Segala arah menyerang. Dari luar, dalam.
Tikaman tiada henti. Siang, malam.
Aku bertahan. Karena hidup
Muatan duka nestapa
Yang kuterima ganda ketawa
1963
Seluruh dunia bareng menyerang, menerkam.
Aku bertahan. Karena diriku
Dalam badai, gunung membatu.
Lengang sebatang pinang
Di padang pusaran topan.
Segala arah menyerang. Dari luar, dalam.
Tikaman tiada henti. Siang, malam.
Aku bertahan. Karena hidup
Muatan duka nestapa
Yang kuterima ganda ketawa
1963
MIMPI KITA SIANG HARI
I
Dalam terik sinar matahari
Kulihat kau melambai:
Bayang-bayangku ataukah aku sendiri
Yang kaupeluk dan kaubelai?
II
Kebun belakang rumah, kolam ikan
Anak-anak bermain, kau menyulam
Menjalin helai-helai peruntungan kita
Dengan benang cinta.
III
Dalam cahaya rembulan
Kau perlahan bersenandung
Meski terpisah gelombang lautan
Kudengar sansai suaramu murung
IV
Jalan lengang panjang,
Wahai!
Mengarah ke batik kelam,
Aduhai!
1969
Dalam terik sinar matahari
Kulihat kau melambai:
Bayang-bayangku ataukah aku sendiri
Yang kaupeluk dan kaubelai?
II
Kebun belakang rumah, kolam ikan
Anak-anak bermain, kau menyulam
Menjalin helai-helai peruntungan kita
Dengan benang cinta.
III
Dalam cahaya rembulan
Kau perlahan bersenandung
Meski terpisah gelombang lautan
Kudengar sansai suaramu murung
IV
Jalan lengang panjang,
Wahai!
Mengarah ke batik kelam,
Aduhai!
1969
KUCARI MUSIK
Kucari musik
Yang brisik
Yang berontak
Memberangsang
Kucari musik
Yang sejuk
Yang mengalun
Tenteram
Kucari musik. Setiap saat kucari musik.
Musik yang menggairahkan
Mengendap dalam hati.
Musik menyelinap dalam celah-celah waktu
Merasuk dalam jiwa
Mengusap luka-luka hidup yang nyeri
Dan menidurkan tangan-tangan durhaka yang lelah
Dalam pangkuanMu.
Maka kasihMu
mengalir abadi.
1968
Yang brisik
Yang berontak
Memberangsang
Kucari musik
Yang sejuk
Yang mengalun
Tenteram
Kucari musik. Setiap saat kucari musik.
Musik yang menggairahkan
Mengendap dalam hati.
Musik menyelinap dalam celah-celah waktu
Merasuk dalam jiwa
Mengusap luka-luka hidup yang nyeri
Dan menidurkan tangan-tangan durhaka yang lelah
Dalam pangkuanMu.
Maka kasihMu
mengalir abadi.
1968
HANYA DALAM PUISI
Dalam kereta api
Kubaca puisi: Willy dan Mayakowsky
Namun kata-katamu kudengar
Mengatasi derak-derik deresi.
Kulempar pandang ke luar:
Sawah-sawah dan gunung-gunung
Lalu sajak-sajak tumbuh
Dari setiap bulir peluh
Para petani yang terbungkuk sejak pagi
Melalui hari-hari keras dan sunyi.
Kutahu kau pun tahu:
Hidup terumbang-ambing antara langit dan bumi
Adam terlempar dari surga
Lalu kian kemari mencari Hawa.
Tidakkah telah menjadi takdir penyair
Mengetuk pintu demi pintu
Dan tak juga ditemuinya: Ragi hati
Yang tak mau
Menyerah pada situasi?
Dalam lembah menataplah wajahmu yang sabar.
Dari lembah mengulurlah tanganmu yang gemetar.
Dalam kereta api
Kubaca puisi: turihan-turihan hati
Yang dengan jari-jari besi sang Waktu
Menentukan langkah-langkah Takdir: Menjulur
Ke ruang mimpi yang kuatur
sia-sia.
Aku tahu.
Kau pun tahu. Dalam puisi
Semuanya jelas dan pasti.
1968
Kubaca puisi: Willy dan Mayakowsky
Namun kata-katamu kudengar
Mengatasi derak-derik deresi.
Kulempar pandang ke luar:
Sawah-sawah dan gunung-gunung
Lalu sajak-sajak tumbuh
Dari setiap bulir peluh
Para petani yang terbungkuk sejak pagi
Melalui hari-hari keras dan sunyi.
Kutahu kau pun tahu:
Hidup terumbang-ambing antara langit dan bumi
Adam terlempar dari surga
Lalu kian kemari mencari Hawa.
Tidakkah telah menjadi takdir penyair
Mengetuk pintu demi pintu
Dan tak juga ditemuinya: Ragi hati
Yang tak mau
Menyerah pada situasi?
Dalam lembah menataplah wajahmu yang sabar.
Dari lembah mengulurlah tanganmu yang gemetar.
Dalam kereta api
Kubaca puisi: turihan-turihan hati
Yang dengan jari-jari besi sang Waktu
Menentukan langkah-langkah Takdir: Menjulur
Ke ruang mimpi yang kuatur
sia-sia.
Aku tahu.
Kau pun tahu. Dalam puisi
Semuanya jelas dan pasti.
1968
TRETES MALAMHARI
Di Tretes malamhari
Semuanya jadi mati:
Surabaya nun jauh di bawah
Gunung Wilis terpacak sebelah kiri
(Aku teringat akan leluri
Ten tang Buta Locaya dan Plecing Kuning)
Apakah Waktu di sini berhenti
Mengendap dalam cahaya lampu pelabuhan
di tepi kaki langit?
Angin naik dari lembah.
Bayang-bayang daun bergoyang
Rumput-rumput pun berdesir.
Ataukah
Hanya hatiku bergetar?
Kucari kau .
Kucari di remang hijau.
Yang mengambang di muka kolam
Wajahmu ataukah bayangan bulan?
Lalu kututupkan jendela.
Malam lengang.
Malamku yang lengang.
1968
Semuanya jadi mati:
Surabaya nun jauh di bawah
Gunung Wilis terpacak sebelah kiri
(Aku teringat akan leluri
Ten tang Buta Locaya dan Plecing Kuning)
Apakah Waktu di sini berhenti
Mengendap dalam cahaya lampu pelabuhan
di tepi kaki langit?
Angin naik dari lembah.
Bayang-bayang daun bergoyang
Rumput-rumput pun berdesir.
Ataukah
Hanya hatiku bergetar?
Kucari kau .
Kucari di remang hijau.
Yang mengambang di muka kolam
Wajahmu ataukah bayangan bulan?
Lalu kututupkan jendela.
Malam lengang.
Malamku yang lengang.
1968
BAYANGAN
Bayanganmu terekam pada permukaan piring, pada dinding
Pada langit, awan, ah, ke mana pun aku berpaling:
Dan di atas atap rumah angin pun bangkit berdesir
Menyampaikan bisikmu dalam dunia penuh bisik.
Masihkah dinihari Januari yang renyai
Suatu tempat bagi tanganku membelai?
Telah habis segala kata namun tak terucapkan
Rindu yang berupa suatu kebenaran.
Bayangan, ah, bayanganmu yang menagih selalu
Tidakkah segalanya sudah kusumpahkan demi Waktu?
Tahun-tahun pun akan sepi berlalu, kutahu
Karena dunia resah 'kan diam membisu.
1967
Pada langit, awan, ah, ke mana pun aku berpaling:
Dan di atas atap rumah angin pun bangkit berdesir
Menyampaikan bisikmu dalam dunia penuh bisik.
Masihkah dinihari Januari yang renyai
Suatu tempat bagi tanganku membelai?
Telah habis segala kata namun tak terucapkan
Rindu yang berupa suatu kebenaran.
Bayangan, ah, bayanganmu yang menagih selalu
Tidakkah segalanya sudah kusumpahkan demi Waktu?
Tahun-tahun pun akan sepi berlalu, kutahu
Karena dunia resah 'kan diam membisu.
1967
ANTARA KITA
Pabila jiwa bertelanjang depan jiwa
Suatu pun tiada guna: basa-basi, upacara ....
Jarak pun tiada lagi, sehingga cukuplah
Sekulum senyum, sekerling mata. Sudah!
1960
Suatu pun tiada guna: basa-basi, upacara ....
Jarak pun tiada lagi, sehingga cukuplah
Sekulum senyum, sekerling mata. Sudah!
1960
CINTA DAN KEPERCAYAAN
Dalam hidup 'kan kupertahankan
Nilai hubungan antar-manusia, didasarkan
Atas cinta dan kepercayaan.
'Kan kupertahankan kehangatan
Gamitan dua tangan, menyampaikan
Kehangatan rasa dua jiwa.
Cinta adalah bunga tumbuh
Atas kesuburan tanah kasih, berakarkan
Hati mau mengerti, saling membagi.
Dan kepercayaan, landasan
Kerelaan dan kemesraan.
Pertalian dua hati.
1960
Nilai hubungan antar-manusia, didasarkan
Atas cinta dan kepercayaan.
'Kan kupertahankan kehangatan
Gamitan dua tangan, menyampaikan
Kehangatan rasa dua jiwa.
Cinta adalah bunga tumbuh
Atas kesuburan tanah kasih, berakarkan
Hati mau mengerti, saling membagi.
Dan kepercayaan, landasan
Kerelaan dan kemesraan.
Pertalian dua hati.
1960
DIRIKU
Diriku samudra
Dilayari kapal, perahu, bajak
Tiada jejak.
Yang sementara
Berasal dari Tiada
'Kan lenyap dalam
Tada
1961
Dilayari kapal, perahu, bajak
Tiada jejak.
Yang sementara
Berasal dari Tiada
'Kan lenyap dalam
Tada
1961
TENTANG MAUT
I
Kulihat manusia lahir, hidup, lalu mati
Menerima atau menolak, tak peduli
Dengan tangan dingin namun pasti
Sang Maut datang dan tiap hidup ia akhiri.
Kuperhatikan perempuan sedang mengandung
Wajahnya riang, mimpinya menimang si jabang
Namun kulihat Sang Maut aman berlindung
Dalam rahim sang ibu ia bersarang.
Kuperhatikan bayi lahir
Dan pertama kali udara dia hirup
Dalam tangisnya kudengar Sang Maut menyindir:
"Jangan nangis, kelak pun hidupmu kututup".
II
Yang kukandung sejak hidup kumulai
Takkan kutolak, meski ia kubenci
Tapi kalau hidupku nak dikunci
Datang Tuhan menawari:
"Sukakah kau hidup semenit lagi?"
Kujawab pasti: "Suka sekali!"
III
Seperti gelap bagi kanak-kanak, pernah pada Maut aku ngeri
Karena tak berketentuan, bisa nyergap sesuka hati
Membayangi langkah, mengintip menanti saat
Dan bagi kesadaran jadi beban paling berat.
Kupertentangkan ia dengan Hidup yang seolah 'kan dia rebut
Kupilih pihak: Karena pada siksa neraka aku takut;
Namun kini tiada lagi, karena selalu kudapati
Napasnya menghembus dalam tiap hidup yang fana ini.
1960
Kulihat manusia lahir, hidup, lalu mati
Menerima atau menolak, tak peduli
Dengan tangan dingin namun pasti
Sang Maut datang dan tiap hidup ia akhiri.
Kuperhatikan perempuan sedang mengandung
Wajahnya riang, mimpinya menimang si jabang
Namun kulihat Sang Maut aman berlindung
Dalam rahim sang ibu ia bersarang.
Kuperhatikan bayi lahir
Dan pertama kali udara dia hirup
Dalam tangisnya kudengar Sang Maut menyindir:
"Jangan nangis, kelak pun hidupmu kututup".
II
Yang kukandung sejak hidup kumulai
Takkan kutolak, meski ia kubenci
Tapi kalau hidupku nak dikunci
Datang Tuhan menawari:
"Sukakah kau hidup semenit lagi?"
Kujawab pasti: "Suka sekali!"
III
Seperti gelap bagi kanak-kanak, pernah pada Maut aku ngeri
Karena tak berketentuan, bisa nyergap sesuka hati
Membayangi langkah, mengintip menanti saat
Dan bagi kesadaran jadi beban paling berat.
Kupertentangkan ia dengan Hidup yang seolah 'kan dia rebut
Kupilih pihak: Karena pada siksa neraka aku takut;
Namun kini tiada lagi, karena selalu kudapati
Napasnya menghembus dalam tiap hidup yang fana ini.
1960
TAMU
Kau yang menjenguk ke dalam relung hatiku
Meninggalkan jejak menjadi saksi. Sejarah, pahatan batu .
Dari dendam yang rindu. Tak nanti
Hidup hanya rangkaian mimpi-mimpi. Aku tahu!
1969
Meninggalkan jejak menjadi saksi. Sejarah, pahatan batu .
Dari dendam yang rindu. Tak nanti
Hidup hanya rangkaian mimpi-mimpi. Aku tahu!
1969
SAJAK BUAT TUHAN II
II
Makin terasa, betapa sendiri
Hidupku bermukim di bumi. Tiada kawan
yang mau mengulurkan tangan
dan sedia bersama menempuh jalan
tatkalaa tiap langkah buntu.
Tak seorang pun, juga Kau
datang mendekat, menepuk-nepuk bahu
menganjurkan tabah dan jangan ragu.
Tiada. Hanya aku saja lagi
yang setia padaku. Hidup bersama
dalam duka dan putusasa.
Hanya aku jua, yang tetap cinta
kepada hidupku, tiada dua! Duh, tiada
lagi yang lain kujadikan gagang
tempat sirih pulang.
Rasa sendiri di dunia ramai, mengeratkan
aku padaMu, sepi-mutlak!
Rasa lengang di tengah orang, menyadarkan
antara Kau dan aku tiada jarak!
Saat seluruh bumi diam sunyi ....
16-4-1960
Makin terasa, betapa sendiri
Hidupku bermukim di bumi. Tiada kawan
yang mau mengulurkan tangan
dan sedia bersama menempuh jalan
tatkalaa tiap langkah buntu.
Tak seorang pun, juga Kau
datang mendekat, menepuk-nepuk bahu
menganjurkan tabah dan jangan ragu.
Tiada. Hanya aku saja lagi
yang setia padaku. Hidup bersama
dalam duka dan putusasa.
Hanya aku jua, yang tetap cinta
kepada hidupku, tiada dua! Duh, tiada
lagi yang lain kujadikan gagang
tempat sirih pulang.
Rasa sendiri di dunia ramai, mengeratkan
aku padaMu, sepi-mutlak!
Rasa lengang di tengah orang, menyadarkan
antara Kau dan aku tiada jarak!
Saat seluruh bumi diam sunyi ....
16-4-1960
SAJAK BUAT TUHAN
I
Kalau aku bicara padaMu, Tuhan
Bukan mau mengadukan dera dan derita
Tak kuharap Kau berdiri di depan
Ke dahiku mengeluskan tangan mesra
Kalau kutulis sajak ini, Tuhan
Bukan lantaran rindu-dendam atau demam
Tak kuharap Kau membacanya
Sambil duduk mengisap pipa kala senja
Karena Kau lebih tahu apa rasa hatiku
Dan mengerti bagaimana pikiranku
Karena Kau paling Aku dari aku
Yang terkadang kesamaran sama bayangan.
8-1-1960
Kalau aku bicara padaMu, Tuhan
Bukan mau mengadukan dera dan derita
Tak kuharap Kau berdiri di depan
Ke dahiku mengeluskan tangan mesra
Kalau kutulis sajak ini, Tuhan
Bukan lantaran rindu-dendam atau demam
Tak kuharap Kau membacanya
Sambil duduk mengisap pipa kala senja
Karena Kau lebih tahu apa rasa hatiku
Dan mengerti bagaimana pikiranku
Karena Kau paling Aku dari aku
Yang terkadang kesamaran sama bayangan.
8-1-1960
IBUNDA
Ia terbujur
Bumi subur
Lembah-lembah dan gunung
Telentang tenang
Tangannya mengusap sayang
Perut mengandung.
Matanya nyalang
Langit-langit pun hilang
Karena langit penuh bintang
Dan pahlawan menyandang pedang
Naik kuda hitam zanggi
Adalah masadepan si-jabang
yang dalam rahim
menggeliat geli.
la memejam
Menahan nyeri.
Lalu terbayang
Bundanya tersenyum di ambang
"Tidakkah dahulu
Kusakiti juga bundaku?"
Keringat bermanik bening
Atas jidat, kening.
Ia mengerang
Dan malam yang lengang
Mendengar lantang
Teriakan si-jabang.
1961
Bumi subur
Lembah-lembah dan gunung
Telentang tenang
Tangannya mengusap sayang
Perut mengandung.
Matanya nyalang
Langit-langit pun hilang
Karena langit penuh bintang
Dan pahlawan menyandang pedang
Naik kuda hitam zanggi
Adalah masadepan si-jabang
yang dalam rahim
menggeliat geli.
la memejam
Menahan nyeri.
Lalu terbayang
Bundanya tersenyum di ambang
"Tidakkah dahulu
Kusakiti juga bundaku?"
Keringat bermanik bening
Atas jidat, kening.
Ia mengerang
Dan malam yang lengang
Mendengar lantang
Teriakan si-jabang.
1961
KEBENARAN
buta oleh dusta yang membias-silau
nilai-nilai kebenaran pun disembunyikan:
namun di antara semak-rumputan hijau
ia tetap bersinar kemilau:
Tak nanti terpadamkan!
nilai-nilai kebenaran pun disembunyikan:
namun di antara semak-rumputan hijau
ia tetap bersinar kemilau:
Tak nanti terpadamkan!
HARITUAKU
Pabila harituaku tiba, kelak suatu masa
Kacamata tebal atas hidung, bersenandung
Menembangkan lelakon lama. La1u tersenyum
Memandang bayangan atas kaca jendela
Yang putih warnanya, sampai pun alis, bulu mata ...
Maka namamu 'kan kusebut, dengan bibir gemetar
Bagai ayat kitab suci, tak sembarang boleh terdengar
Namun kala itu yang empunya nama entah di mana
Apakah lagi menyulam, duduk bungkuk atas kursi rotan
Ataukah sedang menimang cucu, mungkin pula telah lama
Aman berbaring dalam tilam penghabisan.
Dan pabila giliranku tiba, telentang
Dengan kedua belah tangan bersilang
Sebelum Sang Maut menjemput
Sekali lagi namamu 'kan kusebut, lalu diam. Mati.
1963
Kacamata tebal atas hidung, bersenandung
Menembangkan lelakon lama. La1u tersenyum
Memandang bayangan atas kaca jendela
Yang putih warnanya, sampai pun alis, bulu mata ...
Maka namamu 'kan kusebut, dengan bibir gemetar
Bagai ayat kitab suci, tak sembarang boleh terdengar
Namun kala itu yang empunya nama entah di mana
Apakah lagi menyulam, duduk bungkuk atas kursi rotan
Ataukah sedang menimang cucu, mungkin pula telah lama
Aman berbaring dalam tilam penghabisan.
Dan pabila giliranku tiba, telentang
Dengan kedua belah tangan bersilang
Sebelum Sang Maut menjemput
Sekali lagi namamu 'kan kusebut, lalu diam. Mati.
1963
HARI LEBARAN
Hari ini hari hati percaya
Akan arti hidup dan mati, yang cuma sempat
Direnungkan setahun sekali. Sungguh besar maknanya
Jalan panjang menuju liang-lahat.
Hari ini hari kesadaran akan tradisi
Menyempatkan umat sejenak bersama-sama
Menghirup udara lega dalam kepungan derita
Sehari-hari yang bikin orang jauh-menjauhi.
Hari ini hariku pertama 'kan menjalani
Hidup antara manusia, sedangkan diriku sendiri
Makin sepi terasing, lantaran mengerti
Kelengangan elang di langit tinggi.
Jatiwangi, H. 1381
Akan arti hidup dan mati, yang cuma sempat
Direnungkan setahun sekali. Sungguh besar maknanya
Jalan panjang menuju liang-lahat.
Hari ini hari kesadaran akan tradisi
Menyempatkan umat sejenak bersama-sama
Menghirup udara lega dalam kepungan derita
Sehari-hari yang bikin orang jauh-menjauhi.
Hari ini hariku pertama 'kan menjalani
Hidup antara manusia, sedangkan diriku sendiri
Makin sepi terasing, lantaran mengerti
Kelengangan elang di langit tinggi.
Jatiwangi, H. 1381
EPISODE
Di luar alam gerimis
karena kau menangis
dan airmatamu
membasahi dadaku.
Padang ilalang bergelombang
dan angin semilir,
rumpun bambu berkesiur, burung terbang,
gemuruh airterjun, menghilir
Adalah mimpi yang jauh
adalah harapan yang jauh
dalam cinta yang rapuh.
Yang abadi
di dunia sebelum mati
hanya kenangan
yang muncul sesekali
1963
karena kau menangis
dan airmatamu
membasahi dadaku.
Padang ilalang bergelombang
dan angin semilir,
rumpun bambu berkesiur, burung terbang,
gemuruh airterjun, menghilir
Adalah mimpi yang jauh
adalah harapan yang jauh
dalam cinta yang rapuh.
Yang abadi
di dunia sebelum mati
hanya kenangan
yang muncul sesekali
1963
JERAM
Air beterjunan dalam jeram
Buihnya memercik ke tebing tempat kami berbaring
Dan ia mengelaikan kepala
Dengan mata meram terpejam
Atas tanganku yang mencari-cari
Arah manakah burung gagak hinggap
yang suaranya nyaring
Memecah ketenangan hutan
Sehabis hujan.
Air beterjunan dalam jeram
Jerom gemuruh dalam darahku
Dan dalam mimpi keabadian yang nyaman
Kubisikkan kata-kata bagaikan desir angin
Mengeringkan keringat atas kening
Sedang mataku memandang tak yakin
Air berbuih yang menghilir
Entah kapan 'kan tiba
Di muara
Air beterjunan dalam jeram
Kata-kata beterjunan dari mulutku
Sungai pun tahu arti muara
Yang tak sia-sia menunggu.
Burung gagak berteriak entah di mana
Dan ia bersenandung entah mengapa
Karena dalam kesesaatan tak terjawab tanya lama
Yang sudah lama hanya tanya: Hingga mana? Pabila?
Mau apa... ?
Dan dengan jari-jari gemetar
Kuyakinkan hatiku sendiri: Segalanya
Berlaku percuma serta sia-sia
Dan perempuan ini 'kan mati dalam kepingin
Karena angin hanya angin
Karena jeram beterjunan dalam diriku
Yang tak mengenal musim kemarau
Air beterjunan dalam jeram
Dan jeram beterjunan dalam darahku.
1962
Buihnya memercik ke tebing tempat kami berbaring
Dan ia mengelaikan kepala
Dengan mata meram terpejam
Atas tanganku yang mencari-cari
Arah manakah burung gagak hinggap
yang suaranya nyaring
Memecah ketenangan hutan
Sehabis hujan.
Air beterjunan dalam jeram
Jerom gemuruh dalam darahku
Dan dalam mimpi keabadian yang nyaman
Kubisikkan kata-kata bagaikan desir angin
Mengeringkan keringat atas kening
Sedang mataku memandang tak yakin
Air berbuih yang menghilir
Entah kapan 'kan tiba
Di muara
Air beterjunan dalam jeram
Kata-kata beterjunan dari mulutku
Sungai pun tahu arti muara
Yang tak sia-sia menunggu.
Burung gagak berteriak entah di mana
Dan ia bersenandung entah mengapa
Karena dalam kesesaatan tak terjawab tanya lama
Yang sudah lama hanya tanya: Hingga mana? Pabila?
Mau apa... ?
Dan dengan jari-jari gemetar
Kuyakinkan hatiku sendiri: Segalanya
Berlaku percuma serta sia-sia
Dan perempuan ini 'kan mati dalam kepingin
Karena angin hanya angin
Karena jeram beterjunan dalam diriku
Yang tak mengenal musim kemarau
Air beterjunan dalam jeram
Dan jeram beterjunan dalam darahku.
1962
TIADA YANG LEBIH AMAN
Tiada yang lebih aman, pun tiada yang lebih nikmat
Membayangkan masalampau yang dalam kenangan terpahat.
Tiada yang lebih berat, pun tiada yang lebih berarti
Dan saat kini yang 'kan seg'ra lepas pula jadi mimpi.
Tiada yang lebih gamang, pun tiada yang lebih senang
Menghadapi masadatang, yang 'kan segera jadi sekarang.
Detik-detik berloncatan, tak satu pun kembali terulang
Karena antara tadi dan nanti, sekarang menghalang.
1962
Membayangkan masalampau yang dalam kenangan terpahat.
Tiada yang lebih berat, pun tiada yang lebih berarti
Dan saat kini yang 'kan seg'ra lepas pula jadi mimpi.
Tiada yang lebih gamang, pun tiada yang lebih senang
Menghadapi masadatang, yang 'kan segera jadi sekarang.
Detik-detik berloncatan, tak satu pun kembali terulang
Karena antara tadi dan nanti, sekarang menghalang.
1962
JALAN LEMPENG
sebuah lukisan S. Soedjojono
Burung gagak, burung gagak! Biarkan dia berjalan!
Biarkan dia berjalan, membungkuk pada keyakinannya
Bertolak dari bumi kehidupan lampau, begitu ia melangkah
Pasti dan yakin. Karena ada mimpi di balik gunung itu:
Lembah hijau hidup segar. Karena di sini batu mencair
Gurun mati. Tandus dan sepi.
Burung gagak, biarkan dia berjalan. Di ruas-ruas langkahnya
Menyala dendam pada bumi lampau. Di dadanya padat kesumat
Pada dunia kehidupan yang mati di sini.
Burung gagak, sampaikan salamku padanya. Salam bagi
Yang sudah melangkah atas keyakinan. Salam bagi
Yang sudah berani bikin perhitungan tandas sekali.
Gunung-gunung yang membatu, gersang dan kering,
kan takluk pada tapaknya.
Satu demi satu kan dilewatinya. Ia terjang dunia mati.
Burung gagak, kini ia berjalan. Melangkah dengan gagah
Ia tahu di balik gunung ada mimpi, ada lembah
Tidak cair meleleh seperti bumi yang menggolak ini.
Semua kan tunduk kepadaNya.
Semua kan menyerah pada langkahnya. Karena ia berjalan
Atas keyakinan.
Biarkan dia berjalan!
Gunung dari lembah sana, gaung dari mimpi diri.
Burung gagak, ia dengar nyanyi itu. Dan ia menuju ke situ.
Pohon-pohon mati dan sepi. Padang pun mati dan sepi.
Batu-batu mencongak ngeri, tajam dan mengancam.
Tapi ia melangkah menuju lembah-lembah mimpi.
Ia sendirian. Batu-batu dan alam geram.
Gunung mendinding di ujung. Langit pun kan menerkam.
Dan ia melangkah dengan pasti: Batu cair jadi beku.
Langit pun jadi membiru, mengucapkan selamat jalan
Menempuh kehidupan.
Burung gagak, burung gagak, biarkan dia berjalan
Sampaikan salam yang erat dan hangat. Ia yang yakin
Ada mimpi di balik gunung batu, ada lembah hijau dan lembut
Kehidupan tenang, sawah-ladang, padang rumput....
Jangan kauganggu!
1955
Burung gagak, burung gagak! Biarkan dia berjalan!
Biarkan dia berjalan, membungkuk pada keyakinannya
Bertolak dari bumi kehidupan lampau, begitu ia melangkah
Pasti dan yakin. Karena ada mimpi di balik gunung itu:
Lembah hijau hidup segar. Karena di sini batu mencair
Gurun mati. Tandus dan sepi.
Burung gagak, biarkan dia berjalan. Di ruas-ruas langkahnya
Menyala dendam pada bumi lampau. Di dadanya padat kesumat
Pada dunia kehidupan yang mati di sini.
Burung gagak, sampaikan salamku padanya. Salam bagi
Yang sudah melangkah atas keyakinan. Salam bagi
Yang sudah berani bikin perhitungan tandas sekali.
Gunung-gunung yang membatu, gersang dan kering,
kan takluk pada tapaknya.
Satu demi satu kan dilewatinya. Ia terjang dunia mati.
Burung gagak, kini ia berjalan. Melangkah dengan gagah
Ia tahu di balik gunung ada mimpi, ada lembah
Tidak cair meleleh seperti bumi yang menggolak ini.
Semua kan tunduk kepadaNya.
Semua kan menyerah pada langkahnya. Karena ia berjalan
Atas keyakinan.
Biarkan dia berjalan!
Gunung dari lembah sana, gaung dari mimpi diri.
Burung gagak, ia dengar nyanyi itu. Dan ia menuju ke situ.
Pohon-pohon mati dan sepi. Padang pun mati dan sepi.
Batu-batu mencongak ngeri, tajam dan mengancam.
Tapi ia melangkah menuju lembah-lembah mimpi.
Ia sendirian. Batu-batu dan alam geram.
Gunung mendinding di ujung. Langit pun kan menerkam.
Dan ia melangkah dengan pasti: Batu cair jadi beku.
Langit pun jadi membiru, mengucapkan selamat jalan
Menempuh kehidupan.
Burung gagak, burung gagak, biarkan dia berjalan
Sampaikan salam yang erat dan hangat. Ia yang yakin
Ada mimpi di balik gunung batu, ada lembah hijau dan lembut
Kehidupan tenang, sawah-ladang, padang rumput....
Jangan kauganggu!
1955
PENYAIR
1
adapun penyair lahir
membangkitkan kematian para penyihir
lalu dengan mantra kata-kata
menjelmakan kehidupan manusia
menyanyikan kelahiran cinta
atau menangisi kematian bunda
melagukan kesia-siaan rindu, kau pun tahu
segala yang beralamat duka
2
siapa menjelajahi pagi
mendapat pertama sinar mentari
lagu kunyanyikan kini
akan dimengerti nanti
lagu kusajakkan kini
suara lubuk hati
yang selalu sunyi
1954
adapun penyair lahir
membangkitkan kematian para penyihir
lalu dengan mantra kata-kata
menjelmakan kehidupan manusia
menyanyikan kelahiran cinta
atau menangisi kematian bunda
melagukan kesia-siaan rindu, kau pun tahu
segala yang beralamat duka
2
siapa menjelajahi pagi
mendapat pertama sinar mentari
lagu kunyanyikan kini
akan dimengerti nanti
lagu kusajakkan kini
suara lubuk hati
yang selalu sunyi
1954
WARNA
menyala warna membakar dada ~ Ajip Rosidi
hari-hari penuh bisa
waktu dihabisi mimpi-mimpi
bocah meningkat dewasa
tiga jalan pertemuan
dalam mengerti
dalam diri
menyerah ke mata nyalang
warna nyala dalam waktu dalam ruang
selama jarak masih ada
selama ia belum mengerti
1954
hari-hari penuh bisa
waktu dihabisi mimpi-mimpi
bocah meningkat dewasa
tiga jalan pertemuan
dalam mengerti
dalam diri
menyerah ke mata nyalang
warna nyala dalam waktu dalam ruang
selama jarak masih ada
selama ia belum mengerti
1954
KEMATIAN
i
lelaki bernyanyi sepenuh hati
didorongnya beton ke puncak tinggi
di hari sebelum lebaran
di rumah anak menunggu baju baru
tapi tali putus beton terguling
lelaki tak lagi bernyanyi
ada isteri jadi janda
ada anak kehilangan bapak
di hari sebelum lebaran
pintu tak terbuka
ayah tak kembali
sia-sia menanti
sepanjang hari
ii
muka yang sudah remuk
anaknya menjerit yatim
ayah bisakah mati
muka yang tiada lagi bentuk
tepekur pengantar kubur
nyawa lepas tak tersangka
1954
lelaki bernyanyi sepenuh hati
didorongnya beton ke puncak tinggi
di hari sebelum lebaran
di rumah anak menunggu baju baru
tapi tali putus beton terguling
lelaki tak lagi bernyanyi
ada isteri jadi janda
ada anak kehilangan bapak
di hari sebelum lebaran
pintu tak terbuka
ayah tak kembali
sia-sia menanti
sepanjang hari
ii
muka yang sudah remuk
anaknya menjerit yatim
ayah bisakah mati
muka yang tiada lagi bentuk
tepekur pengantar kubur
nyawa lepas tak tersangka
1954
DUKAKU YANG RISAU
berjalan, berjalan selagi di diri duka
bernapas lega menemu perempuan
kami berpandangan: lantas tahu
segalanya tinggal masa kenangan
kami berjalan memutar danau
namun kutahu: dukaku yang risau
takkan mendapatkan pelabuhan aman
kecuali dalam pelukan penghabisan
kupandang matanya:
tak kukenal siapa pun juga
semuanya nanar
didindingi kabut samar
1954
bernapas lega menemu perempuan
kami berpandangan: lantas tahu
segalanya tinggal masa kenangan
kami berjalan memutar danau
namun kutahu: dukaku yang risau
takkan mendapatkan pelabuhan aman
kecuali dalam pelukan penghabisan
kupandang matanya:
tak kukenal siapa pun juga
semuanya nanar
didindingi kabut samar
1954
BUNDA
nyanyi menayang mimpi ke pangkuannya
damai pun terlena dalam hati
mewujudkan kasih dan cinta
yang takkan terhalang meski oleh mati
1954
damai pun terlena dalam hati
mewujudkan kasih dan cinta
yang takkan terhalang meski oleh mati
1954
MATA DERITA
ada yang datang bermata derita
pagi berwarna olehnya
ada perawan bermata derita
berselendang angin remaja
ada yang memandang ke dalam hatiku
bumi pun jadi biru
ada yang memancar: kebeningan hening
dan segalanya pun tak teraba lagi - -
1954
pagi berwarna olehnya
ada perawan bermata derita
berselendang angin remaja
ada yang memandang ke dalam hatiku
bumi pun jadi biru
ada yang memancar: kebeningan hening
dan segalanya pun tak teraba lagi - -
1954
LAGU KERINDUAN
wajahmu antara batang kelapa langsing
menebar senyum dan matamu menjadikan daku burung piaraan
semua hanya bayangan kerinduan: kau yang nun entah di mana
mengikuti setiap langkahku, biarpun ke mana
kujalani kelengangan hari
sepanjang pagar bayangan: wajahmu menanti
langkah kuhentikan dan kulihat
hanya senyummu memenuhi jagat
1954
menebar senyum dan matamu menjadikan daku burung piaraan
semua hanya bayangan kerinduan: kau yang nun entah di mana
mengikuti setiap langkahku, biarpun ke mana
kujalani kelengangan hari
sepanjang pagar bayangan: wajahmu menanti
langkah kuhentikan dan kulihat
hanya senyummu memenuhi jagat
1954
ANGIN BERKESIUR
angin berkesiur
daun pun gugur
angin berkelana
cintaku mengembara
gadisku mawar
menanti tak sabar
gadis yang rindu
kudekap dalam pelukan bisu
1954
daun pun gugur
angin berkelana
cintaku mengembara
gadisku mawar
menanti tak sabar
gadis yang rindu
kudekap dalam pelukan bisu
1954
MALAM PUTIH
malam jatuh di senja putih
berangkat ke pangkal pagi
dan keinginan berdekap penuh kasih
sia-sia sekali
1954
berangkat ke pangkal pagi
dan keinginan berdekap penuh kasih
sia-sia sekali
1954
LA PUN KINI SUNYI
ia pun kini sunyi
tahu dua macam bunga:
yang putih, sendiri, sepi
tak terjangkau dari tepi ini
ia pun bernyanyi
lagu sedih ditinggal kasih
tahu segala yang sia-sia
bernama duka
ia pun sunyi
ia pun sendiri
1954
tahu dua macam bunga:
yang putih, sendiri, sepi
tak terjangkau dari tepi ini
ia pun bernyanyi
lagu sedih ditinggal kasih
tahu segala yang sia-sia
bernama duka
ia pun sunyi
ia pun sendiri
1954
RINDU BERGULING SENDIRI
rindu berguling sendiri
putus mengharap
dinding putih-putih
dan di baliknya: kesepian pengap
radio di sebelah batas
suaranya samar -
kudengar diriku menghela nafas
dengan hati yang cabar
1954
putus mengharap
dinding putih-putih
dan di baliknya: kesepian pengap
radio di sebelah batas
suaranya samar -
kudengar diriku menghela nafas
dengan hati yang cabar
1954
PEJALAN SEPI
ia tembus kesenyapan dinihari
sepatunya berat menunjam bumi
menempuh kola yang lelap terlena
dalam pelukan cahya purnama
is tembus kedinginan pagi
siulnya nyaring membelah sunyi
membangunkan insan agar bangkit
dalam pertarungan hidup yang sengit
di sebuah jembatan ia berhenti
dihirupnya udara sejuk dalam sekali:
bulan yang mengambang atas air kali
adalah gambaran hatinya sendiri!
1954
sepatunya berat menunjam bumi
menempuh kola yang lelap terlena
dalam pelukan cahya purnama
is tembus kedinginan pagi
siulnya nyaring membelah sunyi
membangunkan insan agar bangkit
dalam pertarungan hidup yang sengit
di sebuah jembatan ia berhenti
dihirupnya udara sejuk dalam sekali:
bulan yang mengambang atas air kali
adalah gambaran hatinya sendiri!
1954
SEBELUM PADI MENGUNING
Sebelum padi menguning mana burung datang mendekat
atau cinta bisa melekat
jika tiada banjir mendatang hama menyerang
harapan panen takkan sia-sia
lantas padi menguning cinta pun datang
tinggal aku yang selalu malang
1953
atau cinta bisa melekat
jika tiada banjir mendatang hama menyerang
harapan panen takkan sia-sia
lantas padi menguning cinta pun datang
tinggal aku yang selalu malang
1953
DI ENGKELILI, SUATU PAGI
Empat lelaki menyusur pinggir kali
Nasibnya mengalir bersama air menghilir
Di mana mereka bertemu ?
Ke mana mereka kan pergi ?
Dalam hati yang mengerti
Menuju ufuk kelabu
Di kuala terbuka
Pabila mereka berangkat
Dan kapan akan kembali?
Telah tetap setiap saat
Menempuh arus waktu
Tidak terhingga
Empat lelaki berdiri di pinggir kali
Nasib bagaikan air: Selalu luput dari genggaman
Nasibnya mengalir bersama air menghilir
Di mana mereka bertemu ?
Ke mana mereka kan pergi ?
Dalam hati yang mengerti
Menuju ufuk kelabu
Di kuala terbuka
Pabila mereka berangkat
Dan kapan akan kembali?
Telah tetap setiap saat
Menempuh arus waktu
Tidak terhingga
Empat lelaki berdiri di pinggir kali
Nasib bagaikan air: Selalu luput dari genggaman
TERKENANG TOPENG CIREBON
Di atas gunung batu manusia membangun tugu
Kota yang gelisah mencari, Seoul yang baru, perkasa
Dengan etalase kaca, lampu-lampu berwarna, jiwanya ragu
Tak acuh tahu, menggapai-gapai dalam udara hampa
Kulihat bangsa yang terombang-ambing antara dua dunia
Bagaikan tercermin diriku sendiri di sana!
Mengejar-ngejar gairah bayangan hari esok
Memimpikan masa-silam yang terasa kian lama kian elok!
Waktu menonton tari topeng di Istana Musim Panas
Aku terkenang betapa indah topeng Cirebon dari Kalianyar!
Dan waktu kusimakkan musik Tang-ak, tubuhku tersandar lemas
Betapa indah gamelan Bali dan Degung Sunda. Bagaikan terdengar!
Kian jauh aku pergi, kian banyak kulihat
Kian tinggi kuhargai milik sendiri yang tersia-sia tak dirawat
Kota yang gelisah mencari, Seoul yang baru, perkasa
Dengan etalase kaca, lampu-lampu berwarna, jiwanya ragu
Tak acuh tahu, menggapai-gapai dalam udara hampa
Kulihat bangsa yang terombang-ambing antara dua dunia
Bagaikan tercermin diriku sendiri di sana!
Mengejar-ngejar gairah bayangan hari esok
Memimpikan masa-silam yang terasa kian lama kian elok!
Waktu menonton tari topeng di Istana Musim Panas
Aku terkenang betapa indah topeng Cirebon dari Kalianyar!
Dan waktu kusimakkan musik Tang-ak, tubuhku tersandar lemas
Betapa indah gamelan Bali dan Degung Sunda. Bagaikan terdengar!
Kian jauh aku pergi, kian banyak kulihat
Kian tinggi kuhargai milik sendiri yang tersia-sia tak dirawat
HAMLET
Yang was-was selalu, itulah aku
Yang gamang selalu, akulah itu
Ya Hamlet kusuka : Dialah gambaran jiwaku
Yang selalu was-was dalam ragu. Membiarkan kau
Mengembara dalam mimpi yang risau
Kutemukan pada Oliver, kegamangan falsafi
Dunia yang muram dan masa depan yang suram
Tapi kulihat kecerahan intelegensi
Seorang muda yang terlalu dekat kepada alam
Hamlet. Hamletku, ia datang kepadamu
Menatap fana atas segala yang kujamah: Tahu
Bahwa hidup melangkah atas ketidak pastian
Yang terkadang menentukan Kepastian
Aku pasrah
Yang gamang selalu, akulah itu
Ya Hamlet kusuka : Dialah gambaran jiwaku
Yang selalu was-was dalam ragu. Membiarkan kau
Mengembara dalam mimpi yang risau
Kutemukan pada Oliver, kegamangan falsafi
Dunia yang muram dan masa depan yang suram
Tapi kulihat kecerahan intelegensi
Seorang muda yang terlalu dekat kepada alam
Hamlet. Hamletku, ia datang kepadamu
Menatap fana atas segala yang kujamah: Tahu
Bahwa hidup melangkah atas ketidak pastian
Yang terkadang menentukan Kepastian
Aku pasrah
PERUMPAMAAN
Di antara belalang
Kaulah burung brenjang
Yang mengisi tembolok
Tak kunjung kenyang
Di antara ayam
Kaulah musang kelaparan
Dengan rahang tajam
Menerkam dan menerkam
Kalau di sungai
Kaulah buaya
Tak pernah menolak bangkai
Kalau di darat
Kaulah srigala
Mengancam segala hayat
Kaulah burung brenjang
Yang mengisi tembolok
Tak kunjung kenyang
Di antara ayam
Kaulah musang kelaparan
Dengan rahang tajam
Menerkam dan menerkam
Kalau di sungai
Kaulah buaya
Tak pernah menolak bangkai
Kalau di darat
Kaulah srigala
Mengancam segala hayat
KEPADA KAWAN 12
Apa sih yang mau kau capai
Maka kau terjang segala penghalang
Dan kau abaikan segala nilai
Asal kau sendiri menang?
Apa sih yang mau kau dapat
Maka kau tinggalkan semua sahabat
Dan di sekelilingmu
Kau anyam rapat pagar curiga
Kau kira di mana kau akan tiba
Kalau hari sudah senja?
Ternyata tidak ada tarian gemulai
Atau suara gamelan mengalun permai
Kemenangan-kemenanganmu selama ini
Melontarkanmu ke langit hampa
Maka kau terjang segala penghalang
Dan kau abaikan segala nilai
Asal kau sendiri menang?
Apa sih yang mau kau dapat
Maka kau tinggalkan semua sahabat
Dan di sekelilingmu
Kau anyam rapat pagar curiga
Kau kira di mana kau akan tiba
Kalau hari sudah senja?
Ternyata tidak ada tarian gemulai
Atau suara gamelan mengalun permai
Kemenangan-kemenanganmu selama ini
Melontarkanmu ke langit hampa
SONETA DARI MANHATTAN
Di bawah bayang-bayang Manhattan yang gelap
Kulihat kau menyelinap, mengendap-ngendap
Mengais-ngais mencari dalam dirimu:
Sesuatu telah terjadi dan itu engkau tak tahu
Begitu banyak peristiwa dan begitu banyak rahasia
Yang dalam hidupmu hanya nampak satu segi saja
Tidaklah hidup ini bagimu akan tetap gulita
Bagaikan teka-teki yang hilang soalnya
Adakah dengan dinding-dinding kukuh perkasa
Bersarang perasaan aman dalam sanubari manusia?
Yang kutemui hanya kewas-wasan, sumber kegelisahan
Adakah dengan perkembangan teknologi
Manusia telah menemukan dirinya sendiri?
Kau hanya tahu: komputer ternyata menghasilkan banyak persoalan
Kulihat kau menyelinap, mengendap-ngendap
Mengais-ngais mencari dalam dirimu:
Sesuatu telah terjadi dan itu engkau tak tahu
Begitu banyak peristiwa dan begitu banyak rahasia
Yang dalam hidupmu hanya nampak satu segi saja
Tidaklah hidup ini bagimu akan tetap gulita
Bagaikan teka-teki yang hilang soalnya
Adakah dengan dinding-dinding kukuh perkasa
Bersarang perasaan aman dalam sanubari manusia?
Yang kutemui hanya kewas-wasan, sumber kegelisahan
Adakah dengan perkembangan teknologi
Manusia telah menemukan dirinya sendiri?
Kau hanya tahu: komputer ternyata menghasilkan banyak persoalan
PANORAMA TANAH AIR
Di bawah langit yang sama
manusia macam dua : Yang diperah
dan setiap saat mesti rela
mengurbankan nyawa, bagai kerbau
yang kalau sudah tak bisa dipekerjakan, dihalau
ke pembantaian, tak boleh kendati menguak
atau cemeti'kan mendera;
dibedakan dari para dewa
malaikat pencabut nyawa, yang bertuhan
pada kemewahan dan nafsu
yang bagai lautan : Tak tentu dalam dan luasnya
menderu dan bergelombang
sepanjang masa
Di atas bumi yang sama
Manusia macam dua : Yang menyediakan tenaga
tak mengenal malam dan siang,
mendaki gunung, menuruni jurang
tak boleh mengenal sakit dan lelah
bagai rerongkong-rerongkong bernyawa selalu digiring
kalau bukan di kubur tak diperkenankan sejenak pun berbaring
dipisahkan dari manusia-manusia pilihan
yang mengangkat diri-sendiri dan menobatkan
ipar, mertua, saudara, menantu dan sahabat
menjadi orang-orang terhormat dan keramat
yang ludah serta keringatnya
memberi berkat
Di atas bumi yang kaya
manusia mendambakan hidup sejahtera
Di atas bumi yang diberkahi Tuhan
Manusia memimpikan keadilan
(1962)
manusia macam dua : Yang diperah
dan setiap saat mesti rela
mengurbankan nyawa, bagai kerbau
yang kalau sudah tak bisa dipekerjakan, dihalau
ke pembantaian, tak boleh kendati menguak
atau cemeti'kan mendera;
dibedakan dari para dewa
malaikat pencabut nyawa, yang bertuhan
pada kemewahan dan nafsu
yang bagai lautan : Tak tentu dalam dan luasnya
menderu dan bergelombang
sepanjang masa
Di atas bumi yang sama
Manusia macam dua : Yang menyediakan tenaga
tak mengenal malam dan siang,
mendaki gunung, menuruni jurang
tak boleh mengenal sakit dan lelah
bagai rerongkong-rerongkong bernyawa selalu digiring
kalau bukan di kubur tak diperkenankan sejenak pun berbaring
dipisahkan dari manusia-manusia pilihan
yang mengangkat diri-sendiri dan menobatkan
ipar, mertua, saudara, menantu dan sahabat
menjadi orang-orang terhormat dan keramat
yang ludah serta keringatnya
memberi berkat
Di atas bumi yang kaya
manusia mendambakan hidup sejahtera
Di atas bumi yang diberkahi Tuhan
Manusia memimpikan keadilan
(1962)
LAGU TANAH AIR
1.
Adalah hijau pegunungan
Adalah biru lautan
Adalah hijau
Adalah biru
Langit dan hatiku
Adalah aku pucuk tatapan
Adalah pucuk
Adalah tatapan
Adalah pucuk senapan
Mengarah ke dadaku
2.
Hijau pegunungan biru lautan
Tiadalah harapan adalah ketakutan
Hijau pegunungan biru lautan
Tiadalah ketentraman adalah ancaman
Adalah karena cintaku
Adalah karena kucinta
Langit merah jalan berdebu
Rumah punah jalan terbuka
3.
Bunga tumbuh mawar biru
Kembang wera kembang jayanti
Tanah yang kujejak rindu
Kan kurangkum dalam hati
Adalah hijau pegunungan
Adalah biru lautan
Adalah hijau
Adalah biru
Langit dan hatiku
Adalah aku pucuk tatapan
Adalah pucuk
Adalah tatapan
Adalah pucuk senapan
Mengarah ke dadaku
2.
Hijau pegunungan biru lautan
Tiadalah harapan adalah ketakutan
Hijau pegunungan biru lautan
Tiadalah ketentraman adalah ancaman
Adalah karena cintaku
Adalah karena kucinta
Langit merah jalan berdebu
Rumah punah jalan terbuka
3.
Bunga tumbuh mawar biru
Kembang wera kembang jayanti
Tanah yang kujejak rindu
Kan kurangkum dalam hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar