GEMBOK
Gerbang langit terkunci
tak bisa dibaca
sebelum gembok berhasil dibuka
mengetuk-ngetuk tabir bahasa
sajak hilang rasa!
Di ujung pintu
aku dengar langkahmu cethat-cethit
mengayunkan jarum arloji
ke arah langit yang masih terkunci
malam larut
kau pun datang ternyata
tak sekedar sebagai kilatan cahaya
tapi menjelma kunci
yang melepas gembok dalam jiwa
merogoh sukma
di awal fajar
langit membuka- melebarkan bayang semesta
tapi kau menolak sirna
bahkan berkata
akulah kunci yang akan selalu ada
ketika hendak kau buka gembok semesta jiwa
Magelang, 2012
POTRET DIRI
Inilah aku
Lahir dari kawah masa lalu di daratan miring
Sebelum tumbuh biji-biji salak pondoh
Matahari tak selamanya sengat
Untuk kemarau awal musim tanam tembakau
Aku lebih suka langit yang terbakar
Lebih suka minta hujan bersama para hewan
Ketimbang menjadi tadah hujan buatan
Aku suka sawah. Benci hama tikus, wereng, dan barisan kera
Tapi tak sanggup menolak apalagi mengutuknya
Sebab aku dan para tetangga selalu belajar sbagai hamba
Selamatan adalah bahasa hari. Mengepungaminkan tumpeng
Adalah caraku menampik bencana
Adalah puisiku memuja semesta
Aku tak mengidap sakit ketinggian
Pagi sore manjat pohon kelapa, ngobong kayu menyulap nira
Menjadi gula jawa
Merebus hidup bersama modin dan sesepuh desa
Bajak lembu adalah alat tulisku. Mengaduk rumus humus dan anti pestisida
Mencampur air kencing kambing dengan daunnan kering
Tanagpun jadi subur tak ada hingga
Inilah aku
Suka piara kerbau tapi tak berarti sealur pikir dengan otak kerbau
Magelang, 2012
MENEMPUH JALAN MUARA
Gerimis itu berangsur-angsur merobohkan pohon sunyi
dari pinggir tebing maha tidurku
yang menjulang tinggi
dan dari ranting-ranting yang berserak
kubangun sampan
hingga menjelma lengkung kepasrahan
yang menampung gundah
lalu hanyut mengikuti debur ombak
menuju muara
pada subuh berembun
kubasuh lusuh jiwa
sebelum fajar menerbitkan Matahari lain
di Muara yang lebih lain
Magelang, 2012
SAJAK SEBELUM BERANGKAT
Aku sudah harus berangkat
memasang kerekan timba di bibir sumur tua
menuang doa di talang-talang jiwa
agar mengendap di gentong kesabaran senja
sebelum kuciduk
dan kumatangkan di atas luweng
aku tak biasa menadahi segala yang mancur dari kran besi tua
acap bau tawas dan karat
aku lebih percaya pada pohon pisang
dan rumpun bambu
untuk menenggak air kehidupanNya
paling tidak hanya mencecap rasa sepat tanah!
Aku tidak suka panci
untuk merebus hidup, lebih enak di kuali
tanah lempung
yang dikeduk dari jugangan tanah kampung
sebab kelak akupun akan diusung
: Juga kembali pada lempung
Magelang, 2012
TUGU
Tegak di pusat jiwa
Menampung laju angin dari empat penjuru
Dari utara
Terusung lubang yang menganga
Dari Selatan
Terbentang jalan lurus kehidupan
Dari Timur
Matahari yang mengusung umur
Dari Barat
Terbayang daratan kiblat
Berkumpul jadi satu menjelma tugu
Menudung-nuding langit biru-ke arah lubang waktu
Sebuah misteri yang terang benderang itu
Magelang, 2012
ALUN-ALUN
Pada tanah lapang yang menghampar di hatimu
Tumbuh sepasang pohon
Yang senantiasa rimbun berdaun waktu
Meski matahari dan dingin malam bergilir memelintir
Hari-hari bergulir di tanah kehidupan
Menyurung peradaban-nilai-nilai yang bertabrakan
Tak juga jadi layu
Walau daun jatuh berjatuhan satu per satu
Tapi segalanya kembali tumbuh dan berkembang
Indah dalam iringan gamelan
Kirab pegunungan!
Yogyakarta, 2012
GERBANG
Gerbang sudah terbuka
Kesadaran begitu utuh memasuki halaman
Mengenali segala yang kemarin serba rahasia
Lihatlah
Tubuh para pohon gemetar
Menangkup embun
Lewat daun-daun yang melampirkan gaduh jagad raya
Di taman ini
Musim gugur rajin mengusung tegur
Bahasa pelepah
Yang menjuntai ke tanah
Sudahkah kita memasukinya juga?
Sederet angin tiba-tiba menyusun kalimat tanya
Sebagai gema yang tak ada habisnya
Magelang, 2012
SAJAK CALON PENGANTIN
Suatu ketika, kau akan meminangku, pulang sebagai cinta
Utuh berumah tanah
Sebagai wujud tanda jadi kau mengirim waktu
Semesta tempatku mematangkan tunggu
Aku pun tak bakal menolak ciuman gaibmu
Yang tanpa menunjuk tempat
Dan waktu-di mana dan kapan- semua di luar jangkau tanyaku!
Aku adalah tubuh hidup yang berjodoh dengan maut
Yang tersirat pada gurat-gurat garis tangan
Sejak meninggalkan rahim ibu – wadah catatan jagad ruhku dulu
Itulah kata cinta, pasangan yang terjaga, pada satu ketika
pelaminan agung tempat hdup dan maut bersanding nama
seusai musim gugur jasadku
Magelang 2012
SAJAK PARA PENDAKI
Kita adalah para pendaki
Menaklukan gunung yang menjelma dalam diri
Bertangga-tangga
Memaknai puncak kesadaran antara “ada” dan”tiada”
Tak harus mengibar angkuh
Walau sudah tergapai ketinggian yang seluruh
Menjaga silsilah lembah
Adalah tugas bagi jiwa untuk tetap tengadah
Sebagai pendaki
Matahari yang terbit dari belahan ufuk hati
Adalah landscap abadi
Yang tersimpan pada lensa teropong yang maha sunyi
Magelang, 2012
TENTANG DEDET SETIADI
Dedet Setiadi lahir di Magelang, 12 Juli 1963. Mulai aktif menulis tahun 1982, berupa puisi, cerpen dan juga esai. Tulisan-tulisannya, pada tahun1980-2000 banyak di publikasikan di berbagai media massa seperti: Suara Pembaruan, Suara Karya, Pikiran Rakyat, Berita Buana, Bali Post, Mutiara, Bernas, kedaulatan Rakyat dan lain sebagainya. Tahun 1987 diundang dalam temu penyair Indonesia ’87 di TIM Jakarta Tahun 1990, satu puisinya terpilih sebagai salah satu puisi terbaik versi Sanggar Minum Kopi, Bali.
Antologi yang memuat karya-karyanya antara lain, Puisi Indonesia 87 (DKJ), Konstruksi Roh ( UNS 1984, Solo), Vibrasi Tiga Penyair ( Tiwikrama, 1996 ), Jentera Terkasa ( Forum Sastera Surakarta-TBJT,1998), Rekontruksi Jejak (TBJT,2011 ), Equqtor ( Yayasan Cempaka Kencana Yogyakarta, 2011), Requim bagi Rocker ( Taman Budaya Jawa Tengah –Forum sastera Surakarta, 2012 ), Antologi Penyair Indonesia dari Negeri Poci 4 Negeri Abal-Abal, Februari 2013, Antologi 127 Penyair : dari Sragen memandang Indonesia, 2013, dan lain sebagainya,
HP: 081328605589 Email: dedet setiadi63@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar