A.
Kritik Sastra di
Era Matinya Kritikus
Sastra
Indonesia mutakhir tumbuh nyaris tanpa kritik. Pernyataan ini, dengan berbagai
variasinya, sudah sering kita dengar di meja seminar maupun lembar sastra koran
edisi Ahad. Bisa jadi, ini terlampau menyederhanakan. Sebab pada kenyataannya
masih ada satu-dua kritik sastra yang ditulis, baik oleh kalangan akademisi
sastra maupun oleh penulis sastra yang merangkap sebagai “kritikus”. Tetapi
jika kita mengharapkan ada keseimbangan antara produksi karya sastra dan
produksi kritik sastra, pernyataan itu memang benar adanya. Artinya, kita
memerlukan lebih banyak lagi kritik sastra untuk mengimbangi pertumbuhan karya
sastra yang kian menyubur akhir-akhir ini. Sejenis kritik sastra yang bukan
melulu sebagai juru kampanye bagi si pengarang, tetapi sebagai lawan tanding
baginya dan karyanya.
Meski
pernyataan prihatin tersebut bukan kabar baru, siapakah sesungguhnya yang
percaya bahwa memang telah dan masih terjadi krisis kritik sastra di negeri
kita? Sejauh pantauan saya, pihak yang suka meniupkan berita tentang krisis
kritik sastra itu kebanyakan, kalau bukan seluruhnya, adalah para sastrawan
atau penulis sastra di luar tembok akademis. Sementara di kalangan akademisi
sastra, sangat mungkin isu krisis kritik sastra dipandang sebagai sekadar
gunjingan tak berdasar. Tak ada krisis kritik sastra, atau kalau pun ada, situasinya
tidak parah-parah amat, kurang-lebih demikanlah yang diyakini oleh akademisi
sastra, misalnya Maman S. Mahayana. Menjawab pertanyaan wartawan Jurnal Bogor, Dony P.
Herwanto, dosen sastra Indonesia di Universitas Indonesia ini menolak tegas
sinyalemen lawas tentang krisis kritik sastra Indonesia. Kata Maman:
Jika
masih ada yang beranggapan bahwa kritik sastra Indonesia mengalami krisis,
jawabannya ada tiga kemungkinan (1) dia tidak memahami hakikat dan kategori
kritik sastra, (2) dia tidak membaca sejarah, dan (3) tidak memahami kritik
sastra sekaligus tidak tahu sejarah dan sekadar cari sensasi yang sebenarnya
sudah sangat basi. Isu tentang
kritik sastra mengalami krisis, itu isu yang - seperti tadi saya katakan -
sangat basi, usang, dan kedaluwarsa. Lihatlah sejak awal tahun 1930-an, berapa
banyak esai sastra, resensi buku sastra, biografi sastrawan, ulasan atas karya
sastra. Itu semua adalah bagian dari kritik sastra.
Pandangan senada, meski tidak kelewat optimis seperti
Maman, dikemukakan oleh Anton Suparyanto, pengajar di Universitas Widya Dharma
Klaten. Ia mengakui ada masalah dengan kesehatan kritik sastra kita secara
umum, tapi tak urung menyebut belasan jurnal kampus dan media terbitan lembaga
formal bahasa/sastra di Indonesia yang “secara rutin eksis menawarkan kritik
sastra yang cenderung ilmiah ataupun ilmiah populer”.
Lazimnya, arena bermain kritik sastra terbagi dua:
akademis dan non-akademis. Ada kritik sastra akademis dan ada kritik sastra
non-akademis. Keduanya sampai hari ini memang terus diproduksi, tapi juga terus
dipandang bermasalah. Kritik sastra akademis katanya sulit diakses kalangan di
luar kampus, pembahasannya formal, kering, kaku, mengintelektualkan sastra,
mengabaikan spirit kreatif sastra, memperbudak sastra demi teori dsb. Kritik
sastra non-akademis konon cenderung dangkal, picik, bias, memanjakan kata-hati,
menyesatkan dsb. Kita semua sudah tahu cerita ini. Pendek kata, ada suasana
kebatinan bahwa, meminjam ungkapan Saut Situmorang, “dunia sastra Indonesia,
mulai sejak zaman Balai Pustaka … hanya mengenal satu ‘krisis’ saja dan itu
masih terus berlangsung sampai hari ini, yaitu krisis kritikus sastra”.
Selain
kualitasnya yang dirasa kurang, rendahnya kuantitas kritik sastra juga
mendasari munculnya diagnosa umum tentang krisis kritik sastra Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum, suburnya penciptaan dan
apresiasi sastra mutakhir ini belum dapat diimbangi dengan telaah sastra yang
memadai, apalagi untuk dapat berkembang menjadi tradisi pemikiran pelbagai
wacana sastra. Telaah sastra masih menjadi barang langka. Jika pun tumbuh, ia
hanya menjadi kegiatan akademis yang sangat terbatas jangkauannya. Di saat yang
sama kita juga tidak memiliki majalah atau jurnal yang benar-benar menyediakan
dirinya untuk telaah sastra. Adapun lembar sastra di koran-koran hanya bisa
menyediakan ruang yang sangat terbatas untuk keluasan dan kedalaman yang
dibutuhkan sebuah telaah. Ya, meminjam jargon Thomas Robert Malthus, telaah
sastra tumbuh menurut “deret hitung”, karya sastra berkembang menurut “deret
ukur”.
Di
tengah isu krisis kritik sastra, hasil rangkaian sayembara kritik sastra DKJ
justru menunjukkan adanya perkembangan positif, bahkan mungkin kemajuan, di
lapangan kritik sastra kita. Kajian-kajian sastra yang menjadi finalis
sayembara pada 2006 dan 2009 membentangkan keragaman objek, keanekaan cara
pandang dan kekayaan metode penelaahan – suatu panorama diskursif yang saya
yakin tidak pernah muncul dengan sedemikian mengesankan di dunia kritik sastra
kita pada abad lampau. Dosen
Universitas Airlangga Surabaya, misalnya, secara tidak langsung menyangkal
teguran keras Saut Situmorang kepada para dosen sastra yang suatu ketika
dianggapnya menunjukkan prestasi “sangat memalukan” karena “mutu analisis
sastranya tidak bisa memuaskan kritikus asing seperti A. Teeuw”.
Betapa pun, mendung krisis kritik sastra masih dirasakan
pekat merundung ranah kesusastraan kita. Tetapi mari kita renungkan: Tanpa
diimbangi kritik sastra yang sehat secara kuantitas maupun kualitas, apakah
“pertumbuhan karya sastra yang kian menyubur akhir-akhir ini” lantas serupa
timbunan lemak yang berbahaya bagi kesehatan kesusastraan kita? Apakah
ketimpangan antara produksi kritik sastra dan produksi karya sastra menimbulkan
semacam inflasi yang memurukkan ekonomi kesusastraan nasional? Tanpa kritik
sastra, benarkah karya sastra akan hidup kesepian, iseng sendiri dan mati
meranggas? Saya yakin, para sastrawan akan menjawab lantang: Tidak, kritik
sastra boleh sakit atau mati, tapi gairah bersastra kami terus menyala, iklim
usaha sastra kita tetap sehat-sehat saja dan prospeknya kian cerah. Kritik
sastra kita sudah lama divonis mengidap krisis, tapi karya sastra kita tak
pernah krisis, sebaliknya bahkan kian semarak saja, terlebih dengan terbukanya
medan publikasi alternatif di internet
Jangan-jangan, para pengarang dan publik sastra kita –
diam-diam atau tanpa disadari – sudah tak butuh kritik sastra. Lihatlah, kritik
sastra konon perlu diproduksi, tapi ternyata tidak harus dikonsumsi.
Kadang-kadang kritik sastra dicicipi untuk sekadar diludahkan di muka umum
alias dicemooh belaka. Di tengah lautan produsen dan konsumen karya sastra
Indonesia di masa kini, berapakah pembaca buku kritik sastra yang jarang-jarang
diterbitkan itu? Kalau mengacu kepada angka penjualan buku Epifenomenon: Telaah Sastra
Terpilih (2005), maka jawabannya jelas: sedikit sekali. Buku kritik sastra
adalah langka, dan peminatnya tak kalah langka
Jika ada krisis kritik sastra, berarti produksi kritik
sastra perlu didorong dan disemangati. Anehnya, ikhtiar menulis kritik sastra,
betapa pun terbatasnya upaya itu, mudah sekali diremehkan atau bahkan
dicaci-maki. Betapa sering saya dengar bahwa kritik sastra X sok ilmiah, pseudo ini-itu, mentah, kering, terlalu dangkal
dan gampangan, terlampau ruwet dan bikin pusing, tuna metode analisis atau over-filosofis; bahwa
kritikus sastra Y sok pintar, pamer hafalan, pengutip jargon dan pemulung teori
belaka, malas menyelami karya atau kelewat berlebihan menafsir karya, penuh prasangka,
mengutamakan perkoncoan dan perkubuan, tukang memperbudak sastra demi interest non-sastra, tukang jagal pencincang
karya, tukang lap yang “melulu sebagai juru kampanye bagi si pengarang” dsb
Kadang saya merasa bahwa di tengah paceklik kritik sastra,
kritik terhadap kritik sastra seringkali lebih pedas daripada kritik terhadap
karya sastra. Bagaimana jika orang makin malas menulis kritik sastra? Jika
kritik sastra lenyap dan kritikus sastra punah, apakah masyarakat sastra akan
merasa rugi dan kehilangan? Betulkah kita butuh kritik sastra dan kritikus
sastra?
B.
Era Kematian Kritikus
Kritikus
sudah mati, kata Ronan McDonald dalam The
Death of the Critic. Era
kritikus sebagai penentu selera publik dan konsumsi kultural telah berlalu.
Dulu, khususnya pada masa puncak Modernisme pada abad 20, kritikus seni
(termasuk kritikus sastra) menduduki peran hierarkhis sebagai figur yang
dipandang lebih tahu tentang seni daripada orang kebanyakan, sosok panutan yang
pendapat atau penafsirannya diyakini berbobot istimewa. Pada era posmodern pada
abad 21 sekarang, aspek hierarkhis tersebut kian pudar ditelan perubahan besar
dalam relasi sosial dan pergeseran sikap masyarakat terhadap nilai dan
penilaian seni. Kritikus bukan lagi ia yang berkuasa menentukan ukuran mutu
atau nilai seni dan mengarahkan perhatian dan apresiasi khalayak ramai terhadap
suatu kreasi artistik. Tak ada lagi kritikus seni yang wibawanya mampu
membaptis prestasi seniman, seperti Clement Greenberg terhadap Jackson Pollock,
John Ruskin terhadap Turner, Kenneth Tynan dan Harold Hobson terhadap drama
“Menunggu Godot” Samuel Beckett. (Bisa
kita tambahkan: H. B. Jassin terhadap Chairil Anwar, Dami N. Toda terhadap
Sutardji Calzoum Bachri.)
Kini
palu penilaian seni telah menyebar, tak lagi berada dalam genggaman kritikus
semata. Pemirsa/pembaca juga berkuasa menilai karya, tak jarang bahkan lebih
berwibawa daripada kritikus atau pakar seni. Peran dan otoritas kritikus
sebagai penentu nilai artistik telah diambil-alih oleh khalayak umum.
Dewasa
ini, respons terhadap seni mengalami demokratisasi besar-besaran. Kritik
evaluatif kian dipandang sebagai urusan selera pribadi. Nilai artistik makin
menjadi soal suka atau tak suka belaka. Bahkan nyaris dalam hal apapun, kini
pendapat semua orang dianggap sama berharganya.
Internet
berperan besar mendorong demokratisasi kultural dan memudarkan aura kritikus.
Merebaknya cara-cara “mengulas” baru yang ditawarkan oleh berbagai aplikasi
jejaring sosial seperti Twitter dan situs-situs ulasan amatir seperti Yelp,
dalam pengamatan Brian Hieggelke, kian menguatkan pandangan bahwa kritik gaya
lama telah kehilangan audiens dan relevansi. Kritikus
makin tidak dibutuhkan, karena kini semua orang bisa menjadi kritikus. Everyone’s A Critic, kata
Hieggelke. Berkat “demokratisasi” di dunia maya (cyberspace), siapa
pun bisa menjadi kritikus yang berhak mengevaluasi puisi siapa pun, dan
melegitimasi siapa pun yang ingin menjadi penyair. Di negeri kita, tongkat
otoritas kritikus sastra telah direbut oleh redaktur budaya koran/majalah, dan
kini terlempar ke kerumunan khalayak. Nilai sastra kini bisa dirembuk dan
disepakati oleh kedaulatan publik, tanpa perlu melibatkan otoritas kritikus
sastra.
Disiplin
kajian budaya (cultural studies) dituding McDonald ikut membunuh
kritikus sastra. Pengaruh kuat cultural
studies dalam ilmu sastra
telah mengauskan kritik sastra, membuat kritik sastra kehilangan fungsi
evaluatifnya, tak bisa lagi menilai bagus-buruknya karya. Pasalnya, cultural
studies menganggap “bagus”
dan “buruk” sebagai kategori-kategori yang mengidap bias politis, suatu
pelabelan yang menyembunyikan dan melestarikan agenda kekuasaan. Dalam
pandangancultural studies, mengatakan bahwa karya tertentu “bagus”
selalu patut dicurigai mengusung nilai dan kepentingan pihak berkuasa.
Di negeri kita pun, kekhawatiran terhadap gencarnya
invasi cultural studies ke wilayah kritik sastra juga
merebakkan keprihatinan. “Cultural studies,” kata Zen Hae dalam buku Dari Zaman Citra ke Metafiksi,
“cenderung menempatkan karya sastra sebagai dokumen sosial belaka dan tidak
lebih tinggi atau lebih penting daripada dokumen sosial yang lain”. Bersama
pemberhalaan teori (overtheorizing) di kutub lain, godaan dari kutub cultural studies dapat mengakibatkan kritik sastra tak
mampu menjangkau “sosok karya sastra sebagai sebuah organisme yang otonom,
tempat kepengrajinan si pengarang dipertaruhkan dan kenikmatan sastrawi
memancar”.
Rupanya, ada kesejajaran antara situasi “krisis kritik
sastra” kita dan situasi “kematian kritikus” di Eropa-Amerika.
C.
Kritik Sastra Alegoris
Di mata McDonald, era kematian kritikus dimulai ketika
Roland Barthes mengumumkan manifesto “kematian pengarang” (death of the
author) yang begitu terkenal itu. Barthes berpandangan bahwa membaca
adalah proses yang cair, berujung terbuka dan individual, yang tidak perlu
menyandarkan keabsahannya pada maksud pengarang. Terpaku pada maksud pengarang
berarti mencekik kesuburan bahasa dan potensi pluralitas makna dalam karya
sastra. “Membunuh sang pengarang, beserta konsep-konsep terkait seperti ‘kreativitas’,
‘imajinasi’, ‘desain’ dan ‘inspirasi’, mungkin membebaskan pembaca untuk
bersukacita dalam nikmatnya tafsir bebas. Tapi itu tampaknya juga menghapus
kritikus,” kata McDonald. Kritikus mati karena otoritasnya telah direbut oleh
pembaca: kritikus tidak dibutuhkan lagi oleh pembaca yang kini bebas dan
berkuasa menilai karya dan menafsir maknanya.
Namun pada hemat saya, kritikus yang ikut mati bersama
matinya pengarang adalah kritikus dalam pengertian tradisional: kritikus yang
semata-mata berkutat mencari makna orisinal yang diandaikan terkandung (atau
tersembunyi) dalam karya. Makna orisinal inilah yang sering dibayangkan orang
ketika berbicara tentang “maksud karya” atau “maksud pengarang”. Tugas kritikus
tradisional adalah menemukan makna orisinal sebuah karya, dan kemudian
menyampaikan temuannya itu kepada khalayak pembaca untuk digunakan sebagai
panduan dalam memahami karya. Setelah membaca temuan sang kritikus, barulah
pembaca manggut-manggut, “Ooh…karya X maksudnya begitu.”
Masalahnya,
semenjak Barthes, tak ada lagi makna orisinal. Bagi Barthes, “Karya itu seperti
bawang, sebuah konstruksi lapisan-lapisan (atau tingkat-tingkat, atau
sistem-sistem) yang tubuhnya, pada akhirnya, tidak berjantung, tidak berinti,
tidak berisi rahasia, tidak memuat prinsip yang tak dapat direduksi, tidak
berisi apapun kecuali ketakterbatasan pembungkus-pembungkusnya sendiri – yang
tidak membungkus apapun selain kesatuan permukaan-permukaannya sendiri.” Kalau
pun ada makna orisinal, makna tersebut selamanya tak terjangkau, tak dapat
diringkus oleh kritikus. Dalam esai “Kematian Pengarang”, Barthes menulis:
Kritisisme
bertugas untuk menggeledah pengarang… yang mendekam di balik sebuah karya: jika
pengarang telah digeledah, maka teks otomatis “terjelaskan”… Dalam multiplisitas
tulisan, segala sesuatu padanya digeledah, tetapi tidak sampai terurai;
struktur dibuntuti atau “dikejar” sampai ke level dan titik terkecilnya, namun
tidak sampai ke sesuatu yang ada di baliknya: ruang tulisan dijelajahi, tetapi
tidak ditembusi; tulisan, secara terus-menerus, menggelar makna untuk kemudian
menguapkannya, atau melakukan pembebasan makna secara sistematis.
Menurut
Barthes, makna bukanlah sesuatu yang bersemayam dalam karya dan menunggu
ditemukan, melainkan diproduksi oleh pembaca. Kematian pengarang adalah momen
kelahiran pembaca.
Dalam
pandangan saya, kritikus yang mencari-cari makna orisinal sebuah karya seolah
dituntut (atau menuntut dirinya) untuk memelototi karya dengan mata pengarang
karya bersangkutan. Sesuatu yang cukup absurd, karena kritikus sesungguhnya
tidak lebih daripada pembaca. Ia tak dapat melampaui posisinya sebagai pembaca.
Jika kritikus menyadari posisinya sebagai pembaca, maka kematian pengarang
tidaklah mengakhiri riwayat kritikus, tetapi justru menjadi momen pembebasan
kritikus. Sejak pengarang mati, kritikus menjadi merdeka untuk, pinjam ungkapan
McDonald, “bersukacita dalam nikmatnya tafsir bebas”.
Tapi
jika kritikus adalah pembaca, apa bedanya seorang kritikus dengan pembaca yang
bukan kritikus? Bedanya, menurut saya,
terletak pada tingkat produktivitas dalam menghasilkan makna. Kritikus memang
“sekadar pembaca”, tapi bukan “pembaca sekadar”. Kritikus adalah pembaca yang
bukan saja memproduksi makna, tetapi menghasilkan “surplus makna”. Ibaratnya,
ketika semua orang bisa berjoget, krtitikus adalah ia yang menari. Orang menari
atau melukis menghasilkan “surplus makna” yang membedakannya dari orang
berjoget atau mengecat. “Surplus makna” inilah yang diproduksi oleh seni. Seni
sastra, misalnya, memberikan makna ekstra kepada bahasa; seni musik memberikan
makna ekstra kepada bunyi; dst.
Era kematian kritikus memungkinkan kritik seni (termasuk kritik sastra) dilahirkan
kembali sebagai seni kritik.
Jika dulu kritik sastra bekerja dalam paradigma kaji, yakni pencarian makna,
maka kini kritik sastra dapat beroperasi dalam paradigma seni, yakni penciptaan
makna. Kritik sastra di masa lalu sering serupa pisau bedah yang mengotopsi
seonggok “mayat sastra” untuk menemukan maknanya yang tersembunyi. Kritik
sastra di masa kini bisa lebih menyerupai pisau pahat yang mengolah sepotong
“kayu sastra” demi memberinya makna baru.
Perumpamaan kritik sastra sebagai pisau pahat mungkin
masih terasa kejam. Seperti pisau bedah, pisau pahat juga mengerat-sayat karya.
Baiklah. Mungkin akan lebih ramah, dan lebih tepat, jikalau kritik sastra yang
saya maksud diibaratkan sebagai karya seni rupa kontemporer/posmodern yang
menerapkan apropriasi sebagai strategi penciptaan. Seniman yang bekerja dengan
strategi apropriasi memanipulasi karya seniman lain (biasanya karya yang
terkenal atau dianggap masterpiece)
demi tujuan kritis dan kreatif. Ia berkarya dengan sengaja merujuk kepada karya
orang lain, dengan maksud melucuti atau menyelewengkan makna yang semula
melekat, atau dilekatkan orang, pada karya acuan. Di dunia seni rupa
kontemporer Indonesia, contoh karya apropriasi adalah lukisan potret Agus
Suwage yang mereproduksi foto terkenal Chairil Anwar sedang merokok (foto karya
Baharudin MS). Berkebalikan dari foto acuan, lukisan Agus Suwage menampakkan wajah
Chairil yang menyerong ke arah kanan pemirsa (bukan ke arah kiri pemirsa
seperti foto aslinya), dengan rokok terselip di jari tangan kiri (bukan di jari
tangan kanan seperti foto aslinya).
Sebagaimana
seni apropriasi, kritik-sastra-sebagai-seni menjadikan alegori sebagai
modelnya: sebuah kritik sastra alegoris. Dalam alegori maupun kritik sastra
alegoris, sebuah teks dibaca melalui teks lain, betapa pun fragmentaris,
remang-remang dan khaotiknya hubungan antara kedua teks tersebut. Menerapkan
prinsip alegori dalam kerja kritiknya, kritikus menelaah karya sastra tanpa
terpancang pada pencarian makna orisinal. Dia tidak berpretensi merekonstruksi makna orisinal
karya, melainkan membubuhkan makna baru pada karya. Makna baru ini adalah suatu
tambahan yang “ditumpangkan” pada karya, suatu suplemen: “ekspresi yang
ditambahkan secara eksternal pada ekspresi lain”. Suplemen,
sebagaimana dipahami Jacques Derrida, adalah “surplus, kemelimpahan yang
memperkaya kemelimpahan lain, takaran
paling penuh dari kehadiran.
Ia menimbun dan menghimpun kehadiran... Ia
menambahi hanya untuk mengganti… Ia menyela atau mencuri perhatian di
tempat yang ditempati sesuatu (in-the-place-of); kalau ia mengisi,
seolah-olah itu mengisi kekosongan. Kalau ia merepresentasikan dan mencitrakan,
itu dengan ketidakhadiran yang mendahului kehadiran”. Kritik
sastra alegoris bukanlah hermeneutika.
Dalam
kritik sastra alegoris, kerja kritikus menggemakan kata-kata Angus Fletcher
ketika berbicara perihal progresi matematis sebagai paradigma untuk karya
alegoris: “Jika seorang matematikawan melihat angka 1, 3, 6, 11, 20, dia akan
mengenali bahwa ‘makna’ progresi ini dapat dituliskan dengan rumus aljabar: X
plus 2x, dengan pembatasan tertentu pada X. Apa yang merupakan
sekuens acak bagi orang awam, bagi sang matematikawan tampak sebagai sekuens
penuh makna”. Ketika menelaah
sebuah karya sastra, kritikus seakan-akan bertransformasi dari “orang awam”
menjadi “matematikawan”. Karya sastra mulanya tampak sebagai “sekuens acak”,
lalu perlahan-lahan menjelma jadi “sekuens penuh makna”. Secara
berangsur-angsur sang kritikus melihat suatu pola, gambaran atau informasi
tertentu yang penuh makna baginya.
Proses
transformasi sang kritikus dari “orang awam” ke “matematikawan” itu adalah
suatu perjalanan membangun makna yang bukan saja melibatkan analisis dan
penafsiran terhadap materi karya sastra itu sendiri, tapi juga berbagai materi
lain yang dipandangnya relevan dan signifikan di luar karya, termasuk sumber authorial, kalau ada
(misalnya “Kredo Puisi” Sutardji Calzoum Bachri dalam O Amuk Kapak, atau wawancara
dengan Nirwan Dewanto di buku acara untuk peluncuran buku puisi Jantung Lebah Ratu). Karya
sastra dan berbagai materi lain di luar karya diperlakukan sebagai bahan mentah
untuk menyusun narasi baru, mencipta karya baru yang berasal dari, tapi berdiri
sejajar dengan, karya sastra yang ditelaah. Di sini, kritik sastra alegoris
memadukan analisis kritis dan penulisan kreatif – semacam strategi penciptaan
yang, dalam konteks fiksi, ditempuh oleh Julian Barnes ketika menyelundupkan
kritik seni rupa ke dalam cerpen “Kapal Karam”. Ketika penelaahan sang kritikus terhadap
sebuah karya sastra telah menghasilkan “sekuens penuh makna” dan menjelma
kreasi baru, mungkin pengarang karya satra bersangkutan yang membaca telaah itu
akan terheran-heran dan berujar: “Oh ya, saya benar menulisnya seperti itu?” –
sebuah ungkapan yang dipakai oleh Richard Oh untuk meledek kritikus sastra. Tapi
berlawanan dengan Oh, saya menganggap ungkapan semacam itu sebagai pujian,
tanda bahwa suatu telaah sastra telah berhasil memperkaya makna karya sastra
yang ditelaah, bagaikan proses pengayaan uranium yang menghasilkan bom atom.
Di
era kematian kritikus, ketika semua pembaca bisa menjadi kritikus, kritik
sastra alegoris tidak berpretensi membangun jembatan antara karya sastra dan
khalayak pembaca. Saya percaya, sebuah karya sastra tidak ditulis untuk
menyembunyikan pesan atau maksud pengarangnya. Dalam sebuah karya sastra,
pengarang sudah menyampaikan seluruh maksudnya secara lengkap dan utuh.
Pengarang tidak dapat mengungkapkan apa yang ingin dikatakannya dalam sebuah
karya sastra dengan lebih baik dan lebih tepat lagi kecuali melalui karya
bersangkutan. Jika pengarang ingin merahasiakan sesuatu, semestinya ia bungkam,
tidak menulis apapun. Sebaliknya jika ingin menjelaskan sesuatu, mestinya ia
menggunakan bahasa yang lebih lugas daripada sastra, misalnya menulis pamflet
atau pidato.
Dipahami
sebagai organisme yang menyatakan dirinya sendiri secara total dan sempurna,
karya sastra tidak membutuhkan jembatan untuk berbicara kepada khalayak
pembaca. Karya sastra tidak butuh penyambung lidah. Karena itu, kritik sastra
alegoris hanya berminat membangun jembatan antara karya sastra dan sang
kritikus sendiri, sebagai bagian dari proyek penciptaan arsitektur makna baru.
Khalayak pembaca, juga pengarang, kalau mau, dipersilakan mengunjungi jembatan
ini, berjalan-jalan dan menikmatinya. Syukur-syukur bila ada yang tercerahkan,
atau terilhami menciptakan karya baru, menulis karya sastra dan telaah sastra
yang baru.
(Dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar