1.
PENGANTAR
Karya
sastra sudah diciptakan orang jauh sebelum orang memikirkan apa hakikat sastra
dan apa nilai serta makna sastra. Karena sastra sendiri adalah pengungkapan
kaku dari apa yang telah disaksikan dan diakui orang dalam kehidupan, yang
direnungkan dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling
menarik minat secara langsung dan kuat dengan kata adalah pengungkapan
kehidupan lewat bentuk bahasa. Dengan pengertian ini dapat dikatakan bahwa yang
mendorong lahirnya sastra adalah keinginan dasar manusia untuk mengungkapkan
diri, menaruh minat pada dunia realitas tempat hidupnya dan pada dunia
angan-angan yang dikhayalkannya sebagai dunia nyata dan keinginan dasar untuk mencintai
bentuk sebagai bentuk. Oleh karena itu sastra tidak hanya meliputi karya yang
diteliti tetapi juga karya tidak tertulis yang dihasilkan oleh orang atau
sekelompok orang yang belum mengenal sistem huruf.
Dalam karya sastra – dari awal berkembangnya sampai sekarang
– tentulah memerlukan sebuah etika atau konsep sastra. Yakni suatu batasan agar
nilai kebenaran yang terkandung didalamnya senantiasa utuh. Dan etika dalam
penulisan sastra ternyata membuat kita miris hanya kita temukan pada
kesusastraan kita yang lama/tradisional. Mengapa? Karena didalamnya, yaitu
sebuah filsafat dapat dikembalikan pada pendangan bersahaja menganai hidup.
Pada intinya, dalam kesusastraan lama dituntut pengembalian antara hal-hal yang
baik dan buruk. Sehingga pertentangan yang terjadi harus diselesaikan dan mesti
berakhir dengan kemenangan yang baik, bijak, benar, dan seterusnya.
Namun, beberapa karya sastra yang berkembang saat ini cenderung
lebih bersifat terbuka, blak-blakan, dan terus-terang. Beberapa diantaranya
juga terkesan “membelokkan” pandangan hidup yang lama, yang selama ini dianggap
tabu oleh masyarakat kita. Barangkali juga, hal ini sebagai akibat pengaruh
dari globalisasi yang tengah berkembang.
Perkembangan itu menjadi fenomena sastra cyber yang menimbulkan sentakan dalam diri kalangan sastrawan. Tapi sebetulnya, bukan sastra cybernya yang menyentak, melainkan fenomena dunia kesusastraam yang mulai memasuki dunia cyber. Sastra cyber sendiri tak berbeda dengan sastra koran, sastra majalah, sastra bulletin, dan lain sebagainya. Soal estetika memang hal utama.
Perkembangan itu menjadi fenomena sastra cyber yang menimbulkan sentakan dalam diri kalangan sastrawan. Tapi sebetulnya, bukan sastra cybernya yang menyentak, melainkan fenomena dunia kesusastraam yang mulai memasuki dunia cyber. Sastra cyber sendiri tak berbeda dengan sastra koran, sastra majalah, sastra bulletin, dan lain sebagainya. Soal estetika memang hal utama.
2.
RINGKASAN
Puritanisme adalah gejala keagamaan
yang mengedepankan keinginan untuk menjaga kemurnian dalam beragama dan hidup
sesuai dengan nilai-nilai keagamaan yang ketat. Sejarah dunia dengan gamblang
menggambarkan proses lahirnya puritanisme sebagai iringan terhadap reformasi
Protestan dan berdirinya gereja Anglikan pada abad 16. Dalam referensi
kesusasteraan Inggris klasik, periode puritan (1620-1660) adalah tonggak pemicu
lahirnya sastra yang berelevansi dengan agama. Ragam sastra yang muncul adalah
puisi metafisis. Pelopornya adalah John Donne (1573-1631). Sumber inspirasi
gaya metafisik ini adalah cinta dan agama.
Menyoal hubungan agama dan sastra
adalah diskursus yang sudah langgam
dibahas, baik di dalam sastra Inggris maupun sastra Indonesia. Dikotomi antara sakral dan profan adalah salah satu ulasan yang
kerap dilakukan kendati upaya menggabungkan keduanya dalam satu bentuk karya
sastra juga pernah terjadi. Dalam artian labelisasi sastra telah melahirkan
beberapa bentuk dan corak karya sastra yang berhubungan dengan agama dan
nilai-nilai keagamaan, sebut saja dalam perkembangan kesusasteran Indonesia,
sastra religius dan sastra sufi. Keduanya merupakan model karya kesusasteraan
yang telah eksis. Sejak zaman Hamzah Fansyuri, Balai Pustaka, tahun 1970-an,
hingga sekarang; telah sering diselenggarakan diskusi atau tulisan lepas yang
menekankan adanya religiusitas dalam karya sastra.
Awal kontra persepsi yang terjadi
antara lain adalah sewaktu HAMKA menerbitkan dua roman populer, Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck (1938) dan Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938). Status HAMKA
sebagai ulama dan tokoh pergerakan Islam menjadi sumber utama awal perdebatan
tersebut. Kalangan yang menolak menyebut HAMKA sebagai Kiai Cabul sebab bukanlah kepantasan roman percintaan dibumbui
dengan aroma Islam. HAMKA sendiri menanggapi bahwa tidak sedikit roman yang
berpengaruh positif bagi pembaca, dan ini juga dapat berimplikasi pada cara
pandang keagamaan masyarakat terutama pada pembaharuan pemikiran keagamaan.
Benih perdebatan mulai tersemai.
Nilai yang dikedepankan dalam upaya menemukan sastra religi berpusat pada
adakah nilai keagamaan yang terkandung pada karya sastra. Tolak ukur
kepribadian pengarang sudah bukan pedoman utama untuk menyebutkan bahwa karya
ini religius atau tidak. Inilah babak awal diskursus sastra untuk memilah karya
sastra.
Karya sastra berada di sebuah ranah
estetika di mana ia adalah simbolisasi keindahan. Ia menjelaskan tentang objek
estetik, kualitas serta pengaruhnya terhadap jiwa manusia, yaitu perasaan,
imajinasi, alam pikiran dan institusi. Begitu juga dalam agama yang
berorientasi pada etika. Ia menciptakan jalan lurus lengkap dengan peraturan
yang mencegah manusia keluar dari jalur. Agama seperti ikatan yang tidak
melepas seorang hambanya melenceng dari nilai kebenaran yang absolut – tentunya
berdasarkan tendensi agama tersebut. Etika dapat juga disederhanakan dengan
bahasa “benar dan salah” atau bermoral dan amoral.
Berdasarkan hal tersebut kita
temukan perbedaan mencolok antara keduanya. Ranah estetis mempunyai konsekuensi
logis ketidakberaturan terutama dalam kandungan estetika yang dimuat karya
sastra. Kata “indah” adalah subjektivitas pengarang sehingga ia dapat sekehendaknya
membalik fakta dari sebuah realitas yang ia tuangkan. Hal yang buruk berubah
menjadi baik dan sebaliknya. Teks sastra selalu ambigu dan menyamarkan konsepsi
“benar-salah” yang berelasi erat dengan agama. Sehingga menyematkan label agama
pada karya sastra seperti sastra Islam, sastra Kristen dan sebagainya menjadi
sebuah paradoks karena sekat yang ada antarkeduanya.
Sebagai bukti bahwa estetika
seringkali tidak bersatu tubuh dengan etika adalah maraknya pergoncangan
argumentasi tentang Goyang Inul beberapa tahun silam. Beberan kemuakan dan
kebencian atas visualisasi goyang ngebor
dan disamakan dengan goyang striptease
(telanjang) lahir dari eratnya proses pejawantaham bentuk etis dan
dikaitkan dengan moral bangsa yang menganut adab ketimuran. Lagi-lagi pendapat
ini dikuasai oleh kalangan pemuja taat agama. Sementara luapan dukungan
mengalir dari pihak yang mengatasnamakan pemuka pencinta seni. Apa yang
ditampilkan Inul bukanlah bentuk dari pornografi melainkan representasi dari
keindahan dan kesenian yang bebas nilai.
Di Indonesia, sering terjadi
labelisasi karya sastra sebagai sastra religi. Sebut saja puisi karya Amir
Hamzah “Padamu Jua” atau puisi “Lagu Bulan Mei” karya Acep Zamzam Noor. Hanya
karena interpretasi material yang berbau keagamaan serta merta kedua karya
tersebut dikategorikan dalam sastra religi. Amir Hamzah, sastrawan yang
dibabtis HB. Jassin sebagai raja penyair Pujangga Baru, dalam puisi “Padamu
Jua” menuliskan larik: pulang kembali aku
padamu, seperti dahulu. Kata ganti mu diartikan sebagai simbolisasi Tuhan
sehingga karyanya terkesan religius. Ini tentu bukan penafsiran yang salah
sebab teks menyediakan paradigma semiotis bagi simbolisasi apapun bahkan Tuhan.
Namun apa yang terjadi ketika kata ganti tersebut -mu pada larik tersebut diartikan dengan makna lain, seperti mantan
pacar atau bahkan tempat prostitusi dan kedua penafsiran ini dapat menjadi
acuan dalam teks tersebut, tentu akan melahirkan tiga model keindahan makna
yang berbeda dan berseberangan.
Acep Zamzam Noor malah membikin
pengakuan yang kontradiktif dengan wilayah sakral religi. Pada puisi “Lagu
Bulan Mei” dituliskan: Sebuah sungai di
pahamu, Berkelok-kelok dengan riang, Menyirami rumpun bunga dan sayuran,
Tangannya yang panjang bahkan mencapai, Altar gereja. Di sini, teks puisi
sengaja mempersatukan dua diksi berlawanan – antara sungai di pahamu dengan
altar gereja – dalam satu tindak dan satu tujuan.
Karya sastra adalah produk teks. Ia
adalah wujud imajinatif yang terangkum dalam simbol-simbol bahasa. Acuannya
adalah bahasa yang menghidupi pengarang. Bersastra adalah proses mencapai
klimaks estetik dengan menyusun pondasi-pondasi berupa imajinasi, fantasi,
fiksi dan ekspresi dengan perantara bahasa. Tak heran, jika kita seringkali
menemukan analisis karya sastra yang berbeda bahkan bertentangan dan ini adalah
hal yang lumrah terjadi.
Teks sastra menciptakan multi
kebenaran karena pada dasarnya merasuki ranah sastra berarti bermain-main di
dalam labirin teks bahasa. Dampaknya
pun beragam ditilik dari konsep kebahasaan yang telah mapan. Teks sendiri
adalah ungkapan bahasa yang menurut pragmatik, sintaktik, dan semantik/isi
merupakan suatu kesatuan. Walau begitu, meski beberapa unsur tersebut telah
terpenuhi, bukan berarti perkara yang mudah untuk mencari makna dalam teks
sastra. Bahasa mempunyai kelemahan-kelemahan yang menjadikannya sulit untuk
didekati, kesamaran (vagueness),
implisit (inexplicitness), ketaksaan
(ambiguity) dan tergantung pada
konteks (context-dependence) adalah
perihal yang sering menyebabkan kita mengalami kesalahan untuk mencari
kebenaran makna di dalam bahasa. Sebagai bukti adalah puisi Amir Hamzah yang
ternyata memungkinkan untuk dimaknai lain, meski ia telah menyebutkan makna
sebenarnya yang ia tasbihkan dalam karyanya.
Lalu lalangnya pandangan semiotis
(bahasa sebagai tanda) sekiranya bisa untuk menyelesaikan problematika
penafsiran ini. Atau mungkin konsep intertektualitas (hubungan antar teks)
dapat mengantarkan kita menuju pemahaman sempurna akan teks. Konsep-konsep
linguistik lainnya jikalau ikut urung rembug mungkin dapat mengatasi hal ini.
Tetapi terbatas pada metode untuk menafsiri makna bukan menghasilkan. Sebab
yang akan terjadi adalah munculnya multi-kebenaran yang didapatkan dari
proyeksi analisis teks sastra.
Seiring dengan membuminya pemikiran
post-strukturalisme, teks sastra tak ubahnya seperti pelancar dari formulasi
yang dicetuskan oleh para pemikir post-strukturalisme. Teks sastra mencoba
menghadirkan nilai-nilai yang sebelumnya disikut oleh nilai dominan masyarakat.
Teks sastra memunculkan celah yang tak pernah terlihat sebelumnya. Struktur
nilai dominan/primer yang merupakan konvensi masyarakat bisa dijungkirbalikkkan
oleh struktur nilai sekunder yang terlupakan.
Sederhananya, etika yang
menjlentrehkan oposisi biner (saling berlawanan) sangat disamarkan oleh sastra.
Yang benar bisa salah, dan yang salah dapat dipoles menjadi varian kebenaran
yang sebelumnya tidak disentuh oleh masyarakat. Sehingga seringkali banyak
karya sastra yang dibredel, dilarang dan tidak diterbitkan hanya untuk memenuhi
arogansi etika yang selalu mengikat.
Djoko Sarjono berpendapat,
imajinasi, fantasi, fiksi, dan ekspresi kebaruan yang bebas sebebas-bebasnya
bukan “penguasaan tunggal” untuk memperoleh estetik dan stilistik. Semua itu
bukan ukuran pencapaian mutu sastra dalam konsep kenusantaraan kita. Ukuran
mutu sastra didasarkan atas seberapa jauh kemampuannya menjadi presensi dan
representasi tutur aktifitas eksistensial dengan mematuhi, kebulatan, dan
kesatuan religiositas, filosofis, etik, dan estetik. Namun apalah artinya
jikalau teks sastra masih menghendaki yang lain. Nilai religiusitas, filosofis,
etis apalagi estetis adalah macam ambigu yang tertampil dalam karya sastra.
Menurut Malinowski (Santoso, 2003), konteks situasi menentukan pemilihan bentuk
dan makna sekaligus. Sehingga potongan bentuk makna dari tiap kata adalah
konsensus masyarakat yang bersifat arbitrer dan tentu mempunyai perbedaan
berdasarkan kultur yang berbeda. Tetapi yang menjengkelkan adalah hasil makna
yang terjadi dapat berupa penindasan terhadap makna lain yang sesuai tetapi
terbelenggu oleh kekuasaan nilai dominan yang ada.
Kembali pada permasalahan labelisasi
sastra religius, adalah macam dikotomistik
yang rancu. Membatasi teks sastra dengan labelisasi adalah kemustahilan. Sebab
kajian sastra selalu meluas, satu perbedaan saja, memastikan adanya corak anyar
di dalam sastra. Kemampuan manusia yang selalu terikat dengan simbol, tanda dan
identitas adalah penyebab utama. Mereka cenderung untuk memberikan simbol baru
pada realitas yang berbeda demi peneguhan identitas – sebagai pembeda. Karya
sastra menjadi licin untuk dipegang. Memang telah ada model-model sastra yang
telah paten, sebut saja sastra daerah, sastra erotik, sastra rakyat, sastra
sufi, sastra religi dan lain-lain. Tetapi itu bukan hal yang dapat ditetapkan
dengan semena-mena.
3.
PEMBAHASAN
ADA satu konsepsi tema dalam
perbincangan sastra, sebuah kerja nyaris sia-sia: religiusitas sastra. Sejak
zaman Hamzah Fansuri, Balai Pustaka, tahun 1970-an, hingga sekarang;
diselenggarakan diskusi atau tulisan lepas yang menekankan adanya religiusitas
dalam karya sastra. Dipelopori Abdul Hadi W.M., aliran sastra sufi pun muncul.
Mengapa konsepsi tema religi rekat pada perbincangan sastra? Apakah kontribusinya
bagi tradisi sastra?
Amir Hamzah, sastrawan yang
"dibaptis" H.B. Jassin sebagai raja penyair Pujangga Baru, dalam
puisi Padamu Jua menuliskan larik pulang kembali aku padamu, seperti dahulu.
Sebuah puisi cerdas, dan karenanya membikin pembaca terpesona. Kata ganti mu
diartikan simbolisasi Tuhan. Ini tentu bukan penafsiran yang salah, teks
menyediakan paradigma semiotis bagi simbolisasi Tuhan. Konsepsi ketuhanan
pembaca memperoleh keselarasan atau terwakili oleh imaji ritual puisi Amir
Hamzah. Pertemuan dua kutub dalam ruang sublimitas. Pembaca dan puisi. Aku
lirik kembali ke jalan yang benar setelah berlepotan tindak dosa dalam
berpetualang di alam profan. Jalan Tuhan. Pulang kembali aku padamu, Tuhan.
Penafsiran religi mendapat sandaran dalam larik puisi. Pembaca, sekali lagi,
terpesona. Kesimpulan muncul, puisi Amir Hamzah religius.
Amir Hamzah, kiranya, bukan
satu-satunya penyair yang mendapat hasil penafsiran religius. Ada banyak
penyair yang puisinya membuka diri pada pengalaman berseru terhadap Tuhan
disebut penyair religius. Puisi religius, sastra religius. Ini klaim massal
yang melekat – nyaris abadi – dalam puisi. Juga dalam prosa. Juga dalam drama.
Semisal drama Emha Ainun Nadjib berjudul Perahu Retak. Kumpulan prosa
Fariduddin Attar dan Kahlil Gibran, bahkan sering, dipajangkan pada deret
buku-buku agama.
Sesungguhnya yang terjadi adalah
pemberian identitas sastra oleh pembaca. Massa pembaca. Bagaimanakah karya
sastra pada kerangka akar sastra? Bagaimana religi dalam kerangka akar religi?
Bagaimana juga posisi sastra berhadapan dengan religi? Persandingan sastra
sebagai institusi kerja independen dengan religi sebagai institusi independen
pula.
Sastra hidup dan dihidupi oleh dataran estetika. Dataran pembebasan. Karya sastra akan semakin berhasil – memesona dan menakjubkan – bila mampu membongkar tatanan. Mempertanyakan kepastian sekaligus meluruhkan paradigma ideologisnya. Sastra seperti sorot mata yang memandang tajam batu hitam pekat. Lima menit pertama, batu itu hanya bergetar. Lima menit kedua, batu tersebut melepuh menjadi adonan. Sastra hadir untuk membuktikan kerapuhan setiap ikatan.
Sastra hidup dan dihidupi oleh dataran estetika. Dataran pembebasan. Karya sastra akan semakin berhasil – memesona dan menakjubkan – bila mampu membongkar tatanan. Mempertanyakan kepastian sekaligus meluruhkan paradigma ideologisnya. Sastra seperti sorot mata yang memandang tajam batu hitam pekat. Lima menit pertama, batu itu hanya bergetar. Lima menit kedua, batu tersebut melepuh menjadi adonan. Sastra hadir untuk membuktikan kerapuhan setiap ikatan.
Religi hidup dan dihidupi oleh
dataran etika. Dataran ikatan. Religi menciptakan jalan lurus, lengkap dengan
rambu-rambu dan tanda seru. Lembaga agama merupakan contoh paling tepat dari
kerja religi. Ada kitab pegangan menempuh hidup. Religi senantiasa
mempersatukan ketidakberaturan melalui kekokohan tatanan. Kehadirannya seakan
ingin menegaskan kesatuan cemerlang. Religi seperti lanskap arakan elang mengangkasa
di suatu sore yang redup.
Sastra berusaha menyamarkan
pemilahan benar-salah. Dua nilai kunci ini diacak dan dipertauttengkarkan.
Religi bersikukuh dengan kemutlakan benar-salah. Keduanya jelas terpisah dan berdiri
pada tempat berlawanan. Baik-buruk bertukar tangkap dengan lepas dalam sastra.
Satu tindak bisa serentak baik sekaligus buruk. Sastra akan sangat gembira
dengan penggambaran orang yang berjalan jauh – berpakaian merah kelam dan
bersenjatakan golok – di tengah perjalanan orang tersebut meninggal. Apakah
pejalan tersebut salah atau benar sangat sulit ditentukan. Dia hanya bisa
direka-reka.
Bisa benar bila dia bertujuan
menebang kayu sendiri. Salah bila ternyata dia ingin merampok juragan dermawan.
Karena itu, seorang pejalan yang mati sebelum sampai di tujuan, bergerak dalam
kemungkinan yang serentak salah dan benar. Bergantung pada akhir; jawaban tegas
yang jarang tercantum dalam sastra. Ambiguitas.
Religi menceraikan tindak baik dan
buruk. Satu tindak tidak dapat bermuatan baik sekaligus buruk. Religi adalah
pejalan yang telah sampai di tempat tujuan. Lepas dari hasil tindakannya, sang
pejalan telah selesai ternilai. Ia hanya berhak menyandang satu nilai, tidak
serentak keduanya. Jangankan mempersatukan, bersinggungan pun tidak, sebab
keduanya saling berlawanan. Religi -etika- menciptakan pagar sedangkan sastra
-estetika- membongkarnya. Sastra merayakan kerapuhan, sedangkan religi
memperkokohnya kembali.
Kembali pada puisi Amir Hamzah,
bagaimana bila kata ganti -mu pada
larik kembali aku padamu diartikan bekas pacar. Lebih jauh lagi, diartikan
sebagai tempat pelacuran. Antara Tuhan, bekas pacar, dan tempat pelacuran
menjadi berposisi seimbang karena sama-sama mendapatkan acuan dalam teks.
Padahal, hasil penafsiran ketiga kemungkinan tersebut sangat berbeda. Mungkin
sangat berlawanan secara aturan nilai terapan pembaca. Tiga model ketakjuban
yang berseberangan.
Bagaimana mungkin teks yang
memungkinkan adanya perseberangan berlawanan dapat diakui sebagai teks religi?
Bagaimana mungkin teks religi membuka diri bagi beberapa kebenaran yang saling
bertentangan. Saling mempersalahkan. Religi dalam teks Amir Hamzah hanya benar
dalam penafsiran yang sewenang-wenang, menaifkan penafsiran lain yang sama-sama
mendapat paradigma semiotik dalam konstruksi teks.
Acep Zamzam Noor malah membikin pengakuan yang kontradiktif dengan wilayah sakral religi. Pada puisi Lagu Bulan Mei dituliskan: Sebuah sungai di pahamu, Berkelok-kelok dengan riang, Menyirami rumpun bunga dan sayuran, Tangannya yang panjang bahkan mencapai, Altar gereja. Di sini, teks puisi jelas sengaja mempersatukan dua diksi berlawanan – antara sungai di pahamu dengan altar gereja – dalam satu tindak dan satu tujuan.
Acep Zamzam Noor malah membikin pengakuan yang kontradiktif dengan wilayah sakral religi. Pada puisi Lagu Bulan Mei dituliskan: Sebuah sungai di pahamu, Berkelok-kelok dengan riang, Menyirami rumpun bunga dan sayuran, Tangannya yang panjang bahkan mencapai, Altar gereja. Di sini, teks puisi jelas sengaja mempersatukan dua diksi berlawanan – antara sungai di pahamu dengan altar gereja – dalam satu tindak dan satu tujuan.
Perpaduan diksi berbeda, bahkan
berlawanan, artinya berusaha menguji keabsahan makna baku berkaitan dengan
diksi-diksi lain yang juga diuji keabsahannya. Patokan-patokan etika atau makna
puisi, diwakili oleh diksi, menjadi terapuhkan. Diksi-diksi, entah sakral atau
profan, berbenturan lalu memaksa memasuki medan makna baru. Teks puisi
mempersilakan pembaca memproduksi sendiri arah dan hasil penafsiran. Pada puisi
Acep terjadi reproduksi etika, oleh pembaca, dengan bermaterialkan reruntuhan
etika.
Inilah estetika. Sejalan dengan yang
diungkapkan Oktavio Paz: harmoni puisi lahir dari disharmoni. Keindahan
tercipta melalui pertentangan-pertentangan antarmakna. Di sini etika, dataran
religi, dihapuskan untuk memenuhi dataran estetika. Kecuali mempertentangkan,
ada kalanya puisi mengikuti nuansa citra dan alur logika religi.
Tidak untuk disepakati. Puisi
mempertanyakan dari dalam, semacam autokritik. Tampak pada puisi Muh. Aris
dalam judul Barongsai (antologi Ngilu Peju, Gapus: 2000): dendam kepala kami hantam, bara, wujud Tuhan, wujud Tuhan, yang pendam
neraka/dan kami lempar sentil, kelingking pada sorga/yang tak lebih, maya.
Puisi terhadap religi seperti menggunting dalam lipatan. Menohok kawan seiring.
Gambaran neraka yang rucah, beringas, dan panas justru diperlakukan sebagai
pola sintaksis bahasa. Tragik. Larangan dijadi permainan.
Berhadapan dengan sakralitas neraka,
puisi Aris, seperti anak kelas 3 SD yang diberi tahu ibunya agar tidak berlari
di tengah jalan raya. Bukannya menurut, si anak malah cepat melompat menghadang
truk dari arah berlawanan. Saya membayangkan tokoh dalam puisi Muh. Aris
sengaja masuk neraka. Di sana, dia tidak berkelenjotan kepanasan tetapi
berenang santai sambil memainkan alat tabuh Irian Barat dengan cengkok-cengkok
Jawa. Apalagi digambarkan wujud Tuhan yang pendam neraka. Sudah itu, dilempar
masuk surga. Terakhir, semuanya dinyatakan maya.
Kegiatan ini sangat mirip dengan
dekonstruksi dari Derrida. Membongkar-bongkar konstruksi lalu menisbikan segala
hal. Puisi Aris jelas mempermainkan dan membongkar konstruksi etika atau
sakralitas religi, bahkan menisbikan segalanya. Karya sastra bergenre prosa,
rupanya, tidak berperilaku berbeda. Pramoedya Ananta Toer dalam Cerita dari Blora sempat mengisahkan
tentang laku Islam sejati. Seorang anak yang ingin menjadi Islam sejati disuruh
melakukan khitan. Setelah dijalani, ternyata dia merasa sebaliknya. Birahinya
meningkat tajam.
Lebih rumit lagi,
peristiwa-peristiwa dalam novel Ziarah karya Iwan Simatupang. Di situ
tokoh-tokohnya mengalami kejadian yang tidak beraturan, mendadak, asing, dan
hanya dapat terjawab dalam kuburan. Mengurusi kematian. Menanti mati. Sendiri.
Apakah dengan begitu masih ada karya sastra yang religius? Saya lebih percaya pada teks sastra yang cerdas. Bahwa teks sastra bukan saja tidak bernuansa religius, justru yang diusahakan adalah merapuhkan religiusitas.
Apakah dengan begitu masih ada karya sastra yang religius? Saya lebih percaya pada teks sastra yang cerdas. Bahwa teks sastra bukan saja tidak bernuansa religius, justru yang diusahakan adalah merapuhkan religiusitas.
Semacam kodrat, diakibatkan berpijak
pada dataran estetika. Ketakjuban/keindahan dari terapan pertentangan,
ketegangan, permainan, serta ketidakpastian. Semuanya berada di luar wilayah
religi. Anak haram dari keketatan konstruksi etika. Hanya, ada memang karya
sastra yang masuk dan menaati ajaran religi. Karya sastra yang turut membangun
tata aturan etika. Ditinjau dari ukuran sastra, karya-karya semacam ini tidak
bagus. Sebab, mengabaikan estetika. Lari dari keindahan.
Karya sastra jenis ini sering
membangkitkan decak kagum dan mengundang tepuk tangan pembaca. Bersifat
menghibur. Sebuah hiburan. Misalnya puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul Idul
Fitri (Antologi Puisi Indonesia, KSI: 1998): lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini, ngebut, di jalan lurus, Jangan
Kau depakkan lagi aku ke trotoar. Mungkin, puisi ini akan sukses bila
dibacakan di acara penutupan reuni SMU. Tidak untuk acara pembacaan puisi,
jalinan diksi dan orientasi teksnya membuat orang enggan berpikir dan
membayangkan imajinasi jiwa. Jauh berbeda dengan puisi Sutardji dalam “Amuk
Kapak” pada 1970-an.
Sastra tanpa betah religi, begitulah
"tidak ada sastra religius", meskipun bertentangan dengan institusi
religi, itu hanya terjadi pada teks. Di luar teks, keduanya menemukan titik
temu. Saling menjalin merumuskan kebudayaan. Sastra dan religi ada dalam
masyarakat, dihidupi masyarakat, serta hidup untuk masyarakat.
Religi membangun tata krama agar
orang mengerti, menjalankan yang benar dan yang baik. Juga memicu situasi daya
cipta. Sastra, dengan paradoksnya, membuat orang mengerti hidup dan yang
terjadi pada hidup. Sastra berguna untuk religi sebagai autokritik. Religi
berjasa bagi sastra sebagai modalitas kreatif.
4.
KESIMPULAN
Setelah
menguraikan secara singkat tentang sastra religius di atas, maka pandangan pada
sastra religius itu sebenarnya bukanlah sebuah warna dalam kesusastraan. Namun,
keterkaitan antara kesusastraan dengan agama memang tak dapat dipisahkan. Hal
ini disebabkan karena banyaknya masalah-masalah keagamaan yang masih kabur di
mata masyarakat sehingga memanggil jiwa para sastrawan untuk mencoba
mengungkapkannya melalui karya sastra. Terkadang pandangan para sastrawan itu
terhadap agama juga malah melenceng dengan penggunaan diksi-diksi yang kurang
tepat, seperti apa yang di tulis oleh Acep Zamzam Noor, Muh. Aris, Pramoedya
Ananta Toer dalam karya-karya mereka.
Seperti
apa yang pernah dibahas Harris Effendi Thahar dalam Majalah Annida rubrik Bengkel Cerpen Nida, inilah yang disebut
imajinasi yang kebablasan. Seorang sastrawan hanya mengetengahkan estetika
dalam karyanya tanpa peduli sampai di mana is membahas sesuatu itu, termasuk
masalah agama. Sehingga bisa dipastikan, bahwa sastra religius itu tidak ada
dalam khazanah sastra. Dalam khazanah sastra, agama memang sering dibahas dan
dikemukakan namun tetap saja agama bukan warna dalam kesusastraan. Dalam
kesusastraan, agama hanya berperan sebagai tema.
Namun
tidak bisa juga dikatakan, kalau kebenaran agama hanyalah milik para ulama,
kyai, pendeta dan pemuka-pemuka agama lainnya. Kebenaran agama sesungguhnya ada
pada bagaimana agama itu dalam pandangan penganutnya, apakah sesuai dengan
kitab suci atau tidak. Dengan demikian, sekali ditegaskan bahwa sastra religius itu tidak ada menurut
apa yang kami uraikan dalam bagian ringkasan dan pembahasan di atas. Sastra
religius itu ada hanyalah karena para sastrawan memasukkan agama sebagai pokok
permasalahan yang dituliskannya dalam karyanya, sehingga boleh dikatakan bahwa
agama hanyalah sebagai tema dalam kesusastraan.
Lebih
jauh, sastra religius itu sepertinya akan mencakup banyak hal, misalnya saja
dalam ceramah-ceramah agama, khutbah-khutbah agama dan yang lainnya. Tentu saja
penulisan naskah ceramah dan khutbah tersebut tidak lepas dari etika dan
estetika yang dimiliki juga oleh karya sastra. Kalau tanpa etika dan estetika,
kita bisa bayangkan berapa orang yang sanggup mendengarkan para pemuka agama
menyampaikan ceramah dan khutbah selama berjam-jam. Lantas mengapa kita tidak
menyebut kalau naskah ceramah dan khutbah itu sebagai hasil sastra religius? Dari sebuah karya sastra yang telah
teridentifikasi dengan satu label, sebut saja sastra religius sebenarnya ia
mengandung makna-makna lain yang berakibat ia juga layak diberikan corak baru,
berlainan dengan anggapan awal.
Biarlah sebuah karya sastra itu
bebas tanpa embel-embel apapun. Karena ketika ada stigma terhadap bentuk
sastra, maka ia berpeluang untuk menciptakan konflik di dalam sastra sehingga
yang terjadi nilai estetis menjadi hal yang semakin jarang ditemukan dalam
karya sastra. Biarlah sastra itu bebas untuk dinikmati, dipandang dari sudut
apapun. Jikalau kita tetap membatasi sastra, maka yang terjadi adalah
penindasan terhadap nilai-nilai atau
makna yang sebenarnya ada namun ditiadakan. Akan ada kriminalitas terhadap
analisis sastra, sebab pengaruhnya adalah yang berkuasa dialah yang menang dan
penafsirannya yang akan diakui orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar