Tri
Rahmiyati, Yusniati Rambe, dan Rohana
A.
Pendahuluan
Sastra merupakan pencerminan
masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema
kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima
pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap
masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra
yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota
masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari
adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus
membentuknya. Wellek dan Warren (1976) membahas hubungan sastra dan masyarakat
sebagai berikut:
Literature is a social institution,
using as its medium language, a social creation. They are conventions and norm
which could have arisen only in society. But, furthermore, literature
‘represent’ ‘life’; and ‘life’ is, in large measure, a social reality, eventhough
the natural world and the inner or subjective world of the individual have also
been objects of literary ‘imitation’. The poet himself is a member of society,
possesed of a specific social status; he recieves some degree of social
recognition and reward; he addresses an audience, however hypothetical.
(1976:94).
Senada dengan pernyataan diatas,
Damono (2003:1) mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan
kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini,
kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan
orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam
batin seseorang. Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan
hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan
sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
Pendekatan terhadap sastra yang
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan itu disebut sosiologi sastra dengan
menggunakan analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian
dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra
(Damono, 2003:3).
Sosiologi adalah telaah tentang
lembaga dan proses sosial manusia yang objektif dan ilmiah dalam masyarakat.
Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia
berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga
sosial dan segala masalah ekonomi, agama, politik dan lain-lain — yang
kesemuanya itu merupakan struktur sosial— kita mendapatkan gambaran tentang
cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme
sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di
tempatnya masing-masing.
Sesungguhnya sosiologi dan sastra
berbagi masalah yang sama. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan
dengan manusia dalam masyarakat sebagai usaha manusia untuk menyesuakan diri
dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dengan demikian, novel dapat
dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial yaitu hubungan
manusia dengan keluarga, lingkungan, politik, negara, ekonomi, dan sebagainya
yang juga menjadi urusan sosiologi. Dapat disimpulkan bahwa sosiologi dapat
memberi penjelasan yang bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dapat dikatakan
bahwa tanpa sosiologi, pemahaman kita tentang sastra belum lengkap.
Pradopo (1993:34) menyatakan bahwa
tujuan studi sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk mendapatkan gambaran
utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat.
Pendekatan sosiologi sastra yang
paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek
dokumenter sastra dan landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin
zamannya. Pandangan tersebut beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung
dari berbagai segi struktur sosial hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas,
dan lain-lain. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan
pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan
sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra
yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat sosial.
Kritik
Sastra:
Kritik sastra memiliki
korelasi yang erat dengan perkembangan kesusastraan. Menurut Hardjana (1981) ,
kritik sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan oleh para peneliti
sastra bagi perkembangan dan pembinaan sastra. Hal senada juga diungkapkan oleh
Pradopo (1993), bahwa untuk bisa menentukan bagaimana sesungguhnya perkembangan
kesusastraan Indonesia, dibutuhkan suatu kritik.
Kita tahu, pendekatan dalam kritik
sastra cukup beragam. Pendekatan-pendekatan tersebut bertolak dari empat
orientasi teori kritik. Yang pertama, orientasi kepada semesta yang melahirkan
teori mimesis. Kedua, teori kritik yang berorientasi kepada pembaca yang
disebut teori pragmatik. Penekanannya bisa pada pembaca sebagai pemberi makna
dan pembaca sebagai penerima efek karya sastra. Resepsi sastra merupakan pendekatan
yang berorientasi kepada pembaca. Untuk yang ketiga, teori kritik yang
berorientasi pada elemen pengarang dan disebut sebagai teori ekspresif.
Sedangkan keempat adalah teori yang berorientasi kepada karya yang dikenal
dengan teori obyektif.
Dalam kaitan ini, sosiologi sastra
merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa
juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca.
Menurut pendekatan sosiologi sastra,
karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu
mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas,
yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya
sastra.
Wilayah sosiologi sastra cukup luas.
Rene Wellek dan dan Austin Warren membagi
telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang, yakni
yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain
yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni
mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang menjadi pokok telaah
adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan
atau amanat yang hendak disampaikannya. Ketiga,
sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya
terhadap masyarakat.
Klasifikasi tersebut tidak jauh
berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Watt (2001) dengan melihat hubungan
timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat.
Telaah
suatu karya sastra menurut
Watt (2001) akan mencakup tiga hal, yakni konteks sosial
pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra.
Konteks
sosial pengarang adalah yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya
dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa
mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi
karya sastranya. Sastra sebagai cermin masyarakat
menelaah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan
masyarakat. Fungsi sosial sastra, dalam
hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial,
dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan
sekaligus sebagai pendidikan masyarakat bagi pembaca.
Junus
(1986) mengemukakan, bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah
sosiologi sastra adalah karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya.
Ia juga menyangkut penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra.
Termasuk pula penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya
sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya. Selain itu juga berkaitan
dengan pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan
bangsa, dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas. Tak
boleh diabaikan juga dalam kaitan ini pendekatan
strukturalisme genetik dari Goldman (1980) dan pendekatan Devignaud yang
melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra. Sastra bisa
dilihat sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya
suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Pendekatan ini bertolak dari
anggapan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Bagaiamanapun
karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan
dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.
Demikian pula obyek karya sastra adalah realitas kehidupan,
meskipun dalam menangkap realitas tersebut sastrawan tidak mengambilnya secara
acak. Sastrawan memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada
asas dan tujuan tertentu. Goldmann (1980) mengatakan, bahwa sastrawan menganalisis “data” kehidupan sosial,
memahaminya dan mencoba menentukan tanda yang esensial untuk dipindahkan ke
dalam karya sastra.
Apabila realitas itu adalah sebuah
peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat mencoba menerjemahkan peristiwa itu
dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut
kadar kemampuan pengarang. Kecuali itu, karya sastra dapat menjadi sarana bagi
pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai
peristiwa sejarah dan ketiga seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat
merupakan penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya
imajinasi pengarang.
Hubungan dialektik antara karya
sastra dan realitas sosial budaya memperkuat anggapan bahwa sastra merupakan
salah satu institusi sosial. Sastra tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas
sosial tetapi juga dapat mempengaruhi realitas sosial. Memang benar, sastra
mengambil sebagian besar karakternya dari bahasa, namun bentuk dan isi novel
lebih banyak berasal dari fenomena sosial daripada dari seni lain, terkecuali
film. Novel seringkali merupakan ikatan dengan momentum tertentu dalam
peristiwa sejarah masyarakat. Goldmann (1980) mengatakan, bahwa karya sastra merupakan analisis estetis dan sintesis
sebuah realitas tertentu dan novelis senantiasa melakukan analisis dan sintesis
sebelum memulai menulis.
Karya sastra mengeksploitasi manusia
dan masyarakat. Hal ini yang menjadi alasan utama mengapa sosiologi sastra
penting dan dengan sendirinya perlu dibangun pola-pola analisis sekaligus
teori-teori yang berkaitan dengannya. Meskipun masalah sastra dan
manusia/masyarakat sudah dibicarakan jauh sebelumnya, sosiologi sastra sebagai
ilmu yang berdiri sendiri dengan menggunakan teori dan metode ilmiah dianggap
baru mulai pada abad ke-18.
Paradigma sosiologi sastra berakar
dari latar belakang historis dua gejala, yaitu masyarakat dan sastra: karya
sastra ada dalam masyarakat, dengan kata lain, tidak ada karya sastra tanpa
masyarakat. Sosiologi sastra, meskipun belum menemukan pola analisis yang
dianggap memuaskan, mulai memperhatikan karya seni sebagai bagian yang integral
dari masyarakat. Tujuannya jelas untuk memberikan kualitas yang proposional
bagi kedua gejala: sastra dan masyarakat. Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian
pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial.
Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling
kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh
pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses
kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan
sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Sastra menyajikan gambaran
kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan
sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat
dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin
seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan
kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah
“kebenaran” penggambaran, atau yang hendak digambarkan. Namun Wellek dan Warren
mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi
keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan
fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang
tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu
sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara
tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu. Karya sastra
dapat juga mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang-kadang kurang
jelas dalam masyarakat.
Pada hakikatnya seorang sastrawanpun
adalah bagian dari masyarakat. Oleh sebab itu, sastrawanpun tak dapat lepas
dari status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang mempergunakan
bahasa sebagai mediumnya; dan bahasa adalah adalah salah satu ciptaan sosial.
Tak jarang, karya sastra merupakan cerminan atau pantulan hubungan sosial
individu dengan individu lain, atau anatara individu dengan masyarakat.
Sastra diciptakan untuk dinikmati,
dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sudah sejak dulu, karya sastra
dikenal dalam beberapa tinadakan sosiokultural masyarakat seperti pada upacara
keagamaan, ilmu gaib, pekerjaan sehari-hari atau permainan. Ketika membaca
sebuah karya sastra, mungkin kita akan merasakan kenikmatan seperti kita sedang
melakukan permainan. Atau bahkan kita akan merasakan ketenangan seperti setelah
melakukan upacara keagamaan, ataupun karena dalamnya kita dalam membaca sebuah
karya sastra, kita akan lebih mudah dalam menjalani pekerjaan sehari-hari.
Sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan
sifat sosial tertentu, atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
Pendekatan
yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan dalam sastra oleh beberapa ahli
disebut sosiologi sastra.
Pada dasarnya sebutan ini pun tak berbeda dengan sebutan-sebutan lain,
masing-masing tetap didasarkan dan berlandaskan pandangan teoretis. Meskipun
pandangan kritikus satu sama lain berlandaskan pengertian tertentu akan tetapi
pada dasarnya semua pendekatan mengacu pada sebuah kesamaan. Sastra adalah
sebuah lembaga sosial yang diciptakan oleh sastrawan yang tak lain adalah
anggota dari masyarakat.
Sudah banyak telaah yang dilakukan
beberapa ahli dalam buku atau dalam tulisan lepas, dapat disimpulkan bahwa ada dua kecenderungan utama dalam telaah
sosiologi sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa
sastra merupakan cermin dari proses sosial-ekonomi belaka. Kedua, pendekatan
yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang
dipergunakan dalam sosiologi sastra adalah analisis teks untuk mengetahui
strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala
sosial yang di luar sastra.
Beberapa penulis telah mencoba untuk
membuat klasifikasi masalah sosiologi
sastra. Wellek dan Warren
(1976: 84) membuat klasifikasi yang singkatnya sebagai berikut: pertama, sosiologi pengarang, kedua sosiologi
karya, dan ketiga sosiologi pembaca. Klasifikasi lain adalah yang dibuat
oleh Goldmann (1980) yang
didalamnya membicarakan tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra,
dan masyarakat.
Istilah pendekatan sosiokultural
terhadap karya sastra dapat kita simak dalam buku Grebstein (1968: 161-169)
yang isinya antara lain sampai pada beberapa kesimpulan antara lain karya
sastra tidak dapat dipahami secara tuntas apabila dipisahkan dari lingkungan
atau kebudayaan yang telah menghasilkannya, gagasan yang terdapat dalam karya
sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya, setiap karya yang
bisa bertahan lama pada hakekatnya adalah suatu moral, masyarakat dapat
mendekati karya sastra dari dua arah yaitu sebagai suatu kekuatan material
istimewa dan sebagai tradisi, selain itu kritik sastra seharusnya lebih dari
sekedar perenungan estetis tanpa pamrih, dan yang terakhir kritikus sastra
bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra yang akan datang.
Secara singkat dapat dijelaskan
bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat.
Seperti halnya sosiologi, sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat.
Perbedaan keduanya adalah bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah yang
objektif, sedangkan novel menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan
menunjukan cara-cara manuisa menghayati masyarakat dengan perasaannya.
Dalam hubungannya dengan kritik dan
sosiologi, Daiches berpendapat bahwa
kritik sosiologis paling bermanfaat apabila diterapkan pada prosa. Prosa
banyak tergantung kepada apa yang dianggap penting oleh masyarakat. Yang
dianggap penting itu adalah hal-hal yang dapat mengubah hubungan-hubungan
sosial. Pengarang besar tentu saja tidak sekedar menggambarkan kondisi sosial
secar mentah. Sastra karya pengarang besar melukiskan kecemasan, harapan, dan
aspirasi manusia. Oleh karena itu barangkali ia merupakan salah satu barometer
sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap
keuatan-kekuatan sosial dan arena sastra juga akan selalu mencerminkan
nilai-nilai dan perasaan sosial.
Kalaupun novel dikatakan
mencerminkan struktur sosial, maka yang didapatkan didalamnya adalah gambaran
masalah masyarakat umum ditilik dari sudut lingkungan tertentuyang terbatas,
yang berperan sebagai mikrokosmos sosial seperti lingkungan bangsawan, borjuis,
seniman, intelektual, dan lain-lain.
B.
SOSIOLOGI
SASTRA INDONESIA:
a. StudiC.W.Watson
Secara eksplisit tesis Watson mengemukakan bahwa dasar teorinya adalah strukturalisme genetik Goldmann
yang tak lain adalah pengembangan teori George Lukacs. Dalam tesisnya yang
membahas tentang novel Indonesia dari rentang tahun 1920 sampai 1950, yang
dilihat dari latar sosiokultural dan segi pandangan dunianya. Sama seperti
Goldmann, Watson juga menaruh perhatian yang kuat pada teks sastra sebagai
suatu struktur yang koheren. Akan tetapi dalam pengembangan tesisnya, ia
ternyata tidak sepenuhnya setia pada kerangka teori yang ia gunakan. Ini
disebabkan karena factor genesis yang tak tak dapat dijelaskan secara
sosiokultural sebagaimana yang dijelaskan goldmann sehingga tersisiplah teori
hegemoni Gramscian dalam analisisnya mengenai novel terbitan balai pustaka dan
non balai pustaka. Keduanya terbatas pada sebuah eksplanasi berupa perubahan
system nilai masyarakat dan diperhitungkannya sejumlah mediasi yang oleh
Goldmann tak pernah terpikirkan, misalnya tentang mediasi tradisi sastra
tradisional.
Genesis
Novel Indonesia.
Novel Indonesia menurut Watson
adalah novel yang terbit mulai tahun 1920 yang diterbitkan oleh balai pustaka.
Novel Indonesia dibangun dari rentang tradisi yang sangat panjang sejak
terjadinya perkembangan komunikasi di jawa dan sumatera, terutama sejak
munculnya pers pribumi dalam bahasa melayu rendah dan jawa. Melayu rendah disini adalah sastra hasil
pembaca cina peranakan karena ceritanya dianggap berbahan dari sastra
tradisional cina. Pada tahun-tahun terakhir banyak novek realisme sosialis yang ditulis oleh
penulis orang belanda atau indo-eropa yang tak lain adalah tiruan dari novel
hindia belanda berbahasa belanda. Sirkulasi novel tersebut terbilang luas
sehingga cukup membuat pemerintah colonial resah karena takut jika pada
akhirnya, “melek huruf” ini akan mengganggu stabilitas keamanan politis
kekuasaannya. Untuk menangkal hal seperti itu, pemerintah colonial akhirnya
membentuk sebuah komisi bacaan yaitu balai pustaka yang novel-novel kita sebut
sebagai awal dari novel-novel Indonesia.
Determinasi Faktor-Faktor Kultural
Dalam analisisnya mengenai
karya-karya, Racine dan Goldmann tidak
hanya berbicara tentang pandangan dunia, melainkan genesis dari pandangan dunia
tersebut. Genesisi itu didapatkan dari mengidentifikasi asal kelompok sosial
pengarang dan posisi kelompok sosial tersebut dalam tatanan kelas masyarakat.
Hal tersebut tidak dilakukan oleh
Watson. Yang ia kaji hanyalah perubahan system nilai dalam masyarakat.
Watson hanya mengkaji system nilai
itu pada masyarakat Minangkabau karena kebanyakan buku balai pustaka dikarang
oleh pengarang asal Minangkabau. Watson
berpendapat bahwa transisi bentuk sastra tradisional ke modern merupakan salah
satu akibat dari perubahan system sosial pasca perang Padri hingga tahun 1920-an.
Meskipun perang padre diakhiri oleh menangnya kaum adat, akan tetapi karena
kaum penghulu semakin terikat dengan Belanda, penghormatan terhadap otoritas
tradisional menjadi lenyap, digantikan oleh orientasi nilai yang bersifat
status pencapaian. Makin lama. Kekuatan otoritas tradisional di minangkabau
makin kikis. Hingga sesudah abad 19, keaslian pandangan yang berpusat pada
komunitas itu tak dapat dipertahankan lagi. Perkembangan berikutnya adalah
mengkonsolidasi pandangan baru dan membentuk etika dan norma-norma baru. Meurut
Watson novel balai pustaka cenderung berplot romantik.
Sekitar tahun 1933, ketika munculnya
pujangga baru, novel Minangkabau tak lagi bercerita tentang masyarakatnya saja,
melainkan juga masyarakat daerah lain misalnya Sunda.
Masyarakat kota telah berkembang
menjadi masyarakat yang pluralis. Watson
membedakan elit Indonesia menjadi dua macam. Yaitu kelompok yang menyukai
asosiasi dan kelompok yang cenderung radikal. Konteks tersebutlah yang
menjadi penting dan menentukan bagi perkembangan pujangga baru. Menurut Watson,
pembacaan terhadap novel-novel pujangga baru telah berbeda, karena yang
ditawarkan adalah menerima norma-norma dan nilai-nilai dunia modern. Ini
disebabkan oleh pembacaan kesusastraan barat. Sebagai contoh novel layar
terkembang, lingkungannya adalah kota dan tokohnya adalah bangsawan sunda. Gaya
hidupnya cenderung seperti orang eropa. Tokohnya berorientasi nasionalis.Selain itu Watson menilai belenggu lebih maju
daripada layar terkembang. Belenggu lebih menyoroti kelas menengah lingkungan
perkotaan. Selain itu, belenggu tak bersifat tendensius.
Berbeda dengan Goldmann, Watson
menggunakan konvensi sastra yang digunakan masayarakat sastra Indonesia. Karya
sastra Indonesia tidak sepenuhnya modern, akan tetapi masih terikat pada
konteks sastra tradisional. Itulah sebabnya sesuai dengan kebijaksanaan Bbalai
Pustaka yang lebih menganggap bahwa masyarakat indonesia itu adalah anak-anak.
Pada dasarnya karya yang diterjemahkan dari eropa itu adalah bacaan anak-anak.
Kebijakkan serupa itu menurut Watson sesuai dengan kebijaksanaan politik
pemerintah secara general. Sebagai mana telah dikemukakan, balai pustaka
didirikan untuk menyaingin penerbit-penerbit swasta yang banyak menerbitkan
karya sensasional dan politis. Itulah sebabnya buku terbitan balai pustaka
meruapakan bacaan yang menghibur dan “aman”.
Ariel
melakukan studi mengenai kesusastraan Indonesia mutakhir atas dasar teori
hegemoni gramscian terutama dengan model yang digunakan oleh Williams. Dalam studi ini, sastra dianggap
sebagai praktek atau aktifitas politik. Sesuai dengan konsep teori hegemoni
yaitu meliputi dua level yaitu politik kesusastraan itu sendiri dan level
politik general yang meliputi struktur sosial pada tingkat makro. Ariel membagi kajiannya menjadi tiga yaitu
hegemoni dalam sastra Indonesia mutakhir, politik bersastra dan sastra yang
berpolitik.
Sastra Indonesia menurut Ariel
dihegemoni oleh bentuk kesusastraan tertentu. Bentuk itu dapat dilihat dari
dominasinya dalam berbagai sector kehidupan yang bersangkutan Sebagai missal
keberadaan kanon sastra yang berkembang dengan definisi konseptual, studi, dan
penulisan sejarahnya. Bentuk kesusastraan yang hegemonic tersebut disebut ariel
sebagai kesusastraan yang “diresmikan atau diabsahkan”. Selain itu terdapat
beberapa bentuk kesastraan yang
subordinat yang dibagi tiga oleh ariel yaitu kesusastraan yang terlarang, yang
diremehkan, dan dipisahkan. Sastra
yang terlarang sebagai
contoh adalah karya Pramoedya Ananta Toer, yang diremehkan adalah
novel remaja, dan yang dipisahkan yaitu non-sastra Indonesia
dan non-sastra, sebagai contoh yang non-sastra Indonesia adalah sastra
daerah dan yang kedua adalah sejumlah karya jurnalistik, essai, dll.
Menurut Ariel, secara struktural
politik kesusastraan Indonesia mengidap pertentangan, dalam kenyataannya
variasi ideologis dan pertentangan politis antar individu atau kelompok individu
atau kelompok individu dalam setiap ragam kesusastraan yaitu sastra yang
terlarang, diremehkan, non-sastra Indonesia dan non-sastra.
Dalam tulisannya ini, aril tidak
sepenuhnya setia dengan teori hegemoni Gramsci dan Raymond Williams. Ariel lupa akan prinsip hegemoni dan
suborninat Gramsci dan kategori-kategori budaya residual, bangkit, dominan dari
Williams. Ariel terlalu mendasarkan kategorisasinya pada biografi
pengarangnya, pada estetikanya, dan kadang-kadang pada sisi ideologisnya sesuai
informasi empiric yang berhasil dilihatnya dipermukaan. Akhirnya Ariel
mendapti kesulitan ketika memberi tafsiran ideologis yang general terhadap
formasi kehidupan politik kesusastraan yang dibangunnya dengan formasi
ideologis yang general. Akan tetapi secara teoretik, ariel tetap ditutntut
untuk melakukan tafsiran tersebut. Ia malah kemudian melenyapkan kategori
politik kesusastraan yang telah dibangunnya sebelumnya. Ia menggantinya dengan
konsep ideologi bersastra yang menurutnya bisa dibangun oleh sastra yang
politis dan apolitis atau bahkan dapat memilih salah satunya saja. Menurut Ariel, sastra Indonesia dibangun dari
ideology apolitis yang sesungguhnya bagaimanapun tetap merupakan politik
juga. Kesusastraan apolitis itu
berkaitan dengan factor sosial politis yang general, yaitu depolitisasi Negara,
kuantitas sejarah belum lama terjadi, hegemonisasi estetika sebagai acuan,
sejarah resmi kesusastraan itu sendiri, dan perkembangan teknologi dan
komunikasi massa mutakhir.
Depolitisasi Negara adalah merupakan
kebijakan tak terelakan dengan ideology politis yang dipilih. Depolitisasi
dapat dianggap sebagai usaha meredam yang dilakukan pemerintah sebagai tindakan
praktis penghindar konflik. Kuantitas pemahaman sejarah yang dimaksud adalah
pengalamn sejarah masyarakat hamya luas ketika awal orde baru saja dan itu
sangat mendukung proses depolitisasi. Pemerintah melakukan berbagai pembantaian
terhadap pelaku aktifitas politik terlarang sebelumnya, sehingga tercipta
trauma yang malah membuat masyarakat lebih memilih untuk bersikap apolitis.
Akibat dari hal diatas adalah terciptanya lingkungan sosial yang tak mendukung
pertumbuhan aspirasi masyarakat dan persaingan mereka dalam ajang demokrasi
yang terbuka. Akan tetapi semua itupun belum menjelaskan bertahan dan berlanjutnya
gairah besar untuk bersastra yang apolitis itu. Akhirnya salah satu kelompok
yaitu manifestasi kebudayaan secara tegas menolak lekra dan mereka tetap pada
anggapannya bahwa bersastra itu meski sebaik-baiknya, bukan berpolitik.
Hegemoni
estetika menjadi acuan ketika manifest kebudayaan menggunakan konsep ini
sehingga menimbulkan kemungkinan politik apolitis itu tersusup. Yang menjadi patokan resmi adalah
nilai-nilai dan konsep estetika. Akan tetapi konsep ini mendapat banyak kritik
pedas karena keasyikannya bereksperimen dengan estetika yang agak seragam dan
bersifat non-realis dan anti sejarah.
Menurut
ariel, kekuatan sosial lain yang ikut memperlemah daya politis adalah teknologi
komunikasi masa yang telah merombak kedudukan dan kekuatan sastra sebagai salah
satu medium bermasyarakat.
Sejak terpacunya pencanggihan teknologi, dalam masa orde baru, para penguasa
secara sadar betul telah menyingkirkan sastra sebagai medium bermasyarakat yang
efektif. Lahan ini—media massa—dianggap sebagai media yang paling berpengaruh
dan disebut sebagai yang paling politis dan banyak menjadi sponsor dan sensor
politik .
Sosiologi
Sastra Sebagai Pendekatan dalam Menganalisis Karya Sastra
Sosiologi
sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun
bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra,
karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu
mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas,
yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya
sastra.
Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter
sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau
potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat
konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan
didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana
baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi,
imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Sastra
menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri
dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar
masyarakat dengan orang-orang, antar manusia, antar peristiwa yang terjadi
dalam batin seseorang. Maka,
memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia,
kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran”
penggambaran, atau yang hendak digambarkan. Namun Wellek dan Warren
mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi
keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan
fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang
tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu
sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara
tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu
Pengarang merupakan anggota yang
hidup dan berhubungan dengan orang- orang yang berada disekitarnya, maka dalam
proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh
lingkungannya. Oleh karena itu, karya
sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa
pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah
dihayatinya.
Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari
kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial
masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang
melatarbelakanginya.
Berangkat dari uraian tersebut,
dalam tulisan ini akan diuraian pengertian Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan
dalam Menganalisis Karya Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata
sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal
dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi
(logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas
(Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat,
sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu
manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra
sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral. Sosiologi
adalah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini
(das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya
sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif.
Menurut Ratna (2003:2) ada sejumlah definisi
mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan
objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain.
1.
Pemahaman terhadap karya sastra
dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya.
2. Pemahaman
terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang
terkandung di dalamnya.
3. Pemahaman
terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang
melatarbelakangi.
4. Sosiologi
sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat,
dan
5. Sosiologi
sastra berusaha menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan
masyarakat.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat
yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan. Klasifikasi
Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1989:3-4) yang meliputi hal-hal berikut.
1. Konteks sosial pengarang, dalam hal
ini ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan
kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang
dapat mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan
dengan : (a) bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia
mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang
lainnya, (b) profesionalisme dalam kepengaragannya, dan (c) masyarakat apa yang
dituju oleh pengarang.
2. Sastra sebagai cermin masyarakat,
maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap carmin keadaan masyarakat.
Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak
disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi
sastra sebagai cermin masyarakat adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan
mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat
ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis, (b)
sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan
penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (c) genre sastra sering merupakan
sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat,
(d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat
secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin
masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk
menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk
mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan
sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin
masyarakat.
3. Fungsi sosial sastra, maksudnya
seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan
ini ada tiga hal yang harus diperhatikan (1) sudut pandang ekstrim kaum Romantik
yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena
itu, sastra harus berfungsi sebagai pengbaharu dan perombak, (2) sastra sebagai
penghibur saja, dan (3) sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Dalam
bukunya A Glossary of Literarye Terms. Abrams menulis
bahwa dari sosiologi sastra ada tiga
perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti yaitu:
1. Penulis dengan lingkungan budaya
tempat ia tinggal.
2. Karya, dengan kondisi sosial yang
direfleksikan di dalamnya.
3. Audien atau pembaca (1981:178).
Lanjut Damono (1989:14) mengemukakan
bahwa segala yang ada di dunia ini sebenarnya merupakan tiruan dari kenyataan
tertinggi yang berada di dunia gagasan. Seniman hanyalah meniru apa yang
ada dalam kenyataan dan hasilnya bukan suatu kenyataan. Pandangan senada
dikemukakan oleh Teeuw (1984-220) mengatakan bahwa dunia empirek tak mewakili
dunia sesungguhnya, hanya dapat mendekatinya lewat mimesis, penelaahan, dan
pembayangan ataupun peniruan. Lewat mimesis, penelaahan kenyataan mengungkapkan
makna, hakikat kenyataan itu. Oleh karena itu, seni yang baik harus truthful
berani dan seniman harus bersifat modest, rendah hati. Seniman harus menyadari
bahwa lewat seni dia hanya dapat mendekati yang ideal.
Perkembangan
sosiolgi sastra modern tidak terlepas dari Hippolyte Taine, seorang ahli
sosiologi sastra modern yang pertama membicarakan latar belakang timbulnya
karya sastra besar, menurutnya ada tiga faktor yang mempengaruhi, yaitu ras,
saat, dan lingkungan (Abrams,
1981:178). Hubungan timbal-balik antara ras, saat, dan lingkungan inilah yang
menghasilkan struktur mental pengarang yang selanjutnya diwujudkan dalam karya
sastra. Taine, menuruskan bahwa sosiologi sastra ilmiah apabila menggunakan
prinsip-prinsip penelitian seperti ilmu pasti, hukum. Karya sastra adalah fakta
yang multi-interpretable tentu kadar “kepastian” tidak sebanding dengan ilmu
pasti. Yang penting peneliti sosiologi karya sastra hendaknya mampu
mengungkapkan hal ras, saat, dan lingkungan
Dalam hubungan ini Teeuw (1984:18-26) mengemukakan ada empat
cara yang mungkin dilalui, yaitu (a) afirmasi ( merupakan norma yang sudah ada,
(b) restorasi ( sebagai ungkapan kerinduan pada norma yang sudah usang), (c)
negasi (dengan mengadakan pemberontakan terhadap norma yang sedang beralaku,
(d) inovasi (dengan mengadakan pembaharuan terhadap norma yang ada).
C.
Penutup
Perkembangan sosiologi sastra
merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik yang memahami karya sastra dalam
hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Sebagai salah satu pendekatan dalam kritik sastra, sosiologi
sastra dapat mengacu pada cara memahami dan menilai sastra yang memprtimbangkan
segi-segi kemasyarakatan (sosial).
Pengkajian sastra dapat memahami
dan menelaah karya sastra dari sosiologi pengarang, sosiologi karya, dan
sosiologi pembaca. Melalui sosiologi pengarang misalnya
akan dikaji novel Pramoedya Ananta Toer Bumi Manusia dengan hubungan dengan
latar sosial pengarang yang berasal dari Blora sebuah kota di perbatasan Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Ia anak sulung dari sembilan bersaudara. Ayahnya adalah
nasionalis tulen yang sebelum perang ikut dalam berbagai kegiatan, tetapi
secara politik tidak tergolong sayap kiri. Gelar bangsawan “Mas” ia coret dari
namanya, hingga Pram kecil bertahun-tahun kemudian masih melihat coretan di
awal papan nama di rumah orang tuanya.
Contoh penerapan sosiologi karya sastra dalam hubungannya
dengan masalah sosial adalah pengkajian novel Bumi Manusia dengan mengaitkannya
dengan realitas kehidupan yang terjadi dalam masyarakat. Novel tersebut
dipahami dalam hubungannya dengan masalah latar cerita hukum Belanda dan
hubungan antara pribumi dan orang Belanda yang memiliki hubungan bersekat
antara tuan kelas atas dan kaum rendahan. Sejarah mencatat kaum pribumi berada
pada bawah. bahkan dibawah Cina secara hubungan hirarki dalam sejarah kekuasaan
Belanda. Novel ini membuat pembaca mengerti hubungan Nyai yang bukanlah seorang
Meufrow atau nyonya. Hukum belanda yang tak berpihak kaum pribumi. Sampai
posisi kaum terdidik yang tetap tak sama dengan kamu terdidik dari keturunan
Belanda. Cerita ini menggambarkan keadaan struktur sosial, ekonomi dan budaya
pada jamannya. setiap manusia menempati posisinnya masing-masing. Sebagai bukti
struktur sosial berlaku sampai sekarang.
Selanjutnya, penerapan sosiologi pembaca Bumi Manusia
sebagai karya sastra yang tergolong banyak dibaca dan ditanggapi masyarakat.
Walaupun motivasi para pembaca dalam membaca novel tersebut mungkin
bermacam-macam, misalnya ada yang menganggapnya sebagai huburan belaka. Ada
yang tertarik karena ceritanya tentang kehidupan seorang nyai yang kuat,
prinsif, dan objektif. Hal ini juga didukung oleh fakta bahwa Buku ini ditulis
Pramoedya Ananta Toer ketika masih mendekam di Pulau Buru. Sebelum ditulis pada
tahun 1975, sejak tahun 1973 terlebih dahulu telah diceritakan ulang kepada
teman-temannya.Setelah diterbitkan, Bumi Manusia kemudian dilarang beredar
setahun kemudian atas perintah Jaksa Agung. Sebelum dilarang, buku ini sukses
dengan 10 kali cetak ulang dalam setahun pada 1980-1981. Sampai tahun 2005,
buku ini telah diterbitkan dalam 33 bahasa. Pada September 2005, buku ini
diterbitkan kembali di Indonesia oleh Lentera Dipantara.
Buku ini melingkupi masa kejadian antara tahun 1898 hingga
tahun 1918, masa ini adalah masa munculnya pemikiran politik etis dan masa awal
periode Kebangkitan Nasional. Masa ini juga menjadi awal masuknya pemikiran
rasional ke Hindia Belanda, masa awal pertumbuhan organisasi-organisasi modern
yang juga merupakan awal kelahiran demokrasi pola Revolusi Perancis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar