Ini tentang pesta demokrasi bernama
pemilihan umum
Yang akan menorehkan luka lagi dari berbagai
sendi kebangsaan
Rakyat kecil kecewa pada mereka yang
dianggap mampu mengemban aspirasi
Janji sekian puluh kali
berlipat-lipat dalam ingatan setiap orang
Lalu menghilang saja seperti lukisan
di atas air hanyut di bawa arus
Bergaung gema tanya, “Masihkah kita
rakyat Indonesia?” yang entah siapa yang akan menjawab
Padahal segolongan kaum intelek dan
terpelajar ikut ambil bagian di dalamnya
Tapi ilmu saja ternyata tak cukup
untuk jaminan bangsa yang sejahtera, damai, adil dan makmur
Slogan-slogan hanya retorika yang
menjadi sajak dan pada waktunya menggelapar kekurangan nyawa
Ini tentang pesta demokrasi bernama
pemilihan umum
Yang menghadirkan actor-aktor
kawakan dunia perpolitikan yang pada akhirnya sangat menjijikkan
Para sineas-sineas handal promotor
pergerakan roda yang pincang ke sebelah nafsu
Dan kesejahteraan terperkosa tanpa
peduli akan melahirkan bayi bernama politik jadah dan najis
Lalu bergaung pula tanya yang sama,
“Masihkah kita rakyat Indonesia?”, yang kita tau tak akan pernah terjawab
Padahal alim ulama dan cendekiawan
dari segala agama ikut maju membaurkan diri di dalamnya
Tapi keimanan rupanya telah melemah
karena nafsu pada berhala bernama rupiah menutup pori-pori keikhlasan
Slogan haram dan dosa hanya terletak
pada peta dua daging yang merah merekah lembut menawan
Ini tentang pesta demokrasi bernama
pemilihan umum
Banyak yang mengaung tanpa
memperdulikan makna mana yang di cari
Banyak yang terumus tapi semua malah
terjerumus
Janji jadi teka-teki paling rumit
dalam sejarah peradaban manusia
Manusia jadi srigala yang saling
memangsa dan di mangsa
Tersesat pada peta buta dan mati
berjudul kesejahteraan, damai, adil, dan makmur
Padamu negeri jiwa raga kami atau
jadi pandu ibu pertiwi
Tapi kerakyatan, kebangsaan, dan
nasionalisme itu hanya semata untuk rakyat
Tanya, “Masihkah kita rakyat
Indonesia?”, tak perlu dijawab dan biarkan mengaung
Seperti bendera merah putih yang
tetap berkibar ketika angin berhembus tak perduli terlihat sumbang
Kaum intelek dan terpelajar jadi
dungu dan papa di peta politik
Kaum alim ulama dan cendekiawan jadi
summum bu’mun umyun fahum la yarji’un
Slogan haram dan dosa di jawab
enteng, “Nantikan masih bisa bertobat!”
Andam Dewi
Senin, 19 Agustus 2013
Pukul 10.55 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar