BALAI PUSTAKA SEBAGAI BADAN PENERBIT
Angkatan Balai Pustaka lazim disebut juga Angkatan 20 atau
Angkatan Sitti Nurbaya. Menyamakan Angkatan Balai Pustaka dengan Angkatan 20
sebenarnya tidak dapat karena kegiatan sastra Indonesia sekitar tahun 1920
tidak semata-mata terbatas kepada kegiatan Balai Pustaka. Penamaan Angkatan
Sitti Nurbaya pun kami rasa tidak tepat sebab penamaan itu hanya berdasarkan
nama novel yang paling populer pada masa itu dalam arti paling banyak dibaca
orang, bukan berdasarkan nilai sastra novel itu. Dalam hal nilai, orang
memandang “Salah Asuhan” lebih tinggi daripada “Sitti Nurbaya”.
Nama Balai Pustaka menunjuk dua pengertian: (1) sebagai nama
badan penerbit dan (2) sebagai nama suatu angkatan dalam sastra Indonesia.
Kedua pengertian itu berhubungan erat. Balai Pustaka sebagai badan penerbit
hingga kini masih ada, meskipun status dan fungsinya berbeda sama sekali dengan
dahulu. Badan tersebut sekarang ada dalam lingkungan Depdiknas.
Balai Pustaka sebagai angkatan tidak terlepas dari riwayat
pendirian Balai Pustaka. Pada akhir abad ke-19 pemerintah Belanda banyak
membuka sekolah untuk bumiputera dengan maksud: (1) mendidik pegawai-pegawai
rendah yang dibutuhkan oleh masyarakat dan (2) agar politik pengajaran tetap
dikuasai oleh pemerintah. Akan tetapi, ternyata sekolah-sekolah tersebut makin
luas sehingga banyak bangsa kita yang pandai membaca dan menulis. Pemerintah
khawatir terhadap kegemaran membaca di kalangan rakyat. Untuk memenuhi hasrat
membaca itu dengan keputusan No. 12 tanggal 14 September 1908 oleh pemerintah
dibentuklah suatu komisi yang diberi nama Commissie voor de Inlandsche School
en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat di Sekolah-Sekolah Bumiputera) di
bawah pimpinan G.A.J. Hazeu. Komisi ini makin lama makin luas dan makin
bertambah kegiatannya; sehingga pada tahun 1917 diubah menjadi suatu badan
penerbit yang diberi nama Balai Pustaka. Pimpinan badan penerbit tersebut
berturut-turut yaitu D.A. Rinkes, G.W.J. Drewes, dan K.A.H. Hidding.
Adapun tujuan pemerintah Belanda mendirikan Balai Pustaka
itu antara lain sebagai berikut.
1.
Agar kehausan membaca di kalangan rakyat bisa dicukupi
dengan buku-buku yang diterbitkan sendiri sehingga tidak akan membahayakan
ketertiban dan keamanan negeri. Pemerintah khawatir apabila rakyat memperoleh
dan membaca buku-buku dari luar, hal itu pasti akan membahayakan kedudukannya.
Oleh karena itu, pemerintah membuat peraturan yang keras terhadap impor buku.
2.
Dengan menerbitkan sendiri buku-buku bacaan itu, pemerintah
bermaksud secara langsung memasukkan unsur-unsur penjajahan melalui bacaan. Hal
ini tampak pada banyaknya cerita kepahlawanan yang disaring ke dalam bahasa
Indonesia dan juga adanya karangan-karangan, yang baik cerita maupun gambarnya
dapat memberikan kesan buruk terhadap bangsa Indonesia, dan sebaliknya
memberikan kesan baik terhadap usaha-usaha pemerintah Belanda di Indonesia.
3.
Seakan-akan sebagai balas jasa atau sekedar untuk memberi
hati kepada rakyat dalam hubungannya dengan politik etis pemerintah pada masa
itu.
Secara
ringkas, usaha dan kegiatan Balai Pustaka itu ialah:
1.
Mengusahakan penerbitan naskah-naskah cerita rakyat dari
berbagai daerah di Indonesia, misalnya Dongeng Banyuwangi, Si Kelantan, dan
juga cerita-cerita wayang yang amat digemari oleh rakyat;
2.
Menerjemahkan dan menyadur cerita-cerita asing ke dalam
bahasa Indonesia, misalnya Abu Nawas, Si Bakhil, Sebatang Kara, Tom Sawyer, dan
sebagainya;
3.
Mengadakan penerbitan karangan-karangan asli yang ditulis
oleh bangsa Indonesia sendiri, dan yang sebagian besar berbentuk novel,
misalnya Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, dan sebagainya;
4.
Menerbitkan majalah dalam berbagai bahasa daerah di
Indonesia: Panji Pustaka (bahasa Melayu/Indonesia), Seri Pustaka (bahasa
Melayu/Indonesia), Kejawen (bahasa Jawa), dan Parahyangan (bahasa Sunda).
5.
Mengadakan penyebaran buku-buku secara luas sampai ke
pelosok-pelosok, membangun perpustakaan di sekolah-sekolah, dan mengadakan
penjualan buku-buku tersebut dengan harga murah.
PENGARUH BALAI PUSTAKA TERHADAP PERKEMBANGAN
SASTRA INDONESIA
Balai Pustaka didirikan oleh pemerintah Belanda sama sekali
tidak disertai maksud agar badan tersebut memberikan dorongan terhadap
perkembangan sastra Indonesia. Tujuan yang pokok adalah memberikan konsumsi
berupa bacaan kepada rakyat yang isinya cocok dengan politik pemerintah
kolonial. Akan tetapi, kita tahu bahwa badan penerbit merupakan suatu faktor
yang penting bagi perkembangan sastra, di samping faktor pengarang sebagai
pencipta dan masyarakat sebagai pembaca atau penikmat. Oleh karena itu,
didirikannya Balai Pustaka oleh Belanda dalam hal-hal tertentu memberikan
manfaat kepada rakyat dan juga kepada perkembangan sastra Indonesia.
A. Teeuw dalam bukunya Pokok
dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru menyinggung jauga masalah ini.
manfaat dan peranan Balai Pustaka itu misalnya:
1.
memberikan kesempatan yang luas kepada pengarang bangsa
Indonesia untuk menghasilkan karangan dan dengan sendirinya juga memberikan
kesempatan kepada rakyat untuk membaca karangan bangsa sendiri. Adanya tempat
untuk menerbitkan karangan-karangan inilah yang dipandang merupakan salah satu
dorongan bagi pertumbuhan sastra Indonesia.
2.
Secara tidak langsung Balai Pustaka memberikan kesempatan
juga kepada Indonesia untuk memperoleh pengetahuan dan kemajuan, terutama dalam
bidang karang mengarang. Kemajuan dapat diperoleh melalui membaca karangan
orang lain atau karena adanya kesempatan bekerja di lingkungan Balai Pustaka,
baik sebagai korektor, redaktur, maupun sebagai pimpinan redaktur.
3.
Penyebaran secara luas cerita-cerita rakyat, cerita-cerita
terjemahan atau saduran dari sastra asing banyak berpengaruh terhadap
pertumbuhan sastra suatu bangsa. Cerita tersebut dapat memperkaya pengalaman
jiwa dan merangsang tumbuhnya inspirasi dalam penciptaan, dan keduanya penting
bagi perkembangan sastra.
Akan
tetapi kita menyadari bahwa Balai Pustaka adalah badan penerbit resmi yang
diusahakan oleh pemerintah kolonial. Segala usaha dan kegiatan badan itu tidak
dapat dilepaskan dari kepentingan politik pemerintah penjajah. Oleh karena itu,
tidak setiap naskah karangan dapat diterima dan diterbitkan, walaupun dari segi
sastranya naskah itu bernilai. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi
oleh suatu naskah untuk dapat diterbitkan.
Persyaratan
itu tercantum dalam suatu “Nota over de Volkslectuur” yang dikeluarkan pada
tahun 1911 dan ditandatangani oleh D.A. Rinkes sebagai sekretaris Komisi untuk
Bacaan Rakyat dan Sekolah-Sekolah Bumiputera. Isi nota Rinkes tersebut antara
lain memuat syarat-sayarat penerbitan Balai Pustaka, yaitu:
1.
Karangan-karangan yang diterbitkan hendaklah yang dapat
menambah kecerdasan dan memberikan pendidikan budi pekerti;
2.
Isi karangan tidak mengganggu ketertiban umum dan keamanan
negeri, artinya tidak bertentangan dengan garis politik pemerintah;
3.
Harus netral agama
Tiga
persyaratan pokok itulah yang dijadikan dasar landasan politik penerbitan Balai
Pustaka, walaupun dalam pelaksanaannya tidak selalu dipegang teguh. Sebagai
contoh misalnya novel-novel karangan HAMKA, yang isinya jelas bernafaskan
Islam, diterbitkan juga kemudian oleh Balai Pustaka.
Ditinjau
dari kehidupan dan perkembangan sastra yang sewajarnya, adanya
persyaratan-persyaratan itu mempunyai akibat dan konsekuensi yang sering
dipandang orang sebagai unsur negatif atau kelemahan Balai Pustaka. Walaupun
sebenarnya hal itu dapat dimengerti sepenuhnya mengingat status badan tersebut
dan situasi pada masa itu. Adapun akibat-akibat tersebut misalnya:
1.
Novel Salah Asuhan karangan
Abdul Muis yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1928 sebenarnya tidak
seluruhnya sesuai dengan naskah asli. Novel tersebut mengalami perubahan dan
pembersihan, baik bahasa maupun isinya sesuai dengan kebijaksanaan pimpinan dan
ketentuan yang ada.
2.
Novel Belenggu
karangan Armijn Pane pernah ditolak oleh Balai Pustaka karena isinya tidak
bersifat membangun dan tidak membentuk budi pekerti sesuai dengan persyaratan
Nota Rinkes. Kemudian novel tersebut di muat oleh Pujangga Baru dalam
lustrumnya yang pertama tahun 1938, dan baru pada cetak ulang berikutnya
diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Di
samping itu, ada keluhan para pengarang, termasuk Sanusi Pane yang merasakan
bahwa persyaratan yang dikehendaki Balai Pustaka merupakan hambatan bagi
kemurnian ilham dan penciptaan sewajarnya.
Walaupun
demikian, akhirnya haruslah kita akui bahwa hal-hal tersebut tidak seberapa
artinya jika dibandingkan dengan usaha dan hasil-hasil yang telah dicapai bagi
perkembangan sastra Indonesia.
KARAKTERISASI SASTRA BALAI PUSTAKA
Perkembangan sastra tidak terlepas dari perkembangan
masyarakat. Segala sesuatu yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagian
besar tercermin dalam hasil-hasil sastra zamannya. Sastra Balai Pustaka tumbuh
dan berkembang sekitar tahun 20-an. Sikap hidup dan cita-cita masyarakat, adat
istiadat dan tumbuhnya pergolakan tentang pandangan hidup menjadi pokok-pokok
persoalan penciptaan sastra pada masa itu. Karakterisasi sastra suatu priode
pada umumnya dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu:
1.
Situasi dan kondisi masyarakat;
2.
Cita-cita dan sikap hidup para pengarang;
3.
Sikap dan persyaratan yang ditentukan oleh penguasa atau
pemerintah.
Berdasarkan
uraian di atas, karekterisasi atau sifat-sifat khas sastra Balai Pustaka dapat
dituturkan secara rinci sebagai berikut di bawah ini.
1.
Sebagian besar sastra Balai Pustaka mengambil tema pokok
masalah kawin paksa. Masyarakat beranggapan – terutama kaum tua – bahwa
perkawinan adalah urusan orang tua. Pihak orang tua mempunyai kekuasaan mutlak
dalam menentukan jodoh terhadap anaknya, dan hal ini dipandang sebagai adat
yang takkan lapuk oelh hujan. Adapun motif kawin paksa itu bermacam-macam:
a.
Karena pandangan adat bahwa perkawinan cross cousin (antara saudara sepupu) sebagai perkawinan yang ideal.
Kecenderungan ini misalnya terdapat pada novel Salah Asuhan.
b.
Karena masalah harta kekayaan, mislanya sebagai penebus
hutang (Sitti Nurbaya) atau untuk
mendapatkan menantu yang kaya (Azab dan
Sengsara).
c.
Karena masalah kedudukan dan keturunan. Banyak orang tua
yang mencita-citakan anak gadisnya agar memperoleh jodoh keturunan bangsawan
atau keturunan sayid; sebab keduanya dipandang memiliki kedudukan terhormat
dalam masyarakat (Si Cebol Rindukan
Rembulan).
2.
Latar belakang sosial sastra Balai Pustaka pada umumnya
pertentangan paham antara kaum tua dengan kaum muda. Kaum tua yang hendak
mempertahankan adat versus kaum muda yang hendak menyesuaikan adat dengan
kemajuan zaman. Pertentangan itu bukan hanya
dalam hal memilih jodoh, melainkan juga dalam masalah perkawinan pada
umumnya, masalah pendidikan, dan lain-lain. Sikap penulis dalam hal ini bermacam-macam:
a.
Ada kecenderungan simpati kepada yang lama. Yang baru tidak
semuanya baik (Salah Asuhan, Si Cebol
Rindukan Rembulan).
b.
Ada kecenderungan simpati kepada yang baru. Kaum muda
memperoleh kemenangan (Pertemuan Jodoh,
Asmara Jaya, Darah Muda).
c.
Besikap tengah (Sitti
Nurbaya).
3.
Unsur nasionalitas pada sastra Balai Pustaka belum jelas
benar, meskipun tidak berarti bahwa unsur itu tidak ada sama sekali. Hal ini
sudah ditegaskan pada bagian sebelumnya mengingat kedudukan Balai Pustaka
sebagai badan penerbit resmi pemerintah. Pelaku-pelaku novel Balai Pustaka
umumnya masih mencerminkan kehidupan tokoh yang berasal dari daerah-daerah.
4.
Peristiwa-peristiwa yang diceritakan sesuai dengan realitas
kehidupan dalam masyarakat, tidak lagi berhubungan dengan kehidupan raja-raja,
dewa, atau kejadian yang tidak masuk akal seperti halnya dengan cerita-cerita
lama. Karena ceritanya sebagian besar berhubungan dengan lapisan masyarakat
kaum tengahan maka sastra Balai Pustaka sering disebut juga sebagai Sastra
Borjuis.
5.
Analisis psikologi pelaku-pelakunya belum dilukiskan secara
mendalam. Yang mengarah pada usaha ini adalah novel Katak Hendak Menjadi Lembu karang Nur Sutan Iskandar.
6.
Sastra Balai Pustaka merupakan sastra bertendens dan
bersifat didaktis. Hal ini sudah sewajarnya karena persyaratan yang sudah ditentukan
oleh pimpinan Balai Pustaka. Ada bertendens yang bersifat politis, antara lain
berusaha menanamkan jiwa pegawai yang taat dan patuh kepada pemerintah,
misalnya secara tersirat tampak pada novel Sitti
Nurbaya, dan ada pula tendens didaktis, yaitu usaha membentuk budi pekerti
pada pembacanya. Tendens didaktis ini menonjol sekali pada hasil sastra Balai
Pustaka sehingga ditinjau secara literer menimbulkan kelemahan-kelemahan karya
sastra itu, misalnya:
a.
Pengarang sering keluar dari jalan cerita untuk memberikan
nasihat kepada pembaca;
b.
Jalan cerita sering menjadi tidak wajar dan tidak logis,
misalnya seorang yang sudah menghadapi sakratul maut masih sanggup
berwasiat dengan lancar dan panjang
lebar;
c.
Watak para pelaku pada umumnya hanya terbagi menjadi dua,
yaitu hitam putih atau baik buruk, tanpa mengenal variasi.
d.
Lukisan kehidupan pelaku sering kurang wajar sebagai tokoh
yang berpribadi, hanya sekedar mengabdi pada tendens yang sudah di tentukan.
7.
Bahasa sastra Balai Pustaka adalah bahasa Indonesia pada
masa permulaan perkembangan yang pada masa itu disebut bahasa Melayu Umum.
Karena anggota, pimpinan dan para pengarang sebagian besar berasal dari
Sumatera Barat maka pengaruh pada bahasa sastra Balai Pustaka terutama dari
bahasa Minangkabau. Dari bahasa-bahasa daerah lain dan juga dari bahasa asing
belum terasa sekali pengaruhnya.
8.
Genre (jenis) sastra hasil Balai Pustaka terutama berbentuk
novel, sedangkan puisinya masih berupa pantun dan syair. Hal ini disebabkan
novel mungkin dipandang bentuk yang paling tepat untuk menjalin unsur-unsur
didaktis.
TIGA PENGARANG BALAI PUSTAKA YANG
PENTING
Tiga pengarang Balai Pustaka yang penting ialah Nur Sutan
Iskandar, Abdul Muis, dan Marah Rusli. Nur Sutan Iskandar penting karena ia
mempunyai pengaruh yang besar terhadap hampir sebagian besar hasil sastra Balai
Pustaka. Ia mula-mula sebagai korektor, kemudian sebagai redaktur dan akhirnya
sebagai kepala redaktur badan tersebut. Abdul Muis penting karena novelnya Salah Asuhan dipandang sebagai yang
paling menonjol nilai sastranya, baik dari segi bahasa maupun dari segi
pengolahan ceritanya. Marah Rusli penting juga kedudukannya pada masa itu
karena novelnya Sitti Nurbaya merupakan
hasil sastra yang paling banyak dibaca orang. Novel Salah Asuhan dan Sitti
Nurbaya sering disebut orang sabagai puncak-puncak sastra Balai Pustaka.
Berikut ini disebutkan beberapa hal secara ringkas tentang
pengarang-pengarang tersebut:
1.
Nur Sutan Iskandar
Pengarang ini memiliki keistimewaan dibanding dengan yang
lain.
a.
Ia seorang pengarang Balai Pustaka yang paling produktif.
Jumlah karangannya mencapai sekitar 50 buah
b.
Karangan yang dihasilkan beraneka ragam:
1)
Berbentuk novel sejarah, novel psikologi, novel adat, dan
lain-lain.
2)
Ada karangan asli, saduran, dan terjemahan.
3)
Ada yang berisi pengetahuan umum, cerita anak-anak, riwayat
hidup, dan catatan harian.
c.
Seorang pengarang yang tetap menghasilkan pada hampir setiap
tahap dalam perkembangan sastra.
d.
Seorang pengarang yang berhasil mencapai kemajuan terutama
dari kemampuannya belajar sendiri.
Karena
banyaknya karangan yang telah dihasilkan maka di bawah ini akan disebutkan
sebahagian saja, diantaranya yaitu: Karangan Asli: Salah Pilih (dikarang dengan nama samaran Nursinah tahun 1928); Karena Mentua (1932); Hulu Balang Raja (novel sejarang yang
oleh Teeuw dipandang yang terbaik); Katak
Hendak Jadi Lembu; Neraka Dunia (1937); Cinta
Tanah Air (novel yang terbit pada zaman Jepang tahun 1944); Mutiara (1946); Cobaan (1947); Cinta dan
Kewajiban (dikarang bersama dengan L. Wairata).
Karangan
Terjemahan: Anjing Setan (A. Canon
Doyle); Gudang Intan Nabi Sulaiman
(Rider Haggard); Kasih Beramuk dalam Hati
(Beatrice Harradan); Tiga Panglima Perang
(Alexander Dumas); Graaf de Monte Cristo
(Alexander Dumas); Iman dan Pengasihan
(H. Sienkiewicx); Sepanjang Garis
Kehidupan (R. Casimir).
Karanagan
Saduran: Pengajaran di Sweden (Jan
Ligthart); Pengalaman Masa Kecil (Jan
Ligthart); Si Bakhil (Moliere Lavare);
Abunawas; Janger Bali; Korban Karena Percintaan; Apa Dayaku karena Aku Perempuan; Dewi Rimba. Catatan Harian: Ujian Masa (21-7-1947 s/d 1-4-1948)
Novel Katak Hendak Menjadi Lembu merupakan
novel Nur Sutan Iskandar yang berhasil. Dalam novel itu dilukiskan betapa
perangai seorang pegawai berpangkat kecil berbuat hendak menyamai kehidupan orang
yang berpenghasilan banyak. Suria seorang menteri kabupaten pangkat di bawah
camat, hidupnya bermegah-megah seperti kehidupan priyayi yang besar gajinya.
Akhirnya, semuanya menjadi korban dan hidup dalam penderitaan. Dialog dalam
novel tersebut terasa hidup, dan tampaknya kekuatan bahasa Nur Sutan
Iskandar terletak pada penggunaan dialog
darripada gaya penuturan.
Di
dalam karangan-karangannya pengaruh bahasa Minangkabau lebih terasa
dibandingkan dengan karangan Marah Rusli adalah Abdul Muis, walaupun dalam
karangan-karangannya kemudian pengaruh juga berasal dari bahasa Jawa, dialek
Jakarta, dan lain-lain. Hal-hal ini tampak, misalnya pada novel Cobaan, yang dipandang oleh Teeuw
sebagai novel yang tdak berhasil, mirip-mirip novel picisan.
Dua
novel sejarah Nur Sutan Iskandar ialah Hulu
Balang Raja dan Mutiara. Hulu Balang
Raja mengisahkan hubungan antara Minangkabau dengan Belanda pada Abad
ke-17, sedangkan Mutiara mengisahkan
perang gerilya bangsa Aceh melawan Belanda tahun 1903. Hulu Balang Raja sebagai novel sejarah Nur Sutan Iskandar yang
paling berhasil, walaupun cara penceritaannya kurang menarik, terlebih pada
bagian-bagian permulaan. Di dalam melukiskan sesuatu amat teliti sampai pada
soal-soal yang kecil.
2.
Abdoel Moeis
Abdul Muis dikenal karena novel Salah Asuhan yang terbit tahun 1928. Dalam novel itu dilukiskan
bahwa perkawinan campuran antarbangsa lebih banyak membawa kesulitan daripada
kebahagiaan. Hanafi, anak Minangkabau yang sejak kecil mendapat pendidikan dan
hidup dalam pergaulan Belanda rela mengorbankan
bangsa dan “payung”-nya demi cintanya kepada Corrie de Bussee, seorang
gadis keturunan Eropa. Ayah Corrie orang Prancis, sedangkan ibunya orang Melayu
dan sudah lama meninggal. Pada mulanya Corrie menolak cinta Hanafi sebab
teringat akan nasihat ayahnya, bahwa kawin campuran itu (Timur dan Barat) akan
memburukkan kehidupan rumah tangga. Sesudah ayahnya meninggal, akhirnya dengan
melalui berbagai kesulitan dilangsungkan juga perkawinan antara keduanya dengan
dihadiri oleh dua orang saksi saja. Dua tahun mereka hidup berumah tangga yang
tersisih dari lingkungan masyarakat dan keluarga ke dua belah pihak. Karena
tidak ada keselarasan kehidupan rumah tangga mereka, akhirnya perpisahan tidak
dapat lagi dielakkan.
Salah
Asuhan merupakan novel yang sangat menarik sekali, dalam beberapa
hal lebih menarik daripada Sitti Nurbaya.
Bahasanya lancar dan pengaruh bahasa Minang tidak mengganggu jalan cerita.
Masalah kawin paksa tidak jadi tema pokok cerita, terasa sekedar sebagai latar
belakang cerita belaka. Hidup kejiwaan dalam pelaku-pelakunya dilukiskan secara
teliti. Oleh karena itu, Salah Asuhan ada
yang menyebutnya sebagai novel psikologis. Memang ada juga peristiwa-peristiwa
dalam cerita itu yang terasa dibuat-buat, tidak wajar, seperti peristiwa Hanafi
digigit anjing gila, peristiwa pertemuan Corrie dengan Hanafi di Betawi
(Jakarta) pada saat sepedanya tertumbuk sepeda orang lain, dan sebagainya.
Novel Abdul Muis yang kedua adalah Pertemuan Jodoh (1933). Dibandingkan dengan novelnya yang pertama, Pertemuan Jodoh kurang berhasil. Hal
yang menarik dalam novel ini ialah dipergunakannya bahasa dialek dalam dialog
pelaku-pelakunya. Plot ceritanya mengambil pola cerita Panji: dua muda mudi
(Suparta dan Ratna) berkenalan --- berkasih-kasihan --- timbul kesulitan dan
rintangan-rintangan --- akhirnya bertemu kembali --- happy ending. Dalam novel tersebut terasa adanya kritik terhadap
unsur-unsur feodalisme yang menghambat kemajuan.
Karangan Abdul Muis yang lain berupa novel sejarah, yaitu Surapati (1950) dan Robert Anak Surapati (1953). Karangan terjemahannya ialah Sebatang Kara (Hector Mallot) dan Tom Sawyer (Mark Twain).
Memang Abdul Muis sebagai penulis tidak banyak menghasilkan
karangan. Akan tetapi, dengan novelnya Salah
Asuhan ia termasuk pengarang Balai Pustaka yang penting. Di samping seorang
pengarang, Abdul Muis bergerak juga di lapangan politik dan jurnalistik. Oleh
pemerintah ia ditetapkan sebagai seorang pejuang Perintis Kemerdekaan.
3.
Marah Roesli
Marah Rusli lahir di Padang tahun 1889 dan meninggal pada 17
Januari 1968. Ia seorang keturunan bangsawan kota Padang. Ia sekolah di
kedokteran hewan di Bogor dan kemudian kawin dengan seorang gadis Sunda tanpa
persetujuan keluarganya. Karena perkawinannya itu, ia tersisih dari ikatan
keluarga di kampungnya.
Hasil karangannya: Sitti
Nurbaya, terbit tahun 1922 dengan subjudul Kasih Tak Sampai. Anak dan Kemenakan (1956). Memang Jodoh, yaitu sebuah novel yang bersifat autobiografis yang
khusus dihadiahkan kepada ketiga anaknya (Drg. S. Rusli, Brigjen R. Rusli, dan
Nani Rusli). Naskah novel tersebut tebalnya 316 halaman ukuran ½ folio tik
rapat. Mungkin karena pertimbangan tertentu maka oleh keluarganya sampai
sekarang belum diterbitkan. Selain sebagai pengarang, Marah Rusli juga bergerak
di lapangan seni dan olahraga.
Di antara karangannya, Sitti
Nurbaya merupakan novel arah Rusli yang paling terkenal. Bahkan, pada zaman
Belanda buku ini dicantumkan juga sebagai buku pelajaran di AMS Yogya. Novel
ini melukiskan cinta kasih tak sampai antara Sitti Nurbaya dan Syamsul Bahri
disebabkan perbuatan busuk Datuk Maringgih. Sitti Nurbaya akhirnya harus kawin
dengan datuk Maringgih semata-mata sebagai “pembayar utang” orang tuanya yang
telah jatuh miskin dan banyak utang akibat akal licik yang sengaja dipasang
oleh Datuk Maringgih.
Meskipun terdapat beberapa kelemahan terlebih apabila
dilihat dari situasi masa sekarang, terbitnya novel Sitti Nurbaya dipandang sebagai novel perintis sastra Indonesia
modern.
Bila dibandingkan dengan karangan-karangan Nur Sutan
Iskandar dan Abdul Muis, terdapat beberapa perbedaan sebagai berikut:
1.
Di dalam karangannya Marah Rusli sering melukiskan sesuatu
sampai pada hal yang sekecil-kecilnya, lebih-lebih dalam melukiskan alam tempat
tinggalnya. Kebiasaan ini pada karangan Abdul Muis tidak kita dapati.
2.
Karena dorongan hendak memberi nasihat, Marah Rusli sering
keluar dari jalan cerita dan muncul perannya sebagai “pemberi fatwa” kepada
pembaca. Akibatnya, jalan cerita menjadi terganggu. Sikap seperti ini juga
terasa pada karangan Nur Sutan Iskandar, sedangkan karangan Abdul Muis lebih
wajar.
3.
Bahasa Marah Rusli lebih bersifat melayu dibandingkan dengan
bahasa Nur Sutan Iskandar dan Abdul Muis. Akan tetapi, dibandingkan dengan
pengarang-pengarang Minangkabau yang lain, bahasa Marah Rusli tidak seberapa
banyak memakai pepatah, petitih, dan peribahasa.
PENGARANG-PENGARANG BALAI PUSTAKA YANG
LAIN
1.
Aman Datuk Majoindo
Aman
terkenal sebagai pengarang cerita anak-anak. Ia memimpin rubrik cerita
anak-anak pada majalah Panji Pustaka. Buku karangannya tentang cerita anak-anak
yaitu: Si Dul Anak Betawi. Buku ini
menarik perhatian karena lukisannya yang hidup dan lucu yang diselingi dialek
Betawi. Anak Desa. Buku ini pada
cetakan diganti judulnya dengan Cita-Cita
Mustafa. Isi ceritanya melukiskan kehidupan anak gembala di Bukit Barisan,
Sumatera Barat. Karangannya yang berbentuk novel ialah: Si Cebol Rindukan Rembulan (1934); Menebus Dosa; Perbuatan Dukun; Rusmala Dewi (dikarang bersama S.
Harjasumarto); Sebabnya Rafiah Tersesat (dikarang
bersama S. Harjasumarto)
Yang
paling menarik di antara karangannya ialah Si
Cebol Rindukan Bulan. Tema ceritanya hampir sama dengan Katak Hendak Jadi Lembu. Ceritanya
mengisahkan kehidupan Amat Pendek (Engku Pandeka) yang menginginkan anak
gadisnya yang bernama Fatimah dapat bersuamikan seorang pemuda bangsawan yang
bernama Sutan Ajis, walaupun sebenarnya Fatimah sudah mengikat janji dengan
Didong, seorang pemuda di kampungnya.
Sesuai
dengan judul buku itu, semua impian Amat Pendek gagal dan bahkan ia hanya
beroleh aib saja. Yang menarik dari cerita ini ialah kejenakaan yang
ditimbulkan oleh tingkah laku Amat Pendek yang congkak, gila pujian, dan
bertingakah seperti seorang penghulu Wyk layaknya.
Walaupun
bahasanya banyak terpengaruh bahasa Minang dan banyak pula menggunakan bahasa
klise, karena terbawa oleh susana humor yang terdapat di dalamnya maka semua
itu tidak mengganggu kelancaran cerita.
2.
Muhammad Kasim
Pengarang
cerita anak-anak yang lain ialah M. Kasim. Karangannya yang pernah mendapat
hadiah Balai Pustaka tahun 1924 berjudul Pemandangan
Dunia Anak-Anak. Dalam karangan itu dilukiskan dengan tepat dan hidup
betapa perangai dan tingkah laku seorang anak, bagaimana Samin membujuk minta
makanan adiknya, bagaimana ia bertengkar, dan sebagainya.
M.
Kasim terkenal sebagai seorang pengarang cerita-cerita lucu, di samping
pengarang lucu yang lain, seperti Suman hasibuan dan Aman Datuk Majoindo.
Cerita-cerita
pendek M. Kasim pernah di muat dalam majalah Panji Pustaka antara tahun 1931
s/d tahun 1935 kemudian dibukukan dan diberi nama Teman Duduk. Karangan M. Kasim yang lain adalah Muda Teruna, sedangkan karangan terjemahannya
ialah Pangeran Hindi dan Niki Bahtera.
3.
Tulis Sutan Sati
Ia
pernah juga bekerja di balai Pustaka. Bahasa Tulis Sutan Sati amat terpengaruh
bahasa Minangkabau dan penuh dengan bahasa klise yang berupa pribahasa dan
pepatah. Ceritanya sebagian besar juga berhubungan dengan perikehidupan
masyarakat Minang.
Karangannya
yang berbentuk novel: Tidak Membalas Guna
(1932); Memutuskan Pertalian (1932);
Sengsasra Membawa Nikmat (1928). Cerita
lama yang disadur dalam bentuk syair: Sitti
Marhumah yang Saleh; Syair Rosina. Sementara itu, hikayat lama yang ditulis
kembali dalam bentuk prosa liris ialah Sabai
nan Aluih.
4.
Selasih dan Sa’adah Alim
Keduanya
pengarang wanita. Selasih sering memakai nama samaran (pseudonim) Seleguri atau
Sariamin. Ia seorang pengarang wanita yang lahir tahun 1909. Karangannya yang
berbentuk novel ialah: Kalau Tak Untung (1933);
Pengaruh Keadaan (1973). Selain
sebagai pengarang novel, Selasih banyak juga menulis puisi, antara lain di muat
dalam majalah Panji Pustaka dan Pujangga Baru.
Sa’adah
Alim menulis sebuah sandiwara yang berjudul Pembalasannya
(1941) dan kumpulan cerpen yang berjudul Taman Penghibur Hati (1941). Karangan terjemahannya berjudul Angin Timur Angin Barat dari karagan
Pearl S. Buck, pengarang wanita berkebangsaan Amerika.
5.
Merari Siregar
Merari
Siregar sebenarnya dapat dikatakan sebagai pengarang novel Balai Pustaka yang
pertama. Bukunya yang berjudul Azab dan
Sengsara, mengisahkan nasib seorang gadis bernama Mariamin yang tidak
berhasil kawin dengan pemuda yang dicintainya, yaitu saudara sepupunya sendiri
yang bernama Aminuddin.
Walaupun
persoalan yang dilukiskan dalam novel itu tersebut mengenai kehidupan
masyarakat modern, gaya ceritanya masih terasa terpengaruh hikayat lama. Novel Azab dan Sengsasra menggunakan subjudul Kisah Kehidupan Seorang Anak Gadis.
SASTRA PERIODE TAHUN 20 DI LUAR BALAI
PUSTAKA
1.
Karangan-Karangan yang Bertendens Politik
Sastra pada sekitar tahun 1920 tidak terbatas hanya pada
kegiatan dan usaha Balai Pustaka saja. Di luar itu, juga diusahakan penerbitan
majalah dan buku-buku yang isinya banyak yang bersifat sastra. Ada dua golongan
penerbitan pada masa itu:
a.
Penerbitan karangan-karangan yang bertendens politik, dan
b.
Penerbitan karangan-karangan yang lebih bersifat sastra.
Pembedaan di atas sebenarnya tidak mutlak sebab
karangan-karangan yang bersifat sastra tidak berarti semuanya bersih dari nafas
politik. Masalahnya tergantung pada kadar dan pengolahannya dalam wujud karya
sastra.
Karangan-karangan yang bertendens politik pada masa itu
sering disebut sebagai “bacaan liar”. Beberapa pengarang “bacaan liar” itu
antara lain adalah:
a.
Marco Kartodikromo
Karangannya yang terkenal adalah Student Hijo (1919) dan Rasa
Merdeka atau disebut juga Hikayat
Sujanmo (1924). Karangannya yang lain Mata
Gelap (1914) dan Syair Rempah-Rempah (1919).
Karena karangan-karangannya itu, Marco Kartodikromo
berulang-ulang dijatuhi hukuman oleh pemerintah Belanda dan kemudian dibuang ke
Digul Atas, Irian Jaya. Oleh golongan komunis di Indonesia ia dipandang sebagai
pelopor sastra Indonesia Modern karena isi karangan-karangannya dinilai
mengandung kritik terhadap feodalisme dan kolonialisme. Soal nilai sastranya
bukan masalah yang penting sebab golongan ini bersemboyan “politik adalah
panglima”, artinya segala sesuatu mesti mengabdi untuk kepentingan plitik,
termasuk kegiatan di bidang sastra.
b.
Semaun
Karangannya berupa sebuah novel yang berjudul Hikayat Kadirun (1924). Novel tersebut
sesudah terbit segera dilarang beredar oleh pemerintah. Semaun termasuk seorang
pemimpin Partai Komunis Indonesia pada saat itu sehingga bagi golongan ini ia
pun dipandang sebagai tokoh pengarang yang penting.
Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah dibubarkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia dan dinyatakan sebagai partai terlarang sejak
tahun 1966 dengan Tap MPRS No. XVII th. 1966.
Buku-buku kedua “pengerang liar” tersebut sukar diperoleh
sehingga secara pasti sukar berbicara tentang nialai sastranya. Akan tetapi,
suatu karangan yang lebih mengutamakan tendens, terlebih tendens politik,
lazimnya nilai sastranya kurang atau dikorbankan.
2.
Sastra Pra-Pujangga Baru
Di atas sudah disebutkan, bahwa di samping “bacaan liar”, di
luar Balai Pustaka berkembang pula penerbitan karangan-karangan yang ebih
bersifat sastra. Kegiatan sastra ini lazim disebut sastra Pra-Pujangga Baru
sebab pengarang-pengarang golongan ini kemudian dikenal juga sebagai pengarang
Pujangga Baru. Hasil karangan mereka pada sekitar tahun 1920 dapat dipandang
sebagai sastra Pra-Pujangga Baru. Beberapa pengarang Pra-Pujangga Baru yang
dimaksud adalah:
a.
Moh. Yamin
Moh. Yamin merupakan tokoh pejuang bangsa dan bahasa.
Majalah Yong Sumatra yang pada dasarnya merupakan majalah berbahasa Belanda
banyak diisi oleh Yamin dengan karangan-karangan berbahasa Indonesia.
Karangan-karangan Yamin dalam majalh tersebut selama masa dua tahun, yaitu
tahun 1920-1921, sudah dikumpulkan oleh Armijn Pane dan diterbitkan dengan
judul Sanjak-Sanjak Masa Muda Mr. Moh.
Yamin.
Sembilan belas dari 21 puisi dalam kumpulan itu berupa
soneta, sedangkan yang lain yang berjudul Tanah
Air berbentuk 9, 9, 9 dan yang berjudul Bahasa,
Bangsa berbentuk 4, 3, 5, 6, 6.
Bentuk puisi-puisi Yamin telah berlainan dengan bentuk puisi
lama, baik mengenai baris tiap baitnya maupun mengenai pola persajakannya,
walaupun masih berupa pola yang teratus. Ia pula yang memperkenalkan bentuk
soneta dalam khazanah puisi Indonesia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
Yamin merupakan perintis pembaharuan bentuk puisi baru dalam sastra Indonesia.
Walaupun demikian, dalam karangan-karangannya ia belum sama sekali dapat
melepaskan suasana pantun dan syair, terutama di dalam hal:
1)
Jumlah suku kata tiap baris,
2)
Potongan tiap barisnya menjadi dua bagian yang sama dengan
satu jeda di tengah (caesure);
3)
Pemeliharaan pola persajakan yang masih berupa pola
tertentu;
4)
Masih ditemukan penggunaan bentuk-bentuk klise dan
perulangan-perulangan yang kurang ada artinya;
5)
Sering terasa adanya kata-kata penyumbat (stopwoord), yaitu kata-kata yang dipakai
sekedar pengisi jumlah suku kata dalam
baris atau sekedar mengabdi pada pola persajakan. Akibatnya, pemakaian kata itu
tidak wajar.
Berhubung
dengan itu, dapat disimpulkan bahwa puisi-puisi Yamin bentuknya baru, sedangkan
irama dan suasananya masih lama.
Contoh:
Beta
berahi bersuka raya
Sekiranya
bunga puspa mulia
Dipetik
handaiku muda usia
Dijadikan
karangan nan permai kaya
Bentuk
soneta dalam kumpulan itu beraneka ragam, tetapi dua kuartrennya umumnya
mempunyai rumus sajak yang sama dan sebagian besar berupa sajak berpeluk.
Adapun
isi puisi-puisi tersebut umumnya berupa curahan perasaan cintanya pada tanah
air, bahasa dan bangsa, meskipun pengertian tanah air pada permulaannya belum
seluas seperti pengertian sekarang.
Kumpulan
puisi Yamin yang pertama diusahakan sendiri berjudul Tanah Air, terbit bulan Desember 1922. Bentuknya merupakan suatu
siklus yang terdiri atas 17 bait yang masing-masing tersusun atas 9 baris,
seperti puisinya yang berjudul Tanah Air juga.
Isinya seperti halnya puisi-puisi sebelumnya berupa curahan rasa kecintaan
pengarang pada tanah air, bahasa dan bangsanya.
Dalam
peringatan 5 tahun berdirinya Yong Sumatra, Yamin menulis sebuah puisi panjang
yang berjudul Bandi Mataram (Januari
1923). Nama Bandi Mataram berasal
dari Wannde Mataram (Skr) yang
berarti “Ik Groet U Moederland” (Bld) atau “Aku Puja Engkau Ibu Pertiwi”. Jadi,
nama itu tidak ada sangkut pautnya dengan Bende
Mataram, nama sebuah cerita silat karangan Herman Pratikta. Isi Bandi Mataram berupa lukisan perjuangan
bangsa kita di masa lalu yang penuh dengan penderitaan demi cintanya pada tanah
air dan bangsa.
Kumpulan
puisi Yamin yang kedua juga merupakan suatu siklus berjudul Indonesia Tumpah Darahku, yang pada
bagian akhir buku itu diberi tanggal: Pasundan, 26 Oktober 1928, jadi dua hari
sebelum hari Sumpah Pemuda. Kumpulan puisi ini terdiri dari 90 bait yang
masing-masing terdiri dari 7 baris setiap bait dan ditujukan:
Kepada
handai taulanku
Yang
menghargai bahasa Indonesia
Sambutlah
karangan ini sebagai
Buah
tanganku kepada kekasih yang kucintai.
Apabila
kita perhatikan, pada hakikatnya ada satu nada dasar yang menjiwai puisi yamin,
dan nada itu jelas pada Indonesia Tumpah
Darahku. Semua tulisan Yamin dilandasi:
1)
Kecintaannya yang menulang sumsum pada bangsa, bahasa, dan
tanah air;
2)
Usahanya yang sangat keras untuk memajukan bahasa Indonesia
karena menurut keyakinannya, perjuangan bahasa besar sekali pengaruhnya bagi
perjuangan bangsa;
3)
Kekagumannya pada kejayaan bangsa pada masa kebesaran
Sriwijaya dan Majapahit;
4)
Kegandrungannya pada persatuan dan kesatuan bangsa untuk
memperoleh kebesaran yang telah hilang itu.
Perjuangan
yang keras untuk persatuan bangsa, bahasa, dan tanah air ini bukan hanya
terjelma dalam karangan-karangan puisinya saja, melainkan hampir pada setiap
karangannya, baik esai, drama, maupun yang lain.
Adapun
karangan Yamin yang lain adalah: Ken Arok
dan Ken Dedes (drama yang pertama kali dimainkan pada malam Kongres Pemuda
28 Oktober 1928); Menantikan Surat dari
Raja (1928); Di Dalam dan di Luar
Lingkungan Rumah Tangga (1933, drama terjemahan dari karangan Rabindranath
Tagore); Yulius Caesar (1951, drama
terjemahan dari karangan W. Shakespheare); Gajah
Mada (1948, novel sejarah); Sejarah
Peperangan Diponegoro (1945); Tan
Malaka (1946); Enam Ribu Tahun Sang
Merah Putih; Sapta Dharma (1950);
Revolusi Amerika (1951); dan Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia
(1951).
Yamin
meninggal pada 17 Oktober 1962 di Jakarta dan dimakamkan di bumi kelahirannya
di Sumatera Barat.
b.
Rustam Effendi
Jika Marah Rusli dan Abdul Muis dikenal sebagai perintis
sastra Indonesia modern di bidang penulisan novel, Yamin dan Rustam Effendi
adalah pembuka sejarah baru dalam bentuk puisi.
Karangan Rustam Effendi yang sudah dibukukan ada dua, yaitu Bebasari dan Percikan Permenungan, keduanya merupakan Pasangan yang Sejoli karena kedua buku itu dikarang dalam saat dan
suasana yang bersamaan.
Di dalam kata
pendahuuan Percikan Permenungan cetakan
kedua dikatakan bahwa Percikan
Permenungan lahir di Padang bulan Maret 1925, tidak berapa lama sesuadah Bebasari terbit. Percikan Permenungan lahir sebagai reaksi terhadap sikap pemerintah
kolonial yang merintangi peredaran buku Bebasari.
Dalam lukisan tonil Bebasari,
tegas dan keras terdengar jeritan merdeka, yang tertekan dan ditekan itu.
Keperwiraan dan “heroisme” menjadi landasan penyulamannya. Bebasari mendapat halangan dan ancaman.
“Percikan Permenungan terpaksa
menukar kalam. Untuk mengelakkan ‘delict’ yang mengancam, diperpusatkan malam
kepada lagu Asmaradana, diselingi seloka Tanah Air di sana sini suara merdeka
didandani baju percintaan; ‘heroisme’ Bebasari
menjelma menjadi ‘erotiek’ dan ‘romantiek’ dalam Percikan Permenungan.” (Effendi,
1953: 6)
Berdasarkan kutipan di atas, jelas bahwa Bebasari terbit lebih dahulu daripada Percikan Permenungan, jadi sebelum tahun
1925, tetapi anehnya dalam kata pendahuluan, Bebasari diterbitkan pertama kali tahun 1928. Mana yang benar di
antara dua keterangan itu sukar dibandingkan, tampaknya benar bahwa Bebasari terbit lebih dahulu dari pada Percikan Permenungan. Isi kedua buku
secara ringkas di singgung di bawah ini.
Bebasari
adalah
tonil atau drama bersajak dalam tiga pertunjukan (babak) yang isinya bersifat
simbolik. Ceritanya mengisahkan kerjaan maharaja Takutar yang telah dirampas
oleh Rawana. Bujangga, putra maharaja berusaha melepaskan kekasihnya yang
bernama Bebasari, anak bangsawan Sabari, yang dikurung oleh Rawana. Dengan
bantuan Sabainaracu, Bujangga berhasil mengusir Rawana dari kerajaan yang
dirampasnya serta membebaskan Bebasari dari kurungan. Akhirnya Bujangga kawin
dengan Bebasari. Simbolik drama tersebut jelas sekali. Rawana mengingatkan kita
pada penjajah yang bersifat angkara murka; Bujangga sebagai lambang angkatan
muda; sedangkan Bebasari adalah lambang kebebasan atau kemerdekaan tanah air.
Karena jelasnya sifat simbolik drama tersebut maka buku itu sesudah terbit, oleh
pemerintah dirintangi peredarannya.
Bahasa drama itu penuh berirama, banyak dihiasi dengan
persajakan aliterasi dan asonansi. Betapa kayanya tanah air kita tampak dalam
dialog di bawah ini.
O,
ayah,
Hijau
padangnya sebagai khatifah,
Jingga
warna padi di sawah,
Tanahnya
perak,
sita
somarak.
Bergoa
emas berkolam minyak,
Batu
hitam intannya banyak.
Terbang
terkepai burung dan murai,
berjoget,
berlagu berbagai-bagai.
Badai
bertiup berombak berbisik,
seperti
serunai seruling musik...
Kemudian karangannya yang kedua. Percikan Permenungan merupakan kumpulan puisi yang terdiri atas 64
buah, yang 11 di antaranya berbentuk soneta. Berbeda dengan bentuk soneta
Yamin, kedua kuartren soneta Rustam tidak terlalu berumus sajak yang sama.
Bentuk puisi lainnya beraneka ragam, dan yang menarik ialah
keanekaragaman dalam jumlah kata dan jumlah suku kata tiap barisnya. Beberapa
kemungkinan tentang jumlah suku kata tiap barisnya ialah:
1)
Sama jumlah suku kata tiap baris pada puisi itu, misalnya
puisinya yang berjudul Dalam Kamar;
2)
Berselang-seling antara baris yang satu dengan baris yang
lain, misalnya 6, 5, 6, 5, dan seterusnya;
3)
Berbeda sama sekali, ada terdiri dari dua suku kata ada yang
terdiri dari 17 suku kata, misalnya puisinya yang berjudul Alam.
Tentang
jumlah kata tiap barisnya ada beberapa kemungkinan pula:
1)
Sama tiap barisnya, misalnya 4, 4, 4, 4, dan seterusnya;
2)
Berselang-seling, misalnya 3, 4, 3, 4, dan seterusnya;
3)
Berbeda sama sekali, misalnya 1, 4, 5, 5, 6, 7, dan
seterusnya.
Jumlah
kata dan jumlah suku kata yang beraneka ragam itu memungkinkan adanya irama
atau ritma yang lebih dinamis. Dengan cara demikian, Rustam Effendi ingin
membuktikan pula penggunaan irama yang berdasarkan kata atau suku kata, bukan
berdasarkan tekanan kata semata-mata. Dengan usahanya ini tampaknya Rustam
Effendi hendak menuju puisi kata atau puisi suku kata, yaitu yang memandang
kata atau suku kata sebagai kesatuan keindahan. Sebagai contoh dikutip dua bait
dari puisi yang berjudul Bunda dan Anak
seperti di bawah ini.
BUNDA DAN ANAK
Masa jambak
buah sebuah
diperam alam di ujung dahan
Merah darah
Beruris-uris
bendera masak bagi selera.
Lembut umbut
disantap sayap
Keroak pipi pengobat haus.
Harum baun
sumarak jambak
Di bawah pohon terjetuh ranum
Dari
kutipan itu, jelas bahwa jumlah suku kata pada tiap barisnya berselang-seling
4, 5, 10, 4, 5, 10; sedangkan jumlah katanya berselang seling 2, 2, 4, 2, 2, 4.
Kecuali
adanya kecenderungan penggunaan irama atau ritma yang berdasarkan kata atau
suku kata tersebut, ada ciri-ciri lain dari puisi-puisi Rustam Effendi, yaitu:
1)
Unsur persajakan atau irama yang sebagian besar berupa
aliterasi dan asonansi;
2)
Banyaknya perbendaharaan kata yang diambil dari bahasa
Minang;
3)
Dalam menyingkat kata tampak seenaknya saja, misalnya saja:
baunya_____baun; mutiara_____mutiar; dari_____dir; di atas_____d’atas, dan
sebagainya. Penyingkatan ini bersangkut paut dengan usaha hendak memenuhi
jumlah suku kata tertentu atau berhubungan dengan pola persajakan atau rima.
Di
bandingkan dengan puisi-puisi Yamin, puisi Rustam Effendi lebih mengenal
variasi dalam berbagai hal sehingga terasa lebih hidup dan dinamis. Akan
tetapi, tampaknyagejolak jiwa pembaharuan itu tidak selamanya tertuang dalam
bentuk yang baru pula sehingga sering terjadi kontradiksi antara isi dan
bentuk. Hal ini jelas pada puisinya yang terkenal yang berjudul Bukan Beta Bijak Berperi yang dikutip
dua bait di bawah ini.
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Bukan beta bijak berperi,
pandai menggubah madahan syair;
Bukan beta budak Negeri,
musti menurut undangan mair.
Sarat syaraf saya mungkiri,
Untaian rangkaian seloka lama,
beta buang beta singkiri
Sebab laguku menurut sukma.
Bentuk
puisi di atas berupa puisi yang berselang-seling, baik jumlah kata mupun suku
katanya, tetapi jumlah suku kata beserta irama dan pola persajakannya masih
mudah mengingatkan kita pada bentuk pantun dan syair, dua bentuk yang justru
hendak dibuang dan dihindari oleh penyair.
Isi Percikan Permenungan adalah cetusan jiwa
penyair yang berhasrat akan kemerdekaan yang dijelmakan dalam bentuk romantik Bunda dan Anak, yaitu puisi puisi
pertama pembuka kumpulan itu jiwanya sejalan dengan Bebasari.
Kecuali
sebagai sastrawan, Rustam Effendi terkenal sebagai seorang yang bergerak di
bidang politik. Ia pernah menjadi anggota Tweede
Kamer di negeri Belanda mewakili Partai Komunis di sana, yaitu antara tahun
1933-1946.
Karangan
yang lain yang dibukukan belum ada, walaupun sesudah kebangkitan Angkatan 66 ia
masih sering menulis pada beberapa majalah.
c.
Sanusi Pane
Penngemar bentuk soneta dalam sastra Indonesia selain Moh.
Yamin dan Rustam Effendi, terutama adalah Sanusi Pane. Kumpulan puisinya yang
berjudul Puspa Mega, yang seluruhnya
terdiri dari 34 puisi, hanya satu yang tidak berbentuk soneta.
Sanusi Pane sudah banyak menulis pada tahun dua puluhan.
Beberapa karangannya dimuat dalam majalah Yong Sumatra dan majalah Timbul, dua
majalah yang pada dasarnya memuat karangan-karangan dalam bahasa Belanda.
Dramanya yang berjudul Airlangga (1928)
dan Eenzame Garudavlucht (1929)
pertama kali dimuat dalam majalah Timbul.
Puisi Sanusi Pane pada permulaannya tidak banyak berbeda
dengan Moh. Yamin. Bentuk sonetanya hampir semuanya tersusun atas dua kuartren
dan dua terzina.
Dalam perkembangannya kemudian Sanusi Pane merupakan tokoh
penting Angkatan Pujangga Baru, tokoh ketiga sesuadah Sutan takdir Alisjahbana
dan Amir Hamzah. Oleh karena itu, pada tempatnya bila tokoh ini diuraikan lebih
lanjut pada pembicaraan tentang pengarang-pengaran Pujangga Baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar