PENGERTIAN
SASTRA INDONESIA MODERN
1.
Arti Modern
Kata modern pada sastra Indonesia modern
dipergunakan tidak dalam pertentangan kata klasik. Bahkan sebenarnya, istilah
sastra Indonesia klasik sebagai pertentangan dengan sastra Indonesia modern
tidak ada. Kata modern dipergunakan sekedar menunjukkan betapa intensifnya pengaruh Barat pada
perkembangan dan kehidupan kesusastraan pada masa itu. Sebelum berkembangnya
sastra Indonesia modern kita mengenal sastra Melayu lama/klasik untuk
membedakan dengan sastra Melayu modern yang berkembang di Malaysia.
2.
Pengertian
Sastra Indonesia
Ada beberapa pendapat mengenai apa yang
disebut sastra Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa suatu karya sastra dapat
dinamakan dan digolongkan ke dalam pengertian sastra Indonesia apabila:
a.
Ditulis buat
pertama kalinya dalam bahasa Indonesia;
b.
Masalah-masalah
yang dikemukakan di dalam nya haruslah
masalah-masalah Indonesia;
c.
Pengarangnya
haruslah bangsa Indonesia (Soemawidagdo, 1966: 62).
Berdasarkan pendapat di atas, pengertian
sastra Indonesia mencakup tiga unsur persyaratan, yaitu bahasa, masalah yang
dipersoalkan, dan pengarangnya. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa sastra
Indonesia adalah “sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia, mengingat
sastra dan bahasa erat saling berjalin” (Enre, 1963: 10). Berdasarkan pendapat
ini, persyaratan cukup dibatasi pada bahasanya.
Pada dasarnya, kami cenderung pada pendapat
pertama, hanya menurut kami, unsur persyaratan yang kedua dan ketiga dapat
disatukan. Berhubungan dengan itu, kami berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
sastra Indonesia adalah sastra yang aslinya di tulis dalam bahasa Indonesia
yang isinya memancarkan sikap dan watak bangsa Indonesia. Jadi, unsur
persyaratan ada dua, yaitu:
a.
Media
bahasanya bahasa Indonesia dan
b.
Corak isi
karangannya mencerminkan sikap watak bangsa Indonesia di dalam memandang suatu
masalah.
Berdasarkan uraian di atas, kiranya perlu
dibedakan dan ditegaskan beberapa pengertian istilah-istilah tertentu. Sastra
yang asliny di tulis dalam bahasa asing atau bahasa daerah di Indonesia
kemudian diterjemahkan atau disadur
dalam bahasa Indonesia, kita sebut sastra Indonesia terjemahan atau sastra
Indonesia saduran. Kemudian sastra yang aslinya di tulis dalam bahasa asing
meskipun pengarangnya bangsa Indonesia hendaknya tetap kita pandang sebagai
sastra asing, misalnya Airlangga dan Enzame Gareodaylucht yang keduanya
berbentuk drama yang asinya ditulis oleh Sanusi Pane dalam bahasa Belanda.
Adapun sastra yang ditulis dalam
bahasa-bahasa daerah di Indonesia kita sebut saja sastra daerah atau sastra
Nusantara. Jika disebut sastra di Indonesia, pengertiannya dapat mencakup
sastra Indonesia dan sastra Nusantara.
Dengan demikian, menjadi jelaslah pengertian
istilah-istilah sastra Indonesia, sastra Indonesia saduran, sastra Indonesia
terjemahan, sastra asing, sastra Nusantara, dan sastra di Indonesia.
PERMULAAN
SASTRA INDONESIA MODERN
Seperti
halnya dengan pengertian sastra Indonesia, masalah permulaan sastra Indonesia
modern ini pun menimbulkan beberapa macam pendapat. Dalam garis besarnya ada 4
macam pendapat, yaitu:
1.
Slametmuljana
(1953: 17) dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Ke Mana Arah Perkembangan
Puisi Indonesia?” berpendapat bahwa sastra Indonesia yang resmi haruslah
dimulai dari tahun 1945. Pengertian tentang sastra Indonesia tidak dapat
dipisahkan dari Indonesia sebagai nama satu negara. Negara Republik Indonesia
baru ada sejak diumumkannya Proklamasi
Kemerdakaan Republik Indonesia pada tahun 1945 dan baru pada tahun itu pulalah
bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi negara Republik Indonesia dan
dicantumkan di dalam UUD 1945. Slametmuljana dengan tegas berpendapat bahwa
berbicara tentang Indonesia sebagai suatu istilah dewasa ini tidak dapat
terlepas dari masalah politik.
“Indonesia
sebagai nama negara memang soal politik. Segala hal bersangkut paut dengan
Indonesia sebagai nama negara tak dapat lepas dari soal politik. Kesusastraan
Indonesia bersangkut paut dengan Indonesia sebagai nama negara. Oleh karena
itu, bagaimanapun batas waktu 1945 merupakan
batas pembagian kesusastraan pula. Di samping itu, haruslah diakui bahwa
gerakan Pujangga Baru merupakan persiapan kesusastraan Indonesia. Hal ini
penting karena Pujangga Baru memang menuju arah Indonesia merdeka.” (1953: 17)
Sebagai akibat dari pendapat di atas,
Slametmuljana menganggap bahwa semua hasil sastra sebelum tahun 1945 harus
dipandang sebagai sastra daerah. Novel “Sitti Nurbaya, Salah Asuhan”, dan
kumpulan puisi “Percikan Permenungan” drama bersajak “Bebasari” dan bahkan
hasil-hasil sastra Pujangga Baru semuanya adalah sastra daerah, yaitu sastra
Melayu.
Terhadap pendapat Slametmuljana ini banyak
orang merasa berkeberatan karena sastra sebagai suatu aspek kebudayaan tidak
selamanya sejalan dengan politik. Peristiwa-peristiwa kenegaraan tidak selalu
bersamaan dengan kehidupan kebudayaan suatu bangsa dan demikian pula
sebaliknya.
Sastra suatu bangsa tidak mesti dimulai dari
saat bangsa itu memperoleh kemerdekaannya. Di samping itu tampaknya
Slametmuljana mencampuradukkan pengertian bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi
dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan kemudian mengaitkan
kehidupan sastra Indonesia dengan saat ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai
bahasa resmi. Padahal, kenyataannya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
sudah berkembang sebelum Proklamasi Kemerdekaan.
2.
Umar Junus
di dalam karangannya yang berjudul “Istilah dan Masa Waktu Sastra Melayu dan
Sastra Indonesia” yang termuat dalam majalah Medan Ilmu Pengetahuan 1/3 Juli
1960 berpendapat bahwa sastra Indonesia baru mulai berkembang pada sekitar 28
Oktober 1928, yaitu saat diikrarkannya Tri Sumpah Pemuda. Sebagai seorang
linguis, Umar Junus beranggapan bahwa sastra terikat erat sekali dengan bahasa.
Tidak ada bahasa maka sastra pun tidak akan ada juga. Oleh karena itu, kriteria
penamaan suatu hasil sastra, harus terutama berdasarkan media bahasa yang
dipergunakan. Suatu hasil sastra disebut sastra X karena bahasa yang digunakan
ialah bahasa X.
Berdasarkan pemikiran tersebut, perkembangan
sastra Indonesia dimulai sejak adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Karena menurut Umar Junus bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional lahir sejak
tahun 1928 maka perkembangan sastra Indonesia harus dimulai sejak tahun 1928,
yang dapat maju atau mundur dari tahun tersebut asal disertai dengan suatu
tanggung jawab. Jika ditarik garis mundur sebelum tahun 1928, kita akan bertemu
dengan hasil-hasil sastra Balai Pustaka, yang dianggapnya tidak tepat untuk
digolongkan sebagai hasil sastra
Indonesia karena hasil sastra tersebut tidak mengandung unsur nasional.
Sebaliknya, jika ditarik garis maju sesudah
tahun 1928, kita akan bertemu dengan hasil sastra Pujangga Baru. Menurut Umar
Junus, sastra Pujangga Baru sudah dengan tegas membawa suara Indonesia, sudah
bercorak nasional sehingga pada tempatnyalah apabila hasil-hasil sastra pada
masa itu dipandang sebagai sastra Indonesia. Dengan keterangan di atas,
kemudian ia menyimpulkan bahwa sastra Indonesia baru berkembang sekitar tahun
1928 dan tepatnya pada thuan 1930-an.
Ada beberapa keberatan terhadap pendapat Umar
Junus tersebut, antara lain sebagai berikut:
a.
Dalam
kenyataannya hubungan antara sastra dengan bahasa tidak selalu bersifat mutlak.
Banyak sastra dari beberapa negara yang ditulis dalam bahasa yang sama,
misalnya bahasa Inggris untuk sastra Amerika, Inggris, Australia, dan
sebagainya.
b.
Perkembangan
sastra sebelum tahun 1928 tidak terbatas hanya pada kegiatan dan hasil-hasil
Balai Pustaka. Beberapa pengarang di luar Balai Pustaka banyak yang menulis
ketika itu, misalnya Moh. Yamin, Sanusi Pane, Rustam Effendi, dan yang lain.
c.
Andai kata
Balai Pustaka satu-satunya badan yang berperan dalam perkembangan sastra pada
masa itu, kita juga mengajukan beberapa persoalan:
(1) Apakah tidak ada satupun karya Balai Pustaka
yang bercorak nasional, meski masih secara tersirat atau samar-samar? Jika kita
dengan teliti membaca novel “Salah Asuhan” karangan Abdul Moeis, kita
menyangsikan kesimpulan di atas. Pada akhir cerita novel itu kita dapati kata
ibu Hanafi: “Sekalipun ia sudah bersekolah, tetapi pelajaran agama kita
janganlah ditinggalkan. Salah benar ibu mengasuh Hanafi masa dahulu karena
sedikitpun ia tidak diberi pelajaran
agama. Sedangkan kecilnya ia sudah mengasingkan diri daripada perjuangan
bangsanya.”
(2) Sutan Takdir Alisjahbana, seorang yang sering
disebut pelopor Pujangga Baru, adalah seorang pengarang yang banyak berperan
dalam kegiatan Balai Pustaka. Ia pernah menjabat hoofdredacteur majalah Panji Pustaka, sebuah majalah Balai Pustaka.
Dengan demikian, bagaimanakah halnya dengan karangan Sutan Takdir Alisjahbana
sebelum tahun 1928, seperti “Tak Putus Dirundung Malang”?
3.
Nugroho
Notosusanto, seorang sarjana Ilmu Sejarah, berpendapat bahwa berbicara tentang
sastra Indonesia, bukan berarti berbicara tentang bahasa Indonesia, melainkan
tentang sastra Nasional Indonesia. Dengan demikian, prinsip sastra Indonesia
adalah prinsip kebangsaan. Kapankah kesadaran kebangsaan bangsa Indonesia mulai
bangkit? Karena kita telah menetapkan tanggal 20 Mei 1908 sebagai Hari
Kebangkitan Nasional maka berarti bahwa setiap kegiatan bangsa Indonesia sejak
saat itu sudah didorong oleh aspirasi nasional. Sastra Indonesia sebagai bagian
kebudayaan bangsa Indonesia, seharusnya sudah pula memancarkan unsur kebangsaan
itu. Dengan demikian, sastra Indonesia sebagai sastra Nasional Indonesia sudah
berkembang sejak permulaan abad ke-20.
Terhadap pendapat Nugroho Notosusanto
tersebut ada satu keberatan. Meskipun dasar pemikirannya benar, pendapat itu
tidak berlandaskan hasil-hasil sastra yang konkret. Pada permulaan abad ke-20
kita belum dapat menunjukkan karangan-karangan yang dapat dipandang sebagai
hasil sastra yang bernilai atau bercorak nasional.
Kecuali itu, teori yang dikemukakan oleh
Nugroho Notosusanto tersebut ternyata tidak sesuai dengan periodisasi yang
dibuatnya. Nugroho Notosusanto dalam periodisasi sastranya memulai perkembangan
sastra Indonesia modern pada tahun 20-an, bukan pada permulaan abad ke-20.
4.
Pendapat
yang terakhir menyatakan bahwa sastra Indonesia modern mulai berkembang sekitar
tahun 20-an.
Mereka yang berpendapat demikian itu antara
lain: Fachruddin Ambo Enre, Ajip Rosidi, H.B. Jassin, dan A. Teeuw. Alasan yang
mereka kemukakan tidak sama, tetapi pada dasarnya menyangkut dua hal, yaitu:
a.
Media Bahasa
yang Dipergunakan
Meskipun
bahasa Indonesia itu secara formal diakui sebagai bahasa persatuan pada tahun
1928, realitasnya bahasa tersebut sudah pasti sudah berkembang pada tahun-tahun
sebelumnya. Tahun 1928 adalah sekedar tahun peresmiannya saja atau tahun
pemandiannya (menurut istilah A. Fokker) menjadi bahasa Nasional. Kenyataan
kehadirannya harus kita cari beberapa tahun sebelumnya. Apabila kita perhatikan
buku-buku hasil sastra Balai Pustaka sekitar tahun 20-an, misalnya novel “Azab
dan Sengsara, Sitti Nurbaya”, dan juga puisi-puisi Moh. Yamin, Sanusi Pane, dan
Rustam Effendi, yang termuat dalam majalah Yong Sumatra, majalah Timbul,
nyatalah bahwa bahasa yang dipergunakan dalam karangan-karangan tersebut tidak
jauh berbeda dengan bahasa yang kemudian diresmikan menjadi bahasa persatuan
pada tahun 1928. Berdasarkan kenyataan itu, kita beralasan untuk mengatakan
bahwa bahasa Indonesia sudah ada sekitar tahun 20-an.
b.
Corak Isi
yang Terdapat Didalamnya
Corak isi
karya sastra sudah mencerminkan sikap watak bangsa Indonesia, artinya
mengandung unsur kebangsaan. Pada bagian sebelumnya sudah dikemukakan, bahwa
hasil-hasil sastra sekitar tahun 20-an sudah mengandung unsur kebangsaan.
Terlebih apabila kita perhatiakan hasil sastra di luar Balai Pustaka, unsur itu
amat jelas. “Tanah Air” kumpulan puisi Moh. Yamin temanya ialah kecintaan
penyair pada tanah air dan bangsanya yang pada waktu itu hidup dalam
penjajahan.
“Memang
tanah air yang dinyanyikan pemuda yamin dalam sajak-sajaknya itu belum lagi
tanah air Indonesia dalam arti geografis yang sekarang. Tetapi hal tersebut
akan berkembang dengan dia sendiri (turut) memagang peranan utama: enam tahun
kemudian ia sendiri mempelopori pengakuan bahasa, tanah air, dan bangsa
Indonesia sebagai dasar persatuan nasioanal Indonesia. Keberatan yang bisa kita
kemukakan dalam memandang “Tanah Air” Yamin yang belum lagi meliputi Indonesia
Raya melainkan baru Sumatra, Andalas, Pulau Perca, Tanah Melayu, dan lain-lain
adalah keberatan yang juga bisa kita ajukan kepada pengakuan Boedi Oetomo yang
bersifat sosial dan bercita-cita kejawen yang sekarang telah diresmikan sebagai
perintis kebangkitan kesadaran nasional Indonesia.” (Rosidi, 1964: 7-8).
Ternyata
bahwa kesadaran kebangsaan Yamin pada “Tanah Air” (1922) yang masih terbatas
pada Pulau Andalas itu kemudian mengalami perkembangan dan pada “Indonesia
Tumpah Darahku” (1928) kesadaran kebangsaan itu sudah meluas meliputi seluruh
Indonesia Raya.
Dua hal
itulah yang kita pergunakan sebagai dasar untuk menetapkan bahwa sastra
Indonesia modern mulai berkembang sekitar tahun 1920-an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar