MAJALAH
PUJANGGA BARU
Nama
Pujangga Baru mempunyai dua pengertian, yang satu dengan yang lain erat
hubungannya. Dua pengertian itu ialah: (1) Pujangga Baru sebagai nama majalah,
dan (2) sebagai nama angkatan dalam Sastra Indonesia.
Pujangga
Baru sebagai nama majalah mengalami dua periode penerbitan, yaitu Pujangga Baru sebelum perang (Juli
1933-Maret 1942) dan sesudah perang (Maret 1948-Maret 1953). Dua periode
penerbitan majalah itu masing-masing mempunyai kedudukan yang berbeda dalam
perkembangan sastra Indonesia. Majalah Pujangga
Baru sesudah perang tidak penting lagi artinya sebagai pembawa kehidupan
sastra, walaupun tenaga pengasuhnya bertambah.
Majalah Pujangga Baru sebelum perang bersifat
homogen, artinya pembawa semangat dari satu cita-cita, sedangkan sesudah perang
bersifat heterogen, artinya kecuali pembawa semangat Angkatan Pujangga Baru,
juga pembawa suara angkatan sesudahnya.
Majalah Pujangga Baru terbitan pertama (Juli
1933) dipimpin oleh Armijn Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana. Pada terbitan
nomor-nomor berikutnya Sutan Takdir Alisjahbana selalu duduk dalam pimpinan,
sedangkan beberapa pengarang yang pernah duduk sebagai sekretaris redaksinya
yang penting ialah Armijn Pane, W.J.S. Purwadarminta, dan H.B. Jassin.
Pengarang Angkatan 45 yang ditambahkan pada staf redaksi majalah Pujangga Baru sesudah perang, antara
lain Achdiat Kartamihardja dan Idrus.
Majalah Pujangga Baru, terutama periode sebelum
perang adalah pembawa suara dan semangat dari Angkatan Pujangga Baru.
Cita-cita, konsepsi, dan pikiran-pikiran yang berkembang pada angkatan itu
sebagian besar tercermin pada majalah Pujangga
Baru. Untuk mendapatkan gambaran perkembangan majalah itu dan persoalan
pokok yang menjadi perhatian Angkatan Pujangga Baru dapat dilihat dari
perubahan subtitel majalah tersebut.
Tahun pertama : Majalah kesusastraan dan bahasa sastra
kebudayaan umum.
Tahun kedua : Majalah bulanan kesusastraan dan bahasa serta
seni dan kebudayaan.
Tahun ketiga : Pembawa semangat baru dalam kesusastraan,
seni kebudayaan, dan soal masyarakat umum.
Tahun keempat dan selanjutnya : Pembimbing
semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan baru, kebudayaan
persatuan Indonesia.
Dari
perkembangan perubahan subtitel itu jelas bahwa sifat dan perhatian majalah itu
sebagai pembawa suara Angkatan Pujangga Baru makin luas dan tegas. Subtitel
pada majalah periode sesudah perang cukup singkat, yaitu majalah kebudayaan;
karena memang majalah itu tidak lagi berperan sebagai pembawa suatu angkatan.
KARAKTERISASI
ANGKATAN PUJANGGA BARU
Di dalam
Angkatan Pujangga Baru berkumpul sekelompok pengarang yang memiliki berbagai
keanekaragaman. Berlainan halnya dengan Angkatan Balai Pustaka, yang sebagian
besar pengarangnya berasal dari satu lingkungan daerah dan dari satu lingkungan
keyakinan hidup.
Walaupun
para pengarang Pujangga Baru memiliki suatu keanekaragaman, mereka merupakan
satu angkatan karena mereka terikat oleh satu cita-cita yang sama yang hendak
mereka perjuangkan. Mereka semuanya bercita-cita hendak membentuk kebudayaan
baru, kebudayaan persatuan kebangsaan Indonesia. Keanekaragaman yang terdapat
pada Angkatan Pujangga Baru itu, misalnya tampak pada:
1.
Daerah
asalnya: Bali (I Gusti Nyoman Panji Tisna), Madiun (Sutomo Jauhar Arifin),
Sangihe (Marius Ramis Dayoh), Minahasa (J.E. Tatengkeng), Tapanuli (Sutan
Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan sebagainya), Padang (Rustam Effendi),
Bangka (Hamidah), Aceh (M. Ali Hasyim), Langkat (Amir Hamzah), dan Maluku
(Paulus Supit).
2.
Kepercayaan
agamanya: Nasrani (J.E. Tatengkeng), Hindu Bali (I Gusti Nyoman Panji Tisna),
Islam (Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana, dan sebagian besar pengarang
Pujangga Baru yang lain).
Hal tersebut besar pengaruhnya bagi
perkembangan karya sastra pada angkatan itu, terutama bagi perkembangan kosa
kata dan perluasan unsur-unsur penceritaan.
Pujangga Baru sebagai angkatan meliputi
sejumlah pengarang yang kesemuannya berusaha hendak mengadakan pembaharuan di
bidang kebudayaan Indonesia. Karena majalah tempat menyuarakan cita-cita mereka
itu bernama Pujangga Baru yang terbit
pertama kalinya pada bulan Juli 1933 maka Ankatan Pujangga Baru lazim disebut
juga Ankatan 33 atau Angkatan 30.
Berdasarkan karya sastra buah pikiran mereka,
karakterisasi Angkatan Pujangga Baru kiranya dapat dituturkan sebagai berikut:
1.
Tema pokok
cerita pada umumnya bukan lagi berkisar pada kawin paksa atau masalah adat yang
hidup di daerah-daerah, melainkan masalah kehidupan kota atau kehidupan
masyarakat modern, misalnya masalah perubahan (Manusia Baru – Sanusi Pane); masalah kedudukan wanita (Layar Terkembang – Sutan Takdir Alisjahbana);
masalah kedudukan suami istri dalam hidup berumah tangga (Belenggu – Armijn Pane); dan sebagainya.
2.
Sudah jelas
mengandung nafas kebangsaan atau unsur nasionalitas, baik karangan yang berbentuk
prosa maupun yang berbentuk puisi. Puisi-puisi Asmara Hadi jelas sekali
mengandung unsur nasionalitas itu sehingga ia sering dijuluki penyair api
nasionalisme.
3.
Memiliki
kebebsan dalam menentukan bentuk pengucapan sesuai dengan pribadinya. Angkatan
Pujangga Baru melepaskan diri dari ikatan bentuk-bentuk tradisi lama dan juga
merasa tidak terikat oleh syarat-syarat yang ditentukan oleh pihak penguasa.
Kebebsan ini merangsang tumbuhnya keanekaragaman pada karya sastra. Jika karya
sastra sebagian besar berupa novel, sastra Pujangga Baru meliputi
bentuk-bentuk: novel, cerpen, esai, kritik, dan puisi dengan bermacam-macam
bentuk.
4.
Bahasa
sastra Pujangga Baru adalah bahasa Indonesia yang hidup dalam masyarakat; yang
dalam beberapa hal menyimpang dari bahasa yang dipakai dalam sastra resmi Balai
Pustaka. Hal ini tampak misalnya pada:
a.
Tambahnya
kosa kata yang berasal dari berbagai bahasa daerah di Indonesia dan juga
berasal dari bahasa asing;
b.
Tumbuhnya
pembentukan dan kombinasi kata-kata baru, misalnya mendatang, membesar, sambur
limbur, sinau-kilau, dan sebagainya;
c.
Timbulnya
susunan kalimat dan pembentukan-pembentukan kata akibat pengaruh bahasa asing,
misalnya mengejar cita-cita, mengambil bagian, mempunyai gambaran, dan
lain-lain;
d.
Tumbuhnya
ungkapan-ungkapan baru.
5.
Baik prosa
maupun puisinya sebagian besar mengandung suasana romantik, bahkan sering
dikatakan romantik idealistik. Ciri romantik itu sepintas lalu saja tampak
pada:
a.
Nama-nama
buku karangan mereka, misalnya Puspa
Mega, Madah Kelana, Buah Rindu, Rindu Dendam, Tebaran Mega, Nyanyian Sunyi, dan
sebagainya.
b.
Banyaknya
karangan yang mengambil bahan dari sejarah, misalnya Ken Arok dan Ken Dedes, Kerta Jaya, Sandhyakalaning Majapahit, Gajah
Mada, dan sebagainya.
c.
Lukisan
sesuatu dengan bahasa yang indah-indah, yang sering terasa berlebih-lebihan.
6.
Adanya unsur
pengaruh dari sastra lain, terutama dari Angkatan 80 (de Tachtigers Baweging)
di negeri Belanda. Di dalam usahanya untuk mencari bentuk pengucapan yang baru,
para pengarang Pujangga Baru berkenalan dengan Angkatan 80; yang keduanya
mersakan semangat hidup yang sama, yaitu sama-sama menentang sastra sebelumnya
yang dipandang sudah beku kebetulan pula pada masa itu bangsa Indonesia ada di
bawah kekuasaan pemerintah Belanda.
Demikianlah secara garis besar sifat-sifat
khas sastra Pujangga Baru. Dibandingkan dengan sastra Balai Pustaka memang
masih ada beberapa persamaan, terutama dalam hal tendens cerita dan unsur
didaktis yang terdapat di dalamnya. Sastra Pujangga Baru belum terlepas dari
masalah tendens, lebih-lebih karangan Sutan Takdir Alisjahbana.
ANGKATAN
80 DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUJANGGA BARU
1.
Angkatan 80
dan Tokoh-Tokohnya
Pada tahun 1880 di negeri Belanda tampil
beberapa orang pengarang yang berusaha untuk mengadakan pembaharuan di bidang
kebudayaan. Sesuai dengan tahun munculnya, gerakan itu disebut Gerakan 80 (de
Tachtigers Baweging). Tokoh dari gerakan itu ialah Willem Kloos, Yacques Perk,
Frederik van Eeden, Albert Verwey, Herman Gorter, dan Lodewyk van Deyssel.
Mereka menerbitkan majalah bernama De
Nieuwe Gids artinya Pandu Baru, yang terbit pada tahun 1885. Nama itu
sebagai pertentangan dengan majalah yang sudah terbit sebelumnya yang bernama De Gids (Pandu) pada Tahun 1840 yang
diusahakan oleh Potgieter, Busken Huet, dan Vosmaer. De Gids dapat dipandang sebagai jembatan antara sastra pendeta
(sastra domine) dengan sastra Angkatan 80. Angkatan 80 bertentangan dengan
sastra pendeta yang dipandang sebagai sastra yang bersifat lamban.
Tokoh-tokoh Angkatan 80 mencari ilham bagi
karangan-karangannya dari negeri-negeri sekitarnya, seperti yang dilakukan oleh
tokoh-tokoh Pujangga Baru. Puisi Angkatan 80 banyak menerima pengaruh dari
aliran romantik di negeri Inggris yang berkembang pada permulaan abad ke-19,
sedangkan prosanya menerima pengaruh naturalisme di negeri Prancis. Akan
tetapi, di dalam Angkatan 80 aliran romantik lebih kuat berkembang dan itu pula
yang banyak mempengaruhi corak sastra Pujangga Baru.
Di dalam perkembangannya kemudian muncullah
semacam perpecahan di dalam tubuh angkatan itu, yaitu antara golongan
WillemKloos dengan golongan Albert Verwey. Golongan Albert Verwey tidak
menyetujui paham Willem Kloos yang terlalu individualistis dan terpisah dari
masyarakat. Perasaan romantik Willem Kloos berupa cinta pada keindahan yang
berlebih-lebihan. Willem Kloos berkata bahwa seni harus berupa pengungkapan
yang paling individual tentang emosi yang paling individual (de aller individueelste espressie van de
aller – individueelste emotie). Seni bagi Willem Kloos bersifat sangat
subjektif, individual dan asosial. Yang harus dikemukakan dalam seni adalah
keindahan semata-mata. Lodewyk van Deyssel sebagai kelompok Willem Kloos
bersemboyan bahwa seni adalah kegairahan (kunst
is passie). Bagi mereka keindahan menjadi tujuan penciptaan seni. Seni
tidak lagi memedulikan ukuran-ukuran kesusilaan, tidak lagi untuk memberikan
pendidikan, tetapi semata-mata demi keindahan. Seni untuk seni (I’art port I’art).
Golongan Albert Verwey tidak setuju dengan
paham Willem Kloos yang terlalu individualistis itu, yang memuja-muja
keindahan, tetapi lepas dari kehidupan masyarakat. Seni harus sesuai dengan
tujuan kehidupan yang tidak memisahkan diri dari masyarakat. Frederik van Eeden
mengatakan bahwa seorang penyair yang tidak berbicara kepada orang banyak, dia
bukan apa-apa.
Golongan atau kelompok itu akhirnya
terpecah-pecah pula. Masing-masing dengan dasar dan tujuan sendiri. Willem
Kloos tetap meuja keindahan secara berlebih-lebihan, sifatnya terlalu
individualistis. Lodewyk van Deyssel semula memuja perasaan, kemudian makin
bersifat naturalistis. Frederik van Eeden berusaha mencari kebenaran terutama
dari dasar keagamaan, sedangkan Albert Verwey dari filsafat. Herman Gorter
akhirnya menjadi seorang komunis bersama-sama dengan seorang pengarang wanita
terkenal yang bernama Henriette Roland Holst.
2.
Perbedaan
dan Persamaan antara Pujangga Baru dengan Angkatan 80
Di atas sudah dikemukakan, bahwa ada dua
alasan pokok yang menyebabkan Pujangga Baru mendapat pengaruh dari Angkatan 80,
yaitu: (a) adanya semangat hidup yang sama, dan (b) kebetulan bangsa kita pada
masa itu di bawah kekuasaan pemerintah Belanda.
Adanya pengaruh dari sastra asing bukan suatu
kelemahan, tetapi bahkan menunjukkan adanya suatu kehidupan yang dinamis, yang
menuju pada perkembangan dan kemajuan. Menerima pengaruh bukan berarti menelan
dan menerima begitu saja sesuatu unsur baru, melainkan mengolah dan menempa
unsur baru itu sesuai dengan pribadi sendiri. Antara kedua angkatan itu tetap
tampak adanya perbedaan dan persamaan.
Perbedaan antara Pujangga Baru dengan
Angkatan 80 adalah sebagai berikut:
a.
Pada umumnya
Angkatan 80 mengutamakan unsur estetis yang murni, sedangkan pujangga Baru
umumnya lebih mengutamakan unsur tujuan sosial yang jelas. Hal ini disebabkan
umumnya pengarang-pengarang Angkatan 80 lebih menekankan tujuan seni, sedangkan
Pujangga Baru lebih menekankan tujuan kemasyarakatan.
b.
Sebagian
besar pengarang Pujangga Baru menolak sifat individualisme yang dianut oleh
beberapa pengarang Angkatan 80 yang tidak mempunyai corak kemasyarakatan sama
sekali, dan juga membuang ciri naturalisme pada angkatan itu yang tidak
mempunyai tujuan-tujuan yang nyata. Hal ini disebabkan pengarang-pengarang
Pujangga Baru menyadari bahwa mereka menjadi anggota masyarakat dan ingin
merombak masyarakat bangsanya dari masyarakat yang lama dengan kesusastraannya
yang statis menjadi masyarakat yang dinamis dengan kesusastraannya yang dinamis
pula.
Akan tetapi, akhirnya perbedaan kedua
angkatan tersebut menjadi nerkurang juga apabila kemudian ternyata bahwa
cita-cita kemasyarakatan masuk juga pada Angkatan 80 (Frederik van Eeden,
Herman Gorter, dan sebagainya); dan sebaliknya asas seni untuk seni masuk juga
pada Pujangga Baru (Sanusi Pane) walaupun penafsirannya berbeda dengan seni
untuk seninya Willem Kloos.
Adapun persamaan antara kedua angkatan itu
ialah sebagai berikut:
a.
Keduanya
menentang sastra sebelumnya yang sudah merosot nilainya dan yang penuh
konvensi-konvensi. Pujangga Baru menentang sastra Melayu klasik yang dirasa
statis dan beku; sedangkan Angkatan 80 menentang sastra domine (pendeta) yang
dirasa sangat lamban.
b.
Di dalam
usahanya mencari pengucapan yang baru, keduanya mencari contoh dari luar
negeri. Pujangga Baru mendapat pengaruh dari Angkatan 80, sdangkan Angkatan 80
mendapat pengaruh pula dari Inggris (terutama pada puisinya) dan dari Prancis
(terutama pada prosanya).
Penyair Pujangga Baru yang banyak terpengaruh
oleh Willem Kloos, misalnya J.E. Tatengkeng yang pernah menulis puisi yang
khusus ditujukan untuk memperingati pujangga baru Angkatan 80 tersebut. Sanusi
Pane tampaknya terpengaruh dalam sikap pendirian tentang asas seni untuk seni,
walaupun pengertian dan penafsirannya berlainan. Sutan Takdir Alisjahbana
sejajar dengan Lodewyk van Deyssel terutama dalam hal tulisan-tulisannya yang
penuh dinamika dan berapi-api.
PUJANGGA
BARU SEBAGAI ALIRAN KEBUDAYAAN
Seperti kita
ketahui, bahwa pengarang-pengarang Pujangga Baru merupakan satu ankatan dan
memungkinkan mereka bekerja sama karena mereka terikat oleh cita-cita yang
sama, yaitu cita-cita hendak membangun kebudayaan baru dan dinamis, kebudayaan
persatuan kebangsaan Indonesia. Akan tetapi, tentang rupa (wujud) kebudayaan
baru itu dan bagaimana cara mendirikannya antara yang seorang berbeda dengan
yang lain. Cita-cita mereka sama, tetapi bagaimana cara mewujudkan cita-cita
itu mereka berbeda-beda. Perbedaan itu tampak jelas dari sikap dan pendirian
dari tiga tokoh Pujangga Baru, yaitu Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan
Armijn Pane. Secara ringkas berikut ini adalah sikap pendirian mereka.
1.
Pembentukan
Kebudayaan Baru menurut Sutan Takdir Alisjahbana (STA)
Sebelum menguraikan bagaimana mewujudkan
kebudayaan Indonesia yang baru, STA terlebih dahulu mengemukakan bahwa sejarah
Indonesia baru dimulai dalam abad ke-20, ketika lahir suatu generasi yang
benar-benar memiliki perasaan dan semangat keindonesiaan. Sebelum itu adalah
zaman pra-Indonesia, zaman jahiliyah keindonesiaan. Zaman Indonesia bukan
sambungan atau terusan yang biasa dari zaman pra-Indonesia yang hanay mengenal
sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah Banjarmasin, dan lain-lain.
Kebudayaan Indonesia juga bukan sambungan
dari kebudayaan Jawa, kebudayaan Sunda, dan lain-lain. Kebudayaan Indonesia
bersifat statis sehingga tidak boleh berperan dalam pembangunan kebudayaan
Indonesia yang baru.
Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa
dalam kebudayaan Indonesia yang sedang tumbuh itu tidak terdapat unsur
pra-Indonesia. Unsur itu pasti ada, hanya mendapat arti lain. Masyarakat dan
kebudayaan Indonesia yang akan kita tuju harus bersifat dinamis karena
masyarakat yang dinamislah yang dapat maju. Bangsa Barat dapat maju karena
memiliki sifat dinamis dengan unsur-unsur kebudayaan yang terdiri dari: individualisme, meterialisme, dan intelektualisme.
Jika ingin maju, bangsa Indonesia harus
memiliki unsur kebudayaan itu, dan kita tidak perlu takut akan ekses-ekses
negatif yang mungkin timbul karena unsur-unsur itu, misalnya timbul egoisme,
kapitalisme, dan liberalisme karena perkembangan Indonesia belum sejauh itu.
Jadi, untuk membentuk kebudayaan Indonesia yang baru, kita harus mengambil
unsur-unsur kebudayaan barat, sebab unsur-unsur itulah yang membuat bangsa
menjadi maju dan dinamis.
Kiranya perlu juga ditambahkan bagaimana
pendapat STA tentang perkembangan kebudayaan Indonesia. Pendapat itu jelas pada
pidato Wisuda Pengukuhan Anggota-Anggota Akademi Jakarta pada tanggal 24
Agustus 1970 yang berjudul Perkembangan
Seni Indonesia dalam Masyarakat Kebudayaan yang Sedang Tumbuh. Dalam
pidatonya itu, STA menilai kebudayaan bangsa kita merupakan suatu kebudayaan
yang masih dikuasai oleh nilai-nilai seni dan agama. Karena agama dan seni
ekspresi mempunyai kedudukan yang penting, kebudayaan seperti itu disebut
kebudayaan ekspresif. Kebudayaan ekspresif lebih banyak berdasarkan perasaan,
intuisi, fantasi, dan tradisi sehingga ilmu dan ekonomi yang lebih banyak
berdasarkan akal dan perhitungan-perhitungan tidak mengalami perkembangan yang
maju. Kebudayaan ekspresif menjadi bersifat lamban dan tradisional.
Sebaliknya, kebudayaan modern yang berkembang
pesat dewasa ini terutama dikuasai oleh nilai-nilai ilmu dan ekonomi.
Kebudayaan ekspresif membawa masyarakat suatu bangsa menjadi kaya akan
nilai-nilai di bidang rohani, tetapi terbelakang di bidang kemajuan teknik dan
kemakmuran materi. Demikian juga sebaliknya yang terjadi. Bangsa kita bertekad
maju di bidang teknik dan ekonomi sehingga sehingga menjadi suatu keharusan
adanya persentuhan antara kebudayaan progresif dengan kebudayaan ekspresif yang
hakikatnya mengalami krisis.
Dengan demikian, kebudayaan kita sekaligus
mengalami dua krisis, yaitu dari tradisi ke dunia modern dan krisis dari dunia
modern ke dunia baru yang sedang tumbuh yang merupakan perpaduan kembali
kebudayaan progresif dengan kebudayaan ekspresif.
Dalam keadaan terombang-ambing antara dua
krisis itu, ada kemungkinan kita melompatkan kebudayaan ekspresif sekaligus
pada perpaduannya dengan kebudayaan modern yang progresif yang penuh dengan
dinamika.
Dengan pendapat tersebut, tampaknya STA
benar-benar menyadari betapa pentingnya peranan nilai-nilai rohani dalam
pembangunan kebudayaan yang akan datang.
2.
Pembentukan
Kebudayaan Baru menurut Sanusi Pane
Pertama-tama, Sanusi Pane tidak dapat
menyetujui pendapat STA yang mengatakan bahwa zaman Indonesia tidak boleh
dianggap sebagai sambungan atau terusan zaman pra-Indonesia. Sanusi Pane
berpendapat bahwasejarah itu ibarat suatu mata rantai ketika-ketika, yang
timbulnya dari yang di belakangnya. Zaman Indonesia sudah ada sejak dahulu.
Kemudian tentang pembentukan kebudayaan baru,
Sanusi Pane berpendapat bahwa di dalam kebudayaan Indonesia baru yang akan
dibentuk itu harus dipertemukan unsur-Tunsur kebudayaan Timur. Unsur-unsur
kebudayaan Timur oleh Sanusi Pane dilambangkan dengan Arjuna, seorang tokoh di
dalam perwayangan yang bersedia mengorbankan dirinya untuk memperoleh keluhuran
budi. Unsur-unsur kebudayaan timur itu berupa: (a) kolektivisme (yang mengutamakan kehidupan bersama); (b) spiritualisme (yang mengutamakan
kerohanian); (c) perasaan.
Kebudayaan Barat oleh Sanusi Pane
dilambangkan dengan Faust, seorang tokoh mitologi dalam sastra Barat (karangan
Goethe); yang bersedia mengorbankan dirinya asal menguasai materi.
Kebudayaan baru yang kita bentuk itu harus
merupakan perpaduan (kesatuan) antara Faust dan Arjuna, harus memesrakan
individualisme, materialisme, dan intelektualisme dengan kolektivisme,
spiritualisme, dan perasaan atau merupakan perpaduan antara unsur-unsur
kebudayaan Barat dengan kebudayaan Timur.
3.
Pembentukan
Kebudayaan Baru menurut Armijn Pane
Armijn Pane berpendirian bahwa sifat dinamis
itu bukan monopoli bangsa Barat saja. Setiap bangsa pada suatu ketika mengalami
sifat dinamis itu; seperti halnya bangsa kita di masa kejayaan Kerajaan
Majapahit.
Kecuali itu, setiap bangsa mempunyai garis
pertumbuhan masing-masing dan memiliki unsur-unsur kebudayaan sendiri yang
belum tentu dapat diambil oleh bangsa lain. Kita hanya dapat mengambil unsur
kebudayaan bangsa lain yang sesuai dengan garis pertumbuhan kebudayaan sendiri,
baik dari Barat, dari Timur, maupun dari mana saja.
Menurut Armijn Pane, di dalam membangun kebudayaan
Indonesia yang baru kita harus bebas mengambil unsur-unsur kebudayaan mana
saja, asal sesuai dengan garis pertumbuhan kebudayaan sendiri.
ASAS
SENI PADA PUJANGGA BARU
Masalah yang
dipersoalkan adalah tentang seni bertendens dan seni untuk seni (I’art pour I’art). Ada pengarang
Pujangga Baru yang condong pada asas seni bertendens dan adapula yang
sebaliknya.
Asas seni
bertendens maksudnya mencipta seni dengan suatu tujuan tertentu. Keindahan
cipta seni itu menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut. Asas seni untuk
seni memandang tujuan pokok penciptaan seni ialah keindahan. Keindahan menjadi
tujuan, bukan alat. Apakah seni tersebut dimengerti oleh masyarakat, berguna
atau tidak bagi masyarakat, tidak menjadi soal. Seni bersifat otonom,
ukuran-ukuran di luar seni tidak dapat dipergunakan untuk menilai suatu karya
seni. Kehidupan seni terpisah dari kehidupan masyarakat.
Bagaimana
asas seni yang baik dan tepat bagi pembentukan kebudayaan Indonesia yang baru,
para pengarang Pujangga Baru berbeda-beda pendapat.
1.
Asas Seni
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutan Takdir Alisjahbana sama sekali tidak
menolak asas seni untuk seni karena ia menyadari bahwa seni untuk seni dapat
menghasilkan karya seni yang tinggi nilainya. Akan tetapi, karena bangsa
Indonesia sedang dalam masa perjuangan untuk membentuk kebudayaan yang baru
maka tiap seniman sebagai anggota masyarakat harus ikut serta dalam perjuangan
itu. Tiap seniman harus bila memilih mana yang bermanfaat bagi bangsanya dan
mana yang tidak. Bagi STA, perjuangan bangsa lebih tinggi nilainya daripada
sekedar cita-cita seni yang hanya mengabdi kepada kehidupan semata-mata.
Menurut STA, keindahan adalah alat yang dijelmakan agar isi karya seni itu
lebih menarik dan lebih mudah diresapi oleh masyarakat. Dengan keterangan ini,
jelas STA berpendirian seni bertendens. Tiap hasil seni harus memberikan
manfaat bagi masyarakat bangsanya.
Seni untuk seni walaupun mampu menghasilkan
seni yang tinggi nilainya, kebanyakan hanya menghasilkan seni yang kosong,
tidak berjiwa, dan tidak berguna bagi masyarakat. Karena STA lebih menekankan
kegunaan atau bertendens daripada keindahan semata-mata maka ia sering disebut
sebagai utilitarian. Asas seni
bertendens STA ini tampak jelas pada beberapa karya sastra yang dihasilkan,
terutama novelnya yang berjudul Layar
Terkembang, yang terkenal sebagai novel bertendens.
Sikap STA yang lebih mengutamakan kegunaan
suatu karya seni daripada unsur keindahannya, tampak pada kritiknya terhadap
novel Belenggu Armijn Pane dan drama Sandyakalaning Majapahit Sanusi Pane.
Novel Belenggu
yang ditutup dengan kalimat terakhir yang berbunyi: “Pintu ke manakah itu?”; dirasakan oleh STA sungguh-sungguh sebagai
suatu kesangsian sehingga novel tersebut dinilai sebagai defaitistis dan
deterministis, putus asa dan menyerah pada takdir (nasib).
Demikina juga pendapat STA tentang drama Sandyakalaning Majapahit, yang terdapat
dalam novel Layar Terkembang. Dengan
melalui mulut Tuti ia mengatakan drama itu bagus, tetapi kelemahannya itu
melemahkan hati dan tenaga karena drama itu mengandung filsafat Budha yang
menganggap kebahagiaan itu hanya dapat dicapai di nirwana, bukan di dunia ini.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa STA
sebagai penganut seni bertendens lebih mengutamakan isi daripada bentuk, lebih
mengutamakan keguanaan daripada keindahan melulu.
2.
Asas Seni
Sanusi Pane
Pada mulanya Sanusi Pane menolak asas seni
untuk seni karena sikap itu timbul dari sikap individualisme yang terlepas dari
kehidupan dan kepentingan masyarakat. Akan tetapi, dalam tulisan-tulisannya
Sanusi Pane mengarah pada asas itu. Ia berpendapat bahwa seni bersifat otonom.
Dalam mencipta seni seorang pujangga harus bersatu dengan seluruh kosmos dan
dengan seluruh kemanusiaan. Dalam penjelasannya ia mengatakan
“Pada detik mencipta seniman bersatu dengan
alam dan kemanusiaan. Karena seniman bersatu dengan alam dan karena derita
serta bahagia, cita-cita, kebimbangan dan harapan kemanusiaan hidup dalam
seniman, maka hasil seni yang diciptakannya dengan sendirinya lahir sehingga
hasil seni itu tidak mempunyai tendens. Seniman tidak memedulikan moral dan
kegunaan hasilnya karena dia berasal di
atas segala moral dan tujuan. Ini tidak berarti seniman menentangnya, tetapi
seniman mengatasinya, karena ia merasa satu dengan alam dan kemanusiaan.”
Memang untuk memahami asas seni Sanusi Pane
orang harus mengerti paham filsafatnya unio
mistika, yaitu ingin bersatu mesra dengan seluruh jagat raya ini.
Dengan demikian, jelas bahwa asas seni untuk
seni Sanusi Pane terutama didorong oleh pafam filsafat unio mistika dan juga oleh keinginannya agar seni tidak menjadi
alat semacam propaganda. Berlainan halnya dengan seni untuk seni William Kloos
yang terutama disorong oleh sikap individualismenya yang keterlaluan.
Memang Sanusi Pane menolak sikap yang hanya
mementingkan keindahan melulu dan mengabaikan segala susila dan kemajuan dunia.
Akan tetapi, ia pun menolak seni yang hanya tinggal pada susila dan tendens
saja, sebab yang demikian itu bukan lagi bernama seni.
Sanusi Pane pernah mengatakan bahwa ia
menolak seni untuk seni, tetapi akhirnya ia kembali pada asas itu. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa asas seni untuk seni Sanusi Pane berpangkal
pada dasar pikiran, agar dalam penciptaan seni tidak ada pemerkosaan ide yang
semata-mata diabdikan untuk sesuatu maksud tertentu sehingga penciptaan itu
tadak wajar lagi. Penciptaan seni harus wajar sesuai dengan hakikat seni,
mengatasi segala susila dan segala tujuan.
Tentang hubungan isi dan bentuk, sebagai
seorang yang cenderung pada asas seni untuk seni, Sanusi Pane pada mulanya
lebih mengutamakan bentuk dari pada isi. Hasil ini tercermin pada puisinya
berikut ini.
Di mana harga karangan sajak
Bukan di dalam maksud isinya
Dalam bentuk kata nan rancak
Di cari timbang dengan pilihnya
(“Sajak” – Puspa Mega)
Akan tetapi, kemudian ia berganti pendirian;
dan ini tampak pada puisinya yang berjudul “Sajak” juga, yang termuat pada
kumpulan puisinya Madah Kelana.
O, bukannya dalam kata yang
rancak
Kata yang pelik kebagusan sajak
O, pujangga, buang segala kata,
Yang kan Cuma mempermainkan mata,
Dan hanya dibaca selintas lalu,
Karena tak keluar dari sukmamu.
(“Sajak” – Madah Kelana)
Jadi, kesimpulannya dalam hal bentuk dan isi,
akhirnya Sanusi Pane menghendaki adanya bentuk yang benar-benar wajar sesuai
dengan jiwa seniman itu, bukan bentuk yang kosong dan juga bukan yang
dipaksa-paksakan.
3.
Asas Seni
Armijn Pane
Armijn Pane tidak dengan tegas mengatakan
pendapatnya tentang seni untuk seni atau seni bertendens. Dalam tulisannya pada
Pujangga Baru th. I. No. 1 Juli 1933 ia
mengatakan, “Begitulah kami bukan abdi seni, yang hanya bersifat seni
semata-mata, tetapi kami abdi seni, yang
sebagai salah satu abdi masyarakat, harus mengabdikan diri kepada masyarakat.”
Dengan keterangan itu maka dalam penciptaan
seni Armijn Pane tidak semata-mata mengabdi pada keindahan, tetapi keindahan
itu harus bermanfaat pada masyarakat. Rupa-rupanya ia berusaha untuk berdiri di
tengah kedua asas seni tersebut.
Demikian pula pendapatnya tentang hubungan
isi dan bentuk. Meskipun ia berdiri di tengah, tersa ia masih lebih menekankan
pentingnya isi dari pada bentuk. Dikatakan oleh Armijn Pane, “Yang paling
penting kepada kita adalah isi sajak atau karangan. Rupa dan bentuknya hanya
penolong yang akan menyatakan dan akan menarik perhatian kepada isinya itu.
Dalam pada itu, rupa dan bentuknya tiada boleh disia-siakan, sebab isinya tiada
akan berharga apabila rupa dan bentuknya tiada sepadan adanya.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
Armijn Pane memandang isi lebih penting daripada bentuk, tetapi bentuk itu
sendiri tidak boleh diabaikan. Bentuk bertalian erat dengan isi. Pendapat ini
bersesuaian dengan pendapatnya tentang asas seni. Di bandingkan dengan dua
pendapat tokoh Pujangga Baru yang lain terasa bahwa pendapat Armijn Pane lebih
dekat dengan pendapat Sutan Takdir Alisjahbana daripada pendapat Sanusi Pane.
4.
Asas Seni
J.E. Tatengkeng
Bagaimana pendapat J.E. Tatengkeng tentang
asas seni? Berikut ini kutipan dari sebagain karangannya yang berjudul Maksud dan Kemajuan Seni yang dimuat
dalam majalah Pujangga Baru th. III. No.
1 Juli 1935. Dalam menghadapi pertentangan antara asas seni bertendens
dengan seni untuk seni, J.E. Tatengkeng berpendirian:
“Kebenaran dalam hal ini –seperti pada banyak
hal yang lain– adalah terdapat di tengah-tengahnya; atau dengan kata lain,
dalam ketajamannya, kedua pendirian itu mengandung kebenaran.
Kita tidak boleh menjadikan seni itu Allah,
tetapi sebaliknya janganlah kita menjadikan seni itu alat semata-mata. Seni
harus tinggal seni.
Dalam pada itu, seni selalu lahir dan tumbuh
dalam masyarakat, pergaulan; ia berbentuk dalam alam, ia berwujud dalam waktu.
Sepetutnya ia memberi buah kepada masyarakat dan pergaulan.”
Kutipan di atas menunjukkan bahwa J.E.
Tatengkeng berdiri di antara dua pertentangan itu. Ia tidak setuju dengan
pendirian yang menganggap seni itu seperti Allah (seperti dikemukakan oleh
Yaques Perk), yang memuji keindahan itu
secara berlebih-lebihan. Sebaliknya ia pun tidak dapat menerima pendapat yang
memandang seni itu hanya sekedar alat untuk mencapai suatu tujuan. Akan tetapi,
apabila kita teliti dengan benar-benar kutipan di atas dan juga beberapa cipta
sastra yang dihasilkan, tampak bahwa J.E. Tatengkeng dalam usahanya berdiri di
tengah masih terasa kecenderungan asas seni untuk seni. Ia hanya mengatakan
seni ituepatutnya” memberi buah kepada masyarakat, bukan kewajiban dan
keharusan.
PARA
PENGARANG PUJANGGA BARU
Di dalam
buku antologiya yang berjudul Pujangga
Baru: Prosa dan Puisi, H.B. Jassin telah mencoba mengumpulkan beberapa
tulisan dari beberapa pengarang Pujangga Baru. Kecuali lima tokoh penting
Pujangga Baru seperti STA, Sanusi Pane, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Moh.
Yamin, terdapat nama-nama pengarang M. Taslim Ali, Sutomo Jauhar Arifin, L.K.
Bohang, M.R. Dayoh, Hamidah, Rustam effendi, Asmara Hadi, A. Hasymi, Mozasa,
Suman Hs., Yogi, dan lain-lain.
Bila deretan
nama pengarang itu kita bandingkan dengan nama-nama pengarang dalam
penggolongan yang dilakukan oleh Teeuw dalam bukunya Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru, maka terdapat
beberapa perbedaan. Hamidah, I Gusti Nyoman Panji Tisna, Suman Hs., yang oleh
Teeuw digolongkan ke dalam pengarang
Balai Pustaka, oleh Jassin dimasukkan ke dalam golongan pengarang Pujangga
Baru. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan Teeuw mwmpwrgunakan ukuran-ukuran
yang keras dalam menilai hasil-hasil karya sastra ketiga pengarang tersebut
belum jelas membawakan aspirasi pembaharuan. Memang setiap penggolongan pada
umumnya tidak bersifat mutlak. Perbedaan pendapat selalu mungkin terjadi,
terutama pada hal-hal yang ada di batas penggolongan.
Beberapa
pengarang Pujangga Baru secara ringkas dibicarakan berikut ini.
1.
Sutan Takdir
Alisjahbana
Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Natal,
Tapanuli, 11 Pebruari 1908. Ia pernah bekerja sebagai redaktur kepala di Balai
Pustaka pada tahun 1930. Oleh Teeuw, pengarang ini dilukiskan sebagai orang
yang banyak memiliki keahlian dan kecakapan: pengarang novel, pengarang esai,
pengarang tata bahasa, pengarang filsafat, penyair, ahli hukum, ahli
kebudayaan, seorang usahawan, dan juga seorang politikus yang sadar
memperjuangkan kemajuan bangsanya. Banyaknya kecakapan itu sering berakibat
pekerjaan menjadi kurang tetap mutunya dan sering tidak mendalam pula. Sebagai
usahawan ia memimpin percetakan dan penerbitan Pustaka Rakyat, dan tiga majalah
yang pernah di bawah asuhannya ialah Pembina Bahasa Indonesia, Pujangga Baru,
dan Ilmu Teknik dan Hidup. Sesudah Pujangga Baru menghentikan penerbitannya, ia
menerbitkan majalah Konfrontasi, yang tidak lama usianya.
Hasil karangan STA seluruhnya ialah, yang
berupa novel: Tak Putus di Rundung Malang
(1929); Dian yang Tak Kunjung Padam (1932);
Anak Perawan di Sarang Penyamun (1932);
Layar Terkembang (1936); Grotta Azzura: Kisah Chinta dan Chita
(tiga jilid, 1970-1971). Yang berupa kumpulan puisi: Tebaran Mega (1936). Berupa kumpulan esai tentang bahasa Indonesia:
Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa
Indonesia (1957). Berupa antologi (bunga rampai): Puisi Lama (1940); Puisi Baru
(1946); Pelangi. Berupa
terjemahan: Nelayan di Lautan Utara
(terjemahan dari Pecheurs d’Islande karangan
Picerro Loti); Nyanyian Hidup (terjemahan
dari The Song of Life karangan
Krishnamurti); Kurban Manusia (terjemahan
dari Niku-Dan karangan Tadayeshi
Sakurai diterjemahkan bersama Subadio Sastrosatomo).
Selain yang tersebut di atas, ia juga menulis
beberapa karangan yang tidak langsung berhubungan dengan bahasa dan sastra,
antara lain yaitu Tata Bahasa Baru Bahasa
Indonesia (dua jilid), dan Pembimbing
ke Filsafat. Dari semua kegiatannya itu, STA terutama penting sebagai
pengarang novel dan pengarang esai, sedangkan sebagai penyair ia tidak begitu
berarti.
Novelnya yang pertama Tak Putus di Rundung Malang ditulis ketika ia masih duduk di bangku
sekolah lanjutan atas. Ceritanya melukiskan penderitaan hidup kakak beradik
yang menjadi yatim piatu ketika mereka masih kecil. Karena tidak tahan hidup
bersama dengan pamannya, kemudian mereka pergi ke Bengkulu. Di sanapun mereka
mengalami berbagai kemalangan. Lasinah bunuh diri ketika Mansur, abangnya,
masuk penjara karena tuduhan palsu. Sesudah keluar dari penjara Mansur menjadi
seorang pelaut, sekedar menunggu ajal, karena adiknya yang dicintainya sudah
meninggal. Akhirnya, Mansur menemui ajalnya jatuh tenggelam di laut di tempat
adiknya meninggal dahulu.
Novelnya yang kedua Dian yang Tak Kunjung Padam menceritakan kegagalan cinta kasih
karena perbedaan darah dan kedudukan. Yasin dan Molek saling mencintai. Yasin
anak orang kebanyakan lagi miskin, sedangkan molek anak bangsawan dan kaya
pula.larangan orang tua Yasin ditolak dan Molek dipaksa kawin olah orang tuanya
dengan seorang Arab yang kaya. Setelah gagal usahanya untuk melarikan Molek,
Yasin mengasingkan diri hidup sebagai setengah pertapa jauh dari pergaulan
masyarakat. Yasin merasa terobati hatinya ketika kemudian ia berhasil
melindungi seorang pemuda yang melarikan gadis kekasihnya.
Novel yang ketiga Anak Perawan di Sarang Penyamun mengisahkan nasib seorang gadis,
Sayu namanya, yang jatuh di tangan kawanan penyamun. Walaupun setahun lebih ia
hidup bersama dengan orang-orang kasar itu, ia tetap suci. Kawanan penyamun itu
akhirnya musnah kecuali pimpinannya yang bernama Medasing. Sayu pulang ke rumah
orangtuanya bersama Medasing, dan ternyata masih sempat melihat senyuman ibunya
yang saat itu sakit keras. Medasing
kembali hidup menjadi orang baik-baik bersama Sayu dan bahkan ia sempat
menunaikan ibadah haji ke Makkah.
Novel Anak
Perawan di Sarang Penyamun dinilai oleh Teeuw sebagai novel yang paling
lemah di antara karangan STA. Isi karangannya tidak mungkin terjadi, misalnya
tentang seorang gadis yang setahun lebih hidup bersama kawanan penyamun, tetapi
tetap suci. Dialog hampir-hampir tidak ada dalam cerita itu.
Dalam sebuah tulisannya Idrus pernah
membantah pendapat Teeuw tersebut, oleh Idrus dikatakan bahwa novel Anak Perawan di Sarang Penyamun merupakan
novel STA yang paling berhasil. Gadis itu tetap suci walaupun setahun lebih
hidup bersama dengan penyamun, hal itu bisa saja terjadi. Sebab, Medasing yang
menjadi pimpinan yang paling disegani di antara kawanan penyamun itu, pada
dasarnya bukan orang jahat. Ia menjadi penyamun karena dibesarkan di lingkungan
penyamun. Ketika masih berumur tujuh tahun, ia jatuh di tangan kawanan penyamun
itu dan dilarikan ke tengah hutan. Ada persamaan nasib antara Medasing dan
Sayu. Jadi, jika Sayu tetap dijaga kesuciannya oleh Medasing, adalah sesuatu
hal yang dapat dimengerti dan mungkin terjadi. Kecuali itu, novel tersebut
memiliki satu keistimewaan, yaitu cara STA melukiskan hutan belantara secara
tepat dan indah sekali. Sedikitnya dialog dalam novel itu bukan suatu
kelemahan, melainkan semata-mata disesuaikan dengan persoalan dan latar
belakang ceritanya.
Novel STA yang paling terkenal adalah Layar Terkembang, suatu novel bertendens
yang sejelas-jelasnya. Isinya menceritakan kehidupan dua orang gadis kakak
beradik yang masing-masing mempunyai sifat dan watak yang berlainan. Maria
sifatnya periang, tidak suka akan pergerakan, dan perbuatannya lebih banyak
dikuasai oleh perasaan. Tuti, kakak Maria, sifatnya berbeda sekali dengan adiknya.
Ia aktif dalam pergerakan wanita dan tindakannya lebih banyak didasarkan atas
pikiran.
Suatu ketika Maria jatuh sakit, dan ternyata
sakit TBC. Oleh karena itu, ia harus dirawat di Sonatarium Pacet. Tuti bersama-sama
Yusuf sering berkunjung ke rumah sakit dan pulangnya sering singgah di rumah
Ratna, istri Saleh, yang sekarang hidup berkebun dan bersawah, walaupun mereka
orang terpelajar.
Penyakit Maria tidak tertolong lagi, dan
sebelum meninggal ia berpesan agar Tuti dan Yusuf dapat hidup berbahagia
sebagai suami istri. Dengan Layar
Terkembang, Tuti siap mengarungi samudera kehidupan bersama Yusuf dengan
berbekal perpaduan pikiran, perasaan, dan perbuatan, berkat pergaulannya dengan
Maria dan Ratna selama ini.
Novel Layar
Terkembang sebenarnya adalah beberapa pemikiran STA yang dijelmakannya
dalam bentuk cerita. Dengan melalui mulut Tuti dikemukakannya pikiran-pikiran
STA tentang peranan dan kedudukan wanita yang mempunyai hak yang sama dengan
kaum pria. Kecuali itu, dikemukakan juga oleh STA tentang pahamnya mengenai
hidup dan kehidupan dunia ini yang berlawanan dengan paham Sanusi Pane.
Layar
Terkembang lazim
disebut sebagai salah satu puncak novel Pujangga Baru di samping Belenggu terutama menarik karena
persoalannya yang dengan jelas dan bahasanya yang sederhana dan lancar.
Pelaku-pelakunya kurang hidup karena harus mengabdi pada tendens yang sudah
ditentukan.
Di dalam karangan-karangannya yang berupa
esai, tampak ketajaman pikiran dan sikap STA yang tegas dengan bahasa yang
meyakinkan dan berapi-api dalam mengemukakan persoalan. Memang ia seorang yang
memiliki vitalisme, semangat hidup yang penuh dengan kegembiraan untuk berjuang
mengabdi pada kemajuan bangsanya. Sebagian esai-esai STA termuat dalam buku Polemik Kebudayaan yang dikumpulkan oleh
Achdiat Karta Mihardja.
Sebagai penyair STA tidak penting.
Satu-satunya kumpulan puisinya berjudul Tebaran
Mega dan ditulis beberapa hari setelah istrinya yang pertama meninggal.
Sebagian besar puisi yang terdapat di dalamnya menjelmakan rasa kesedihan,
walaupun bukan kemurungan yang berlarut-larut.
Apabila diperhatikan benar-benar keseluruhan
karangan STA, pada umumnya tampak adanya beberapa sifat pada karangan-karangan
itu.
a.
Karangan itu
terutama didorong oleh hasratnya untuk berjuang membawa bangsanya ke arah
kemajuan sesuai dengan perkembangan masyarakat modern.
b.
Bahasa yang
digunakan sederhana bersahaja dalam arti mudah dipahami dan meyakinkan.
c.
Sebagian
besar karangannya mengandung suasana kegembiraan dan suasana optimisme. Pada
beberapa puisinya yang mengandung suasana kedukaan karena kematian istrinya
tetap masih tampak sikap STA yang tidak terlepas dari suasana optimisme itu.
2.
Amir Hamzah
Amir Hamzah lahir di Binjai, 28 Pebruari
1911, putra Tengku Muhammad Adil yang menjadi pangeran (wakil sultan) di
Langkat Hulu, berkedudukan di Binjai dan bergelar Bendahara Paduka Raja.
Kemudian atas biaya pamannya yang menjadi Sultan Langkat pada waktu itu, ia
melanjutkan studinya di Pulau Jawa. Walaupun ia memperoleh pendidikan secara Barat,
suasana kehidupan istana yang penuh tradisi dan konvensi itu tidak terlepas
sama sekali.demikian juga dalam karangan-karangannya, ia tidak terlepas dari
unsur Melayu dan unsur lama. Bentuk-bentuk puisinya sebagian besar masih
menyerupai bentuk pantun dan syair. Baris-barisnya tersusun atas
dwi-angga-tunggal dengan sebuah jeda (caesure)
di tengah baris. Misalnya:
Kicau murai / tiada merdu
Pada beta /
bujang Melayu
Himbau pungguk / tiada merindu
Dalam telingaku / seperti dahulu
(Buah Rindu)
Akan tetapi, tidak semua puisinya berbentuk
demikian. Ada uga bait-bait yang kurang atau yang lebih dari empat baris; dan
tiap baris pun tidak selalu terdiri dari
empat kata; ada yang lebih dan ada yang kurang.
Kecuali pada bentuk-bentuk puisinya, unsur Melayu
pada Amir Hamzah tampak juga pada:
a.
Sifatnya
yang suka berhina-hina diri, misalnya untuk menyebut dirinya dipakai kata
kelana, dagang, musyafir hina, fakir, bujang Melayu, dan sebagainya.
b.
Pemakaian
kosa kata dan perbandingan-perbandingan. Kata-kata yang berasal dari Barat
hampir tidak kita dapati dalam karangannya.
c.
Ia tidak
pernah menggunakan bentuk soneta dalam karangan puisinya, walaupun bentuk itu
amat digemari orang pada masa itu.
Memang Amir Hamzah adalah seorang penyair
yang tetap berakar pada yang lama. Sastra asing yang diterjemahkan juga berasal
dari yang lama. Oleh karena itu, Teeuw (1953: 81) mengatakan sebagai berikut:
“Jika betul
dalam kesusastraan Indonesia modern yang lama dapat hidup dalam yang baru
(tetapi hidup secara sesungguh-sungguhnya) nyatalah bahwa hal itu telah
terdapat dalam puisi Amir Hamzah. Rupanya bentuk-bentuk lama itu, bahasa kuno
itu tidak mati bahkan mengandung kekayaan dan serba corak yang menakjubkan.”
Usaha dan kecakapannya untuk menghidupkan
yang lama itu membuktikan bahwa Amir Hamzah seorang penyair yang mempunyai
kedudukan tersendiri dalam sejarah sastra Indonesia. Oleh Jassin ia disebut
sebagai Raja Pujangga Baru. Karangan yang dihasilkannya ialah sebagai berikut. “Sajak
asli 50, sajak terjemahan 77, prosa liris asli 13, dan prosa terjemahan 1, jadi
semua berjumlah 160 tulisan, dalam masa kegiatan 14 tahun (1932-1946)” (Jassin,
1962: 7).
Adapun karangan-karangannya yang telah
dibukukan ialah:
Buah Rindu (kumpulan puisi, 1941). Buah Rindu merupakan kumpulan puisi Amir Hamzah yang pertama;
memuat 25 puisi. Hampir semua puisi dalam kumpulan ini menyatakan rasa
keduakaan karena gelora asmara yang tidak kesampaian. Satu puisi yang mungkin
lepas dari rasa duka ini ialah Balada
Hang Tuah. Puisi-puisi nya dalam Buah
Rindu masih bersifat romantis sentimental, belum ada ketetapan dan
kesimbangan jiwa. Amir Hamzah banyak berdialog dengan alam atau dengan Tuhan
yang belum terarah. Ia mengadukan halnya pada cempaka, mawar, melur, kamboja,
teratai, burung pungguk, bulan purnama raya, atau juga kepada Tuhan. Sementara
itu, bentuk-bentuk puisinya dalam Buah
Rindu masih dekat sekali dengan bentuk pantun dan syair; tidak banyak
variasi.
Nyanyi Sunyi
(Kumpulan Puisi, 1935.) dalam hal
bentuk Nyanyi Sunyi lebih bebas,
lebih mengenal variasi. Hal itu sudah jelas pada puisi yang pertama yang
berjudul Padamu Jua.
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Nada pada puisinya dalam kumpulan ini
menyatakan juga rasa kedukaan dalam kemeranaan. Hampir semua puisi Amir Hamzah
berpangkal pada latar belakang yang sama. Pada waktu Amir Hamzah belajar di
Pulau Jawa, ia menemukan gadis pilihannya. Akan tetapi, kekasih yang
dicintainya itu –bahkan juga studinya—harus ditinggalkannya karena ia dipanggil
pulang oleh Sultan Mahmud, pamannya yang membiayainya selama itu. Ia dikawinkan
dengan putri sultan yang bergelar putri Kamaliah pada tahun 1938. Peristiwa
inilah yang tampaknya merupakan suatu goncangan bagi kehidupan Amir Hamzah.
Tema pokok dalam hampir semua gubahan puisinya berupa cinta kasih yang gagal,
kerinduan pada kekasih, ratapan kesedihan kepada nasibnya, dan akhirnya
penyerahan diri kepada Tuhan.
Berbeda dengan Buah Rindu, puisi-puisinya dalam Nyanyi Sunyi ebih menunjukkan kematangan jiwa, dan Tuhan tempat
memulangkan nasib pun sudah jelas dan tertentu. Sekilas tentang hal ini sudah
tampak dari judul-judul puisinya pada kumpulan itu: Padamu Jua, Permainanmu, Karena Kasihmu, Sebab Dikau, dan
sebagainya. Yang dimaksudkan –Mu dan Dikau pada judul-judul tersebut adalah
Tuhan.
Puisi-puisinya pada Nyanyi Sunyi oleh Chairil Anwar dikatakan sebagai puisi gelap (duistere poezie) sebab puisi-puisi
tersebut tidak akan dapat dipahami sebaik-baiknya tanpa pengetahuan tertentu,
misalnya tentang pengetahuan sejarah dan agama, karena perumpamaan dan
perbandingan yang terdapat di dalamnya diambil dari sejarah dan agama (Islam).
Puisi-puisi pada Nyanyi Sunyi memiliki kecenderungan bersifat mistis religius; dalam
arti tampak adanya hasrat penyair untuk bersatu dengan Tuhannya, walaupun tidak
pernah tercapai sepenuhnya persatuan itu.
Karangan Amir Hamzah yang lain: Setanggi Timur (Kumpulan puisi lama dari
sastra India, Arab, Cina, Parsi, dan sebagainya); Bhagawat Gita (prosa terjemahan); Gitanyali (terjemahan dari karangan Rabindranath Tagore); Sastra Melayu Lama dan Raja-Rajanya (prosa).
3.
Sanusi Pane
Ia lahir di Muara Sipongi, Tapanuli, 14
Nopember 1905. Di dalam beberapa hal, tulisan-tulisan Sanusi Pane menimbulkan
adanya kontradiksi-kontradiksi. Hal ini tampak misalnya pada pendapatnya
tentang bentuk dan isi, masalah pelaksanaan asas seni, dan lain-lain.
Dalam drama Manusia Baru yang bermain di tanah India, pada pengantarnya ia
mengatakan, “Lakon ini mesti ditonton sebagai hasil seni saja. Kalau orang
hendak menarik pelajaran juga daripadanya, dan itu sebenarnya bukan maksud
pengarangnya, karena ia hendak memberi seni saja.” Sebenarnya drama Manusia Baru ini mengandung tendens
juga, yaitu adanya suatu pemikiran agar perselisihan antara buruh dengan
majikan itu dapat diselesaikan dengan damai karena pemogokan itu hanya
merugikan kedua belah pihak.
Adanya pertentangan-pertentangan itu bisa
dimengerti apabila kita kembalikan pada filsafat unio mistika yang dianut oleh Sanusi Pane. Realitas pertentangan
dalam kehidupan ini dilihat dalam persatuannya dengan seluruh kosmos, dalam
kemesraannya dalam hubungan jagat raya.
Sanusi Pane
menulis sudah sejak tahun20-an. Dalam majalah Yong Sumatra, terbitan
tahun 1921 (jadi ia baru berumur 16 tahun) di muat puisinya yang berjudul Tanah Airku. Bentuk dan isinya hampir
tidak berbeda dengan Tanah Air-nya
Moh. Yamin.
Baik dalam kumpulan karangannya yang oertama,
maupun pada kumpulan puisinya yang kemudian, sebagian besar terdiri dari bentuk
soneta dan prosa lirik. Kedua bentuk itu pulalah yang sebenarnya digemari oleh
pengarang-pengarang Angkatan 80 di negeri Belanda, sebagai alat untuk
melahirkan perasaan dan sebagai ciri romantik. Madah Kelana kumpulan puisi Sanusi Pane yang terbit pertama kali tahun
1931, berisi 49 puisi, yang terdiri dari 13 prosa lirik dan 11 bentuk soneta,
sedangkan selebihnya berupa bentuk-bentuk yang mempunyai pola teratur: terzina,
kuartren, kuin, dan lain-lain.satu puisinya yang panjang dalam kumpulan itu
berjudul Syiwa Nataraja, yaitu Syiwa
yang menari dalam api dunia terang benderang, sambil mencipta dan memelihara
alam semesta ini.
Walaupun dalam karangan-karangan Sanusi Pane
tampak adanya pengaruh dari Barat (Angkatan 80 di negeri Belanda), pengaruh
India dan filsafat Budha terasa keras sekali. Pengaruh India ini terlihat dari
pikiran-pikiran yang dikemukakan dalam karangan-karangannya atau pada
judul-judul karangan itu sendiri, misalnya Taj
Mahal, Kepada Krisyna, Di Tepi Jamuna, Candi Mendut, Syiwa Nataraja, dan
sebagainya. India, negara yang pernah dikunjunginya memang banyak berpengaruh
dalam kehidupan jiwa Sanusi Pane. Beberapa karangannya bermain dan berlatar
belakang tanah India, yang oleh Sanusi Pane disebut juga tanah mulia, bahkan
beberapa puisinya digubahnya di “tanah bahagia” itu juga. Pada halaman terakhir
Madah Kelana tertulis “terkarang di
Hindustan dan Jawa 1929-1930”.
Dibandingkan dengan Sutan Takdir Alisjahbana
dan Amir Hamzah, Sanusi Pane memiliki banyak perbedaan, misalnya dalam hal
jumlah karangannya, kedudukannya dalam kehidupan sastra, pandangannya tentang
pembaharuan kebudayaan, dan kedudukannya sebagai penyair.
Perbedaan antara STA dengan Sanusi Pane nyata
sekali. Sanusi Pane adalah antipoda STA. Persoalan yang sama menimbulkan
tanggapan yang lain karena dasar filsafatnya yang berbeda. Sanusi Pane
memandang candi sebagai tempat bernaung untuk mendapatkan kedamaian dan
kebahagiaan di nirwana sebab kebahagiaan dunia tidak akan dapat diperolehnya.
Dikatakan dalam puisinya berikut ini.
Diam hatiku, jangan bercita,
Jangan kau lagi mengandung rasa,
Mengharap bahagia dinia Maya.
Terbang termenung, ayuhai, jiwa,
Menuju kebiruan angkasa
Kedamaian Petala Nirwana
(Candi
Mendut – Madah Kelana)
Sebaliknya, STA memandang candi sebagai
tempat yang merangsang timbulnya dorongan untuk membangun seni baru yang sesuai
dengan kemajuan zaman.
Hatiku tiada rindu kepadamu masa, ketika pendeta meniarap
di hadapan Syiwa, ketika jiwa berbakti
menjelma candi berarca.
Tidak, tidak! Tidak, tidak!
Ya Allah, ya Rabbani, kembalikan ketulusan jiwa bebakti
pembentuk candi kepada umatmu!
Dan aku akan melahirkan seni baru, tidak serupa-sebentuk
ini..., abadi selaras dengan gelora sukma dan
zamanku
(Seni
Baru, di Candi Perambanan – Puisi Baru)
Perbedaan mereka itu tampak juga pada
pandangan simboliknya pada laut. Pada puisinya yang berjudul Menuju Ke Laut STA memandang laut
sebagai lambang kehidupan yang penuh dengan perjuangan, tetapi juga yang
menggembirakan dan mengasyikkan; sedangkan Sanusi Pane dalam puisinya Sungai memandang laut sebagai tempat
istirahat yang aman dan damai sesudah
perjuangan berakhir.
Perbedaan yang lain-lain tentang kedua
pengarang ini sebagian besar sudah dibicarakan pada bagain sebelumnya, misalnya
perbedaan dalam hal konsepsinya tentang kebudayaan, tentang asas seni, dan
tentang masalah hubungan isi dan bentuk.
Jika STA dikenal sebagai seorang pengarang
novel dan esais, Amir Hamzah sebagai seorang penyair, Sanusi Pane terutama
penting sebagai seorang pengarang drama. Pembicaraan tentang drama Sanusi Pane
ini sudah dilakukan oleh Y.U. Nasution dalam buku kritiknya yang berjudul Pujangga Sanusi Pane.
Adapun karangan-karangan Sanusi Pane yang
sudah diterbitkan ialah: Pancaran Cinta
(prosa berirama, 1926); Puspa Mega (kumpulan
puisi, 1927); Madah Kelana (kumpulan
puisi, 1931); Manusia Baru (drama,
1940); Arjuna Wiwaha (terjemahan dari
bahasa Jawa Kuno Kekawin Mpu Kanwa, 1940).
Kecuali itu, beberapa karangannya yang pernah di muat dalam majalah Timbul,
yaitu: Airlangga (drama dalam bahasa
Belanda, 1928); Damar Wulan (gita
pahlawan, bahasa Belanda, 1929); Eenzame
Garudavlucht (drama dalam bahasa Belanda, 1929); Kertajaya (drama dalam bahasa Indonesia, 1932); dan Sandhyakalaning Majapahit (drama dalam
bahasa Indonesia, 1933).
4.
Armijn Pane
Armijn Pane lahir di Muara Sipongi, Tapanuli,
18 Agustus 1908. Dalam tulisan-tulisannya ia memakai nama samaran yang
berbeda-beda, antara lain Adinata, A. Jiwa, A. Mada, A. Panji, Empe, dan
Karnoto. Karangannya meiputi berbagai macam bentuk: novel, drama, puisi, cerpen,
esai, dan bahkan juga karangan tentang tata bahasa. Seperti halnya Nur Sutan
Iskandar, masa kegiatan Armijn Pane
tidak terhenti walaupun usianya telah tua. Ia masih sering menulis
cerpen, beberapa di antaranya pernah di muat dalam majalah Medan Bahasa
(sekarang sudah tidak terbit lagi), meskipun nilai sastranya semakin menurun.
Armijn Pane terkenal terutama karena novelnya
yang berjudul Belenggu (1938). Novel
yang pernah ditolak Balai Pustaka itu, sesudah terbit ternyata mendapat
sambutan yang luas dari masyarakat. Beberapa di antara sambutan-sambutan itu
dimuat pada bagian kitab novel tersebut pada cetakan ketiga. Armijn Pane
menyadari bahwa pa yang dikemukakannya dalam novel itu, dan bagaimana cara
mengemukakan akan banyak menimbulkan reaksi dan tantangan dari masyarakat. Oleh
karrena itu, pada halaman permulaan ditegaskan oleh pengarang, “Kalau keyakinan
sudah jadi pohon beringin, robohlah segala pertimbangan lain-lain.”
Terbitnya novel Belenggu merupakan babak baru dalam sejarah perkembangan novel di
Indonesia. Novel tersebut membawa beberapa hal baru dibandingkan dengan
cerita-cerita novel sebelumnya. Tema ceritanya tidak lagi berhubungan dengan
masalah adat suatu daerah, masalah kawin paksa, masalah Barat dan Timur, atau
masalah pertentangan kaum muda dengan
dengan kaum tua, tetapi berhubungan dengan masalah manusia, yaitu
manusia Indonesia atau manusia pada umumnya.
Plot cerita terutama tidak tersusun atas
rangkaian-rangkaian peristiwa yang tampak pada perbuatan, tingkah laku atau
dialog pelaku-pelakunya, tetapi tersusun atas pikiran-pikiran dan kehidupan perjuangan batin pelaku-pelaku
itu. Oleh karena itu, sepintas lalu novel tersebut sukar diikuti jalan
ceritanya. Tentang ini STA (1961: 6) mengatakan sebagai berikut.
“Pada
hakikatnya Armijn ialah seorang romantikus, yang suka mengembara ddalam
jiwanya, melompat, dengan tiada memedulikan logika dan kausalitet
kejadian.....”
Bahasanya pun lain dari bahasa
karangan-karangan sebelumnya. Bahasa novel Belenggu
mirip dengan bahasa tutur, yang banyak menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa
Indonesia pada umumnya. Teeuw menyebut bahasa Armijn ini sebagai bahasa Melayu
Eropa. Jadi, dalam hal pelaksanaan berbahasa ternyata Armijn lebih bersifat
Barat daripada STA.
Satu hal yang dianggap sebagai sesuatu yang
baru dalam novel tersebut ialah percakapan batin pelaku-pelakunya atau monologue intereieur, meskipun dalam
bentuk yang belum kompleks. Unsur ini memungkinkan pengarang untuk menghadirkan
pelaku-pelaku dalam arti yang sebenarnya, yaitu hidup dalam segala keinginan
dan nafsu-nafsunya.
Di samping itu, ada lagi hal yang membedakan
novel Belenggu dengan novel-novel
sebelumnya, yaitu alur cerita. Akhir cerita Belenggu
bersifat terbuka (open-ended)
artinya penyelesaian cerita sepenuhnya diserahkan kepada pembaca.
Armijn Pane ditempatkan oleh Teeuw sebagai
tokoh penghubung dalam masa peralihan antara Angkatan Pujangga Baru dengan
Angkatan 45, walaupun ia masih berdiri di pihak Angkatan Pujangga Baru.
Penilaian Teeuw tersebut terutama berdasarkan karangan-karangan Armijn yang
berbentuk prosa. Karangan-karangan yang berbentuk puisi tidak menonjolkan
sesuatu yang baru dibandingkan dengan pengarang-pengarang seangkatannya. Bentuk
puisinya sebagian besar mengikuti pola-pola tertentu yang teratur, misalnya
distikon, terzina, kuartren, dan lain-lain.
Novel Belenggu
mengisahkan kehidupan rumah tangga
yang tidak berbahagia karena suami istri masing-masing menurutkan selera hidup
sendiri. Dokter Sukartono terlalu mementingkan urusan pasiennya dan melupakan
istrinya. Sebaliknya, Sumartini, istrinya selalu mementingkan organisasi
sehingga melalaikan kewajibannya sebagai istri. Rokayah atau Nyonya Eni, teman
sekolah Sukartono di MULO dahulu, yang sekarang menempuh jalan sesat, berusaha
memikat dokter Sukartono. Rumah tangga yang gersang itu, memberikan peluang
kepada dr. Sukartono untuk mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan hidup di
rumah Rokayah. Tahu akan suaminya berbuat tidak senonoh, Sumartini melampiaskan
kemarahannya kepada Yah atau Rokayah. Akan tetapi, Sumartini bahkan dibuat
tidak berkutik sebab Yah tahu rahasia hubungan cinta Sumartini dengan Hartono,
sebelum Sumartini kawin dengan Sukartono. Akhirnya, Sumartini minta cerai dan
kemudian pergi ke Surabaya bekerja pada sebuah rumah yatim piatu. Sukartono
pergi ke rumah Yah, tetapi Yah sudah berangkat ke New Caledonie dan hanya
meninggalkan sebuah plat gramafon yang berisi lagu Siti Hayati atau Rokayah
juga. Kemudian Sukartono mengambil keputusan akan menghabiskan waktunya untuk
memperdalam ilmu kedokteran.
Dalam novel tersebut semua pelakunya
terbelenggu. Sukartono terbelenggu oleh sikapnya yang tidak tegas terhadap
istrinya, Sumartini terbelenggu oleh sifatnya yang hendak selalu menang
sendiri, sedangkan Yah terbelenggu oleh nafsunya untuk selalu mendapatkan kenikmatan
hidup. Akan tetapi belenggu itu sudah ada sejak semula karena Sukartono kawin
dengan Sumartini tidak lagi berdasarkan perasaan saling mencintai yang tulus
ikhlas.
Karangan Armijn Pane yang lain adalah
kumpulan cerpen yang berjudul Kisah
Antara Manusia (1953). Dalam kumpulan ini dimuat cerpen Armijn sebelum
perang dan sesudah perang, yang sebagain cerpen-cerpen tersebut pernah dimuat
di majalah, kecuali satu yang memang baru dalam kumpulan itu, yaitu yang
berjudul Imperialis Terpagar.
Karangan-karangan Armijn Pane yang lain
kecuali yang tersebut di atas ialah: Jiwa
Berjiwa (kumpulan puisi, 1939); Ratna
(saduran drama Ibsen Nora, 1943); Sanjak-Sanjak
Masa Muda Mr. Moh. Yamin (1954); Membangun
Hari Kedua (terjemahan Tweede Scheppingsdog karangan Ilya Ehrenburg, 1956);
Jinak-Jinak Merpati (kumpulan drama,
1953); Gamelan Jiwa (kumpulan puisi);
Kort Overzicht van de Moderne Indonesisch
Literatuur (1949); Mencari Sendi Baru
Tatabahasa Indonesia.
Selain pengaruh dari Angkatan 80, pada
beberapa karangan Armijn Pane terasa adanya pengaruh dari Dostojevsky, Maxin
Gorki, Rabindranath Tagore, dan Khrisnamurti.
5.
J.E.
Tatengkeng
J.E. Tatengkeng lahir di Sangihe, 19 Oktober
1907. Dibandingkan dengan pengarang-pengarang Pujangga Baru yang lain ia
memiliki kekhususan, yaitu tentang asal daerahnya dan keyakinan hidupnya. Ia
berasal dari Indonesia Timur, berarti bahasa Indonesia baginya lebih asing dari
pada pengarang-pengarang lain yang umumnya berasal dari Sumatra. Demikian juga
keyakinan hidupnya. Ia beragama Kristen, berbeda dengan kebanyakan pengarang
Pujangga Baru yang lain.
Di antara pengarang Pujangga Baru yang paling
dekat dengan Angkatan 80 ialah J.E. Tatengkeng. Jika van Deyssel bersemboyan Kunts is passie, dan Bilderdijk
bersemboyan Kunts is gevoel, J.E.
Tatengkeng bersemboyan Seni yaitu gerakan
sukma yang menjelma ke indah kata.
Tidak mau diikat erat-erat
Kusuka merdeka mengabdi seni
Kuturut hanya semacam syarat
Syarat gerak sukma seni
Kusuka hidup! Gerakan sukma,
Yang berpancaran dalam mata
Terus menjelma
Ke indah kata
(Rindu Dendam)
Dalam hubungan dengan Angkatan 80 ia pernah
menulis soneta yang berjudul In Memoriam
bagi Willem Kloos dalam majalah nomor peringatan lima tahun Pujangga Baru.
Walaupun pengaruh Angkatan 80 amat jelas pada
J.E. Tatengkeng, antara keduanya terlihat adanya perbedaan-perbedaan seperti
yang dikemukakan oleh Teeuw sebagai berikut.
a.
Jika
puisi-puisi Angkatan 80 umumnya mengandung kemuraman dan kesedihan, puisi-puisi
J.E. Tatengkeng lebih banyak mengandung suasana kegembiraan.
b.
Pada
Angkatan 80 terdapat pertentangan antara agama dengan umat Kristen karena
menurut keyakinan agama, penyair-penyair Angkatan 80 telah durhaka dan takabur
serta menganggap keindahan dan seni sebagai Tuhannya. Pada J.E. Tatengkeng
pertentangan semacam itu tidak ada. Pada puisi-puisinya terpancar sikap penyair
sebagai pemeluk yang taat. Pada puisinya yang berjudul Rindu Dendam ditutup dengan baris terakhirnya yang berbunyi: Seli Deo Gloria. Walaupun demikian, pada
puisinya Perasaan Seni terkesan
kecenderungan memuja seni itu berlebih-lebihan:
Jika kau
datang sekuat raksasa
Atau kau
menjelma secantik juita
Kusedia hati
Akan berbakti
Dalam tubuh
kau berkuasa
Dalam dada
kau bertkhta!
(Rindu
Dendam)
Sastu-satunya kumpulan puisinya yang pernah
diterbitkan ialah Rindu Dendam (1934).
Dalam hal jumlah baris dan jumlah suku kata tiap baris ia lebih bebas daripada
Yamin.tidak adanya terasa kata-kata penyumbat, walaupun bentuknya sebagian
besar tetap sebagai bentuk yang teratur dengan pola persajakan tertentu. Salah
satu kebebasan dalam bentuk teratur tampak pada sonetanya berikut ini.
SEPANTUN LAUT
Duduk di pantai waktu senja
Naik di rakit buaian ombak
Sambil bercermin di air-kaca
Lagi diayunkan lagu ombak
Laut
besar bagi bermimpi
Tidak gerak, tetap berbaring.....
Tapi pandang karang di tepi,
Di sana ombak memecah nyaring.....
Diam dalam gerak,
Gerak dalam diam,
Menangis dalam gelak,
Gelak dalam bermuram.
Demikian
sukma menerima alam,
Bercinta,
meratap, merindu-dendam
(Rindu Dendam)
Sesudah Pereng Dunia II, J.E. Tatengkeng giat
dalam politik dan pemerintahan. Ia pernah menjadi Menteri Pengajaran dalam
Negara Indonesia Timur, kemudian menjadi Perdana Menteri (1949). Sesudah Negara
Kesatuan terbentuk ia pernah ditunjuk menjadi Kepala Jwatan Kebudayaan
Kementerian P dan K di Makassar (1951). Walaupun demikian, kegiatannya di
bidang sastra dan kebudayaan tidak pernah terhenti. Puisi-puisinya banyak di
muat di majalah-majalah Pembangunan, Siasat, Zenith, dan Indonesia.
Dalam sebuah tulisannya yang berjudul Tujuh Tahun Sesudah Wafatnya Chairil Anwar
(Horison no. 41 th. II April 1967) J.E. Tatengkeng berusaha mengadakan
penilaian kembali terhadap puisi-puisi Chairil Anwar. Tujuh puluh puisi Chairil
Anwar yang oleh Jassin dikatakan sebagai puisi asli, menurut penyelidikan J.E.
Tatengkeng dua di antara puisi-puisi itu ternyata berupa plagiat dalam bentuk
saduran, yaitu puisi Di Mesjid saduran
dari De Waanzinnigie gubahan Yan H.
Eekhout dan puisi Taman saduran dari De Tuin ciptaan Anthonie Donker.
J.E. Tatengkeng sebagai penyair memang tidak
produktif, berhubung dengan perhatiannya yang meliputi berbagai macam kegiatan.
Akan tetapi, dalam deretan Pujangga Baru ia termasuk penyair yang penting
karena memiliki berbagai kekhususan, baik tentang dirinya maupun tentang
puisi-puisinya. Dalam perkembangan sastra Indonesia ia menjadi lebih penting
lagi karena kepenyairannya tidak terhenti dalam usia yang bertambah lanjut.
6.
Hamidah
Nama sesungguhnya ialah Fatimah Hasan Delais.
Ia lahir tahun 1914 dan meninggal pada 8 Mei 1953 di Palembang. Ia pernah
menjadi pembantu majalah Pujangga Baru dari Palembang. Ia pengarang wanita dari
Pujangga Baru. Namanya menjadi penting karena pengarang dari kaum wanita pada
masa itu belum banyak, dan karangan Hamidah memang mempunyai corak khusus.
Satu-satunya novel yang pernah diterbitkan berjudul Kehilangan Mestika (1935). Ceritanya berbentuk “aku”, mengisahkan
kehidupan yang penuh kesedihan dan penderitaan. Sesudah kematian ayahnya
(mestikanya), ia kehilangan kekasihnya yang diambil orang. Karena putus asa, ia
menyetujui kawin dengan seseorang yang tidak dicintainya.
Penderitaan tidak berakhir dengan perkawinan
itu. Karena perkawinan itu tidak memperoleh keturunan, terpaksa ia menyetujui
suaminya mengambil istri yang kedua. Karena kemudian timbul berbagai kesulitan,
akhirnya ia pulang ke Muntok sebagai perempuan tua yang terasing dari kehidupan
masyarakat. Pada saat ia akan meninggal, masih sempat diketahui bahwa
kekasihnya dahulu tetap masih setia kepadanya.
Cerita sedih dalam bentuk “aku” ini
kemungkinan banyak mengandung sifat biografis. Betapa sedihnya ia tinggalkan
oleh kekasihnya tampak pada sonetanya yang berjudul Berpisah berikut ini.
Sungguh berat
rasa berpisah
‘Ninggalkan
kekasih berusuh hati
Duduk
berdiri sama gelisah
Ke mana
hiburan akan di cari
Kian kemari mencari
kesunyian
‘Ngenangkan kasih diri
masing-masing
Hati terharu dilipur
nyanyian
Tapi suara tak mau mendering
Di manakah
awak dapat menyanyi
Bukankah
sukma tersentuh duri?
Hati pikiran
berusuh diri?
Di manakah
dapat bersuka ria?
Tidakkah badan sebatang
kara?
Kenangan melayang nyebrang
segara?
(Pujangga
Baru)
7.
I Gusti
Nyoman Panji Tisna (Anak Agung Panji Tisna)
Ia seorang pengarang yang berasal dari Bali,
beragama Hindu. Lahir di Singaraja, 8 Pebruari 1908. Karangannya telah banyak
diterbitkan. Sebagian besar karangannya mengambil tema yang berhubungan dengan
adat kepercayaan masyarakat Bali dan dengan sendirinya mengambil latar belakang
kehidupan di daerah Bali pula.
Novelnya I
Swasta Setahun di Bedahulu misalnya, kita tidak akan dapat memahami
sepenuhnya cerita itu tanpa kita mengertia akan kepercayaan terhadap hukum
karma. Novel tersebut berlatar lingkungan istana dan dipandang sebagai novel
sejarah yang berlaku ± tahun 996. Kepercayaan lama yang juga tampak
dalam cerita ialah adanya kekuasaan gaib yang mengambil peran dalam kehidupan
manusia. Jika rakyat berdosa, dewa marah dan Gunung Batur memuntahkan lahar.
Sesuai dengan judulnya, novel tersebut
mengisahkan pengalaman I Swasta selama setahun di Bedahulu, ibu negeri Bali
pada masa itu. Novel ini sudah disadur Armijn Pane menjadi sebuah drama dengan
judul yang sama.
Karena tema dan unsur-unsur cerita masih
mengingatkan kita pada cerita-cerita Balai Pustaka pada umumnya maka Teeuw
memasukkan I Gusti Nyoman Panji Tisna sebagai pengarang Balai Pustaka.
Karangan-karangannya yang lain ialah: Sukreni
Gadis Bali (1936); Ni Rawit Ceti
Penjual Orang (1935); Dewa Karuna (1938);
dan I Made Widiadi (Kembali kepada
Tuhan).
8.
Suman Hs.
(Hasibuan)
Ia lahir di Bengkalis pada tahun 1904. Suman
Hs. terkenal sebagai pengarang cerita detektif, walaupun ia juga menulis
beberapa puisi yang dimuat dalam majalah Panji Pustaka. Ciri khas pada semua
karangan Suman Hs. yang paling menonjol adalah:
a.
Bahasa yang
digunakan sungguh lancar, hidup dan memikat perhatian. Kenikmatan karangan
Suman terutama bukan terletak pada kedalaman isi, melainkan pada kejenakaannya
yang digubah dalam bahasa yang hidup, segar, berirama, dan mengasyikkan.
Tentang bahasa Suman ini, STA memberikan keterangan sebagai berikut:
“Diantara pengarang-pengarang prosa zaman
baru, Suman Hs. mempunyai kedudukan yang luar biasa. Sedangkan tentang pilihan
katanya ia tida berapa jauh meninggalkan bahasa Melayu yang lama, berhubung
dengan pergaulannya di Sumatera Timur dan didikannya sebagai guru, tetapi
tentang gaya bahasanya dan tentang pandangannya dan perasaannya tentang bahasa,
ia terang masuk golongan pengarang baru.
Dalam tangan Suman, bahasa Melayu lama yang
telah kaku dan beku oleh karena telah tetap susunan dan acuannya, menjadi cair
kembali lemas mengalir berliku-liku, ringan beriak beralun-alun.” (1964: 1).
b.
Sifat
kejenakaan terdapat pada hampir semua karangannya. Dalam kumpulan cerpennya Kawan Bergelut, mungkin hanya satu yang
tidak lucu, yaitu yang berjudul Pilu.
Sifat humor ini terpancar juga pada semua novel detektifnya; meskipun
kadang-kadang menimbulkan kesan keterlaluan, misalnya perbuatan Syekh Wahab
menanggalkan kumis palsunya sehabis sembahyang Idul Fitri (Kasih Tak Terlerai). Akan tetapi, bagaimanapun seloroh dan
kejenakaan Suman selalu menarik perhatian.
c.
Semua
novelnya mengandung unsur detektif walaupun sifat detektifnya masih sederhana
dan orang gampang menebak penyelesaian persoalannya. Hal itu kiranya cocok
dengan tingkat pertimbangan masyarakat kita pada masa itu, yag umumnya kurang
ada kesanggupan untuk dengan ketajaman inteligensinya mencari pemecahan
persoalan yang rumit dan kompleks. Memang pada waktu itu bacaan yang populer
dikalangan masyarakat luas ialah cerita-cerita novel berseri yang banyak beredar
di kota-kota besar, yang umumnya mengandung unsur detektif “gampang-gampangan”
semacam novel Suman tersebut.
Adapun novel Suman Hs. yang telah diterbitkan
adalah: Kasih Tak Terlerai (1929); Percobaan Setia (1931); Mencari Pencuri Anak Perawan (1932); Kasih Tersesat (1932); Tebusan Darah (1939). Cerpen-cerpen
Suman yang dikumpulkan dalam Kawan
Bergelut sebagian besar sudah pernah dimuat dalam majalah Panji Pustaka,
kecuali cerpennya yang berjudul Itulah
Asalku Tobat, Selimut Bertuah, Salah Mengerti, Papan Reklame, dan Kelakar si Bogor.
Bergelut dalam bahasa Minang berarti
bergurau. Kawan Bergelut artinya
kawan bergurau; dan memang ceritanya sanggup menemani kita untuk bersendau
gurau terutama dua cerpennya yang terakhir dalam kumpulan tersebut. Novel-novel
detektifnya umumnya mengolah cerita yang sama, semacam klise, yang kemudian
dihidupkan dan dibuat macam-macam variasi. Pola ceritanya adalah dua muda mudi
yang hatinya sudah bertemu, karena muncul sesuatu gangguan, keduanya tercerai.
Kemudian tampil peran detektif yang berhasil mempertemukan mereka kembali dan happy ending. Suatu contoh misalnya
novel Mencari Pencuri Anak Perawan. Sir
Joon yang sudah ibarat pinang bertemu tampuknya dengan si Nona, anak angkat
tukang ransum, akhirnya harus putus pertunangan mereka karena perbuatan si
Tairo seorang peranakan Hindi yang berhasil menyuap tukang ransum dengan uang
ratusan dolar. Tiba-tiba pecah kabar si Nona hilang. Sir Joon terhindar dari
tuduhan tentang hilangnya si Nona tersebut karena ia baru sakit terkilir akibat
main bola. Dengan pura-pura menunjukkan kebaikan hatinya, Sir Joon sanggup pula
membantu mencarikan si Nona, asal diberi surat kawin agar tidak menimbulkan ia
membawa kembali gadis itu. Permintaan Sir Joon dikabulkan dan kemudian
menjemput si Nona, terus pergi berlayar meninggalkan kampung halaman, karena
tidak lain yang menyembunyikan si Nona adalah Sir Joon sendiri.
Walaupun pola ceritanya hampir serupa,
membaca karangan Suman, kita “dipaksa” menyelesaikan sampai akhir cerita karena
gaya ceritanya yang penuh kejenakaan dan bahasanya yang lincah mengasyikkan.
PENGARANG-PENGARANG
PUJANGGA BARU YANG LAIN
1.
M.R. Dayoh
Karangannya: Peperangan Orang Minahasa dengan Orang Spanyol (1931); Pahlawan Minahasa (novel sejarah, 1935);
Syiar untuk ASIB (Algemeen Steunfonds
voor Inheemse Beheeftigen= Fonds Sokongan Umum untuk Fakir Bumiputra); Putera Budiman (1941).
2.
Asmara Hadi
Nama sebenarnya Abdul Hadi, nama samarannya
Asmara Hadi, H.R. Hadi Ratna, Ipih, dan Ipih A. Hadi. Ia banyak menulis puisi
dalam beberapa majalah, tetapi belum ada yang dibukukan tersendiri. Y.U.
Nasution sudah membicarakan puisi-puisi tersebut dalam bukunya yang berjudul Asmara Hadi, Penyair Api Nasionalisme (1965).
Karangan Asmara hadi yang sudah diterbitkan: Di Belakang Kawat Berduri (1942).
3.
A. Hasymy
(M. Ali Hasyim)
Ia pernah jadi gubernur Aceh tahun 1957.
Hampir semua sajaknya bernafaskan Islam dan mengandung unsur nasionalisme.
Karangannya: Kisah Seorang Pengembara (kumpulan
puisi, 1936); Dewan Sajak (kumpulan
puisi, 1940); Bermandi Cahaya Bulan,
Suara Azan dan Lonceng Gereja, dan Sepanjang
Jalan Raya Dunia.
4.
Sutomo
Jauhari Arifin
Karyanya: Andang
Taruna (novel 1942).
SASTRA
PERIODE TAHUN 30 DI LUAR PUJANGGA BARU
A. Teeuw
membagi sastra Indonesia sebelum perang menjadi tiga golongan, yaitu: (1)
sastra hasil Pujangga Baru; (2) sastra penerbitan Balai Pustaka; dan (3) sastra
berupa seri cerita-cerita roman.
Batas antara
ketiga golongan itu tidak jelas benar, masing-masing saling melengkapi satu
dengan yang lain. Walaupun karya Suman Hs. sebagian masuk golongan satu,
setengahnya masuk golongan tiga. Demikian pula HAMKA, sebagai pengarang ia
jarang dimasukkan ke dalam golongan satu atau dua karena hasil sastra sebagian
besar penerbitannya melalui golongan tiga, tetapi karangan-karangannya sebagian
bersifat sastra golongan dua.
Sastra
periode tahun 1930 di luar Pujangga Baru umumnya berupa seri cerita-cerita
roman yang diterbitkan di kota-kota besar, seperti Semarang, Padang, Solo,
Surabaya, dan yang terutama ialah Medan. Oleh karena itu, sering disebut juga
sastra penerbitan Medan.
Seri
cerita-cerita roman adalah penerbitan roman atau novel berjilid-jilid dalam
satu seri dengan nama bermacam-macam,
misalnya Seri Roman Indonesia di Padang, Dunia Pengalaman, dan Lukisan Pujangga
di Medan, Seri Suasana Baru, Seri Kejora, Seri Panorama, dan lain-lain.
Tidak semua
penerbitan seri cerita roman beruparoman picisan, walaupun sebagian nilai
sastranya memang kurang. Demikian pula seorang pengarang yang telah banyak
menulis cerita yang dinilai sebagai roman picisan, tidak berarti bahwa semua
karangannya tidak ada yang bernilai sastra. Hal ini perlu ditegaskan untuk
menghindari penilaian yang kurang tepat tentang diri seorang pengarang dan
hasil karangannya.
Seorang
pengarang yang penting di luar golongan satu dan dua, dan hasil sastra yang
mempunyai kedudukan penting dalam sejarah sastra Indonesia ialah Hamka.
Berhubungan dengan itu, kedua hala tersebut akan diuraikan secara ringkas
tentang dua hal tersebut, yaitu roman picisan dan Hamka.
1.
Roman Picisan
Dalam bahasa Belanda ada istilah stuiversroman, yang maksudnya hampir
sama dengan roman atau novel picisan dalam bahasa Indonesia. Keduanya
menunjukkan pada pengertian sesuatu yang kurang bernilai atau kurang berharga;
walaupun istilah yang digunakan berbeda (stuiver
= 5 sen; sepicis = 10 sen).
Roman picisan adalah jenis bacaan dalam
buku-buku kecil yang berisi cerita roman atau novel yang umumnya termasuk dalam
suatu seri dan yang dipandang dari penilaian sastra banyak mengandung
kelemahan. Roman picisan itu banyak diterbitkan di kota-kota besar terutama di
daerah Sumatera Timur. Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua roman picisan tidak
ada yang bernilai sastra sebab dalam beberapa hal penyimpangan itu selalu ada.
Sesuai dengan tulisan R. Roolving tentang Roman Picisan Bahasa Indonesia yang
dimuat sebagai lampiran pada buku Pokok
dan Tokohdalam Kesusastraan Indonesia Baru karangan A. Teeuw, maka beberapa
corak seri roman picisan ini dapat di simpulkan sebagai berikut:
a.
Penerbitan
roman picisan pada umumnya bersifat perdagangan sehingga isi dan sifat
ceritanya lebih banyak diarahkan pada selera pembaca. Cerita-ceritanya bersifat
dramatis, kocak sesuai kehendak zaman, tentang cinta yang cengeng, dan banyak
pula yang mengandung unsur detektif walaupun dalam tingkat sederhana sesuai
dengan tingkat kecerdasan masyarakat pada umumnya.
b.
Lukisan
watak-watak pelakunya kurang mendalam dan tidak cocok dengan kenyataan hidup
manusia yang sesungguhnya. Seakan-akan hanya ada dua watak manusia, yaitu baik
atau buruk saja, tanpa variasi. Tentang lukisan watak tersebut Roolvink berkata
sebagai berikut:
“Dipandang
dari kesusastraan buku-buku itu tidaklah dapat dikatakan berhasil. Jalan
ceritanya biasanya indah, tetapi tidak mendalam sedikit pun. Orang-orang serta
tabiat-tabiat yang dilukiskan samar saja
dan tidak sampai diperkembangkan, jangan lagi untuk dikatakan bahwa
lukisan-lukisan watak itu menurut ilmu jiwa dapat dipertanggungjawabkan, supaya
gerak-gerik masing-masing pelaku dalam buku-buku itu dapat masuk pada akal.” (Teeuw,
1953: 243)
c.
Persoalan
ceritanya berhubungan dengan pertentangan antara kebudayaan kota modern dengan
kebudayaan kuno, kolot, tua, dan sebagainya. Oleh karena itu, pada umumnya
cerita-cerita roman picisan itu bermain di kota-kota besar dengan kehidupan
kota yang dipandangnya serba modern: menonton bioskop, makan minum di restoran,
menghisap rokok yang serba mahal, pergi tamasya, dan lain-lain. Demikian pula
cara berhias serba modern, secara Barat dengan model-model terakhir.
d.
Sering dalam
cerita itu sering disisipkan reklame atau propaganda untuk sesuatu badan usaha
atau untuk barang dagangan. Dalam perkembangan teknik reklame, cara seperti itu
sekarang banyak dikembangkan melalui cerita-cerita pedalaman , sandiwara radio,
dan sebagainya.
e.
Komposisi
cerita dan bahasa yang dipergunakan umumnya kurang terpelihara. Komposisi
ceritanya sering tidak runtut, hubungan kausalitasnya tidak jelas. Bahasa yang
digunakan lancar, tetapi pemilihan kata, pemakaian perbandingan, dan tanda
bacanya sering kurang tepat.
Apa yang dikemukakan di atas adalah ciri
roman atau novel picisan pada umumnya. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa
setiap roman picisan mengandung semua
ciri tersebut. Ada berbagai variasi antara satu cerita dengan cerita yang lain.
Bahkan, ada pula yang sebagian terluput dari ciri-ciri itu.
Mungkin secara keseluruhan suatu roman
picisan ditinjau dari segi nilai sastranya kurang berharga, tetapi cerita itu
tetap berharga ditinjau dari segi lain. Paling tidak, bacaan itu ðapat memberi
kesan tentang kehidupan dalam kota-kota besar dan tentang kebudayaan kota
Indonesia modern. Lagipula tak dapat sastra itu diabaikan begitu saja dalam
menjawab pertanyaan apakah sekarang yang dibaca di Indonesia. Dalam sastra itu
terbayang kehidupan rakyat jelata Indonesia modern.” (Teeuw, 1953: 250).
Selain itu, ada pula manfaatnya yang lain.
Roman picisan sebagai suatu bacaan populer yang dapat mencapai sebagian besar
lingkungan masyarakat luas, banyak yang mengandung kritik terhadap beberapa hal
yang dipandang kurang baik oleh masyarakat, misalnya tentang bahaya judi,
tentang sikap hidup yang berlebih-lebihan, dan lain-lain.
Beberapa pengarang yang sebagian karangannya
termasuk roman picisan, antara lain yaitu:
a.
Matu Mona
(nama sebenarnya Hasbullah Parinduri), beberapa karangannya ialah: Harta Terpendam, Spionagendiest, Rol Pacar
Merah Indonesia, Panggilan Tanah Air, Ja Umenek Jadi-Jadian, Zaman Gemilang. Karangannya
Zaman Gemilang merupakan hasil Matu
Mona yang paling baik; yang sebenarnya kurang tepat untuk disebut sebagai roman
picisan.
b.
A. Damhuri.
Hasil karangannya: Mayapada, Bergelimang
Dosa, Depok Anak Pagai, Mencari Jodoh, Terompah Usang yang Tak Sudah Dijahit (1953).
c.
Yusuf
Sou’yb. Hasil karangannya yang terkenal ialah Elang Emas yang terdiri atas beberapa jilid.
d.
Imam Supardi.
Karangannya berupa sebuah novel kecil melalui penerbitan di Surabaya berjudul Kintamani.
2.
Hamka (Haji
Abdul Malik Karim Amarullah)
Kecuali menggunakan nama singkatan, Hamka
sering menggunakan nama samaran: A.S. Hamid, Indra Maha, dan Abu Zaki. Ia lahir
di Sungai Batang, Maninjau, 16 Pebruari 1908, anak seorang ulama besar yang
bernama Doktor Haji Abdul Karim Amarullah.
Hamka memang memiliki kecakapan menulis dan
hasilnya produktif sekali. Karangannya meliputi berbagai bidang: sastra,
filsafat, agama, kemasyarakatan, ketatanegaraan, sejarah, dan lain-lain. Hamka
terkenal sebagai pengarang Islam, dan paham Islam itu terpancar pada semua
karangannya. Sebagian besar hasil karangannya pertama kali dimuat dalam
majalah-majalah Islam juga, misalnya Di
Bawah Lindungan Ka’bah terbit sebagai feuilletan
(cerita bersambung) dalam majalah Pedoman Masyarakat (1936); dan juga
kumpulan cerpennya Di Dalam Lembah
Kehidupan (1940) pernah dimuat secara terpisah dalam majalah itu juga.
Novel Hamka yang pertama berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah tersebut
kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1938 dan ternyata pada tahun
1962 telah mencapai cetak ulang ke-9. Hal ini menunjukkan betapa populernya
cerita tersebut dalam masyarakat. Novel Di
Bawah Lindungan Ka’bah mempunyai sifat-sifat menarik. Novel tersebut
dimulai dengan suatu “Cerita dari Mesir” yang berisi persetujuan sahabat Hamka
tentang maksud penyusunan karangan novel
itu; surat pada permulaan novel itu serta ceritanya yang berbentuk “aku”
memberi kesan yang meyakinkan pembaca, bahwa cerita novel tersebut benar-benar
terjadi (bersifat autentik). Memang, Hamka pandai benar menjalin
peristiwa-peristiwa dalam komposisi cerita yang mengasyikkan. Dipilihnya
peristiwa-peristiwa yang sungguh-sungguh penting dan kemudian dipadatkan lagi
dengan sisipan surat-surat sehingga novel yang tebalnya 67 halaman itu cukup
memberikan gambaran selengkapnya tentang kehidupan pelaku-pelakunya. Ceritanya
melukiskan cinta kasih antara Hamid dan Zainab yang tetap membara di hati masing-masing
dan tidak sampai pada jenjang perkawinan karena perbedaan martabat dan
kedudukan. Hamid sejak kecil setelah ayahnya meninggal, tinggal bersama ibunya.
Ia kemudian disekolahkan Haji Jafar, seorang saudagar kaya yang mempunyai anak
perempuan bernama Zainab. Hamid sekolah bersama Zainab. Antara keduanya timbul
jalinan cinta kasih yang tersembunyi dalam-dalam. Karena ibu Hamid menyadari
keadaan dirinya maka sebelum meninggal, ia berpesan kepada anaknya agar api
cinta itu dipadamkan dan Hamid berjanji akan memenuhi nasihat ibunya itu. Ibu
Zainab bermaksud mengawinkan anaknya dengan saudara sepupunya dan untuk maksud
itu Hamid diminta untuk melunakkan hati Zainab. Meskipun berat di hati,
dilakukan juga permintaan itu, dan ternyata tidak berhasil. Hamid kemudian
mengembara meninggalkan kampung halaman menuju ke Mekkah, dengan maksud untuk
memadamkan api cinta yang tumbuh di hatinya. Kedatangan temannya yang bernama
Saleh ke Mekkah, yang menceritakan bahwa
Zainab tetap mencintainya, menyalakan kembali api cinta yang hampir padam. Akan
tetapi, beberapa waktu kemudian datang kabar dari istri Saleh, bahwa Zainab
meninggal karena sakit menahan rindu. Mendengar itu Hamid jatuh sakit dan
meninggal di bawah lindungan Ka’bah. Saleh itulah yang kemudian memberikan persetujuan
kepada Hamka untuk menuliskan kisah temannya itu dalam suatu karangan.
Hamka suka pada hal yang sedih-sedih dan
sebagian besar ceritanya melukiskan hal-hal yang menyedihkan. Dengan bahasa
yang merayu dan menawan hati, membaca cerita Hamka kita di bawa ikut merasakan
yang sedih-sedih itu. Sungguh-sungguh terharu hati kita bila membaca
surat-surat dalam novel Di Bawah
Lindungan Ka’bah. Oleh karena itu, Hamka sering disebut juga pujangga “air
mata”.
Plot cerita novel itu pun mempunyai
keistimewaan. Dengan bentuk “aku” pengarang mulai bercerita sesudah menerima
surat dari Mesir. Akan tetapi, “aku” pengarang tidak terus menerus bercerita.
Mulai bab kedua disuruhnya tokoh utama Hamid bercerita sendiri. Dengan
demikian, “aku” dalam cerita itu bukan “aku” pengarang selalu. Yunus Amir
Hamzah mengemukakan skema plot novel tersebut sebagai berikut:
Pada tahun tiga puluhan masih jarang novel yang
memberi sudut pandang cerita (point of
view) bentuk “aku”, lebih-lebih yang kemudian dijalin dalam plot yang rumit
seperti skema di atas.
Novel Hamka yang kedua berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Novel
ini terbit pada tahun 1938 dan ternyata pada tahun 1959 telah mengalami cetak
ulang yang ke-9. Tampaknya lebih populer daripada yang pertama, tetapi nilai sastra
yang pertama lebih berhasil.
Tenggelamnya
Kapal Van der Wijck lebih tebal
dari novel hamka yang pertama, terdiri atas 200 halaman (cet. 9). Ceritanya
berbentuk “dia” (author omniscient)
dan sisipan surat-surat dalam cerita mencapai jumlah 31 buah. Berbeda dengan
novelnya yang pertama, surat-surat dalam novelnya yang kedua ini tidak
fungsional, tidak memadatkan cerita, tetapi lebih banyak mengulang kembali
sesuatu yang sudah diceritakan.
Tema ceritanya hampir sama, yaitu masalah
“kasih tak sampai”. Zainuddin yang sudah sepakat hidup bersama dengan Hayati,
lamarannya ditolak oleh orang tua Hayati karena Zainuddin bukan orang berbangsa
dan tidak kaya pula. Hayati kawin dengan Azis yang oleh orangtuanya dipandang
lebih kaya dan orang berketurunan. Cerita kemudian pindah tempat, dari Padang
ke Surabaya. Di Surabaya Zainuddin menjadi seorang pengarang dan penulis
cerita-cerita sandiwara yang terkenal. Sebaliknya, di kota ini rumah tangga
Azis mengalami kesulitan-kesulitan dan karena tidak tahan lagi, Azis mengakhiri
hidupnya dengan bunuh diri. Hayati ingin kembali kepada Zainuddin. Walaupun
cinta Zainuddin kepada Hayati tidak pernah padam, ditekannya perasaan itu dan
keinginan Hayati ditolak oleh Zainuddin, bahkan Hayati disuruhnya pulang ke
Padang. Hayati menumpang kapal Van der Wijck dari Surabaya, dan belum lama
kapal itu berangkat tiba-tiba tenggelam. Karena kecelakaan itu, Hayati sakit
parah dan dibawa ke rumah sakit Lamongan. Sebelum meninggal ia masih sempat
bertemu dengan Zainuddin yang datang menyusulnya. Tak lama kemudian karena tak
tahan menanggung penyesalan, Zainuddin pun meninggal dan dikuburkan dekat
kuburan Hayati.
Menilik cerita di atas, judul novel dengan
cerita tersebut tidak terjalin secara organis, karena tenggelamnya kapal Van
der Wijck hanya suatu peristiwa yang terdapat pada bagian akhir cerita
sebelumnya. Kecuali bahasanya yang merayu-rayu dan akhir cerita yang
menyedihkan, tokoh utama dalam novel-novel Hamka adalah tokoh yang ideal, tokoh
manusia suci yang sukar diperoleh contohnya dalam masyarakat.
Pada tahun 1962, novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dihebohkan oleh masyarakat,
terutama oleh Lekra sebagai novel plagiat (curian) dalam novel dalam bahasa
Prancis yang berjudul Sous Les Tilleuls (Di Bawah Naungan Pohon Tillia) karangan
Alphonse Karr (1808-1890). Novel Baptisto Alphonse Karr tersebut pernah disadur
ke dalam bahasa Arab oleh Mustafa Luttfi al-Manfaluthi (1876-1924) dengan judul
Majdulin. Al-Manfaluthi adalah
seorang pengarang Arab-Mesir yang sangat dikagumi Hamka. Karena timbul heboh
itu, Majdulin kemudian diterjemahkan
oleh A.S. Alatas ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Maghdalena (1963).
Menghadapi plagiat tidaknya novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang
menjadi heboh itu, H.B. Jassin sebagai seorang kritikus yang terkenal
menegaskan bahwa novel itu bukan jiplakan karena di dalamnya ada pemikiran,
penghayatan, dan pengalaman Hamka sendiri. Adanya pengaruh berarti bukan
plagiat. Karangan Hamka yang lain adalah kumpulan cerpen yang berjudul Di Dalam Lembah Kehidupan. Sesuai dengan
judulnya, cerpen yang terdapat di dalamnya mengisahkan nasib kehidupan
seseorang yang penuh penderitaan.
Kecuali yang tersebut di atas, karangan Hamka
yang lain yaitu Laila Majnun (1933); Salahnya Sendiri (1939); Karena Fitnah (1938); Keadilan Ilahi (1940); Dijemput Mamaknya (1962); Menunggu Beduk Berbunyi (1950); Terusir (1951); Merantau ke Deli (1959); dan Tuan
Direktur (1961).
Hamka menulis pula riwayat hidupnya sendiri
(autobiografi) dengan judul Kenang-Kenangan
Hidup (4 jilid) terbit tahun 1951 dan riwayat hidup (biografi) ayahnya Dr.
Abdul Karim Amarullah dengan judul Ayahku
(1958). Ia juga menerjemahkan karangan Alexander Dumas ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul Margaretha Cauthir
(1960). Kisah perjalanan karangan Hamka yang telah diterbitkan ialah Tinjauan di Lembah Nil (1951); di Tepi Sungai Dajlah (1953); Mandi Cahaya di Tanah Suci (1953); dan Empat Bulan di Amerika (1954).
Dari semua karangan Hamka, baik yang bersifat
sastra maupun yang berhubungan dengan filsafat, ketatanegaraan, dan lain-lain,
jelas sekali adanya napas ajaran Islam di dalamnya, yaitu ajaran Islam sebagai
suatu keyakinan, bukan sebagai suatu permasalahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar