SITUASI
SASTRA DI MASA JEPANG
Menilik
jangka waktunya sebenarnya sastra Indonesia di masa Jepang kurang penting untuk
dibicarakan tersendiri. Sastra Indonesia di masa Jepang berlangsung hanya ±3,5 tahun; waktu yang amat singkat bagi
pertumbuhan suatu kebudayaan. Akan tetapi, dilihat dari peranan sastra masa itu
bagi perkembangan selanjutnya, maka sastra Indonesia di masa Jepang perlu
diberi tempat tersendiri dalam sejarah sastra Indonesia. Jassin menganggap
bahwa zaman Jepang adalah masa pemasakan jiwa revolusi, yang kemudian meletus
pada tanggal 17 Agustus 1945. Dilihat dari pertumbuhan kebudayaan Indonesia,
zaman Jepang adalah penempaan pengalaman hidup dengan berbagai penderitaan
sehingga memungkinkan timbulnya keragaman dan kedewasaan sastra kemudian.
Banyak
pengarang Angkatan 45 yang mulai berakar pada sastra Indonesia di masa Jepang
antara lain Chairil Anwar, Idrus, Rosihan Anwar, Usmar Ismail, dan lain-lain.
Walaupun demikian, sastra Indonesia di masa Jepang tidak perlu dipandang
sebagai suatu angkatan tersendiri karena pada hakikatnya pada masa itu tidak
ada satu konsepsi atau ide yang jelas yang hendak diperjuangkan oleh para
pengarang, yang tentunya dapat dilihat atau yang tercermin dalam karya sastra
mereka. Memang ada perbedaan gaya bahasa, sikap, dan pandangan hidup,
dibandingkan dengan sastra sebelum perang, tetapi semua itu tidak bersumber
pada adanya kesamaan konsepsi para pengarang pada masa itu.
Macam-macam
sikap para pengarang bangsa kita menerima kedatangan Jepang. Sikap itu dapat
kita lihat dari sastra yang mereka hasilkan, walaupun sebenarnya belum tentu
apa yang terjelma dalam karya sastra tersebut benar-benar mencerminkan seluruh
pribadinya.
Ada beberapa
pengarang yang menyebutkan kedatangan Jepang di Indonesia dengan gembira dan
penuh harapan, walaupun kemudian mereka menyadari apa maksud Jepang yang
sebenarnya. Sikap ini antara lain tampak pada puisi Usmar Ismail. Bagaimana
sikap Usmar Ismail pada mulanya tercermin pada bait terakhir puisi yang berjudul
Kita Berjuang.
Sebagai dendang menyapu kalbu,
Bangkit hasrat damba nan larang,
Ingin ke medan ridlah menyerbu:
“Beserta saudara turut berjuang!”
(Jassin, 1948: 45)
Akan tetapi,
pada puisi-puisinya kemudian, terasa bahwa ia mulai resah dan sangsi terhadap
“saudara tua” dan akhirnya perasaan dan semangatnya tertuju pada kemerdekaan
tanah air. Puisinya yang berjudul Caya
Merdeka ditujukan ‘Kepada Tanah Airku’.
Di samping
itu, ada beberapa orang pengarang yang sejak semula sangsi dan curiga terhadap
maksud kedatangan Jepang di Indonesia. Mereka tidak mudah menerima propaganda
Jepang yang menyatakan diri sebagai “saudara tua” bangsa kita. Kata-kata dan
slogan: Kemakmuran bersama Asia Timur Raya, Dai-Nippon Indonesia sama-sama,
Asia untuk bangsa Asia, Kemerdekaan Indonesia di kelak kemudian hari, Asia
sudah bangun, dan lain-lain, banyak yang bertetangan dengan kenyataan. Karya
Idrus dalam Corat Coret di Bawah Tanah merupakan
protes pengarang secara sisnis pada keadaan masyarakat pada waktu itu. Beberapa
contoh misalnya sebagai berikut.
Kartono
sedang asyik bekerja. Dadanya bengkok seperti akal orang Nippon (Jassin, 1948:
169)
Sekarang ini
serba susah. Badan kita seperti es lilin saja. Bertambah lama bertambah kecil
juga, akhirnya habis menjadi air. Delemparkannya orang. (Jassin, 1948: 184)
Juga
sajak-sajak Rosihan Anwar, Chairil Anwar, Amal Hamzah, dan lain-lain
menunjukkan bahwa mereka sejak semula tidak termakan oleh janji-janji dan
slogan-slogan propaganda Jepang.
Tetapi... alangkah terkadang beta kecewa
Melihat keadaan sehari-hari
Lain di mulut lain di hati
Kata “Semangat” permainan semata.
Banyak orang menepuk dada, sambil berkata:
“Aku insaf!... Mau berkurban... itu semangat”
Tapi... coba perhatikan lebih dekat
Ah, kenapa pertentangan “Lahir” dan “Batin”
Semakin dipikir, semakin yakin:
kata “semangat” tak ada artinya
kalau berlainan “Lahir” dan “Batin”
Apa guna “semangat-semangatan”
(Rosihan Anwar – “Lahir Batin”)
Pada waktu
Jepang berkuasa di Indonesia hampir semua perkumpulan di larang, kecuali perkumpulan-perkumpulan
yang didirikan atau yang seizin pemerintah seperti PUTERA (Pusat Tentara
Rakyat) yang dipimpin oleh Bung Karno.
Di lapangan
kebudayaan pemerintah mendirikan satu lembaga yang disebut Pusat Kebudayaan
atau Keimin Bunka Shidoso. Lembaga ini diketuai oleh Armijn Pane dengan
penasihat bangsa Jepang bernama Sakai. Anggota-anggota lembaga tersebut antara
lain: Sutomo Jauhar Arifin, Usmar Ismail, dan Inu Kertapati. Lembaga ini
dimaksudkan oleh pemerintah Jepang untuk menghimpun tenaga sastrawan dan
seniman, agar mereka dapat dimanfaatkan bagi kepentingan perang Asia Timur
Raya. Oeleh karean itu, tugas lembaga ini kecuali melaksanakan sensor yang
keras terhadap penerbitan pada waktu itu, juga memberikan konsumsi kepada
pemerintah akan kebutuhan dalam bidang kebudayaan. Melalui pusat kebudayaan
inilah dihasilkan cerpen, drama, dan puisi-puisi yang sejalan dengan “pesanan”
pemerintah sehingga dalam berbagai karya sastra yang dihasilkan, unsur
propaganda tidak dapat dielakkan. Usaha dan kegiatan yang harus dipropagandakan
itu antara lain: menanam biji jarak, giat menambah produksi, bekerja keras di
pabrik, sanggup masuk barisan jibaku tai (barisan
berani mati), membantu perang Asia Timur Raya, dan lain-lain.
Walaupun
demikian, tidak berarti bahwa semua yang dihasilkan oleh pusat kebudayaan tidak
mengandung arti sama sekali bagi kehidupan perkembangan sastra Indonesia. Ada
beberapa pengarang yang dengan kecerdikannya memasukkan unsur propaganda hanya
sekdar sebagai latar belakang cerita saja, bukan sebagai tujuan yang terjelma
dalam tema cerita. Dengan demikian, karangan tersebut dalam kadar tertentu
masih tetap bernilai sastra, seperti misalnya beberapa drama karangan Usmar
Ismail.
Pada zaman
Jepang, penerbitan majalah sangat terbatas jumlahnya. Pujangga Baru tidak lagi
terbit. Majalah sastra dan kebudayaan yang penting pada waktu itu antara lain
Kebudayaan Timur, yaitu majalah resmi yang diterbitkan oleh Pusat kebudayaan,
Panca raya, dan Panji Pustaka.
Satu hal
kiranya perlu dicatat dalam hubungannya dengan situasi sastra di masa Jepang,
yaitu perkembangan bahasa Indonesia. Pada waktu itu bahasa Indonesia mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Bahasa Belanda dilarang oleh Jepang, sedangkan
bahasa Jepang yang dicoba untuk segera diajarkan secara luas kepada bangsa kita
belum banyak dikuasai. Akibatnya, bahasa Indonesia secara langsung dipergunakan
dalam segala bentuk perhubungan; sebagai bahasa administrasi negara dan sebagai
bahasa ilmu dan kebudayaan pada umunya. Sejak saat itu penggalian potensi yang
ada pada bahasa Indonesia diusahakan secara sungguh-sungguh. Dengan demikian,
orang menjadi sadar akan kemampuan bahasa Indonesia dalam menampung
perkembangan ilmu dan kebudayaan modern. Hal ini berpengaruh besar bagi
kehidupan sastra. Aneka corak dan gaya timbul pada waktu itu, antara lain
tampak pada puisi-puisi Chairil Anwar, berbagai prosa Idrus, Amal Hamzah, dan
lain-lain.
KARAKTERISASI
SASTRA DI MASA JEPANG
Pada bagian
sebelumnya sudah diuraikan, bahwa sastra zaman Jepang memiliki corak yang
beraneka ragam. Pada dasarnya ada dua macam sastra pada waktu itu: (1) sastra
yang tersiar, dan (2) sastra yang tersimpan.
Sastra yang
tersiar maksudnya sastra yang berhasil disiarkan, baik melalui majalah maupun
melalui penerbitan tersendiri, sesudah mengalami sensor pemerintah. Sastra yang
tersimpan ialah sastra yang tertulis masa itu, tetapi baru disiarkan sesudah
Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, misalnya beberapa sketsa (lukisan)
Idrus dalam Corat-Coret di Bawah Tanah. Corak
dua macam sastra tersebut sangat berbeda bahkan sering tampak bertentangan.
Selain itu, tiap macam sastra itu pun masing-masing memiliki variasi
tersendiri.
Berdasarkan
kenyataan di atas, , karakterisasi sastra Indonesia di masa Jepang dapat
dirangkum sebagai berikut:
1.
Umumnya sastra
tersiar pada masa itu tidak terlepas dari unsur tendens, yaitu tendens membantu
perang Jepang, bahkan sering unsur tendens itu begitu jelas sehingga berubah
sifat menjadi propaganda. Tendens demikian tampak pada dua novel yang terbit
pada masa Jepang, yaitu Palawija karangan
Karim Halim dan Cinta Tanah Air karangan
Nur Sutan Iskandar.
2.
Sastra
tersiar yang tidak mengandung unsur tendens, umumnya menyatakan maksud isinya
dalam bentuk simbolik atau bersifat pelarian dari realitas kehidupan yang
pahit, misalnya Dengar Keluhan Pohon
Mangga dan Tinjaulah Dunia Sana, keduanya
karangan Maria Amin. Juga cerpen Bakri Siregar yang berjudul Burung Balam dan Turunan, dapat dipandang bersifat simbolik karena keduanya berlaku
dalam dunia bintang. Pelarian ke tempat terpencil, misalnya tampak pada
beberapa cerpen Bakri Siregar yang berjudul Di
Tepi Kawah dan Di Balik Bukit, sedangkan
pelarian kepada Tuhan tampak misalnya pada puisi-puisi Bahrum Rangkuti. Berikut
ini adalah kutipan alinea terakhir Dengarlah
Keluhan Pohon Mangga.
O, Tuhan,
kalau pohon mangga bisa bicara tentu dia akan bercerita apa yang telah
dideritanya waktu tumbuhnya. Ahli filsafat dan orang pandai-pandai hanya
mengetahui hidupnya itu dan mengerti keluhan pohon mangga tadi.
Tampak Maria
Amin berpendirian lebih baik menderita hidupnya daripada bermewah-mewah dengan
memperoleh banyak uang, tetapi bertentangan dengan kata hatinya. Hal ini jelas
pada puisinya yang berjudul Aku
Menyingkir.
AKU MENYINGKIR
Terlintas
ingatan mengenang hari
Masa aku
menyingkir diri
Tenaga yang
telah kuberi
Mundur
karena kata hati
Bukan
timbangan rasa di luar
Tetapi
pertempuran rasa di dalam
Tidak hendak
alah bertengkar
Biar patah
hancur terpendam
Mendering
banyak wang di pinggang
Allah, dek
miskin rasa di hati
Harta di
luar dapat ditenggang
Harta di
dalam di mana di cari
3.
Sastra
tersimpan umumnya berupa sastra kritik yang berisi kecaman dengan sindiran
terhadap ketidakadilan yang terdapat dalam masyarakat. Dalam sejarah kehidupan
suatu bangsa ternyata bahwa sastra kritik selalu timbul apabila tidak ada
keserasian dalam tata kehidupan bangsa itu; misalnya tidak ada kecocokan janji
dengan slogan-slogan dari penguasa dengan kenyataan yang sebenarnya, perbedaan
yang terlalu jauh antara si miskin dan si kaya, pembatasan dan penyelewengan
hak-hak asasi manusia, tindakan sewenang-wenang dari pihak penguasa, dan
sebagainya. Wujud sastra kritik ini dapat bermacam-macam; misalnya dalam bentuk
satire, baik yang sinis maupun yang bersifat humor, simbolik, atau
langsung berupa kritik lugas. Satire
yang sinis misalnya berupa sketsa-sketsa Idrus dalam Corat-Coret di Bawah Tanah, drama Tuan Amin karya Amal Hamzah. Kritik yang lugas dapat kita rasakan
pada puisi Dullah yang berjudul Anak
Rakyat di bawah ini.
Anak Rakyat
I
Ditiup
unggun yang padam
dua tubuh
berjongkok-jongkok
lagi seorang
meniupnya
seorang lagi
berganti-ganti
belum lagi
api menyala
asap gelisah
membalut badan
kurus hitam
penuh tanah
lekat rusuk
pada lutut
tulang
belulang mendekap-dekap
anak rakyat
kedinginan.
Begitu saja
orang lalu
berpaling
jua hanya sebentar
sudah itu
terus berlalu
tinggal
sendiri tubuh yang tata;
di atas
rumput kering kuning
di balik
bayang pohon jarak
dalam sinar
samar-samar
jengkrik
mengerik belalang mengiang
memekik
mengadu di liang lengang
Anak Rakyat
mati telanjang
(Gunadi,
1962: 123)
4.
Genre sastra
yang dominan pada masa Jepang yaitu bentuk puisi, cerpen, dan drama.
Perkembangan yang mencolok di antara ketiga bentuk itu dibandingkan dengan
masa-masa sebelumnya yaitu bentuk drama. Dalam pertumbuhan dan perkembangan
sastra Indonesia belum pernah terjadi kehidupan drama sesubur masa Jepang. Hal
ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
a.
Drama
merupakan media propaganda yang paling tepat sehingga pemerintah Jepang tidak
segan-segan memberikan bantuan terhadap segala usaha yang berhubungan dengan
kegiatan drama.
b.
Film-film
berbahasa Inggris dilarang dipertunjukkan sehingga pementasan drama merupakan
hiburan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
c.
Drama modern
pada masa itu tidak terlalu jauh jaraknya dengan seni rakyat tradisional
ketoprak sehingga cocok bagi tingkat selera seni rakyat.
d.
Situasi
ekonomi yang serba sulit memerlukan hiburan langsung sesuai dengan lingkungan
kehidupan rakyat.
Selain yang tersebut di atas, pada masa
jepang banyak dilakukan usaha-usaha pembaharuan di bidang drama, terutama
tentang teknik penulisan drama. Juga beberapa perkumpulan drama didirikan pada
waktu itu, baik yang amatir maupun yang profesional.
5.
Dibandingkan
dengan corak sastra sebelumnya yang umumnya romantik-idealisme, sastra masa
Jepang lebih bersifat realistis (romantik-realistis). Hal ini disebabkan karena
corak romantik pada masa itu langsung berhubungan dengan kenyataan hidup yang
pahit, yang penuh dengan penderitaan. Beberapa contoh sastra yang bersifat
realistis itu misalnya beberapa sketsa Idrus, cerpen-cerpen Amal Hamzah, dan
lain-lain.
Berbicara tentang karakteristik sastra di
masa jepang seperti yang sudah disebutkan, kita banyak mengalami kesukaran.
Selain karena keanekaragaman sikap dan pendirian para pengarang, juga seorang
pengarang sering mengalami perkembangan
yang berbeda atau bertentangan dari yang semula. Hal ini tampak pada
diri Amal Hamzah, Idrus, Usmar Ismail, dan lain-lain. Dengan demikian,
karakteristik tersebut terbatas pada corak-corak yang menonjol yang tidak
mutlak dapat dikenakan pada semua hasil sastra.
PENGARANG
DAN HASIL KARANGANNYA
Buku sumber
tentang sastra di masa Jepang tidak banyak. Satu antologi yang berharga,
terutama dari segi dokumentasi sastra ialah Kesusastraan
Indonesia di Masa Jepang, yang disusun oleh H.B. Jassin. Kita dapat
memperoleh bahan tentang pengarang-pengarang masa Jepang dan hasil karangannya
terutama dari antologi tersebut. Di samping itu, H.B. Jassin juga menyusun
suatu antologi lain yang berjudul Gema
Tanah Air, Prosa dan Puisi 1942-1948, yang di dalamnya termuat juga
beberapa hasil karangan yang di tulis di
masa Jepang.
Antologi
lain, yaitu kumpulan cerpen dan lukisan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1946 yang berjudul
Pancaran Cinta. Antologi tersebut
terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:
1.
Mengembara di Angan-Angan, meliputi cerpen Ujian yang Berat (Asmara Bangun); Cinta Abadi (Asmara Bangun); Asokamala
Dewi (Usmar Ismail SMA).
2.
Hidup Membayang, meliputi cerita Di Tepi Kawah (Bakri Siregar); Menyinggung
Perasaan (Matu Mona); Permintaan
Terakhir (Usmar Ismail SMA).
3.
Antara Langit dan Bumi, meliputi cerita Radio Masyarakat (Rosihan Anwar); Arus Mengalir (Karim Halim); Darah
Laut (H.B. Jassin).
4.
Berjejak di Atas Bumu, meliputi cerita Istri Tabib (Taharuddin Hamzah); Teropong (Amal Hamzah); Kalau
Talak ‘lah Jatuh (Muhammad Dimyati); Kebaikan
Hidup Bertetangga (Ramalia Dahlan).
Beberapa pengarang di masa Jepang, yaitu:
1.
Rosihan
Anwar
Seprti yang telah disebutkan, Rosihan Anwar
termasuk seorang pengarang yang tidak terpengaruh oleh propaganda Jepang sejak
permulaan. Cerpennya yang terkenal yang berjudul Radio Masyarakat mengisahkan kehidupan seorang pemuda yang
terombang-ambing jiwanya karena merasa tidak dapat menyesuaikan diri dengan
semangat baru para pemuda pada waktu itu. Walaupun ia memperoleh
suntikan-suntikan semanagat dari seorang dokter, ia dalam kebimbangan.
Akhirnya, ia pergi ke Palembang untuk mendapatkan ketentraman hati.
Puisi-puisi Rosihan Anwar yang ditulis di
masa Jepang antara lain Seruan lepas,
Lahir dengan Batin, Untuk Saudara, Bertanya, Damba, Kisah di Waktu Pagi,
Lukisan, dan Manusia Baru.
Rosihan Anwar juga menulis esai tentang
pengarang di masa Jepang, antara lain berjudul Usmar Ismail yang Saya Kenal dan Cita-Cita Film Nasionalnya. Sifat
religius dan nafas kebangsaan terpancar jelas dalam karangannya:
Lukisan
Kepada
Prajurit
Di atas trem penuh pepak
Di sudut saja tempatku tegak.....
Duduk di depanku prajurit muda
Seluruh sikapnya “lukisan” nyata:
Contoh manusia
Tenang tegang,
Insafkan
diri
Berharga
tinggi,
Takkan sudi
Diperkuda-kuda
Memandang “lukisan” berkata hatiku
Beginilah harus Pemuda selalu
Penuh percaya kesanggupan diri
Jiwa utama pendirian pasti
Kuat bercita bertujuan suci
Prajurit muda tiada kukenal
Walaupun
engkau tidaklah tahu
Tapi di hati
kutanam janji
Bersaudara
kita semenjak kini
Sambut
tanganku satu tujuan:
Mari bersama
menuju Kemenangan!
Lamalah
sudah bangsa menanti.....
Semakin banyak masuk penumpang
Trem meluncur ke Tanah Abang
Karangan Rosihan Anwar yang berupa novel yang
sudah diterbitkan berjudul Raja Kecil,
Bajak Laut dari Selat Malaka, sebuah novel sejarah tentang Semenanjung awal
abad ke-18.
2.
Usmar Ismail
Usmar Ismail adalah seorang pengarang drama
yang terkenal di masa Jepang. Ia bekerja pada Pusat Kebudayaan dan menjadi
orang penting di badan itu. Akan tetapi, karena ia tidak puas dengan cara kerja
Pusat Kebudayaan maka bersama-sama dengan rosihan Anwar, El Hakim, di bantu
oleh para seniman lain, ia mendirikan perkumpulan drama penggemar (amatir) yang
bernama Maya.
Perkumpulan Maya didirikan menjelang
pertengahan tahun 1944 dengan cara antara lain: menyelenggarakan drama radio,
drama pentas, membacakan cerpen radio, dan sebagainya.
Beberapa drama yang telah dipentaskan ialah:
a.
Tiga drama
El Hakim: Taufan di Atas Asia, Dewi Reni,
Intelek Istimewa (kemudian dibukukan bersama dramanya yang berjudul Insan kamil, dengan judul Taufan di Atas Asia);
b.
Jeritan Hidup Baru saduran Karim Halim dari De K;eine Eyolf karangan
Ibsen.
c.
Drama Usmar
Ismail yang berjudul Liburan Seniman.
Adapun drama radio yang pernah disiarkan
antara lain Pamanku, Tempat yang Kosong, dan
Mutiara dari Nusa Laut, semuanya
karangan Usmar Ismail.
Di samping itu, Usmar Ismail menulis pula
drama yang berjudul Api, Citra, dan Mekar Melati. Citra dan Mutiara dari Nusa
Laut pernah dipentaskan oleh
perkumpulan drama profesional Bintang Surabaya. Ketiga dramanya yang berjudul Citra, Api, dan Liburan Seniman diterbitkan dalam satu kumpulan Seri Sandiwara dengan judul Lakon-Lakon Sedih dan Gembira, yang
diberi pengantar oleh H.B. Jassin.
Dengan usaha-usaha tersebut, sebenarnya Maya
telah merintis beberapa hal, antara lain:
a.
Menyatakan
para seniman dan berbagai cabang seni untuk mendapatkan keselarasan dalam
pementasan;
b.
Mengadakan
usaha pembaharuan di bidang penceritaan, dekorasi, tata pentas, dan lain-lain;
c.
Mencoba
mementaskan drama asing, misalnya drama saduran dari Henrik Ibsen.
Cita-cita Usmar Ismail tentang perbaikan
drama tampak jelas pada lakonnya yang berjudul Liburan Seniman. Pelaku-pelaku utama dalam lakon itu adalah Surono,
seorang juru tulis yang berkecakapan mengarang, R. Garmoyono, dan Kertalasmana,
kawan Surono “artis” cap lama. Walaupun dalam permulaan lakon itu disebutkan
bahwa “segala pelaku dan segala kejadian tidak berhubungan dengan
orang-orang serta peristiwa yang pernah
ada atau sedang ada”, jelas sekali bahwa dengan lakon itu Usmar Ismail hendak
membuat semacam “perhitungan habis” dengan tokoh-tokoh tua di bidang drama dan
kepengarangan (Usmar Ismail, 1974: 199).
Surono adalah personifikasi dirinya sendiri,
Garmoyono mengingatkan kita pada Armijn Pane dalam hal kelicikannya, sedangkan
Kertalasmana adalah perwujudan Anjas Asmara, tokoh tua dalam drama.
Di samping terkenal dalam bidang drama, Usmar
Ismail juga menulis cerpen dan puisi. Beberapa cerpennya antara lain berjudul Asokamala Dewi, Permintaan Terakhir, sedangkan
puisi-puisinya sudah diterbitkan dalam satu kumpulan berjudul Puntung Berasap.
Beberapa tahun sesudah kemerdekaan Usmar
Ismail banyak di bergerak di bidang perfilman. Tahun 1949 ia berhasil memimpin
sendiri film Citra-nya pada
perusahaan South Pasific. Tahun 1950 bersama-sama dengan Rosihan Anwar ia
mendirikan Perusahan Film Nasional Indonesia atau Perfini. Beberapa film yang
telah diproduksi antara lain: Darah dan
Do’a atau Long March Siliwangi, Enam
Jam di Yogya, Dosa Tak Berampun (berdasarkan drama Jepang: Chichi, Kaeru yang disadur Usmarmenjadi Ayahku Pulang), dan lain-lain.
Dalam bidang organisasi Usmar Ismail pernah
menjadi Ketua Umum Lesbumi (Lembaga Seni budaya Muslim Indodonesia), satu
lembaga kebudayaan di bawah naungan Partai NU pada waktu itu. Lembaga tersebut
pernah menerbitkan majalah kebudayaan bernama Gelanggang.
Dalam setiap karangan Usmar Ismail, terasa
dorongan jiwa romantik yang kemudian terjelma dalam satu keselarasan
unsur-unsur keindahan, cita-cita kebangsaan, dan jiwa ketuhanan. Berikut ini
pembuka lakon drama “Api” seluruhnya.
Pembuka Lakon
Ya anak
Adam! Janganlah sampai iblis dapat menggoda engkau seperti juga dia telah
mengusir orang tuamu dari Taman Firdaus. Dirampasnya baju mereka, hingga
nyatalah kejahatan mereka....
-Karena
iblis itu, melihat engkau, dia dengan bangsanya, dari suatu tempat yang tak
kelihatan olehmu; sesungguhnyalah kami selalu mengangkat iblis itu akan jadi
penjaga mereka yang tidak beriman!
Demikianlah
firman Tuhan di dalam kitab suci, menegaskan bahwa sesungguhnya iblis itu musuh
manusia yang ingin mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah. Demikianlah
Allah telah menentukan, supaya manusia berjuang untuk menundukkan iblis itu.
Karena
iblislah yang merintangi kemajuan manusia dari tingkat yang rendah menjelang
tingkat yang tinggi. Berfirmanlah Tuhan dalam Al-Qur’an:
-Dan ditiuplah
serunai pada hari pembalasan. Dan datanglah tiap roh dan dengan dia seorang
penghasut (iblis) dan seorang saksi (malaekat).
Dan
sesungguhnya dalam tiap manusia itu, bersarang yang jahat dan yang baik. Dan
selama manusia masih percaya akan keadilan Tuhan, tiadalah pula ia ragu-ragu,
bahwa perjuangan melawan yang keji dan jahat itu adalah semata-mata untuk
memberi kesempatan juga adanya, supaya manusia merebut kembali Taman Bahagia di
sisi Tuhan.
Dan apabila
manusia itu bisa ditaklukkan oleh nafsu iblis yang semena-mena, maka jatuhlah
atasnya hukuman yang diberikan Tuhan kepada iblis:
-Aku kutuki
engkau hingga hari Pembalasan. Demikian lakon ini mencoba memberi bukti dengan
contoh yang nyata-nyata akan keadilan Tuhan
Dan dalam masa
perjuangan sekarang ini, apabila kita sudah yakin seyakin-yakinnya, bahwa kita
sudah sanggup menaklukkan iblis di dalam diri sendiri, maka dalam menghadapi
musuh yang sudah kena nafsu iblis pula untuk menjajah sesama, tiada kita akan
gentar sedikitpun.
Kita yakin,
kita melawan kejahatan dengan kesucian yang ada pada kita, dan tiadalah Tuhan
akan menyia-nyiakan makhluknya yang beriman.
Mudah-mudahan,
Amin ya Rabbal ‘alamin.
(Jakarta,
bulan IV. 1945)
3.
Amal Hamzah
Rosihan Anwar dalam satu tulisannya menerangkan
bahwa Amal Hamzah pun termasuk pengarang yang pernah bekerja pada Pusat
Kebudayaan. Ia seorang pengarang yang mulai menulis pada zaman Jepang, dan
termasuk pengarang yang pada mulanya percaya akan janji-janji Jepang, walaupun
kemudian ia banyak mengalami kekecewaan.
Dalam karangannya yang awal jelas tampak jiwa
romantik seperti halnya abangnya, Amir Hamzah. Hal itu dapat kita rasakan pada
karangan-karangannya permulaan, baik yang berupa prosa maupun yang berupa
puisi. Beberapa karangannya telah dibukukan dalam satu kumpulan yang berjudul Pembebasan Pertama (1949).
Akan tetapi, dalam karangannya yang kemudian,
Amal Hamzah telah berubah menjadi seorang realis yang tajam, bahkan cenderung
untuk dikatakan seorang materialistis yang kasar. Mungkin keadaan yang pahit
yang penuh dengan tekanan dan penderitaan di masa Jepang membuat Amal Hamzah
dari seorang yang romantik idealistis berubah menjadi seorang realis yang
materialistis, sikapnya yang kasar itu tampak pada cerpen-cerpennya yang
berjudul Bingkai Retak, Teropong, dan juga pada beberapa
puisinya.
Pagi
Azan mu’alim
sunyi membubung
Suasana pagi
hari mendung
Memanggil
umat berhening diri
Sujud
khidmat pada Ilahi
Aku bergolek
pada tempat tidurku
Mengenang
nasib tak pernah tertuju
Hampir
bertuju kulepaskan mesti....
Sejuk sedap
suara seruan
Menghimbau
engkau di langit tinggi
Sekejap
lenyap segala deritaan
Dalam
mendengar pujaan seni.
Mengenang
melimpah kedua mataku
Mendengar
suara mu’alim sunyi
Di atas
menara tegak berdiri
Menyeru
Allah di waktu pagi
Ingin aku
menjadi suara
Di pagi
waktu menjelang hari
Naik
meninggi kecerpu Ilahi
(Kes. Indonesia di Masa Jepang)
Semberono
Bukan aku
tak tahu
Bahwa lereng
ngarai itu curam
Dan rintis
di situ sempit serta lincir
Bila
terpeleset kakiku
Tubuh ini
tiada berguna lagi
Rangka hidup
menunggu mati...
Tapi aku
orang semberono
Bermain
bersenda dengan neraka
Kurangkum
neraka bermulut api
Kuterjang
sekali segala ajaran suci!
(Kes. Indonesia di Masa Jepang)
Dari dua puisi di atas tampak jelas perubahan
sikap dan perkembangan jiwa Amal Hamzah. Dari jiwa religius yang mistis menjadi
seorang yang tidak ambil pusing lagi dengan segala ajaran suci.
Empat kumpulan puisinya yang belum
diterbitkan ialah Gita Cinta, Kenangan
Kasih, Topan, dan Sine Nomine. Ia
juga menerjemahkan karangan Rabindranath Tagore yang berjudul Gitanyali dan beberapa karangan Tagore
yang lain dalam kumpulan Seroja Gangga. Di
samping itu, ia juga menerjemahkan beberapa karangan Notosuroto (seorang
pengarang yang terpengaruh R. Tagore) yang aslinya dalam bahasa Belanda ke
dalam bahasa Indonesia, yaitu Untaian
Bunga (Bloeme Ketenen) dan Kuntum Melati (Melati Knoppen).
Amal Hamzah terkenal sebagai seorang penyair
dan cerpenis, tetapi ada juga karangannya yang berbentuk drama yaitu Tuan Amin dan karangannya berupa kritik
yang sudah diterbitkan dalam satu kumpulan yang berjudul Buku dan Penulis.
Tuan Amin merupakan drama singkat satu babak yang
bercorak sinis yang konon ditujukan kepada pengarang-pengarang yang bekerja
pada Pusat Kebudayaan, yang dianggapnya sebagai rumah gila. Akan tetapi, Amal
Hamzah sendiri bekerja pada badan itu, tampaknya sindiran itu terutama
ditujukan kepada pengarang-pengarang yang bersedia mengorbankan nilai seni dan
martabat kemanusiaan untuk kepentingan fasisme Jepang.
Buku dan Penulis merupakan kumpulan kritik yang lebih
bersifat impresionistis (estetis); karena kritik yang termuat di dalamnya
sekedar berupa sinopsis (ringkasan cerita) dan sedikit uraian tentang hal-hal
yang menarik dari karangan itu. Hal ini sesuai dengan kata pendahuluan buku
itu, yang “tiada Indonesia kepada umum”. Novel dan drama yang dibicarakan dalam
buku itu semuanya diterbitkan sebelum perang, kecuali satu sketsa Idrus yang
berjudul Surabaya.
4.
El Hakim
El Hakim adalah nama samaran Abu Hanifah,
kakak Usmar Ismail. Ia pun pengarang drama terkenal di masa Jepang. Kumpulan
dramanya yang sudah diterbitkan berjudul Taufan
di Atas Asia, yang terdiri atas empat lakon, yaitu Taupan di Atas Asia, Intelek Istimewa, Dewi Reni, dan Insan Kamil. Beberapa drama tersebut
sudah dipentaskan oleh perkumpulan drama penggemar Maya, yang disutradarai oleh
Usmar Ismail.
Sesudah kemerdekaan ia mengarang drama yang
berjudul Rogaya dan Mambang Laut, yang keduanya belum
diterbitkan. Karangannya yang berupa novel yang sudah diterbitkan berjudul Dokter
Rimbu. Di masa Jepang ia menulis juga sebuah buku yang berjudul Rintisan Filsafat, Rintisan Filsafat, yang
berusaha menguraikan perbedaan filsafat materialisme dan filsafat idealisme.
Abu Hanifah kemudian banyak bergerak di
bidang politik. Ia pernah menjadi menteri dan duta besar. Seperti juga dengan
karangan Usmar Ismail, dalam setiap karangan Abu Hanifah terpancar nafas Islam
dan unsur nasionalisme yang kuat.
5.
Chairil
Anwar
Chairil Anwar adalah seorang penyair yang
muncul di zaman Jepang yang membawa pembaharuan di bidang puisi modern.
Puisi-puisi yang diciptakannya bersifat revolusioner, baik bentuk maupun
isinya. Kata-kata dan perbandingan yang digunakan sangat tepat sehingga
menjelmakan isi yang padat. Ia mengatakan bahwa dalam melukiskan sesuatu harus
sampai pada hakikatnya, kita harus sanggup bukan hanya mengambil gambar-gambar
biasa saja, melainkan juga gambar rontgen sampai ke putih tulang belulang.
Chairil Anwar adalah seorang penyair yang
mempunyai vitalitas atau tenaga hidup yang meluap-luap.. ia berusaha hendak
mereguk hidup ini sepuas-puasnya. Ia ingin mengisi eksistensi hidup ini
sepenuh-penuhnya. Akibat dari sikap ini, ia tampak terlalu bersifat
individualistis, tidak merasa terikat oleh konvensi dan tradisi yang berlaku
dalam masyarakat. Sikapnya terhadap orang-orang Pusat Kebudayaan pun demikian
sehingga ia sering dipandang sebagai kuda yang lepas dari kursinya.
Puisinya yang mula-mula disiarkan berjudul Nisan yang digubahnya pada bulan Oktober
1942. Puisinya yang paling terkenal, yang kemudian sering dianggap sebagai
“proklamasi”-nya Angkatan 45 adalah yang berjudul Aku, yang ditulisnya pada tanggal 3 Maret 1943. Puisi tersebut
kemudian oleh Pusat Kebudayaan diubah judulnya menjadi Semangat agar tidak bersifat individualistis sehingga dapat
disiarkan. Berikut ini adalah kutipan puisi Aku.
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Deru Campur Debu)
Dari puisi di atas, Chairil manamakan dirinya
“binatang jalang, dari kumpulannya terbuang”. Apabila suatu keyakinan sudah
terhunjam dalam hatinya, ia tidak akan ambil pusing dengan orang lain, ia akan
hidup seribu tahun lagi dengan keyakinan itu.
Di samping puisi Aku seperti tersebut di depan, ada satu lagi puisi Chairil yang
juga berjudul Aku, tetapi isi dan
bentuknya lain. Puisi Aku yang kedua
ditulisnya pada tanggal 8 Juni 1943, yang bunyinya sebagai berikut:
AKU
Melangkahkan aku bukan tuak
menggelegak
Cumbu-buatan satu biduan
Kujauhi ahli agama serta lembing
katanya
Aku hidup
Dalam hidup di mata tampak
bergerak
Dengan cacar melebar, darah
bernanah
Dan kadang satu senyum
kukucup-minum dalam dahaga.
(Kerikil Tajam dan yang Terempas dan yang Putus)
Beberapa puisi Chairil memang terasa
meledak-ledak. Kata-katanya tajam menyayat. Nadanya keras memberontak.
Dalam dunia puisi Indonesia, kiranya belum
ada puisi yang bersifat ekspresionistis seperti puisi Chairil yang berjudul 1943. Dalam puisi tersebut terlukis
penderitaan jiwa yang sangat dalam, konon diilhami oleh penghayatan Chairil
Anwar terhadap penderitaan bayi yang berumur 14 bulan dalam keadaan terlantar.
1943
Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam membelam
Jalan kaku-lurus. Putus
Candu
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum, Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku
(Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45)
Ekspresionisme adalah suatu aliran seni yang
berusaha menangkap pikiran dan perasaan dari sumbernya semula, yang masih dalam
bentuknya yang asli yang belum dipengaruhi oleh pikiran dan pertimbangan luar.
Bongkah-bongkah pikiran dan perasaan yang ditangkap dari sumbernya itu,
kemudian dilontarkan serta merta, dalam wujudnya yang asli, yang belum tersusun
dalam urutan yang runtut.
Chairil sebagai pencetus ekspresionisme dalam
sastra Indonesia berusaha mengutamakan keaslian pengucapan jiwa dalam
puisi-puisinya. Ada beberapa puisi Chairil yang berupa terjemahan, saduran, bahkan
plagiat. Akan tetapi, dari terjemahan dan sadurannya, tampak bahwa pribadi
Chairil terasa berperan di dalamnya.
Puisi Chairil Anwar yang berjudul Siap Sedia, yang di tulis tahun 1944,
walaupun sudah lolos dari sensor Jepang, kemudian digugat oleh Pemerintah
Militer Jepang (Goenseireibu) karena dalam puisi tersebut terdapat baris yang
berbunyi “Mengayun pedang ke dunia terang”. Kalimat tersebut oleh Pemerintah
Militer Jepang dianggap ditujukan kepadanya karena lambang dan bendera Jepang
berupa matahari. Karena itu, redaktur harian Asia Raya yang memuat puisi itu
mendapat teguran keras. Majalah Kebudayaan Timur pernah juga memuat puisi
tersebut, tetapi tanpa 3 bait penghabisan. Lengkapnya puisi tersebut sebagai
berikut.
SIAP SEDIA
Kepada
Angkatanku
Tanganmu
nanti tegang kaku,
Jantungmu
nanti berdebar berhenti,
Tubuhmu
nanti mengeras batu,
Tapi
kami sederap mengganti,
Terus
memahat ini Tugu.
Matamu nanti kaca saja,
Mulutmu nanti habis bicara,
Darahmu nanti mengalir berhenti,
Tapi kami sederap mengganti
Terus berdaya ke Masyarakat Jaya
Suramu
nanti diam ditekan,
Namamu
nanti terbang hilang,
Langkahmu
nanti enggan ke depan,
Tapi
kamu sederap mengganti,
Bersatu
maju ke Kemenangan.
Darah kami panas selama,
Badan kami tertimpa baja,
Jiwa kami gagah perkasa,
Kami akan mewarna di angkasa,
Kami membawa ke Bahagia nyata.
Kawan,
kawan
Menepis
segar angin terasa
Lalu
menderu menyapu awan
Terus
menembus surya cahaya
Memancar
pancar ke penjuru segala
Riang
menggelombang sawah dan hutan
Segala
menyala-nyala!
Segala
menyala-nyala!
Kawan, kawan
Dan kita bangkit dengan kesadaran
Mencucuk menerang hingga belulang
Kawan, kawan
Kita mengayun pedang ke Dunia Terang!
Chairil sering datang ke kantor Pusat
Kebudayaan untuk membacakan atau mendiskusikan puisi-puisinya dengan Angkatan
Muda masa itu. Puisi-puisi Chairil oleh para sastrawan dipandang merupakan
pemberontak, yang belum sepenuhnya orang dapat menghargainya ketika itu.
Bila dihitung, Chairil di masa Jepang tidak
banyak hasilnya. Dari puisinya Nisan (Oktober
1942) sampai dengan Siap Sedia (tahun
1944) tercatat karyanya puisi asli ada 36, sedangkan puisi sadurannya ada 2,
yaitu yang berjudul Rumahku dan Kepada Peminta-minta. Akan tetapi,
menurut penyelidikan J.E. Tatengkeng di antara 36 yang asli itu ada dua yang
berupa saduran, yaitu yang berjudul Taman
dan Di Masjid.
Chairil Anwar terkenal terutama sebagai
penyair. Karangannya yang berupa prosa (asli), yaitu (1) Pidato Chairil Anwar
tahun 1943 dan (2) berjudul Berhadapan
Mata, yang berbentuk surat yang ditujukan kepada H.B. Jassin.
6.
Idrus
Apabila Chairil Anwar membawa pembaharuan di
bidang puisi, maka Idrus membawa corak baru di bidang prosa. Dalam sketsa Corat-Coret di Bawah Tanah dan beberapa
karangannya kemudian, Idrus memperkenalkan corak atau gaya baru dalam penulisan
prosa, yang oleh H.B. Jassin disebut gaya kesederhanaan baru (nieuwe zakelijkheid), atau gaya menyoal
baru menurut Ajip Rosidi. Gaya kesederhanaan baru ini berupa penggunaan kalimat
yang pendek-pendek, padat bernas, dan memiliki asosiasi yang luas.. tanda-tanda
baca, kata-kata penghubung, dan kata-kata keterangan lain yang tidak penting
ditinggalkan. Bahkan, huruf-huruf besar pun jika perlu dapat ditinggalkan.
Beberapa karangan Idrus di masa Jepang dan
ditambah beberapa karangannya sesudah Proklamasi Kemerdekaan sudah diterbitkan
dalam satu kumpulan yang bernama Dari Ave
Maria ke Jalan Lain ke Roma. Dalam kumpulan itu termuat cerpen Ave Maria (karangan permulaan), drama Kejahatan Membalas Dendam, sketsa-sketsa
Corat-Coret di Bawah Tanah, Kisah Sebuah
Celana Pendek (cerpen), Surabaya (sketsa),
dan karangan yang terakhir berjudul Jalan
Lain ke Roma (novel). Sketsa-sketsa yang ada dalam Corat-Coret di Bawah Tanah berjudul Kota Harmoni, Jawa Baru, Pasar Malam Zaman Jepang, Sanyo, Fujinkai, Okh...Okh...Okh...,
dan Heiho. Karangan Idrus yang
lain yang sudah diterbitkan berjudul Aki yang
berupa novel yang bersifat simbolik.
Apabila diperhatikan karangan Idrus dari Ave Maria sampai dengan Aki, tampak perkembangan kejiwaan Idrus.
Mula-mula karangannya bersifat romantik idealistis (Ave Maria) kemudian berubah menjadi realisme yang sinis pada Corat-Coret di Bawah Tanah, dan dengan
melalui Jalan Lain ke Roma akhirnya
berkembang menjadi bercorak simbolik pada Aki.
7.
Bung Usman
Bung Usman termasuk penyair zaman Jepang yang
puisi-puisinya banyak di muat dalam Antologi
Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang. Puisi Bung Usman umumnya bersifat
sinis, mengejek masyarakat sekeliling. Akan tetapi, kesan puitis pada
puisi-puisinya hampir tak terasa. Nadanya mendatar dan kering dari irama dan
persajakan. Mungkin karena itulah, kepenyairan Bung Usman tidak berkembang lagi
sesudah kemerdekaan. Beberapa contoh puisi Bung Usman seperti di bawah ini.
HENDAK TINGGI
Mau tinggi,
di muka bumi???
Panjat kelapa
sampai ke puncak???
Alangkah tinggi
di muka bumi!!!
Puisi berikut ini mungkin ditujukan kepada
Chairil Anwar yang lengkapnya sebagai berikut.
HENDAK JADI “ORANG BESAR”???
Hendak jadi “Orang Besar”???
Di mana-mana nama tersiar?
“Besarkan saja kepalamu”!
Katakan saja katamu,
tuliskan saja pikiranmu,
datang saja di mana kau mau,
Jangan pusing orang
Anggap dirimu: “Binatang Jalang
dari kumpulannya terbuang”
Berlakulah jangan kepalang!!!
Orang akan berkata: “Kepala
Besar”!
Nah, kau sudah jadi “Orang
Besar”!!!
8.
Penyair-Penyair
Lain di Masa Jepang
Penyir-penyair lain di masa jepang yaitu M.S.
Ashar, B.H. Lubis, Nursyamsu, Maria Amin, Anas, Makruf, dan lain-lain.
Nursyamsu terkenal sebagai penyair wanita
yang puisi-puisinya mengharukan karena di dalamnya terpancarkan kejujuran dan
ketulusan hati seorang perempuan. Maria Amin seorang penyair wanita, yang
sebenarnya sudah menulis sejak Pujangga Baru. Di samping seorang penyair, ia
banyak menulis sketsa-sketsa yang bersifat simbolik karena tak tahan hatinya
melihat kepahitan hidup dalam masyarakat di masa Jepang. M.S. Ashar, penyair
zaman jepang yang terkenal dengan puisinya yang berjudul Bunglon yang menyindir orang-orang yang mudah menukar pendirian
semata-mata untuk keuntungan dan keselamatan.
9.
Pengarang-Pengarang
Prosa yang Lain
Kecuali yang tersebut di atas, pengarang
prosa yang lain adalah Bakri Siregar, kumpulan cerpennya diterbitkan berjudul Jejak Langkah. Karim Halim, novelnya
yang terbit zaman Jepang berjudul Palawija.
Nur Sutan Iskandar, novelnya yang terbit pada zaman Jepang berjudul Cinta Tanah Air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar