Periode
tahun 1945 mencakup masa perkembangan sastra Indonesia dari tahun 1945 sampai
sekitar tahun 1950. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945 mempunyai pengaruh yang besar sekali bagi kebudayaan Indonesia, termasuk
kehidupan dan perkembangan sastra. Bahasa Indonesia yang berkembang pesat pada
masa Jepang, yang sudah dipergunakan sebagai media dalam segala keperluan hidup
pada masa itu, sesudah Proklamasi Kemerdekaan ditetapkan sebagai bahasa resmi
negara Republik Indonesia. Persentuhannya dengan kebudayaan bangsa lain dan
dengan kemajuan teknologi modern makin memperkaya perkembangan bahasa
Indonesia. Dengan demikian, sebagai media pengungkapan sastra, bahasa Indonesia
memiliki potensi dan kemampuan yang makin bertambah besar.
Sikap para
pengarang dan seniman tentang kebudayaan Indonesia berbeda dengan masa sebelum
proklamasi. Mereka memandang perkembangan kebudayaan Indonesia dari horizon
yang lebih luas. Kemerdekaan telah memberikan kebebasan bagi mereka untuk
mengadakan orientasi pada perkembangan sastra dunia, baik Barat maupun Timur.
Pada mulanya
konsepsi dan pandangan mereka tentang masalah kebudayaan hampir bersamaan,
tetapi beberapa tahun kemudian timbul perbedaan-perbedaan. Walaupun perbedaan-perbedaan
tersebut menjadi jelas dan tajam sesudah tahun 50-an, benihnya sudah tumbuh
beberapa tahun sesudah kemerdekaan. Itulah sebabnya, periode tahun 1945
dibedakan atas dua corak, yaitu (a) Angkatan 45, dan (b) sastra di luar
Angkatan 45.
Kehidupan sastra
di luar Angkatan 45 tidak dibicarakan secara khusus. Sastra di luar Angkatan 45
meliputi kegiatan sastra para pengarang angkatan-angkatan sebelumnya yang tetap
menulis pada sekitar 1945, seperti Nur Sutan iskandar, Sutan Takdir
Alisjahbana, dan lain-lain. Selain itu, termasuk dalam kelompok tersebut para
pengarang yang kemudian menolak eksistensi dan konsepsi Angkatan 45 seperti
pengarang-pengarang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Seperti juga pada setiap
pembagian yang terdahulu maka batas-batas antara dua corak itu tidak tegas
benar. Pembagian itu lebih bersifat menjelaskan, bahwa tidak semua pengarang
dan seniman mendukung konsepsi dan ide Angkatan 45.
PENGERTIAN
ANGKATAN 45 DAN SIKAP PENGARANG TERHADAP ISTILAH ANGKATAN 45
1.
Pengertian
Angkatan 45
Dalam masyarakat Indonesia istilah Angkatan
45 memiliki dua pengertian, yaitu (1) pengertian dalam bidang politik, dan (2) pengertian
dalam bidang sastra dan seni.
Angkatan 45 dalam bidang politik mencakup
tokoh-tokoh masyarakat yang aktif berperan dalam perjuangan merebut dan
mempertahankan kemerdekaan sekitar tahun 1945. Angkatan 45 dalam pengertian ini
memiliki organisasi dan kepengurusan sendiri sejak dari pimpinan pusat sampai
pada cabang-cabangnya di daerah tingkat II di seluruh Indonesia.
Angkatan 45 dalam bidang sastra dan seni
mencakup sejumlah pengarang dan seniman Indonesia sejak masa sesudah Perang
Dunia II dan yang memiliki konsepsi dan corak tersendiri yang berbeda dengan
angkatan terdahulu.
Kedua pengertian itu tidak memiliki hubungan
secara langsung, tidak seperti halnya dua pengertian yang terkandung pada
istilah Pujangga Baru. Dalam hal ini bila disebut Angkatan 45 yang dimaksud
ialah Angkatan 45 dalam bidang sastra dan seni.
Nama Angkatan 45 sebenarnya baru
terkenal mulai tahun 1949 pada waktu
Rosihan Anwar untuk pertama kalinya melansir istilah Angkatan 45 dalam suatu
uraiannya dalam majalah Siasat tanggal 9 Januari 1949. Sebelum itu, orang
menggunakan istilah bermacam-macam, yaitu Angkatan Kemerdekaan, Angkatan
Chairil Anwar, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Pembebasan, Generasi
Gelanggang,, Angkatan Bambu Runcing, dan sebagainya.
Sejak tahun 1949 untuk menyebut angkatan yang
dimaksud orang menggunakan istilah Angkatan 45. Walaupun namanya Angkatan 45,
sebenarnya angkatan itu sudah timbul sejak tahun 1942 (zaman Jepang), yaitu
sejak munculnya sajak-sajak Chairil Anwar, yang baik bentuk, , gaya bahasa,
maupun isinya lain dari puisi-puisi sebelumnya.
Yang banyak jasanya dalam mempertegas
kehadiran Angkatan 45 serta kedudukan penyair dan sastrawan pendukungnya ialah
H.B. Jassin. Ia berhasil memberikan keterangan tentang seluk beluk angkatan itu
dan memberikan uraian tentang kepeloporan Chairil Anwar dalam angkatan
tersebut.
2.
Sikap Para
Pengarang Terhadap Istilah Angkatan 45
Ada beberapa pendapat tentang istilah
Angkatan 45, ada yang setuju terhadap istilah tersebut, ada pula yang
menyatakan kemerdekaan. Mochtar Lubis, Pramudya Ananta Toer, dan Sitor
Situmorang, termasuk pengarang yang menerima penggunaan istilah Angkatan 45,
sedangkan Asrul Sani dan beberapa pengarang lagi termasuk yang keberatan dengan
istilah Angkatan 45 dengan beberapa istilah dan semboyan lain yang sering
digunakan oleh angkatan tersebut. Baik yang setuju atau pun tidak, mempunyai
dasar alasan masing-masing.
Beberapa alasan yang dikemukakan oleh mereka
yang tidak setuju dengan istilah itu ialah sebagai berikut.
a.
Tahun 1945,
yaitu tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak sepenuhnya berhubungan
dengan hal-hal yang mulia dan baik, karena pada tahun itu juga terjadi
pembunuhan dan penculikan pada kedua pihak yang bertempur. Dengan demikian,
penamaan angkatan dengan tahun 1945 dapat juga mengingatkan kita pada hal-hal
yang keji dan kotor.
b.
Para
sastrawan diragukan sahamnya bagi perjuangan merebut dan mempertahankan
kemerdekaan sehingga timbul kesangsian
apakah mereka berhak menggunakan nama keramat Angkatan 45. Keraguan itu
berdasar atas adanya beberapa karangan Chairil Anwar yang terlalu bersifat
individualistis, karangan Idrus yang tampak sisnis terhadap perjuangan atau
revolusi bangsa, dan juga karangan Asrul Sani yang sering disebut bersifat
aristokratis intelektual.
c.
Angka tahun,
yaitu tahun 1945, adaah satu kesatuan waktu yang sangat singkat dan relatif
terlalu fana sehingga dengan penamaan tahun 1945 itu akan dengan cepat menimbulkan
sifat kekolotan beberapa tahun kemudian.
Sebaliknya mereka yang setuju dengan istilah
Angkatan 45 membantah alasan-alasan tersebut.
a.
Dikatakan,
bahwa dalam menilai sesuatu peristiwa kita harus dapat membedakan yang pokok
dengan yang tidak. Pembunuhan dan penculikan adalah soal kecil jika
dibandingkan dengan masalah perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan
suatu bangsa. Kemerdekaan adalah syarat mutlak bagi perkembangan kebudayaan
suatu bangsa, termasuk perkembangan sastra itu sendiri. Dengan demikian,
penamaan angkatan dengan nama tahun 1945 tetap memiliki nilai yang luhur, tidak
perlu harus dalam kaitannya dengan nilai-nilai yang rendah.
b.
Memang ada
puisi-puisi karya penyair bangsa kita pada saat itu yang memiliki interpretasi
negatif, tetapi apabila diteliti benar-benar dan diresapkan sungguh-sungguh
banyak puisi Chairil Anwar dan juga penyair yang lain, yang mengandung pikiran
yang dalam, yang tidak sedikit peranannya bagi perjuangan kemerdekaan. Salah
satu contoh, misalnya puisi Krawang-Bekasi
karya Chairil Anwar. Di samping itu, juga harus diingat bahwa perjuangan
kemerdekaan tidak harus selalu dalam hubungan
dengan perjuangan fisik atau senjata, tetapi memiliki pengertian luas.
c.
Sebenarnya,
tidak hanya penamaan yang menggunakan angka tahun yang mudah menimbulkan sifat
kekolotan, tetapi penamaan akan menjadi bersifat kolot apabila sudah timbul
angkatan atau generasi yang baru.
Berdasarkan hal-hal tersebut, mereka
berpendapat bahwa tahun 45 adalah tahun yang mulia bagi sejarah perjuangan bangsa,
tahun berhasilnya bangsa Indonesia
memperoleh kemerdekaan. Karena kemerdekaan suatu bangsa merupakan syarat
mutlak bagi perkembangan kebudayaan
bangsa itu maka pada tempatnyalah
apabila angkatan sastra di Indonesia sesudah Perang Dunia II menggunakan nama
Angkatan 45.
Pada kenyataannya, hingga dewasa ini nama
Angkatan 45 tetap digunakan dalam masyarakat, walupun para pengarang yang lazim
digolongkan dalam hal-hal tertentu mempunyai sikap dan pendirian yang berbeda.
Asrul Sani misalnya, kecuali tidak tertarik adanya suatu angkatan dan penamaan
angkatan itu, juga tidak setuju dengan penggunaan semboyan-semboyan yang sering
kurang dipahami benar isinya.
PERBEDAAN
ANGKATAN 45 DENGAN ANGKATAN PUJANGGA BARU
1.
Pendapat A.
Teeuw
Teeuw berpendapat bahwa ada perbedaan asasi
antara Angkatan 45 dengan Pujangga Baru, dan perbedaan itu berupa sifat
universal yang terdapat pada Angkatan 45. Dikatakan bahwa “Mereka adalah
manusia internasional yang modern dari tahun 1945 dan mereka memperlihatkan
yang demikian itu dalam rupa Indonesianya, tetapi hal ini soal kedua’ (1953:
172). Walaupun demikian perlu dibuat beberapa catatan sebagai berikut.
a.
Tidak benar
dan tidak adil apabila orang mengatakan bahwa sebelum tahun 1945 belum ada
kesusastraan Indonesia. Orang yang mengatakan demikian berarti tidak mengenal
Amir Hamzah dan peranan Pujangga Baru. Pendapat sendiri dianggap mutlak
kebenarannya sehingga dengan sendirinya juga
memberikan hak kepada angkatan yang akan datang untuk mengingkari
peranan angkatan 45.
b.
Juga tidak
benar anggapan yang menyatakan bahwa perbedaan Angkatan Pujangga Baru dengan
Angkatan 45, dapat dimisalkan sebagai perbedaan antara kepastian dan ilmu
pengetahuan di satu pihak dengan keyakinan
dan elan di pihak lain seperti pendapat Sitor Situmorang. Seperti kita
ketahui bahwa Sitor Situmorang berpendapat bahwa Angkatan Pujangga Baru
dibesarkan dengan zat dan semangat penjajahan, pikiran mereka penuh dengan ilmu
pengetahuan dan rumus-rumus pasti, tetapi mereka tidak ada keyakinan dan semangat untuk berbuat dan bertindak.
Tidak seperti halnya Angkatan 45. Pendapat tersebut tentu saja tidak adil atau tidak benar sepenuhnya. Proklamsi bahasa
Indonesia tahun 1928 yang dicetuskan para pemuda masa itu pun berdasarkan
keyakinan. Demikian juga apabila diresapkan benar-benar hampir pada semua
karangan Sutan Takdir Alisjahbana terdapat elan dan semangat, yaitu semangat
berjuang bagi kepentingan bangsa.
c.
Di samping
perbedaan asasi seperti tersebut di atas, ada pula garis-garis penghubung di
antara keduanya. Menurut A. Teeuw, berdasarkan karangan prosa dan puisinya
(terutama novel Belenggu), Armijn
Pane berhak sebagai penghubung dalam masa peralihan antara kedua angkatan itu,
walaupun ia masih di pihak Pujangga Baru.
d.
Selain itu
harus diingat bahwa seseorang dimasukkan
dalam angkatan, bukanlah semata-mata berdasarkan tahun lahirnya.
Catatan-catatan di atas dimaksudkan
untuk menyatakan bahwa perbedaan kedua
angkatan itu tidak mutlak benar.
2.
Pendapat
H.B. Jassin
Menurut Jassin, perbedaan antara Pujangga
Baru dengan Angkatan 45 terutama terletak dalam dua hal, yaitu:
a.
Gaya
Meskipun
antara pengarang Angkatan 45 yang seorang dengan yang lain terdapat perbedaan
pandangan hidup, mereka memiliki persamaan dalam hal gaya, yaitu gaya ekspresi
yang mendarah daging. Gaya ekspresi bertentangan dengan gaya impresi. Gaya
ekspresi berusaha mengadakan pendekatan terhadap sumber asal pikiran dan
keinsafan manusia sebelum dipengaruhi oleh pikiran luar. Gaya ekspresi
menangkap pikiran dan keinsafan itu dalam bentuknya yang asli, yang masih
berupa inti hakikat dari pernyataan jiwa yang hendak dilahirkan. Oleh karena
itu, gaya ekspresi bersifat lontaran pernyataan jiwa yang serta merta.
b.
Konsepsi
Angkatan 45
memiliki konsepsi yang jelas, yaitu humanisme universal. Konsepsi ini memandang
manusia dalam wujud hakikatnya, memandang manusia atas dasar sifat-sifatnya
yang umum, tanpa membedakan jenis kelamin, usia, dan sebagainya.
Pada
hakikatnya, setiap manusia sama, yaitu (1) memiliki jiwa rasional, etis dan
estetis. Manusia adalah makhluk berpikir, berkeadaban, dan memiliki rasa
keindahan; (2) mendambakan nilai-nilai yang luhur: kebebasan, keadilan,
kemerdekaan, kejujuran, dan persamaan derajat dan kedudukan.
Oleh karena
itu, humanisme universal berusaha memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang
luhur yang berlaku pada setiap manusia dan setiap bangsa. Oleh Jassin
dikatakan bahwa dengan konsepsi tersebut
Angkatan 45 tidak mengabdi pada satu isme, tetapi mengabdi pada kemanusiaan
yang mengandung segala yang baik dan segala isme.
Berdasarkan
konsepsi ini, maka titik berat perhatian Angkatan 45 dalam kebudayaan terletak
pada pembentukan kebudayaan dunia, kebudayaan yang bersifat universal yang
muncul dengan corak Indonesia. Konsepsi ini jelas sekali tercantum pada
pernyataan mereka yang bernama Surat Kepercayaan Gelanggang.
3.
Pendapat dan
Keterangan dari Beberapa Pengarang Angkatan 45 tentang Pujangga Baru
a.
Rivai Apin
Rivai Apin
berpendapat bahwa Pujangga Baru dalam memandang alam mudah berteriak pura-pura
dengan kata seru: O, wah, aduhai, dan
sebagainya. Rivai Apin memandang alam itu sebagai sesuatu yang diterimanya
seperti menerima adanya diri sendiri.
b.
Asrul Sani
Asru Sani
berpendapat bahwa Pujangga Baru mencoba memperoleh keindahan karangan dengan
segala bunga kata dan terlalu banyak menggunakan beelspraak (kata perbandingan). Mereka menempatkan filsafatnya
dalam kepalanya, bukan dalam penghidupan. Kehidupan di pandang sebagai wujud
dari puisi, bukan lagi sebagai unsur dari puisi.
c.
Sitor
Situmorang
Sitor
Situmorang mengatakan bahwa “pandangan dan tenaga mencipta kebudayaan Pujangga
Baru terikat pada zamannya, zaman sebelum Perang Dunia II, di zaman penjajahan
dengan zat-zat penjajahan”. Dikatakannya, bahwa Sutan Takdir Alisjahbana masih
hidup dalam alam pikiran antitese Barat dan Timur; sedangkan bagi Angkatan 45
yang dipersoalkan bukan lagi masalah Barat dan Timur, melainkan masalah
manusia, yaitu manusia telanjang pada manusia genetik.
4.
Pendapat dan
Keterangan dari Pujangga Baru
Armijn Pane menganggap bahwa antara keduanya
tidak ada perbedaan asasi. Demikian juga Sutan Takdir Alisjahbana menentang
keras suatu anggapan, bahwa kedua angkatan itu ada perbedaan yang tajam. Ia
beranggapan bahwa “dilihat dari jurusan pembebasan manusia baru dan pembuka
kemungkinan-kemungkinan baru bagi bahasa Indonesia; sesungguhnya gerakan
Angkatan 45 itu suatu sambungan belaka dari Pujangga Baru”. Sikap STA ini
dibuktikan juga dengan usaha menerbitkan kembali majalah Pujangga Baru pada
tahun 1948, yang akhirnya tahun 1954 berhenti terbit untuk selama-lamanya.
Majalah Pujangga Baru sesudah perang ini tidak semata-mata menyuarakan Angkatan
33 saja. Angkatan 45 pun turut menyumbangkan tulisan-tulisannya. Majalah
Pujangga Baru sesudah perang bersifat heterogen.
Menghadapi dua sikap dari dua pihak tersebut
Jassin memberikan kesimpulan bahwa antara Angkatan Pujangga Baru dan Angkatan
45 sesungguhnya tidak ada pertentangan, hanya ada perbedaan, tetapi perbedaan
itu sangat nyata beralasan perlainan rasa hidup.
5.
Kesimpulan
Dari berbagai pendapat dan keterangan yang
tersebut di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara Angkatan 45
dengan Angkatan Pujangga Baru meliputi hal-hal sebagai berikut.
a.
Perbedaan
Konsepsi
Perbedaan
yang paling penting antara kedua angkatan itu ialah perbedaan konsepsi.
Angkatan 45 memiliki konsepsi humanisme universal, yang meletakkan tekanan
pembangunan kebudayaan pada kebudayaan dunia. Seperti dinyatakan dalam Surat
Kepercayaan Gelanggang, yaitu suatu pernyataan Angkatan 45, mereka adalah ahli
waris yang sah dari kebudayaan dunia dan akan mereka teruskan kebudayaan itu
dengan cara mereka sendiri.
Pengarang-pengarang
Angkatan 45 dalam manusia universal yang memandang manusia terutama pada wujud
hakikatnya. Masalah corak Indonesia soal kedua karena tekanan terletak pada
manusia universal.
Sebaliknya, konsepsi
Pujangga Baru menitikberatkan perjuangan membentuk kebudayaan persatuan
kebangsaan. Mereka memiliki kesamaan cita-cita, yaitu kebudayaan persatuan
kebangsaan, walaupun bagaimana pembentukannya mereka berbeda pendapat.
Pengarang-pengarang Pujangga Baru adalah mereka yang mendambakan manusia
Indonesia dengan kebudayaan yang bercorak Indonesia pula.
b.
Perbedaan
Gaya
Seperti
disebutkan di atas, Angkatan 45 pada umumnya memiliki gaya ekspresi, yang
mengutamakan keaslian pengucapan jiwa. Jelmaan pengalaman jiwanya bersifat
lontaran perasaan yang serta merta. Gaya ekspresi yang mendarah daging ini
disebabkan oleh sikap dan pandangan yang bersifat revelusioner yang tidak hendak terikat oleh tradisi dan konvensi yang
sudah beku.
Angkatan
Pujangga Baru pada umumnya memiliki gaya impresi, yang lebih banyak terikat
pada kesan-kesan luar dari objek-objek
yang dilukiskan. Jelmaan pengalaman jiwanya lebih banyak ditentukan oleh
pikiran-pikiran luar yang mungkin berupa pertimbangan-pertimbangan dari segi
ilmu pengetahuan, filsafat, tradisi, serta konvensi-konvensi yang ada dalam
masyarakat.
c.
Perbedaan
Corak Aliran
Karena
sikapnya yang hendak melukiskan segala sesuatu sampai sedalam-dalamnya maka
umumnya karya sastra Angkatan 45 bercorak romantik realitas/naturalis. Corak
ini jelas sekali pada karangan-karangan yang berupa prosa, seperti novel
karangan Idrus, Pramudya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan lain-lain. Sebaliknya,
Angkatan Pujangga Baru umumnya bercorak romantik idealistis. Mereka melukiskan
sesuatu tidak dengan sikap menerima seperti apa adanya, melainkan lebih banyak
dipengaruhi oleh emosi dan harapan-harapannya.
d.
Perbedaan
Peranan Majalah sebagai Media Angkatan
Angkatan
Pujangga Baru memiliki majalah Pujangga Baru, yang khusus memuat karangan,
pikiran, dan pendapat pengarang-pengarang Pujangga Baru. Dari majalah itu kita
dapat mengikuti pertumbuhan dan dan perkembangan serta cita-cita Pujangga Baru.
Majalah itu merupakan suatu lingkungan yang mempersatukan mereka.
Angkatan 45
tidak memiliki lingkungan tertentu yang tetap, baik dalam wujud organisasi
maupun majalah. Majalah yang pertama terbit sesudah perang ialah majalah Panca
Raya, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Majalah ini sering memuat puisi
Chairil Anwar, tetapi bukan semata-mata majalah kesusastraan, dan dengan
sendirinya bukan pembawa suara Angkatan 45. Pada tahun 1946 didirikan semacam
organisasi Gelanggang, yang pendirinya antara lain: Chairil Anwar, Asrul Sani,
Rivai Apin, M. Akbar Juhana serta para pelukis Mochtar Apin, Baharuddin, dan
Henk Ngantung. Hasilnya menerbitkan majalah Gema Suasana, yang kemudian berubah
menjadi Gema yang berlangsung 1 Januari 1948 s.d Oktober 1950. Selain itu,
mereka juga banyak menulis dalam Gelanggang, suatu lampiran majalah Siasat yang
sejak Oktober 1950 menggunakan subtitel Cahier
Seni dan Sastra, dengan redaksi Asrul Sani dan Rivai Apin. Itulah mungkin
media yang dicoba untuk membentuk lingkungan mereka, tetapi tidak dapat
bertahan lama.
Beberapa
majalah kebudayaan lain yang terbit sesudah kemerdekaan antara lain: Indonesia,
yang semula diterbitkan oleh Balai Pustaka dengan Idrus sebagai pimpinan
redakturnya, kemudian diterbitkan oleh Badam Musyawarah Kebudayaan Nasional
(BMKN) sebagai lembaga kebudayaan hasil Kongres Kebudayaan di Magelang (1948).
Kongresnya yang kedua di Bandung (1952). Di samping itu, terbit majalah Zenith,
Pujangga Baru (versi sesudah Perang), Mimbar Indonesia, Konfrontasi (yang
sering dipandang sebagai kelanjutan majalah Pujangga Baru), Seni, dan
lain-lain. Majalah-majalah tersebut tidak ada yang dapat dipandang sebagai
media khusus Angkatan 45.
SURAT
KEPERCAYAAN GELANGGANG
Surat
Kepercayaan Gelanggang merupakan sikap dan pendirian Angkatan 45, walaupun
pernyataan itu dibuat pada tanggal 18 Pebruari 1950 dan baru disiarkan dalam
majalah Siasat pimpinan Rosihan Anwar pada tanggal 22 Oktober 1950. Jadi, lebih
kurang setahun sesudah Chairil Anwar meninggal (28 April 1949).
Surat
Kepercayaan Gelanggang adalah pernyataan sikap perkumpulan “Gelanggang Seniman
Merdeka”, suatu perkumpulan yang didirikan pada tahun 1947 yang di dalamnya
selain pengarang, juga berkumpul pelukis-pelukis, musikus, dan seniman lain.
Karena pengarang Angkatan 45 berkumpul bergerak dalam kelompok ini maka Surat
Kepercayaan Gelanggang dipandang sebagai pernyataan sikap dan pendirian
Angkatan 45 atau sebagai perwujudan konsepsi angkatan tersebut.
Isi
selengkapnya Surat Kepercayaan Gelanggang itu sebagai berikut.
SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG
Kami adalah
ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan
cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat
bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat
dapat dilahirkan.
Keindonesiaan
kami tidak semata-mata kilit kami sawo matang, rambut kami yang hitam, atau
tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa yang
diutarakan oleh wujud pernyataan hati pikiran kami. Kami tidak akan memberikan
suatu kata-ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang
kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama
sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan
kehidupan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan
berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh bentuk suara sendiri. Kami
akan menentang segala usaha-usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak
betulnya pemeriksaan ukuran nilai.
Revolusi
bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus
dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolusi di tanah air kami
sendiri belum selesai.
Dalam
penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli, yang pokok ditemui itu adalah
manusia. Dalam mencari, membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan
kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang
mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.
Jakarta,
18 Pebruari 1950
Bilamana
kita ringkaskan, maka isi pokok Surat Kepercayaan Gelanggang tersebut ialah:
1.
Angkatan 45
memandang dirinya sebagai ahli waris kebudayaan dunia dan akan diteruskan
kebudayaan itu menurut cara mereka sendiri.
2.
Keindonesiaan
mereka hanya dapat dikenaldari wujud pernyataan hati dan pikiran mereka, bukan
dari bentuk-bentuk lahirnya.
3.
Kebudayaan
Indonesia Baru tidak semata-mata berdasarkan kebudayaan Indonesia Lama, tetapi
ditetapkan dari ramuan hasil kebudayaan yang datang dari segenap penjuru dunia,
yang kemudian dilontarkan kembali dalam wujud ciptaan menurut kehendak mereka.
4.
Revolusi bagi
mereka adalah penempatan nilai-nilai baru di atas nilai-nilai lama yang sudah
usang yang harus dihancurkan.
5.
Mereka
berpendapat bahwa antara masyarakat dan seniman terjadi saling mempengaruhi.
Surat Kepercayaan Gelanggang penting artinya
untuk memahami sikap, pendirian, cita-cita Angkatan 45. Konsepsi Angkatan 45
tercermin dan bersumber Surat Kepercayaan Gelanggang.
Walaupun di antara pengarang Angkatan 45 ada
yang tidak setuju dengan Surat Kepercayaan Gelanggang, pada hakikatnya antara
Surat Kepercayaan Gelanggang dengan Angkatan 45 ada kaitan yang erat sekali.
PARA
PENGARANG ANGKATAN 45
1.
Chairil
Anwar
Berdasarkan penelitian H.B. Jassin, selama
kegiatannya dari tahun 1942 sampai tahun 1949 Chairil Anwar telah menghasilkan
94 tulisan, yang terdiri dari 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi
terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan.
Akan tetapi, seperti yang telah disebutkan,
jumlah 70 puisi asli itu harus dikurangi dua sebagai puisi saduran, yaitu (1)
puisi Di Masjid, sebagai saduran
puisi De Waan Zinnige, karangan Jan
H. Eekhout, (2) puisi Taman, sebagai
saduran puisi De Tuin, karangan
Anthonie Donker dalam kumpulan puisinya De
Einder.
Dari jumlah semuanya itu, menurut
penyelidikan ternyata 8 puisi Chairil berupa plagiat, yang terdiri atas 6 puisi
saduran dan 2 puisi terjemahan. Puisi plagiat yang berupa saduran kecuali 2
puisi yang ditunjukkan oleh J.E Tatengkeng seperti tersebut di atas, maka puisi
yang lain adalah: (a) Rumahku, saduran
puisi Woninglooze karangan
Slauerhoff. (b) Kepada Peminta-minta, saduran
puisi Tot den Arme karangan Willem
Elsschot. (c) Orang Berdua, saduran puisi de Geisheidenen, karangan H. Marsman. (d) Krawang Bekasi (Kenang, Kenanglah Kami), saduran puisi The Young Dead Soldiers, karangan Mac
Leish. Satu di antara saduran tersebut seperti di bawah ini berdasarkan
penelitian H.B. Jassin.
Tot Den Arme
1)
Gij met uw’
weiflend’ handen
2)
en met uw
vreemden hoed,
3)
uw aanblik
streamt mijn bloed
4)
en doet mij
klappertanden
5)
Verhalen
moet gij niet
6)
Van uw
eentonig leven
7)
het staat op
u geschreven
8)
wat er met u
geschiedt.
9)
De
letterteekens spelen
10)
om uwen
armen mond,
11)
die
kommervolle wond
12)
Waarlangs uw
vingers streelen.
13)
Het klinkt
uit uwen tred,
14)
het snikt
uwe kluchten,
15)
het sujpelt
uit de luchten
16)
waar gij u
nederzed
17)
Het komt
mijn droomen storen
18)
en smakt mij
op den grond,
19)
ik prof het
in mijn mond
20)
het grinnikt
in mijn ooren.
21)
Ik zal ter
kerke gaan
22)
en biechten
mijne zonden,
23)
en leven met
de honden,
24)
maar staar
mij niet zoo aan
(Willem Elsschot)
Kepada
Peminta-minta
21. Baik, baik aku akan menghadap dia
22. Menyerahkan diri dan segala dosa
24. Tapi jangan lagi tentang aku
3. Nanti darahku jadi beku
5. Jangan lagi kau bercerita
7. Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga
13. Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
15. Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah
17. Mengganggu dalam mimpiku
18. Menghempas aku di bumi keras
19. Di bibirku terasa pedas
20. Mengaum di telingaku
21. Baik, baik aku akan menghadap Dia
22. Menyerahkan diri dan sagala dosa
24. Tapi jangan lagi tentang aku
3. Nanti darahku jadi beku
Adapun plagiat yang berupa terjemahan yaitu:
(a) Datang Dara Hilang Dara, terjemahan
sajak A Song of the Sea, karangan Hsu
Chih Mo. (b) Fragmen (tiada lagi yang
akan diperikan), satu fragmen dari Preludes
to Attitude, yaitu bagian IX yang berjudul Nothing to Sasy You Say, karangan Conrad Aiken. Berikut ini adalah
kutipan satu bagian terjemahan A Song of
the Sea.
“Girl, girl alone,
Why do you wander
The twilight shore
Girl, go home, girl!”
“No, I won’t go!
Lwt the evening wind blow
On the sands, in the glow
My hair is combed by the winds,
As Jander to and fro”.
Terjemahannya:
“Dara, dara yang sendiri,
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
“Tidak, aku tidak mau!
Bila angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu?
(Jassin, 1956: 95)
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Chairil
Anwar mendapat pengaruh dari beberapa penyair Belanda sebelum Perang Dunia II,
seprti H. Marsman, Slauerhoff, E. Du Perron, Ter Braak, Jan H. Eekhout, dan
lain-lain. Pengaruh Marsman pertama-tama tapak pada sikap Chairil, yaitu sikap
hidup yang penuh vitalitas. Vitalisme Marsman banyak memberikan dorongan dalam
kehidupan Chairil. Di samping itu, juga sajak-sajak Marsman memberikan pengaruh
pada sajak-sajak Chairil.
Tentang pengaruh-pengaruh pada Chairil Anwar
ini, H.B. Jassin mengatakan bahwa pengaruh-pengaruh itu sudah demikian
meresapnya pada jiwanya sehingga terjalin secara organis dalam hasil seninya.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa dalam pengaruh itu tampak pula keaslian
diri pribadinya. Lebih lanjut, H.B. Jassin memberikan analisis proses itu pada
Chairil Anwar. Mula-mula ada sesuatu yang hidup pada jiwa Chairil yang
menghendaki pengucapan. Dalam usaha mencari bentuk pengucapan itu Chairil
bertemu dengan Marsman dan Slauerhoff, dan kemudian Chairil menggunakan alat
yang dipakai oleh kedua penyair Belanda itu dalam pengucapannya.
Pengaruh yang ada pada Chairil Anwar dapat
berupa pengambilan motif yang sama, penggunaan kata dan perbandingan yang
serupa, dapat juga semata-mata berupa persamaan semangat. Oleh Jassin diberikan
beberapa contoh pengaruh dalam hal penggunaan motif yang sama, tetapi dalam
wujud pikiran yang berbeda, antara lain sebagai berikut:
weining liefde en wijn, veel
water
soms en racket, een zweep, maar
stelling nimmer een zwaard.
(Marsman)
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu, hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi
kemurnian madu!
(Chairil Anwar)
Contoh lain:
De rozen worden zwarten in uw
haar
war zijn uw handen?
(Marsman)
Matamu ungu membatu
Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu?
(Chairil Anwar)
Adapun sajak Chairil yang mendapat pengaruh
dari sajak-sajak H. Marsman, baik pengaruh dalam arti penggunaan motif yang
sama maupun pengaruh dalam arti saduran, yaitu: (a) Orang Berdua (dengan Mirap) saduran puisi sajak Marsman, yang
berjudul De Gesheidene; (b) Kepada
Kawan, mendapat pengaruh dari sajak-sajak Marsman yang berjudul de Hand van Diechter, Doodsstrijd; Don Juan;
Ontmoeting in Memoriam Mijzelf.
Di samping itu, pada sajak-sajak Chairil yang
berjudul Selamat Tinggal dan Aku, menurut Slametmuljana juga ada
unsur pengaruh dari sajak-sajak Marsman, tetapi oleh Jassin dikatakan bahwa
adanya pengaruh itu terlalu dicari-cari.
Selain H. Marsman, maka Slauerhoff adalah
penyair Belanda yang banyak mempengaruhi Chairil Anwar. Mereka berdua bersama
dengan Du Perron, Ter Braak, dan Elsschot (Belgia) adalah penyair-penyair yang
banyak menulis dalam majalah Forum dan De vrije Bladen.
Tentang daftar selengkapnya nama puisi
karangan Chairil Anwar, baik yang asli, saduran, terjemahan, maupun
pengaruh-pengaruh yang tampak pada puisi tersebut dapat dibaca pada buku Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45, yang
disusun oleh H.B. Jassin.
Memang tidak dapat disangkal peranan Jassin
besar sekali bagi terkenalnya Chairil sebagai penyair, baik dalam masyarakat
sastra Indonesia maupun di luar negeri, terutama di dunia Barat. Dalam hal ini
perlu disebutkan juga jasa Sutan Syahrir yang memberikan keterangan-keterangan
tentang penyair Chairil pada tahun 1947 di Paris sehingga sastrawan-sastrawan
Barat tertarik pada puisi-puisi Chairil.
Dalam masyarakat sastra Indonesia,
pembicaraan tentang Chairil dan karangan-karangannya telah banyak dilakukan.
Bahkan, Boen S. Oemarjati telah memperoleh gelar doktor dalam bidang ilmu
sastra dengan mengambil disertasi yang berjudul Chairil Anwar, The Poet and His Language, di bawah bimbingan A.
Teeuw.
Di samping itu, dalam masyarakat Indonesia
dewasa ini ada kecenderungan menjadikan hari wafatnya Chairil Anwar tanggal 28
April sebagai hari kegiatan kesusastraan. Bahkan ada pemikiran untuk menjadikan
tanggal tersebut sebagai hari kesusastraan atau hari Chairil Anwar.
Kepeloporan Chairil Anwar dalam perkembangan
sastra Indonesia memang tidak dapat diragukan. Ia telah mengadakan pembaharuan
dalam bidang puisi Indonesia. Beberapa keistimewaan puisi Chairil Anwar antara
lain:
a.
penggunaan
bentuk-bentuk puisi bebas yang tidak terikat oleh jumlah baris, jumlah suku
kata, dan rima akhir yang teratur;
b.
penggunaan
unsur-unsur bunyi secara intensif sehingga di samping sebagai pendukung arti,
bunyi-bunyi tersebut mampu menjelmakan suasana tertentu;
c.
penggunaan
gaya bahasa, lambang, dan perbandingan-perbandingan baru yang bersifat
universal, misalnya: mengembara serupa Ahasveros; dikutuksumpahi Eros;
d.
penjelmaan
ide, pikiran, dan pengalaman jiwa dalam wujud yang bersifat prismatis, yang
memiliki kedalaman makna dan keluasan pengertian. Puisi prismatis adalah puisi
yang bersifat membias, yang tidak langsung berbicara kepada kita. Ide dan makna
yang terkandung di dalamnya perlu ditafsirkan melalui lambang, perbandingan,
motifmotif yang digunakan dalam puisi itu. Puisi-puisi yang ditulis sebelum
Chairil umumnya bersifat diafan, artinya langsung dapat dimengerti maksudnya
tanpa banyak penafsiran;
e.
pemilihan
kata yang digali dengan segenap kemampuannya, sehingga kata-kata yang terdapat
dalam puisinya benar-benar digunakan setepat-tepatnya, baik ditinjau dari segi
arti, bunyi, bentuk, susunan, maupun gaya bahasanya;
f.
penggunaan
gaya ekspresi yang benar-benar mengutamakan keaslian pengucapan, menjelmakan
pikiran-pikiran dalam wujudnya yang murni;
g.
dalam
usahanya menjelmakan pikiran dengan kata yang setepat-tepatnya tersebut,
Chairil telah menempa pemakaian bahasa Indonesia dalam wujud yang baru, yang
sering dipandang menyimpang dari cara-cara tradisional.
Jika dikaji benar-benar, masih ada hal lain
dalam puisi Chairil yang dapat dipandang sebagai suatu pembaharuan dibandingkan
dengan puisi-puisi masa sebelumnya.
Rachmat Djoko Pradopo (1976: 11) mengatakan
bahwa bila diselidiki, dalam puisi-puisi Chairil tampak adanya gaya imajisma,
yaitu suatu gaya yang “melukiskan pengertian dengan imaji-imaji, dengan
memberikan lukisan/keadaan yang berarti ganda, yang sugestif”. Diberikan contoh
misalnya baris-baris puisi Chairil yang berbunyi: Hidup dari hidupku pintu terbuka//Selama matamu bagku menengadah, dapat
ditafsirkan “Penyair akan selalu mendapatkan jalan, harapan-harapan (pintu
terbuka), selama kekasihnya, istrinya masih cinta/setia (menengadah)
kepadanya.”
Puisi imajisma yang murni lazimnya
pendek-pendek, bebas, dan berupa lukisan-lukisan saja. Ide dan emosi penyair
dijelmakan melalui imaji-imaji yang jelas dan tepat yang merupakan suatu
kebulatan.
Dalam perkembangan puisi kontemporer pada
dewasa ini beberapa penyair menggunakan gaya mantra dan tipografi sebagai unsur
kepuitisan yang penting. Seorang tokoh penting dalam hal ini ialah Sutardji
Calzoum Bachri yang telah menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul O Amuk Kapak. Menurut Rachmat Djoko
Pradopo, prototipe gaya mantra itu sesungguhnya sudah ada pada puisi Chairil
Anwar, antara lain yang berjudul Cerita
Buat Dien Tamaela. Kepeloporan Chairil tidak dapat disangkal lagi. Ia telah
membawa corak baru dalam perkembangan puisi Indonesia, terutama dalam gaya dan
pengucapannya yang puitis, juga dalam hal ide dan pikiran yang terkandung di
dalamnya. Akan tetapi, dari mana pembaharuan itu dan bagaimana puisi-puisinya
orang dapat berbeda pendapat.
Sutan Takdir Alisjahbana (1975: 55) menilai
bahwa dalam hal perkembangan bahasa Indonesia, Chairil telah membuka
kemungkinan-kemungkinan ke arah yang tak terduga-duga. Chairil memiliki
keberanian memberikan arti sendiri pada kata-kata, mengadakan kombinasi
kata-kata yang menantang semua konvensi, membuat susunan kalimat yang
melompat-lompat dengan ketiba-tibaan, lekuk dan kelok yang tak
tersangka-sangka, dengan memakai logika yang sering bersifat antilogika, tetapi
justru karena sekaliannya itu menimbulkan ketajaman dan kedalaman arti yang
jarang tersua.
Dalam hal ini Sutan Takdir Alisjahbana
memandang bahwa percobaan ke arah puisi serupa telah tampak pada Rustam
Effendi, bahkan lebih-lebih pada Armijn Pane. Beberapa puisi Chairil tentang
maut oleh Sutan Takdir Alisjahbana dipandang sebagai gejala pesimisme, akibat
pertemuannya dengan penyair-penyair Eropa sebelum Perang Dunia II. Oleh karena
itulah, dalam penilaian keseluruhan puisi Chairil Anwar, akhirnya Sutan Takdir
Alisjahbana (1975: 60) sampai pada suatu pendapat sebagai berikut.
“Saya bandingkan sajak-sajak
Chairil Anwar dengan makan rujak yang asam, pedas, dan asin yang bermanfaat
untuk menyegarkan bagi orang yang terlampau banyak makan yang bergemuk atau
yang mempunyai diet yang terlampau monotopi, dan selanjutnya saya berkata:
‘Seharusnya kita mesti girang dengan kesegaran yang dibawanya dalam suasana di
negeri kita, asal saja kita ingat, rujak yang asam, pedas, asin, dan banyak
terasinya ini bermanfaat untuk mengeluarkan keringat, tetapi tak dapat
dijadikan sari kehidupan manusia. Ini kebudayaan meniti benang di atas jurang’.
Rujak bukanlah makanan yang
mengenyangkan, yang menumbuhkan tulang dan otot, dan dapat menjadi dasar dari
kehidupan yang sehat.”
Demikianlah beberapa penilaian kembali
tentang Chairil Anwar dan karyanya. Di samping itu, ada hal-hal yang perlu
dibicarakan di sini, walaupun hal tersebut sudah sejak lama dibicarakan orang.
a.
Vitalitas
Chairil Anwar
Vitalitas
berarti kemampuan hidup penuh dengan semangat. Seorang vitalis berarti seorang
yang memiliki semangat atau nafsu hidup yang meluap-luap. Bahwa Chairil Anwar
seorang vitalis, tidak dapat dibantah lagi. Akan tetapi, vitalitas Chairil
Anwar berbeda dengan vitalitas pengarang-pengarang sebelumnya.
Vitalitas
Chairil Anwar merupakan semangat hidup yang berusaha hendak mengisi eksistensi
hidup ini dengan sepenuh-penuhnya dan mempertanggungjawabkan hidup dengan penuh
kesadaran. Chairil Anwar menghadapi hidup ini dengan seluruh adanya dirinya,
dengan akunya yang bebas. Chairil ingin merombak cara berfikir yang dogmatis
dan ingin menegakkan pikiran-pikiran baru demi martabat manusia. Sikap inilah
yang menyebabkan beberapa puisi Chairil Anwar tampak bersifat anarkistis dan
individualistis.
Chairil
berusaha meneguk hidup ini sepuas-puasnya, hendak mengisi hidup ini
sepenuh-penuhnya, dan menyelami hidup ini sampai pada segala ceruk meruknya.
Sebagai konsekuensi sikap hidup semacam itu ialah pergulatannya dengan maut.
Itulah sebabnya, Slametmuljana dan Sutan Takdir Alisjahbana memandang vitalitas
Chairil sebagai vitalitas yang bersifat pesimistis dan tragis. Dalam
penyelidikan terhadap puisi-puisi Chairil Anwar, terutama yang terdapat dalam kumpulan
puisi Deru Campur Debu, Slametmuljana berkesimpulan bahwa puisi-puisi Chairil
Anwar mulai dengan kesedihan dan berakhir dengan kesedihan.
Dibandingkan
dengan vitalitas Sutan Takdir Alisjahbana lain halnya. Sutan Takdir Alisjahbana
memiliki semangat hidup yang penuh dengan kegembiraan, semangat hidup yang
bergelora demi perjuangan bangsa.
Sebenarnya
vitalitas itu ada pada setiap pengarang, hanya corak dan kadar intensitasnya
berlainan. Sutan Takdir Alisjahbana menilai vitalitas Rustam Effendi tak kurang
dari vitalitas Chairil Anwar. Akan tetapi, vitalitas Rustam Effendi masih kusut
berbelit-belit dengan romantik, kurang memiliki kebebasan sabagaimana Chairil
Anwar.
b.
Individualisme
Chairil Anwar
Individualisme
Chairil Anwar bukan individualisme yang egistis atau uber mens. Individualisme atau keakuan Chairil Anwar berpangkal
pada sikap hidup dan eksistensialitasnya.
Keakuan
Chairil bukan untuk kepentingan diri sendiri atau berpusat pada dirinya
sendiri. Keakuan Chairil dimaksudkan untuk kepentingan martabat dan nilai-nilai
kemanusiaan. Manusia hidup harus dapat mengisi eksistensinya. Memperjuangkan
hakikat kemanusiannya, yang semuanya itu tidak perlu harus sejalan dengan
nilai-nilai kemasyarakatan, tradisi atau konvensi-konvensi yang sudah ada.
c.
Pandangan Chairil
Anwar tentang Ilham dan Keindahan
Chairil
membedakan dua macam ilham, yaitu ilham yang sebenarnya dan ilham yang tidak
sebenarnya. Tidak semua yang menggetarkan jiwa itu ilham. Ilham harus dicari
dan jika diperoleh kemudian ditimbang, dipilih, dan dikupas, dan jika perlu
dilemparkan sama sekali. Dalam mencari ilham seorang pengarang seharusnya aktif
mengadakan orientasi terhadap pengarang-pengarang dunia, dan menyelami seluruh
liku-liku kehidupan. Menurut Chairil Anwar, seni adalah harmoni antara ilham
dan pikiran.
Berbeda
dengan sikap Chairil Anwar tentang ilham, pengarang-pengarang Pujangga Baru
pada umumnya bersikap menunggu dan beranggapan bahwa seni itu adalah terutama perasaan.
Tentang
keindahan, Chairil berpendapat bahwa keindahan harus berpangkal pada vitalitas,
pada hidup, dan nafsu hidup. Chairil Anwar menyebutkan bahwa vitalitas itu chaostis voorstadium, sedangkan
keindahan itu cosmis eindstadium. Vitalitas
itu sifatnya kacau balau, campur baur, sedangkan keindahan bersifat harmonis,
penuh keselarasan.
d.
Masalah
Bentuk dan Isi
Chairil
berpendapat bahwa hasil sastra “terbagi” dalam bentuk dan isi, walaupun batas
antara keduanya tidak dapat dikemukakan karena keduanya “rapat berjalan sama,
mereka gonta-ganti tutup menutupi”.
Yang jadi
bentuk adalah cara si seniman menyatakan perasaan-perasaan dengan yang
istimewa, yang khas, dan yang sanggup mengharukan pembaca dan peminat. Jadi,
yang penting menurut Chairil adalah “si seniman dengan caranya menyatakan harus
memastikan tentang tenaga perasaan-perasaan”, yang dengan bahan bahasa yang
dipakai secara intuitif.
Adapun
karangan-karangan Chairil yang sudah dibukukan yaitu: (1) Deru Campur Debu, kumpulan puisi yang diterbitkan pertama kali
tahun 1949 oleh Penerbit Pembangunan. Kumpulan ini terdiri dari 27 puisi. (2) Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang
Putus, kumpulan puisi yang diterbitkan pada tahun 1949 oleh Pustaka Rakyat.
Kumpulan ini terbagi atas dua bagian, yaitu Kerikil
Tajam yang terdiri atas 32 puisi dan Yang
Terempas dan Yang Putus terdiri atas 11 puisi.
Anehnya,
sebagain besar puisi yang terdapat pada kumpulan Deru Campur Debu terdapat pula pada Kerikil Tajam dan yang Terempas dan yang Putus.
Selain tiga
kumpulan puisi tersebut, ada beberapa puisi Chairil yang dikumpulkan bersama
puisi Srul Sani dan Rivai Apin, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun
1950 dengan judul Tiga Menguak Takdir. Dalam
kumpulan puisi bertiga ini hanya ada satu puisi yang belum disiarkan dalam dua
kumpulan puisinya yang terdahulu.
Judul ini
menarik perhatiaan penelaah sastra karena mengandung kata-kata yang dapat
ditafsirkan dalam dua pengertian, yaitu (1) Tiga Menguak Takdir (Takdir =
nasib) atau (2) Tiga Menguak Takdir (Takdir = pemimpin Pujangga Baru). Judul
yang beruapa kata-kata semacam itu terdapat juga dalam sastra Belanda, yaitu
kumpulan puisi yang berjudul Drie op een
Perron (Tiga di Atas Sebuah Perron), yang di dalam buku itu tiga penyair
muda Belanda menentang seorang penyair, kritikus, dan esais terkenal, Du
Perron.
Selain tiga
kumpulan puisi di atas, masih ada beberapa karangan Chairil yang terserak-serak
pada berbagai majalah, sebagian besar berupa puisi dan ada juga berbentuk
prosa.
H.B. Jassin
telah mencoba mengumpulkan dan menganalisis tulisan-tulisan tersebut yang
kemudian diterbitkan dengan judul Chairil
Anwar, Pelopor Angkatan 45. Karangan Chairil yang berupa prosa ada 6 yang
asli, yaitu yang berjudul Pidato Chairil
Anwar 1943; Berhadapan Mata; Hoppla; Tiga Muka Satu Pokok; Pidato Radio 1946; dan
Membuat Sajak, Melihat Lukisan. Berikut
ini adalah kutipan sebagian karangan Chairil yang berbentuk prosa.
PIDATO RADIO 1946
Kawan-kawan
pendengar,
Sebuah sdjak
jang mendjadi adalah suatu dunia. Dunia jang didjadikan, ditjiptakan kembali
oleh sipenjair. Ditjiptakannja kembali, dibentukkannja dari benda (materie) dan
rohani, keadaan (ideeel dan visueel) alam dan penghidupan sekelilingnja, dia
djuga mendapat bahan dari hasil-hasil kesenian lain jang berarti bagi dia,
berhubungan djiwa dengan dia, dari pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat orang
lain, segala jang masuk dalam bajngannja (veerbeelding), anasir-anasir atau
unsurunsur jang sudah ada didjadikannja, dihungkannja satu sama lain,
dikawinkannja mendjadi satu kesatuan jang penuh (indah serta mengharukan) dan
baru, suatu dunia baru, dunia kepunjaan penjair itu sendiri.
Djalan,
ketumbuhan, proses dari pentjiptan kembali ini, datangnnja, keluarnnja,
tersemburnnja dari konsepsi si penjair, penglihatannja (visie), tjita-tjitanja
(ideaal-ideaal), perasaan dan pergeseran hidupnja, pandangan hidupnja, dasar
pikirannja.
Semua
tjabang-tjabang dan ranting-ranting dari bahan pokok jang besar ini haruslah
sesuatu jang dialami, didjalani (dalam djiwa, tjita, perasaan, pikiran atau
pengalaman hidup sendiri) oleh si penjair, mendjadi sebagain dari dia, suka dan
dukanja sendiri. Dan ditambah lagi dengan tenaga mentjipta, tenaga membentuk,
jang mengatur dengan pikir serta rasa, dengan pertimbangan dan pikiran sehingga
terdjadilah suatu kehidupan, suasana, kehidupan dan tokoh (gestalte).
Sebuah
sadjak, sebuah hasil kesenian mendjadi penting dan berarti bukanlah karena
pandjangnja atau pendeknja, tetapi karena tingkatnja, kadarnja (gehalte). Jang
menentukan ini adalah dalamnja (karena ketinggiannja, djauhnja) penglihatan,
kupasan, pandangan si seniman tadi dalam mendjatuhkan, memadukan suara,
kehidupan dan tokoh (gestalte).
Chairil yang
lahir di Medan, 26 Juli 1922, tidak berumur panjang. Ia meninggal pada tanggal
28 April 1949. Walaupun sekolahnya hanya sampai kelas 2 Mulo, bacaan dan
pengetahuannya tentang sastra cukup meyakinkan. Percakapan tentang Chairil tak
ada habis-habisnya dari tahun ke tahun karena ada saja segi-segi baru yang
selalu muncul bila orang menyoroti kembali penyair satu ini dan karya-karyanya.
Sebagai
penutup pembicaraan tentang Chairil Anwar, berikut ini kutipan puisinya yang
mengandung gaya mantra.
Cerita Buat Dien Tamaela
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut.
Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan.
Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba
Mari menari!
Mari beria!
Mari berlupa!
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu
Beta ada di malam
Irama ganggang dan api membakar pulau....
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
2.
Asrul Sani
Asrul Sani adalah seorang penyair Angkatan 45
yang berusaha menghindari masalah angkatan dan tidak setuju dengan
semboyan-semboyan yang sering digunakan oleh pengarang Angkatan 45 yang lain.
Juga semboyan Chairil Anwar tentang Human
Dignity oleh Asrul Sani dianggap sudah tidak bertenaga lagi, bahkan sering
digunakan untuk menyembunyikan kelemahan sendiri. Asrul Sani mengkritik Mochtar
Lubis yang pernah mengatakan bahwa dalam perkataan Human Dignity tersimpul semua yang hendak kita perjuangkan. Ucapan
semacam itu di pandang Asrul Sani hanya sebagai heroisch gebaar yang kosong, yang tidak berarti.
Asrul Sani yang dilahirkan di Sumatra Barat,
10 Juni 1926, adalah seorang dokter hewan yang dalam dunia sastra bergerak
dalam berbagai bidang. Ia banyak menulis esai, cerpen, puisi, kritik,
terjemahan, juga nenyutradarai pementasan drama, dan membuat film. Bersama
Chairil ia pernah menjadi redaktur majalah Gema Suasana (yang kemudian berubah
menjadi Gema), kemudian bersama Chairil Anwar, Rivai Apin, Rosihan Anwar, dan
lain-lain menjadi redaktur ruangan kebudayaan “Gelanggang” dalam majalah
Siasat; dan yang terakhir ia memimpin majalah kebudayaan yang bernama Gelanggang
juga, tetapi hanya terbit beberapa nomor saja.
Ia pernah menjadi direktur ATNI (Akademi
Teater Nasional Indonesia), ketua Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin
Indonesia), dan juga anggota DPRGR/MPRS wakil seniman.
Sebagai penyair telah banyak puisi yang
digubahnya, tetapi hingga kini belum ada yang diterbitkan secara khusus sebagai
kumpulan puisi kecuali yang terdapat dalam kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir.
Puisi Asrul Sani terasa merdu dan memberikan
image (gambaran) yang jelas. Ada puisinya yang cenderung gaya mantra, misalnya
yang berjudul Mantra. Memang sebagian
puisi Asrul Sani menunjukkan nilai yang meyakinkan, tetapi beberapa puisinya
gak berat, bersifat agak intelektual. Sebagai contoh dalam puisi berikut ini.
Dongeng
Buat Bayi Zus-Pandu
Sintawati datang dari Timur,
Sintawati menyusur pantai,
Ia cium gelombang melambung
tinggi
Ia hiasi dada dengan lumut muda,
Ia bernyanyi atas karang sore dan
pagi,
Sintawati telah datang dengan
suka sendiri.
Sintawati telah lepaskan ikatan
duka.
Sintawati telah belai nakhoda
tua,
Telah cumbu petualang berair mata
Telah hiburkan
perempuan-perempuan bernantian di pantai senja
Jika turun hujan terlahir di laut
Berkepalan elang pulang ke benua
Sintawati telah tunggu dengan
warna bianglala,
Tealah bawa bunga, telah bawa
dupa.
Sintawati telah mengambang di
bawah gunung,
dan panggil orang utas yang
beryakinkan kelabu.
Telah menakik haruman pada batang
tua,
Telah dendangkan syair dari gadis
remaja.
Sintawati telah menyapu debu
dalam kota
Telah mendirikan menara di
candi-candi tua,
Sintawati telah bawa terbang
cuaca,
Karena Sintawati senantiasa
bercinta.
Sintawati datang dari Timur,
Sintawati telah datang.........
........... datang,
Sinta
datang..........!
Dalam puisi-puisinya tersirat bahwa ia
seorang moralis, seorang yang mencintai manusia dan kemanusiaan. Puisinya yang
berjudul Surat dari Ibu jelas sekali
menunjukkan sikap itu.
Juga puisinya yang berjudul Mantera menunjukkan sikap moralis itu.
Dalam puisi tersebut ia menyebut dirinya sebagai “laksaman dari lautan”, dan ia
akan menutup segala kota, akan menjaga supaya janda-janda tidak diperkosa, dan
budak-budak dapat tidur di pangkuan bunda.
Selain itu, pada puisi Asrul terasa dengan
jelas sifat romantik. Ia memandang kehidupan mulia sejati ialah kehidupan
kesunyian di laut yang terlepas dari kesibukan sehari-hari. Beberapa puisinya
menunjukkan bahwa Asrul melaksanakan ekspresi bunyi yang kuat. Hal ini jelas
pada puisinya yang berjudul Mantera,
yang oleh Teeuw dikatakan serupa puisi Chairil Anwar yang berjudul Cerita Buat Dien Tamaela.
Akan tetapi, dibandingkan dengan Chairil
Anwar, memang sifat puisi-puisi Chairil lebih terasa puitis daripada puisi
Asrul. Teeuw mengatakan bahwa puisi Asrul “kurang langsung dan kurang
transparan”.
Dalam hal bentuk, puisi Asrul Sani lebih
bebas, lebih mengabaikan unsur-unsur bentuk daripada puisi Chairil.
Hampir-hampir tidak ada puisi Asrul yang mempunyai kerengka tetap, baik dalam
jumlah baris, jumlah suku kata, maupun dalam acuan suatu bentuk tertentu.
Esai-esainya hingga sekarang belum
diterbitkan sebagai kumpulan. Oleh Ajip Rosidi dikatakan bahwa “dalam
esai-esainya Asrul sangat indah gayanya, tajam dan lapang dada, luas pula
pengetahuannya. Beberapa buah esainya dengan tajam dan plastis memberi gambaran
tentang kehidupan zamannya”. Dalam karangan esainya Asrul sering menggunakan
nama samaran Ida Anwar. Di samping itu, digunakan juga nama samaran Pena F.
An-Nur dan lain-lain.
Dalam satu esainya Asrul mengatakan, “Ini
adalah suatu penyelamatan dalam masyarakat, semacam demokrasi yang hendak
mencekik tiap-tiap kebangsawanan jiwa”. Ucapan tersebut sering dipakai sebagai
alasan untuk mengatakan bahwa Asrul Sani takut dicekik oleh dunia ini, takut
disamaratakan dengan masyarakat hingga hilang kepribadiannya, hilang
individualitasnya. Rasa takut itu tampak juga dalam puisinya yang berjudul Anak Laut.
Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri jauhan
Tentang puisi tersebut, R.H. Maat
menafsirkannya sebagai berikut:
“Betapa
susahnya orang yang tak bertopi (tidak mempunyai kebangsawanan jiwa
perseorangan) yang akan disamaratakan dengan pantai dalam menghadapi terik
matahari. Ii yang dimaksud tidak lain, bahwa dia disamaratakan kepribadiannya
dalam masyarakat, di dalam menghadapi panas-terik kehidupan ini. Dan bermimpi
tengah hari di negeri jauhan ini melukiskan betapa sedihnya, apabila dia ingat
akan negeri-negeri asing yang masih dapat menghargai tiap-tiap individu di
negeri tersebut dapat mencapai derajat dan martabat pribadi setinggi-tingginya
dan akhirnya pun ketinggian pribadi ini berguna pula bagi negara dan masyarakat
pada umumnya. Tegasnya, dia menolak paham sama rata, sebab dia mempunyai cita-cita
yang tinggi, ialah mencapai martabat pribadi yang stinggi-tingginya.” (Sani,
1972: 7)
Beberapa esai Asrul Sani antara lain berjudul
Fragmen Keadaan dan Surat dari Jakarta. Di samping sebagai
penyair dan esasis, Asrul Sani terkenal juga sebagai cerpenis. Kumpulan cerita
pendeknya telah diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1972 dengan judul Dari Suatu Masa Dari Suatu Tempat. Kumpulan
itu terdiri atas 10 cerpen, dan judul buku itu diambil dari judul cerpennya
yang keenam. Beberapa judul cerpennya yang lain dalam kumpulan itu ialah: Bola Lampu, Sahabat Saya Cordiaz, Orang Laki
Bisu, Panen, Meseum, dan lain-lain.
Cerpen-cerpen Asrul Sani sebagian besar
bersifat intelektual. Untuk dapat memahami cerpen-cerpennya tersebut sering
diperlukan pemikiran tentang maksud ungkapan dan lambang-lambang yang terdapat
di dalamnya. Sekadar contoh misalnya kutipan sebagian cerpennya berikut ini.
BOLA LAMPU
Beberapa
waktu yang lalu seorang sahabat menceritakan ceritera sebagai berikut kepada
saya:
Pernah
sekali saya memperoleh penyakit cinta lampu dan cinta matahari. Cinta matahari
ini tidak berapa lama, hanya seminggu, yaitu semasa saya bekerja antara pukul 8
pagi sampai pukul 5 sore. Kala saya, pukul 1 memperoleh waktu istirahat untuk
makan tengah hari terlebih dahulu saya memandang megap-megap ke langit seperti
ikan di daratan, baru saya pergi makan. Penyakit cinta ini demikian
mendalamnya, sehingga sesudah seminggu saya tidak tahan lagi, lalu minta
berhenti. Sekarang saya mengeluh kepanasan kalau berjalan dalam cahaya metahari.
Lagipula ia tak memberi akibat apa-apa kepada diri saya.
Penyakit
cinta lampu saya lebih berat. Dan saya tidak menyangka-nyangka bahwa ia akan
berkesudahan dengan kecewa, geram, malu, angan-angan dan cerita ini.
Dalam cerpen-cerpennya Asrul Sani banyak
menyindir kehidupan masyarakat, yang sering menderita akibat aturan-aturan yang
dibuatnya sendiri. Sindiran itu terasa sekali dalam cerpennya yang berjudul Meseum.
Puisi-puisi dan cerpen-cerpen Asrul Sani
telah diteliti dan dianalisis oelh M.S. Hutagalung yang kemudian hasil
telaahnya diterbitkan dengan judul Tanggapan
Dunia Asrul Sani (1967).
3.
Rivai Apin
Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin
lazim dipandang orang sebagai trio pembaharu puisi Indonesia. Di antara tiga
penyair itu, Rvai Apin ternyata kurang meyakinkan. Padahal penyair yang lahir
pada tanggal 30 Agustus 1927 di Padangpanjang ini telah banyak menulis puisi
sejak masih di sekolah menengah. Kecuali menulis sajak, ia bergerak di bidang
yang lain yang cukup banyak: menulis cerpen, esai, kritik, terjemahan, dan
skenario film. Apabila Chairil Anwar biasa disebut orang sebagai seorang
anarkis individualis (terutama berdasarkan puisinya yang berjudul Kepada Kawan); Asrul Sani seorang
moralis aristokrat; maka Rivai Apin terkenal sebagai seorang nihilis emosional.
Dikatakan nihilis karena tampaknya Rivai Apin
tidak tahu arah hidup ini, tidak tahu apa yang harus diperbuat tentang dunia
ini. apa yang ditulis terutama cetusan emosi yang kurang pengendapan dan
pemikiran. Berikut ini adalah kutipan bagian I dan III puisinya yang berjudul Anak Malam.
I
Angin malam menggigil
Compang-camping pada akhir jalan
sia-sia
Pagar jembatan dingin pada
tanganku
Justru terjaga: di pantai mana
aku terjaga?
Tiada sandar di urang kelam
Aku dengar dengking batukku
Rinduku telah kehabisan darah
Kini dia tidak mengharap
Dan di teras rumah makan
Aku menyaksikan
Segala sedih yang hari itu kau
semua pendam
Tanah muram ini bukan tanahku
Tanah mimpiku selalu hijau
Kenapa aku telah memulai
perjalanan ini
Hidup yang tak mengenal siang?
III
Genangan air dan rumput-rumput
jarang di pinggiran jalan,
Berjalan di tengah kelam hanya
bisa di rasa
Keumuman hitam diendapkan angin
malam
Kuning terang bergayut di
tonggak-tonggak lampu.
Aku lepaskan cahaya-cahaya yang
bergayut padaku
Kebeningan reda datang mendamping
Tidak gemetar bibir macam dulu
aku berkata
Sebab tidak percaya pada jejak
yang aku tinggalkan
Aku kini tidak punya tuju
Tidak peduli lagi di mana aku
berada
Dan pergi saja ke mana aku suka
Manusia tidak kuasa ikut aku
Melepas aku juga tidak
Dan bukan saja tidak kuasa, tapi
juga tidak bisa.
Puisi tersebut kurang mengandung unsur-unsur
puitis. Tidak ada keselarasan motif, tidak ada kejelasan image dan tidak terasa kemerduan bunyi pada puisi itu. Sifat
nihilis tampak benar pada pertanyaan-pertanyaan penyair: di pantai mana aku
terdampar, kenapa aku telah memulai perjalanan ini? pada akhir puisinya penyair
memberi jawaban: Aku kini tidak punya tuju, tidak peduli lagi di mana aku
berada dan pergi saja ke mana aku suka.
Tampaknya Rivai Apin belum memiliki arah
tujuan hidup tertentu. Kepribadian belum terbentuk sepenuhnya. Pada bagian lain
pada puisinya kita dapati kalimat-kalimat yang menyatakan betapa ia hendak
bersikap tegas tentang hidup ini.
Inilah bumi, air dan udara
Di atas mana, di dalam mana dan
di antara mana
Anak manusia harus hidup
Dia perhitungkan segala hidup
Di buat perhitungan di tiap mati
Dia hanya mengenggam nilai
Walaupun tulisan Rivai Apin cukup banyak
jumlahnya, belum ada yang diterbitkan sebagai kumpulan, kecuali puisi-puisinya
yang terdapat dalam Tiga Menguak Takdir.
Selain kegiatannya menulis dalam berbagai
bidang tersebut, Rivai Apin pernah duduk sebagai anggota redaksi dalam berbagai
majalah antara lain: Gema Suasana, Gelanggang dan Zenith. Akan tetapi, pada
tahun 1954 ia kelaur dari redaksi Gelanggang dan tidak lama kemudian aktif
dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan yang bernaung di
bawah Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia pernah memimpin majalah Kebudayaan
Baru, yaitu majalah yang diterbitkan oleh Lekra. Karena meletusnya
pemberontakan G-30S/PKI maka Rivai Apin termasuk tokoh Lekra yang diamankan
oleh yang berwajib.
4.
Idrus
Dalam masyarakat sastra Idrus sering disebut
sebagai pelopor Angkatan 45 di bidang prosa, walaupun ia menolak penamaan macam
itu. Akan tetapi, peranannya dalam perkembangan sastra selanjutnya kurang
penting dibandingkan dengan Chairil Anwar.
Ia pernah menjadi redaktur Balai Pustaka, dan
pada waktu itu ia berkenalan dengan pengarang-pengarang, antara lain H.B.
Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, Nur Sutan Iskandar dan Sanusi Pane.
Pengalaman kritik dan pendapatnya tentang hubungannya dengan
pengarang-pengarang itu kemudian dituangkannya dalam novel autobiografinya yang
berjudul Perempuan dan Kebangsaan. Novel
tersebut dalam nomor gabungan majalah Kebudayaan Indonesia, majalah yang
mula-mula diterbitkan oleh Balai Pustaka yang dipimpin oleh Idrus. Walaupun
oelh pengarangnya sendiri novel itu diakui kurang berhasil, novel itu penting
untuk mengetahui sikap kejiwaan Idrus waktu itu.
Kepeloporan Idrus terutama dalam hal
penampilannya: gaya kesederhanaan baru dan corak realisme/naturalisme dalam
penulisan prosa. Gaya kesederhanaan prosa baru merupakan pengaruh dari Willem
Esschot, yang salah satu bukunya Keju telah
diterjemahkan oleh Idrus. Sementara itu, corak realisme pada karya-karyanya
kemungkinan besar berasal dari pengaruh penulis-penulis Amerika, seperti
Hemingway, Steinbeck, dan Caldwell.
Beberapa tahun lamanya Idrus pernah bekerja
pada suatu bidang yang tak ada kaitannya dengan sastra, antara lain pada GIA
(Garuda Indonesia Airways). Akan tetapi, sejak tahun 1953 ia kembali menulis
beberapa cerpen dalam majalah Kisah, yang ternyata kemudian ia memegang peranan
penting dalam kehidupan majalah itu.
Beberapa bulan setelah majalah itu terbit
kemudian Idrus dan H.B. Jassin memperkuat staf Dewan Redaksi bersama-sama
dengan M. Balfas dan D.S. Mulyanto. Cerpen Idrus yang pernah dimuat dalam
majalah itu antara lain Riwayat Jatuhnya
Seorang Walikota.
Kemudian beberapa tahun lamanya Idrus
“mengungsi” ke Kuala Lumpur (Malaysia) dan seterusnya pergi ke Australia
mengajarkan Sastra Indonesia Modern di Monash University. Dua buah bukunya yang
terbit di Kuala Lumpur yaitu Dengan Mata
Terbuka (1961), kumpulan cerpen yang sebagian besar berupa cerita-cerita
lucu yang ringan dan Hati Nurani Manusia
(1963), sebuah novel panjang.
Karangan Idrus yang banyak mendapat sorotan
terutama dari pihak Lekra ialah sketsanya Surabaya.
Dengan dasar sketsanya itu Lekra menuduh Idrus sebagai pengarang yang
antinasional dan kontrarevolusi. Dalam karangannya itu, Idrus menyebut
pejuang-pejuang sebagai koboi-koboi, sedangkan tentara sekutu sebagi
bandit-bandit. Juga perjuangan mati-matian merebut kemerdekaan itu oleh Idrus
dilukiskan dari seginya yang lain, yang secara sinis ibarat seperti main-main
saja.
Sebenarnya, sketsa itu akan dapat kita
mengerti sepenuhnya apabila kita dapat mengetahui sikap kejiwaan Idrus seperti
yang tersirat dalam diri tokoh Open dalam novelnya Jalan Lain ke Roma.
Di samping kegiatannya memberikan kuliah, di
Australia Idrus masih sering menulis cerpen, esai, dan juga menerjemahkan
cerita-cerita dalam sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris.
Gaya kesederhanaan baru yang pertama
ditampilkan Idrus dalam sastra Indonesia itu kemudian banyak digunakan dan
dikembangkan oleh pengarang-pengarang lain. Di bawah ini adalah contoh gaya
kesederhanaan baru itu.
KOTA HARMONI
Trem penuh
sesak dengan orang, keranjang-keranjang, tong kosong dan berisi, kambing dan
ayam. Hari panas dan orang dan binatang keringatan. Trem bau keringat dan
terasi. Ambang jendela penuh dengan air ludah dan air sirih, kemerah-merahan
seperti buah tomat.
Dalam trem
susah bernafas. Tapi orang merokok juga, menghilangkan bau keringat dan terasi.
Seorang perempuan muda Belanda-Indo, mengambil sapu tangannya, kecil sebagai
daun pembungkus lemper, dihirupnya udara di sapu tangannya, lalu katanya: Siapa
lagi yang membawa terasi ke atas trem. Tidak tahu aturan, inikan kelas satu.
Seorang-orang
Tionghoa, gemuk seperti Churchill merasa tersinggung dan berkata dengan marah
kepada nona Belanda-Indo itu: Jangan banya omong. Sekarang kemakmuran bersama,
bukan Belanda.
Idrus lahir di Padang, 21 September 1921.
Selain kumpulan karangannya yang berjudul Dari
Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma; Aki (novel), dan Perempuan dan Kebangsaan (novel), seperti yang telah disebutkan,
Idrus juga mengarang drama yang berjudul Keluarga
Surono (1948) yang terbit di Medan.
Dalam menanggapi Angkatan 66, Idrus dalam
satu esainya yang berjudul Angkatan 66
dan Cerpen-Cerpennya Horison berpendapat bahwa ia tidak menolak peranan
Angkatan 66 dalam sastra Indonesia, kecuali tentang uur para pengarang Angkatan
66 yang dianggapnya masih samar pembatasannya.
5.
Pramudya
Ananta Toer
Pengarang keturunan Jawa ini berasal dari
Blora, lahir tanggal 2 Pebruari 1925. Secara formal sebenarnya Pramudya kurang
langsung ada kaitannya dengan Angkatan 45 sebab ia tidak pernah ikut memimpin
suatu penerbitan sebagai media Angkatan 45. Akan tetapi, berdasarkan karya
sastra yang dihasilkan, ternyata banyak persamaan antara hasil sastra Pramudya
dengan pengarang-pengarang Angkatan 45 yang lain.
Oleh Teeuw dikatakan bahwa Pramudya merupakan
penulis prosa yang terpenting di zamannya, baik ditinjau dari segi luasnya
lapangan yang diliputi oleh karya-karya kreatifnya maupun dari segi nilai karya
sastra itu. Itulah sebabnya, Teeuw dalam bukunya Sastra Baru Indonesia membicarakan Pramudya secara luas dengan
uraian riwayat hidup yang cukup panjang. Lebih lanjut oleh Teeuw dikatakan
bahwa Pramudya dari zaman antara tahun 1946 sampai dengan 1956 merupakan
penulis prosa modern Indonesia yang teragung. Bahkan, bagaimanapun “Pramudya
tetap merupakan penulis yang muncul hanya sekali dalam satu generasi, atau
malah dalam satu abad. Prosa Pramudya saja sudah cukup membuktikan wujudnya
angkatan empat puluh lima itu”.
Tentulah apa yang dikatakan Teeuw itu agak berlebihan. Prosa Angkatan 45 mengenal
varias-variasi, antara lain seperti yang diyunjukkan oleh Mochtar Lubis dengan
gaya jurnalistik dan Achdiat Karta Mihardja dengan gaya perbandingannya.
Apalagi apabila dilihat Pramudya kemudian masuk dalam kelompok pengarang yang
justru menentang konsep Angkatan 45. Akan tetapi, bahwa Pramudya merupakan
pengarang prosa yang penting dan memiliki corak yang khas dalam sastra
Indonesia, memang tidak dapat disangkal lagi.
Karangan yang pertama-tama diterbitkan
berjudul Keranji dan Bekasi Jatuh (1947).
Kemudian pada tahun 1949 ia menyiapkan cerpen berjudul Blora, yang ditulis pada waktu ia di penjara. Setahun kemudian,
novelnya Pemburuan (1950) mendapat
hadiah dalam rangka sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Balai
Pustaka. Dua karangannya yang terakhir inilah yang menyebabkan Pramudya
terkenal dalam masyarakat sastra Indonesia. Cerpen Blora tersebut kemudian dimuat dalam kumpulan cerpen yang berjudul Subuh (1950).
Sebagain besar karangan Pramudya tampak
mengandung unsur biografi. Hal ini jelas sekali pada kumpulan cerpen yang
berjudul Cerita dari Blora (1952).
Dalam cerpen itu tersirat betapa kehidupan Pramudya pada masa kecil, kehidupan
keluarga yang penuh dengan kesulitan, ayahnya yang mula-mula jadi guru sekolah
HIS di Rembang karena dorongan jiwa, dan lain-lain.
Cerita pendek yang termuat di dalamnya umunya
panjang-panjang, beberapa di antaranya lebih dari 10.000 kata. Oleh karena itu,
ada orang yang menyebut beberapa cerpen tersebut sebagai cerpen panjang (long short-story) atau novel pendek
(novelet), misalnya Dia yang Menyerah,
Hadiah Kawin, dan Anak Haram.
Pramudya sungguh-sungguh pengarang yang memiliki
bakat alam. Segala pengalaman dan segala yang hidup dalam jiwanya dapat
dijelmakan secara jujur dengan bahasa yang sederhana, bersahaja, tetapi sangat
plastis. Perhatikanlah bagian-bagian permulaan cerpennya Yang Sudah Hilang, cerpen pertama pada kumpulan tersebut di atas.
Kali Lusi
melingkari separuh bagian kota Blora yang sebelah selatan. Di musim kering yang
dasarnya dialasi batu-batu kerikil-lumpur pasir itu mencongak-congak menjenguk
langit. Air hanya bebeberapa desimeter saja di tempat-tempat dangkal. Tapi bila
hujan mulai turun, dan gunung-gunung di hutan dliputi mendung, dan matahari tidak
juga muncul dalam empat puluh atau limapuluh jam, air yang kehijau-hijauan itu
berubah rup-kuning, tebal mengandung lumpur. Tinggi air melompat-lompat tak
terkendalikan. Kadangkala hingga dua puluh meter. Kadangkala lebih. Dan air
yang mengalir damai itu tiba-tiba berpusing-pusing dan mengamuk gila.
Diseretnya rumpun bambu di sepanjang tepi seperti anak kecil mencabuti rumput.
Digusurnya tebing-tebing dan diseretnya beberapa bagian bidang ladang penduduk.
Lusi: dia
merombak tebing-tebingnya sendiri. Dan di dalam hidup ini, kadang-kadang aliran
deras menyeret tubuh dan nasib manusia. Dan dengan tak setahunya ia kehilangan
beberapa bagian dari hidup sendiri.
Dalam cerpennya Dia yang Menyerah Pramudya mengisahkan kehancuran sebuah keluarga
akibat pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948. Dalam tulisannya ini tampak
sikap Pramudya yang jelas berjiwa nasionalisme dan anti komunisme. Akan tetapi,
kita ketahui beberapa tahun kemudian ia masuk dan aktif dalam Lekra, organisasi
kebudayaan yang jadi organ PKI.
Penderitaan dan kekecewaanyang selalu menimpa
dirinya dan kemudian kesan kekagumannya pada waktu ia berjunjung ke Peking pada
bulan Oktober 1958 kemungkinan merupakan sebagian dari faktor-faktor yang
mengubah arah jalan hidupnya.
Betapa sewenang-wenangnya pasukan PKI pada
waktu itu tertulis dalam kutipan di bawah ini:
Kadang-kadang
ada juga terdengar derap kuda lari. Dan segala bunyi itu membuat Diah dan
adik-adiknya terkenang pada Sri, pada Is, pada bapaknya, dan pada mereka yang
telah diseret pasukan Merah. Terutama pada Kasibun yang seperti beberapa orang
lainnya diadili oleh hakim Merah dan mendapat tawaran: hukum mati atau seumur
hidup. Dan Kasibun menjawab: barangkali mati lebih baik untuk diriku. Dan
menjelempahlah ia di alun-alun di bawah pohon beringin jadi bangkai. Dan
anak-anaknya tak berani menangisi. Barangkali mereka tau juga, menangisi
matinya penghianat pasukan Merah berarti jadi penghianat pasukan Merah, dan
memanggil peluru untuk menembusi kepala dan dada sendiri. Dan Kasibun sudah
begitu tua, dengan gigi tinggal beberapa biji. Ia pencinta Republik dan
Presidennya, sekalipun ia tak tahu apa gunanya cinta pada keduanya. Dan
kecintaan itu membuatnya jadi fanatik. Tiap-tiap kali membesar-besarkan hati
kawan-kawannya dengan perkataan: sesuatu tak bisa dibangunkan di atas
perampokan. Dan kekuasaan Merah yang didapatnya sekarang adalah hasil
perampokan semata.
Pengalaman hidup Pramudya cukup banyak dan
beragam. Ia pernah ikut aktif dalam revolusi fisik sebagai sukarelawan untuk
Badan Keamanan Rakyat dan ditempatkan di Cikampek. Pernah jadi pegawai pers dan
turut dalam peperangan dengan tentara pendudukan Inggris di Krawang Bekasi.
Pada tahun 1947 ia bekerja pada Suara
Indonesia Merdeka di Jakarta. Pada aksi polisionil Belanda yang pertama,
Pramudya ditangkap di jalan, kemudian dipenjarakan pada beberapa buah rumah
penjara, terutama di Bukit Duri di Pulau Edam hingga bulan Desember 1949.
Selama dalam penjara itulah, ia banyak menulis cerpen dan beberapa novel.
Dengan melalui pertolongan Prof. G.J. Resink beberapa karangannya dapat
diselundupkan keluar dan kemudian dengan bantuan H.B. Jassin novel Perburuan dapat diikutsertakan dalam
sayembara mengarang Balai Pustaka.
Perburuan mengambil dasar cerita tentang pemberontakan
tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Blitar yang gagal melawan Jepang karena
salah seorang pelakunya yang bernama Karmin berkhianat. Pelaku utamanya Hardo,
seorang pemimpin gerakan di bawah tanah melawan Jepang, yang untuk beberapa
waktu lamanya ia bertapa untuk mendapatkan kekuatan tenaga batinnya. Ia siap
berperang, tetapi diketahui dan kemudian jadi perburuan. Hardo, yang pada waktu
itu menjadi shodancho (perwira menengah tentara Jepang), menyamar menjadi kere
untuk menemui calon mertuanya, dan kemudian juga untuk menemui orang tuanya, tetapi
sikap dan cara berpikir keduanya sangat mengecewakan. Calon mertua berkianat
lapor kepada Jepang, sedangkan orang tuanya yang sudah dipecat dari
kedudukannya sebagai wedana, kini malah jadi penjudi.
Dengan pemadatan melalui dialog-dialog,
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam Perburuan
berlangsung hanya sehari semalam (24 jam) dari senja di rumah Pak Lurah,
calon mertua Hardo, sampai pada esok harinya menjelang senja tanggal 17 Agustus
1945.
Seperti karangan Pramudya yang lain, novel Perburuan menampilkan persoalan manusia
dan kemanusiaan, terutama masalah kesetiaan manusia. Masalah yang serupa
terdapat dalam novel Pramudya yang berjudul Keluarga
Gerilya.
Keluarga
Gerilya dikarang
juga dalam penjara Bukit Duri, beberapa bulan setelah selesainya novel Perburuan. Novel Keluarga Gerilya mengisahkan kehidupan sebuah keluarga yang
beberapa anggotanya berperan penting dalam perang gerilya selama revolusi.
Pelaku utamanya adalah Saaman, penarik becak yang menghidupi keluarganya yang
masih tinggal di rumah, antara lain ibunya yang bernama Amilah. Saaman dan
kedua orang adiknya (Canimin dan Kartiman) telah membunuh ayahnya karena
khawatir ayahnya yang bekas tentara kolonial Belanda (KNIL) akan mengkhianati
perjuangan mereka. Amilah akhirnya menjadi setengah gila, karena Saama, anak
yang sangat dikasihi itu ditangkap dan dihukum mati, sedangkan anak-anaknya
yang lain yang bergerilya telah terbunuh pula oleh musuh.
Segala kisah yang dikisahkan dalam Keluarga Gerilya tersebut oleh pengarang
dipadatkan sehingga hanya meliputi waktu selama tiga hari tiga malam saja.
Banyak pendapat tentang novel ini. ada yang
memberikan penilaian baik, tetapi ada juga yang mengecamnya habis-habisan,
sampai pada penilaian bahwa Keluarga
Gerilya adalah pseudo roman atau kitch, seperti yang dinyatakan oleh Mh.
Rustandi Kartakusuma dalam simposium sastra 1959 (Rangkuti, 1963: 99).
Teeuw dalam bukunya Sastra Baru Indonesia mengatakan bahwa berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan teknik sastra, novel ini kelemahan-kelemahannya.
Penutup buku itu merupakan suatu antiklimaks yang hebat. Dikatakan bahwa
“Setiap orang yang masih hidup mengunjungi kuburan Saaman lalu bersumpah atau
mengakui dosa, suatu hal yang dengan melodramatis sekali, menyebabkan kisah ini
tidak wajar lagi” (1970: 174). Akan tetapi, secara keseluruhan, novel tersebut
tetap berharga karena menunjukkan keaslian dan kejujuran pengarangnya
melukiskan watak-watak manusia dalam pergulatannya dengan sifat dan hakikat
kemanusiaannya.
Di antara pengarang Angkatan 45, Pramudya
Ananta Toer termasuk yang paling produktif. Kecuali beberapa karangannya yang
sudah disebutkan di atas, karangannya yang lain adalah Percikan Revolusi (1950, kumpulan cerpen yang beberapa di antaranya
ditulis dalam penjara); Subuh (1950,
kumpulan cerpen); Di Tepi Kali Bekasi (1950,
novel yang melukiskan perjuangan pemuda Indonesia sekitar Krawang Bekasi); Mereka yang Dilumpuhkan (dua jilid
terbit 1951/1952, berisi pengalamannya selama di penjara); Bukan Pasar Malam (1951); Gulat
di Jakarta (1953); Korupsi (1954);
Midah Si Manis Bergigi Emas (1954); Cerita dari Jakarta (1957); Calon Arang (1957); Suatu Peristiwa di Banten Selatan (1959); dan lain-lain.
Ada beberapa karangan Pramudya yang sudah
difilmkan, antara lain Gulat di Jakarta dan
Midah Si Manis Bergigi Emas. Juga
beberapa karangannya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Di samping itu,
Pramudya juga banyak menerjemahkan karangan-karangan dalam bahasa asing ke
dalam bahasa Indonesia. Keterangan yang lengkap tentang hal ini dapat diperoleh
pada analisis Bahrum Rangkuti tentang Pramudya dalam bukunya yang berjudul Pramudya Ananta Toer dan Karya Seninya.
6.
Mochtar
Lubis
Mochtar Lubis dilahirkan di Padang, 7 Maret
1922. Hampir seluruh pendidikannya diperoleh dengan belajar sendiri. Ia lebih
dikenal sebagai wartwan surat kabar yang dipimpinnya bernama Indonesia Raya.
Sejak tahun 1958 dilarang terbit oleh pemerintah, dan baru tahun 1968 surat
kabar itu terbit lagi. Mochtar Lubis pernah di tahan selama hampir sembilan
tahun (1956-1966) dengan tuduhan yang dicari-cari pada waktu itu. Sesudah
keluar dari tahanan ia bersama-sama dengan H.B. Jassin, Taufiq Ismail, dan
lain-lain menerbitkan dan memimpin majalah Horison, majalah sastra yang khusus
memuat cerpen, puisi, dan kadang-kadang kritik dan esai.
Sebelum masuk tahanan, Mochtar Lubis beberapa
kali mengelilingi dunia, dan kisah-kisah perlawatannya telah diterbitkan
sebagai buku, antara lain Perlawatan ke
Amerika Serikat (1951); Perkenalan di
Asia Tenggara (1951); Catatan Korea (1951);
dan Indonesia di Mata Dunia (1955).
Walaupun kisah-kisah perjalanan itu bersifat kewartawanan, tetapi merupakan
suatu bacaan yang baik karean kecuali fakta-fakta yang dikandungnya, juga
penyampaian yang menarik dengan anekdot-anekdot dan kisah-kisah yang menggarami
laporan itu (Teeuw, 1970: 200).
Mochtar Lubis mulai benar-benar mengarang
baru pada zaman revolusi kemerdekaan. Kumpulan cerpen-cerpennya yang pertama
berjudul Si Jamal (1950). Cerpen yang
terdapat di dalamnya berupa sastra kritik yang dengan nada seloroh menyindir
tingkah laku dan perbuatan orang yang dapat mencari kesempatan untuk
kepentingan sendiri pada masa revolusi.
Kumpulan cerpennya yang kedua berjudul Perempuan (1956), yang cerita-ceritanya
banyak diilhami oleh hasil perjalanannya ke luar negeri. Cerpennya yang
berjudul Kebun Pohon Kastanye dalam
kumpulan itu, yang melukiskan ketamakan manusia di tengah-tengah Korea, oleh
Ajip Rosidi dipandang sebagai cerpen Mochtar Lubis yang terbaik (Rosidi, 1965:
115).
Terbawa tugasnya sebagai wartawan, maka gaya
kewartawanan (jurnalistik) tampak dalam semua karangan Mochtar Lubis, terutama
dalam cerpen-cerpennya. Kalimatnya singkat dan pendek-pendek menyerupai laporan.
Di samping itu, dari semua karangannya tampak juga kejujuran dan sifatnya yang
terus terang terhadap masalah-masalah yang dikemukakan.
Kecuali menulis dua kumpulan cerpen tersebut,
Mochtar Lubis mengarang dua novel singkat, yaitu Tidak Ada Esok dan Jalan Tak
Ada Ujung. Novelnya yang terakhir inilah yang terutama membawa Mochtar
Lubis sebagai sastrawan. Dalam novel-novelnya ia tidak bercerita tentang
peristiwa-peristiwa, tetapi tentang manusia dengan segala kelemahan dan
kekuatannya.
Tema pokok Jalan Tak Ada Ujung ialah masalah takut yang hakikatnya ada pada
setiap manusia. Rasa takut yang justru mendorong manusia untuk berbuat
keberanian. Itulah sebabnya, H.B. Jassin mengidentifikasi permasalahan dalam
novel itu dengan ungkapan “filsafat takut yang menjadikan kekuatan”.
Jalan Tak
Ada Ujung mengambil
latar pada waktu perang kemerdekaan pada sekitar tahun 1946/1947 di Jakarta.
Pelaku utamanya ialah Guru Isa, yang dengan rasa ketakutannya terpaksa turut
serta dalam perjuangan melawan musuh. Guru Isa adalah manusia sederhana, tak
suka akan kekerasan, yang kemudian menjadi impoten karena kekerasan yang selalu
dilihatnya pada masa Jepang. Akan tetapi, rasa takut itu menjadi tidak mendesak
lagi dan impotennya menjadi hilang sama sekali, ketika Guru Isa tertangkap dan
mengalami penyiksaan dan merakan kekerasan atas dirinya.
“Dalam dirinya tumbuh kesadaran demi sedikit.
Semua manusia merasa takut dan apa yang kita bayangkan tentang suatu kejadian
yang menakutkan selalu lebih hebat dari yang sebenarnya, demikian
kesimpulannya.” (Hutagalung, 1961: 50)
Dalam bercerita, Mochtar Lubis gemar
menggunakan lambang-lambang, kiasan dan perbandingan yang plastis dan tidak
jarang bersifat puitis.
Apa yang dimaksudkan dengan Jalan Tak Ada Ujung, melalui tokoh
Hazil, Moctar Lubis menjelaskan pada halaman 42 sebagai berikut.
..... Saya sudah tahu semenjak semula ---
bahwa jalan yang kita tempuh ini adalah jalan tidak ada ujung. Dia tidak akan
habis-habisnya kita tempuh. Mulai dari sini, terus, terus, terus tidak ada
ujungnya. Di mana ada ujung jalan perjuangan dan perburuan manusia mencari
bahagia? (Hutagalung, 1963: 22)
Jika kita bertolak dari plot yang tradisional
dengan keterikatannya pada urutan waktu dan tempat, agak sukar kita mengikuti
novel-novel Mochtar Lubis.
Seperti yang sudah dikemukakan, ia tidak
bercerita tentang peristiwa demi peristiwa, tetapi tentang manusia dengan
gejolak batinnya. Di dalamnya dikemukakan percakapan-percakapan batin pelakunya
serta nafsu-nafsu dan angan-angan yang tersembunyi, yang dalam kenyataan
lahiriah tidak terungkapkan. Oleh karena itu, orang sering berpendapat bahwa
dalam karangan-karangan Mochtar Lubis ada unsur monoloque interieur dan ada pengaruh Ilmu Jiwa Dalam yang dikembangkan oleh Sigmund Freud.
Karangan yang lain yang terbit adalah novel Senja di Jakarta yang diselesaikan
Mochtar Lubis pada bulan Maret 1957 pada waktu ia dalam tahanan. Karangan itu
kemudian diterjemahkan oleh Claire Holt dalam bahasa Inggris dan kemudian
diterbitkan pada tahun 1963 dengan judul Twilight
in Jakarta. Kemudian karya ini diterbitkan di Kuala Lumpur dalam bahasa
Melayu pada tahun 1964. Dari segi bentuknya sebenarnya karangan itu kurang
tepat diberi nama novel, karena bukan satu kesatuan yang padu dengan plot
tertentu. Bentuknya seperti kronik bulanan, berisi catatan peristiwa-peristiwa
dalam suatu bulan. Kehidupan tokoh-tokohnya tidak diikuti secara terus-menerus,
melainkan terpisah-pisah, silang-menyilang. Sesuai dengan namanya, novel ini
mengisahkan kehidupan kota Jakarta yang kacau, korup, tak berprikemanusiaan,
kemerosotan akhlak, dan penyelewengan-penyelewengan lain sekitar tahun 1956.
Teeuw berpendapat bahwa dari segi sastra buku ini tidak begitu berhasil
dibandingkan dengan novel Pramudya Ananta Toer yang menggarap masalah serupa
yang berjudul Korupsi.
Karangan Mochtar Lubis yang lain berjudul Tanah Gersang (1964). Novel ini
mengisahkan perilaku pemuda-pemuda di kota besar, yaitu merampok, membunuh,
zina, dan lain-lain, yang terutama disebabkan oleh keringnya cinta orang tua
kepada mereka dan gersangnya cinta sesama manusia dalam kehidupan kota.
Dilukiskannya tingkah laku pemuda-pemuda itu sebagai berikut.
Sukandar sudah lama uangnya habis, malahan
sepeda motor yang dibelinya dari Joni pun telah dijualnya pula. Dia tidak dapat
menceritakan ke mana uang begitu banyak habis dalam beberapa bulan saja. “Aiii,
heran Jon,” kata Sukandar, “gua gak beli apa-apa, cuman beliin baju baru untuk
Wak Salam dan bininya, dan nggak ada apa-apa lagi. Semuanya udah hilang begitu
saja.”
“Lu main perempuan lu nggak itung,” kata
Yusuf menyela
“Aiii, biar ludes itu uang juga tidak apa,
‘kan bisa dirampok lagi,” kata Joni.
Sukandar, Yusuf melihat padanya. Suara Joni
mengandung ancaman.
“Gua sih tidak ambil pusing, saban hari juga
sedia ngrampok itu orang-orang kaya. Hati gua kering sama itu orang-orang besar
dan kaya-kaya. Itu semua gua punya musuh. Memangnya juga mereka jadi kaya bukan
karena ngrampok dan mencuri?” tanya Joni
Joni, pelaku utama novel itu, bersama dengan
dua orang temannya, Sukandar dan Yusuf, dapat dianggap sebagai pemuda berandal
yang kerjanya tiap hari tiada lain hanyalah main ceki, main perempuan,
merampok, makan-makan, minum-minum, dan lain-lain. Hal ini disebabkan orang tua
mereka hanya disibukkan oleh urusan dan kepentingan sendiri sehingga tidak
memberikan perhatian cinta dan kasih sayang kepada mereka.
Akan tetapi, ternyata Joni yang liar itu pada
akhirnya dapat menemukan keselarasan jiwanya dan keseimbangan pribadinya,
setelah ia memperoleh cinta kasih dari gadis pilihannya.
Kecuali novel Tanah Gersang, ada satu lagi novel karangan Mochtar Lubis berjudul Hutan (belum terbit). Menurut Teeuw, Hutan mengisahkan “sekumpulan orang
primitif yang tinggal di hutan, yang menjadi terpecah belah karena
persekongkolan di antara mereka sendiri dan juga karena bahaya-bahaya dari
luar” (1970: 202).
Dibandingkan dengan novelnya Jalan Tak Ada Ujung, dua novel tersebut
kurang berhasil karena adanya tendensi unsur moral yang jelas dari sifat-sifat
sensasional dalam buku itu.
Dalam hubungannnya dengan sastra Angkatan 66,
tampaknya Mochtar Lubis sebagai pengarang Angkatan 45 banyak berperan dalam
angkatan yang baru itu. Ia menjadi ketua redaksi majalah Horison, majalah
sastra bulanan yang melai terbit bulan Juli 1966. Majalah Horison inilah yang
dipandang sebagai ujung lidah Angkatan 66, dan Mochtar Lubis juga banyak
menulis dalam majalah itu.
Mochtar Lubis pernah mendapat penghargaan
dari luar negeri, antara lain ialah Hadiah Magsaysay dari pemerintah Filifina
dalam bidang kesusastraan pada tahun 1966 dan Hadiah Pena Emas dari World
Federation of Editors and Publishers.
Kecuali yang sudah disebutkan, beberapa
karangannya yang lain adalah: Harimau!
Harimau (novel); Maut dan Cinta (novel);
Kuli Kontrak (kumpulan cerpen); Bromocorah (kumpulan cerpen); Judar Bersaudara (cerita anak-anak); Penyamun dalam Rimba (cerita anak-anak).
7.
Sitor
Situmorang
Ia dilahirkan di Harianboho, Tapanuli, 21
Oktober 1924. Ia banyak bergerak di bidang sastra pada tahun 1949, pada saat ia
ikut dalam perbincangan sastra di majalah Gelanggang dan juga di tempat-tempat
lain. Ia termasuk penyokong penamaan Angkatan 45.
Sitor Situmorang terkenal namanya dalam dunia
sastra sesudah ia pulang dari Eropa. Sebagian besar waktunya pada tahun-tahun
1952 dan 1953 dihabiskan di Paris. Sesudah tahun itulah karangan-karangannya
diterbitkan. Kecakapannya meliputi berbagai bidang: sebagai penyair, pengarang
esai, cerpen, dan drama.
Y.U. Nasution tentang menulis sebuah buku
tentang Sitor Situmorang, dengan judul Sitor
Situmorang sebagai Penyair dan Pengarang Cerita Pendek. Dalam buku itu
antara lain dikatakan bahwa Sitor sebagai penyair dalam sejarah kesusastraan
Indonesia modern seorang yang terbanyak menghasilkan sajak (Nasution, 1963: 5).
Subagio Sastrowardoyo pernah juga
membicarakan Sitor Situmorang dalam bukunya yang berjudul Manusia Terasing di Balik Simbolisme Sitor, terbit tahun 1976.
Kumpulan puisi Sitor yang pertama berjudul Surat Kertas Hijau (1954) yang terdiri
atas dua bagian, yaitu Surat Kertas Hijau
dan Orang Asing. Dari 33 puisi
yang terdapat di dalamnya ada 6 puisi di antaranya berbentuk soneta. Dari
kenyataan ini tampaknya Sitor hendak mengadakan renaissance terhadap soneta, suatu bentuk yang sangat digemari oleh
Pujangga Baru. Di bawah ini salah satu contoh puisi Sitor Situmorang.
Surat
Kertas Hijau
Segala kendaraannya tersaji hijau
muda
Melayang di lembaran surat musim
bunga
Berita dari jauh
Sebelum kapal angkat sauh
Segala kemontokan menonjol di
kata-kata
Menepis dalam kelakar sonder
dusta
Harum anak dara
Menghimbau dari seberang benua
Mari, dik, tak lama hidup ini
Semusim dan semusim lagi
Burungpun berpulangan
Mari, dik, kekal bisa semua ini
Peluk goreskan di tempat ini
Sebelum kapal di rapatkan
Bila dibandingkan dengan bentuk soneta
Pujangga Baru, maka di samping persamaan-persamaan ada juga beberapa perbedaan
yang terdapat antara keduanya. Pada soneta Sitor atau soneta Angkatan 45 pada
umumnya, akhir baris tidak selalu merupakan akhir kesatuan sintaksis, sering
terdapat loncatan kata ke baris berikutnya (enjambemen). Juga jumlah kata tiap
baris tidak selalu berimbang.
Kecuali bentuk soneta seperti tersebut di
atas, beberapa puisi Sitor mengingatkan kita bentuk pada pantun, baik di
pandang dari kaitan isinya maupun dari segi bentuk formalnya. Nafas dan bentuk
pantun jelas sekali pada puisi di bawah ini.
Lagu Gadis
Itali
Buat
Silvana Maccari
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Jika musimmu tiba nanti
Jemput abang di teluk Napoli
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Sedari abang lalu pergi
Adik rindu setiap hari
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja di bukit Itali
Andai abang tak kembali
Adik menunggu sampai mati
Batu tandus di kebun anggur
Pasir teduh di bawah nyiur
Abang lenyap hatiku hancur
Mengejar bayang di salju gugur
Puisi tersebut terdapat dalam kumpulan puisi
yang kedua yang berjudul Dalam Sajak (1955).
Di banding dengan pantun yang lazim, ada beberapa perbedaan yang terdapat pada
puisi di atas. Selain rumus sajak akhir yang bukan ab-ab, juga adanya semacam
sampiran yang memungkinkan beberapa kaitan isi pantun. Bentuk di atas serta
pilihan kata dan motif-motif yang digunakan tepat melukiskan jiwa dan suasana
romantik.
Kumpulan puisi Sitor yang ketiga berjudul Wajah Tak Bernama (1956); dan yang
keempat berjudul Zaman Baru (1962).
Kumpulan puisinya yang terakhir ini yang paling lemah karena tendens politik
jelas terdapat di dalamnya. Sesudah Manipol/Usdek ditetapkan sebagai
Garis-Garis Besar Haluan Negara, Sitor Situmorang aktif dalam kegiatan politik
praktis, dan pada tahun 1959 ia menjadi ketua umum pertama Lembaga Kebudayaan
Nasional (LKN), suatu lembaga kebudayaan yang bernaung di bawah PNI. Pada tahun
1966 ia ditahan karena dianggap terlibat G-30S/PKI. Puisi-puisi yang terdapat
pada Zaman Baru cenderung bersifat
sloganistis, agak bombastis, dan sama sekali bertentangan dengan esai-esainya
pada permulaan, yang menuntut kejujuran dan kemurnian nilai-nilai penciptaan.
Puisi-puisi Sitor pada umumnya sangat
mengasyikkan. Unsur puitisnya dibangun dari kemurnian bunyi dan lukisan-lukisan
yang menimbulkan tanggapan-tanggapan pertentangan. Sebagai contoh disajikan
puisi berikut ini.
Jam
Aman sendiri dalam sunyi kamar
Ia layangkan pandang pada surat
kabar
Terjatuh. Lupa segala yang di
luar
Serta matahari yang terus
bersinar
Sunyi pun menyusup dalam pikiran
Yang terlihat semua seakan
ketiduran,
Perabot, dinding dan kenangan
bertaburan,
Menyatu dalam samar kelupaan
Lalu dimimpinya berbunyi jam,
berdetak dalam kenangan.
Tak ada yang gemerisik.
Detak jam bergema dalam,
Terpantul dasar kesedaran,
Kosong yang makin naik.
(Wajah
Tak Bernama)
Lukisan yang memberikan pertentangan itu
tampaknya sesuai dengan kepribadian Sitor yang penuh dengan konflik.
Dia orang
Batak dari keluarga Kristen dalam suatu masyarakat yang baru benar memeluk
agama Kristen dan di sana-sini masih dipengaruhi oleh sisa-sisa adat kekufuran
apalagi bagi seorang yang dilahirkan di Samosir, pulau gaib yang dipenuhi dewa
dan setan dari zaman silam. Dan di samping itu, sejak mulanya lagi Sitor seorang
nasionalis, seorang Indonesia yang turut serta dalam perjuangan untuk
menegakkan kepribadian rohani dan jasmani bangsa yang dalam pembangunan itu.
Dan perlu ditambah lagi; dia telah menjelajahi alam Eropa modern, dunia para
ahli eksistensialis Paris, dan amat terpengaruh olehnya. Karya kreatifnya
merupakan hasil segala pengalaman ini, sehingga di dalamnya dapat kita temukan
Paris di samping Samosir, seorang pemburu harimau yang tua di samping seorang
pejuang gerilya, seorang ibi bangsa Batak yang tradisional dan saleh beragama
Kristen di samping gendak bangsa Prancis (Teeuw, 1970: 185).
Kumpulan cerpen Sitor Situmorang yang pertama
berjudul Pertempuran dan Salju di Paris (1956).
Nama judul buku ini diambil dari judul cerpen pertama dan ketiga dalam kumpulan
itu. Ada enam cerpen yang terdapat di dalamnya dan dari nama-nama cerpen itu
terlukis kepribadian Sitor yang mengandung berbagai konflik itu. Nama-nama itu
adalah Perempuan Harimau Tua, Salju di
Paris, Fontenay Aux Roses, Jin, dan Ibu
Pergi ke Surga.
Sebagian besar ceritanya berbentuk “aku” dan
terasa jelas pengaruh filsafat eksistensialisme, terlebih-lebih dalam cerpen Fontenay Aux Roses. Suatu pembicaraan
dalam cerpen tersebut menegaskan: “Sebagaimana kaum muda yang disebut L’existentialiste itu aku pun tak pernah
memikirkan aliran filsafat itu hanya kurasa kami kaum muda sependapat dengan
penemu filsafat itu bernama Sartre, bahwa hidup, termasuk dunia alam manusianya
adalah absurd; tak punya sebab yang dibenarkan oleh suatu tujuan (Nasution,
1963: 54).
Mungkin karena berbagai konflik yang ada pada
pribadi pengarang, terasa beberapa cerpennya bersifat fragmentaris, sukar
diikuti rentetan peristiwa cerita-cerita itu. Bahasa dan corak pembeberannya
kadang-kadang seperti karangan esai. Kumpulan cerpen Sitor yang kedua berjudul Pangeran (1963); tetapi beberapa cerpen
yang terdapat di dalamnya semacam dengan cerpen yang terdapat dalam kumpulan
yang pertama.
Judul cerpen yang terdapat di dalamnya,
antara lain Kereta Api Internasional
dan Pribahasa Jepang dan Sibolga. Nilai
ceritanya tidak banyak berbeda dengan kumpulan cerpen pertama.
Kecuali sebagai penyair dan pengarang cerpen,
Sitor banyak juga menulis esai. Esai Sitor, tajam analisisnya dan tampak
meyakinkan; kecuali yang ditulis sesudah ia mencampuradukkan politik praktis
dan kehidupan sastra. Corak yang terakhir ini tampak pada kumpulan esainya yang
terbit pada tahun 1975 yang berjudul Sastra
Revolusioner.
Sebagai pengarang drama Sitor telah
menerbitkan satu kumpulan drama yang berjudul Jalan Mutiara (1954). Kumpulan itu berisi tiga lakon, yaitu Pulo Batu dengan latar belakang pesisir
Danau Toba, Pertahanan Terakhir berlatar
belakang Muang Thai, dan Jalan Mutiara berlatar
belakang kota Jakarta. Unsur filsafat eksistensialisme terutama ada pada lakon
terakhir, yang antara lain terdapat pelaku seorang pelukis yang berpendapat bahwa
setiap orang harus membuat keputusannya sendiri dengan tiada memikirkan moral
atau pendapat umum.
Dalam perkembangan sastra Indonesia peran
Sitor penting sekitar tahun 1950 sampai dengan tahun 1956 dan sesudah itu
tulisan-tulisannya lebih banyak diabdikan untuk kepentingan politik.
Puisi Sitor yang pernah ramai dibicarakan
orang ialah yang berjudul Malam Lebaran. Puisi
tersebut hanya terdiri atas satu bait, dan satu bait itu hanya terdiri atas
satu baris.
Malam
Lebaran
Bulan di atas kuburan
Kumpulan puisi yang terbit kemudian adalah: Dinding Waktu (1976); Peta Perjalanan (1976, yang pada tahun
1978 mendapat hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta untuk puisi yang terbit pada
tahun 1976-1977).
8.
Achdiat
Karta Mihardja
Berdasarkan usianya, sebenarnya Achdiat Karta
Mihardja hampir sebaya dengan pengarang-pengarang Pujangga Baru. Ia dilahirkan
pada tanggal 6 Maret 1911 di Cibatu, daerah Garut, Jawa Barat. Namanya menjadi
terkenal dalam sastra Indonesia, sesudah novelnya yang berjudul Atheis terbit pada tahun 1949.
Atheis merupakan novel pertama pertama sesudah
perang yang paling banyak menarik perhatian. Kisahnya terjadi di daerah Bandung
dari tahun-tahun menjelang kedatangan Jepang sampai pada saat pemerintah Jepang
itu akan barakhir. Pelaku utamanya bernama Hasan, anak Raden Wiradikarta,
seorang penganut Agama Islam dan pengikut suatu ajaran tarekat. Hasan
dibesarkan dalam suasana keagamaan yang penuh dengan cerita dan dongeng tentang
keagungan Tuhan dan juga tentang sebagai siksa kubur dan siksa neraka. Ia
penganut Islam yang taat.
Setelah menamatkan sekolahnya di sekolah
Mulo, hasan bekerja di Bandung. Di kota ini ia jatuh cinta pada seorang gadis,
Rukmini namanya. Akan tetapi, orang tua gadis tidak menyetujui anaknya kawin
dengan Hasan, seorang keturunan raden, sehingga percintaan mereka terputus.
Dalam kegoncangan dan penderitaan batin itu, secara kebetulan Hasan bertemu
dengan teman sekolahnya yang bernama Rusli. Hubungan mereka menjadi bertambah
erat karena dengan cepat Hasan jatuh cinta pada Kartini, teman Rusli, seorang
gadis modern yang lincah dan indah tubuhnya.
Pergaulannya dengan Rusli dan Kartini
menimbulkan persoalan-persoalan baru bagi Hasan. Rusli seorang marxia dan
atheis yang sadar, yang menganggap bahwa Tuhan itu buatan manusia belaka. Rusli
amat bebas bergaul dengan Kartini, wanita yang bukan istrinya dan bukan pula
saudaranya. Hasan terombang-ambing pikirannya. Segala yang diyakininya selama
itu bertentangan dengan apa yang ada pada Rusli dan Kartini. Akan tetapi,
karena keterikatannya dengan Kartini, maka justru sedikit demi sedikit
keyakinan Hasan menjadi hilang. Hubungannya dengan orangtuanya pun menjadi
putus. Hal itu disebabkan pada waktu Hasan pulang untuk menjenguk orangtuanya,
ia disertai temannya yang bernama Anwar, seniman liar dan anarkis, yang tidak
peduli hak dan milik orang lain. Sikap dan pikiran-pikiran baru Hasan ditambah
dengan tingkah Anwar yang radikal dan tak kenal kesopanan itulah yang
menimbulkan perpisahan Hasan dengan orangtuanya.
Walaupun dalam hati kecilnya Hasan cemburu
dan curiga terhadap hubungan Kartini dengan Rusli dan Anwar, ia tetap hendak
memiliki Kartini untuk dirinya sendiri. Perkawinan Hasan dengan Kartini hanya
berlangsung kurang lebih tiga setengah tahun. Percekcokan selalu timbul, dan
perceraian tak dapat dihindari. Penyakit paru-paru yang selama ini diderita
oleh Hasan, menjadi bertambah sangat. Dengan badan yang lemah Hasan pulang ke
kampung mengunjungi ayahnya yang sakit keras untuk menyampaikan penyesalan dan
minta ampun segala dosanya. Akan tetapi, kedatangan Hasan ditolak oleh
orangtuanya karena dapat mengganggu ketenangannya menghadap Tuhan.
Hasan telah kehilangan semuanya. Ia pulang ke
Bandung dan dari apa yang didengar dan dilihatnya di suatu hotel ia menyangka
keras bahwa Kartini telah berbuat serong dengan Anwar. Rasa amarah dan
kegoncangan jiwanya tidak terkendalikan lagi. Hasan lari dan terus lari di
gelap malam dan di saat sirene tanda bahaya udara meraung-raung dan tiba-tiba
..... tar! Peluru senapan menembus daging pahanya sebelah kiri. Hasan jatuh
tersungkur dan dari bibirnya gemetar melepas kata Allahu Akbar, dan kemudian tidak bergerak lagi.
Ada beberapa hal yang menarik dari novel Atheis ini. Tema atau pokok persoalannya
bukan lagi masalah pertentangan antara yang lama dengan yang baru, antara Barat
dengan Timur, melainkan persoalan yang universal, yaitu persoalan manusia
dengan Tuhan Yang Maha Esa. Apa yang dikemukakan adalah konflik-konflik
ideologi terutama antara ideologi keyakinan agama dengan ajaran marxis.
Bahasa yang dipergunakan lancar dan lincah,
walaupun sebenarnya kemahiran berbahasa Indonesia bagi Achdiat merupakan
sesuatu yang harus banyak diusahakan sebelumnya. Achdiat banyak mempergunakan
bahasa perbandingan dan juga kata-kata bahasa daerah. Betapa banyaknya kalimat
perbandingan tampak pada kutipan berikut ini.
Stasiun Bandung sudah samar-samar diselimuti
oleh senja, ketika kereta api dari Cibatu masuk. Matahari sedang mengundurkan
diri, pelan-pelan dan hati-hati seperti pencuri yang hendak meninggalkan kamar
untuk menghilang dalam gelap.
Kota Bandung tidak seperti tiga tahun yang
lalu. Pada senja hari yang indah seperti itu, di zaman yang lalu kota itu
seolah-olah mulai berdandan. Lampu-lampu listrik di jalan-jalan, toko-toko dan
di rumah-rumah mulai di pasang, seakan-akan manusia bersedia-sedia untuk mulai
berjuang membantu Ormurd, dewa
terang, dalam perjuangannya yang abadi melawan Ahtiman, dewa gelap. Di mana-mana bola lampu sudah menyala, riang
terang seperti jambu-jambu api yang makin
lama makin terang untuk berbaur pada akhirnya menjadi satu lautan cahaya
yang terang benderang. Orang-orang, mobil-mobil dan kenderaan-kenderaan lain
bergerak-gerak, laksana ikan-ikan yang bergerak-gerak di atas dasar segara.
(halaman 224).
Di samping tema dan bahasa seperti tersebut
di atas, yang paling menarik dari novel Atheis
ialah teknik penceritaannya. Baik penggunaannya bentuk “aku” maupun penyusunan
alur ceritanya merupakan suatu hal yang baru dalam sastra Indonesia.
Sebenarnya, teknik penceritaan yang baru yang berbeda dari yang tradisional
sudah tampak pada novel Belenggu. Akan
tetapi, teknik penceritaan novel Atheis lebih
jelas dan bersifat khas corak unsur barunya.
Teeuw melukiskan alur cerita novel Atheis sebagai berikut:
[ C { B ( A ) B } C ]
Bagian A merupakan bagian terbesar dari novel
tersebut yang berisi riwayat pelaku utamanya, yaitu Hasan. Bagian ini di mulai
dari Bab III sampai Bab XII, yaitu dikisahkan dalam bentuk “aku”, yaitu Hasan.
Bagian B, baik sebelum dan sesudah A,
merupakan kisah pertemuan dan perbincangan pengarang dengan Hasan. Bagian ini
diceritakan juga dalam bentuk “aku”, tetapi “aku” pengarang. Bagian-bagian ini
hanya singkat saja. B yang pertama meliputi Bab II, sedangkan B yang kedua
meliputu Bab XII. Jadi, masing-masing hanya satu bab saja. Bagian C
kedua-duanya merupakan cerita pengarang
tentang Hasan. Pada bagian ini juga digunakan bentuk “aku” si pengarang. Bagian
C yang pertama terdiri dari satu bab, yaitu Bab I, yang hakikatnya kelanjutan
bagian C yang kedua yang terdiri atas Bab XIV dan XV. Alur cerita semacam itu
merupakan pengolahan alur flash-back yang
sangat menarik, satu hal yang unik dalam teknik penceritaan waktu itu.
Novel ini menimbulkan pendapat di kalangan
masyarakat. Berbagai pendapat itu dapat dibaca pada analisis Boen S. Oemarjati
tentang novel tersebut yang berjudul Satu
Pembicaraan Roman Atheis (1962). Dalam buku ini, Boen S. Oemarjati antara
lain berpendapat bahwa pelaku Anwar yang liar anarkis itu sama semangat dan
warnanya dengan penyair Chairil Anwar
Satu kelemahan novel Atheis menurut Teeuw ialah nada didaktis yang agak kuat yang
kadang-kadang digunakan oleh pengarangnya, misalnya uraian yang panjang lebar
tentang Marx, Freud, dan lain-lain. Walaupun demikian, terbitnya novel Atheis telah membuktikan bahwa Achdiat
seorang pengarang yang penting, walaupun tidak produktif.
Berdasarkan analisis intertekstual, ada
beberapa persamaan antara novel Atheis dengan
novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya
Hamka. Persamaan itu antara lain: (1) keduanya menggunakan alur regresif, dalam
arti awal cerita dalam buku itu hakikatnya adalah akhir cerita; (2) keduanya
menggunakan sudut pandang cerita bentuk aku (author participant) dengan dua macam aku, yaitu aku pengarang
sebagai pelaku tambahan (subordinate
character) dan aku tokoh cerita sebagai pelaku utama (main character). Berdasarkan dua persamaan tersebut sering
dikatakan bahwa novel Atheis sebagai
bentuk transformasi dari novel Di Bawah
Lindungan Ka’bah sebagai bentuk hipogramnya.
Pendapat tersebut oleh Achdiat Karta Mihardja
dibantah secara tegas. Dikatakan olehnya bahwa ia belum pernah membaca Di Bawah Lindungan Ka’bah sebelum
menulis Atheis.
Karangan Achdiat sesudah Atheis tidak banyak. Yang penting yaitu kumpulan cerpen yang
berjudul Keretakan dan Ketegangan (1956)
yang mendapat hadiah sastra nasional dari BMKN tahun 1955/1956. Ia juga menulis
drama anak-anak berjudul Bentrokan dalam
Asrama (1952). Setelah kunjungannya ke Amerika ia menulis cerita-cerita
dalam sebuah kumpulan kecil yang berjudul Kesan
dan Kenangan (1961). Di samping itu, sebelum perang Achdiat pernah
menerbitkan Polemik Kebudayaan (1948),
sebuah buku kumpulan polemik tentang kebudayaan pada waktu sebelum perang.
Selanjutnya, Achdiat bekerja menjadi dosen di Australian Nasional University,
Canbera.
PENGARANG-PENGARANG
ANGKATAN 45 YANG LAIN
1.
Utuy Tatang
Sontani
Ia terutama terkenal sebagai pengarang drama.
Ada juga karangannya yang berbentuk novel, yaitu Tanbera, novel sejarah yang ditulis sejak zaman Jepang. Novel ini
mengambil latar waktu ketika Belanda sedang memperkuat kedudukannya di Banda
sekitar tahun 1600. Drama yang pertama-tama ditulis merupakan drama bersajak
yang bersifat simbolik berjudul Suling,
yang menggambarkan sejarah Indonesia sejak masa permulaannya.
Drama yang dikarang kemudian sebagian besar
terdiri atas satu babak. Satu corak karangan Utuy pada umumnya ialah adanya
nada sindiran (ironi) dengan gaya seloroh untuk memberikan perhatian terhadap orang-orang
yang dipandang kurang penting dalam masyarakat.
Beberapa karangan dramanya itu ialah: Bunga Rumah Makan (1948); Awal dan Mira (1951, drama novel, yang
mendapat hadiah sastra Nasional BMKN tahun 1952); Manusia Kota (1962, yang memuat empat lakon, yaitu Manusia Iseng, Sayang Ada Orang Lain, Di
Langit Ada Bintang, dan Saat yang
Genting. Dalam drama-drama tersebut terasa adanya pengaruh ilmu jiwa Freud,
yang menganggap bahwa tindakan manusia itu sebagian besar dipengaruhi oleh
nafsu-nafsu libodinya); Selamat Jalan
Anak Kufur (1963, sebuah kumpulan drama yang berisi dua lakun, yaitu Selamat Jalan Anak Kufur dan Di Muka Kaca. Ajip Rosidi memandang
drama Selamat Jalan Anak Kufur
sebagai drama Utuy yang terkuat dan terbaik); Sangkuriang (1955, sebuah drama yang berbentuk libreto, merupakan
saduran dari cerita rakyat di daerah Sunda. Sebelum itu, ia pernah menulis
dengan judul Sangkuriang dalam bentuk
drama prosa (1953)); Si Kabayan
(1959, sebuah drama komedi yang juga diambil dari dongeng-dongeng rakyat di
daerah Sunda); Si Sapar (1964, drama
agitasi propaganda tentang usaha ‘mengganyang setan-setan kota’); Si Kampeng (1964, juga drama agitasi
‘mengganyang tujuh setan desa’).
Dua drama terakhir ini jelas propaganda untuk
kepentingan Partai Komunis Indonesia. Kita ketahui bahwa sejak permulaan tahun
1960 Utuy masuk Lekra sehingga karangannya banyak bertendens politik praktis,
tidak terlepas dari kepentingan PKI. Karena peristiwa G-30S/PKI dan Utuy jelas
masuk anggota Lekra, maka karangan-karangannya dinyatakan dilarang.
Selain novel dan drama seperti yang tersebut
di atas, Utuy juga banyak menulis cerpen. Kumpulan cerpen yang sudah
diterbitkan berjudul Orang-Orang Sial
(1951), yang suasana ceritanya tidak banyak berbeda dengan cerita Awal dan Mira.
2.
Trisno Sumarjo
Selain sebagai pengarang, ia juga terkenal
sebagai pelukis. Ia menerbitkan majalahSeniman (1947) di Sala bersama-sama
dengan pelukis S. Sudjono. Sebagai pengarang ia memiliki berbagai kecakapan,
sebagai pengarang cerpen, puisi, drama, esai, kritik, dan terutama sebagai
penerjemah berbagai sastra dunia.
Berbagai karangannya ialah: Kata Hati dan Perbuatan (1952, kumpulan
karangan berisi lima cerpen, dua drama pendek dan beberapa puisi); Cita Taruna (1953, drama bersajak
mengandung ibarat/bersifat alegoris); Rumah
Raja (1957, kumpulan dua buah cerita yang berjudul Rumah Raja dan Pak Imran
Intelek Istimewa. Keduanya merupakan cerita sendirian yang kadang-kadang
mengandung seloroh. Teeuw memandang cerita yang kedua sebagai ‘salah satu
cerita sindiran yang benar-benar berhasil di antara jumlah cerita sindiran yang
amat kecil dalam sastra baru Indonesia’); Daun
Kering (1963, kumpulan cerpen); Wajah-Wajah
yang Berubah (1968, kumpulan cerpen); Keranda
Ibu (1963); Penghuni Pohon (1963).
Kedua cerpen tersebut merupakan Seni Sastra Modern yang diusahakan oleh Balai
Pustaka, yang masing-masing terbit terpisah. Silheut (1966, kumpulan puisi yang berisi protes dan perlawanan
terhadap segala macam ketidakadilan. Terbit dalam bentuk stensilan).
Adapun terjemahan yang telah diusahakan cukup
banyak. Drama-drama Shakespeare yang telah diterjemahkan ialah Hamlet (1950); Machbeth (1950); Saudagar
Vanezia (1951); Prahara (1952); Manasuka (1952); Impian di Tengah Musim (1954); Romeo
dan Juliet (1955); Antonius dan
Cleopatra (1963). Kemudian terjemahan yang berjudul Dongeng-Dongeng Perempuan (1959) karangan Jean de la Fontaine; Dokter Zhivago (1960) karangan Boris
Pasternak, dan lain-lain (Ajip Rosidi, 1968: 123).
Trisno Sumarjo termasuk seorang tokoh penting
pendukung Manifes Kebudayaan. Ia lahir tanggal 6 Desember 1916 di Surabaya dan
meninggal tanggal 20 April 1969 dalam usia 53 tahun.
3.
Aoh K. Hadimadja
A. Teeuw memasukkan Aoh K. Hadimadja sebagai
penulis prosa Angkatan 45 tahap kedua bersama pengarang-pengarang lain, yaitu
M. Balfas, Barus Siregar, dan Rustam Sutiasumarga. Sementara itu,
penyair-penyair yang dimasukkan pada tahap pertama dalam Angkatan 45 ialah
Asrul Sani, Rivai Apin, Siti Nuraini (istri Asrul Sani), Mh. Rustandi
Kartakusuma, Harijadi S. Hartowardoyo, dan Toto Sudarto Bachtiar. Pembedaan
tersebut oleh Teeuw didasarkan atas jumlah karangan yang dihasilkan dan peranan
mereka dalam Angkatan 45.
Aoh K. Hadimadja di lahirkan di Bandung, 15
September 1911. Jadi, sebaya dengan Achdiat Kartamihardja. Ia sering
menggunakan nama samaran Karlan Hadi. Ia sudah menulis sajak sebelum perang dan
puisi-puisinya banyak dimuat dalam majalah Pujangga Baru. Karangannya ialah:
(1) Zahra (1962), kumpulan-kumpulan
puisi religius yang berjudul Pecahan
Ratna dan Di Bawah Kaki KebesaranMu. Dalam
kumpulan ini dimuat juga satu lakon drama yang berjudul Lakbok. Pecahan Ratna kemudian diterbitkan sebagai kumpulan
tersendiri oleh Pustaka Jaya tahun 1971. (2) Beberapa Paham Angkatan 45 (1952) berisi surat menyurat Aoh K.
Hadimadja dengan H.B. Jassin tentang Angkatan 45, polemiknya dengan Hamka,
Bakri Siregar, dan lain-lain.
Di samping karangan-karangan tersebut, ia
menulis dua buah buku teori sastra yang berjudul Seni Mengarang (1972) dan Aliran
Klasik Romantik dan Realisme dalam Kesusastraan (1973). Sejak tahun 1953 ia
lebih banyak bekerja di Eropa terutama sebagai pegawai Radio Hilversum
Nederland dan kemudian pada BBC London.
4.
M. Balfas
Ia lahir tanggal 25 Desember 1922 di Jakarta
dan terkenal sebagai pengarang prosa. Kumpulan cerpennya yang diterbitkan
berjudul Lingkaran-Lingkaran Retak (1952).
Sejak majalah Kisah didirikan tahun 1953, ia
menjadi redaktur bersama dengan H.B. Jassin dan Idrus. Sesudah penerbitan Kisah
dihentikan tahun 1956 dan majalah Sastra diterbitkan pada tahun 1961 ia duduk
juga sebagai redaktur sampai ia meninggalkan Indonesia dan bekerja di Kuala
Lumpur. Di sana ia menerbitkan sebuah novel yang berjudul Retak (1964), yang melukiskan tentang tokoh-tokoh politik di Indonesia
yang mengorbankan martabat manusia dan kemanusiaannya demi kepentingan partai
dan ideologi. Ia juga pernah juga menulis sebuah drama berjudul Tamu Malam yang belum dibukukan.
5.
Rusman
Sutiasumarga
Ia lahir di Subang, 5 Juli 1917. Kumpulan
cerpennya yang sudah diterbitkan berjudul Yang
Terempas dan Yang Terkandas. Dalam kumpulan itu termuat cerpennya yang
berjudul Gadis Bekasi yang pernah
mendapat hadiah Balai Pustaka.
Cerpen-cerpennya yang lain diterbitkan oleh
Balai Pustaka dalam Seri Sastra Modern (Ajip Rosidi menyebutnya penerbit proyek
16 halaman karena tiap penerbitan hanya terdiri atas satu cerpen yang umumnya
terdiri atas ± 16 halaman) berjudul Korban Romantik (1964) dan Kalung
(1964).
6.
Mh. Rustandi
Kartakusuma
Ia lahir tanggal 21 Juli 1921 di Ciamis.
Karangannya berupa drama, puisi, cerpen, dan terutama esai. Karangannya yang
sudah diterbitkan sebagai berikut: (1) Prabu
dan Puteri (1950); sebuah drama bersajak yang bersifat tragedi. Isinya saduran
sebuah dongeng lama Sunda tentang kerajaan Padjajaran. Drama ini jarang
dipentaskan karena dialog-dialognya berisi perenungan dan pemikiran filosofis.
(2) Rekaman dari Tujuh Daerah (1951);
kumpulan puisi yang paling tebal di antara kumpulan puisi yang pernah
diterbitkan di Indonesia. (3) Merah semua
Putuh Semua (1961); sebuah drama novel.
Karangan-karangan esainya cukup banyak,
tetapi belum diterbitkan sebagai kumpulan. Bahkan, sebagian orang berpendapat
bahwa Mh. Rustandi terutama penting sebagai pengarang esai. Ajip Rosidi
berpendapat sebagai berikut:
“Esai-esainya
ditulis dengan bahasa dan gaya yang sinis berkelakar, memberikan latar belakang
pengetahuan yang luas, meskipun kadang-kadang terasa tidak menunjukkan dada
lapang.” (1969: 125)
Dalam perbincangan tentang seni dan sastra
Mh. Rustandi pada umumnya ikut ambil bagian dan tidak jarang ia melontarkan
kritik-kritik yang tajam dan pedas tentang pendapat sebagian orang mengenai
seni dan sastra Indonesia.
7.
M. Ali
Ia sering dijuluki sebagai pengarang Lapar
karena sebuah drama radionya yang terkenal berjudul Lapar. Drama tersebut kemudian dibukukan dengan karangannya yang
lain yang berupa cerpen dan puisi dalam satu kumpulan dengan judul Hitam Atas Putih (1959). M. Ali atau
nama lengkapnya Muhammad Ali Maricar terkenal sebagai pengarang yang
tulisan-tulisannya banyak bersifat kemasyarakatan. Beberapa karangannya yang
lain yang telah diterbitkan umumnya berupa novel, yaitu 5 Tragedi (1954); Siksa dan
Bayangan (1955); Perjuangan dengan
Iblis (1955); dan Kabur Tak Bertanda (1955).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar