Senin, 17 Oktober 2011

CERPEN


MENGULIT KENANGAN
Cerpen Sihaloho, Ar. Zainal

Tiba-tiba aku teringat ibu setelah sekian lama aku terpisah atau tepatnya memisahkan diri dari mereka. Di mata mereka aku memang bukan anak yang berbakti. Ya, memang begitulah kanyataannya. Aku memang bukan anak yang berbakti. Tapi tentunya ini bukanlah kemauanku juga. Aku tau, apapun yang diharapkan orangtuaku padaku sebenarnya adalah tujuanku juga. Tapi disaat aku asyik mewujudkan harapan ibu dan ayah yang sebenarnya adalah tujuan hidupku juga, sebuah cinta telah membutakan mataku dan menanarkan langkahku, hingga jadilah aku seperti sekarang ini.
Aku dan ibu selalu sejalan dalam segala hal, paling hanya perdebatan kecil yang terjadi antara aku dan ibu. Jika argumenku  diterima ibu, ibu selalu mengalah dan jika argumen ibu bisa kuterima, aku pun mengalah juga.
Sayangnya cinta telah membuat mataku buta. Kebutaan terhadap cinta itupun bukan tanpa alasan. Sebagai orang yang berpendidikan, tentunya aku punya nalar yang cukup tinggi hanya saja aku memang terlalu terbuai dengan mimpi hingga tenggelam di dalamnya. Ini menurut Syam, sahabat kentalku sejak kecil.
“Apa kabar lo sekarang, Syam? Siapa ya yang akhirnya menjadi pendamping hidup lo?” kataku pelan dalam lamunanku. Aku jadi sangat merindukannya. Syam seorang sahabat yang cukup setia dan dialah satu-satunya sahabat yang pernah aku miliki.
Air mataku menetes mengalir hingga ke daguku dan menetes pada kertas koran yang sedang kubaca. Sebuah cerpen Syam yang dimuat di koran. Aku tau, cerita itu tentang aku. Semuanya dinyatakan, namaku, namanya, dan sederet peristiwa-peristiwa yang cukup mengesankan yang masih segar diingatanku. Peristiwa yang pernah diungkitnya ketika beberapa saat sebelum aku menceritakan masalahku saat itu yang esoknya dia mengajakku menikah.
Andai saja saat itu aku tidak sedang positif hamil di luar nikah, hanya ditinggalkan Gery semata, mungkin lamaran itu segera aku sanggupi. Sekian lama aku menunggunya mengungkapkan cintanya padaku. Tapi sampai kehadiran Gery dalam hidupku, mimpi aku yang satu itu tidak pernah terkabul. Ketika Gery mengungkapkan cintanya dan jadilah aku pacaran dengan Gery dan mulai menghapus mimpiku untuk suatu saat jadi pendamping hidup Syam.
Aku juga pernah mendengar ibuku berbincang dengan ayah yang mendambakan Syam sebagai suamiku. Saat itu aku berharap mereka memutuskan untuk mempertunangankan aku dengan Syam, karena aku tau Syam adalah anak yang paling berbakti kepada orangtua yang pernah aku kenal. Sayangnya, pemikiran ayah dan ibu sudah maju dan tak ada dalam kamus mereka masalah jodoh menjodohkan. Mereka sangat demokratis pada semua anak mereka yang membiarkan anak mereka memilih pasangan hidup sendiri.
Mereka tak sedikitpun kecewa dengan pilihan Kak Aulia yang seorang dokter memilih pasangan hidup seorang tukang ojek. Mereka juga tidak menunjukkan kekecewaan ketika Mas Nurman yang menikah dengan janda beranak tiga. Tapi mereka menikah dengan baik-baik dan tidak berbuat yang dilarang agama, itu yang aku tau. Sementara aku, udah melakukan perbuatan dosa, eh, malah ditinggalkan pergi. Meskipun saat ini aku hidup bersamanya, tapi seminggu yang lalu ia ditangkap polisi karena terlibat peredaran Narkoba. Tinggallah aku sendiri saat ini dengan kondisi hamil tua dan tanpa tempat tinggal.
Bagaimana nanti kalau tiba saat melahirkan? Siapa yang akan membantu aku? Siapa yang peduli? Andai saja waktu bisa berputar kembali. Aku tertegun menatap ke kejauhan dari tepatku duduk.
Sebuah mobil berhenti di depanku dan kaca jendelanya terbuka.
“Mbak, sekitar sini ada bengkel, gak?” tanya pengemudi mobil itu.
“Sekitar seratus meter ke depan sana ada bengkel, Pak!” jawabku menunjuk ke tepat yang aku maksud kemudian menoleh padanya.
“Dian…!” teriaknya.
Aku kaget mendengar namaku di panggil pengemudi mobil itu dari dalam mobilnya yang segera keluar. Kutatap wajahnya lekat-lekat, tapi tetap tak dapat kukenali laki-laki itu.
“Aku Syam. Masa lo udah gak kenal aku, Di!” katanya ketika aku mengernyitkan keningku mencoba mengingat-ingat.
“Syam?” pikirku dalam hati.
“Syam siapa, ya?” tanyaku. “Trus kamu tadi manggil aku dengan nama Dian, maksudnya Dian yang mana?”
“Ternyata seorang Gery udah ngeracuni pikiran lo, Di. Persahabatan kita?” katanya sambil meraih koran yang ada di tanganku dan membukanya. “Ini cerpenku dan ada tetes air mata, apa lo masih mau ngelak, kalo lo itu Dian?”
Aku menunduk, tak sanggup menatap pandangan matanya.
“Lebih dua puluh tahun kita bersahabat, Di, gerak-gerikmu udah aku hafal luar kepala. Penampilan lo boleh berganti, ingat sorot mata lo gak bakal bisa lo ubah sedikitpun.” katanya.
Air mataku menetes.
“Kalo lo bukan Dian, kenapa lo nangis?”
“Syam…!”
“Ya, aku, Di. Apa kabarmu?”
“Baik?”
“Mana Gery?”
“Penjara!”
“Kenapa dengannya?”
“Dia seorang pengedar Narkoba.”
“Udah berapa lama dia di penjara?”
“Baru seminggu, aku yang menjebaknya?”
“Kenapa?”
“Aku udah gak tahan diperlakukan seperti binatang.”
“Jadi kamu tinggal di mana sekarang?”
“Aku tidak punya tempat tinggal.”
“Trus?”
“Melanglang buana, sementara aku punya ibu dan ayah, tapi tak mungkin aku kembali. Perbuatanku telah menghina mereka dan meninggalkan luka yang terdalam.” jelasku. “Lo, apa kabar sekarang?”
“Baik!”
“Mana istri lo?”
“Aku belum menikah.”
“Kok belum?”
“Aku…aku… nunggu lo.”
“Untuk apa?”
“Untuk kujadikan istri.”
“Itu tak pantas, Syam.”
“Kenapa?”
“Lo tau siapa aku kan?”
“Lo sahabat aku dan satu-satunya cewek yang pernah aku impikan jadi istri aku.”
“Berhentilah bermimpi, Syam!”
“Udah lama aku berhenti bermimpi, Di, tapi kini lo udah aku temukan dan aku pengen bermimpi lagi.”
“Itu gak mungkin, Syam!”
“Kenapa? Karena lo udah begini? Aku gak peduli!”
“Meski lo ga peduli tapi lo mesti peduli ama Om dan Tante.”
“Andai lo tau gimana marahnya ayah dan ibuku waktu aku certain yang sesungguhnya ke mereka dan nganggap aku sahabat yang gagal karena gak berhasil menahan lo untuk tidak pergi.” jelasnya. “Sekarang, kamu ikut pulang! Bayi yang ada dikandunganmu butuh perhatian!”
“Tidak, Syam! Aku tidak mungkin pulang dengan kondisi begini.”
“Jadi, dengan kondisi begini lo pantasnya melanglang buana di sini, bukan istirahat. Apa peduli lo ama Gery sekarang?”
“Dia ayah dari bayi yang ada dalam kandunganku.”
“Itu anggapan lo, Di. Anggapan dia gak gitu, kan. Dia gak pernah nganggap bayi yang ada dalam kandungan lo itu anaknya.”
“Kok bisa lo ngomong gitu?”
“Di, apa masih kurang buktinya ama lo? Kalau dia nganggap anak yang ada dalam kandungan lo itu anaknya, dia gak mungkin nyia-nyiain lo kek gini. Lo ini aneh, Di, orang yang sayang ama lo, lo malah tinggalin demi orang yang ga sayang ama lo. Aku pikir setelah ngejalani hidup ama dia, lo tau siapa dia, ternyata nggak. Sekali lagi aku bilang ama lo, Di, Gery itu laki-laki brengsek.”
Aku terdiam mendengar kata-kata Syam.
“Apa lagi yang lo pikirin, Di? Sekarang, kalo lo gak mau pulang, ok, aku maklum. Tapi setidaknya lo ikut aku nyari kontrakan buat lo.” katanya menarik tanganku dan membukakan pintu mobilnya untukku. Tak ada pilihan lain, aku tak bisa menolak lagi.
Hampir seharian kami berputar-putar mencari rumah yang bisa dikontrak, baru setelah senja rumah itu kami ketemukan dan ia meninggalkan aku setelah berpesan sesuatu pada pemilik rumah. ***

Andam Dewi
Senin-Rabu, 18-20 April 2011
Pukul 22.44 WIB




CERPEN


CINTA JANGAN DIKEJAR
Cerpen: Sihaloho, Ar. Zainal

SECARA tiba-tiba pergelangan tanganku digenggam sebuah tangan mungil dan menarikku dari tempat dudukku. Aku segera berdiri dengan tarikan tangan itu karena tidak menduga sebelumnya.
“Syam, kamu ikut aku sebentar!” katanya sambil terus menarik tanganku.
“Iya, aku ikut tapi lepaskan tanganku dulu! Aku bisa jalan sendiri dan gak bakal nyasar di kampus ini.” balasku pada Dian. Dian sahabatku sejak kecil, dia orangnya energik, ceria dan selalu mamerin senyum manis ama siapa saja, gak pandang bulu. Semua dipukul rata. Tapi kali ini tak seperti  biasanya, wajahnya keliatan kusut dan rambutnya agak sembraut. Aku berpikir, kenapa dia.
“Gak. Emang napa kalo aku megang tangan kamu?” balasnya masih tetap menarik tanganku.
“Lo kenapa, Di. Kusut banget, mana wajah kamu pucat lagi?” kataku ketika kami sampai di tempat yang agak sepi, di situ hanya ada kami berdua.
Tanpa menjawab pertanyaanku, dia langsung berhambur ke pelukanku dengan tangisnya. Perlakuannya jelas membuat aku bingung, tapi aku tak tau harus berbuat apa-apa selain membiarkannya berbuat sesukanya.
Rasa ingin tauku memaksa aku menggenggam kedua bahunya dan melepaskan dekapannya padaku.
“Kamu, napa nangis gak jelas gini?”
Dia memalingkan mukanya dan membelakangiku, tapi apa yang ingin aku tau darinya belum juga terjawab. Ia menggigit bibirnya sebelah bawah seolah ia sedang melepaskan sebuah beban yang tak sanggup dipikulnya. Beban yang aku tak tau apa. Aku hanya manusia biasa yang tak bisa membaca semua tingkah lakunya.
“Lo napa, sih?” tanyaku kembali sedikit emosi setelah pertanyaanku tidak dijawab olehnya. “Lo udah sinting kali ya, nongol di depan aku, narik tangan aku membawa ke tempat ini dan di sini lo nangis dipelukan aku tanpa jelas sebabnya?” protesku. “Kalau lo punya masalah, lo boleh cerita ama sahabat lo ini. Aku siap jadi teman curhat kamu dan sebiasaku akan aku bantu. Toh, sejak dulu lo juga gitu, kan. Gak ada masalah lo yang gak lo certain ke aku.” lanjutku mencoba memancingnyauntuk bercerita.
“Tapi ini beda, Syam. Ini gak kek masalah yang dulu-dulu.” jawabnya. Jawaban yang membuat tanda tanya dibenakku semakin gede. “Aku gak tau apa komentar lo ama aku ntar dan aku yakin lo gak bakal bisa bantu aku.” lanjutnya.
“Oh, gitu, ya!” sahutku singkat. Tanpa menoleh dia mengangguk. “Kalau gitu aku cabut, ya! Kebetulan aku gak bisa dan  kayaknya bukan aku yang tepat ngedengar masalah lo.” kataku. Kata-kataku cukup ampuh untuk membuatnya sekedar berbalik dan menghadap ke aku.
Sesaat dia menatapku dengan perasaan kecamuk yang tak bisa kutangkap apa yang sedang dihadapinya.
“Mungkin aku bukan sahabat yang baik buat kamu, karena tanpa ngomong aku gak bisa tau apa yang terjadi ama lo. Yang jelas, aku bukan malaikat yang tau tanpa lo ceritain apa masalah lo meskipun kita udah cukup lama bersahabat, tapi tetap aku punya keterbatasan. Meskinya lo bersahabat ama peri seperti yang ada dalam khayalan lo itu, bersahabat ama mimpi-mimpi lo yang  nurut aku sangat mustahil itu.” kataku menatapnya tajam. “Dari awal aku udah bilang ama lo, jangan terlalu kebawa mimpi, gak baik meskipun mimpi itu bisa beri kita semangat.”
Dia masih menatap aku dengan perasaan kecamuk. Sesaat ia menengadah ke atas langit sambil memejamkan matanya. Digigitnya bibirnya bagian bawah menahan tangis yang hampir pecah. Sesaat dia kembali menegakkan kepalanya sambil membuka matanya dan menatap aku.
“Kenapa mentapku seperti itu?”
Tak ada jawaban yang kudengar darinya.
Akhirnya aku mendekatinya dan mulai melunakkan hatiku. Kuraih tangannya dan menggenggamnya berharap memberikannya sedikit ketenangan, meskipun entah ketenangan seperti apa yang dia harapkan dariku saat itu, yang pasti hanya itu yang bisa kuperbuat saat ini sebelum dia menceritakan masalahnya kepadaku. Aku berharap dengan berbuat demikian aku bisa mendengar ceritanya tentang masalah yang dihadapinya saat itu.
“Di, mau nggak kita ke suatu tempat?”
“Ke mana?”
“Yuk…!” kini aku yang menarik tangannya tapi dengan lembut seperti menggandengnya. Sedikitpun aku tidak menimbulkan kesan memaksa. Setelah sampai di motor bututku kunyalakan mesin dan menyuruhnya naik. Kupacu motor bututku itu hingga sampai ke tempat yang aku tuju. Di situ aku menghentikan laju motor bututku dan mematikannya.
“Masih ingat tempat ini?” tanyaku sambil menatapnya dengan sedikit senyum. Dia balik menatapku setelah memandangi hamparan air yang menggenang di danau yang tenang.
Ia tersenyum. Hanya sedikit. Cukup tipis dan itulah senyum khasnya yang membuat aku kagum dengan sahabat kentalku satu ini. Aku sedikit lega karena ia masih punya senyum itu. Aku pikir senyum itu ikut pudar saat ia menghadapi masalah yang aku juga tidak tau masalahnya apa.
“Dulu tempat ini adalah tempat paforit kita. Waktu SD kita sering belajar di sini, mancing di sini dan aku selalu kalah dengan hasil pancingan yang lo dapat meskipun akhirnya hasilnya kita satukan dan kita bagi dua.” kenangku padanya. “Di sini juga kita menyepakati sebuah nama yang kita sandang, lo dipanggil ‘Marmut’ dan aku dipanggil ‘Bodat’. Waktu SMP kita pernah bolos kemari dan kerja kita hanya duduk-duduk saja sampai tiba-tiba kedua orang tua kita mengejar-ngejar kita.” lanjutku.
Tiba-tiba dia tertawa kecil, suara tawanya cukup membuat aku menoleh padanya.
“Ya…!” aku masih ingat itu. “Sampai di rumah, aku dituduh ibu sebagai dalang semuanya, ibu menuduh akulah yang mengajakmu kemari.”
“Aku juga dituduh seperti itu. Ayah menuduhku kalau akulah yang mengajakmu kemari.” balasku. “Sampai sekarang aku belum tau kenapa mereka jadi tau kalau kita ada di sini waktu itu, padahal tempat ini hanya tau kita berdua.”
Sesaat dia terdiam, pandangan matanya terlihat kosong dan jauh. Seolah ada sesuatu yang sangat berat menghimpitnya, sayangnya sampai saat ini dia belum mau cerita tentang masalah yang terjadi padanya.
“Aku heran, kok tadi tiba-tiba aja lo nangis tanpa sebab yang jelas. Sebenarnya ada apa ama lo. Aku bingung. Benar-benar gak ngerti dengan sikap lo tadi, tapi ada untungnya juga buat aku, kejadian tadi adalah saat yang pertama kali aku dipeluk ama lo.” kataku sambil meliriknya.
Dia tidak menolehku. Pandangan matanya tetap kosong. Sikapnya membuat aku semakin bingung.
“Gimana hubungan kamu ama Gery, baik-baik aja, kan?” akhirnya kuputuskan saja menanyakan hal itu siapa tau dari situ ada celah buat dia menceritakan masalahnya.
Dia segera menolehku dan menatapku dengan muka yang paling kusut yang dimilikinya menurutku, selama ini dia tak pernah menatapku seperti itu.
“Inilah masalahnya, Dat!” akhirnya dia buka bicara dengan panggilan khas yang kami miliki dan hanya kami gunakan saat kami berdua.
“Kok bilang gitu, Mut, emang hubungan kamu ama Gery….”
“Dia menghilang dan ninggalin aku. Sudah seminggu komunikasi terputus dengannya dan ini yang buat aku bingung.”
“Kok bisa?” tanyaku dengan sedikit lega, mungkin ini kesempatanku buat memilikinya dan mengungkapkan perasaan aku ke dia, tapi gak mungkin secepat ini.
“Ntahlah…!” balasnya pendek. Air mukanya seketika tambah keruh sambil memegang perutnya dan memukul-mukulnya dengan pelan.
“Lo lapar, Mut?”
Ia tak menjawab hanya menggeleng.
“Trus? Masuk angin?” lanjutku ketika kuliat wajahnya pucat dan tiba-tiba ia mual. Aku yang duduk di sampingnya langsung melingkarkan tanganku ke pundaknya. “Lo kenapa, sih, sebenarnya?” tanyaku agak kesal sambil menyodorkan sapu tang padanya.
“Dat, apa lo masih nganggap aku sahabat lo jika aku certain semua ke lo?” tanyanya setelah menyeka mulutnya dengan sapu tangan yang kuberikan tadi.
“Marmut…Marmut…, kek lo baru kenal aku aja.” balasku menanggapi pertanyaannya, meskipun bukan jawaban itu yang diharapkannya.
“Ini sangat memalukan, Syam. Mungkin setelah lo dengar, lo langsung ninggalin aku di sini tanpa pernah mau ketemu aku lagi.”
“Anggap aku sahabat lo, dan ceritain semua, ya meskipun tanpa menganggap pun kita emang udah sahabat sejak kita kecil dulu.”
“Perut aku, Syam…!” katanya. Dia tidak lagi menggunakan panggilan ‘Bodat’ ke aku. Tapi kini ia memanggil nama yang diberikan kedua orang tuaku.
“Kenapa dengan perutmu, Di?”
“Syam…!” katanya ragu. Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku udah stress banget mikirin ini, sementara Gery nggak tau di mana.”
“Tunggu…tunggu…, jangan bilang ke aku kalo lo…lo….” Aku memberanikan diri memegang perutnya dengan penuh harap kalau itu tidak benar-benar terjadi. Aku menatapnya dengan raut tanya yang …., ah, entahlah.
“Syam…, itulah yang terjadi….” tangisnya pecah tanpa sanggup lagi melanjutkan kata-katanya. Ia segera menghambur kepelukanku.
Air mataku tak dapat kubendung. Dian yang ada dalam dekapanku kudekap seerat-eratnya. Dua bulir air mataku telah mengalir sampai pada daguku, dan bulir-bulir yang lain segera saling susul dan jatuh ke punggungnya. Aku tak tau apakah ia merasakan air mataku yang jatuh kepunggungnya atau tidak.
“Sejak awal aku udah ngeliat gelagat yang tak bersahabat dari Gery, tapi untuk mengatakannya ke lo aku gak bisa. Aku takut kalo kamu anggap aku yang gak bersahabat. Aku udah pernah pengen tulis semua ini dan ngasih ke lo. Tapi aku takut, hal itu akan merenggangkan hubungan persahabatan kita. Sementara, aku gak ngelakuin itu aja hubungan kita udah terbentang jauh.” kataku terbata-bata sambil mempererat dekapanku padanya.
Ia tak menggubris kata-kataku. Ia malah memperkeras tangisnya. Jelas aku gak tau apa yang bisa kuperbuat saat ini. Aku tak tau harus cari Gery ke mana.
“Di, apa dia pernah nyeritain tentang asal usulnya ke lo?” tanyaku untuk mencari ide apa yang harus kuperbuat.
Aku merenggangkan pelukanku dan berusaha menatap wajahnya. Baru beberapa saat ia menangis tapi wajahnya telah sekuyu itu. Sesaat ia menyeka air matanya dengan sapu tangan yang tadi kuberikan.
“Aku tak pernah menanyakan hal itu padanya.” katanya setelah air matanya kering.
“Lantas ke mana aku akan mencarinya, Di? Sementara ini tak bisa kita anggap sepele, apalagi menunda-nundanya.”
Ia tak menjawab. Wajahnya dialihkan ke hamparan danau yang luas dan berair bening serta tenang. Lama kami terdiam, bermain dengan jalan pikiran masing-masing.
“Apa dia sudah tau?”
“Aku baru cek kemarin, sementara dia udah menghilang selama dua minggu ini. Semua nomornya telah aku hubungi tapi usahaku sia-sia.”
Otakku segera kuputar mencari tau apa yang harus aju lakukan sebagai sahabatnya. Tentu bukan hanya sebatas sahabat saja, tapi lebih dari itu.
“Mungkin lebih baik kita pulang saja agar kita berpikir secara jernih dan besok aku jemput ke rumahmu.” kataku akhirnya. Dia hanya mengikut saja tanpa memberi komentar apa-apa.
Setelah mesin motor bututku nyala, ia naik dan kami segera meninggalkan tempat itu
***
MALAM akhirnya tinggalkan siang. Sesuatu yang berat kini menghimpit dadaku. Aku harus berpikir keras agar bisa membantu Dian lepas dari masalahnya. Masalah yang aku anggap tak sepele, bahkan cukup serius, menurutku. Otakku terus kuputar mencari berbagai macam ide. Sungguh sejak siang tadi aku tak mampu menemukan ide apa-apa. Bahkan aku malah ketiduran tadi setelah lama berpikir.
Ah, Di…, kenapa sih mesti kek gini? Kenapa dengan gamblangnya lo nyerahin semuanya ama laki-laki yang gak jelas asal usulnya? Lo liat sekarang hasil mimpi-mimpi lo, semua bikin hidup lo berantakan, pikirku.
Aku keluar dari kamar dan mencari ibu. Tapi aku tak mungkin menceritakan hal ini pada ibuku. Itu sama saja menceritakan pada orangtua Dian. Apa bedanya, toh antara mereka juga tak ada yang namanya rahasia. Sama antara aku dan Dian.
Aku kembali berbalik dan masuk ke kamarku, tapi sebelum pintu aku kunci, ibu malah memanggilku.
“Syam!”
“Ya, Bu!” aku kembali keluar dari kamar.
“Kamu kenapa, sejak pulang dari kampus tadi kok ngurung diri terus?”
“Eh…, anu, Bu. Ini, ngoreksi tugas siswaku!” jawabku asal. Ini pertama kalinya aku bohong pada ibu sejak aku kuliah. Padahal waktu aku lulus SMA dulu aku sudah berjanji untuk tidak bohong lagi pada ibu, tapi aku tidak mungkin menceritakan masalah Dian ke ibu.
Aku memang seorang guru di sebuah SMP, tempatku dulu sekolah. Kepala Sekolah mempercayakan aku mata pelajaran Bahasa Indonesia dan kepercayaan itu memang aku buktikan dengan meningkatnya prestasi siswaku. Aku memang berprinsip, mereka harus punya kreativitas dan setelah aku mengajar di sana, satu persatu karya siswaku mulai bermunculan di berbagai surat kabar lokal dan nasional. Bahkan aku telah ditawari kepala sekolah untuk membuka kelas menulis di luar jam sekolah. Aku hanya bisa member janji kepada Kepala Sekolah itu nanti, kalau aku sudah selesai kuliah, karena siang aku terpaksa kuliah.
“Oh…! Ibu pikir kamu sakit.” balas ibu. “Tadi kamu nggak ngajar?”
“Hari Senin kan aku nggak nggak ngajar, Bu!” kataku mendekat pada ibu dan duduk di samping ibu. “Bu, bagaimana menurut ibu kalau aku menikah sekarang?”
“Eh, kenalkan dulu sama ibu baru ibu menjawab pertanyaan kamu.”
“Masalahnya ku juga belum nyinggungnya ama dia, Bu. Cuman kalau ibu kasih lampu hijau, aku berencana menceritakannya dengannya dan menemui orangtuanya.”
“Ya, kalau ibu, sih, lebih cepat lebih baik. Rasanya ibu sudah rindu tangisan anak bayi di rumah ini. Tapi, apa kamu gak tunggu kuliahmu selesai, biar di undanganmu nanti ada embel-embel S.Pd-nya?”
“Ya, aku tanya dia dulu, Bu. Kalau masalah embel-embel kayaknya tak perlu, Bu.”
“Ya, terserah kamu sajalah. Kalau ibu sangat setuju, cuman ibu hanya kasih pertimbangan. Ntar kamu perlu biaya besarkan waktu mau selesai.”
“Ya, pakai uang ibu dulu, kalau ibu gak kasih cuma-cuma, ya dipinjam.” kataku bangkit. “Syam ke kamar, Bu.” kataku dan ibu hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Syam, kalau udah ada kesepakatan, mungkin bulan ini udah rame ya di rumah kita.”
“Satu bulan…?” kataku berbalik sambil berpikir kalau sebulan keburu terbongkar neh, bisa-bisa gawat.
“Kenapa? Terlalu cepat?”
“Kelamaan, Bu!”
“Ha….?”
Kutinggalkan ibu dengan kebingungannya mendengar ucapanku.
***
SEPULANG ngajar aku segera menemui Dian dan mengajaknya ke tempat kemarin sesuai janji. Selama diperjalanan aku belum menyinggung rencanaku yang aku pikir merupakan jalan satu-satunya menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari aib dan aku harap semua berjalan sempurna. Di tempat kami kemaren, kami duduk menghadap ke danau yang tenang dan bening, tak ada gemuruh di sana. Hanya sedikit bergelombang mengikuti simpony alam yang bernyanyi yang dibwa oleh hembusan angin siang itu.
“Gimana keadaanmu, Di?”
“Baik-baik saja, Syam.”
“Aku udah usaha nyari cara untuk bantu kamu dari masalah ini, tapi satu ide pun gak bisa aku temukan, Di. Sebagai sahabat aku ngerasa gak berarti apa-apa buat kamu, saat kamu dapat masalah aku gak bisa ngapa-ngapain.” ungkapku berbias kecewa.
“Gak apa-apa, Syam. Meskinya aku juga gak terlalu percaya dengan laki-laki kek Gery. Aku juga gak mestinya memperturutkan mimpi-mimpiku.”
“Di, bagaimana nanti kalau Om tau semua ini?”
“Ntahlah, Syam! Mungkin aku akan diusir dari rumah dan mau tak mau aku harus pergi.” balasnya pasrah. Matanya mulai berkaca-kaca menghadapi kenyataan yang telah dihadapinya dan semua telah terlanjur.
“Bagaimana kalau….” aku ragu meneruskan kata-kataku. Aku takut dia tersinggung dan menuduhku memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
“Kalau apa, Syam?” tanyanya dengan suara yang sudah mulai bergetar.
Rupanya kesedihannya telah sampai pada titik didih hingga dalam beberapa saat, dua bulir air mata telah mengalir dengan derasnya hingga ke dagunya yang indah.
“Bagaimana kalau aku menikahimu?” akhirnya kalimat itu mampu kuucapkan juga.
“Apa? Lo mau nikahi aku yang udah ternoda ini? Maksud lo?” tanyanya menolehku dengan ekspresi wajah yang dapat ku tatap. Aku menunduk.
“Sebagai sahabat, aku pengen bantu lo dan aku hanya dapat ide ini. Semalam aku udah ngobrol ama ibu dan dia nyerahin ke aku. Aku gak peduli ama keadaan lo saat ini, karena udah cukup lama aku mendam perasaan aku, sayangnya aku kalah ama Gery dan selama ini aku udah berusaha tegar, tapi ketegaran itu malah ngelempar aku dalam sepi yang entah kek gimana aku ngelaluinya. Sebenarnya udah sejak lama aku ada rasa ama kamu tapi sepertinya kamu memang gak ada rasa ama aku.”
“Lo emang sahabat terbaik aku, Syam. Tapi gak adil rasanya jika lo ngedapatin cewek kek aku, yang udah jadi barang bekas. Sementara lo, jalan ama cewek aja gak pernah. Selama ini lo terus bangun imej positif ama semua orang dan gak mungkin lo ngedapatin balasan semua itu dengan beristri perempuan kek aku.”
“Di, aku gak peduli.”
“Gak peduli apanya?” teriaknya. “Jika lo ngedapatin aku, mana keadilan Tuhan, Syam?”
“Tapi aku cinta ama lo, Di!”
“Hentikan omong kosongmu, Syam! Jangan sebut-sebut lagi kata cinta di depanku!” dia berlari meninggalkanku.
Aku tak mengejarnya. Aku tetap duduk di tempatku semula hingga malam menyelimuti siang, ia tak kembali dan aku tetap duduk di tempatku. Tak berbuat apa-apa selain menatapi hamparan danau yang tenang tanpa gemuruh, yang hening tanpa gairah, yang sepi tanpa naluri, yang diam tanpa hasrat, yang dalam tanpa gejolak, dan yang bening tanpa birahi.
Aku bangkit sambil berujar lirih, “Dalam keadaan gimanapun, lo gak pernah ada rasa ama aku, Di!”
***

Andam Dewi.
Minggu, 17 April 2011
Pukul 00.16 WIB



Sabtu, 28 Mei 2011

SIKAP BAHASA DAN PELAKSANAAN KEBIJAKSANAAN BAHASA NASIONAL

BAB I

PENDAHULUAN


Salah satu faktor yang mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan kebijaksanaan bahasa nasional adalah sikap bahasa yang dimiliki oleh warga masyarakat yang bersangkutan baik sebagai perseorangan maupun sebagai satu kesatuan kemasyarakatan. Faktor-faktor lain yang juga berpengaruh, meliputi :
1. kecermatan dan ketegasan kebijaksanaan bahasa nasional,
2. ketelitian di dalam perencanaan strategi pelaksanaan kebijaksanaan bahasa nasional,
3. tingkat kesenyawaan antara kebijaksanaan bahasa nasional dengan kebijaksanaan pembangunan nasional baik secara umum maupun secara sektoral,
4. tersedianya sarana kelembagaan yang berwenang penuh dan berwibawa,
5. tersedianya tenaga pelaksana professional yang bermutu, cakap, terampil, dan tekun dalam jumlah yang sesuai dengan keperluan,
6. tingkat keterlibatan segenap instansi pemerintah, media massa, lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal, dan segenap lapisan masyarakat, dan
7. tersedianya sarana dan prasarana kerja, termasuk dana.


1.Latar Belakang Masalah

Bahasan dalam makalah ini hanya terbatas pada masalah sikap bahasa sebagai landasan pelaksanaan kebijaksanaan bahasa nasional Indonesia. Di dalam hubungan ini, pertanyaan-pertanyaan pokok yang perlu dicari jawabannya adalah sebagai berikut :
a. Apakah yang dimaksud dengan sikap bahasa?
b. Apakah yang dimaksud dengan kebijaksanaan bahasa nasional?
c. Sampai dimanakah nasionalisme dipertahankan di dalam kebijaksanaan bahasa nasional?
d. Sampai kemanakah unsur-unsur bahasa lain, baik bahasa asing maupun bahasa daerah, dapat diterima dan diserap dalam pengembangan bahasa Indonesia?
e. Di dalam hubungan dengan bahasa asing sebagai sumber bahan pengembangan bahasa Indonesia, bahasa asing manakah yang diutamakan?

Pembatasan masalah dan pernyataan-pernyataan pokok di dalam makalah ini tentu saja tidak berarti bahwa masalah dan pertanyaan-pertanyaan pokok yang lain jadi diabaikan.

2.Tujuan Penulisan Masalah

Yang paling mendasar dalam makalah ini hanyalah ingin mengemukakan masalah sikap dan pelaksanaan kebijaksanaan bahasa nasioanal yang selama ini telah mempersatukan segala perbedaan yang ada dikalangan masyarakat Indonesia. Sikap bahasa yang selama ini telah menjadi media pemersatu antara kita, pemersatu segala perbedaan (suku, kebudayaan, warna kulit, agama dan segala perbedaan yang lain) dan bahasa inilah yang selama ini menjaga kemajemukan bangsa kita. Sedikit memberi kita gambaran bagaimana sebenarnya bahasa Indonesia itu dalam kehidupan sehari-hari yang sebenarnya mempunyai konsep yang diatur oleh perundang undangan. Makalah ini mencoba mempersepsikan kepada kita bersama bahwa bahasa Indonesia itu memiliki aturan yang sengaja diberlakukan. Dengan ini, maka selayaknyalah kita tidak melakukan pemerkosaan bahasa lagi. Agaknya hal ini merupakan masalah yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari ditengah-tengah masyarakat yang mempunyai lapisan pendidikan yang berbeda-beda.

* * *



BAB II

SIKAP BAHASA DAN PELAKSANAAN KEBIJAKSANAAN BAHASA NASIONAL

1. Sikap Bahasa

Sikap bahasa adalah salah satu diantara berbagai sikap yang mungkin ada. Masalah sikap telah agak banyak diteliti, dan berbagai batasan telah dikemukakan di dalam hubungan dengan psikologi sosial. Namun menurut Triandis (1971:24), unsur yang umumnya terdapat didalam berbagai batasan itu adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan. Kesiapan ini dapat merujuk kepada sikap mental atau kepada sikap prilaku. batasan yang masih sangat berpengaruh adalah batasan yang dikemukakan oleh Allport pada tahun 1935: “sikap adalah kesiapan mental dan saraf yang terbentuk melalui pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi terhadap seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu”, selanjutnya para ahli teori mengenai sikap mengemukakan batasan yang menyatakan bahwa sikap memiliki tiga komponen, yaitu
a. Komponen kognitif,
b. Komponen afektif, dan
c. Komponen prilaku.

Komponen kognitif menyangkut pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan di dalam proses berpikir. Misalnya hubungan dengan keadaan kebahasaan di Indonesia, komponen kognitif menyangkut pengetahuan kita mengenai bahasa-bahasa yang terdapat atau digunakan di Indonesia dan penggolongan bahasa-bahasa itu menjadi bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing, serta hubungan diantara kategori-kategori ini. Komponen afektif menyangkut perasaan atau emosi yang mewarnai atau menjiwai pengetahuan dan gagasan yang terdapat didalam komponen kognitif. Komponen afektif menyangkut nilai rasa baik atau tidak baik dan suka atau tidak suka. Apabila seseorang memiliki nilai rasa baik atau sukaterhadap sesuatu atau suatu keadaan , maka dalamn hal ini orang ini dikatakan memiliki sikap positif, demikian sebaliknya.

Jadi apabila seseorang menerima bahasa Indonesia dengan hati yang terbuka, maka orang itu dikatakan memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Komponen pelaku menyangkut kecenderungan berbuat atau bereaksi dengan cara tertentu terhadap sesuatu atau suatu keadaan. Seperti halnya dengan komponen kognitif dan komponen afektif, komponen prilaku pun terbentuk melalui pengalaman.

Ketiga komponen sikap itu (kognitif, afektif, dan prilaku) pada umumnya berhubungan erat. Namun, pengalaman seseorang mungkin mengakibatkan ketidak seimbangan diantara ketiga komponen itu. Anderson (1974:37-47) mengutip batasan sikap yang dikemukakan oleh Milton Rokeach: Sikap adalah tata keyakinan yang relative berjangka panjang, mengenai suatu objek atau keadaan yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu yang disenanginya. Atas dasar batasan yang dikemukakan oleh Rokeach itu, Anderson membagi sikap menjadi dua jenis, yaitu sikap bahasa dan sikap non-bahasa seperti sikap politik, sikap sosial, dan sikap estetis. Baik sikap bahasa maupun sikap non-bahasa dapat menyangkut keyakinan atau kognisi mengenai bahasa. Dengan demikian, menurut Anderson, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya.

Oleh karena pada dasarnya adalah kesiapan mental dan syaraf atau tata keyakinan (kognisi), kita berhadapan dengan kenyataan bahwa sikap tidak diamati secara langsung. Kadang-kadang orang menyimpulkan sikap seseorang terhadap sesuatu atau suatu keadaan atas dasar apa yang dikatakan orang itu mengenai sikapnya terhadap sesuatu atau suatu keadaan, atau atas dasar perbuatannya dalam hubungan dengan sesuatu atau keadaan itu. Kesimpulan mengenai sikap seperti ini tidak selamanya benar karena pengalaman kita menunjukkan bahwa pernyataan verbal atau perbuatan seseorang belum tentu merupakan menifestasi sikapnya yang sebenarnya.

Edward (1957:7) menyatakan bahwa perbuatan dan sikap tidak memiliki hubungan langsung. Sikap sebagai faktor yang mempengaruhi atau menentukan perbuatan mungkin merupakan salah satu faktor saja dan belum tentu merupakan faktor yang terkuat. Apakah kita hendak meramalkan perbuatan atas dasar perasaan atau sikap, faktor-faktor yang lain itu harus diperhitungkan. Sebaliknya, apabila kita hendaknya menyimpulkan sikap atau perasaan atas dasar pengamatan perbuatan, kita harus selalu mengingat kemungkinan bahwa kesimpulan kita tidak benar karena perbuatan itu mungkin ditentukan oleh faktor-faktor selain perasaan atau sikap. Triandis (1971:6-16) dengan tegas menyatakan bahwa asumsi sikap merupakan faktor perbuatan seseorang tidak benar. Dia berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa perbuatanlah yang menentukan sikap, bahwa hubungan antara sikap dan perbuatan adalah hubungan yang lemah. Malah, menurut Triandis penelitian yang dilakukan oleh R.T.La Piere (1934) sama sekali tidak menentukan hubungan antara apapun antara sikap dan perbuatan.

Triandis berpendapat bahwa hubungan antara sikap dan perbuatan itu ada. Sikap menyangkut apa yang dipikirkan orang, apa yang dirasakan dan bagaimana orang ingin berbuat dalam hubungan dengan sesuatu atau suatu keadaan. Perbuatan tidak hanya ditentukan oleh apa yang ingin dilakukan orang tetapi juga oleh apa menurut pendapatnyaharus dilakukan sesuai dengan norma-norma social, oleh apa yang biasanya dilakukannya, dan oleh akibat yang mungkin ditimbulkan oleh perbutannya itu. Dengan kata lain, perbuatan adalah fungsi sikap, norma sosial, kebiasaan, dan akibat yang mungkin terjadi. Diantara keempat faktor ini, faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap perbuatan adalah kebiasaan, dan faktor yang paling kecil adalah sikap. Kesimpulan mengenai urutan tingkat pengaruh faktor-faktor ini, menurut Triandis, dicapai oleh K.Sugar (1967) di dalam penelitiannya mengenai hubungan antara sikap dan perbutan dalam kaitannya dengan kegemaran merokok di kalangan mahasiswa.

Sikap bahasa yang dikemukakan oleh Garvin dan Mathiot (1956) adalah :
a. Kesetian bahasa, yang mendorong suatu masyarakat bahasa mempertahankan bahasa mempertahankan bahasanya dan, apabila perlu, mencegah adanya pengaruh asing,
b. Kebanggan bahasa, yang mendorong orang mengembangkan bahasanya danm menggunakan sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakatnya,
c. Kesadaran adanya norma bahasa, yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun, merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan, yaitu kegiatan penggunaan bahasa.

Dalam hubungan dengan keadaan kebahasaan di Indonesia, ketiga komponen sikap bahasa telah menghasilkan penggunaan bahasa di dalam masyarakat kita seperti yang kita jumpai dewasa ini. Salah satu fungsi lembaga pendidikan kita adalah menanamkan dan mengembangkan sikap bahasa yang fositif dan sehat pada anak didik terhadap bahasa Indonesia dengan jalan membimbingnya kearah kesetiaan bahasa, kebanggan bahasa dan kebiasaan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan cermat sesuai dengan norma-norma bahasa Indonesia baku dan norma-norma sosiolinguistik dan budaya yang terdapat di dalam masyarakat kita. Didalam hal ini, sikap bahasa yang fositif dan sehat dibina melalui pemupukan kebiasaan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan cermat. Dengan kata lain, kebiasaan dan perbutan yang dipupuk itu dijadikan dasar untuk membina sikap bahasa yang fositif dan sehat terhadap bahasa Indonesia.

2. Kebijaksanaan Bahasa Nasional

Pada dasarnya, sikap bahasa yang dikemukakan diatas adalah sikap bahasa yang dapat atau mungkin terdapat atau seharusnya terdapat pada anggota suatu masyarakat sebagai perseorangan. Kebijaksanaan bahasa nasional adalah pernyataan, baik lisan maupun tertulis, mengenai sikap bahasa yang menyangkut keseluruhan masyarakat yang bersangkutan.

Oleh karena kebijaksanaan nasional yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat, dalam hal ini bahasa Indonesia, kebijaksanaan bahasa nasional Indonesia merupakan pernyataan sikap nasional terhadap keseluruhan masalah bahasa Indonesia, yang merupakan jaringan masalah kebahasaan yang dijalin oleh :
a. Masalah bahasa Indonesia,
b. Masalah bahasa daerah,dan
c. Masalah bahasa asing, baik yang diajarkan dilembaga-lembaga pendidikan maupun yang digunakan tanpa pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan.

Salah satu fungsi kebijaksanaan bahasa nasional adalah memberikan dasar dan pengarahan bagi perencanaan serta pengembangan bahasa nasional perencanaan serta pengembangan bahasa daerah, dan pengembangan pengajaran bahasa asing. Pada waktu yang sama, kebijaksanaan bahasa nasional merupakan pernyataan sikap nasional terhadap masalah-masalah kebahasaan seperti :
a. fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia dalam hubungan dengan bahasa daerah dan bahasa asing,
b. ciri-ciri bahasa Indonesia baku,
c. pembakuan dan pengembangan bahasa Indonesia, dan
d. pengembangan pengajaran bahasa Indonesia pada semua jenisdan tingkat lembaga pendidikan.

Dipandang dari segi tujuan umumnya, kebijaksanaan bahasa nasional merupakan pernyataan sikap nasional terhadap masalah pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Dengan pembinaan bahasa Indonesia yang dimaksudkan peningkatan mutu komponen kognitif dan komponen afektif sikap bahasa warga masyarakat Indonesia.

Komponen kognitif menyangkut kesadaran dan pengetahuan mengenai keadaan kebahasaan di Indonesia yang meliputi bahasa Indonesia, bahasa daerah, bahasa asing sesuai dengan fungsi dan kedudukannya masing-masing. Komponen kognitif juga menyangkut pengetahuan dan kesadaran bahwa masalah kebahasaan di Indonesia merupakan masalah nasional, yang melibatkan segenap lapisan masyarakat, instansi-instansi pemerintah, sektor swasta, media massa, dan lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal.

Di dalam hubungan dengan bahasa Indonesia, komponen kognitif juga menyangkut pengetahuan dan kesadaran bahwa bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu, yang telah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan selama berabad-abad di seluruh Indonesia dan diperkaya dengan unsur-unsur serapan dari bahasa daerah dan bahasa asing. Kenyataan ini berhubungan erat dengan pendekatan dan strategi yang perlu ditempuh di dalam pembakuan bahasa Indonesia di dalam pertumbuhannya dari bahasa Melayu sebagai bahasa perhubungan menjadi bahasa nasional kita sesuai dengan Sumpah Pemuda 1928 dan bahasa negara kita sesuai dengan Bab XV, Pasal 36, Undang-Undang Dasar 1945, perkembangan bahasa Indonesia seperti yang kita miliki sekarang telah dimungkinkan oleh adanya tingkat toleransi kebahasaan yang tinggi di dalam masyarakat kita.

Dengan demikian, pembakuan bahasa Indonesia haruslah tidak berarti pembakuan mutlak dan ketat di seluruh Indonesia. Ini terutama berlaku bagi pembakuan perbendaharaan kata. Demikian juga halnya dengan pembakuan ragam lisan bahasa Indonesia.
Komponen afektif sikap bahasa kita dalam hubungan dengan bahasa Indonesia mencakup nilai rasa bangga memiliki bahasa nasional sebagai lambang kebulatan tekad dan semangat kebangsaaan Indonesia sebagai sarana penyatuan berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang kebahasaan, kebudayaan, dan kesukuannya di dalam satu masyarakat nasional Indonesia

Rasa bangga ini timbul dan berkembang sejalan dengan keberhasilan perjuangan kebangsaan Indonesia di dalam menemukan identitasnya sebagai bangsa. Selain itu, rasa bangga ini juga timbul dari kenyataan bahwa bahasa Indonesia tidak merupakan milik khas daerah atau suku tertentu sehingga ia benar-benar merupakan sarana perhubungan antar suku dan antar daerah yang dapat diandalkan. Sikap bangga terhadap bahasa berhubungan erat dengan sikap setia terhadap bahasa Indonesia.

Kebijaksanaan bahasa nasional, seperti yang saya kemukakan di atas, juga merupakan pernyataan sikap nasional terhadap masalah pengembangan bahasa Indonesia. Dengan pengembangan bahasa Indonesia dimaksudkan peningkatan mutu dan kelengkapan bahasa Indonesia sedemikian rupa sehingga benar-benar dapat berfungsi sebagai bahasa negara, bahasa pengantar dilembaga-lembaga pendidikan, bahasa perhubungan di dalam media massa, bahasa pendukung kebudayaan, dan bahasa pendukung ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Dengan demikian pengembangan bahasa Indonesia berhubungan erat dengan pemupukan komponen prilaku sikap bahasa warga masyarakat Indonesia. Pengembangan bahasa Indonesia memungkinan terbinanya kegairahan penggunaan bahasa Indonesia sesuai dengan fungsinya. Sejalan dengan itu, kegairahan penggunaan bahasa Indonesia diharapkan menjelma menjadi kenyataan yang disertai oleh kecermatan dan ketaatan didalam pelaksanaan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baku dan norma-norma kebahasaan yang berlaku.

Di dalam hubungan dengan bahasa daerah, kebijaksanaan bahasa nasional merupakan pernyataan nasional mengenai sikap bahasa terhadap bahasa daerah. Untuk dapat mencapai tujuaannya, kebijaksanaan bahasa nasional perlu memperhitungkan bahwa :
a. kelangsungan hidup dan pembinaan serta pengembangan bahasa-bahasa daerah yang tetap dipelihara oleh masyarakat pemakaiannya dijamin oleh UUD 1945,
b. bahasa-bahasa daerah adalah lambang nilai sosial budaya yang mencerminkan kebudayaan yang hidup dikalangan masyarakat pemakainya,
c. bahasa-bahasa daerah adalah kekayaan budaya yang dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan pengembangan bahasa Indonesia maupun untuk kepentingan pengembangan bahasa daerah itu sendiri,
d. bahasa-bahasa daerah berbeda-beda bukan saja di dalam struktur kebahasaannya tetapi juga duidalam jumlah penutur aslinya,
e. bahasa-bahasa daerah tertentu dipergunakan sebagai sarana perhubungan baik secara lisan maupun secara tulisan, sedangkan bahasa-bahasa daerah lainnya hanya dipergunakan secara lisan,
f. di dalam perkembangan dan pertumbuhannya, bahasa daerah mempengaruhi dan, pada waktu yang sama, dipengaruhi oleh bahasa Indonesia, bahasa-bahasa daerah lain, dan bahasa asing tertentu sebagai akibat meningkatnya penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia, bertambah lancarnya hubungan antar daerah, dan meningkatnya arus perpindahan penduduk serta jumlah perkawinan antar suku

3. Pelaksanaan Kebijaksanaan Bahasa Nasional

Pada dasarnya sikap bahasa kita sebagai bangsa, sikap bahasa para pemimpin negara dan masyarakat kita, dan sikap bahasa kita sebagai perorangan serta warga masyarakat kita merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam kebijaksanaan bahasa nasional kita.

Ketiga komponen sikap bahasa kita (kognitif, afektif, dan prilaku) menentukan arah serta mempengaruhi kwalitas perbuatan kita didalam pelaksanaan bahasa nasional kita itu. Oleh karena itu, keberhasilan kita di dalam pelaksanaan kebijaksanaan bahasa nasional itu sebagian besar tergantung kepada sampai kemana kebijaksanaan bahasa nasional kita itu benar-benar merupakan pernyataan sikap bahasa kita sebagai bangsa yang ditunjang oleh sikap bahasa kita sebagai perseorangan dan warga masyarakat kita.

Selain itu, kelancaran pelaksanaan kebijaksanaan bahasa nasional kita itu tergantung pula kepada sampai kemana kita berhasil melibatkan segenap lapisan masyarakat kita, termasuk lembaga-lembaga pemerintahan, sektor swasta, media massa, dan lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal.

Di dalam hubungan dengan pelaksanaan bahasa nasional itu, keutuhan semangat kebangsaan dan identitas kita sebagai bangsa disamping bangsa-bangsa lain di dunia harus tetap terjamin. Keutuhan semangat kebangsaan dan identitas kita sebagai bangsa itu harus tetap mewarnai sikap bahasa kita dan menentukan arah serta kwalitas prilaku kita di dalam bidang kebahasaan, terutama prilaku kita dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa Indonesia. Namun ini tidaklah berarti bahwa kita menolak kenyataan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa yang hidup dan dinamis senantiasa tumbuh, berubah, dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan, perubahan, dan perkembangan masyarakat pemakainya. Kita harus mengakui bahwa lingkungan kehidupan kita sebagai bangsa disamping bangsa-bangsa lain di dunia menghendaki adanya keserasian antara sikap hidup kita sebagai bangsa dan tata pergaulan antar bangsa.

Sejalan dengan perkembangan kebudayaan kita kearah peradaban dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, ciri kecendekiaan bahasa Indonesia harus mampu mengungkapkan proses pemikiran dan penalaran yang rumit secara tepat dan tegas dengan tidak mengorbankan identitasnya seperti bahasa kebangsaan bahasa Indonesia.

Di dalam peng-Indonesia-an unsur-unsur dalam bentuk istilah dari bahasa asing, ada dua jalan yang dapat ditempuh. Pertama, istilah dari bahasa asing di-Indonesia-kan dengan menggunakan unsur-unsur yang sudah ada dalam bahasa Indonesia. Kedua, apabila dalam bahasa Indonesia tidak terdapat padanannya yang tepat, istilah bahasa asing itu dapat di-Indonesia-kan dengan menggunakan unsur-unsur bahasa daerah.

Kecenderungan menempuh jalan yang kedua, apabila jalan yang pertama tidak mendatangkan hasil sama sekali. Kecenderungan ini timbul atas dasar sikap dan semangat kebangsaan kita.

* * *





BAB III
P E N U T U P

Seperti telah kita ketahui bersama, bahwa pembinaan bahasa Indonesia adalah tugas setiap lapisan masyarakat, karena pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia melibatkan segenap lapisan masyarakat termasuk lembaga-lembaga pemerintah, sektor swasta, media massa, terutama lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal yang secara langsung berorientasi dengan bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar dalam dunia pendidikan.

Namun, sejauh manapun kita melibatkan diri pada usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia itu, kita mesti juga mengetahui bahwa kita tidak begitu saja mengembangkan bahasa Indonesia itu tanpa aturan, karena bahasa Indonesia ini milik semua suku, milik semua kebudayaan, dan milik semua perbedaan yang ada di negara kita ini. Maka dalam usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia ini haruslah ada campur tangan pemerintah dalam penyerataan dalam penggunaan bahasa Indonesia agar tidak terjadi ketidak sesuaian dalam penerimaan pemakai bahasa Indonesia itu.

1. Kesimpulan

Sikap bahasa warga masyarakat kita adalah salah satu faktor yang menentukan kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan kebijaksanaan bahasa nasional kita. Pada dasarnya, kebijaksanaan bahasa nasional adalah pernyataan sikap bahasa nasional terhadap masalah bahasa. Di Indonesia, masalah bahasa merupakan jaringan masalah yang dijalain oleh masalah bahasa Indonesia, masalah bahasa daerah, dan masalah bahasa asing.

Di dalam pelaksanaan kebijaksanaan bahasa nasional diperlukan adanya keseimbangan antara sikap bahasa dan perilaku bahasa, antara sikap warga masyarakat baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok perseorangan dan sikap bahasa kita sebagai bangsa, diantara pemeliharaan identitas bahasa Indonesia dan peningkatan kemampuan bahasa Indonesia melaksanakan fungsinya. Selain itu, diperlukan pula keselarasan diantara ketiga komponen sikap bahasa, yaitu kognitif, afektif, dan prilaku.
Bahasa Indonesia dapat dikembangkan dan diperkaya dengan jalan penerimaan dan penyerapan unsur-unsur bahasa lain, baik bahasa daerah maupun bahasa asing. Unsur-unsur serapan itu hendaklah terbatas pada unsur-unsur yang sangat diperlukan dan yang padanannya yang tepat tidak terdapat dalam bahasa Indonesia.
Untuk kepentingan pengembangan bahasa Indonesia selanjutnya, terutama dibidang peristilahan, bahasa asing yang diutamakan sebagai bahasa sumber, apabila perlu, adalah bahasa Inggris.

2. Saran-Saran

Untuk memudahkan pembinaaan dan pengembangan bahasa Indonesia maka haruslah melibatkan segala lapisan masyarakat mulai dari lembaga-lembaga pemerintah terutama Lembaga Pengembangan Bahasa Indonesia yang secara langsung menangani masalah pengembangan bahasa Indonesia, sektor swasta yang menjadi pengguna bahasa secara langsung didalam dunia perekonomian di Indonesia, media massa sebagai alat untuk memperkenalkan bahasa Indonesia kepada masyarakat luas juga harus turun tangan dan ambil bagian dalam mengembangkan bahasa Indonesia, dan yang paling utama dan sebagai sentral penggunaan bahasa di Indonesia adalah lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal, karena disinilah untuk pertama kalinya dikenalkan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tanpa pengenalan bahasa Indonesia disini maka seterusnya generasi muda akan merasa aneh dan asing dengan bahasa Indonesia itu. Semua itu dapat dibuktikan dengan:
a. Memiliki sikap bahasa yang positif terhadap bahasa Indonesia,
b. Menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dengan benar, dan
c. Menghindari pemerkosaan bahasa agar bahasa Indonesia tetap digunakan sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.

Sebagai seorang mahasiswa, kita haruslah ikut pula dalam usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia tersebut, malah kita haruslah memiliki sikap yang positif terhadap bangsa Indonesia itu sendiri. Kita harus memiliki jiwa nasionalisme dalam usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia itu, namun sikap nasionalisme itu jangan berkembang menjadi sikap fanatisme yang menolak penyerapan bahasa asing menjadi bahasa Indonesia yang mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku di negara kita.

* * *






DAFTAR PUSTAKA

Halim, Amran. 1976. Fungsi Politik Bahasa Indonesia Dalam Politik Bahasa Nasional. Jilid I. Amran Halim, editor. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Nasional.

Moeliono, Anton M. 1976. Ciri-Ciri Bahasa Indonesia Yang Baku Dalam Politik Bahasa Nasional. Jilid II. Amran Halim, editor. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Marahimin, Ismail. 2004. Menulis Secara Populer. Jakarta: Pustaka Jaya.