KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah
Swt, yang telah memberikan rahmat untuk menyelesaikan makalah ini, tentunya
penulis memiliki keterbatasan yang menyebabkan makalah ini tidak sesempurna
yang diharapkan.
Makalah yang berjudul “MENGENAL POSTMODERNISME LEBIH DALAM” ini
akan membahas postmodern lebih dalam; dasar
pemikiran postmodernisme; ciri-ciri postmodernisme; dan dampak postmodernisme.
Makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk semakin bermutunya masalah dalam makalah ini.
Akhirnya,
penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
sumbangan pikiran dalam menyelesaikan makalah ini. Khususnya kepada Pak Izhar Lubis, S.Pd sebagai dosen
pengampu mata kuliah Sosiologi Sastra yang telah memberikan tugas ini kepada
penulis.
Sosorgadong,
Januari 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar........................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................... ......... 1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................. 1
1.3 Batasan Masalah....................................................................... ......... 2
1.4 Tujuan Penulisan....................................................................... ......... 2
BAB II KAJIAN TEORITIK..................................................................... ......... 3
2.1 Mengenal Postmodern Lebih Dalam.................................................. 3
2.2 Dasar Pemikiran Postmodernisme...................................................... 5
2.3 Ciri-Ciri Postmodernisme................................................................... 10
2.4 Dampak Postmodernisme.................................................................. 12
BAB
III KESIMPULAN
DAN SARAN..................................................... ......... 16
3.1 Kesimpulan............................................................................... ......... 16
3.2 Saran-Saran............................................................................... ......... 17
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................... ......... 18
BABI
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Miletos, kota kecil di gugusan
kepulauan Yunani abad ke-6 SM adalah tempat bermulanya cerita besar tentang
penaklukan alam oleh manusia. Di kota itulah sebermula runtuhnya mitos-mitos
arkhaik tentang alam yang berupa dongeng, fabel ataupun kepercayaan. Sejak saat
itu manusia serta-merta memberontak dari kungkungan kebudayaan mitologis dan
berusaha menggunakan akalnya untuk menjelaskan dunia.
Sejarah penaklukan alam dibawah
tatapan akal pikiran kemudian bergulir. Sokrates, filsuf besar Yunani,
mempertegas usaha ini dengan semboyannya yang sangat terkenal, Kenalilah dirimu
sendiri. Salah seorang murid Sokrates, Plato, seraya menggemakan pemikiran sang
guru, menarik garis lebih tajam mengenai konsep manusia. Menurut Plato, manusia
terdiri dari 3 tingkatan fungsi yakni, tubuh (epithymia), kehendak (thymos) dan
rasio (logos).
Rasio adalah tingkatan
tertinggi, sekaligus mengatur dan melingkupi fungsi-fungsi yang lain. Pandangan
Plato tentang manusia ini membawanya pada konsepsi negara ideal yang analog
dengan tingkatan fungsi dalam diri manusia. Pertama, para pemimpin (analog
dengan rasio). Kedua, para prajurit (analog dengan kehendak). Ketiga, para petani
dan tukang (analog dengan tubuh) (Harun Hadiwijono, 1994: 43-44). Dengan
konsepsi seperti ini Plato memperteguh keyakinan subjektivitas manusia dengan
konstruksi kebudayaan (negara) yang berpijak pada rasio.
1.2 Rumusan
Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a.
Bagaimanakah postmodern lebih dalam?
b.
Bagaimanakah dasar pemikiran postmodernisme?
c.
Bagaimanakah ciri-ciri postmodernisme?
d.
Bagaimanakah dampak postmodernisme?
1.3 Batasan
Masalah
Batasan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a.
Menjelaskan postmodern lebih dalam.
b.
Menjelaskan dasar pemikiran postmodernisme.
c.
Menjelaskan ciri-ciri postmodernisme.
d.
Menjelaskan dampak postmodernisme.
1.4 Tujuan
Penulisan Masalah
Adapun tujuan penulisan masalah ini adalah sebagai berikut:
a.
Untuk mengetahui postmodern lebih dalam.
b.
Untuk mengetahui dasar
pemikiran postmodernisme.
c.
Untuk mengetahui ciri-ciri
postmodernisme.
d.
Untuk mengetahui dampak postmodernisme.
***
BAB II
KAJIAN TEORITIK
2.1 Mengenal Postmodernisme Lebih Dalam
Sejarah filsafat berikutnya
bergulir sampai pada satu titik yang memiliki makna penting bagi kelahiran era
modernitas. Dipicu oleh gerakan humanisme Italia abad ke-14 M, Renaisans lahir
sebagai jawaban terhadap kejumudan dan kebekuan pemikiran abad
pertengahan. Renaisans yang berarti kelahiran kembali, membawa semangat
pembebasan dari dogma agama yang beku selama abad pertengahan; keberanian
menerima dan menghadapi dunia nyata; keyakinan menemukan kebenaran dengan
kemampuan sendiri; kebangkitan mempelajari kembali sastra dan budaya klasik;
serta keinginan mengangkat harkat dan martabat manusia (Harun Hadiwijono, 1994:
11-12). Makna penting Renaisans dalam sejarah filsafat Barat adalah peranannya
sebagai tempat persemaian benih.
Pencerahan abad ke-18 M yang
menjadi embrio kebudayaan modern. Seorang filsuf
besar yang menjejakkan pengaruhnya pada masa ini adalah Rene Descartes, Bapak
Rasionalisme, sekaligus arsitek utama filsafat modern. Dengan mengadopsi dan
mensintesakan pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya, Descartes berambisi membangun
metode pengetahuan yang berlaku untuk setiap bentuk pengetahuan. Menurutnya,
kepastian kebenaran dapat diperoleh melalui strategi kesangsian metodis. Dengan
meragukan segala sesuatu, Descartes ingin menemukan adanya hal yang tetap yang
tidak dapat diragukan. Itulah kepastian bahwa Aku sedang ragu-ragu tentang
segala sesuatu. Rumusan terkenal dari pemikiran Descartes ini adalah diktum,
Cogito ergo sum, Aku berpikir maka aku ada.
Dengan diktum ini, rasio sekali
lagi diyakini mampu mengatasi kekuatan metafisis dan transendental. Kemampuan
rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern.
Sejarah kematangan kebudayaan modern selanjutnya ditunjukkan oleh pemikiran dua
filsuf Jerman, Immanuel Kant dan Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir inilah
nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam alur sejarah dunia. Kant dengan
ide-ide absolut yang sudah terberi (kategori). Hegel dengan filsafat identitas
(idealisme absolut) (Ahmad Sahal, 1994: 13). Konstruksi kebudayaan modern
kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas, ego,
totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi, emansipasi
serta oposisi biner.
Sejarah pemikiran dan
kebudayaan yang dibangun di atas prinsip-prinsip modernitas selanjutnya merasuk
ke berbagai bidang kehidupan. Seni modern hadir sebagai kekuatan emansipatoris
yang menghantar manusia pada realitas baru. (Awuy, 1995: 41). Sementara itu
dalam dunia ilmu dan kebudayaan, modernitas ditandai dengan berkembangnya
teknologi yang sangat pesat, penemuan teori-teori fisika kontemporer, kejayaan
kapitalisme lanjut, konsumerisme, merebaknya budaya massa, budaya populer,
maraknya industri informasi televisi, koran, iklan, film, internet
berkembangnya konsep nation-state (negara-bangsa), demokratisasi dan
pluralisme.
Namun dalam penampilannya yang
mutakhir tersebut, modernisme mulai menampakkan jati dirinya yang sesungguhnya:
penuh kontradiksi, ideologis dan justru melahirkan berbagai patologi
modernisme. Modernisme inilah yang telah mencapai status hegemonis semenjak
kemenangan Amerika dan para sekutunya dalam Perang Dunia II (Ariel Heryanto,
1994: 80), yakni modernisme yang tidak lagi kaya watak seperti saat awal
kelahirannya, namun modernisme yang bercorak monoton, positivistik,
teknosentris dan rasionalistik; modernisme yang yakin secara fanatik pada
kemajuan sejarah linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa
masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat pengetahuan dan sistem
produksi.
Unsur-unsur utama modernisme:
rasio, ilmu dan antropomorphisme, justru menyebabkan reduksi dan totalisasi
hakekat manusia. Memang benar, di satu sisi modernisme telah memberikan
sumbangannya terhadap bangunan kebudayaan manusia dengan paham otonomi subjek,
kemajuan teknologi, industrialisasi, penyebaran informasi, penegakan HAM serta
demokratisasi. Namun di sisi lain, modernisme juga telah menyebabkan lahirnya
berbagai patologi: dehumanisasi, alienasi, diskriminasi, rasisme, pengangguran,
jurang perbedaan kaya dan miskin, materialisme, konsumerisme, dua kali Perang
Dunia, ancaman nuklir dan hegemoni budaya serta ekonomi. Berbagai patologi
inilah yang menjadi alasan penting gugatan pemikiran postmodernisme terhadap
modernisme.
Jejak-jejak pemikiran yang
bernaung di bawah payung postmodernisme dalam banyak bidang kehidupan:
seni, sastra, politik, ekonomi, arsitektur, sosiologi, antropologi dan
filsafat sebenarnya sudah dapat dilacak jauh ke alur sejarah
modernisme sendiri. Lahirnya beragam bentuk realitas baru: seni bumi, seni
avant garde, seni video, sastra marjinal, sastra yang terdiam, arsitektur
dekonstruksi, antropologi kesadaran, paradigma Thomas Kuhn dan pemberontakan
terhadap filsafat modern semenjak Nietzsche, Husserl, Heidegger, hingga Mahzab
Frankfrut adalah benih-benih lahirnya pemikiran postmodernisme.
2.2 Dasar Pemikiran
Postmodernisme
Dalam dunia filsafat,
postmodernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan epistemologis, melalui
pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya yang
merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec,
Kanada, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge (1984), Lyotard secara radikal menolak ide dasar
filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan
oleh prinsip kesatuan ontologis (Awuy, 1995: 158). Menurut Lyotard, dalam dunia
yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, prinsip kesatuan
ontologis sudah tidak relevan lagi.
Kekuasaan telah dibagi-bagi dan
tersebar berkat demokratisasi teknologi. Karena itu prinsip kesatuan ontologis
harus di delegitimasi dengan prinsip paralogi. Paralogi berarti prinsip yang
menerima keberagaman realitas, unsur, permainan dengan logikanya masing-masing
tanpa harus saling menindas atau menguasai (Awuy, 1995: 161). Persis permainan
catur, dimana setiap bidak memiliki aturan dan langkah tersendiri, tanpa harus
mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini, seperti dikatakan Susan
Sontag seorang kritikus seni merupakan indikasi lahirnya sensibilitas
baru: yakni sebuah kesadaran akan kemajemukan, bermain dan menikmati realitas
secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang atau menaklukan realitas lain
(Lash, 1990: 234).
Lebih jauh Lyotard menyatakan
prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme: rasio, ego, ide absolut, totalitas,
teleologi, oposisi biner, subjek, kemajuan sejarah linear yang disebutnya
Grand Narrative telah kehilangan legitimasi (Awuy, 1995: 158-161).
Cerita-cerita besar modernisme tersebut tak ayal hanyalah kedok belaka, mistifikasi,
yang bersifat ideologis, eksploitatif, dominatif dan semu.
Dari arah berbeda dengan
fokus filsafat bahasa Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis yang lain,
bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan strategi pemeriksaan
asumsi-asumsi modernisme yang seolah-olah sudah terberi itu dengan
dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa struktur-struktur
yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang senantiasa dimapankan
batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya (Ahmad Sahal, 1994: 21). Dengan
dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas dipertanyakan, dirongrong dan
disingkap sifat paradoksnya.
Lebih jauh dekonstruksi hendak
memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di bawah totalitas modernisme.
Implikasi logis strategi ini adalah melumernya batas-batas yang selama ini
dipertahankan antara konsep-metafor, kebenaran-fiksi, filsafat-puisi, serta
keseriusan-permainan. Wacana-wacana yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis,
kaum feminis, dunia ketiga, ras kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau
gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah
modernisme hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.
Strategi yang sarat emansipasi
ini pula yang mendorong seorang filsuf sejarawan Perancis Michel Foucault untuk
menyingkap mistifikasi hubungan pengetahuan dan kekuasaan yang disodorkan
modernisme. Berbeda dengan pandangan modernisme yang menyatakan adanya
distingsi antara pengetahuan murni dan pengetahuan ideologis, Foucault
menyatakan pengetahuan dan kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang sama. Tidak
ada pengetahuan tanpa kekuasaan vice versa. Selanjutnya menurut Foucault
kekuasaan tidaklah seperti yang dipahami kaum Weberian atau Marxian. Kaum
Weberian memahami kekuasaan sebagai kemampuan subjektif untuk mempengaruhi
orang lain.Sementara kaum Marxian memahami kekuasaan sebagai artefak material
yang bisa dikuasai dan digunakan untuk menindas kelas lain.
Secara cerdas Foucault
menyatakan bahwa di era yang dihidupi oleh perkembangan ilmu dan teknologi seperti
saat ini, kekuasaan bukan lagi institusi, struktur atau kekuatan yang
menundukkan. Kekuasaan tidak dimiliki, tidak memiliki,melainkan merupakan
relasi kompleks yang menyebar dan hadir di mana-mana (Ahmad Sahal, 1994: 17).
Pandangan tentang kuasa/pengetahuan yang tidak berpusat, tidak mendominasi dan
menyebar ini kemudian membawa Foucault untuk menolak asumsi rasio-kritis yang
universal ala Kantian.
Baginya rasio tidak universal,
karena seperti disuarakan Charles Baudelaire, seorang penyair
Perancis ada tanggapan lain terhadap modernisme yakni:ironi.Karenanya
Foucault sama sekali tidak berambisi membangun teori-teori yang universal. Ia
memilih membaca realitas pada ukuran mikro. Tema-tema tak jamak semisal
penjara, orang gila, rumah sakit, barak-barak tentara, pabrik, seks, pasien dan
kriminal adalah pilihan yang disadarinya. Dan dengan pilihan ini, sekali lagi
Foucault meneguhkan semangat emansipasi kaum tertindas yang telah diawali oleh
Lyotard dan Derrida.
Akhirnya, sebuah suara lain
yang mencoba membaca dan menyingkap perubahan watak modernisme adalah Jean
Baudrillard. Filsuf Perancis ini mengambil jalan agak berbeda dengan para
pendahulunya. Dengan mengambil alih pemikiran Marcel Mauss, Georges Bataille,
Karl Marx, Roland Barthes dan Marshal McLuhann Baudrillard memusatkan diri
menganalisa modernisme dari ranah budaya. Bertitik tolak dari itu ia
menunjukkan adanya diskontinuitas budaya dalam realitas masyarakat dewasa ini.
Melalui bukunya Simulations
(1983), Baudrillard mengintrodusir karakter khas masyarakat Barat dewasa ini
sebagai masyarakat simulasi. Inilah masyarakat yang hidup dengan
silang-sengkarut kode, tanda, dan model yang diatur sebagai produksi dan
reproduksi dalam sebuah simulacra (Lechte, 1994: 235). Simulacra adalah ruang
dimana mekanisme simulasi berlangsung. Merujuk Baudrillard, terdapat tiga
tingkatan simulacra (Baudrillard, 1983:54-56). Pertama, simulacra yang
berlangsung semenjak era Renaisans hingga permulaan Revolusi Industri.
Simulacra pada tingkatan ini merupakan representasi dari relasi alamiah
berbagai unsur kehidupan.
Kedua, simulacra yang
berlangsung seiring dengan perkembangan era industrialisasi. Pada tingkatan
ini, telah terjadi pergeseran mekanisme representasi akibat dampak negatif
industrialisasi. Ketiga, simulacra yang lahir sebagai konsekuensi berkembangnya
ilmu dan teknologi informasi. Simulacra pada tingkatan ini merupakan wujud
silang-sengkarut tanda, citra dan kode budaya yang tidak lagi merujuk pada
representasi. Selanjutnya dalam mekanisme simulasi, manusia dijebak dalam ruang
realitas yang dianggapnya nyata,padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa.
Realitas semu ini merupakan ruang antitesis dari representasi semacam
dekonstruksi representasi dalam wacana Derrida. Dengan contoh yang gampang
Baudrillard menggambarkan dunia simulasi dengan analogi peta.
Menurutnya, bila dalam ruang
nyata, sebuah peta merupakan representasi dari suatu wilayah, dalam mekanisme
simulasi yang terjadi adalah sebaliknya. Peta mendahului wilayah. Realitas
sosial, budaya, bahkan politik, dibangun berlandaskan model-model yang telah
dibuat sebelumnya.
Dalam dunia simulasi, bukan
realitas yang menjadi cermin kenyataan, melainkan model-model (Baudrillard,
1987: 17). Boneka Barbie, tokoh Rambo, telenovela, iklan televisi, Doraemon
atau Mickey Mouse adalah model-model acuan nilai dan makna sosial budaya
masyarakat dewasa ini. Dalam wacana simulasi, manusia mendiami ruang realitas,
dimana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, yang asli dan palsu sangat
tipis. Dunia-dunia buatan semacam Disneyland, Universal Studio, China Town, Las
Vegas atau Beverlly Hills, yang menjadi model realitas-semu Amerika adalah
representasi paling tepat untuk menggambarkan keadaan ini.
Lewat televisi, film dan iklan,
dunia simulasi tampil sempurna. Inilah ruang yang tak lagi peduli dengan
kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra,
produksi atau reproduksi semuanya lebur menjadi satu dalam
silang-sengkarut tanda (Baudrillard, 1987: 33). Perkembangan ilmu dan teknologi
dewasa ini dengan micro processor, memory bank, remote control, telecard,
laser disc, dan internet menurut Baudrillard tidak saja dapat
memperpanjang badan atau sistem syaraf manusia, namun bahkan lebih fantastis
lagi, mampu mereproduksi realitas, masa lalu dan nostalgia; menciptakan
realitas baru dengan citra-citra buatan; menyulap fantasi, ilusi bahkan
halusinasi menjadi kenyataan; serta melipat realitas ke dalam sebuah disket
atau memory bank.
Lebih jauh, realitas yang
dihasilkan teknologi baru ini telah mengalahkan realitas yang sesungguhnya dan
menjadi model acuan yang baru bagi masyarakat. Citra lebih meyakinkan ketimbang
fakta. Dan mimpi lebih dipercaya ketimbang kenyataan sehari-hari. Inilah dunia
hiperrealitas: realitas yang berlebih, meledak, semu.
Dengan televisi dan media massa
misalnya, realitas buatan (citra-citra) seolah lebih real dibanding realitas
aslinya. Tokoh Rambo,boneka Barbie, Jurrasic Park, atau Star Trek Voyager
yang merupakan citra-citra buatan nampak lebih dekat dan nyata dibanding
keberadaan tetangga kita sendiri. Dalam kondisi seperti ini, realitas,
kebenaran, fakta dan objektivitas kehilangan eksistensinya. Hiperrealitas
adalah realitas itu sendiri (Baudrillard, 1983: 183). Yakni, era yang dituntun
oleh model-model realitas tanpa asal-usul dan referensi (Baudrillard, 1983:2).
Dimana, yang nyata tidak sekedar dapat direproduksi, namun selalu dan selalu
direproduksi (Baudrillard, 1983: 146).
Baudrillard menyatakan bahwa
sejalan dengan perubahan struktur masyarakat simulasi, telah terjadi pergeseran
nilai-tanda dalam masyarakat kontemporer dewasa ini yakni dari nilai-guna dan
nilai-tukar ke nilai-tanda dan nilai-simbol. Berangkat dari analisa masyarakat
produksi Marx dengan konsep-konsep: nilai-guna (use-value), nilai-tukar (exchange-value),
fetishism of commodity, social class, teori gift (pemberian) Marcell Mauss dan
teori expenditure (belanjaan) Georges Bataille, pemikiran Baudrillard
akhirnya menyempal dari pemikiran sang pendahulunya dan mengambil jalannya
sendiri.
Ia menyatakan bahwa dalam
masyarakat konsumeristik dewasa ini, nilai-guna dan nilai-tukar, seperti
disarankan Marx, sudah tidak lagi bisa diyakini. Sementara dari Mauss dan
Bataille, Baudrillard bersepakat bahwa aktivitas konsumsi manusia sebenarnya
didasarkan pada prinsip non-utilitarian (Lechte, 1994: 233). Kini, menurut
Baudrillard, adalah era kejayaan nilai-tanda dan nilai-simbol yang ditopang
oleh meledaknya citra dan makna oleh media massa dan perkembangan teknologi.
Sesuatu tidak lagi dinilai
berdasarkan manfaat atau harganya, melainkan berdasarkan prestise dan makna
simbolisnya (Lechte, 1994: 234). Mengacu Marx, terdapat dua nilai-tanda dalam
sejarah kebudayaan manusia yakni, nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar
(exchange-value). Nilai-guna merupakan nilai asali yang secara alamiah terdapat
dalam setiap objek. Berdasarkan manfaatnya, setiap objek dipandang memiliki
guna bagi kepentingan manusia. Nilai inilah yang mendasari bangunan kebudayaan
masyarakat awal. Selanjutnya dengan perkembangan kapitalisme, lahir nilai baru
yakni nilai-tukar. Nilai-tukar dalam masyarakat kapitalis memiliki kedudukan
penting karena dari sanalah lahir konsep komoditi. Dengan konsep komoditi,
segala sesuatu dinilai berdasarkan nilai-tukarnya.
Sementara itu, menurut
Baudrillard, telah terjadi perubahan dalam struktur masyarakat Barat dewasa
ini. Masyarakat Barat dewasa ini adalah masyarakat konsumer: masyarakat yang haus
mengkonsumsi segala sesuatu tidak hanya objek-real, namun juga
objek-tanda. Inilah masyarakat yang hidup dengan kemudahan dan kesejahteraan
yang diberikan oleh perkembangan kapitalisme-lanjut, kemajuan ilmu dan
teknologi, ledakan media dan iklan.
Tanda menjadi salah satu elemen
penting masyarakat konsumer. Sejalan dengan itu, Baudrillard mengubah
periodisasi yang dibuat Marx mengenai tingkat perkembangan masyarakat dari:
masyarakat feodal, masyarakat kapitalis dan masyarakat komunis, menjadi
masyarakat primitif, masyarakat hierarkis dan masyarakat massa. Menurut
Baudrillard, dalam masyarakat primitif, tidak ada elemen tanda.
Objek dipahami secara alamiah
dan murni berdasarkan kegunaannya. Selanjutnya dalam masyarakat hierarkis,
terdapat sedikit sirkulasi elemen tanda dalam suatu budaya simbol yang baru
tumbuh. Saat inilah lahir prinsip nilai-tukar. Akhirnya, dalam masyarakat
massa, sirkulasi tanda mendominasi seluruh segi kehidupan. Dalam masyarakat
massa, media menciptakan ledakan makna yang luar biasa hingga mengalahkan
realitas nyata. Inilah saat ketika objek tidak lagi dilihat manfaat atau
nilai-tukarnya, melainkan makna dan nilai-simbolnya (Baudrillard, 1993: 68-70).
Berangkat dari analisa Marx
diatas, serta dengan membaca kondisi masyarakat Barat dewasa ini, Baudrillard
menyatakan bahwa dalam masyarakat kapitalisme-lanjut (late capitalism) dewasa
ini, nilai-guna dan nilai-tukar telah dikalahkan oleh sebuah nilai baru, yakni
nilai-tanda dan nilai-simbol. Nilai-tanda dan nilai-simbol, yang lahir
bersamaan dengan semakin meningkatnya taraf ekonomi masyarakat Barat, lebih
memandang makna simbolik sebuah objek ketimbang manfaat atau harganya. Fenomena
kelahiran nilai-tanda dan nilai-simbol ini mendorong Baudrillard untuk
menyatakan bahwa analisa komoditi Marx sudah tidak dapat dipakai untuk
memandang masyarakat Barat dewasa ini.
2.3 Ciri-Ciri
Postmodernisme
Hal ini karena dalam masyarakat
kapitalisme-lanjut Barat, perhatian utama lebih ditujukan kepada simbol, citra,
sistem tanda dan bukan lagi pada manfaat dan harga komoditi.Lebih lanjut
Baudrillard menyatakan kebudayaan postmodern memiliki beberapa ciri
menonjol.
Pertama, kebudayaan postmodern
adalah kebudayaan uang, excremental culture. Uang mendapatkan peran yang sangat
penting dalam masyarakat postmodern. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya,
fungsi dan makna uang dalam budaya postmodern tidaklah sekedar sebagai
alat-tukar, melainkan lebih dari itu merupakan simbol, tanda dan motif utama
berlangsungnya kebudayaan.
Kedua, kebudayaan postmodern
lebih mengutamakan penanda (signifier) ketimbang petanda (signified), media
(medium) ketimbang pesan (message), fiksi (fiction) ketimbang fakta(fact),
sistem tanda (system of signs) ketimbang sistem objek (system of objects),
serta estetika (aesthetic) ketimbang etika (ethic). Ketiga, kebudayaan
postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni dunia yang terbangun dengan pengaturan
tanda, citra dan fakta melalui produksi maupun reproduksi secara tumpang tindih
dan berjalin kelindan. Keempat, sebagai konsekuensi logis karakter simulasi,
budaya postmodern ditandai dengan sifat hiperrealitas, dimana citra dan fakta
bertubrukan dalam satu ruang kesadaran yang sama, dan lebih jauh lagi realitas
semu (citra) mengalahkan realitas yang sesungguhnya (fakta).
Kelima, kebudayaan postmodern
ditandai dengan meledaknya budaya massa, budaya populer serta budaya media
massa. Kapitalisme lanjut yang bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan
teknologi, telah memberikan peranan penting kepada pasar dan konsumen sebagai
institusi kekuasaan baru menggantikan peran negara, militer dan parlemen
(Harvey, 1989: 102).
Dalam konstruksi kebudayaan
seperti inilah artefak-artefak budaya postmodern menemukan dirinya. Tidak ada
lagi mitos Sang Seniman dalam wacana seni modern yang berpretensi membebaskan
dunia. Tidak ada lagi karya seni, kecuali reproduksi dari berbagai unsur seni
yang sudah ada. Tidak ada lagi perbedaan antara seni rendah dan seni tinggi,
seni populer (popular art) dan seni murni (fine art). Estetika seni postmodern
ditandai dengan prinsip-prinsip pastiche (peminjaman dan penggunaan berbagai
sumber seni masa lalu), parodi (distorsi dan permainan makna), kitsch
(reproduksi gaya,bentuk dan ikon), serta camp (pengelabuhan identitas dan
penopengan (Pilliang, 1998: 109).
Diskursus kebudayaan postmodern
mendapatkan legitimasi sosio-kultural-filosofisnya justru dari kegamangan era
modern dalam menuntaskan proyek Pencerahan. Proyek modernisme yang dihidupi
oleh semangat Pencerahan ini dengan keyakinan akan prinsip kemajuan
sejarah yang linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, keampuhan rekayasa bagi
suatu masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan tata pengetahuan dan system
produksi yang keras saat ini tengah menghadapi ujian besar dengan
menyebarnya berbagai patologi modernitas.
Postmodernisme mencoba
mempertanyakan kembali posisi, batas dan implikasi asumsi-asumsi modernisme
yang kini telah menjelma menjadi mitos baru. Dalam kerangka kritis itulah Jean
Baudrillard mencoba membaca realitas kebudayaan masyarakat Barat dewasa ini.
Dengan mengadopsi dan mengembangkan pemikiran-pemikiran Karl Marx tentang
nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchange-value), semiologi Roland
Barthes, society of spectacle Guy Debord, serta konsep global village dan
medium is message Marshal McLuhan, Baudrillard menyatakan bahwa realitas
kebudayaan dewasa ini menunjukkan adanya karakter khas yang membedakannya
dengan realitas kebudayaan modern masyarakat Barat.
Inilah kebudayaan postmodern
yang memiliki ciri-ciri hiperrealitas, simulacra dan simulasi, serta
didominasi oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Inilah wacana kebudayaan
yang saat ini menghidupi dan sekaligus kita hidupi, sebagai sebuah keniscayaan
yang tidak dapat ditolak. Wacana kebudayaan inilah yang menawarkan tantangan
sekaligus peluang bagi kita untuk mulai memperhatikan sisi lain realitas
masyarakat dewasa ini.
2.4 Dampak Postmodernisme
Jika tidak hati-hati, filsafat bisa membawa dampak buruk
bagi pemikiran Islam. Laksana obat, kadar dan cara penggunaannya harus
tepat. Jika keliru, bisa berdampak negative. Sebut saja, misalnya, filsafat
posmodernisme. Dalam beberapa dekade terakhir ini, filsafat posmodernis
Perancis memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam arus pemikiran Islam dan
filsafat di belahan bumi yang sedang bergejolak saat ini seperti Maroko,
Aljazair, dan Tunisia. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari beberapa karya
tulis yang terhasil dari tangan para cendikiawan dan pemikir negeri ini.
Beberapa karya besar dari tokoh-tokoh posmodernis seperti Michel Foucault,
Jacques Derrida, dan Paul Ricour sudah diterjemahkan kedalam Bahasa Arab.
Diantara karya Foucault tersohor yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab adalah Archeology of Knowledgediterjemahkan oleh
Salim Yafut dengan judul Hafriyat al-Ma’rifah. Mungkin terinspirasi
dengan buku ini, Yafut-pun menulis buku dengan memakai istilah yang sama yaitu Hafriyāt
al-al-Ma'rifah al-'Arabiyyah al-Islāmiyyah and Hafriyāt al-Istishrāq. Hafriyat disini
bermaksud archeology, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh
Foucault dalam upayanya membongkar jaring-jaring (struktur) pemikiran filsafati
Barat. Karya lainnya yang telah di-Arab-kan termasuk Discipline and
Punishment Discipline and Punishment, dan The Orders of Things. Kehadiran
Foucault dalam pemikiran Arab dengan baik di jelaskan oleh Zawawi Bughurah
dalam karyanya yang berjudul Michel Foucault fi al-Fikr al-'Arabi
al-Mu'asir (Beirut: Dar al-Tali'ah, 2001).
Selain Foucault, Derrida juga memberikan pengaruh yang cukup
signifikan dalam pemikiran Arab kontemporer. Hal ini sangat baik di jelaskan
oleh Ahmad ‘Abd al-Halim 'Atiyyah dalam artikelnya yang judul al-Tafkīk
wa al-Ikhtilaf: Jacques Derrida wa al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’asir yang
diterbitkan dalam buku yang diedit oleh Mahmud Amīn al-‘Alim, al-Fikr
al-‘Arabi ‘ala Masharif al-Qarn al-Hadi wa al-‘Ishrin. (Qadaya Fikriyyah lī
al-Nashr wa al-Tawzi’, 1995, hal 159- 199).
Di antara sekian banyak pemikir Arab yang banyak terpengaruh
dengan filsafat pos-modernisme, mungkin Muhammad ‘Abid al-Jabiri (m. 2010) dan
Mohammad Arkoun (2010), masing-masing berasal dari Maroko dan Aljazair, berada
di garda depan. Kentalnya nuansa pos-modernisme dalam pikiran mereka terekam
jelas dalam beberapa karya yang mereka hasilkan. Disana kita menemukan
banyaknya istilah, konsep, ide, dan metode yang disadur dari pemikir
postmodernis, terutama yang berasal dari Perancis seperti Michel Foucault.
Ada yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan Jabiri
dalam magnum opus-nya Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, yang
berkeinginan untuk melakukan peninjauan ulang terhadap sejarah Peradaban Arab
Islam dan sejarah terbentuknya nalar Arab serta mekanisme berpikir yang
berkembang didalamnya, (hal. 6) persis seperti yang dilakukan Foucault terhadap
peradaban Barat. Dalam kamus postmodernisme, upaya ini disebut dengan genealogy masih
merupakan rangkain dari archeology of knowledge yang
dipopulerkan Foucault.
Dalam upayanya melakukan kerja berat ini, Jabiri banyak
menggunakan ide-ide dari Foucault. Salah satu diantaranya adalah konsep
episteme. Jabiri menyebut episteme ini dengan ‘aql atau al-nizam
al-ma‘rifi. Jadi ‘aql menurut Jabiri bukan kemampuan manusia untuk
berpikir atau berefleksi seperti yang dipahami selama ini. Akan tetapi ia lebih
merupakan “seperangkat prinsip dan kaidah yang disodorkan oleh Budaya Arab
kepada mereka yang terkait dengannya sebagai dasar untuk memperoleh
pengetahuan.” (Takwin, 37) Definisi ini sangat dengan definisi episteme
Foucault yang menyatakan ia merupakan “the total set of relations that
unite, at a given period, the discursive practices that give rise to
epistemological figures, sciences, and possibly formalized systems…”
(Archeology of Knowledge, terj. Sheridan Smith, 191).
Konsep epsiteme ini sepertinya juga hadir dalam pemikiran
Arkoun. Bedanya adalah jika Jabiri mengkategorisasikan episteme ini berdasarkan
struktur epsitemologinya, Arkoun membaginya berdasarkan periode sejarah
(Klasik, Pertengahan, dan modern). Meski demikian, baik Jabiri maupun Arkoun
keduanya percaya bahwa saat ini masyarakat Islam didominasi oleh nalar abad
klasik dan pertengahan, yaitu bayani dan ‘irfani.
Salah satu ide Foucault yang banyak diadopsi oleh
cendikiawan Arab saat ini adalah persoalaan relasi ilmu dan kekuasaan. Edward
Said menggunakan konsep ini untuk membaca sepak terjang para orientalis. Said
berkesimpulan bahwa gerak kerja orientalisme tidak sepenuhnya di dasari
keinginan akademis, tapi juga oleh kepentingan-kepentingan politik.
Jabiri juga menggunakan framework yang sama ketika membaca
sejarah panjang intelektual Islam. Dalam penilaiannya munculnya trilogi
episteme bayani, irfani, dan burhani diatas tidak terlepas dari faktor-faktor
sosio-politik yan terjadi saat itu. Jabiri mengakui bahwa metode bayani murni
lahir dari rahim peradaban Islam. Akan tetapi dia menguat, ketika episteme
‘irfani mulai menancapkan cengkaramannya. Episteme ‘irfani ini sendiri menurut
Jabiri berasal dari luar Islam, ditebarikan oleh Syiah sebagai bagian dari
strategi perang budaya mereka untuk merongrong kedaulatan negara yang berkuasa
ketika itu. Tapi anehnya Jabiri menuduh al-Ghazali, yang Sunni, disamping Ibn
Sina sebagai orang yang bertanggung jawab menebarkan episteme ini. Jika Ghazali
memasukkannya lewat pintu bayani, Ibn Sina menyebarkannya melalui pintu
burhani. Intinya adalah bahwa baik episteme bayani atau irfani keduanya lahir
bukan disebabkan kebutuhan umat untuk memahami agamanya, akan tetapi disebabkan
oleh adanya trik-trik politik.
Jika Jabiri menggunakan konsep ini untuk membaca sejarah
filsafat Islam, Arkoun mengaplikasikannya untuk menilik sejarah penghimpunan
Kitab Suci al-Qur’an. Arkoun mungkin intelektual Arab yang pertama membaca
al-Qur’an dengan kacamata Foucault ini. Tokoh kelahiran Aljazair ini menyimpan
keraguan akan otentitas al-Qur’an yang ada saat ini. Dia melihat bahwa apa yang
disebut sebagai Mushaf ‘Uthmani saat ini merupakan rekayasa politik khalifah
‘Uthman untuk melanggengkan kekuasaannya, sebuah pandangan yang telah dikritisi
oleh banyak pihak. Pandangannya seperti ini mungkin di ilhami oleh Foucault
tadi yang selalu suspicious (curiga) akan peran politik dalam
proses pembentukan ilmu.
Masih konsep yang di adopsi dan diaplikasikan oleh beberapa
pemikir Arab untuk membaca warisan pemikiran Islam konsep logosphere yang
dikembangkan Arkoun, diskursus, juga skeptisisme dan anti otoritas yang
belakangan marak dikalangan beberapa pemikir Muslim Arab. Seperti yang
dijelaskan oleh Stuart Sim dalam pengantarnya sebagai editor untuk buku The
Routledge Companion to Postmodernism bahwa salah satu inti ajaran
postmodernisme adalah skeptisisme; sekptik terhadap otoritas, kebijaksanaan
yang diwarisi dari masa silam, norma-norma kultur dan politik, dan lain-lain.
Postmodernis menolak adanya kemapanan (postmodernism is to be ragrded as a
rejection, if not most, of cultural certainties).
Lebih jauh Postmodernis bahkan skeptik terhadap otoritas
akal. Atas dasar inilah makanya postmodernis menganggap semua orang bisa benar,
tidak ada yang salah. Bagi mereka semua orang sama, berada di pusat peredaran,
tidak ada yang periperial atau termarjinalkan. Celakanya adalah jika konsep ini
diaplikasikan dalam tataran ajaran Islam yang memiliki pandangan hidup permanen
berdasarkan Wahyu. Prof Naquib Al-Attas dalam hal ini benar ketika menyatakan
sistem berpikir model skeptik seperti ini “is true only in the experience
and consciousness of civilizations whose system of thought and value have been
derived from cultural and philosophical elements aided the science of their
times.”
***
BAB III
KESIMPULAN
DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapatlah penulis tarik kesimpulan,
sebagai berikut:
Jejak-jejak pemikiran yang
bernaung di bawah payung postmodernisme dalam banyak bidang kehidupan:
seni, sastra, politik, ekonomi, arsitektur, sosiologi, antropologi dan
filsafat sebenarnya sudah dapat dilacak jauh ke alur sejarah
modernisme sendiri. Lahirnya beragam bentuk realitas baru: seni bumi, seni
avant garde, seni video, sastra marjinal, sastra yang terdiam, arsitektur
dekonstruksi, antropologi kesadaran, paradigma Thomas Kuhn dan pemberontakan
terhadap filsafat modern semenjak Nietzsche, Husserl, Heidegger, hingga Mahzab
Frankfrut adalah benih-benih lahirnya pemikiran postmodernisme.
Dalam dunia filsafat,
postmodernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan epistemologis, melalui
pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya yang
merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec,
Kanada, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge (1984), Lyotard secara radikal menolak ide dasar
filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan
oleh prinsip kesatuan ontologis (Awuy, 1995: 158). Menurut Lyotard, dalam dunia
yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, prinsip kesatuan
ontologis sudah tidak relevan lagi.
Pertama, kebudayaan postmodern
adalah kebudayaan uang, excremental culture. Uang mendapatkan peran yang sangat
penting dalam masyarakat postmodern. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya,
fungsi dan makna uang dalam budaya postmodern tidaklah sekedar sebagai
alat-tukar, melainkan lebih dari itu merupakan simbol, tanda dan motif utama
berlangsungnya kebudayaan.
Kedua, kebudayaan postmodern
lebih mengutamakan penanda (signifier) ketimbang petanda (signified), media
(medium) ketimbang pesan (message), fiksi (fiction) ketimbang fakta(fact),
sistem tanda (system of signs) ketimbang sistem objek (system of objects),
serta estetika (aesthetic) ketimbang etika (ethic). Ketiga, kebudayaan
postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni dunia yang terbangun dengan
pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi maupun reproduksi secara
tumpang tindih dan berjalin kelindan. Keempat, sebagai konsekuensi logis
karakter simulasi, budaya postmodern ditandai dengan sifat hiperrealitas,
dimana citra dan fakta bertubrukan dalam satu ruang kesadaran yang sama, dan
lebih jauh lagi realitas semu (citra) mengalahkan realitas yang sesungguhnya
(fakta).
Kelima, kebudayaan postmodern
ditandai dengan meledaknya budaya massa, budaya populer serta budaya media
massa. Kapitalisme lanjut yang bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan
teknologi, telah memberikan peranan penting kepada pasar dan konsumen sebagai
institusi kekuasaan baru menggantikan peran negara, militer dan parlemen
(Harvey, 1989: 102).
3.2 Saran-Saran
Sebagai
penutup makalah ini, penulis mearasa perlu memberikan sejumlah saran sebagai
perbandingan bagi pembaca dan penulis sendiri dalam mengaplikasikan ilmu
postmodern nantinya setalah menjadi guru. Adapun sejumlah saran tersebut adalah
sebagai berikut:
a.
Postmodern dalam
kehidupan telah menyentuh segala sendi kehidupan yang intinya telah membawa
perubahan demi perubahan, namun sisi positif dan negatifnya tentunya harus
dapat kita saring sebagai kebudayaan yang baik.
b.
Postmodern dalam
dunia pendidikan juga telah tersentuh, hal yang paling kita takutkan adalah
menyimpangnya dasar-dasar disiplin ilmu. Hal ini telah dilakukan oleh
Pemerintah RI dengan meluncurkan Kurikulum Berbasis Karakter (KBK)
***
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Syamsul. 1994. Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban.
Yogyakarta: Aditya Media.
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Natawidjaya, Rochman. 1979. Pendidikan Nasional.
Jakarta: CV Kurnia Esa Jakarta.
Pidarta, Made. 1994. Landasan Kependidikan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Shimogaki, Kazuo. 1993. Kiri Antara Islam Modernisme dan Posmodernisme:
Telah Kritis atas Pemikiran hasssan Hanafi. Yogyakarta:
LKIS
Sugiharto, I. Bambang. 1996. Posmodernisme: Tantangan Bagi
Filsafat. Yogyakarta: kanisius.
Subangun, Immanuel. 1994. Dari Saminisme ke
Posmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sadulloh, Uyoh. 2003. Filsafat Pendidikan. Bandung:
Alfabeta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar