Rabu, 01 Februari 2012

POSTMODERNISME DAN GEREJA


KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat untuk menyelesaikan makalah ini, tentunya penulis memiliki keterbatasan yang menyebabkan makalah ini tidak sesempurna yang diharapkan.
Makalah yang berjudul “POSTMODERNISME DAN GEREJA” ini akan membahas tentang latar belakang munculnya postmodernisme, hubungan postmodern dan gereja, reaksi Kristen/respon untuk postmodernisme, dan navigasi postmodern dalam masyarakat majemuk.
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk semakin bermutunya masalah dalam makalah ini.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam menyelesaikan makalah ini. Khususnya kepada Pak Izhar Lubis, S.Pd sebagai dosen pengampu mata kuliah Sosiologi Sastra yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.



                                                                             Andam Dewi, Januari 2012
                                                                             Penyusun









DAFTAR ISI


Kata Pengantar........................................................................................................ i
Daftar Isi................................................................................................................... ii

BAB I     PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1  Latar Belakang....................................................................... ......... 1
1.2  Rumusan Masalah............................................................................ 2
1.3  Batasan Masalah..................................................................... ......... 2
1.4  Tujuan Penulisan.................................................................... ......... 2

BAB II    KAJIAN TEORITIK..................................................................... ......... 3
2.1   Latar Belakang Munculnya Postmodernisme............................... 3
2.2   Postmodern dan Gereja................................................................... 9
2.3   Reaksi Kristen/Respon Untuk Postmodernisme............................ 13
2.4   Navigasi Postmodern dalam Masyarakat Majemuk..................... 14

BAB III  KESIMPULAN DAN SARAN..................................................... ......... 16
3.1  Kesimpulan.............................................................................. ......... 16
3.2  Saran-Saran............................................................................ ......... 16

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... ......... 18




BAB I
PENDAHULUAN


1.1       Latar Belakang
Kesemarakan dan kegairahan kepada tema postmodernisme bukanlah tanpa alasan. Sebagai sebuah pemikiran, postmodernisme pada awalnya lahir sebagai reaksi kritis dan reflektif terhadap paradigma modernisme yang dipandang gagal menuntaskan proyek Pencerahan dan menyebabkan munculnya berbagai patologi modernitas. Pauline M. Rosenau, dalam kajiannya mengenai postmodernisme dan ilmu-ilmu sosial, mencatat setidaknya lima alasan penting gugatan postmodernisme terhadap modernisme (Rosenau, 1992: 10).
Pertama, modernisme dipandang gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah masa depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana diharapkan oleh para pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas keilmuan demi kepentingan kekuasaan. Ketiga, terdapat banyak kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, ada semacam keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia. Namun ternyata keyakinan ini keliru dengan munculnya berbagai patologi sosial. Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisis manusia karena terlalu menekankan atribut fisik individu.
Dengan latar belakang demikian, modernisme mulai kehilangan landasan praksisnya untuk memenuhi janji-janji emansipatoris yang dahulu lantang disuarakannya. Modernisme yang dulu diagung-agungkan sebagai pembebas manusia dari belenggu mitos dan berhala kebudayaan abad pertengahan yang menindas, kini terbukti justru membelenggu manusia dengan mitos-mitos dan berhala-berhala baru yang bahkan lebih menindas dan memperbudak.
Pada titik inilah pemikiran tentang kebudayaan postmodern memiliki arti penting. Perubahan watak dan karakter modernisme dalam tampilannya yang paling kontemporer, telah mendorong lahirnya tanggapan kritis terhadap kebudayaan dewasa ini. Pemikiran kebudayaan postmodern Jean Baudrillard, sebagai salah satu kajian penting paradigma postmodernisme, adalah salah satu kunci untuk memahami pengertian dan watak postmodernisme.

1.2       Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapatlah penulis buat rumusan masalah, yang antara lain:
a.      Bagaimanakah latar belakang munculnya postmodernisme?
b.      Bagaimanakah hubungan postmodern dan gereja?
c.      Bagaimanakah reaksi Kristen/respon untuk postmodernisme?
d.     Bagaimanakah navigasi postmodern dalam masyarakat majemuk?

1.3       Batasan Masalah
Merujuk dari latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka intinya makalah ini adalah membahas tentang:
a.       Membahas tentang latar belakang munculnya postmodernisme.
b.      Menjelaskan hubungan postmodern dan gereja.
c.       Menjelaskan reaksi Kristen/respon untuk postmodernisme
d.      Menjelaskan navigasi postmodern dalam masyarakat majemuk

1.4       Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Untuk mengetahui latar belakang munculnya postmodernisme.
b.      Untuk mengetahui hubungan postmodern dan gereja
c.       Untuk mengetahui reaksi Kristen/respon untuk postmodernisme
d.      Untuk mengetahui navigasi postmodern dalam masyarakat majemuk
***

BAB II
KAJIAN TEORITIK


2.1    Latar Belakang Munculnya Postmodernisme
Secara historis, kelahiran postmodernisme dapat dilacak jauh ke alur sejarah kegagalan modernisme. Benih-benih kekecewaan terhadap modernisme pertama kali muncul pada tahun 1950-an dalam dunia sastra, ketika Charles Olson, seorang penyair Amerika, menggunakannya untuk menyebut gerakan anti-modernisme dan anti-rasionalitas modern dalam dunia puisi kontemporer Amerika (Bertens, 1995: 20).
Gerakan anti-modernisme, yang dipelopori oleh John Cage, Robert Rauschenberg, Merce Cunningham, ini adalah gerakan yang mencoba membangun kesadaran untuk keluar dari kungkungan dan kuasa rasionalitas seni modern. Para seniman dan penyair saat itu mulai merasa jenuh berada dalam ketertutupan dan kekakuan rasionalitas instrumental dunia modern. Dalam tulisannya Human Universe (1951), Olson menyatakan bahwa dunia kebudayaan Barat, karena orientasi ontologisnya yang membabi-buta terhadap rasionalitas modern, telah menyebabkan hilangnya otentisitas kehidupan dan kesejatian pengalaman manusia.
Sebagai akibatnya manusia tidak lagi mampu mengalami dan menghayati kekayaan realitas kehidupan dengan segenap keunikannya masing-masing (Bertens, 1995: 21). Hal yang ada hanyalah sebuah realitas tunggal yang monolitik, dogmatis dan ideologis. Sebaliknya, gerakan anti-modernisme menyatakan sikap penolakan terhadap pandangan rasionalitas modern yang menjunjung tinggi universalitas, subjek transenden, ego individual, dan merayakan otentisitas kehidupan. Gerakan anti-modernisme hendak mencoba melawan keangkuhan nilai dan estetika sastra modern.
Perbincangan mengenai postmodernisme selanjutnya berkembang dalam lapangan seni. Pada kurun waktu tahun 1960-an, muncul tulisan-tulisan tentang postmodernisme dengan artikulasi dan pemihakan yang lebih jelas. Dalam dunia sastra, Ihab Hassan dan Susan Sontag menyatakan mulai bangkitnya dunia sastra yang terdiam. Sontag juga menyatakan telah lahirnya sensibilitas baru, yaitu suatu sikap yang lebih terbuka menerima keberagaman gaya dan bentuk, serta tidak lagi menuntut penghormatan terhadap seniman dan karya seni.
Selama rentang waktu tahun 1960 sampai 1970-an, perbincangan tentang postmodernisme mulai masuk ke dunia arsitektur. Diruntuhkannya bangunan perumahan Pruitt Igoe, St. Louis, Missouri, yang memiliki karakter arsitektur modern (arus arsitektur International Style yang dipelopori Mies van der Rohe) menandai lahirnya pemikiran arsitektur postmodernisme. Arsitektur postmodern membawa tiga prinsip dasar yakni: kontekstualisme, allusionisme dan ornamental. Prinsip kontekstualisme berarti adanya pengakuan bahwa gaya arsitektur suatu bangunan selalu merupakan bagian fragmental dari sebuah gaya arsitektur yang lebih luas. Prinsip allusionisme berarti adanya keyakinan bahwa arsitektur selalu merupakan tanggapan terhadap sejarah dan kebudayaan. Sementara prinsip ornamental berarti pengakuan bahwa bangunan merupakan media pengungkapan makna-makna arsitektural.
Adalah Robert Venturi, arsitek sekaligus teoritisi awal konsep arsitektur postmodern, dalam bukunya Complexity and Contradiction in Architecture (1966), yang mulai membuka pembicaraan konsep arsitektur postmodern. Ia memaparkan bahwa arsitektur postmodern adalah konsepsi teoritis arsitektur yang memiliki beberapa karakter. Menurutnya, arsitektur postmodern lebih mengutamakan elemen gaya hibrida (ketimbang yang murni), komposisi paduan (ketimbang yang bersih), bentuk distorsif (ketimbang yang utuh), ambigu (ketimbang yang tunggal), inkonsisten (ketimbang yang konsisten), serta kode ekuivokal (ketimbang yang monovokal) (Bertens, 1995: 54).
Sementara itu Charles Jencks, yang diakui sebagai mahaguru arsitektur postmodern, dalam bukunya The Language of Postmodern Architecture (1977), menyebut beberapa atribut konsep arsitektur postmodern. Beberapa atribut tersebut adalah metafora, historisitas, ekletisisme, regionalisme, adhocism, semantik, perbedaan gaya, pluralisme, sensitivisme, ironisme, parodi dan tradisionalisme (Bertens, 1995: 58). Lebih lanjut arsitektur postmodern, menurut Jencks juga memiliki sifat-sifat hibrida, kompleks, terbuka, kolase, ornamental, simbolis dan humoris. Jencks juga menyatakan bahwa konsep arsitektur postmodern ditandai oleh suatu ciri yang disebutnya double coding. Double coding adalah prinsip arsitektur postmodern yang memuat tanda, kode dan gaya yang berbeda dalam suatu konstruksi bangunan. Arsitektur postmodern yang menerapkan prinsip double coding selalu merupakan campuran ekletis antara tradisional/modern, populer/tinggi, Barat/Timur, atau sederhana/complicated.
Memasuki rentang tahun 1980-an, tema postmodernisme mulai mendapat perhatian yang lebih serius. Upaya membangun kerangka teoritis terhadap tema ini terutama berlangsung dalam lapangan filsafat. Dalam bidang filsafat, istilah postmodernisme kerap dipergunakan dengan acuan yang sangat beragam. Walaupun karya masterpiece Jean Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), tetap menjadi acuan kunci, namun banyak kalangan mengaitkan istilah itu dengan teori dekonstruksi Derrida, semiologi Barthes, semiotika Eco, poststrukturalisme Foucault, hermeneutika Gadamer sampai kepada pemikiran holistisisme Capra, Prigogine dan Whitehead.
Istilah postmodernisme juga sering dirujukkan pada berbagai fenomena realitas masyarakat kontemporer sebagai masyarakat post-industri (post-industrial society), masyarakat komputer (computer society), masyarakat konsumer (consumer society), masyarakat media (media society), masyarakat tontonan (spectacle society) atau masyarakat tanda (semiurgy society). Sementara kalangan memandang postmodernisme sebagai bagian dari proyek modernisme yang belum usai (misalnya Juergen Habermas dan Mahzab Frankfurt generasi kedua), sementara kalangan yang lain memandang postmodernisme sebagai penolakan radikal terhadap nilai-nilai dan asumsi-asumsi modernisme (misalnya Lyotard, Derrida, Foucault). Pauline M. Rosenau, dalam bukunya Postmodernism and Social Sciences (1992), membedakan postmodernisme menjadi dua bentuk.
Pertama, postmodernisme sebagai paradigma pemikiran. Sebagai paradigma pemikiran, postmodernisme meliputi tiga aspek ontologi, epistemologi serta aksiologi. Ketiga aspek dasar ini menjadi kerangka berpikir dan bertindak penganut postmodernisme bentuk pertama (misalnya Lyotard, Derrida, Foucault). Kedua, postmodernisme sebagai metode analisis kebudayaan. Dalam konteks ini, prinsip dan pemikiran postmodernisme digunakan sebagai lensa membaca realitas sosial budaya masyarakat kontemporer (misalnya Rortry dan Baudrillard).
Dari arah yang agak berbeda, Frederic Jameson menyatakan bahwa postmodernisme tak lain adalah konsekuensi logis perkembangan kapitalisme lanjut. Melalui tulisannya Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism (1989), Jameson meyakinkan resiko tak terelakkan dari dominasi kapitalisme lanjut yang telah menyempurnakan dirinya, yakni kapitalisme yang telah berubah watak karena telah banyak belajar dari berbagai rongrongan dan kritik. Kapitalisme yang titik beratnya bergeser dari industri manufaktur ke industri jasa dan informasi. Kapitalisme yang, demi kepentingan jangka panjang, secara cerdas mengakomodasikan tuntutan serikat pekerja, kelangsungan hidup lingkungan, dan daya kreatif/kritis konsumen.
Kapitalisme yang mengintegrasikan banyak unsur sosialisme ke dalam dirinya. Kapitalisme yang bekerja dengan prinsip desentralisasi dan deregulasi karena sistem terpusat tak sigap menghadapi perubahan cepat. Kapitalisme yang tidak menawarkan keseragaman gaya/citra kultural karena pasar dan tenaga kerja telah mengalami diversifikasi begitu jauh.
Dengan perkembangan kapitalisme lanjut yang tampil dengan kehadiran perusahaan multinasional, jaringan informasi global dan teknologi telekomunikasi, maka whole new type of society pun lahir. Inilah masyarakat yang dihuni oleh subjek-subjek dengan ciri-ciri terbelah, kehilangan rantai hubungan pemaknaan, larut dalam citra-citra dan imaji serta gagal memahami latar belakang sejarah dirinya sendiri (Turner, 1990: 170). Namun untuk memahami postmodernisme secara mendasar terutama pada dataran ontologism dan epistemologis adalah mutlak untuk mengetahui asumsi-asumsi dasar serta argumentasi para penyuara postmodernisme dalam wilayah filsafat. Jean Francois Lyotard berpendapat kebudayaan postmodern ditandai oleh beberapa prinsip yakni: lahirnya masyarakat komputerisasi, runtuhnya narasi-narasi besar modernisme, lahirnya prinsip delegitimasi, disensus, serta paralogi.
Masyarakat komputerisasi adalah sebutan yang diberikan Lyotard untuk menunjuk gejala post-industrial masyarakat Barat menuju the information technology era. Realitas sosial budaya masyarakat dewasa ini seperti yang ditelitinya secara seksama di Quebec Kanada adalah masyarakat yang hidup dengan ditopang oleh sarana teknologi informasi, terutama komputer. Dengan komputerisasi, prinsip-prinsip produksi, konsumsi dan transformasi mengalami revolusi radikal. Penggunaan tenaga manusia yang semakin terbatas dalam sektor ekonomi, pelipatan ruang dalam dunia telekomunikasi, percepatan pengolahan data dan informasi yang mampu mengubah bahkan memanipulasi realitas, penyebaran pengetahuan dan kekuasaan secara massif, adalah beberapa konsekuensi perkembangan teknologi (Sarup, 1989: 118).
Dalam masyarakat komputerisasi seperti ini, nilai-nilai serta asumsi dasar modernisme: rasio, hukum sejarah linear, subjek, ego, narasi besar, otonomi, identitas tidak lagi mampu menggambarkan realitas. Bahkan, realitas telah berubah sesuai dengan perubahan karakter masyarakat postmodernisme. Realitas masyarakat seperti inilah yang menjadi wadah, arena perjuangan, nilai-nilai baru postmodernisme.
Menggarisbawahi sifat transformatif masyarakat komputerisasi yang lebih terbuka, majemuk, plural dan demokratis, Lyotard selanjutnya menyatakan bahwa kebenaran yang dibawa oleh narasi-narasi besar (Grand Narratives) modernisme sebagai metanarasi kini telah kehilangan legitimasinya. Hal ini karena dalam masyarakat kontemporer, sumber pengetahuan dan kebenaran pengetahuan tidak lagi tunggal. Realitas kontemporer tidak lagi homolog (homo: satu, dan logi: tertib nalar), melainkan paralog (para: beragam, dan logi: tertib nalar) (Awuy, 1995: 161).
Pengetahuan dan kebenaran kini menyebar dan plural. Konsekuensinya, prinsip legitimasi modernisme harus dibongkar dengan prinsip delegitimasi. Dengan delegitimasi, berarti diakui adanya berbagai unsur realitas yang memiliki logikanya sendiri. Dengan delegitimasi, menurut Lyotard, prinsip lain yakni disensus menjadi lebih bisa diterima ketimbang prinsip konsensus seperti ditawarkan Juergen Habermas. Karena disensus adalah prinsip yang mengakui perbedaan dan keunikan setiap unsur dalam realitas, yang memiliki logika dan hak hidupnya sendiri.
Dengan titik perhatian yang berbeda namun sampai pada kesimpulan yang sama, Michel Foucault, seorang filsuf poststrukturalis Perancis, mencatat beberapa karakter khas kebudayaan postmodern. Berangkat dari Kant, Foucault bersepakat bahwa Era Pencerahan adalah saat dimana rasio mendapatkan tempat istimewa dalam sejarah perkembangan kebudayaan. Namun ia menolak anggapan Kant bahwa rasio berlaku universal.
Baginya rasio hanyalah salah satu cara untuk menanggapi situasi zaman saat itu. Menurutnya terdapat tanggapan lain terhadap Pencerahan seperti diwakili Baudelaire yaitu ironi. Ironi adalah keberanian, yang disertai kegetiran, untuk terlibat secara aktif dengan situasi kini dan disini, historis dan lokal (locally determined), tanpa harus mencantolkan diri pada status-status khusus dari kebenaran kebenaran absolut, di luar diri manusia, baik atas nama Tuhan, logos, atau yang lainnya. Ironi juga berarti menjalani kehidupan tanpa dibebani oleh prinsip baku, yang sudah terpatok sebelumnya (Ahmad Sahal, 1994: 16).
Dengan ironi, Foucault menerima keyakinan bahwa sejarah modernitas bukanlah sejarah tunggal, dengan narasi besar yang monolog: rasionalitas. Lebih jauh ia menyingkapkan bahwa narasi-narasi besar modernisme hanyalah mistifikasi yang bersifat ideologis dan semu. Ia misalnya, menolak pandangan para filsuf Pencerahan yang mengatakan bahwa manusia adalah subjek otonom, mandiri dan mampu menentukan dirinya sendiri.
Sebaliknya menurut Foucault, manusia modern sebagai subjek ataupun objek sebenarnya tidak lebih dari individu yang lahir dan diciptakan oleh multiplisitas kekuasaan melalui disiplin, normalisasi dan regulasi, pengakuan dan penguasaan diri (Ahmad Sahal, 1994: 16-17). Kekuasaan dalam pandangan Foucault ini berbeda sama sekali dengan yang dipahami oleh kaum Weberian dan Marxian. Bagi kaum Weberian, kekuasaan adalah kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang lain. Sementara bagi kaum Marxian, kekuasaan adalah artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan untuk mendominasi dan menekan kelas lain.
Menurut Foucault, kekuasaan bukanlah kekuatan, institusi atau struktur yang bersifat menundukkan. Kekuasaan adalah label nominal bagi relasi strategis yang kompleks dalam masyarakat. Ia menyebar dan hadir di mana-mana, dimiliki oleh siapa saja. Untuk itu, ketimbang berusaha mengimami gagasan besar yang cenderung manipulatif, Foucault lebih memilih untuk menyibuki persoalan-persoalan kecil dan lokal yang seringkali tak jamak dibicarakan.
Tema-tema seperti rumah sakit, penjara, barak-barak tentara, sekolah, pabrik, pasien, seks, orang gila dan para kriminal menjadi titik perhatian utama selama karir kefilsafatannya. Dengan upaya ini, Foucault memberikan dua sumbangan besar terhadap postmodernisme. Pertama, keberhasilannya menyingkap mitos-mitos modernisme yang menampilkan dirinya sebagai kebenaran absolut, yang universal, namun sebenarnya palsu. Kedua, pemihakannya terhadap persoalan-persoalan yang selama ini ditindas oleh rasionalitas modern, tersisih, marjinal dan dikucilkan agar lebih didengar dan diperhatikan.
Seorang filsuf lain yang mencoba menyingkap sifat paradoks modernisme adalah Jacques Derrida. Melalui Derrida terbongkar karakter kekerasan dan teror yang disebar oleh modernisme semenjak diuarkannya prinsip logosentrisme. Dalam logosentrisme, salah satu ciri yang menonjol adalah cara berpikir oposisi biner yang bersifat hierarkis (esensi – eksistensi, substansi – aksidensi, jiwa – badan, makna – bentuk, transenden – imanen, positif – negatif, lisan – tulisan, konsep – metafor) dengan anggapan bahwa yang pertama adalah pusat, sedang yang kedua adalah derivasi, pinggiran. Cara berpikir ini mendorong sejarah filsafat Barat cenderung bersifat totaliter karena menganggap bahwa yang bukan pusat, yang pinggiran, yang lain, the others, harus disubordinasikan ke dalamnya.
Mencermati hal itu, Derrida lantas melakukan strategi dekonstruksi terhadap cara berpikir oposisi biner. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa sejauh mana struktur-struktur yang terbentuk hendak dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya, yakni melalui pembalikan hierarki oposisi biner secara terus-menerus (Ahmad Sahal, 1994: 21).
Dengan dekonstruksi hendak dimunculkan kembali dimensi-dimensi metaforis dan figuratif dari bahasa yang menjadi pembentuk realitas. Implikasinya adalah mulai melumernya batas-batas antara konsep dan metafor, antara kebenaran dan fiksi, antara filsafat dan puisi, dan antara keseriusan dan permainan. Melalui dekonstruksi Derrida mencoba meletakkan kembali kedudukan struktur dalam keadaan asalinya, yakni keadaan dimana relasi antara pusat dan pinggiran belum lagi mengeras. Dengannya diinginkan pluralitas dan heterogenitas kehidupan yang membeku dan tertindas selama masa modernisme kembali terhampar.

2.2    Postmodern dan Gereja
Haruskah orang Kristen dan gereja-gereja yang lebih kontemporer dalam ibadah mereka dan gaya pelayanan segera diberi label sebagai “postmodern”? Apakah itu kafir total, sekularisasi masyarakat dan Gereja? Lebih khusus lagi, adalah City Harvest menjadi postmodern dalam upaya untuk menjadi budaya yang relevan?
Postmodernisme adalah periode pemikiran dan ideologi yang muncul setelah Era Modern. Modernitas dianggap suatu periode pemikiran di Eropa yang dikembangkan dari Renaissance (abad ke-14-17) dan tumbuh dalam Pencerahan (abad ke-17 ke-19). Itu adalah waktu pengembangan yang signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan, politik, perang dan teknologi. Postmodernisme adalah suatu reaksi terhadap periode tersebut. Menurut definisi, postmodernisme secara harfiah berarti “setelah modernitas.” Hari ini, masyarakat pada umumnya adalah menghadapi lonjakan terhadap pemikiran modernis yang lebih besar, apakah itu menyadari atau tidak.
Modernisme, sebagai sebuah ideologi, merupakan rasionalisasi dan kategorisasi dunia sosial. Dalam pandangan dunia modern, segala sesuatu dalam hidup ini, dan harus, ditafsirkan secara rasional. Sains dan logika telah mencapai keunggulan seperti dalam semua wacana publik bahwa segala sesuatu harus dijelaskan melalui lensa mereka. Semua itu tidak ilmiah harus ditolak. Menurut pandangan modern, ilmu pengetahuan dan iman tidak dapat mencampur sejak transaksi terakhir dengan wilayah yang dijelaskan. Karena pengetahuan dan kecerdasan inordinately ditinggikan, modernis selalu menjadi elitis dalam kategorisasi mereka dari masyarakat. Contohnya adalah Adolf Hitler yang percaya pada supremasi absolut dari ras Arya atas semua ras lain. Enam juta orang Yahudi dibunuh dalam Holocaust karena dalam “analisis ilmiah Hitler,” mereka tidak layak mendapatkan tempat di dunia yang beradab.
Postmodernisme, di sisi lain, tantangan yang prasangka dan keyakinan dari Zaman Modern. Ini berusaha secara radikal menafsirkan kembali apa yang saat ini diklasifikasikan sebagai pengetahuan yang berlaku umum. Untuk pascamodernis sebuah, konsep-konsep seperti benar dan salah, baik dan buruk, atau apa yang benar dan yang salah tidak mutlak, tetapi bisa berubah dari budaya ke budaya, dan situasi ke situasi. Dengan demikian, postmodernisme merupakan budaya dan etika relativisme mengenai kebenaran, kenyataan, alasan, nilai, makna linguistik, seni, arsitektur, dan setiap bentuk lain dari kehidupan sosial. Para dogmatis, atau siapa saja yang percaya pada suatu kebenaran hakiki, dianggap menjijikkan dan berbahaya.
Sebagai sebuah pandangan dunia, postmodernisme membenci yang stereotip kelas sosial menurut jenis kelamin, ras, umur, dll reaksi terhadap apa yang mempersepsikan sebagai prasangka angkuh dari modernis, ia menghargai dan terutama empathizes dengan yang terpinggirkan. Ini menolak chauvinisme dan penindasan yang diberikan oleh setiap jenis kelamin, kelompok atau penyebab atas orang lain (putih vs hitam, pria vs wanita, kaya vs miskin, berpendidikan vs buta huruf, mampu vs cacat, agama vs nonreligius, dll) . Ini bertujuan untuk juara nasib pertumbuhan populasi orang-orang yang terpinggirkan secara sosial atau dikucilkan.
Postmodernisme adalah yang paling banyak diterima dan dihormati dalam kerangka arsitektur. Ambil Guggenheim Museum Bilbao di Spanyol, dirancang oleh arsitek terkenal, Frank Gehry. Alih-alih merancang bangunan dalam skema sederhana dan logis, Gehry ingin menantang prinsip-prinsip yang berlaku umum arsitektur. Tidak ada garis lurus di dalam gedung karena setiap dinding melengkung. Setiap sudut yang terlihat dari memberikan Anda perspektif baru bangunan. Tidak ada dua foto dari Guggenheim pernah terlihat sama. Dan karena berlokasi di tepi sungai, façade titanium mencerminkan berbagai nuansa warna sepanjang hari. Hasil dari semua ini adalah bahwa tidak ada yang dapat mengklaim gambar mutlak museum. Hal ini relatif terhadap posisi melihat dan waktu hari. Dengan ketiadaan dari absolut visual, Guggenheim dianggap sebagai perwujudan dari konsep postmodernisme.
Konsep pascamodernisme juga dinyatakan dalam bidang seni. Hal ini terutama berlaku dalam kasus gerakan seni awal abad ke-20 yang dikenal sebagai Dada, yang mempromosikan konsep mempertanyakan norma-norma yang sebelumnya ditetapkan dalam seni. Meskipun dipengaruhi sastra, teater dan desain grafis, gerakan ini yang paling sangat diakui untuk dampaknya dalam drastis menantang perintah-perintah dasar seni rupa. Sebuah karya seni yang mencontohkan konsep adalah Fountain oleh Dadaist seniman terkemuka saat itu, Marcel Duchamp.
Fountain hanyalah sebuah wadah limbah umum manusia. Untuk seorang modernis, wadah ini hanya merupakan instrumen, fungsional ilmiah untuk membuang limbah. Mengambil objek yang umumnya dianggap kotor dan tidak berharga, Duchamp dikonversi menjadi sebuah karya seni mahal. Dia menanamkan nilai ke sebuah obyek yang paling berharga akan mempertimbangkan. Duchamp ingin membuktikan poin: dengan seni fabricating dan mendapatkan masyarakat menganggapnya sebagai bermakna, kita dapat meningkatkan nilai dan nilai. Ini menyatukan perbedaan yang signifikan antara masyarakat modernis dan modernis. Sementara tempat modernis nilai yang lebih besar pada, postmodernis tempat nilai intrinsik yang lebih besar pada ekstrinsik. Dengan karya seni nya, Duchamp menunjukkan bahwa dalam dunia postmodern, kebenaran tidak lagi tergantung pada nilai intrinsik (sebuah wadah, umum kotor); ekstrinsik tergantung pada bagaimana masyarakat mendefinisikan itu (sebuah karya mahal dari seni rupa).
Seperti halnya sistem ideologis atau isme, ada aspek positif dan negatif kita dapat memungut dari postmodernisme:
Aspek positif Postmodernisme
1.      Karena postmodernisme memiliki penghinaan untuk apa yang dilihatnya sebagai arogan kemutlakan sains dan logika, itu membuat ruang untuk kemungkinan iman dan supranatural. Ilmu pengetahuan dan iman dapat hidup berdampingan.
2.      Postmodernisme adalah empati terhadap yang terpinggirkan dan tertindas, percaya nilai yang dapat ditambahkan ke orang-orang yang mungkin dianggap berharga. Dalam konteks ini yang lebih pendeta dan pemimpin gereja saat ini mulai menganggap diri mereka sebagai “orang Kristen postmodern.”
3.      Hal ini memungkinkan toleransi yang lebih besar antara keyakinan, dan berpotensi membuka jalan bagi Amanat Agung melalui cinta yang lebih besar dan penerimaan untuk non-Kristen.
4.      Hal ini memungkinkan untuk kebebasan berpendapat dalam perspektif seseorang tentang “kebenaran” yang relatif atau non-absolut. Hal ini menjadikan satu kurang menghakimi dan mengutuk terhadap perilaku, gaya dan preferensi pribadi yang mungkin kurang konvensional. Ini adalah penawar sifat munafik benar sendiri.
5.      Hal ini memungkinkan untuk empati yang lebih besar menuju masyarakat yang semakin pluralistik, menantang kita untuk tidak keluar dari berhubungan dengan bagaimana orang berpikir dan fungsi saat ini.
6.      Konsep kontrol, kekuasaan dan kepastian digantikan dengan cinta, pelayanan dan iman.
7.      Postmodernisme memungkinkan keterbukaan lebih untuk spiritual dan kebenaran emosional, dan epistemologi (teori pengetahuan) yang melampaui batasan sains, logika dan alasan.
Aspek negatif Postmodernisme
1.      Postmodernisme adalah skeptis mengenai semua klaim kebenaran. Dibawa ke sebuah ekstrim, itu adalah perseteruan terhadap mereka yang mengklaim mengetahui kebenaran mutlak. Postmodernis bisa menjadi sangat menentang orang-orang yang percaya pada ketidakmungkinsalahan dan infalibilitas Alkitab. Filsuf Jerman Friedrich Nietzsche (1844-1900) berpendapat bahwa mereka yang menerima sistem etika Yahudi-Kristen, yang ia sebut sebagai moralitas budak “,” menderita dari kepribadian lemah dan takut. Seorang yang berbeda dan lebih kuat dari orang semacam, katanya, akan menolak nilai-nilai etika dan menciptakan dirinya.
2.      Postmodernisme dilihat semua klaim untuk pengetahuan sama-sama sah, terlepas dari preposterousness jelas di klaim tertentu (misalnya, “aku tidak ada).
3.      Postmodernisme dilihat individu semata-mata sebagai konstruksi masyarakat. Dengan demikian, tanggung jawab individu untuk hidup menurut Firman Allah berkurang.
4.      Seseorang yang pertanyaan keyakinan lain berkaitan dengan faktualitas dianggap tidak toleran.
5.      proposisional kebenaran, atau kebenaran yang ditemukan, dianggap inexistent. Sebaliknya, hanya posisi masyarakat, bukan individu, dianggap sah. Tapi bagaimana kalau perbudakan, genosida, atau penyalahgunaan fisik perempuan dimaafkan dan dianggap “benar” menurut standar masyarakat? Apakah itu membuat mereka benar? Tanpa standar objektif untuk moralitas, relativisme budaya dan etika dapat mengakibatkan konsekuensi yang mengerikan di masyarakat.
6.      Postmodernis sering melihat kemajuan, entah itu ilmiah, pendidikan, politik, dan sebagainya, sebagai merugikan. Kemajuan setara dengan dominasi dari marjinal.
7.      Toleransi terhadap setiap keyakinan, kecuali terhadap mereka yang merasa bahwa keyakinan mereka lebih penting daripada orang lain. Paradoks di sini adalah bahwa dalam semangat mereka untuk mempromosikan toleransi, postmodernis sendiri bisa menjadi sangat tidak toleran terhadap mereka yang tidak berbagi pandangan mereka sendiri postmodern.

2.3    Reaksi Kristen/Respon untuk Postmodernisme
Seperti kebanyakan kasus, orang Kristen harus mengambil sikap yang moderat terhadap postmodernisme, menyerap aspek positif dan menolak yang negatif. Kami tidak berlangganan ideologi bahwa individu hanyalah produk dari masyarakat sendiri, atau bahwa kebenaran harus ditentukan oleh sekelompok individu kolektif. Dan sementara pendapat yang penting, kita berpegang pada yang mutlak ditemukan dalam Kitab Suci, dan tidak bimbang dalam keyakinan ketika datang dengan hukum moral dan prinsip-prinsip dasar iman kita.
Namun, yang mengatakan bahwa, orang Kristen memiliki kecenderungan untuk mengarah ke arah sifat munafik dan legalisme. konservatisme Self-benar berusaha untuk menjaga Gereja terisolasi, dibersihkan dan tidak berhubungan dengan masyarakat kontemporer. posisi saya sendiri ini adalah: dalam hal-hal yang mutlak (Sepuluh Perintah, Pengakuan Iman Rasuli, dll), marilah kita mutlak. Tapi dalam hal-hal yang non-mutlak (anggur-minum, tattooing, budaya pop, dll), mari kita memungkinkan untuk kebebasan yang ada di dalam Yesus Kristus (Galatia 5:1).
Sebuah kontribusi utama dari postmodernisme adalah apresiasi terhadap terpinggirkan, dan mereka yang sebelumnya dianggap tidak signifikan. Ini benar-benar sesuai dengan kasih Allah telah menuju miskin, miskin, rusak dan disalahgunakan (Is. 58:10, Lukas 4:18-19, Yakobus 2:14-17).
Postmodernisme harus memprovokasi orang-orang yang takut memeluk suatu injil “sosial” untuk memiliki hubungan yang lebih besar, hormat dan pelayanan dengan menyakiti dan terluka di dunia. Toleransi bukan kata jahat. Sebagai orang Kristen, kita harus berpegang pada keyakinan moral Firman Allah dalam hati kita. Namun pada saat yang sama, kita harus lebih ramah dan menerima dari mereka yang berbeda keyakinan dari kita. Saldo adalah kuncinya.

2.4    Navigasi Dalam Masyarakat Majemuk
Melekat dalam masyarakat postmodernis adalah konsep pluralisme: ada array besar agama dan keyakinan bahwa orang mematuhi. Ada tiga pendekatan konseptual seorang Kristen boleh berasumsi terhadap orang yang percaya dalam agama-agama lain.
1.      Eksklusivisme. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa “aku benar, kau salah”, sebuah sikap pembatalan terhadap kepercayaan orang lain. Rasul Paulus mengerti bahwa dia tidak perlu membongkar keyakinan orang lain melalui kritik dan kutukan agar dia berbicara tentang iman sendiri. Sebaliknya, Paulus berusaha menjadi seperti hormat dan relatable untuk pendengarnya dalam usahanya untuk memenangkan mereka kepada Kristus (Kisah 17:22-34).
2.      Universalisme. Hal ini dapat diringkas oleh pernyataan, “Selama Anda tulus, maka apa pun yang Anda percaya benar.” Ini adalah kebalikan dari eksklusivisme, dan sikap populer postmodernis yang ekstrim. Masalah mendasar yang membuat posisi ini tidak masuk akal adalah kenyataan bahwa setiap agama atau kepercayaan menyajikan klaim sendiri untuk kebenaran mutlak. Universalisme mengambil toleransi ke ekstrim, dan meskipun awalnya mungkin tampak terhormat, itu mengarah ke jalan buntu dalam upaya pelayanan.
3.      Inklusivisme. “Kami percaya kita benar, tapi kami terbuka untuk mendiskusikan dan mencakup cara lain untuk berpikir dalam diskusi kami.” (Inklusivisme tidak menjadi bingung dengan Injil “sesat inklusi.”) The New Oxford American Dictionary mendefinisikan “inklusivisme” sebagai “niat atau kebijakan termasuk orang-orang yang dinyatakan mungkin akan dikecualikan atau terpinggirkan, seperti cacat, belajar-cacat, atau ras dan minoritas seksual.” Ini adalah pendekatan kita harus ambil untuk membawa kasih Allah kepada audiens semakin kritis dan canggih di abad 21.
Tidak, dalam arti bahwa kita percaya Alkitab menjadi mungkin-salah, sempurna Firman Allah. Kita hidup dengan Sepuluh Perintah Allah dan prinsip-prinsip dasar iman Kristen kita yang dituangkan dalam Pengakuan Iman Rasuli, yang Nicea Creed, dll
Tapi, ya, dalam arti bahwa kita berusaha untuk menjadi seorang toleran, menerima dan orang-orang ramah. Kami cinta yang terpinggirkan dan tertindas, percaya nilai yang dapat ditambahkan ke orang-orang yang dianggap berharga. Kami tidak bertentangan dengan masyarakat atau budaya populer, tetapi berusaha untuk terlibat secara keseluruhan sebagai garam dan terang (Matius 5:13-16).
Meskipun kami tinggal dirusak, dunia menyimpang, saya tidak percaya dalam menjaga Kristen naif dan bodoh dari realitas yang keras dari masyarakat. Sekali lagi, di absolut, kita harus mutlak. Tapi non-absolut, kita harus membiarkan kebebasan preferensi pribadi dan memberikan ruang untuk Roh Kudus memimpin setiap orang Kristen secara individual. Aku tidak pernah ingin Gereja City Harvest begitu terisolasi dan disterilkan bahwa kita menjadi kehilangan kontak dengan dunia. Melainkan, saya ingin mendidik dan memberdayakan generasi saya menjadi sebagai kreatif dan penuh warna mungkin, hidup, dinamis yang canggih, kehidupan diurapi dalam ketaatan kepada Kristus dan penyebab kerajaan-Nya.
***

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN


3.1       Kesimpulan
Dari uraian singkat tentang postmodernisme di atas maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Secara historis, kelahiran postmodernisme dapat dilacak jauh ke alur sejarah kegagalan modernisme. Benih-benih kekecewaan terhadap modernisme pertama kali muncul pada tahun 1950-an dalam dunia sastra, ketika Charles Olson, seorang penyair Amerika, menggunakannya untuk menyebut gerakan anti-modernisme dan anti-rasionalitas modern dalam dunia puisi kontemporer Amerika (Bertens, 1995: 20).
Postmodernisme harus memprovokasi orang-orang yang takut memeluk suatu injil “sosial” untuk memiliki hubungan yang lebih besar, hormat dan pelayanan dengan menyakiti dan terluka di dunia. Toleransi bukan kata jahat. Sebagai orang Kristen, kita harus berpegang pada keyakinan moral Firman Allah dalam hati kita.
Melekat dalam masyarakat postmodernis adalah konsep pluralisme: ada array besar agama dan keyakinan bahwa orang mematuhi. Ada tiga pendekatan konseptual seorang Kristen boleh berasumsi terhadap orang yang percaya dalam agama-agama lain, yaitu: Eksklusivisme (Kisah 17:22-34); Universalisme; Inklusivisme.

3.2       Saran-Saran
Sebagai penutup dari makalah ini, penulis merasa perlu memberikan sejumlah saran kepada pembaca terutama kepada diri penulis sendiri. Adapun saran tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Pada prinsipnya, postmodernisme merupakan penolakan pada modernisme dan telah menjalar ke seluruh aspek kehidupan beragama. Di sinilah tugas para guru untuk menempatkan postmodernisme tersebut ke dalam kehidupan para siswa.
b.      Tidak bisa dihindar bahwa postmodernisme juga telah mengimbas ke kehidupan yang sesederhana mungkin dan inilah tugas para guru sebagai tenaga pendidik untuk mengantisipasi semakin meluasnya pengaruh negatif dari postmodernisme itu sendiri.
***



























DAFTAR PUSTAKA


Agger, Ben. 2003. Teori Sosial kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Kreasi Wacana: Yogyakarta
Ahmed, Akbar S. 1992. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan: Bandung
http://learning-of.slametwidodo.com/?s=modernisme diakses pada tanggal 27 Januari 2012
http://umum.kompasiana.com/2009/07/07/postmodernisme-101/ diakses pada tanggal 27 Januari 2012
Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern. Juxtapose bekerjasama dengan Kreasi Wacana: Yogyakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar