Rabu, 06 April 2011

TENTANG CHAIRIL ANWAR

Chairil Anwar adalah seorang legenda dalam dunia kesusastraan Indonesia. Penulis legenda ini lahir di Medan, Sumatera Utara tanggal 26 Juli 1922 dan meninggal di Jakarta tanggal 28 April 1949. Pendidikannya hanya sampai kelas Dua MULO, namun bacaan dan pengetahuannya tentang sastra cukup meyakinkan.
Ketika Chairil Anwar menulis larik sajaknya dalam puisi Yang Terhempas dan Yang Putus . . . di karet, di karet (daerahku...) sampai juga deru angin, banyak orang yang membacanya yakin bahwa penyair ini mempunyai kekuatan paranormal: dia bisa meramalkan dirinya akan meninggal dunia.

Karet memang nama sebuah kompleks pemakaman di Jakarta, dan Chairil memang segera menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 28 April 1949, sementara puisi tersebut ditulisnya pada tahun yang sama.

Chairil adalah legenda, cerita lain tampak dalam peristiwa yang kemudian dikisahkan kembali oleh Evawani Alissa, satu-satunya anak Chairil yang ditinggal mati saat usianya baru 10 bulan. Dalam sebuah percakapan dengan Hapsah Wiriaredja, ibu Evawani, Chairil berucap bahwa jika umurnya panjang, dirinya akan menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, jika usianya pendek, sebagaimana kata Chairil, “anak-anak sekolah akan berziarah ke kuburku menabur bunga.”
Chairil tak salah, usianya memang pendek, tak sampai genap 27 tahun. Soal anak-anak sekolah, esensinya dia juga benar: namanya menjadi hapalan wajib dan sajak-sajaknya menjadi bacaan wajib, terutama untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Soal ziarah dan menabur bunga, tampaknya tak harus dimaknakan secara harfiah. Yang jelas hingga kini tanggal kematiannya (28 April), diam-diam telah dijadikan sebagai patokan Hari Sastra Indonesia.
Masih terkait dengan pelegendaan atas dirinya, berbagai tingkah laku Chairil menjadi semacam acuan bagi para seniman yang selama ini menganggap kehidupan Chairil tidak pernah tertata: pakaian lusuh, wajah kotor, dekat dengan berbagai macam penyakit, juga tentang gaya hidupnya yang tak teratur yang kemudian membuatnya akrab dengan beragam penyakit. Anak angkat STA pernah menemukan tubuh Chairil sedang tergolek di sebuah ujung gang. Nasrul Sani, karibnya, juga pernah mengisahkan bagaimana sahabatnya itu berniat mencuri sebuah buku filsafat di sebuah toko buku sementara yang tercuri malah kitab Injil – karena keduanya sama tebal dan sampulnya sama-sama hitam.
Namun untuk gaya berpakaian yang terkesan kacau, Asrul Sani menyangkal dengan menginformasikan bahwa dalam berpakaian Chairil bahkan terkesan ‘dandy’. Leher kemeja senantiasa kaku dikanji saat dicuci dan pakaiannya selalu rapi dan tersetrika. Begitulah legenda, dia menjadi keniscayaan bagi sosok yang dianggap tertempatkan dalam posisi lebih tinggi.

Tentu tak sebatas tingkah fisikal yang pantas dicatat. Sajak-sajaknya dianggap sebagai representasi pemberontakan terhadap tatanan yang berlaku masa itu. Dalam khazanah sastra Indonesia modern sendiri, Chairil memberontak terhadap pola estetika sastra yang dihasilkan babakan sebelumnya, yakni Angkatan Pujangga Baru yang dimotori oleh STA. Bahwa pada era sebelumnya, penyair Roestam Efendy, juga ingin melakukan hal yang sama yakni dengan mendendangkan ‘untaian seloka lama, beta buang, beta singkiri...’

Pemberontakan Chairil tak sebatas ungkapan estetika sastra. Dalam keseharian, sekalipun ia memiliki orangtua asal Minangkabau, dia menolak dipanggil dengan sebutan ‘uda’ dia memilih dirinya dipanggil ‘nini’.

Berdasarkan penelitian H.B.Jassin, selama kegiatannya dari tahun 1942-1949, Chairil Anwar telah menghasilkan 94 tulisan, yang terdiri atas 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan.
Akan tetapi, jumlah 70 puisi asli itu harus dikurangi dua sebagai puisi saduran, yaitu

1.Puisi “Di Mesjid” sebagai saduran puisi ‘De Waan Zinnige’ karangan Jan H. Eekhout.
2.Puisi “Taman” sebagai saduran puisi ‘De Tuin’ karangan Anthonie Donker dalam kumpulan puisinya ‘De Einder’

Dari jumlah semuanya itu, menurut penyelidikan ternyata 8 puisi Chairil berupa plagiat, yang terdiri atas 6 puisi saduran dan 2 puisi terjemahan.
Puisi plagiat yang berupa saduran kecuali 2 puisi yang ditunjukkan oleh Y.E.Takengkeng seperti tersebut di atas, maka puisi yang lain adalah:

1.“Rumahku” saduran puisi ‘Woninglooze’ karangan Slauerhoff
2.‘Kepada Peminta-minta’ saduran puisi ‘Tot Den Arme’ karangan Willem Elsschot
3.‘Orang Berdua’ saduran puisi ‘de Gesheineden’ karangan H. Marsman
4.‘Krawang Bekasi’ (Kenang-Kenanglah Kami) saduran puisi ‘The Young Dead Soldiers’ karangan Mac Leish.

Satu di antara saduran tersebut di tunjukkan di bawah ini berdasarkan penelitian H.B.Jassin:
Tot Den Arme

1 gij met uw’ weiflend’handen
2 en met uw’ vreemden hoed
3 uw aanblik streamt mijn bloed
4 en doet mij klappertanden
5 verhalen moej gij niet
6 van uh eentoning leven
7 het staat op u geschreven
8 war et met u geschiedt
9 de letterteekens spelen
10 om uwen armen mond
11 die kommervolle wond
12 waarlangs uh vingers streelen
13 het klinkt uit uwen tred
14 het snikt uwe kluchten
15 het sujpelt uit de luchten
16 waar gij u nederzet
17 het kom mijn droommen storen
18 en smakt mij op den ground
19 ik prof het in mijn mond
20 het grinnikt in mijn ooren
21 ik zal ter kerek gaan
22 en biecthen mijne zonden
23 en leven met de honden
24 maar staar mij niet zoo aan
(Willem Ellschot)
kepada peminta-minta

21 baik, baik aku akan menghadap dia
22 menyerahkan diri dan segala dosa
24 tapi jangan tentang lagi aku
3 nanti darahku jadi beku
5 jangan lagi kau bercerita
7 sudah tercacar semua di muka
nanah meleleh dari muka
sambil berjalan kau usap juga
13 bersuara tiap kau melangkah
mengerang tiap kau memandang
15 menetes dari suasana kau datang
sembarang kau merebah
17 mengganggu dalam mimpiku
18 menghempas aku di bumi keras
19 di bibirku terasa pedas
20 mengaum di telingaku
21 baik, baik aku akan menghadap dia
22 menyerahkan diri dan segala dosa
24 tapi jangan tentang aku lagi
3 nanti darahku jadi beku

Adapun plagiat yang berupa terjemahan yaitu:
1.“Datang Dara Hilang Dara” terjemahan sajak ‘A Song of the Sea’ karangan Hsu Chih Mo
2.“Fragmen”(tiada lagi yang akan diperikan) satu fragmen dari ‘Preludes to Attitude’ yaitu bagian IX yang berjudul ‘Nothing to Say You Say’ karangan Conrad Aiken

Berikut ini adalah kutipan dari satu bagian terjemahan ‘A Song of the Sea’:
“girl, girl alone,
why do you wander
the twilight shore
Girl, go home girl !
“No, I won’t go !
Let the evening wind blok
On the sands, in the glow
My hair is combed by the winds
As jander to and fro”

Terjemahannya:
“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja
Dara, ayo pulang saja, dara !

“Tidak, aku tidak mau!
Bila angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu!
(Jassin, 1956:95)

Memang tak dapat dipungkiri, bahwa Chairil Anwar mendapat pengaruh dari beberapa penyair Belanda Perang Dunia II, seperti H.Marsman, Slauerhoff, E.Du Perron, Ter Braak, Jan H.Eekhout, dan lain-lain.

Pengaruh Marsman pertama-tama tampak pada sikap hidup Chairl, yaitu sikap hidup yang penuh vitalitas. Vitalitasme Marsman banyak memberikan dorongan dalam kehidupan Chairil. Di samping itu, juga sajak-sajak Marsman memberikan pengaruh pada sajak-sajak Chairil.

Tentang pengaruh-pengaruh pada diri Chairil Anwar ini, H.B.Jassin menyatakan bahwa pengaruh-pengaruh itu sudah demikian meresapnya pada jiwanya sehingga terjalin secara organis dalam hasil seninya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa dalam pengaruh itu tampak pula keaslian diri pribadinya.

Lebih lanjut, H.B.Jassin memberikan analisis proses pengaruh itu pada Chairil Anwar. Mula-mula ada sesuatu yang hidup pada jiwa Chairil yang menghendaki pengucapan. Dalam usaha mencari bentuk pengucapan itu, ia bertemu dengan Marsman dan Slauerhoff, dan kemudian ia menggunakan alat yang dipakai oleh kedua penyair Belanda itu dalam pengucapannya.

Pengaruh yang ada padanya itu dapat berupa pengambilan motif yang sama, penggunaan kata dan perbandingan yang serupa, dapat juga berupa persamaan semangat.
Oleh Jassin diberikan beberapa contoh pengaruh dalam penggunaan hal motif yang sama, tetapi dalam wujud pernyataan pikiran yang berbeda, antara lain sebagai berikut:

weining lief de en wijn, vee water
soms en racket, een zweep maar
stelling nimmer een zwaard
(marsman)

Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu !
(chairil anwar)
Contoh lain:
Do rozen worden zwarten in uh haar
Waar zijn uh handen?
(marsman)

Matamu ungu membatu
Masih berdekapankah kami atau
Mengikut juga bayangan itu?
(chairil anwar)

Adapun sajak Chairil yang mendapat pengaruh dari sajak-sajak H.Marsman, baik pengaruh dalam arti penggunaan motif yang sama maupun pengaruh dalam arti saduran, yaitu:
1.“Orang Berdua” (dengan Mirap), saduran puisi sajak Marsman yang berjudul ‘De Gesheidenen’
2.“Kepada Kawan” mendapat pengaruh dari sajak-sajak Marsman yang berjudul ‘de Hand van Diechter, Doodsstrijd; Don Juan; Ont Moeting in Memoriam Mijzelf’

Di samping itu sajak-sajak Chairil yang berjudul “Selamat Tinggal” dan “Aku”, menurut Slamet Muljana juga ada unsur pengaruh dari sajak-sajak Marsman, tetapi oleh Jassin dikatakan bahwa adanya pengaruh itu terlalu dicari-cari.

Selain H.Marsman, maka Slauerhoff adalah penyair Belanda yang banyak mempengaruhi Chairil Anwar. Mereka berdua bersama Du Perron, Ter Braak, dan Elsschot (Belgia) adalah penyair-penyair yang banyak menulis dalam majalah Forum dan De Vrije Bladen.
Tentang daftar selengkapnya nama puisi karangan Chairil, baik yang asli, saduran, terjemahan maupun pengaruh-pengaruh yang tampak pada puisi-puisi tersebut dapat di baca pada buku ‘Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45’ yang disusun oleh H.B.Jassin.
Memang tak dapat disangkal bahwa peranan Jassin besar sekali bagi terkenalnya Chairil sebagai penyair, baik dalam masyarakat sastra Indonesia maupun di luar negeri, terutama di dunia barat. Dalam hal ini perlu disebutkan juga jasa Sutan Sjahrir yang memberikan keterangan-keterangan tentang penyair Chairil pada tahun 1947 di Paris sehingga sastrawan-sastrawan barat tertarik pada puisi-puisi Chairil Anwar.

Dalam masyarakat sastra Indonesia, pembicaraan tentang Chairil dan karangan-karangannya telah banyak dilakukan. Dari sejumlah sajaknya, telah lahir sejumlah juara baca puisi dan deklamasi, mengingat salah satu puisi wajibnya kerap diambil dari karya Chairil juga dari sajak-sajaknya yang tercatat termasuk naskah pidato, telah pula melahirkan sejumlah sarjana baik sarjana sastra maupun sarjana psikologi, sebagaimana sosiolog Arief Budiman, yang kemudian membukukan skripsinya: “Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (Jakarta Pustaka Jaya,1976)”. Bahkan Boen S.Oemarjati telah memperoleh gelar doktor dalam bidang ilmu sastra dengan mengambil disertasi yang berjudul “Chairil Anwar: The Poet and His Language” (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972) di bawah bimbingan A.Teeuw. karya-karya yang lain tentang Chairil Anwar, diantaranya: Chairil Anwar: Memperingati Hari 28 April 1949 diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953) Abdul Kadir Bakar, Sekelumit Pembicaraan Tentang Penyair Chairil Anwar (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974), S.U.S.Nababan, A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar (New York, 1976), Robin Anne Rose, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar (Auckland, 1976), Husain Junus Gaya Bahasa Chairil Anwar (Manado, Universitas Sam Ratulangi, 1984), Rachmad Djoko Pradopo, Bahasa Puisi Penyair Utama Sastra Indonesia Modern (Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), Sjumandjaya, Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitypers, 1987), Pamusuk Eneste, Mengenal Chairil Anwar (Jakarta: Obor, 1995), Zaenal Hakim, Edisi Kritis Puisi Chairil Anwar (Jakarta: Dian Rakyat, 1996), Kusuma K.Mahmud, Chairil Anwar dan H.B.Jassin (Cipta Cendekia, 2002).

Di samping itu, dalam masyarakat Indonesia dewasa ini ada kecenderungan menjadikan hari wafatnya Chairil Anwar tanggal 28 April sebagai hari kegiatan kesusastraan. Bahkan pernah ada pemikiran untuk menjadikan tanggal tersebut sebagai Hari Kesusastraan atau Hari Chairil Anwar.

Kepeloporan Chairil Anwar dalam perkembangan sastra Indonesia memang tidak dapat diragukan. Ia telah mengadakan pembaharuan dalam bidang puisi Indonesia. Beberapa keistimewaan puisi-puisi Chairil Anwar, antara lain:
> Penggunaan bentuk-bentuk puisi bebas yang tidak terikat oleh jumlah baris, jumlah suku kata, dan rima akhir yang teratur.
> Penggunaan unsur-unsur bunyi secara intensif, sehingga di samping fungsinya sebagai pendukung arti, bunyi-bunyi tersebut mampu menjelmakan suasana tertentu.
> Penggunaan gaya bahasa, lambang, dan perbandingan-perbandingan baru yang bersifat universal, misalnya:
- Mengembara serupa Ahasveros
- Dikutuk sumpahi eros

> Penjelmaan ide, pikiran dan pengalaman jiwa dalam wujud yang bersifat primastis, yang memiliki kedalaman maksud dan keluasan pengertian. Puisi primastis adalah puisi yang bersifat membias, yang tidak langsung berbicara kepada kita. Ide dan makna yang terkandung di dalamnya perlu di tafsirkan melalui lambang, perbandingan, motif-motif yang digunakan dalam puisi itu. Puisi-puisi yang ditulis sebelum Chairil umumnya bersifat diafan, artinya langsung dapat dimengerti maksudnya tanpa banyak penafsiran.
> Pemilihan kata yang digali dengan segenap kemampuannya, sehingga kata-kata yang terdapat dalam puisinya benar-benar digunakan setepat-tepatnya, baik ditinjau dari segi arti, bunyi, bentuk, susunan, maupun gaya bahasanya.
> Penggunaan gaya ekspresi yang benar-benar mengutamakan keaslian pengucapan, menjelmakan pikiran-pikiran dalam wujudnya yang murni.
> Dalam usahanya menjelmakan pikiran dengan kata yang setepat-tepatnya tersebut, Chairil telah menempa pemakaian bahasa Indonesia dalam wujudnya yang baru, yang sering dipandang menyimpang dari cara-cara tradisional.

Jika dikaji benar-benar, masih ada hal lain pada puisi Chairil yang dapat dipandang sebagai satu pembaharuan dibandingkan dengan puisi-puisi masa sebelumnya.
Rachmad Djoko Pradopo (1976:11) mengatakan bahwa bila diselidiki, dalam puisi-puisi Chairil tampak adanya gaya imajisma, yaitu suatu gaya yang “melukiskan pengertian dengan imaji-imaji, dengan memberikan lukisan/keadaan yang berarti ganda,yang sugesti”. Diberikan contoh misalnya baris-baris puisi Chairil yang berbunyi “ hidup dari hidupku pintu yang terbuka // Selama matamu bagiku menengadah” dapat ditafsirkan “penyair akan selalu mendapat jalan , harapan-harapan (pintu terbuka), selama kekasihnya / istrinya masih cinta / setia (menengadah) kepadanya”.
Puisi imajisma yang murni lazimnya berbentuk pendek-pendek, bebas, dan berupa lukisan-lukisan saja. Ide dan emosi penyair dijelmakan melalui imajimaji yang jelas dan tepat yang merupakan suatu kebulatan.

Dalam perkembangan puisi kontemporer pada dewasa ini beberapa penyair menggunakan gaya mantra dan tipografi sebagai unsur kepuitisan yang penting. Seorang tokoh dalam hal ini ialah Sutardji Calzoum Bachri yang telah menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul ‘O Amuk, Kapak’. Menurut Rachmad Djoko Pradopo, prototipe gaya mantra itu sesungguhnya sudah ada pada puisi Chairil Anwar, antara lain berjudul ‘Cerita Buat Dien Tamala’. Kepeloporan Chairil tak dapat disangkal lagi. Ia telah membawa corak baru dalam perkembangan puisi Indonesia, terutama dalam gaya dan pengucapannya yang puitis, juga dalam hal ide dan pikiran yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, dari mana pembaharuan itu dan bagaimana nilai puisi-puisinya orang dapat berbeda pendapat.

STA (1975:55) menilai bahwa dalam hal perkembangan bahasa Indonesia, Chairil telah membuka kemungkinan-kemungkinan ke arah yang tidak terduga-duga. Chairil memiliki keberanian memberikan arti sendiri pada kata-kata, mengadakan kombinasi kata-kata yang menantang semua konvensi, membuat susunan kalimat yang melompat-lompat dengan tiba-tiba, lekuk dan kelok yang tidak tersangka-sangka, dengan memakai logika yang sering bersifat anti-logika, tetapi justru karena sekaliannya itu menimbulkan ketajaman dan kedalaman arti yang jarang tersua.
Dalam hal ini STA memandang bahwa percobaan ke arah puisi serupa telah tampak pada Roestam Effendi, bahkan lebih-lebih pada Armijn Pane.
Beberapa puisi Chairil tentang maut oleh STA dipandang sebagai gejala pesimisme, akibat pertemuannya dengan penyair-penyair Eropa sebelum Perang Dunia II. Oleh karena itulah, dalam penilaian keseluruhan puisi Chairil Anwar, akhirnya STA (1975:60) sampai pada suatu pendapat sebagai berikut:

“ saya bandingkan sajak-sajak Chairil dengan makanan rujak yang asam , pedas dan asin yang bermanfaat untuk menyegarkan bagi orang yang terlampau banyak makan yang bergemuk atau yang mempunyai diet yang terlampau monotopi, dan selanjutnya saya berkata: ‘seharusnya kita girang dengan kesegaran yang dibawanya dalam suasana di negeri kita, asal saja kita ingat, bahwa rujak yang asam, pedas, asin, dan banyak terasinya ini bermanfaat untuk mengeluarkan keringat, tetapi tidak dapat dijadikan sari kehidupan manusia. Ini kebudayaan meniti benang di atas jurang’. rujak bukanlah makanan yang mengenyangkan, yang menumbuhkan tulang dan otot yang dapat menjadi dasar dari kehidupan yang sehat.”

Demikianlah beberapa penilaian kembali tentang Chairil Anwar dan karyanya. Di samping itu, ada hal-hal yang perlu dibicarakan disini, walaupun hal itu sudah sejak lama dibicarakan orang.

A.Vitalitas Chairil Anwar

Vitalitas berarti kemampuan hidup penuh dengan semangat. Seorang vitalis berarti seorang yang memiliki semangat atau nafsu hidup yang meluap-luap. Bahwa Chairil Anwar seorang vitalis, tidak dapat dibantah lagi. Akan tetapi vitalitas Chairil Anwar berbeda dengan vitalitas pengarang-pengarang sebelumnya.

Vitalitas Chairil Anwar merupakan semangat hidup yang berusaha ini mengisi eksistensi hidup ini dengan sepenuh-penuhnya dan mempertanggungjawabkan hidup dengan penuh kesadaran. Chairil Anwar dalam menghidupi hidup ini dengan seluruh adanya dirinya, dengan akunya yang bebas, Chairil ingin merubah cara berpikir yang dogmatis dan ingin menegakkan pikiran-pikiran baru demi martabat manusia. Sikap inilah yang menyebabkan beberapa puisi Chairil tampak bersifat anarkistis dan individualistis.

Chairil berupaya mereguk hidup ini sepuas-puasnya, ingin mengisi hidup ini sepenuh-penuhnya dan menyelami hidup ini sampai pada segala ceruk meruknya. Sebagai konsekuensi sikap hidup semacam itu ialah pergulatannya dengan maut. Itulah sebabnya Slamet Muljana dan STA memandang vitalitas Chairil sebagai vitalitas yang bersifat pesimistis dan tragis. Dalam penyelidikan terhadap puisi-puisi Chairil, terutama yang terdapat dalam kumpulan puisi “Deru Campur Debu”, Slamet Muljana berkesimpulan bahwa puisi-puisi Chairil mulai dengan kesedihan dan berakhir dengan kesedihan.

Dibandingkan dengan vitalitas STA lain halnya. STA memiliki semangat hidup yang penuh dengan kegembiraan, semangat hidup yang bergelora demi perjuangan bangsa.
Sebenarnya, vitalitas itu ada pada setiap pengarang, hanya corak, kadar, dan intensitasnya berlainan. STA menilai vitalitas Roestam Effendi tak kurang dari vitalitas Chairil Anwar. Akan tetapi, vitalitas Roestam Effendi masih kusut berbelit-belit dengan romantik, kurang memiliki kebebasan sebagaimana Chairil Anwar.

B.Individualisme Chairil Anwar

Individualistis Chairil Anwar bukan individualistis yang egoistis dan ‘uber mens’. Individualisme atau ke- akuan Chairil berpangkal pada sikap hidup yang eksistensialistis.

Ke-aku an Chairil bukan untuk kepentingan diri sendiri atau berpusat pada dirinya sendiri. Ke-akuan Chairil dimaksudkan untuk kepentingan martabat dan nilai-nilai kemanusiaan. Manusia hidup harus bisa mengisi eksistensinya. Memperjuangkan hakikat kemanusiaannya yang semua itu tidak perlu harus sejalan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, tradisi atau konvensi-konvensi yang sudah ada.

C. Pandangan Chairil Anwar tentang Ilham dan Keindahan

Chairil membedakan dua macam ilham, yaitu ilham yang sebenarnya dan ilham yang tidak sebenarnya. Tidak semua yang menggetarkan jiwa itu ilham. Ilham harus dicari dan jika diperoleh harus ditimbang, dipilih dan dikupas, dan jika perlu dilemparkan sama sekali. Dalam mencari ilham, seorang pengarang seharusnya aktif mengadakan orientasi terhadap pengarang-pengarang dunia, dan menyelami seluruh liku-liku kehidupan. Menurut Chairil Anwar, seni adalah harmoni antara ilham dan pikiran.
Berbeda dengan sikap Chairil Anwar tentang ilham, pengarang-pengarang Pujangga Baru pada umumnya bersikap menunggu dan beranggapan bahwa seni itu terutama adalah perasaan.

Tentang keindahan, Chairil Anwar berpendapat bahwa keindahan harus berpangkal pada vitalitas, pada hidup, dan nafsu hidup. Chairil Anwar menyebutkan bahwa vitalitas itu ‘chaostis voorstadium’, sedangkan keindahan itu ‘cosmis eindstadium’. Vitalitas itu sifatnya kacau balau, campur baur, sedangkan keindahan itu bersifat harmonis, penuh keselarasan.

D.Masalah Bentuk dan Isi

Chairil berpendapat bahwa hasil sastra ‘terbagi’ dalam bentuk dan isi, walaupun batas antara keduanya tidak dapat dikemukakan karena keduanya “rapat berjalan sama, mereka gonta-ganti menutupi.

Yang jadi bentuk adalah cara si seniman menyatakan perasaan-perasaan dengan yang istimewa, yang khas, dan yang sanggup mengharukan pembaca dan peminat. Jadi, yang penting menurut Chairil ialah “si seniman dengan caranya menyatakan harus memastikan tentang tenaga-tenaga perasaan”, yang dengan bahan bahasa yang dipakai secara intuitif.

Adapun karangan-karangan Chairil yang sudah dibukukan, yaitu:
1.Deru Campur Debu, kumpulan puisi yang diterbitkan pertama kali tahun 1949 oleh Penerbit Pembangunan. Kumpulan ini terdiri atas 27 puisi.
2.Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus kumpulan puisi yang diterbitkan pada tahun 1949 oleh Pustaka rakyat. Kumpulan ini terbagi atas dua bagian yaitu :”Kerikil-Kerikil Tajam” yang terdiri atas 32 puisi dan “Yang Terhempas dan Yang Putus” terdiri dari 11 puisi.

Anehnya, sebagian besar puisi yang terdapat dalam kumpulan Deru Campur Debu terdapat pula pada ”Kerikil-Kerikil Tajam” dan “Yang Terhempas dan Yang Putus”.
Selain tiga kumpulan puisi tersebut di atas, ada beberapa puisi Chairil yang dikumpulkan bersama puisi Asrul Sani dan Rivai Apin, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1950 dengan judul ‘Tiga Menguak Takdir’. Dalam kumpulan puisi bertiga ini hanya ada satu puisi yang belum disiarkan dalam dua kumpulan puisinya yang terdahulu.

Judul ini menarik perhatian para penelaah sastra karena mengandung kata-kata yang dapat ditafsirkan dalam dua pengertian, yaitu (1) Tiga Menguak Takdir (takdir = nasib) atau (2) Tiga Menguak Takdir (Takdir = pemimpin Pujangga Baru). Judul yang berupa kata-kata semacam itu terdapat juga dalam sastra Belanda, yaitu kumpulan puisi yang berjudul ‘Drie op een Perron’, yang di dalam buku itu tiga penyair muda Belanda menentang seorang penyair, kritikus, dan esais terkenal, Du Perron.
Selain tiga kumpulan puisi tersebut di atas, masih ada beberapa karangan Chairil yang berserak-serak pada berbagai majalah, sebagian besar berupa puisi dan ada juga yang berbentuk prosa.

H.B.Jassin telah mencoba mengumpulkan dan menganalisis tulisan-tulisan tersebut yang kemudian diterbitkan dengan judul ‘Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45’. Karangan Chairil yang berupa prosa ada 6 yang asli, yaitu yang berjudul ‘Pidato Chairil Anwar 1943’ Berhadapan Muka, Hoppla, Tiga Muka Satu Pokok, Pidato Radio 1946, dan Membuat Sajak Melihat Lukisan’.
Berikut ini adalah kutipan sebagian karangan Chairil yang berbentuk prosa.

Pidato Radio 1946.
Kawan-kawan pendengar

Sebuah sadjak jang mendjadi adalah satu dunia. Dunia jang didjadikan, ditjiptakan kembali oleh si penjair. Ditjiptaknnja kembali, dibentukkannya dari benda (materie) dan rohani, keadaan (ideel dan visueel) alam dan penghidupan sekelilingnya, dia djuga mendapat bahan dari hasil-hasil kesenian lain jang berarti bagi dia, hubungan djiwa dengan dia, dari pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat orang lain, segala jang masuk dalam bajangannja, (veerbeelding), anasir-anasir atau unsur-unsur jang sudah ada didjadikannja, dihubungkannya satu sama lain, dikawinkannya mendjadi satu kesatuan jang penuh (indah serta mengharukan) dan baru, satu dunia baru dunia kepunyaan penjair itu sendiri. Djalan ketumbuhan, proses dan pentjiptaan kembali ini, datngnja, keluarnya, tersemburnya dari konsepsi si penjair, penglihatannya (visi), tjita-tjitanja (ideaal-ideaal), perasaan dan pergeseran hidupnya, pandangan hidupnya, dasar pikirannja.
Semua tjabang-tjabang dan ranting-ranting dari bahan pokok jang besar ini haruslah sesuatu jang dialami, didjalani (dalam djiwa, tjita, perasaan, pikiran atau pengalaman hidup sendiri) oleh si penjair, mendjadi sebagian dari dia, suka dan dukanja sendiri, kepunjaannja, kepunyaan rohaninya sendiri. Dan ditambah lagi dengan tenaga mentjipta, tenaga membentuk jang mengatur dengan pikiran serta rasa, dengan pertimbangan dan pikiran sehingga terdjadilah suatu kehidupan, suasana, kehidupan dan tokoh (gestalte).

Sebuah sadjak, sebuah hasil kesenian mndjadi penting dan berarti bukanlah karena pandjangnja atau pendeknya, tetapi karena tingkatnja, kadarnja (gestalte). Jang menentukan ini adalah dalamnya (karena ketinggiannya, djauhnja) penglihatan, kupasan, pandangan si seniman tadi dalam mendjatuhkan, memadukan suara, kehidupan dan tokoh (gestalte).

Berikut ini kutipan karya Chairil yang mengandung gaya mantra:

Cerita Buat Dien Tamela

Beta pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu

Beta pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut

Beta pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan

Beta pattirajawane menjaga hutan pala
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama

Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa

Pohon pala badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba

Mari menari !
Mari beria !
Mari berlupa !

Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu
Beta ada di malam
Irama ganggang dan api membakar pulau . . .
Beta pattirajawane
Yang dijaga dat-datu
Cuma satu

Chairil Anwar merupakan seorang penyair yang muncul di zaman Jepang yang membawa pembaharuan di bidang puisi modern. Puisi-puisi yang diciptakannya bersifat revolusioner, baik bentuk maupun isinya. Kata-kata dan perbandingan yang dipergunakannya sangat tepat sehingga menjelmakan isi yang padat. Ia mengatakan bahwa dalam melukiskan sesuatu harus sampai pada hakikatnya, kita harus sanggup bukan hanya mengambil gambar-gambar biasa saja, melainkan juga gambar rontgen sampai ke putih tulang belulang.

Chairil adalah seorang penyair yang mempunyai vitalitas atau tenaga hidup yang meluap-luap. Ia berusaha hendak mereguk hidup ini sepuas-puasnya. Ia ingin mengisi eksistensi hidup ini sepenuh-penuhnya. Akibat dari sikap ini , ia tampak terlalu bersifat individualistis, tidak merasa terikat oleh konvensi dan tradisi yang berlaku dalam masyarakat. Sikapnya terhadap orang-orang pusat kebudayaan pun demikian sehingga ia sering di pandang sebagai kuda yang lepas dari kusirnya.
Puisi yang mula-mula disiarkan berjudul ‘Nisan’ yang digubahnya pada bulan Oktober 1942. Puisinya yang paling terkenal, yang kemudian sering dianggap sebagai ‘proklamasi’-nya Angkatan 45ialah berjudul ‘Aku’, yang ditulisnya pada tanggal 3 Maret 1943. Puisi tersebut kemudian oleh Pusat Kebudayaan diubah judulnya menjadi ‘Semangat’ agar tidak bersifat individualistis sehingga dapat disiarkan. Berikut ini adalah kutipan puisi tersebut:
Aku

Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa ku bawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Deru Campur Debu)

Dari puisi tersebut, Chairil Anwar menamakan dirinya ‘binatang jalang, dari kumpulannya terbuang’. Apabila satu keyakinan telah terhunjam dalam hatinya, ia tidak akan ambil pusing dengan orang lain, ia akan hidup seribu tahun lagi dengan keyakinan itu.

Di samping puisi Aku seperti tersebut di atas, ada satu lagi puisinya yang berjudul Aku tetapi bentuk dan isinya lain. Puisi Aku yang kedua ditulisnya tanggal 8 Juni 1943, yang bunyinya sebagai berikut:

Aku

Melangkahkan aku tak perlu tuak menggelegak
Cumbu buatan satu biduan
Ku jauhi ahli agama serta lembing katanya

Aku hidup
Dalam hidup di mata tampak bergerak
Dengan cacar melebar, darah bernanah

Dan kadang satu senyuman ku kucup minum
Dalam dahaga

(Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus)

Beberapa puisi Chairil memang terasa meledak-ledak. Kata-katanya tajam menyayat. Nadanya keras dan memberontak.

Dalam dunia puisi Indonesia, kiranya belum pernah ada puisi yang bersifat ekspresionistis seperti puisi Chairil yang berjudul ‘1943’. Dalam puisi tersebut terlukis penderitaan jiwa yang sangat mendalam, konon diilhami oleh penghayatan Chairil Anwar terhadap penderitaan bayi yang berumur 14 bulan dalam keadaan terlantar.

1943

Racun berada direguk pertama
Membusuk rabu terasa di dalam dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam membelam
Jalan kaku, lurus. Pupus
Candu
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku

Ekspresionisme adalah suatu aliran seni yang berusaha menangkap pikiran dan perasaan dari sumbernya semula, yang masih dalam bentuknya yang asli yang belum dipengaruhi oleh pikiran dan perasaan yang ditangkap dari sumbernya itu, kemudian dilontarkan dengan serta-merta, dalam wujudnya yang asli, yang belum tersusun dalam urutan yang runtut.

Chairil sebagai pencetus ekspresionisme dalam sastra Indonesia berusaha mengutamakan keaslian pengucapan jiwa dalam puisi-puisinya itu. Ada beberapa puisi Chairil yang berupa terjemahan, saduran bahkan plagiat. Akan tetapi dari terjemahan dan sadurannya tampak bahwa pribadi Chairil terasa berperan di dalamnya.

Puisi Chairil yang berjudul ‘Siap Sedia’ yang ditulis pada tahun 1944, walaupun sudah lolos dari sensor Jepang, kemudian digugat oleh Pemerintah Militer Jepang (Goenseireibu) karena dalam puisi tersebut terdapat baris yang berbunyi ”mengayun pedang ke dunia terang”. Kalimat tersebut oleh Pemerintah Militer Jepang dianggap ditujukan kepadanya karena lambang dan bendera Jepang berupa matahari. Karena itu, redaktur harian Asia Raya yang memuat puisi itu mendapat teguran keras. Majalah Kebudayaan Timur pernah juga memuat puisi tersebut, tetapi tanpa 3 bait penghabisan.
Lengkapnya puisi tersebut sebagai berikut:

Siap Sedia
Kepada Angkatanku
Tanganmu nanti tegang kaku
Jantungmu nanti berdebar berhenti
Tubuhmu nanti mengeras batu
Tapi kami sederap mengganti
Terus memahat ini tugu

Matamu nanti kaca saja
Mulutmu nanti habis bicara
Darahmu nanti mengalir berhenti
Tapi kami sederap mengganti
Terus berdaya ke masyarakat jaya
Suaramu nanti diam ditekan
Namamu nanti terbang hilang
Langkahmu nanti enggan ke depan
Tapi kami sederap mengganti
Bersatu maju ke kemenangan

Darah kami panas selama
Badan kami tertempa baja
Jiwa kami gagah perkasa
Kami akan mewarna di angkasa
Kami membawa ke bahagia nyata

Kawan, kawan
Menepis segar, angin terasa
Lalu menderu menyapu awan
Terus menebus surya cahaya
Memancar pencar ke penjuru segala
Riang menggelombang sawah dan hutan
Segala menyala-nyala !
Segala menyala-nyala !

Kawan, kawan
Dan kita bangkit dengan kesadaran
Mencucuk menerang hingga belulang
Kawan, kawan
Kita mengayun pedang ke dunia terang !

Chairil sering datang ke Kantor Pusat Kebudayaan untuk membacakan atau mendiskusikan puisi-puisinya dengan angkatan muda masa itu. Puisi-puisi Chairil oleh para sastrawan di pandang merupakan pemberontak, yang belum sepenuhnya orang dapat menghargainya ketika itu.

E. Apa dan Mengapa Chairil Anwar melakukan Plagiat

Hal ini perlu dipertanyakan, apa dan mengapa Chairil Anwar melakukan plagiat? Apakah plagiat adalah hobinya? Apakah ia menganggap orang Indonesia cukup bodoh untuk tidak akan pernah menemukan plagiatnya? Tapi, agaknya anggapan itu tidak pernah terpikir olehnya, karena Chairil adalah seorang penyair yang berjiwa nasionalis, yang tak pernah memberi kesan negatif kepada negeri ini. Agaknya ada alasan lain yang membuatnya sebagai plagiator, di samping sebagai plagiator seperti dijelaskan sesudahnya, jiwa dan kepribadiannya masih melekat pada karya saduran dan plagiatnya.

Plagiat yang paling menggemparkan adalah “Datang Dara Hilang Dara” yaitu terjemahan dari sajak Hsu Chin Mo, beberapa bulan sebelum ia meninggal. Ini bisa diterangkan disebabkan karena penyakitnya yang banyak makan ongkos untuk pembayaran ongkos. Kira-kira pada waktu ini pulalah ia mengumumkan di bawah namanya sajak-sajak “Fragmen”, dan “Krawang Bekasi”. Banyak yang bertanya: “Mengapa Chairil tidak menyerahkan sajak-sajak itu sebagai terjemahan kepada redaksi majalah?- Jawabannya cukup prosais, tapi begitulah adanya: “Tidak akan diterima, majalah-majalah kebanjiran sajak-sajak yang asli dan terjemahan jarang diterima, atau kalau diterima lama sekali dimuat dan honorariumnya pun kurang dari honorarium sajak asli dan Chairil begitu memerlukan uang dan segera untuk pengobatannya”.
Chairil bukan seorang yang lancar membuat sajak dalam pengertian bahwa dia dengan mudah menulis sajak. Ini ternyata dari hasilnya yang dalam 6,5 tahun hanya berjumlah 70 sajak dan sudah termasuk karya terjemahan dan saduran.
Menarik hati memperbandingkan perubahan-perubahan yang diadakan penyair pada sajak-sajaknya seperti kita lihat dalam naskah aslinya, memperbandingkan beberapa sajak yang dimuat dalam “Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Melawan” dan “Deru Campur Debu” dan yang dimuat dalam berbagai majalah, sajak-sajak yang sama tapi mengalami perubahan-perubahan kecil di sana sini.

Ini suatu studi yang menarik untuk menyelidiki cara Chairil Anwar mempergunakan bahasa untuk mewujudkan apa yang terpikir dan terasa olehnya. Sebab sajak-sajaknya tidak hanya sekali tulis lalu jadi.

Naskah tulisannya memperlihatkan kata-kata yang dicoret beberapa kali untuk mendapatkan kata yang tepat mendukung isi, sajak itu ditulis lagi, diadakan lagi perubahan-perubahan, sampai sesudah dicoba dicetak masih mungkin dia mengubahnya lagi.

Menarik juga mengetahui betapa penyair berhari-hari kadang berminggu-minggu malah berbulan-bulan berjalan-jalan dengan sajak yang dimatangkan dalam pikiran. Digoreskan satu baris, ditimbang, diteliti, kadang-kadang satu hari hanya satu baris, baris-baris yang lain menyusul kemudian. Kadang-kadang 3 baris 4 baris sekali jadi, tapi jarang sekali mungkin tidak ada yang satu sajak ditulis dalam satu helaan nafas. Dan ini pun berlaku untuk terjemahan-terjemahan yang dikerjakannya. Beberapa buku tulis dan notes yang ditinggalkan penyair ada yang Cuma satu halaman ditulisi beberapa baris, perbuatan buat satu sajak.

F.Beberapa Pandangan Pada Chairil Anwar

>Pandangan Artati Sudirdjo (redaksi Majalah Wanita Karya)

Sebagai seorang yang pertama-tama merintis dan membentuk aliran baru dalam kesusastraan Indonesia, ia dapat dikatakan orang yang terbesar pengaruhnya dari Angkatan 45.

Sajak-sajaknya yang menghembus jiwa, semangat dan cita-cita muda, bukan berarti tidak masak, masih hijau tapi dalam arti terus menerus , bersifat membaharui, dalam arti segar-segar, vital, penuh hidup, bergerak dan menggerakkan, bahwasanya sajak-sajaknya sungguh mewakili – walaupun mendahului – segala apa yang hidup dalam hati sanubari angkatan muda, tak dapat disangkal lagi, karena walaupun mula-mula sajak-sajaknya bersifat individual, kini ternyata penyair-penyair muda lain mengenal pula dan mewujudkannya dalam sajak-sajak mereka barang apa yang mula-mula dilakukan oleh Chairil.

Nafsu hidup jiwanya itu, seperti menjerit-jerit dalam sajak-sajak ”...aku ini binatang jalang – aku mau hidup seribu tahun lagi” menyebabkan ini selalu ingin meresapkan kenikmatan hidup dalam segala bentuknya dan dengan segala akibatnya. Bila dalam ‘Diponegoro’ ia mengatakan ‘...sekali berarti, sudah itu mati...’ Hal ini pun rupanya dijadikan pedoman hidupnya – walaupun sukar diciptakan bahwa ia memikirkan soal pedoman demikian. Sebab hidup baginya berarti hidup, dan bukan memikirkan atau membicarakan saja.

Nafsu jiwanya itu demikian mendorongnya, sehingga Chairil itu sama dengan paham hidup, paham selalu bergerak.

Maka mudah dimengerti pula bahwa kadang-kadang ia menimbulkan kesan, seakan-akan ia takut menjadi tua, tua bukan dalam usia, tapi dalam pendiriannya dan cita-citanya, karena tua berarti statis, kaku dan beku.

Walaupun banyak orang mengatakan, ia kurang ajar, tidak mengenal sopan santun, sebenarnya ini bukan perkataan yang tepat. Ia senantiasa selalu terus terang dalam pendapatnya tentang barang sesuatu atau seseorang. Kecakapannya mengenal dan mengupas watak serta terutama kelemahan orang itu sungguh sangat mengherankan, sehingga aneh pula bahwa pembawaannya mengupas segala-galanya, yang kadang-kadang terlalu sinis, terlalu mengiris dan menyayat, itu menjadikan juga seorang pendorong di belakang layar majalah kita, kadang-kadang sampai jam tiga malam ia membantu kami, sambil membicarakan cara-cara bagaimana serta alat-alat untuk menggerakkan jiwa wanita Indonesia.

Chairil sungguh seorang yang tinggi cita-citanya, terutama dalam hal menggerakkan dan mengembangkan jiwa budaya bangsa kita. Akibat revolusi atau jiwa budaya ini diramalkannya lebih besar dari pada akibat-akibat politik. Ia mempunyai keinsafan bahwa bangsa Indonesia harus meninjau ke buah kesusastraan bangsa-bangsa lain dari pada bangsa Belanda, agar supaya kesusastraan Indonesia dapat bersemi baru. Ia sendiri telah mencurahkan tenaganya menyalin berbagai-bagai karangan dan syair dari bahasa asing. Berikut ini adalah sebuah puisi Chairil :

Penerimaan
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih sendiri
Ku tahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari telah terbagi

Jangan tunduk ! tantang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
Sedangkan dengan cermin aku enggan berbagi

> Pandangan Waluyati

Pandangan Waluyati pada sosok Chairil Anwar dapat kita maknai lewat puisinya di bawah ini

Berpisah
Bersama-sama bunga digubah
Menjadi rangkaian halus pewangi
Dan pulang kita bersuka hati
Di kala surya terbenam merah

Di jalan simpang kita berpisah
Gubahan bunga gemetar di tangan
Dan sambil kita berpandangan
Jatuh rangkaian, dua terbelah

Ku ambil setengah, seutas lagi
Kau pegang erat dan kau melompat

Di kala senja ku jalani sendiri
Hanyalah bunga kau bawa lari
Mengirimkan wanginya ke arah lagi

Dari puisi di atas dapat dipahami begitu simpatiknya Waluyati menaruh perhatian pada Chairil Anwar dan segala apa yang telah dicapai oleh Chairil.

> Pandangan Bung Usman (Penyair Zaman Jepang)

Bung Usman termasuk penyair masa Jepang yang puisi-puisinya banyak dimuat dalam antologi ‘Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang’. Puisi Bung Usman umumnya bersifat sinis, mengejek masyarakat keliling. Akan tetapi kesan puitis dari puisi-puisinya hampir tidak terasa. Nadanya datar dan kering dari irama persajakan. Mungkin karena itulah, kepenyairan Bung Usman tidak berkembang lagi setelah kemerdekaan.
Pandangannya terhadap Chairil Anwar cukup sinis dan mengejek. Hal ini terbukti dari dua puisinya di bawah ini:
Hendak Tinggi
Mau tinggi,
Di muka bumi ???

Panjat kelapa
Sampai ke puncak ???

Alangkah tinggi
Di muka bumi !!!

Hendak Jadi ‘Orang Besar’ ???
Hendak jadi orang besar ???
Di mana-mana nama tersiar?

Besarkan saja kepalamu !
Katakan saja katamu,
Tuliskan saja pikiranmu

Datang saja di mana kau mau

Jangan pusing orang
Anggap dirimu ‘binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang’
Berlakulah jangan kepalang !!!

Orang akan berkata: “Kepala Besar !”
Nah kau sudah jadi ‘Orang Besar !!!’



DAFTAR PUSTAKA

Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. 2004. Ensiklopedi Sastra Indonesia I. Bandung: Titian Ilmu.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. 2004. Ensiklopedi Sastra Indonesia II. Bandung: Titian Ilmu.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. 2004. Ensiklopedi Sastra Indonesia III. Bandung: Titian Ilmu.
Djojosuroto, Kinayati. 2006. Pengajaran Puisi: Analisis dan Pemahaman. Bandung: Nuansa
M.N, Fajar. 2008. Mengenal Tokoh-Tokoh Seni di Indonesia. Tanpa Kota: Eureka Dwi Raga.
Soetrisno, Eddy dan Elizabeth Tara, MD. Tanpa Tahun. Seri: Pahlawan Nasional dan Sejarah Perjuangannya. Dr. Morton Grosser (ed.). Tanpa Kota: Ciptamedia Binanusa.
Soetrisno, Eddy dan Elizabeth Tara, MD. 2001. Buku Pintar: 100 Pahlawan Nasional dan Sejarah Perjuangannya. Dr. Morton Grosser (ed.). Jakarta: Ladang Pustaka
Sarwadi, H.Frof.Drs. 2004. Sejarah Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: GAMA Media
Tarigan, H.G dan Djago Taringan. 1995. Pintar Berbahasa Indonesia 3. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar