Jumat, 08 April 2011

ARAH PERKEMBANGAN KAJIAN SASTRA INDONESIA

Oleh: Aprinus Salam
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Pelopor Kajian Sastra Islam. Diambil dari Kedaulatan Rakyat, 25 Mei 2008, halaman 15)


Beberapa kalangan menggelisahkan arah perkembangan kritik sastra. Kegelisahan tersebut antara lain disebabkan kritik sastra dianggap tidak mampu mengakomodasi perkembangan karya sastra. Kegelisahan itu juga disebabkan karena saat ini tidak ada kritikus sastra seberwibawa HB Jassin. Di samping itu, kritik sastra dianggap tidak mampu menjelaskan arah perkembangan karya sastra, yang kita tahu, akhir-akhir ini karya sastra terbit dengan cara yang cepat dan sangat beragam. Terdapat beberapa hal yang perlu diletakkan dalam porsi persoalan yang lebih pas. Pertama, apa yang sebenarnya terjadi dalam perkembangan studi-studi sastra. Kedua, mengapa kewibawaan kritik sastra model HB Jassin sekarang tidak berkembang. Ketiga, bagaimana studi sastra melihat arah perkembangan karya sastra.

Hingga tahun 1970-an, bahkan hingga tahun 1980-an, istilah dan konsep kritik sastra memang masih sangat populer. Istilah dan konsep itu dimaksudkan sebagai satu telaah yang berkaitan dengan ‘analisis-analisis intrinsik’ berkaitan dengan penjelasan struktur karya, dan kemudian diikuti semacam penghakiman tentang ‘kualitas estetis’ karya sastra bersangkutan.

Pada umumnya, teori yang cukup dominan pada waktu-waktu itu adalah teori-teori struktural, dalam berbagai versinya, sehingga mutu estetis perkembangan karya sastra dapat dilacak dan diketahui. HB Jassin, dan beberapa pengikutnya, ada dalam koridor kritik sastra ini.

Akan tetapi, kelemahan umum kritik sastra semacam itu adalah bahwa karya sastra dilepaskan dari konteks sosial masyarakatnya. Itulah sebabnya, banyak kajian sastra pada waktu itu seolah asyik dengan dirinya sendiri. Memang, mungkin kajian seperti itu berguna bagi para sastrawan dalam mengembangkan teknik-teknik penulisan karya sastra. Akan tetapi, belum tentu berguna bagi masyarakat.

Tentu HB Jassin memang kritikus sastra besar. Hal itu bukan saja karena beliau sangat tekun dan menulis banyak kritik sastra, tetapi karya sastra pada waktu HB Jassin berkiprah tidak banyak seperti sekarang. Dan lagi, HB Jassin pada waktu itu berdiri sebagai ‘pusat’ ketika proses perkembangan teknologi penerbitan tidak seperti sekarang. Hampir seluruh sastrawan Indonesia mengirimkan karya ke HB Jassin dan menunggu ‘baptis pusat’ untuk mendapatkan legitimasi kepenyairan atau kesastrawanan seseorang.

Pada tahun 1990-an, karena perkembangan teknologi dan globalisasi, juga wacana desentralisasi dan demokratisasi mulai menguat, maka ‘kegunaan pusat’ mulai diragukan dan dianggap tidak penting. Maka mulai banyak sastrawan dan penyair tidak merasa perlu mendapatkan legitimasi dari pusat, dan kritik sastra HB Jassin pun mulai tidak diperlukan. Setiap orang bisa dan dapat menerbitkan karyanya tanpa harus mendapatkan kritik model HB Jassin. Bukan saja para sastrawan dan penyair juga mulai ‘risih’ jika dihakimi tentang mutu karyanya, tetapi memang terdapat pergeseran tentang asumsi karya sastra itu sendiri.

Senyampang dalam perubahan di atas, orientasi studi sastra sudah lebih dahulu mengalami pergeseran. Hingga tahun 1980-an awal kajian-kajian sastra masih didominasi studi-studi bernuansa kritik ala HB Jassin. Juga pernah muncul polemik antara kritik sastra akademis dan kritik sastra nonakademis. Kritik sastra model HB Jassin, walaupun sangat dekat dengan teori struktural intirinsik, dianggap mewakili kritik berupa analisis-analisis kesan tanpa pretensi dan pertanggungjawaban akademis. Cara kerja seperti itu mulai diragukan kadar keilmiahannya.

Dalam perkembangan sosial, ekonomi, dan politik yang mengharu biru, banyak ahli sastra menjadi inferior dibanding ahli politik, ahli ekonomi, bahkan ahli olahraga dan kecantikan. Hal itu terjadi karena ahli sastra dengan bawaan struktural intrinsik seolah mengasingkan diri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karya sastra ditempatkan bukan sebagai data sosial, politik, ekonomi atau data tentang persoalan ketimpangan gender, masalah kebudayaan, dan sebagainya. Sastra dilihat sebagai persoalan sastra itu sendiri.

Hal penting yang ingin disampaikan adalah bahwa studi-studi sastra mulai mengalami pergeseran dari dominasi teori struktural ke teori-teori semiotik, sosiologi sastra, resepsi, feminisme, wacana, poskolonial, posstrukturalisme atau posmodernisme, dan sebagainya, yang setiap teori secara keseluruhan menempatkan sastra sebagai persoalan dan teks sosial. Teori-teori sastra itu juga tidak lagi menghakimi mutu karya, tetapi menempatkan karya sastra sebagai data, dokumen, atau monumen sosial. Secara dialektis karya sastra ditempatkan dan difungsikan dalam konteks sosial masyarakatnya. Dalam konteks itu, praksis kritik (yang menghakimi) semakin tidak dipakai. Studi atau kajian sastra menjadi lebih terintegrasi dengan kajian-kajian sosial, politik, dan budaya. Sekarang, kajian seperti itu tentu sudah cukup banyak. Masalahnya memang tidak seluruh karya sastra (baik novel, puisi, cerpen, maupun naskah drama) dapat dikaji.

Pertama, terdapat beberapa pertimbangan akademis mengapa sebuah karya sastra harus diteliti. Sebagai satu penelitian kualitatif, tidak seluruh karya sastra harus diteliti, apalagi jika karya tertentu memperlihatkan kecenderungan yang sama dengan karya yang lain. Itulah sebabnya, terdapat kategori chicklit dan atau teenlit, untuk satu kategori kecenderungan. Untuk meneliti kecenderungan teenlit atau chicklit, tidak seluruh novel dalam kategori itu diteliti karena tentu jumlahnya ratusan.

Kedua, setiap kajian memberikan kesimpulan sendiri-sendiri yang berbeda sesuai dalam koridor dan paradigma teoretis kajian bersangkutan. Akan tetapi, hal yang perlu dipahami adalah bahwa kecenderungan teoretik kajian menempatkan karya sastra sebagai bagian yang terintegrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Teks sastra ditempatkan sebagai ‘informan’, sebagai ‘tanda-tanda sosial’ yang ditinjau secara bolak balik, baik berdasarkan karya sastra melihat masyarakat, atau sebaliknya, melihat masyarakat berdasarkan karya sastra.

Ketiga, di fakultas-fakultas yang memiliki Program Studi Sastra Indonesia hingga kini masih secara konstan melakukan penelitian dan kajian sastra khususnya untuk skripsi dan tesis. Secara reguler juga ada pertemuan ilmiah sastra, baik HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia) atau PIBSI (Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia), yang membicarakan perkembangan sastra dari berbagai sisi. Berdasarkan itu, karya-karya sastra paling mutakhir pun, jika dianggap perlu, akan mendapat perhatian untuk dijadikan skripsi, tesis, atau paper-paper. Novel atau teks-teks seperti Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi, atau Edensor sudah mendapat perhatian dan mulai dikaji untuk dijadikan skripsi atau tesis.

Persoalannya, memang tidak seluruh skripsi, tesis, atau paper-paper memberikan kajian yang kuat dan memadai. Kecenderungan skripsi, tesis, atau paper untuk terjebak dalam stereotip merupakan penyakit akademis yang sulit diatasi. Cukup banyak skripsi atau tesis dikerjakan oleh mereka yang malas berpikir dan bekerja keras. Ada beberapa persoalan dalam kasus ini. Pertama, calon ahli atau sarjana sastra pada mulanya tidak menempatkan pilihan sebagai ahli sastra sebagai pilihan utama.

Hal itu menyebabkan SDM yang mempelajari sastra bukan berdasarkan motif yang kuat.
Hal itu disebabkan, kedua, hingga hari ini menjadi ahli sastra belum menjadi profesi yang menjanjikan dibanding ahli politik, ekonomi, atau sosial. Akan tetapi, mengingat terjadi beberapa pergeseran teoretis tersebut, sangat mungkin pada waktu-waktu yang akan datang, akan muncul ahli sastra yang bisa menjelaskan problem dan arah perkembangan masyarakat, negara, dan bangsa ini, dan sastra itu sendiri, dengan melihat karya sastra sebagai data, dokumen, atau monumen sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar