Kamis, 30 April 2015

PUISI-PUISI AHMAD NURULLAH

DI DALAM SAJAK INI AKAN KAU TEMUKAN SEBUAH SUNGAIDi dalam sajak ini akan kautemukan
sebuah sungai - katamu.
Lalu kita pun berangkat
menjelajah makna yang menggeliat
di balik lapisan tanah yang padat -
Siang gerimis
Matahari bercampur hujan
Perjalanan begitu panjang
dan mendebarkan
Bagai syahwat yang terbakar
dan menebar bara apinya
ke luar waktu -
Angin berkincir
Ruang bugil
Detik-detik istirah
Sejarah tiarap
Pada sebuah gumam
Di atas semacam tanah lapang
Masa kanak kita berceceran:
saat kita asyik menganyam sebuah kapal
dengan sisa daun kering dan lokan
dan kita berdesak di dalamnya
berlayar menuju sebuah dunia yang jauh
sejauh kita ada
sejauh kaki kita berpijak
Tidak. Di tikungan sajak ini tak kutemukan
sebuah sungai. Yang ada adalah sebentang lautan
luas tak bertepi;
makna berdebar seperti ombak
bergeriung seperti angin
berkecipak seperti kawanan ikan
dan kita tercebur
dan kita tenggelam di dalamnya. Di dalam sajak kita
Jakarta, 1999

DI TEBING WAKTU: MEDITASISebelum jagat raya diciptakan, apa yang dilakukan Tuhan?
Sunyi. Di teras: waktu merayap. Malam mengalir. Aku duduk
tapi melayang. Di langit berkeriap bintang-bintang. Dan di
jalan-jalan berkecipak perang. Seperti di hatiku. Mungkin juga
di hatimu
Dan aku ingat Stephen. Ia muncul dari bulatan asap rokok:
Membetulkan punggungnya pada kursi roda. Merogoh lubang hitam.
Menggemari lagi bangkai bintang-bintang yang berkerumun
di bawah bulu alisnya.
"Sebelum jagat raya diciptakan, apa yang dilakukan Tuhan,
Stephen? Membangun Surga? Merancang Neraka? Jauh sebelum
ayah dan ibumu berpengantin, di mana kau ada?"
Ia menyeringai. Dari bibirnya terbit sekerumun matahari. Mengajarku
tentang cara menjinakkan bumi. "Pertanyaan Anda waras,
untuk seorang yang berani gila," katanya.
2
Ia lalu mengajakku pergi. Jauh melayang; melompat dari bintang
ke bintang. Berguling-guling dari galaksi ke galaksi. Mengintip
lubang cacing. Membayangkan serbuk tubuh presiden yang terguling.
Di bawah telapak kaki ku berhambur bermiliar galaksi. Bagai butiran biji kedelai yang terburai. Seperti pecahan biji gunduk yang membercaki ruang. Seperti kepingan biji mutiara yang bersemai di sudut-sudut waktu.
"Lihat," katanya, menunjuk sebuah titik yang berdesak
di setumpuk cahaya. "Apa arti kau ada?"
Lalu ia pun bercerita: Dulu, di sebuah celah titik
yang jauh itu, ada sebuah pertengkaran:
di dekat Tanah Nod, jauh sebelum Zaman Es terakhir,
sebelum Colombus merajang Benua India. Sebelum Pizarro
menemukan Inca. Sebelum Bolivar menyembul di Tanah Caracas.
3
Menginjak sebutir detik yang nanar, aku mendadak kembali terlempar
ke satu celah di titik yang jauh itu: ke bumi. Ada bom meledak
di masjid-masjid. Menggelegar di gereja-gereja. Bergema ke dalam ruang sejarah-menyeretku lagi pada sebuah cerita:
Tentang suatu pertengkaran, jauh di sebuah bumi yang tua.
"Ketika bumi masih sebercak Kata, apa yang dilakukan Tuhan,
Stephen? Merakit algojo? Merancang pendeta? Anda tahu: siapa
presiden pemenang lomba, besok, di negeri saya?"
Ia, dituntun oleh wataknya, kembali menyeringai. Lalu kembali
mengajakku berputar. Berdiri di tebing waktu, menyapu
kemahaluasan ruang: Meluncur di tanah masa depan yang berkabut
menjelajah kota-kota masa silam yang berasap.
"Stephen, di manakah Tanah Air saya?"
Jakarta, 1999

PADA SEBUAH RESEPSI: PENGANTIN PURBA1
Ia datang dari sebuah dunia yang jauh
dari ubun-ubunku: "Ketika ayah dan ibumu berpengantin
di mana kau ada?"
Ruang pecah. Waktu berhambur
dan melengkung jadi sungai
Detik-detik mengucur deras
Berlari dari muara
Di tepinya aku menyusur
menyisir jejak yang tenggelam:
pada batu-batu
pada moyang rumputan
pada jam yang berlumut
detik-detik yang karatan.

2
Masa silam bagai kawanan serangga
merayap bangkit dari punggung jam:
Bukit-bukit cair
menciut lagi jadi puting
jalanan kelupas
berseruak belukar:
kadal, cengkerik, ular, dan belalang
mengerut lagi jadi telur
Pohonan surut
pulang lagi pada bijinya
Kotoran sapi melayang
ditelan lagi lubang anusnya
Kerut-kerut wajah luntur
Dunia kembali jadi muda.
3
Kampung-kampung tajam oleh bau dengkul dan garam
Dan kernyit pikulan para pedagang
dan celoteh ringan para petani
berhambur dari celah-celah waktu
dari detik-detik yang tersimpan
pada tabung ingatan. Atau semacam ingatan.

4
Sore terbit. Orang-orang baru pulang dari ladang
usai menanam harapan
pada biji-biji jagung dan kedelai
pada buncis, ketela, dan bungkah-bungkah garam:
Hari esok adalah butir-butir keringat
yang menetes dari kerja.

5
Langit gelap. Di bawah matahari yang bergeluyur jauh
ke rongga malam. Kudengar gamelan semayup bertabuh
Seperti kemerisik sisik ular di pohon ara.
Kidung tentang percintaan melilit telinga
dalam nada minor yang terjungkal
Angin berlari
menculik uap nasi
dan gurih asap lodeh
dari sebuah pesta yang basi.

6
Pelaminan terang:
Pengantin pria berblangkon
bersungkil keris Adipoday
Pengantin perempuan berkonde
berhias rantai kembang Putri Kuning
Ruang gaduh oleh celoteh pinisepuh
Senyum-senyum mekar seperti kembang
Juga tawa dan basa-basi murahan
Keanggunan-keanggunan yang dangkal.
Kusalami sepasang pengantin:
"Selamat hidup baru, Ayah.
Selamat hidup baru, Ibu.
Saya datang." Aku terisak
"Terima kasih. Anda siapa?"
"Tentu saja saya anakmu."
Ruang kembali pecah
Detik-detik terburai
Malam berlari
Di langit kudengar rohku mengerang
Surga meledak
Hanya Tuhan-sekiranya kudengar-
Diam-diam pun terisak
Sampai sekarang.
Jakarta, 2000


PADA TIDUR DI SEBUAH SORE"Izinkan aku berteduh di dalam mimpimu, Nak," kataku,
beberapa menit setelah ia lelap. Aku melangkah. Di luar,
udara rusuh. Pohon-pohon beringas. Kota-kota berasap. Kata-kata
tak henti berbiak: jadi angin, jadi api, jadi petir.
Sejarah berhambur-bagai rombongan kelelawar tersembur
dari ruang kastil tua. Di tanah para tukang sihir
Negeri horor. Negeri tukang banyol.
Di selatan, lebih jauh dari selatan. Di ujung mata angin
Anakku membangun rumah di atas kelopak kembang
Di pucuknya lagi, di celah rimbun daunan
matahari berpendar: menebar cahayanya yang hijau
"Sehijau mimpimu, Nak."
Anakku berlari riang
Bersama kelinci, bebek, dan kucing
Berpegangan tangan. Berpelukan-
Tawa berderai
Waktu tersucikan.
Di pinggir cakrawala. Di tapal batas antara bumi dan
kelopak mata. Kudengar tiba-tiba bom meledak-
Aku terlonjak dan melompat ke luar dari mimpinya:
Kota-kota koyak. Bumi retak
Sejarah berhambur
kental dan gelap.
Di kamar, di ruang dan waktu yang bergerak mengusung
gerimis sore. Anakku menggeliat. Kutatap wajahnya:
Wow! Pada keningnya sebilas cahaya matahari
masih berjejak. Suatu tanda:
Ada sesuatu yang masih berharga
ke arah gelap. Bahwa bumi masih
layak dipijak.
Jakarta, 2002

BERSYUKURLAH KAU TIDAK LAHIR DARI HUJAN- Untuk Orang Yang Tak Ada

Bersyukurlah kau tidak lahir dari hujan, sebab
langit tetap lebih teduh dibanding semua rumah yang terpacak
di bumi
Bukan, bukan soal di sini tak ada surga
tetapi di sini terlalu banyak neraka
bahkan di kamar tidurmu
Bumi ini, yang mewarisi pengetahuan pertama dari
darah Habil, bukan saja kampung yang kumuh,
tapi juga pedih
Bersyukurlah kau tidak lahir dari hujan
Jangan! sebab kulitmu terlalu halus untuk setiap debu dan kotoran
untuk semua mimpi dan harum bangkai
Bersyukurlah, dan jangan sekali-sekali bermimpi
untuk datang
Kubayangkan: di langit tubuhmu bening
bagai sepasang sayap kupu-kupu belum dilukis
oleh benda-benda, oleh pelbagai cuaca, oleh airmata
Bersyukurlah kau jadi orang yang tak ada
Bertahanlah terus untuk tak ada
Tak pernah ada!
Jakarta, 2003

SESEORANG BERDIRI DI TEPI SAJAKMUSeseorang berdiri di tepi sajakmu. Wajahnya sepi,
seperti sebuah kuil terpacak
di lereng bukit. Sepasang matanya kering,
seperti selongsong kulit laba-laba.
“Aku rindu kedamaian,” bisiknya.
Adakah ia seorang pertapa?
Ia tertegun: memandang kata-kata berbaris. Atau menikung,
seperti rel kereta api membelah tanah desa. Atau berkeriap,
seperti lampu-lampu di tengah kota-di sebuah negeri yang redup.
Negeri yang jalan-jalannya berputar. Atau melintir,
seperti rambut sebuah suku tua yang telah punah.
Adakah di sana terbentang kedamaian,
seperti yang ia impikan?
Agak ragu ia melangkah masuk: menyibak kata-kata.
Lalu, dengan terompah butut, ia pergi berkeliling kota:
menyaksikan karnaval hari kemerdekaan. Atau
menonton sirkus. Atau ikut menyisip ke tengah arak-arakan
demo-massa yang menuntut harga BBM turun,
atau gaji buruh naik.
Haus, ia minum air mancur di sebuah taman. Lalu tertidur,
sebelum dibangunkan oleh gerimis. Dua ekor anjing
menggigit ujung celananya-sebuah peristiwa yang
mendorongnya melompat, keluar lagi dari sajakmu.
Di luar pagar, pada tapal batas antara dunia dan kata-kata,
gonggong anjing masih bersahutan-menyembulkan
moncongnya dari sederet penanda. Ia tersengal,
menyapu peluh di keningnya, dan berbisik:
“Tak ada kedamaian.” Juga tidak dalam sajakmu.
Jakarta, 2003
HOMO TEXTUALISTelah kulayari laut, sungai. Telah kuceburi kali,
selokan, parit-parit, yang mengalir
dalam tubuhmu. Kupelajari segala jenis kerikil,
batu-batu; biji-biji emas, dan ikan-ikannya
Tetapi, sungguh engkaukah itu
Sungguh kaukah yang berdiri tersenyum
di dalam waktu?
Mungkin bukan. Mungkin kau cuma bayang-bayang
pikiranku. Kususun dari rasa-rasaku 
Kau hasil rajutan sebuah pikiran
Kau percik perasaan.
“Hallo! Kaukah itu. Sungguh kaukah yang berdiri
di depan pintu?” Kau yang baik, kau yang dungu?
Kau yang suci, yang berdebu? Mungkin bukan.
Kau angin yang berdesir, air yang bergerak,
kau batu yang berjalan
dalam diam: Kau tak bulat
Kau tak selesai.
Telah kulayari laut, sungai. Telah kuceburi danau,
rawa-rawa, parit-parit, yang bergericik
dalam tubuhmu.
Tapi, kadang kau tak ada
Kau cuma jejak.
Jakarta, 2005

TENTANG AHMAD NURULLAH
Ahmad Nurullah lahir di Sumenep, Madura, 10 November 1964. Selain menulis puisi, ia juga menulis cerpen, esai, dan kritik sastra. Kini ia tinggal di Cipayung, Jakarta Timur.

PUISI-PUISI AHDA IMRAN

ANJING HITAM MATA SATU

Ini leherku
tapi, katakan,

siapa yang mengutusmu?

2007


SEPANJANG JALANAN

Kutulis sajak ini di atas seekor kuda
ketika lorong-lorong angin menghembuskan
suaramu jauh ke ruang-ruang bawah tanah
di kejauhan mereka membuat senja
dari tanah air penuh bendera. Malam
seperti mulut para penghasut

Ketahuilah, sayang, kafe-kafe yang tenang
bukan lagi rumahku. Akulah penunggang
kuda dari negeri malam itu. Negeri
di mana dendam mesti dinyatakan,
menjadi hasrat untuk menemukan kata-kata
dari setiap butir debu di rambut anakku

Kuserahkan tubuhku pada semesta
kesedihan, seperti kegembiraan yang juga
datang padaku. Kuhadiri makan malam
para pejabat, anggota parlemen
dan panglima militer, rapat-rapat partai,
dan pertunjukan teater. Kau tahu,
mereka menganiayaku, hanya karena
aku masih punya telinga


Juga ketahuilah, sayang, ketika sampai aku
pada bait ini, kudaku sedang berlari kencang
melebihi kata-kata yang menjemput para penyair
dan paderi di ruang-ruang bawah tanah itu
kumasuki kota dan perkampungan dari sudut
yang paling tak terduga, ketika orang-orang
berkomplot membuat tanah air yang lain
dari sejarah

yang tak pernah punya telinga

2004


SUNGAI BARITO

Sungai ini seolah tak bergerak
tak mengingatkanku pada negeri di mana pun
di Muara Kuin aku menemukan tubuh perempuan
adalah perahu. Membawa limau, pisang, kelapa,
semangka, dan labu. Mereka berkerumun,
bergumam, mendayung

Keringatnya jatuh di air

Alun sungai, perahu beradu
dan bergesekan, terapung. Di kejauhan deretan
gudang-gudang kayu, ibu yang menyabuni
anaknya, lelaki yang menggosok gigi,
dan seorang gadis yang keluar
dari dalam air

Sungai ini tak membawaku ke mana pun
Oyos dan Ari berdiri di atap perahu
dengan tustelnya. Di perahu yang lain Joni
melambai. Saut berdiri dengan rambut gimbal,
mirip hantu sungai. Seiko, gadis Jepang itu,
sibuk mencatat hikayat Suriansyah, leluhur
negeri Banjar. Katrin menelepon
Oma-nya di Jerman

"Kata Oma, di Meksiko ada juga pasar
seperti ini."

Aku memesan kopi dan mengunyah
pundut dari warung perahu yang mencuci
gelas dan piringnya ke dalam sungai
kubayangkan keringat perempuan-perempuan
atas perahu itu masuk ke dalam tubuhku,

mendayung rohku ke lubuk air

Oyos dan Ari masih memotret. Seiko
masih mencatat Suriansyah. Katrin masih
bercerita tentang Oma-nya, tentang sungai
di Meksiko. Tapi sungai ini tak mengingatkanku
pada siapa dan pada tempat di mana pun
perempuan-perempuan atas perahu itu telah
membawaku ke dalam tubuhnya

Di Muara Kuin,
keringat kami jatuh di air ...

2007


AKU MENULIS

Ketika malam menarik senja
dengan kasar
ketika hujan tak sampai
ke sungai
ketika ikan-ikan yang menggelepar
ditinggalkan

Aku menulis dengan tangan
yang sakit. Orang-orang terus bicara,
seperti ada tikus dalam mulutnya
setiap malam, mereka mencuri
sebatang pohon dari tubuh anakku
setiap pagi, mereka membuat
komplotan-komplotan baru

Aku menulis dengan tangan
yang sakit. Langit kering dan kaki-kaki
jembatan mengelupak. Kota penuh bendera,
suara telepon genggam, dan anak-anak muda
yang menginjak-injak potret presiden

Aku menulis dalam tahun-tahun
yang genting. Hari dan angin menderu,
menghembuskan abu dan patahan-patahan
gigi mayat. Kota perlahan tenggelam
ke dalam malam, seperti peti mati
yang mulai diturunkan, ketika
mereka membakar

seluruh pohon di tubuh anakku

2003


SEMANGGI

Meminjam tubuhmu dari jalanan
penuh tentara dan mahasiswa: Aku penari
dengan kening yang retak. Ranting angin tumbuh
dan menjulur dari gelap yang bergesekan,
mengirimkan ribuan tubuhmu yang lain, menjadi
daun, kolam, dan mayat-mayat. Seorang anak
menemuiku pada siang yang membosankan,
membawa air susu ibunya yang telah berubah
menjadi mesiu

Meminjam perasaanmu ketika orang-orang
membawa besi, belati, dan batu. Aku menari memunguti
jemari tangan dan ali matamu yang hancur. Bukit-bukit
jauh mengepung senja, menariknya dengan kasar
gelap bergesekan di daun telinga dan kulit kepalamu
angin menjulur dari ranting dan pepohonan yang murung,
mengirimkan seorang ibu padaku, dengan helai-helai
rambutnya yang berubah

menjadi ribuan ular

1998


PAPUA

Lalu seluruh lembah mengeluarkan pekiknya
sakit yang sampai ke lubuk sungai. Pulau-pulau
karang berwarna toska, padang-padang rumput,
danau, dan pegunungan yang menjulang

Rumbewas mengunyah pinang, meludahkan
airnya pada batu, seperti percik darah
tubuhnya penuh hutan-hutan sagu
yang terbakar

Kapal mereka terus datang membawa beras,
perempuan dan minuman keras, lalu mengangkut
kami punya gaharu dan emas

Tapi ia terus memukul tifa
irama derap kaki dan bumi

Ratna, Jamal dan Alwy ramai-ramai
berfoto bersamamu untuk kenang-kenangan,
lalu kami mencari patung antik, tombak, tifa,
panah, dan membeli koteka sambil tertawa
di toko-toko milik orang Bugis

Di langit yang kosong
seekor burung melayang, menukik,
dan membenturkan tubuhnya ke batu karang
tapi Rumbewas terus menari, membuat
putaran dan jeritan. Bulu-bulu burung
kaswari di tubuhnya meneteskan darah,
dan hari yang selalu malam

Ketika purnama naik,
ketika orang-orang terus membakar
pohon-pohon di tubuh anaknya,
dengar pekiknya di lubuk sungai!

Lembah-lembah yang dingin,
pegunungan yang menjulang,

dan sebuah tarian perang

2005


PIDIE
buat Cut Fatmah Hassan

Daun-daun menulis di kerudungmu, Inong
syair-syair ratusan tahun ketika kata-kata
menjelma ribuan rencong, mengubah hujan
menjadi hidup yang sesungguhnya, menjadi angin
yang mengelus punggungmu, lenyap ke dalam rimba-rimba
jauh. Ada banyak malam pepohonan menyimpan nafasmu,
menyerahkannya pada sungai nan gaduh
berkata dingin dan parau

Tuan-tuan dari Jawa ...

Ada banyak malam tubuhmu meliuk
bersama seluruh kesedihan, melayang ke dalam
rentak hujan, garis-garis yang bergelombang, melepas
kain bajumu, menjadi syair ratusan tahun ketika hidup
yang sesungguhnya adalah menyihir air mata menjadi
ribuan rencong

Sungai-sungai menangis di kerudungmu, Inong
membawa sejarah itu kembali, tiang-tiang meunasah
yang terbakar, juga percakapan yang penuh penipuan,
seperti Pang Laot. Lenyap ke dalam rimba-rimba jauh,
kau sembahyang bersama para leluhur. Dan lubang
peluru di tengkorak kepala itu mengeluarkan gema
yang dibawa sungai-sungai

Tuan-tuan dari Jawa ...

1999


PERNYATAAN

Ini wajahku. Bawa ke laut,
lalu kenanglah!

Sepanjang abad perut ikan-ikan
menyimpannya. Menyerahkannya
pada nafas para nelayan.

Jangan menjemputku di pulau
dengan rindu
karena rindu telah kuserahkan
pada suara laut paling jauh

Ini tubuhku
bawa ke dalam kabut
lalu catatlah!

Burung-burung
menjeritkannya, angin mengurainya
para pemberontak menyebutnya
cahaya!

Jangan memanggilku dari keheningan
karena rumahku adalah percik api
dari ribuan kaki-kaki kuda!

Ini seluruhnya untukmu
tapi pulanglah padaku, seperti juga
aku datang padamu

Atau kita sama-sama membakar saja rumah ini!

2003


KUTULIS LAGI SEBUAH PUISI

Kutulis lagi sebuah puisi
mungkin untukmu, mungkin juga bukan
kata-kata selalu punya banyak kemungkinan,
seperti waktu, seperti tubuhmu. Banyak hari
yang tak bisa lagi kuingat padahal aku mesti
segera berangkat. Kupastikan aku akan sampai
di pulau berikutnya, tepat ketika kau
sampai di seberang sungai

Kupastikan juga ada sebuah kesedihan
yang aneh menempel di setiap helai rambutku
tapi entah apa. Mungkin ingatan pada mereka
yang meninggalkanku karena
kebencian atau kematian

Kutulis lagi sebuah puisi
mungkin untukmu, mungkin juga bukan
dalam tubuhmu kata-kata adalah waktu, irama
yang cemas dan bimbang, janji yang tak beranjak
pergi. Tidak bersama siapa pun, aku telah berada
di lubuk malam. Ingatan padamu menjadi air
yang menetes dari jemari tangan. Banyak hari
yang tak bisa lagi kuingat sebagai apa pun
tapi telah lama kupastikan, aku akan sampai
di sebuah pulau berikutnya, kampung halaman
dari seluruh ingatan. Tepat setelah
kau membaca puisi ini

dari seberang sungai

2007


DI PINTU ANGIN

Di pintu angin
orang-orang menari di permukaan air
gemerincing gelang kaki mereka menahan
perpindahan burung-burung. Ikan dan ular-ular
air melepas seluruh sisiknya, sebelum sampai
sungai ke pusat muara. Sebelum tanganku

menyentuh rambutmu

Di seberang air
di atas padang-padang lengang,
aku melihat tubuhmu terurai. Garis
pembatas surut, pulau-pulau menetes,
lalu dentang lonceng mengirim kembali
hujan ke seluruh lembah
dan ngarai

Di pintu angin
orang-orang masuk ke dalam air
gemerincing gelang kaki mereka tertinggal
di tubuhku. Di padang-padang lengang, dalam
kabut yang ganas, aku menari bersama arwah
ibu dan bapakku. Tapi perpindahan burung-burung
tak pernah sampai ke seberang air. Sedang
tanganku masih terulur

ke arah rambutmu

2008 


SESUATU SEDANG TERJADI

Sesuatu sedang terjadi. Orang-orang
berkumpul di dermaga, bersiap berangkat
tapi entah hendak ke mana dan entah
untuk apa. Seperti hujan yang terus turun
berhari-hari, pertanyaan-pertanyaan
membuat mereka menjadi bosan,
cepat merasa lelah dan selalu
menggerutu

Malam menyimpan tubuhnya
di punggungku, bersama pepohonan
yang rebah. Di permukaan danau
seekor ular melintas, membelah
bayang bulan

Sesuatu sedang terjadi. Bayi-bayi lahir
dengan lidah bersisik, dan ibu mereka adalah
burung-burung gagak. Tengah hari,
di sebuah kota, pertanyaan-pertanyaan
memandangku dengan gelisah. Lalu
seperti biasanya seorang terbunuh,
dan seperti biasanya juga: Kami
membakarnya. Entah mengapa
dan entah untuk apa

Sesuatu sedang terjadi. Orang-orang
meninggalkan bayi mereka di tengah hutan
dalam sepatuku bayi-bayi itu terus menangis
dan kedua tangannya lumpuh

Hari selalu menjadi malam. Orang-orang
masih berkumpul di dermaga. Entah hendak
ke mana dan entah untuk apa. Mata mereka
berlubang

seperti kuburan

1999-2006


HUJAN SEGERA DATANG

Hujan segera datang
dengan bunga di sepatunya
bukit-bukit memberi jalan,

burung-burung menjemputnya

Dengan tenang,
aku menulis puisi
menemui nama-nama

Hujan segera datang
dengan bunga di sepatunya
padang rumput terbelah
tubuhkku penuh gemerincing

Dengan tenang,
aku menulis puisi
menyembahyangkan

nama-nama

1999-2006


DI LUAR PERCAKAPAN

Bayangkan sebuah hari
ketika kita berpisah, ketika angin
tertumbuk di kamar lengang,
ketika sebuah pintu

dihempaskan

Jika masih kau di sini, pergilah ke balik
suara-suara malam. Di situ, di bawah tanah,
kusimpan sebuah kamar dan seorang perempuan
yang muncul dari cermin. Di situ, akan
kau temukan separuh tubuhku yang lain, menjadi
penduduk sebuah negeri yang selalu ramai
dengan kata-kata, para budak, dan majikan
yang menyebalkan

Ketahuilah, banyak hari yang tak bisa
kaukisahkan padamu. Kusimpan dalam gelap
perut ikan-ikan. Banyak hari di mana aku
telah pergi diam-diam, mengeluh di sebuah
kamar, menyalakan lampu, dan kutemukan
sejarah yang lain dalam tubuhmu,
di luar percakapan kita

Bayangkan sebuah hari
ketika kita terpisah, ketika kau temukan
separuh tubuhku yang lain, menjadi budak
yang malang di negeri kata-kata

yang selalu kehilangan manusia

2006


TENTANG AHDA IMRAN

AHDA IMRAN lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat, namun tumbuh dan besar di Cimahi. Kumpulan puisinya Dunia Perkawinan (1999). Sejumlah puisinya juga diterbitkan dalam antologi puisi bersama. Setiap pekan menulis repotase budaya, ulasan, kritik, esai, dan kolom, di Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung.