Selasa, 28 April 2015

KUMPULAN PUISI KARYA JOKO PINURBO 1998

Kata-kata adalah kurcaci yang muncul tengah malam
dan ia bukan pertapa suci yang kebal terhadap godaan.

Kurcaci merubung tubuhnya yang berlumuran darah
sementara pena yang dihunusnya belum mau patah.
(1998)

Iring-iringan panser mondar-mandir di jalur-jalur rawan
di seantero sajakku. Di sebuah sudut yang agak gelap
komandan melihat kelebat seorang demonstran
yang gerak-geriknya dianggap mencurigakan.
Pasukan disiagakan dan diperintahkan untuk memblokir
setiap jalan. Semua mendadak panik. Kata-kata kocar-kacir
dan tiarap seketika. Komandan berteriak: “Kalian sembunyikan
di mana penyair kurus yang tubuhnya seperti jerangkong itu?
Pena yang baru diasahnya sangat tajam dan berbahaya.”
Seorang peronda memberanikan diri angkat bicara:
“Dia sakit perut, Komandan, lantas terbirit-birit
ke dalam kakus. Mungkin dia lagi bikin aksi di sana.”
“Sialan!” umpat komandan geram sekali, lalu memerintahkan
pasukan melanjutkan patroli. Di huruf terakhir sajakku
si jerangkong itu tiba-tiba muncul dari dalam kakus
sambil menepuk-nepuk perutnya. “Lega,” katanya.
Maka kata-kata yang tadi gemetaran serempak bersorak
dan merapatkan diri ke posisi semula.
Di kejauhan terdengar letusan, api sedang melahap
dan menghanguskan mayat-mayat korban.
(1998)

Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah
ketika hari masih remang dan hujan, hujan
yang gundah sepanjang malam
menyirami jejak-jejak huruf yang bergegas pergi, pergi
berbasah-basah ke sebuah ziarah.

Bercak-bercak darah bercipratan di rerumpun aksara
di sepanjang via dolorosa.
Langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara.
Sepasang perempuan (panggil: sepasang kehilangan)
berpapasan di jalan kecil yang tak dilewati kata-kata.

“Ibu hendak ke mana?” Perempuan muda itu menyapa.
“Aku akan cari dia di Golgota, yang artinya:
tempat penculikan,” jawab ibu yang pemberani itu
sambil menunjukkan potret anaknya.
“Ibu, saya habis bertemu Dia di Jakarta, yang artinya:
surga para perusuh,” kata gadis itu sambil bersimpuh.

Gadis itu Maria Magdalena, artinya: yang terperkosa.
Lalu katanya: “Ia telah menciumku sebelum diseret
ke ruang eksekusi. Padahal Ia cuma bersaksi
bahwa agama dan senjata telah menjarah
perempuan lemah ini.
Sungguh Ia telah menciumku dan mencelupkan jariNya
pada genangan dosa di sunyi-senyap vagina;
pada dinding gua yang retak-retak, yang lapuk;
pada liang luka, pada ceruk yang remuk.”

Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah
ketika hari mulai terang, kata-kata telah pulang
dari makam, iring-iringan demonstran
makin panjang, para serdadu
berebutan kain kafan, dan dua perempuan
mengucapkan salam: Siapa masih berani menemani Tuhan?
(1998)

Pasar sentir. Tempatnya di bawah pohon beringin
di alun-alun kota kami yang kecil dan tenang.
Saya suka iseng main ke sana
mengamati tingkah seorang lelaki yang sering datang
menemui perempuan gembrot yang tawanya ngakak
dan mata-kucingnya selalu tampak membelalak
di antara kerumunan nyala lampu, jerit radio,
dan gemeremang suara orang-orang kesurupan.

Ia lelaki misterius. Kadang mengaku paranormal.
Kadang menyebut dirinya pelukis besar.
Tapi banyak yang bilang ia penyair yang gagal.
Ia suka minum, meracau, dan kalau mabuk
tubuhnya yang tambun terhuyung-huyung
kemudian ambruk di pangkuan perempuan gembrot
yang selalu sabar mendengarkan
bualan-bualannya yang gombal.

Malam itu ia bawa uang lima ribu buat beli jas merah
sebab ia akan pesiar ke tempat yang indah.
“Jas ini memang pas untukmu.
Cocok buat membajul atau cari gandengan,”
kata perempuan antik itu setengah menggoda,
tapi lelaki nyentrik itu pura-pura tak tergoda.

Terang bulan. Dengan jas bekas dan celana kolor hitam
ia bersiap pergi jalan-jalan cari hiburan.
“Malam sangat dingin, Pangeran. Mau melancong ke mana?”
“Aku mau cari jangkrik di kuburan.”

Sampai keesokan paginya lelaki itu masih tertidur pulas
di antara batu-batu nisan dengan bir di tangan
sambil mendengarkan bunyi jangkrik yang krakkrik-krakkrik
dalam celananya yang kedodoran.
Di lain tempat perempuan itu masih terbaring nyenyak
di atas tumpukan barang-barang dagangannya,
sementara lampu sentirnya masih menyala.

Malamnya ia sudah mangkal lagi di sana.
Dan perempuan bawel yang sangat kemayu itu
menyambutnya dengan senyum rahasia.
“Bunyi jangkrikmu terdengar juga dalam tidurku.”

Pasar sentir. Saya selalu kangen untuk mampir.
Saya anak jadah, calon penyair.
Saya tidak bilang bahwa lelaki tambun itu mungkin ayahku
dan perempuan gembrot itu mungkin ibuku.
(1998)

Ketika pulang, yang kutemu di dalam rumah
hanyalah ranjang bobrok, onggokan popok, bau ompol,
jerit tangis berkepanjangan, dan tumpukan mainan
yang tinggal rongsokan.
Di sudut kamar kulihat Ibu masih suntuk berjaga
menjahit sarung dan selimut yang makin meruyak koyaknya
oleh gesekan-gesekan cinta dan usia.

“Di mana Ayah?” aku menyapa dalam hening suara.
“Biasanya Ayah khusyuk membaca di bawah jendela.”
“Ayah pergi mencari kamu,” sahutnya.
“Sudah tiga puluh tahun ia meninggalkan Ibu.”
“Baiklah, akan saya cari Ayah sampai ketemu.
Selamat menjahit ya, Bu.”

Di depan pintu aku berjumpa lelaki tua
dengan baju usang, celana congklang.
“Kok tergesa,” ia menyapa.
“Kita mabuk-mabuk dululah.”
“Kok baru pulang,” aku berkata.
“Dari mana saja? Main judi ya?”
“Saya habis berjuang mencari anak saya,
tiga puluh tahun lamanya.
Sampeyan sendiri hendak ngeluyur ke mana?”
“Saya hendak berjuang mencari ayah saya.
Sudah tiga puluh tahun saya tak mendengar dengkurnya.”

Ia menatapku, aku menatapnya.
“Selamat minggat,” ujarnya sambil mencubit pipiku.
“Selamat ngorok,” timpalku sambil kucubit janggutnya.
Ia siap melangkah ke dalam rumah,
aku siap berangkat meninggalkan rumah.
Dan dari dalam rumah Ibu berseru: “Duel sajalah!”
(1998)

Hari sudah petang ketika maut tiba di ranjang.

Orang-orang partai yang mengantarnya ke situ
sudah bubar, bubar bersama para serdadu
yang mengalungkan kawat berduri di lehernya
dan membuang tubuhnya tadi siang.

Hanya ada seorang perempuan sedang sembahyang
berkerudung kain kafan
dan menggelarnya bagi raga yang capai.
“Bapa, belum selesai. Entah kapan saya sampai.”

Hanya ia yang tawakal
menemani ajal,
menyiapkan pembaringan
buat tidur seorang pecundang:
warga tanpa negara, tanpa agama.

Hanya ia yang mendengar sekaratnya.

“Telah kuminum anggur
dari darah yang mancur.
Telah kucecap luka
pada lambung yang lapa.
Di tubuh Tuhan kuziarahi
peta negeri yang hancur.”

Maut sudah kosong
ketika mereka hendak menculik mayatnya.
Hanya ada seorang perempuan
sedang membersihkan salib di sudut ranjang.
“Ia sudah pergi ke kota,” katanya,
“dan kalian tak akan bisa lagi menangkapnya.”
(1998)

Tiba di ranjang, setelah lama menggelandang,
ia memasuki daerah terlarang.

Ranjang telah dikelilingi pagar kawat berduri
dan ada anjing galak siap menghalau pencuri.
“Kawasan Bebas Seks,” bunyi sebuah papan peringatan.

Tak terdengar lagi cinta. Tak terdengar lagi ajal
yang meronta pada tubuh yang digelinjang nafsu
dalam nafas yang mendesah ah, melenguh uh.

Memang ada yang masih bermukim di ranjang:
merawat ketiak, mengurus lemak, dan dengan membelalak
ia membentak: “Pergi! Tak ada seks di sini!”

“Kau kalah,” katanya. “Dulu kautinggalkan ranjang,
sekarang hendak kaurampas sisa cinta yang kuawetkan.”

“Tunggu pembalasanku,” timpalnya.
“Suatu saat aku akan datang lagi.”

“Kutunggu kau di sini,” ia menantang,
“akan kukubur jasadmu di bawah ranjang.”

Ia pun pergi meninggalkan daerah terlarang
dengan langkah seorang pecundang.

“Tunggu!” teriak seseorang dari dalam ranjang.
Tapi ia hanya menoleh sambil mengepalkan tangan.
(1998)

Pada suatu petang ia datang ke taman
yang terhampar hijau di atas ranjang.

Ia mencopot baju, menyalakan lampu
kemudian membaca buku di atas makam.

“Ini tempat suci. Dilarang membaca buku porno
di sini,” kata seseorang dari balik nisan.

Ia lari tunggang langgang sebelum sempat
mengenakan kembali pakaian.

Ia perempuan gila, dulu pernah memperkosa
Adam dan menghabisinya di atas ranjang.
(1998)

Ranjang bergoyang sepanjang malam.

Mungkin sepasang nyawa, sepasang singa
sedang tempur.
Atau sepasang maut sedang perang.

Ranjang bergoyang sepanjang malam.

Padahal cuma ada sepasang celana
teronggok putih di bantal hitam.
(1998)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar