Sabtu, 14 Juni 2014

KRITIK SASTRA DI ERA MATINYA KRITIKUS

A.          Kritik Sastra di Era Matinya Kritikus

Sastra Indonesia mutakhir tumbuh nyaris tanpa kritik. Pernyataan ini, dengan berbagai variasinya, sudah sering kita dengar di meja seminar maupun lembar sastra koran edisi Ahad. Bisa jadi, ini terlampau menyederhanakan. Sebab pada kenyataannya masih ada satu-dua kritik sastra yang ditulis, baik oleh kalangan akademisi sastra maupun oleh penulis sastra yang merangkap sebagai “kritikus”. Tetapi jika kita mengharapkan ada keseimbangan antara produksi karya sastra dan produksi kritik sastra, pernyataan itu memang benar adanya. Artinya, kita memerlukan lebih banyak lagi kritik sastra untuk mengimbangi pertumbuhan karya sastra yang kian menyubur akhir-akhir ini. Sejenis kritik sastra yang bukan melulu sebagai juru kampanye bagi si pengarang, tetapi sebagai lawan tanding baginya dan karyanya.
Meski pernyataan prihatin tersebut bukan kabar baru, siapakah sesungguhnya yang percaya bahwa memang telah dan masih terjadi krisis kritik sastra di negeri kita? Sejauh pantauan saya, pihak yang suka meniupkan berita tentang krisis kritik sastra itu kebanyakan, kalau bukan seluruhnya, adalah para sastrawan atau penulis sastra di luar tembok akademis. Sementara di kalangan akademisi sastra, sangat mungkin isu krisis kritik sastra dipandang sebagai sekadar gunjingan tak berdasar. Tak ada krisis kritik sastra, atau kalau pun ada, situasinya tidak parah-parah amat, kurang-lebih demikanlah yang diyakini oleh akademisi sastra, misalnya Maman S. Mahayana. Menjawab pertanyaan wartawan Jurnal Bogor, Dony P. Herwanto, dosen sastra Indonesia di Universitas Indonesia ini menolak tegas sinyalemen lawas tentang krisis kritik sastra Indonesia. Kata Maman:
Jika masih ada yang beranggapan bahwa kritik sastra Indonesia mengalami krisis, jawabannya ada tiga kemungkinan (1) dia tidak memahami hakikat dan kategori kritik sastra, (2) dia tidak membaca sejarah, dan (3) tidak memahami kritik sastra sekaligus tidak tahu sejarah dan sekadar cari sensasi yang sebenarnya sudah sangat basi. Isu tentang kritik sastra mengalami krisis, itu isu yang - seperti tadi saya katakan - sangat basi, usang, dan kedaluwarsa. Lihatlah sejak awal tahun 1930-an, berapa banyak esai sastra, resensi buku sastra, biografi sastrawan, ulasan atas karya sastra. Itu semua adalah bagian dari kritik sastra.
Pandangan senada, meski tidak kelewat optimis seperti Maman, dikemukakan oleh Anton Suparyanto, pengajar di Universitas Widya Dharma Klaten. Ia mengakui ada masalah dengan kesehatan kritik sastra kita secara umum, tapi tak urung menyebut belasan jurnal kampus dan media terbitan lembaga formal bahasa/sastra di Indonesia yang “secara rutin eksis menawarkan kritik sastra yang cenderung ilmiah ataupun ilmiah populer”.
Lazimnya, arena bermain kritik sastra terbagi dua: akademis dan non-akademis. Ada kritik sastra akademis dan ada kritik sastra non-akademis. Keduanya sampai hari ini memang terus diproduksi, tapi juga terus dipandang bermasalah. Kritik sastra akademis katanya sulit diakses kalangan di luar kampus, pembahasannya formal, kering, kaku, mengintelektualkan sastra, mengabaikan spirit kreatif sastra, memperbudak sastra demi teori dsb. Kritik sastra non-akademis konon cenderung dangkal, picik, bias, memanjakan kata-hati, menyesatkan dsb. Kita semua sudah tahu cerita ini. Pendek kata, ada suasana kebatinan bahwa, meminjam ungkapan Saut Situmorang, “dunia sastra Indonesia, mulai sejak zaman Balai Pustaka … hanya mengenal satu ‘krisis’ saja dan itu masih terus berlangsung sampai hari ini, yaitu krisis kritikus sastra”.
Selain kualitasnya yang dirasa kurang, rendahnya kuantitas kritik sastra juga mendasari munculnya diagnosa umum tentang krisis kritik sastra Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum, suburnya penciptaan dan apresiasi sastra mutakhir ini belum dapat diimbangi dengan telaah sastra yang memadai, apalagi untuk dapat berkembang menjadi tradisi pemikiran pelbagai wacana sastra. Telaah sastra masih menjadi barang langka. Jika pun tumbuh, ia hanya menjadi kegiatan akademis yang sangat terbatas jangkauannya. Di saat yang sama kita juga tidak memiliki majalah atau jurnal yang benar-benar menyediakan dirinya untuk telaah sastra. Adapun lembar sastra di koran-koran hanya bisa menyediakan ruang yang sangat terbatas untuk keluasan dan kedalaman yang dibutuhkan sebuah telaah. Ya, meminjam jargon Thomas Robert Malthus, telaah sastra tumbuh menurut “deret hitung”, karya sastra berkembang menurut “deret ukur”.
Di tengah isu krisis kritik sastra, hasil rangkaian sayembara kritik sastra DKJ justru menunjukkan adanya perkembangan positif, bahkan mungkin kemajuan, di lapangan kritik sastra kita. Kajian-kajian sastra yang menjadi finalis sayembara pada 2006 dan 2009 membentangkan keragaman objek, keanekaan cara pandang dan kekayaan metode penelaahan – suatu panorama diskursif yang saya yakin tidak pernah muncul dengan sedemikian mengesankan di dunia kritik sastra kita pada abad lampau. Dosen Universitas Airlangga Surabaya, misalnya, secara tidak langsung menyangkal teguran keras Saut Situmorang kepada para dosen sastra yang suatu ketika dianggapnya menunjukkan prestasi “sangat memalukan” karena “mutu analisis sastranya tidak bisa memuaskan kritikus asing seperti A. Teeuw”.
Betapa pun, mendung krisis kritik sastra masih dirasakan pekat merundung ranah kesusastraan kita. Tetapi mari kita renungkan: Tanpa diimbangi kritik sastra yang sehat secara kuantitas maupun kualitas, apakah “pertumbuhan karya sastra yang kian menyubur akhir-akhir ini” lantas serupa timbunan lemak yang berbahaya bagi kesehatan kesusastraan kita? Apakah ketimpangan antara produksi kritik sastra dan produksi karya sastra menimbulkan semacam inflasi yang memurukkan ekonomi kesusastraan nasional? Tanpa kritik sastra, benarkah karya sastra akan hidup kesepian, iseng sendiri dan mati meranggas? Saya yakin, para sastrawan akan menjawab lantang: Tidak, kritik sastra boleh sakit atau mati, tapi gairah bersastra kami terus menyala, iklim usaha sastra kita tetap sehat-sehat saja dan prospeknya kian cerah. Kritik sastra kita sudah lama divonis mengidap krisis, tapi karya sastra kita tak pernah krisis, sebaliknya bahkan kian semarak saja, terlebih dengan terbukanya medan publikasi alternatif di internet
Jangan-jangan, para pengarang dan publik sastra kita – diam-diam atau tanpa disadari – sudah tak butuh kritik sastra. Lihatlah, kritik sastra konon perlu diproduksi, tapi ternyata tidak harus dikonsumsi. Kadang-kadang kritik sastra dicicipi untuk sekadar diludahkan di muka umum alias dicemooh belaka. Di tengah lautan produsen dan konsumen karya sastra Indonesia di masa kini, berapakah pembaca buku kritik sastra yang jarang-jarang diterbitkan itu? Kalau mengacu kepada angka penjualan buku Epifenomenon: Telaah Sastra Terpilih (2005), maka jawabannya jelas: sedikit sekali. Buku kritik sastra adalah langka, dan peminatnya tak kalah langka
Jika ada krisis kritik sastra, berarti produksi kritik sastra perlu didorong dan disemangati. Anehnya, ikhtiar menulis kritik sastra, betapa pun terbatasnya upaya itu, mudah sekali diremehkan atau bahkan dicaci-maki. Betapa sering saya dengar bahwa kritik sastra X sok ilmiah, pseudo ini-itu, mentah, kering, terlalu dangkal dan gampangan, terlampau ruwet dan bikin pusing, tuna metode analisis atau over-filosofis; bahwa kritikus sastra Y sok pintar, pamer hafalan, pengutip jargon dan pemulung teori belaka, malas menyelami karya atau kelewat berlebihan menafsir karya, penuh prasangka, mengutamakan perkoncoan dan perkubuan, tukang memperbudak sastra demi interest non-sastra, tukang jagal pencincang karya, tukang lap yang “melulu sebagai juru kampanye bagi si pengarang” dsb
Kadang saya merasa bahwa di tengah paceklik kritik sastra, kritik terhadap kritik sastra seringkali lebih pedas daripada kritik terhadap karya sastra. Bagaimana jika orang makin malas menulis kritik sastra? Jika kritik sastra lenyap dan kritikus sastra punah, apakah masyarakat sastra akan merasa rugi dan kehilangan? Betulkah kita butuh kritik sastra dan kritikus sastra?

B.           Era Kematian Kritikus
Kritikus sudah mati, kata Ronan McDonald dalam The Death of the Critic. Era kritikus sebagai penentu selera publik dan konsumsi kultural telah berlalu. Dulu, khususnya pada masa puncak Modernisme pada abad 20, kritikus seni (termasuk kritikus sastra) menduduki peran hierarkhis sebagai figur yang dipandang lebih tahu tentang seni daripada orang kebanyakan, sosok panutan yang pendapat atau penafsirannya diyakini berbobot istimewa. Pada era posmodern pada abad 21 sekarang, aspek hierarkhis tersebut kian pudar ditelan perubahan besar dalam relasi sosial dan pergeseran sikap masyarakat terhadap nilai dan penilaian seni. Kritikus bukan lagi ia yang berkuasa menentukan ukuran mutu atau nilai seni dan mengarahkan perhatian dan apresiasi khalayak ramai terhadap suatu kreasi artistik. Tak ada lagi kritikus seni yang wibawanya mampu membaptis prestasi seniman, seperti Clement Greenberg terhadap Jackson Pollock, John Ruskin terhadap Turner, Kenneth Tynan dan Harold Hobson terhadap drama “Menunggu Godot” Samuel Beckett. (Bisa kita tambahkan: H. B. Jassin terhadap Chairil Anwar, Dami N. Toda terhadap Sutardji Calzoum Bachri.)
Kini palu penilaian seni telah menyebar, tak lagi berada dalam genggaman kritikus semata. Pemirsa/pembaca juga berkuasa menilai karya, tak jarang bahkan lebih berwibawa daripada kritikus atau pakar seni. Peran dan otoritas kritikus sebagai penentu nilai artistik telah diambil-alih oleh khalayak umum.
Dewasa ini, respons terhadap seni mengalami demokratisasi besar-besaran. Kritik evaluatif kian dipandang sebagai urusan selera pribadi. Nilai artistik makin menjadi soal suka atau tak suka belaka. Bahkan nyaris dalam hal apapun, kini pendapat semua orang dianggap sama berharganya.
Internet berperan besar mendorong demokratisasi kultural dan memudarkan aura kritikus. Merebaknya cara-cara “mengulas” baru yang ditawarkan oleh berbagai aplikasi jejaring sosial seperti Twitter dan situs-situs ulasan amatir seperti Yelp, dalam pengamatan Brian Hieggelke, kian menguatkan pandangan bahwa kritik gaya lama telah kehilangan audiens dan relevansi. Kritikus makin tidak dibutuhkan, karena kini semua orang bisa menjadi kritikus. Everyone’s A Critic, kata Hieggelke. Berkat “demokratisasi” di dunia maya (cyberspace), siapa pun bisa menjadi kritikus yang berhak mengevaluasi puisi siapa pun, dan melegitimasi siapa pun yang ingin menjadi penyair. Di negeri kita, tongkat otoritas kritikus sastra telah direbut oleh redaktur budaya koran/majalah, dan kini terlempar ke kerumunan khalayak. Nilai sastra kini bisa dirembuk dan disepakati oleh kedaulatan publik, tanpa perlu melibatkan otoritas kritikus sastra.
Disiplin kajian budaya (cultural studies) dituding McDonald ikut membunuh kritikus sastra. Pengaruh kuat cultural studies dalam ilmu sastra telah mengauskan kritik sastra, membuat kritik sastra kehilangan fungsi evaluatifnya, tak bisa lagi menilai bagus-buruknya karya. Pasalnya, cultural studies menganggap “bagus” dan “buruk” sebagai kategori-kategori yang mengidap bias politis, suatu pelabelan yang menyembunyikan dan melestarikan agenda kekuasaan. Dalam pandangancultural studies, mengatakan bahwa karya tertentu “bagus” selalu patut dicurigai mengusung nilai dan kepentingan pihak berkuasa.
Di negeri kita pun, kekhawatiran terhadap gencarnya invasi cultural studies ke wilayah kritik sastra juga merebakkan keprihatinan. “Cultural studies,” kata Zen Hae dalam buku Dari Zaman Citra ke Metafiksi, “cenderung menempatkan karya sastra sebagai dokumen sosial belaka dan tidak lebih tinggi atau lebih penting daripada dokumen sosial yang lain”. Bersama pemberhalaan teori (overtheorizing) di kutub lain, godaan dari kutub cultural studies dapat mengakibatkan kritik sastra tak mampu menjangkau “sosok karya sastra sebagai sebuah organisme yang otonom, tempat kepengrajinan si pengarang dipertaruhkan dan kenikmatan sastrawi memancar”.
Rupanya, ada kesejajaran antara situasi “krisis kritik sastra” kita dan situasi “kematian kritikus” di Eropa-Amerika.

C.          Kritik Sastra Alegoris
Di mata McDonald, era kematian kritikus dimulai ketika Roland Barthes mengumumkan manifesto “kematian pengarang” (death of the author) yang begitu terkenal itu. Barthes berpandangan bahwa membaca adalah proses yang cair, berujung terbuka dan individual, yang tidak perlu menyandarkan keabsahannya pada maksud pengarang. Terpaku pada maksud pengarang berarti mencekik kesuburan bahasa dan potensi pluralitas makna dalam karya sastra. “Membunuh sang pengarang, beserta konsep-konsep terkait seperti ‘kreativitas’, ‘imajinasi’, ‘desain’ dan ‘inspirasi’, mungkin membebaskan pembaca untuk bersukacita dalam nikmatnya tafsir bebas. Tapi itu tampaknya juga menghapus kritikus,” kata McDonald. Kritikus mati karena otoritasnya telah direbut oleh pembaca: kritikus tidak dibutuhkan lagi oleh pembaca yang kini bebas dan berkuasa menilai karya dan menafsir maknanya.
Namun pada hemat saya, kritikus yang ikut mati bersama matinya pengarang adalah kritikus dalam pengertian tradisional: kritikus yang semata-mata berkutat mencari makna orisinal yang diandaikan terkandung (atau tersembunyi) dalam karya. Makna orisinal inilah yang sering dibayangkan orang ketika berbicara tentang “maksud karya” atau “maksud pengarang”. Tugas kritikus tradisional adalah menemukan makna orisinal sebuah karya, dan kemudian menyampaikan temuannya itu kepada khalayak pembaca untuk digunakan sebagai panduan dalam memahami karya. Setelah membaca temuan sang kritikus, barulah pembaca manggut-manggut, “Ooh…karya X maksudnya begitu.”
Masalahnya, semenjak Barthes, tak ada lagi makna orisinal. Bagi Barthes, “Karya itu seperti bawang, sebuah konstruksi lapisan-lapisan (atau tingkat-tingkat, atau sistem-sistem) yang tubuhnya, pada akhirnya, tidak berjantung, tidak berinti, tidak berisi rahasia, tidak memuat prinsip yang tak dapat direduksi, tidak berisi apapun kecuali ketakterbatasan pembungkus-pembungkusnya sendiri – yang tidak membungkus apapun selain kesatuan permukaan-permukaannya sendiri.” Kalau pun ada makna orisinal, makna tersebut selamanya tak terjangkau, tak dapat diringkus oleh kritikus. Dalam esai “Kematian Pengarang”, Barthes menulis:
Kritisisme bertugas untuk menggeledah pengarang… yang mendekam di balik sebuah karya: jika pengarang telah digeledah, maka teks otomatis “terjelaskan”… Dalam multiplisitas tulisan, segala sesuatu padanya digeledah, tetapi tidak sampai terurai; struktur dibuntuti atau “dikejar” sampai ke level dan titik terkecilnya, namun tidak sampai ke sesuatu yang ada di baliknya: ruang tulisan dijelajahi, tetapi tidak ditembusi; tulisan, secara terus-menerus, menggelar makna untuk kemudian menguapkannya, atau melakukan pembebasan makna secara sistematis.
Menurut Barthes, makna bukanlah sesuatu yang bersemayam dalam karya dan menunggu ditemukan, melainkan diproduksi oleh pembaca. Kematian pengarang adalah momen kelahiran pembaca.
Dalam pandangan saya, kritikus yang mencari-cari makna orisinal sebuah karya seolah dituntut (atau menuntut dirinya) untuk memelototi karya dengan mata pengarang karya bersangkutan. Sesuatu yang cukup absurd, karena kritikus sesungguhnya tidak lebih daripada pembaca. Ia tak dapat melampaui posisinya sebagai pembaca. Jika kritikus menyadari posisinya sebagai pembaca, maka kematian pengarang tidaklah mengakhiri riwayat kritikus, tetapi justru menjadi momen pembebasan kritikus. Sejak pengarang mati, kritikus menjadi merdeka untuk, pinjam ungkapan McDonald, “bersukacita dalam nikmatnya tafsir bebas”.
Tapi jika kritikus adalah pembaca, apa bedanya seorang kritikus dengan pembaca yang bukan kritikus? Bedanya, menurut saya, terletak pada tingkat produktivitas dalam menghasilkan makna. Kritikus memang “sekadar pembaca”, tapi bukan “pembaca sekadar”. Kritikus adalah pembaca yang bukan saja memproduksi makna, tetapi menghasilkan “surplus makna”. Ibaratnya, ketika semua orang bisa berjoget, krtitikus adalah ia yang menari. Orang menari atau melukis menghasilkan “surplus makna” yang membedakannya dari orang berjoget atau mengecat. “Surplus makna” inilah yang diproduksi oleh seni. Seni sastra, misalnya, memberikan makna ekstra kepada bahasa; seni musik memberikan makna ekstra kepada bunyi; dst.
Era kematian kritikus memungkinkan kritik seni (termasuk kritik sastra) dilahirkan kembali sebagai seni kritik. Jika dulu kritik sastra bekerja dalam paradigma kaji, yakni pencarian makna, maka kini kritik sastra dapat beroperasi dalam paradigma seni, yakni penciptaan makna. Kritik sastra di masa lalu sering serupa pisau bedah yang mengotopsi seonggok “mayat sastra” untuk menemukan maknanya yang tersembunyi. Kritik sastra di masa kini bisa lebih menyerupai pisau pahat yang mengolah sepotong “kayu sastra” demi memberinya makna baru.
Perumpamaan kritik sastra sebagai pisau pahat mungkin masih terasa kejam. Seperti pisau bedah, pisau pahat juga mengerat-sayat karya. Baiklah. Mungkin akan lebih ramah, dan lebih tepat, jikalau kritik sastra yang saya maksud diibaratkan sebagai karya seni rupa kontemporer/posmodern yang menerapkan apropriasi sebagai strategi penciptaan. Seniman yang bekerja dengan strategi apropriasi memanipulasi karya seniman lain (biasanya karya yang terkenal atau dianggap masterpiece) demi tujuan kritis dan kreatif. Ia berkarya dengan sengaja merujuk kepada karya orang lain, dengan maksud melucuti atau menyelewengkan makna yang semula melekat, atau dilekatkan orang, pada karya acuan. Di dunia seni rupa kontemporer Indonesia, contoh karya apropriasi adalah lukisan potret Agus Suwage yang mereproduksi foto terkenal Chairil Anwar sedang merokok (foto karya Baharudin MS). Berkebalikan dari foto acuan, lukisan Agus Suwage menampakkan wajah Chairil yang menyerong ke arah kanan pemirsa (bukan ke arah kiri pemirsa seperti foto aslinya), dengan rokok terselip di jari tangan kiri (bukan di jari tangan kanan seperti foto aslinya).
Sebagaimana seni apropriasi, kritik-sastra-sebagai-seni menjadikan alegori sebagai modelnya: sebuah kritik sastra alegoris. Dalam alegori maupun kritik sastra alegoris, sebuah teks dibaca melalui teks lain, betapa pun fragmentaris, remang-remang dan khaotiknya hubungan antara kedua teks tersebut. Menerapkan prinsip alegori dalam kerja kritiknya, kritikus menelaah karya sastra tanpa terpancang pada pencarian makna orisinal. Dia tidak berpretensi merekonstruksi makna orisinal karya, melainkan membubuhkan makna baru pada karya. Makna baru ini adalah suatu tambahan yang “ditumpangkan” pada karya, suatu suplemen: “ekspresi yang ditambahkan secara eksternal pada ekspresi lain”. Suplemen, sebagaimana dipahami Jacques Derrida, adalah “surplus, kemelimpahan yang memperkaya kemelimpahan lain, takaran paling penuh dari kehadiran. Ia menimbun dan menghimpun kehadiran...  Ia menambahi hanya untuk mengganti…  Ia menyela atau mencuri perhatian di tempat yang ditempati sesuatu (in-the-place-of); kalau ia mengisi, seolah-olah itu mengisi kekosongan. Kalau ia merepresentasikan dan mencitrakan, itu dengan ketidakhadiran yang mendahului kehadiran”.  Kritik sastra alegoris bukanlah hermeneutika.
Dalam kritik sastra alegoris, kerja kritikus menggemakan kata-kata Angus Fletcher ketika berbicara perihal progresi matematis sebagai paradigma untuk karya alegoris: “Jika seorang matematikawan melihat angka 1, 3, 6, 11, 20, dia akan mengenali bahwa ‘makna’ progresi ini dapat dituliskan dengan rumus aljabar: X plus 2x, dengan pembatasan tertentu pada X. Apa yang merupakan sekuens acak bagi orang awam, bagi sang matematikawan tampak sebagai sekuens penuh makna”.  Ketika menelaah sebuah karya sastra, kritikus seakan-akan bertransformasi dari “orang awam” menjadi “matematikawan”. Karya sastra mulanya tampak sebagai “sekuens acak”, lalu perlahan-lahan menjelma jadi “sekuens penuh makna”. Secara berangsur-angsur sang kritikus melihat suatu pola, gambaran atau informasi tertentu yang penuh makna baginya.
Proses transformasi sang kritikus dari “orang awam” ke “matematikawan” itu adalah suatu perjalanan membangun makna yang bukan saja melibatkan analisis dan penafsiran terhadap materi karya sastra itu sendiri, tapi juga berbagai materi lain yang dipandangnya relevan dan signifikan di luar karya, termasuk sumber authorial, kalau ada (misalnya “Kredo Puisi” Sutardji Calzoum Bachri dalam O Amuk Kapak, atau wawancara dengan Nirwan Dewanto di buku acara untuk peluncuran buku puisi Jantung Lebah Ratu). Karya sastra dan berbagai materi lain di luar karya diperlakukan sebagai bahan mentah untuk menyusun narasi baru, mencipta karya baru yang berasal dari, tapi berdiri sejajar dengan, karya sastra yang ditelaah. Di sini, kritik sastra alegoris memadukan analisis kritis dan penulisan kreatif – semacam strategi penciptaan yang, dalam konteks fiksi, ditempuh oleh Julian Barnes ketika menyelundupkan kritik seni rupa ke dalam cerpen “Kapal Karam”. Ketika penelaahan sang kritikus terhadap sebuah karya sastra telah menghasilkan “sekuens penuh makna” dan menjelma kreasi baru, mungkin pengarang karya satra bersangkutan yang membaca telaah itu akan terheran-heran dan berujar: “Oh ya, saya benar menulisnya seperti itu?” – sebuah ungkapan yang dipakai oleh Richard Oh untuk meledek kritikus sastra. Tapi berlawanan dengan Oh, saya menganggap ungkapan semacam itu sebagai pujian, tanda bahwa suatu telaah sastra telah berhasil memperkaya makna karya sastra yang ditelaah, bagaikan proses pengayaan uranium yang menghasilkan bom atom.
Di era kematian kritikus, ketika semua pembaca bisa menjadi kritikus, kritik sastra alegoris tidak berpretensi membangun jembatan antara karya sastra dan khalayak pembaca. Saya percaya, sebuah karya sastra tidak ditulis untuk menyembunyikan pesan atau maksud pengarangnya. Dalam sebuah karya sastra, pengarang sudah menyampaikan seluruh maksudnya secara lengkap dan utuh. Pengarang tidak dapat mengungkapkan apa yang ingin dikatakannya dalam sebuah karya sastra dengan lebih baik dan lebih tepat lagi kecuali melalui karya bersangkutan. Jika pengarang ingin merahasiakan sesuatu, semestinya ia bungkam, tidak menulis apapun. Sebaliknya jika ingin menjelaskan sesuatu, mestinya ia menggunakan bahasa yang lebih lugas daripada sastra, misalnya menulis pamflet atau pidato.

Dipahami sebagai organisme yang menyatakan dirinya sendiri secara total dan sempurna, karya sastra tidak membutuhkan jembatan untuk berbicara kepada khalayak pembaca. Karya sastra tidak butuh penyambung lidah. Karena itu, kritik sastra alegoris hanya berminat membangun jembatan antara karya sastra dan sang kritikus sendiri, sebagai bagian dari proyek penciptaan arsitektur makna baru. Khalayak pembaca, juga pengarang, kalau mau, dipersilakan mengunjungi jembatan ini, berjalan-jalan dan menikmatinya. Syukur-syukur bila ada yang tercerahkan, atau terilhami menciptakan karya baru, menulis karya sastra dan telaah sastra yang baru.

(Dari berbagai sumber)

SOSIOLOGI SASTRA INDONESIA: MASALAH PERDESAAN DALAM SASTRA INDONESIA

Oleh: Yakob Sumarjo

SASTRA adalah produk suatu masyarakat, mencerminkan masyarakatnya. Obsesi masyarakat itu menjadi obsesi pengarangnya yang menjadi anggota MA. Drs. Yakob Sumarjo   syarakat dengan demikian mempelajari sastra dapat sampai pada mempelajari masyarakatnya.
Yaitu mempelajari aspirasi masyarakat itu, tingkat kulturilnya, seleranya, pandangan kehidupannya, dan sebagainya. Dengan sendirinya bukan hanya melalui hasil-hasil sastranya saja suatu masyarakat dapat dipelajari, tetapi juga melalui semua karya-karya budayanya. Kalau sebuah universitas Amerika sering memborong semua, barang yang dicetak di Indonesia, termasuk komik dan bacaan picisannya, maka tindakan semacam itu dapat diartikan sebagai usaha untuk mendalami karakter masyarakat Indone­sia melalui bacaan-bacaannya.
Sastra memang bukan kenyataan kehidupan sosial, tetapi ia selalu berdasarkan kenyataan sosial. Sastra adalah kenyataan sosial yang mengalami proses pengolahan pengarangnya. Pengarang melahirkan karya-katyanya karena ingin menunjukkan kepincangan-kepincangan sosial dan kesalahan-kesalahan masyarakatnya, karena memprotes masyarakatnya, karena ingin menggambarkan apa yang terjadi dalam masyara­katnya, dan sebagainya. Pengarang adalah anggota masyarakat yang selalu merasa terlibat. Ia merasa bertanggung jawab terhadap kehidupan masyarakat­nya. Derita masyarakat, persoalan masyarakat, dilema masyarakat adalah miliknya. Dan sebagai seorang yang selalu merasa terlibat, ia harus memberikan usaha memperbaikinya. Tentu saja seorang pengarang tidak harus menggurui masyarakat, tapi setidak-tidaknya ia menunjukkan apa yang salah dalam rnasyarakat. Setidak-tidaknya, ia harus bisa menunjukkan dengan tepat masalah sosial, tanpa ia sendiri menyodorkan penyelesaiannya. Penyelesaian itu tergantung dari orang-orang yang berwewenang, politikus atau negarawan misamya.
Jadi jelas bahwa mempelajari karya sastra dapat sam­pai pada mempelajari kondisi sosial suatu masyarakat penghasil sastra itu. Kondisi ma­syarakat Indonesia pada masa revolusi misalnya, dapat kita pelajari dari karya-karya sastra dari masa itu. Masalahnya memang meneliti dari kelompok masyarakat mana suatu kar­ya sastra timbul atau tentang masyarakat mana suatu kar­ya sastra diciptakan. Untuk itu kita harus mengenal dulu dari golongan masyarakat mana si pengarang berasal. Lantas bagaimana riwayat si pengarang itu sendiri, pendidikannya, pengalamannya, dan sebagainya. Dan akhirnya tentang masya rakat golongan mana ia bercerita.
Dengan bekal yang demikian itu seorang pengamat akan. Lebih hati-hati dalam menyimpulkan apa yang dikatakan si pengarang. Seorang militer yang menulis tentang revolusi yang dahulu dialaminya, jauh lebih kita percaya ucapannya dari pada seorang prenian yang bercerita ten­tang hal yang sama tapi belum pernah mengalaminya.
Inilah sebabnya orang akan lebih menekuni karya-karya Pramudya, Trisnoyuwono atau Nugroho Notosusanto tentang masyarakat Indonesia dalam masa revolusi dari pada karya Motinggo Busye "1949". Begitu pula kita harus cukup hati-hati dalam menyimak penilaian pengarang-pengarang Lekra terhadap masyarakat waktu itu.
Masalahnya sekarang ada­lah mengapa dalam sastra Indonesia Modern jarang kita jumpai penggambaran kehidupan masyarakat perdesaan? Padahal jelas kita ketahui bahwa jumlah masyara­kat kita ini meliputi kurang lebih 83% dari seluruh masyarakat Indonesia. Untuk menjawab masalah ini dapat saya kemukakan beberapa alasan.
Pertama, para pengarang kita sebagian besar berasal dari golongan masyarakat menengah yang terdidik yang hidup di kota-kota Indonesia. Bahkan sebagian besarnya hidup di kota-kota besar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Pada masa kini kira-kira separuh jumlah pengarang Indonesia tinggal di kota-kota besar Jawa. Sedang setengah jumlah yang di Jawa itu saja terkumpul di Jakarta, dengan demikian jelas bahwa obsesi pengarang-pengarang Indonesia adalah otasesi kehidupan masyarakat kota. Bahkan terutama masyarakat kota-kota besar. Hal ini tak mengherankan kalau kita simak betapa banyaknya karya-karya novel dan cerita pendek yang banyak menyorot kehidupan atasan dan menengah masyarakat kota. Masalah-masalah yang khas kota ini dengan sendirinya akan memberikan umpan balik bagi masyarakatnya. Tetapi malangnya di Indonesia belum seluruh masyarakat kota mau mencerna apa yang diungkapkan para pengarangnya ten­tang masalah-masalah mereka.
Kedua, di samping sastra Indonesia yang ditulis dalam bahasa Indonesia berkembang pula sastra daerah. Sastra daerah ini memang dipublisir di kota-kota besar daerah seperti Bandung (bahasa Sunda), Yogyakarta, Solo, Surabaya (bahasa Jawa), tetapi publik pembacanya terbatas di daerah itu sendiri. Sastra Sunda dan Sastra Jawa dikonsumir oleh masyarakat daerah yang berdomisili di kota-kota kecil bahkan di perdesaan. Para penulisnya kebanyakan ber­asal dari masyarakat bahasa daerah yang bersangkutan. Dengan demikian masalah-masalah yang digarap adalah masalah masyarakat daerah, Inilah sebabnya justru di dalam sastra daerah persoalan perdesaan atau persoalan masyarakat kota-kota kecil yang dekat dengan perdesaan sering masuk sebasai masalah sastra.
Ketiga, fungsi sastra kota dan daerah memang ada, sebab istilah kata adalah menyangkut dan akhirnya melibatkan masyarakat desa; tetapi bukan sebaliknya, permasalahan desa kerap kali tidak melibatkan masyarakat kota. Inilah sebabnya sastra daerah kurang berpengaruh pada sasstra Indonesia, tetapi sastra Indonesia mempengaruhi sas­tra daerah.

Dengan demikian permasalahan desa yang ma­suk sastra Indonesia kehilangan fungsi sosialnya. Ini akibat dari kondisi masyarakat kota kita yang kurang terli­bat dalam masalah-masalah desa. Pengolahan desa dalam sastra Indonesia lalu kelihatan dipaksakan dan kurang menarik pembaca-pembaca masyarakat sastra di kota-kota.

HUBUNGAN KRITIK SASTRA DENGAN SOSIOLOGI

Maman S. Mahayana

Perkembangan kritik sastra Indonesia dalam dekade tahun 1980-an ditandai de-ngan munculnya beberapa pembicaraan mengenai sosiologi sastra atau pendekatan sosio-logis terhadap karya sastra. Dalam konteks ini, kritik sastra sesungguhnya mencoba me-manfaatkan disiplin ilmu lain (sosiologi) untuk memberi penjelasan lebih mendalam menge-nai salah satu gambaran kemasyarakatan yang terdapat dalam karya sastra. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai hubungan kritik sastra dengan sosiologi, muncul lantaran ada anggapan bahwa karya sastra merupakan cermin masyarakat. Karya sastra juga dianggap sebagai ptret kehidupan masyarakat dan gambaran semangat zamannya. Dalam hal ini, karya sastra dianggap sebagai gambaran “struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas dan lain-lain.”
Pandangan demikian sesungguhnya jangan ditafsirkan secara lugas, letterlijk. Dalam hal ini, kita masih perlu menjernihkannya lagi. Rene Wellek dan Austin Warren, Swingewood dan David Daiches, sebagaimana yang dikutip Sapardi Djoko Damono (1984) mengungkapkan sejumlah keberatan atas pandangan itu. Persoalan itu, seperti telah disebutkan, sebenarnya bersumber dari campur tangan sosiologi –sebagai disiplin tersendiri– dalam kegiatan kritik sastra.
Keberatannya sendiri berkisar pada keraguan bahwa sosiologi akan mampu menje-laskan aspek-aspek unik dalam karya sastra. Soalnya, pengarang mustahil dapat menang-kap situasi sosial zamannya secara lengkap. Bagaimanapun, yang diungkapkan pengarang tentang kehidupan menurut pengalamannya sendiri. Ia tidak mungkin dapat menuangkan semua pengalamannya. Fakta yang ditampilkan adalah fakta yang sudah diseleksi. Hanya fakta yang dianggapnya penting yang perlu dituangkan.
Dengan demikian, gambaran masyarakat dalam karya sastra tak lagi persis sama dengan keadaan masyarakat yang sebenarnya. Kehidupan yang digambarkan pengarang adalah kehidupan yang hanya ada dalam karya itu sendiri; sebuah “dunia” yang bersumber dari pengalaman pengarang yang telah mengalami proses penghayatan, penafsiran dan pemaknaan atas semua itu. Hasilnya lalu dituangkan lewat medium bahasa setelah dibaluri imajinasi. Jadi, anggapan sastra sebagai potret kehidupan, sesungguhnya merupakan potret rekaan pengarang, bukan potret kehidupan itu sendiri. Bukan pula fakta atau keadaan masyarakat an sich! Fakta lalu menjadi fiksi.
Beberapa hal itulah yang menyebabkan penelitian sosiologis yang semata-mata bersumber dari karya sastra, tidak cuma akan mencabut tempat karya itu sendiri, tetapi juga akan memperlakukan karya itu sebagai dokumen sosial yang mengungkapkan secara utuh fakta-fakta sosial. Itu, tentu saja menyesatkan.
Sesungguhnya begini: sosiologi tetap punya arti penting bagi kritik sastra sejauh tetap menempatkan karya itu bukan sebagai objek sosiologi. Sosiologi berfungsi cuma sebagai alat bantu agar lebih memahami berbagai aspek sosial yang menjadi muatan karya sastra. Anggapan bahwa sastra sebagai cermin masyarakat, harus pula ditafsirkan sebagai masyarakat dalam karya yang bersangkutan yang erat kaitannya dengan latar sosio – budaya pengarangnya.
Persoalan ini akan menjadi jelas jika kita menempatkan karya sastra pada proporsinya. Dunia dalam karya tidak hanya berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya, tetapi juga ia mempunyai norma-norma yang juga berbeda dengan norma atau kaidah dalam ilmu lain. Karya sastra atau teks sastra dapat dengan bebas menggunakan bahasa yang maknanya ambigu (konotatif), yang dalam teks ilmu lain justru dihindarkan. Ada konvensi tertentu dalam dunia sastra yang sama sekali tidak berlaku dalam ilmu-ilmu lain. Oleh karena itu pula, dalam kegiatan kesastraan masalah ketaksaan (ambiguitas) ditempatkan sebagai salah satu bagian penting dalam memahami dan menafsirkan makna karya sastra yang bersangkutan.
Jika ilmu lain hendak membantu kegiatan kritik sastra, maka anggapan sastra sebagai cermin masyarakat mesti ditempatkan dalam konteks konvensi sastra. Dengan demikian, penafsiran karya sastra lewat kacamata sosiologi, lebih merupakan usaha penafsiran karya sastra dalam maknanya yang sekunder; makna sekunder karena penafsirannya berasal dari hubungan makna karya itu (internal) dengan dunia di luar (eksternal). Bantuan sosiologi atau sebut saja pendekatan sosiologis, terhadap karya sastra sebenarnya merupakan usaha penafsiran, pemahaman dan pemaknaan unsur-unsur intrinsik karya itu dan menghubungkaitkannya dengan dunia di luar itu (unsur ekstrinsikalitas).
Dengan cara menempatkan kedudukan karya sastra dan sosiologi secara proporsional, maka pandangan bahwa sastra sebagai “cermin kehidupan”, “cermin sosial” atau gambaran “semangat zamannya” tetap dalam kerangka lingkup pendekatan intrinsik-ekstrinsik: intrinsik jika pemaknaannya hanya atas dasar unsur-unsur yang membangunnya, dan ekstrinsik jika ia dihubungkan dengan faktor-faktor di luar karya itu sendiri.
Masalah teoretis mengenai hubungan sosiologi (masyarakat) dengan sastra telah cukup jelas dipaparkan Rene Wellek dan Austin Warren (Teori Kesusastraan, 1989) Sapardi Djoko Damono (Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar, 1984) atau Andre Hardjana (Kritik Sastra: Sebuah Pengantar, 1981). Namun tentu kita tidak perlu terburu-buru menerima atau menolaknya. Jangan pula dilupakan penerapan hal yang bersifat teoretis itu terhadap karya sastranya itu sendiri. Dengan cara ini, akan tampak betapa hubungan sastra dan masyarakat sebenarnya tidak dapat diabaikan begitu saja dalam kegiatan kritik sastra.
Grebstein (1968), mengungkapkan: pemahaman atas karya sastra hanya mungkin dapat dilakukan secara lebih lengkap apabila karya itu tidak dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan atau atau peradaban yang menghasilkannya. Dikatakannya juga bahwa karya sastra sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural.
Pernyataan itu mengisyaratkan perlunya menghubungkan faktor sosio-budaya dalam usaha memahami karya sastra selengkapnya. Dari hubungan ini akan tampak bahwa dalam beberapa hal, ungkapan sastra sebagai cermin masyarakat mempunyai nilai kebenaran. Apalagi jika ternyata kita tidak memperoleh bahan tertulis tentang karya itu.
Dalam kasus Sejarah Melayu atau karya-karya Abdullah Munysi, boleh jadi penjelasan lewat kacamata sosio-budaya, akan memberi gambaran mengenai tata kehidupan masyarakat Melayu pada masa itu. Sejumlah karya sastra lain, khususnya novel, dalam beberapa hal mengandung nilai-nilai cermin masyarakat. Novel Shansiro (1910), Natsume Soseki, misalnya, secara jelas menggambarkan terjadinya perubahan sikap budaya masyarakat Jepang pada masa awal Restorasi Meiji. Karya George Orwell, Nineteen Eighty-Four (1984) atau Animal Farm (1945) akan lebih jelas jika kita menghubungkannya dengan situasi sosial dan semangat zamannya.
Demikian juga novel, dalam khazanah kesusastraan kita. Tak sedikit yang terasa nilai ar-tistiknya jika kita menghubungkannya dengan faktor-faktor ekstrinsik. Warisan, Chairul Harun (1979) dan Bako (1983) Darma Moenir malah terkesan sebagai sisi negatif cermin masyarakat Minangkabau. Gambaran potret masyarakat tertentu, tampak dalam novel Upacara (1978) Korrie Layun Rampan (Dayak), Sri Sumarah (1985), Para Priyayi (1990), Umar Kayam dan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (Jawa) atau Bila Malam Bertambah Ma-lam (1971) Putu Wijaya (Bali). Tentu saja kita masih dapat menderetkan lebih jauh mengenai karya-karya sastra kita yang sarat menggambarkan kondisi masyarakat kita yang multi-etnik.
Karya sastra yang menampilkan cermin masyarakat tampak lebih dominan terdapat pada novel daripada puisi atau drama, meski tidak sedikit pula drama dan puisi yang dihasilkan sas-trawan-sastrawan kita, sarat menampilkan gambaran demikian. Khusus mengenai novel, ada ke-cenderungan masalah tersebut berkaitan dengan warna lokal atau gambaran tradisi masyarakat tertentu. Jadi, tidak semua karya sastra dapat secara leluasa dianalisis berdasarkan pendekatan sosiologis. Dalam hal ini, cermin masyarakat itupun mesti selalu dalam konteks konvensi sastra.
Mengingat pengarang tidak dapat melepaskan diri dari situasi sosio-budaya yang me-lingkarinya, maka pendekatan sosio-budaya untuk menjelaskan karya sastra, masih amat diper-lukan. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan keanekaragaman tradisi sosio-budaya pengarang kita. Masalahnya akan terasa penting saat kita mencoba menganalisis novel zaman Balai Pustaka. Analisis intrinsik hanya akan menghasilkan kesimpulan bahwa tema novel-novel itu berkisar pa-da persoalan adat; tokoh hitam-putih; amanat eksplisit, yang justru mengurangi nilai artistiknya. Padahal, novel Sitti Nurbaya atau Salah Asuhan, dalam beberapa hal justru mencerminkan ke-adaan masyarakat pada masa itu. Persoalannya memang kompleks. Ia berkaitan dengan kebijak-sanaan Balai Pustaka sebagai lembaga kolonial dan situasi sosial serta semangat zamannya.
Betapapun pendukung strukturalisme menolak anggapan bahwa karya sastra merupakan cermin masyarakatnya, dan mereka menekankan pentingnya otonomi sastra, kita tetap dapat menempatkan pada proporsinya. Dalam kritik sastra kita pendekatan ekstrinsik masih tetap penting. Memutlakkan salah satu pendekatan sebagai yang terbaik, tidaklah tepat; tidak sesuai dengan tradisi ilmiah. Jadi, pendekatan sosiologis atau sosio-kultural, perlu terus digalakkan untuk mengangkat berbagai tradisi kultural masyarakat kita yang multi-etnis. Justru dalam hal itulah, kekayaan sastra Indonesia menjadi sangat khas Indonesia dibandingkan dengan kesusastraan negara lain. Dengan cara ini kita masih akan menemukan nilai cermin masyarakat atau nilai lain, sejauh tetap menempatkan secara kontekstual dan proporsional.


(Maman S. Mahayana, Staf Pengajar FSUI, Depok)

PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA SEBAGAI ALAT ANALISA NOVEL

1.      Sosiologi Sastra
Sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Oleh karenanya sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai masyarakat dimungkinkan, bagaimana carakerjanya dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Gambaran ini akan menjelaskan cara-cara manusia menyesuaiakan diri dengan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, yang dengannya individu-individu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam strutur sosial. Di samping itu sosiologi juga menyangkut mengani perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara berangsur-angsur maupun secara revolusioner dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut (Damono, 1978).

2.      Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra
a.       Konteks Sosial Pengarang
Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya. Oleh karena itu, yang terutama diteliti adalah sebagai berikut.
1)      Bagaimana sastrawan mendapatkan mata pencaharian; apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung atau bekerja rangkap.
2)      Profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana sastrawan menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi.
3)      Masyarakat yang dituju oleh sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya antara sastrawan dan masyarakat sangat penting sebab seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka (Damono, 1979:3-4).

b.      Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Sastra sebagai cermin masyarakat yaitu sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakatnya. Kata “cermin” di sini dapat menimbulkan gambaran yang kabur, dan oleh karenanya sering disalahartikan dan disalahgunakan. Dalam hubungan ini, terutama harus mendapatkan perhatian adalah.
1)      Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis.
2)      Sifat “lain dari yang lain” seorang sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.
3)      Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat.
4)      Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat (Damono, 1979:4).

c.       Fungsi Sosial Sastra
Pendekatan sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “Sampai berapa jauh nilai sastra berkait dengan nilai sosial?”, dan “Sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?” ada tiga hal yang harus diperhatikan.
1)      Sudut pandang yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Dalam pandangan ini, tercakup juga pandangan bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak.
2)      Sudut pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka. Dalam hal ini gagasan-gagasan seni untuk seni misalnya, tidak ada bedanya dengan usaha untuk melariskan dagangan agar menjadi best seller.
3)      Sudut pandang kompromistis seperti tergambar sastra harus mengajarkan dengan cara menghibur (Damono, 1979:4).
Apabila dikaitkan dengan sastra maka terdapat tiga pendekatan;
Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Hal yang terutama di teliti dalam pendekatan ini adalah: (a) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencaharian (b) sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai profesi dan (c) mayarakat yang dituju oleh pengarang.
Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Hal yang terutama di teliti dalam pendekatan ini adalah (a) sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikan (c) sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang dapat mewakili seluruh masyarakat.
Ketiga, fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian (a) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakatnya (b) sejauh mana pengarang hanya berfungsi sebagai penghibur saja dan (c) sejuah mana terjadi sintesis antara kemungkinan point a dan b diatas (Damono, 1978).
Secara epitesmologis dapat dikatakan tidak mungkin untuk mebangun suatu sosiologi sastra secara general yang meliputi pendekatan yang dikemukakan itu. Konsep mengenali masyarakat akan berbeda satu dengan yang lain. Dalam penelitian novel ”Sang Pemimpi” karya Andrea Hirata ini maka konsep sosiologi sastra akan menggunakan pendekatan sastra sebagai cermin masyarakat. Hal ini akan digunakan untuk menjelaskan sejauh mana pengarang dapat mewakili dan menggambarkan seluruh masyarakat dalam karyanya.

3.      Sastra dan Masyarakat
Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat (Semi, 1990:73). Sastra dapat dikatakan sebagai cerminan masyarakat, tetapi tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya tergambarkan dalam sastra, yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial, seperti lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Sastra sebagai gambaran masyarakat bukan berarti karya sastra tersebut menggambarkan keseluruhan warna dan rupa masyarakat yang ada pada masa tertentu dengan permasalahan tertentu pula.
Novel merupakan salah satu di antara bentuk sastra yang paling peka terhadap cerminan masyarakat. Menurut Johnson (Faruk, 2005:45-46) novel mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh pengarang atau melalui tokoh-tokohnya. Kenyataan dunia seakan-akan terekam dalam novel, berarti ia seperti kenyataan hidup yang sebenarnya. Dunia novel adalah pengalaman pengarang yang sudah melewati perenungan kreasi dan imajinasi sehingga dunia novel itu tidak harus terikat oleh dunia sebenarnya.
Sketsa kehidupan yang tergambar dalam novel akan memberi pengalaman baru bagi pembacanya, karena apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan apa yang ada dalam karya sastra. Hal ini dapat diartikan pula bahwa pengalaman yang diperoleh pembaca akan membawa dampak sosial bagi pembacanya melalui penafsiran-penafsirannya. Pembaca akan memperoleh hal-hal yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan. Menurut Hauser (Ratna, 2003:63), karya seni sastra memberikan lebih banyak kemungkinan dipengaruhi oleh masyarakat, daripada mempengaruhinya.
Sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat, sebenarnya erat kaitannya dengan kedudukan pengarang sebagai anggota masyarakat. Sehingga secara langsung atau tidak langsung daya khayalnya dipengaruhi oleh pengalaman manusiawinya dalam lingkungan hidupnya. Pengarang hidup dan berelasi dengan orang lain di dalam komunitas masyarakatnya, maka tidaklah heran apabila terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakat.
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.
Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.
1.      Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap espek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
2.      Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
3.      Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
4.      Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menentukan citra dirinya dalam suatu karya (Ratna, 2006:322-333).
Gambaran kehidupan yang terpancar dalam novel akan memberikan pengalaman baru bagi masyarakat atau pembaca, karena apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan apa yang ada dalam karya sastra. Melalui penafsirannya, pembaca akan memperoleh hal-hal yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan.

Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas masalah hubungan antara pengarang dengan masyarakat, hasil berupa karya sastra dengan masyarakat, dan hubungan pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Namun dalam kajian ini hanya dibatasi dalam kajian mengenai gambaran pengarang melalui karya sastra mengenai kondisi suatu masyarakat.

PEMBAGIAN SOSIOLOGI SASTRA

Swingewoot (1977) dalam Junus (1980:2) membagi sosiologi sastra dalam dua bagian yaitu:
1.      Sociologi of literature, yaitu karya sastra yang dimulai dengan lingkungan sosial untuk masuk ke dalam karya sastra yang dilihat ialah faktor sosial menghasilkan massa yang bersosial.
2.      Literature sociologi, yaitu menghubungkan struktur karya sastra dan struktur masyarakat.
Mengenai pendekatan struktural, Semi (1985:49) mengatakan: “Dengan kata lain, pedekatan ini memandang dan menelaah sastra dari segi intrinsik yang membangun suatu karya. Sastra yaitu tema, alur, latar, penokohan, dan gaya bahasa perpaduan yang harmonis antara bentuk dan isi merupakan kemungkinan kuat untuk menghasilkan sastra yang bermutu”.
Selanjutnya Daryanto (1997:594) mengatakan: “Tema adalah isi cerita; dasar isi cerita; amanat cerita”. Poerdarminta (1986:1040) mengatakan: “Tema adalah pokok pikiran; dasar cerita (yang hendak dipercakapkan, dipakai sebagai dasar mengarang, mengarang sajak dan sebagainya). Kemudian Fananie (2000:84) mengatakan: “Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatar belakangi karya sastra”.
Semi (1984:45) mengatakan: “Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai buah interaksi khusus sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi”. Daryanto (1997:35) mengatakan: “Latar atau plot adalah jalan (aturan, adat)- keluk memanjang rangkaian peristiwa yang berlangsung dalam karya fiksi”.
Maka dapat disebut alur atau plot dan struktur deretan kejadian-kejadian yang dialami oleh pelaku cerita yang pada umumnya dibedakan atas tiga bagian utama yaitu : bagian perkenalan, pertikaian dan diakhiri dengan penyelesaian. Hubungan peristiwa yang satu dengan yang lainnya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan hubungan kasual (sebab akibat). Keberadaan alur dalam sebuah cerita sangatlah penting, sehingga Lubis (1981:17) mencoba mengklasifikasikan alur tersebut menjadi,
1.      Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan)
2.      Generating Circumtances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak)
3.      Ricing Action (keadaan mulai memuncak)
4.      Klimaks (peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya)
5.      Denouement (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa)”.
Latar atau setting adalah tempat-tempat kejadian suatu peristiwa atau kejadian di dalam penceritaan karya sastra. Latar bukan hanya berupa daerah atau tempat namun waktu, musim peristiwa penting dan bersejarah, masa kepemimpinan seseorang di masa yang lalu dan lain-lain yang menjadi petunjuk bagi pembaca untuk lebih memahami waktu dan tempat kejadian itu berlangsung juga digolongkan latar. Daryanto (1997:393) mengatakan: “Latar adalah halaman rumah (bagian depan), permukaan dasar warna dan sebagainya; keterangan mengenai ruang waktu dan suasananya saat berlangsungnya peristiwa (dalam karya sastra)”.
Tempat di sini bisa kita artikan lokasi atau daerah terjadinya cerita itu seperti desa, kota, gunung, hutan dan sebagainya. Waktu (masa) di sini menggambarkan kapan kejadian itu berlangsung seperti tanggal, bulan, tahun, pada perang, musim tanam, musim panen dan sebagainya.
Selanjutnya kita dapat menyebut bahwa latar atau setting merupakan lukisan mengenai tempat dan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa dalam suatu cerita. Latar mencakup ruang dan waktu yaitu di mana dan kapan kejadian tersebut.
Perwatakan adalah karakter dari tokoh . dalam pengertian sifat atau ciri khas yang terdapat pada diri tokoh yang dapat membedakan antara satu tokoh dengan tokoh yang lainnya. Unsur perwatakan dalam sebuah karya sastra lebih diutamakan dalam meninjau perkembangan jiwa tokoh itu sendiri. Gambaran watak seseorang tokoh dapat diketahui melalui apa yang diperankan dalam cerita tersebut kmudian jalan pikirannya serta bagaimana penggambaran pisik tokoh.
Bangun, dkk (1993:21) mengatakan: “Perwatakan tokoh cerita dapat tokoh dapat dilihat melalui tiga aspk yaitu aspek psikologis, fisiologis,dan sosiologis”. Daryanto (1907:632) mengatakan: “Watak adalah sifat batin manusia yang mempngaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, budi pekerti, tabiat. Sedangkan perwatakan adalah hal-hal yang berhubungan dengan watak”.
Setiap cerita mempunyai tokoh di mana tokoh ini dianggap sebagai pembentuk peristiwa alur dalam alur cerita. Oleh karena itu, stiap tokoh mempunyai watak tersendiri yang dapat dianalisis dan diramalkan secara analisis yaitu dapat diterangkan secara langsung watak tokohnya, sedangkan secara dramatik yaitu dapat diterangkan secara tidak langsung tetapi mungkin melalui tindakannya dan lain-lain. Aspek perwatakan (karakter) merupakan imajinasi pengarang dalam membentuk suatu personalisis tertentu dalam sebuah karya sastra. Pengarang sebuah karya sastra harus mampu menggambarkan diri ssorang tokoh yang ada dalam karyanya.
Nilai-nilai sosial dalam sebuah karya sastra adalah iri hati, kejujuran, kesabaran, permusuhan, keadilan, dan lain-lain. Daryanto (1997:288) mengatakan: “Iri hati adalah rasa tidak senang jika melihat orang lain mendapatkan kebahagiaan, rasa ingin seperti orang yang mendapatkan kesenangan”. Kejujuran merupakan salah satu sifat terpuji. Setiap manusia mempunyai sifat kejujuran akan tetapi kadang-kadang unuk jujur saja manusia sangat susah dan sifat kejujuran itu sangat sering disalah gunakan oleh manusia itu sendiri. Seseorang yang mampu mengatakan hal yang sebenarnya terjadi itulah yang dinamakan dengan jujur.
Daryanto (1997:309) mengatakan: “Jujur adalah tidak bohong, lurus hati, dapat dipercaya kata-katanyatidak khianat dan sebagainya”. Kesabaran adalah salah satu sifat manusia. Manusia pada umumnya memiliki rasa sabar, namun ukuran kesabaran tersebut bagi setiap orang berbeda-beda. Sifat sabar merupakan salah satu sifat yang terpuji yang dimiliki manusia. Seseorang yang tahan menghadapi segala persoalan ataupun penderitaan yang menimpa dirinya maka dapat dikatakan bahwa dia mempunyai tingkat kesabaran yang tinggi. Daryanto (1997:516) mengatakan: “Sabar adalah pemaaf; tidak suka marah/tidak mudah marah – sikap – tidak akan menimbulkan pertengkaran”.

Berdasarkan pendapat di atas bahwa teori struktural yang bertujuan untuk menganalisis karya sastra berdasarkan unsur-unsur yang membangun karya sastra tersebut dalam suatu hubungan antara unsur pembentuknya. Menganalisis sebuah karya sastra dengan pendekatan sosiologi sastra yang dapat membangun sebuah karangan atau sebuah karya sastra tanpa menghilangkan unsur-unsur dalam cerita.