Sabtu, 14 Juni 2014

SOSIOLOGI SASTRA INDONESIA: MASALAH PERDESAAN DALAM SASTRA INDONESIA

Oleh: Yakob Sumarjo

SASTRA adalah produk suatu masyarakat, mencerminkan masyarakatnya. Obsesi masyarakat itu menjadi obsesi pengarangnya yang menjadi anggota MA. Drs. Yakob Sumarjo   syarakat dengan demikian mempelajari sastra dapat sampai pada mempelajari masyarakatnya.
Yaitu mempelajari aspirasi masyarakat itu, tingkat kulturilnya, seleranya, pandangan kehidupannya, dan sebagainya. Dengan sendirinya bukan hanya melalui hasil-hasil sastranya saja suatu masyarakat dapat dipelajari, tetapi juga melalui semua karya-karya budayanya. Kalau sebuah universitas Amerika sering memborong semua, barang yang dicetak di Indonesia, termasuk komik dan bacaan picisannya, maka tindakan semacam itu dapat diartikan sebagai usaha untuk mendalami karakter masyarakat Indone­sia melalui bacaan-bacaannya.
Sastra memang bukan kenyataan kehidupan sosial, tetapi ia selalu berdasarkan kenyataan sosial. Sastra adalah kenyataan sosial yang mengalami proses pengolahan pengarangnya. Pengarang melahirkan karya-katyanya karena ingin menunjukkan kepincangan-kepincangan sosial dan kesalahan-kesalahan masyarakatnya, karena memprotes masyarakatnya, karena ingin menggambarkan apa yang terjadi dalam masyara­katnya, dan sebagainya. Pengarang adalah anggota masyarakat yang selalu merasa terlibat. Ia merasa bertanggung jawab terhadap kehidupan masyarakat­nya. Derita masyarakat, persoalan masyarakat, dilema masyarakat adalah miliknya. Dan sebagai seorang yang selalu merasa terlibat, ia harus memberikan usaha memperbaikinya. Tentu saja seorang pengarang tidak harus menggurui masyarakat, tapi setidak-tidaknya ia menunjukkan apa yang salah dalam rnasyarakat. Setidak-tidaknya, ia harus bisa menunjukkan dengan tepat masalah sosial, tanpa ia sendiri menyodorkan penyelesaiannya. Penyelesaian itu tergantung dari orang-orang yang berwewenang, politikus atau negarawan misamya.
Jadi jelas bahwa mempelajari karya sastra dapat sam­pai pada mempelajari kondisi sosial suatu masyarakat penghasil sastra itu. Kondisi ma­syarakat Indonesia pada masa revolusi misalnya, dapat kita pelajari dari karya-karya sastra dari masa itu. Masalahnya memang meneliti dari kelompok masyarakat mana suatu kar­ya sastra timbul atau tentang masyarakat mana suatu kar­ya sastra diciptakan. Untuk itu kita harus mengenal dulu dari golongan masyarakat mana si pengarang berasal. Lantas bagaimana riwayat si pengarang itu sendiri, pendidikannya, pengalamannya, dan sebagainya. Dan akhirnya tentang masya rakat golongan mana ia bercerita.
Dengan bekal yang demikian itu seorang pengamat akan. Lebih hati-hati dalam menyimpulkan apa yang dikatakan si pengarang. Seorang militer yang menulis tentang revolusi yang dahulu dialaminya, jauh lebih kita percaya ucapannya dari pada seorang prenian yang bercerita ten­tang hal yang sama tapi belum pernah mengalaminya.
Inilah sebabnya orang akan lebih menekuni karya-karya Pramudya, Trisnoyuwono atau Nugroho Notosusanto tentang masyarakat Indonesia dalam masa revolusi dari pada karya Motinggo Busye "1949". Begitu pula kita harus cukup hati-hati dalam menyimak penilaian pengarang-pengarang Lekra terhadap masyarakat waktu itu.
Masalahnya sekarang ada­lah mengapa dalam sastra Indonesia Modern jarang kita jumpai penggambaran kehidupan masyarakat perdesaan? Padahal jelas kita ketahui bahwa jumlah masyara­kat kita ini meliputi kurang lebih 83% dari seluruh masyarakat Indonesia. Untuk menjawab masalah ini dapat saya kemukakan beberapa alasan.
Pertama, para pengarang kita sebagian besar berasal dari golongan masyarakat menengah yang terdidik yang hidup di kota-kota Indonesia. Bahkan sebagian besarnya hidup di kota-kota besar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Pada masa kini kira-kira separuh jumlah pengarang Indonesia tinggal di kota-kota besar Jawa. Sedang setengah jumlah yang di Jawa itu saja terkumpul di Jakarta, dengan demikian jelas bahwa obsesi pengarang-pengarang Indonesia adalah otasesi kehidupan masyarakat kota. Bahkan terutama masyarakat kota-kota besar. Hal ini tak mengherankan kalau kita simak betapa banyaknya karya-karya novel dan cerita pendek yang banyak menyorot kehidupan atasan dan menengah masyarakat kota. Masalah-masalah yang khas kota ini dengan sendirinya akan memberikan umpan balik bagi masyarakatnya. Tetapi malangnya di Indonesia belum seluruh masyarakat kota mau mencerna apa yang diungkapkan para pengarangnya ten­tang masalah-masalah mereka.
Kedua, di samping sastra Indonesia yang ditulis dalam bahasa Indonesia berkembang pula sastra daerah. Sastra daerah ini memang dipublisir di kota-kota besar daerah seperti Bandung (bahasa Sunda), Yogyakarta, Solo, Surabaya (bahasa Jawa), tetapi publik pembacanya terbatas di daerah itu sendiri. Sastra Sunda dan Sastra Jawa dikonsumir oleh masyarakat daerah yang berdomisili di kota-kota kecil bahkan di perdesaan. Para penulisnya kebanyakan ber­asal dari masyarakat bahasa daerah yang bersangkutan. Dengan demikian masalah-masalah yang digarap adalah masalah masyarakat daerah, Inilah sebabnya justru di dalam sastra daerah persoalan perdesaan atau persoalan masyarakat kota-kota kecil yang dekat dengan perdesaan sering masuk sebasai masalah sastra.
Ketiga, fungsi sastra kota dan daerah memang ada, sebab istilah kata adalah menyangkut dan akhirnya melibatkan masyarakat desa; tetapi bukan sebaliknya, permasalahan desa kerap kali tidak melibatkan masyarakat kota. Inilah sebabnya sastra daerah kurang berpengaruh pada sasstra Indonesia, tetapi sastra Indonesia mempengaruhi sas­tra daerah.

Dengan demikian permasalahan desa yang ma­suk sastra Indonesia kehilangan fungsi sosialnya. Ini akibat dari kondisi masyarakat kota kita yang kurang terli­bat dalam masalah-masalah desa. Pengolahan desa dalam sastra Indonesia lalu kelihatan dipaksakan dan kurang menarik pembaca-pembaca masyarakat sastra di kota-kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar