Minggu, 10 Mei 2015

PUISI-PUISI HARTOJO ANDANGJAYA

SONNET BUAT IKASiapakah kau, mengikut daku dari bukit ke bukit
tidakkah tahu, dari puncak ini tinggal nampak gugusan alit
rumah yang dulu berkilau
kebun yang dulu menghijau

Pulanglah. Jangan lagi kaubisikkan kisah
tentang dua anak berlarian di kebun rumah
menangkap nyanyi indah
memburu mimpi putih di pagi merah

Engkau yang asing bagiku
tidakkah tahu, di bukit lain itu
biru puncak memanggil daku

Pulanglah. Bila canang bertalu
di kotamu engkau ditunggu
rindu ibu dan raih kasihmu
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)

Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973


SALAM TERAKHIR.....Buat Solo
.....Kota tercinta di tanah air

Kalau aku datang lagi padamu
kota yang melambai dalam rinduku
ialah karena bertahun yang lalu
aku lahir, bermain dan bercinta di bawah langitmu

Wangi napas bumi dan udara rawan musim hujan
dan matahari yang kini bersinar, pucat dan gemetar
menyambut padaku dengan haru kenangan
hari-hariku di masa kanak yang sayup samar

Kau bagiku, kota yang melambai dalam rinduku
lebih dari seorang kekasih, seorang ibu
Rinduku kepadamu
ialah rindu yang dihidupkan kenangan masa kanakku

Kukenali kembali kini jemaring jalanmu
di sini dulu baris demi baris sajakku
melambaikan tangannya, di antara hingar dan deru
kehidupan yang lewat lalu

Kalau aku tak ada lagi nanti
di belakangku akan tinggal kau, tegak berdiri
bersama sajak demi sajakku yang menyimpan namamu
dan salam hatiku yang menjabat hatimu

Ialah salam terakhir seorang penyair:
di sini pernah aku lahir
di sini telah kuisi satu takdir

Dan sesudahku kehidupan pun terus mengalir
dan sesudahku angkatan demi angkatan pada mengembang lahir
dan zaman demi zaman bergantian membuka tabir
makin indah dan indah, seperti pernah kumimpikan di baris syair
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973
RAKYAT.......Hadiah hari krida
.......Buat siswa-siwa SMA Negeri
.......Simpang Empat, Pasaman

Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan ladang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap daro cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
rakyat ialah tangan yang bekerja

Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka

Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka

Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta

Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973

PEREMPUAN-PEREMPUAN PERKASAPerempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
..........dari manakah mereka
Ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga
sebelum hari bermula datang pesta kerja

Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta,
..........ke manakah mereka
Di atas roda-roda baja mereka berkendara
Mereka berlomba dengan surya menuju ke gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
..........siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)

PERARAKAN JENAZAH
Kami mengiring jenazah hitam
depan kami kereta mati bergerak pelan
orang-orang tua berjalan merunduk diam
dicekam bayangan hitam
makam muram awan muram
menanti perarakan ini di ujung jalan

tapi kami selalu berebut kesempatan
kami lempar pandang
kami lempar kembang
bila dara-dara berjengukan
dari jendela-jendela di sepanjang tepi jalan:
lihat, di mata mereka di bibir mereka
hidup memerah bemerkahan

Begitu kami isi jarak sepanjang
antara rumah tumpangan dan kesepian kuburan
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973

PANTUN MEMORI.....Buat nisan ibunda

Kembang kutabur dalam ziarah
kembang cintaku salamku yang ramah
Begitu kau berkubur dan kita pun berpisah
dekat padamu merangkul nenek marhumah

Bayang-bayang sepi dan hati menunduk di sini
dan jauh di seberang kali ada orang mengaji
Begitu kau pergi aku mengangguk mengerti:
mati ialah janji, sudah terpahat dalam diri

Burung pun pulang ke sarangnya karena senja tiba
ada cahaya yang meredup kembali menyala di pokok kemboja
Begitu kau rela demi usia yang tua
terlalu tua buat hidup yang selalu meremaja
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973

NYANYIAN PARA BABUInilah nyanyian kami, suara hati kami
terjemahan kehidupan kami dalam bahasa esei puisi
kami ucapkan lewat penyair ini

Kami adalah sisa-sisa penghabisan dari zaman perbudakan
perkembangan kemudian dari budak belian
yang terdampar di abad ini dan dilupakan

Kami babu. Berjuta kami terberai di benua demi benua
dan samar-samar kami pun mendengar suara purba
yang berkata: “Tuhan bekerja. Dan segala yang ada
dilahirkan dari kegirangan raya. Kegirangan hidup
.....kegirangan kerja.”

Maka kami pun bekerja, di mana juga kami berada
Kami bekerja. Tidak melacurkan diri dan tidak
.....Meminta-minta
Namun kamilah yang di abad ini bekerja tanpa lindungan
kami terluput dari naungan undang-undang perburuhan:
kami bekerja tanpa jam kerja yang ditetapkan
Kami bisa dipakai kapan saja
dan buat apa saja
kami serba guna

Kami benda di mata tuan dan nyonya:
keranjang-keranjang sampah lemparan segala perintah
tungku-tungku hitam tak pernah padam
kami hangus dibakar kerja siang dan malam

Kami babu. Di mana lampu bersinar lima watt tak terang
di sanalah bilik kami. Sebuah bilik di ujung belakang
dari rumah nyonya dan tuan. Sebuah bilik dengan satu ranjang
satu bantal. Sebuah bilik yang terbuka, begitu papa dan telanjang

Di situlah kami tidur buat sepertiga malam
di sanalah kami kubur dalam tidur yang dalam
segala kepedihan kami yang tak pernah diakui
segala kerinduan kami yang tak pernah dimengerti

Dalam hidup kami tak satu pun kami punya
dalam hidup kami segalanya milik tuan dan nyonya
Mereka pun bisa masuki hidup kami hingga ke sudut-sudutnya
dan seperti bilik kami hidup kami telanjang terbuka

Bila malam di luar pagar datang bujang yang kami cinta
kami tak bisa bermesraan sedikit lama
karena kapan saja waktu dan tenaga kami bisa dipakai tuan dan nyonya
Dan demikian kami pun tak punya hak buat bercinta

Bila tuan dan nyonya dan selingkung keluarga dalam gembira
kami mesti pula tersenyum gembira
karena senyum gembira kami adalah buat tuan dan nyonya

Bila mereka lagi berkabung dalam duka
kami mesti pula melinangkan air mata
karena air mata kami adalah buat tuan dan nyonya

Maka habislah segala
dalam hidup kami. Tak satu pun tersisa:
waktu kami, tenaga kami
bahkan senyum dan air mata kami
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
1. Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973
2. Horison Sastra Indonesia 1 Kitab Puisi, Taufiq Ismail dkk (ed.), Jakarta 2002.

MINANGInilah tanah, di mana Sabai dilahirkan
di mana Malin, si durhaka, menerima kutukan
di mana kaba ialah sebagian dari kehidupan
dan beragam pantun mengalun dalam nyanyian

Sepi di sini sepi batu dan sepi gunung
Sepi hutan-hutan hijau melingkung
padang-padang lalang sejauh mata merenung
di atasnya mengambang rawan suara salung

Ada rindu di sini seperti sunyi melengkung
sudah kutahu lewat ratap suara salung
Ada restu di sini dalam hidup sepi di kampung
sudah kutahu lewat sayup suara lesung

Di sini cintaku matahari yang bekerja di ladang-ladang sepi
hujan dan bunga tanah mengendap di bumi
malam kawal petani hingga subuh hari
di sini cintaku tenaga sunyi yang menghamilkan padi
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973
KWATRIN TAK BERNAMAAlangkah amannya kita di sini
jika tak ada lagi mata yang mengintai
kita berdua jadi bocah kembali
di sini di lingkung padi mengalun permai

Apalah salahnya, sesekali kita berlupa
sesekali kita kembali jadi bocah manja
tidak tahu bencana yang bakal tiba
tidak sempat berpikir tentang dosa

Kita bisa bercerita di sini tentang apa saja
aku tentang rumahku jauh di kota
engkau tentang kucingmu si belang tiga warna
atau ayammu yang mati dekat perigi tua

Dan jika angin mengalir perlahan dari bukit-bukit selatan
membawa desir suara air di tepi hutan
kita terdiam: matamu memandang sepotong awan
dan hatiku terbenam dalam genangan jernih sebuah impian
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973

KOTA-KOTA TERCINTAKota-kota tercinta
antena-antena pemancar beragam suara
antena-antena penangkap hingar dunia
timbunan kegiatan dan tempat kesibukan bermuara
di mana siang yang membakar memeluhkan keringat kerja
mengepulkan debu dan bau bensin di udara
dan malam yuang menyegarkan memulihkan kembali segala tenaga

kota-kota yang kadang bertekun dalam kerja
dan kadang ketawa dan alpa
yang di sibuk siangnya menghitung merencana
membuat grafik, menulis angka-angka
dan di senggang malamnya menyalakan lampu-lampu pesta –

kota-kota di mana pengemis dan jutawan anak kandungnya
di mana dalam peluknya yang mesra
pelacur menyimpan sendunya
dan penyair menyusupkan rindunya –

kota-kota yang mengasuh aku dalam peradabannya
dan melambaikan padaku kibran biru mimpi-mimpinya
yang melatih aku bersepatu
mengajar aku membaca buku-buku
dan membuat aku menuliskan dalam sajak segala yang kurindu –

kota-kota ini
di manakah akan kulihat kembali
kalau aku mati nanti

Aku akan melihatnya kembali
– kalau aku mati nanti –
dalam jiwaku sendiri

seperti panorama-panorama dalam mimpi
seperti tamasa-tamasa dalam puisi
seperti peta-peta, yang terkembang dalam diri
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973

CATATAN JAKARTA
..........buat mendiang Ch. A.

Di sini dulu kau jalan
di lorong-lorong Jakarta, jantung tanah tercinta
di sini dulu tanganmu memahatkan
dalam baris syair
bangsa muda lahir
baru bisa berkata:
merdeka, merdeka
Kita punya tanah air

Chairil. Berjuta suara padamu memanggil
di sini dulu ketika kau jalan
di hari-hari pertama kemerdekaan

Berjuta suara padamu memanggil
ketika rakyat bangkit, tanah air dibebaskan
ketika merdeka diserukan, mengawang di atas bunyi bedil

Dan kini aku berada di sini, di Jakarta
di sini juga kudengar suara
tapi kini ialah deru berjuta
rakyat yang bekerja

Aku di sini bersama mereka
yang bekerja
di panas matahari katulistiwa
bersama rakyat
aku memahat
puisi hitam coklat
puisi debu, batu dan keringat

Aku berada di sini, bekerja dan menyaksi
segala yang berjalan, yang tumbang, yang tumbuh berkembang
Aku berada di sini, bekerja dan menyaksi
di tanah tercinta suatu bangsa sedang berjuang
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973

1964Di manakah akan kuselamatkan kini
suaraku yang lembut bernama puisi
ketika, seperti Brecht pernah berkata:
bicara tentang pohon pun hampir suatu dosa

Di manakah akan kuselamatkan kini
suaraku yang sayup bernama puisi
ketika, seperti kini kita derita:
bicara tentang kebenaran adalah dosa

Maka aku pun tahu kini
kenapa Voltaire dibenci
tinggal ia di Ferney, di Bumi Swiss
jauh dari Perancis

Maka aku pun mengerti
kenapa Pasternak sepi sendiri
dan Mayakowsky
akhirnya bunuh diri
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973

DARI SEORANG GURU KEPADA MURID-MURIDNYA
Adakah yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber pengabdianku kepadamu.
Kalau hari Minggu kau datang ke rumahku
aku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana
dan meja tulis sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
semua padamu akan bercerita
tentang hidupku di rumah tangga

Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita
depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja
horison yang selalu biru bagiku
karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu muda
engkau terlalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua

PUISI-PUISI HARKIMAN

CHRISTMAS EVE
bermacam lampu menghiasi malam
ada juga yang kelap-kelip abadi-sejati
di pelataran toko ada banyak orang lalu
wanita dan pria, dan semua begitu indah

bermacam orang mengajak bersahabat
ada juga yang sederhana-sahaja tulus dan baik
dalam hidup tak ada lagi banyak pilihan
segala terjadi, dan segala pun bermakna

dalam pesta dansa wajah kita diterangi
kedip-kedip bola listrik warna-warni
kau siapa? aku siapa? kita siapa?
seperti filsuf, usia habis dalam bertanya saja

PERJALANAN KE POMARE
dalam kereta senja
banyak orang berbisik di gerbong
& ada penumpang berteriak
fuck you! fuck you!

kereta melaju terus
menembus terowongan
mengejar gelap malam
dalam hujan & petir

kondektur terdiam dalam kebingungan
& orang masih berbisik di gerbong
tentang istri di dapur
tentang pacar yang sedang menunggu
di stasiun

& kereta meluncur terus

penumpang itu berteriak lagi
fuck you! fuck you!

KEABADIAN
kemarin dan hari ini
ada di sini – berjubel
melihat bibir-bibirmu meneguk bir

waktu tidak ada

kita hidup dalam keabadian pikiran yang pedih

di Vivian St. malam itu
suara sepatu & detak jantung menodai
keheningan

& gema suaramu
dari seberang jalan yang gelap

panjang
& tiada berakhir

KEPADA PELUKIS YATIM
aku ingat galerimu
& lukisanmu tentang
orang miskin

aku ingat ceritamu
& keyakinanmu
bahwa semua orang sama

kecuali orang kaya
bisanya cuma menghina

DI TAITA
dalam sepiku
gadis kecil naik sepeda
& stasiun Taita
menunggu kereta dari terowongan bisu

sore itu
rumput-rumput liar menarikan rindu
& angin membawaku ke tepian samudra
yang jantungnya tak lagi berdenyut

o kota kecil
rumah-rumahmu adalah kematianku

TENTANG HARKIMAN
Lahir di Medan, Sumatra Utara, 9 Desember 1965. Mendapat gelar sarjana sastra dari Fakultas Sastra USU (1988) dan Master of Arts dari Victoria University of Wellington, New Zealand (1993). Sebelum “Sajak-Sajak Wellington”, karya puisinya juga pernah dibukukan dalam “Empat Kumpulan Sajak” (Medan, 1988) bersama karya 3 penyair Medan lain.

PUISI-PUISI HANNA FRANSISCA

PASAR BERINGIN
ingat bertahun lalu, nenekku bersanggul debu
menukar sepotong baju dengan sekerat daging
penuh luka

tiga kali bibirnya bergetar pucat
mengunci hentakan dadanya yang mencuat
menjaga martabat

“ada dewa dan leluhur di vihara
mengendap-endap dan mengambil keriput mataku
menjadi batu di surga,” begitu kau berkata

anak-anak tak boleh melihat
rahasia jahanam
dari ribuan mulut pasar saling melontar
riang terbang berkata: “ia pergi bersama lalat-lalat lapar!”

nenek dan surga berdiri dalam bayang ikan
subur telur menyerbu mata yang kabur
sayur dan bumbu
meledak dalam karung beras yang berhambur
menjadi hujan

ini bukan nyanyian nelayan
tapi pelayaran panjang
kolam liur yang berenang menjelajahi lidah

bulan-bulan lalu pergi
tahun-tahun telah lenyap
nenekku bersanggul debu telah hanyut
dalam sejarah asinan asam maram
serta kecut belacan yang diubahnya jadi daging
sehari-hari
dalam teduh mimpi, tempat bertumbuh
anak-anak kelak
yang akan berdoa
dengan mata sejernih
mutiara

“kulitnya menyusut, meninggalkan daging
dan membungkus bajunya kembali
pada asal ia dilahirkan.”

Jakarta, Januari 2010


PUISI KACANG HIJAU
: ibu

Tubuh berdenting
jatuh
di air bening
dahaga menderas
merebus hati
di dasar belanga

Dalam gelombang panas
Ibu menambah kuah gula dan kelapa
bersarung merah daster tembaga
ia titipkan matanya
dalam liuk api
yang mententeramkan cinta

Hijau kulitmu
biru api nasibmu
pecah biji kacang
satu persatu

Hingga senja tiba
menunggu usia binasa
Ibu menungkan seluruh dirinya
ke dalam mangkuk, lalu menitipkan anak-anaknya
pada hidup yang akan menjadikannya
dewasa

“Ini kacang hijau
atau hatimukah,
yang kami makan hari ini,
bersama Tuhan yang selalu
kauajak
bicara.”

Jakarta, Desember 2009


HARI KUE BULAN
ANAK PEREMPUANKU:

Bicarakan pada kue bulan
ini hariku terang dalam kelam

Atas segala yang dinamakan kasih,
Engkau memintal bayangan tepung,
dalam apung biji teratai,
manis gula, dan kacang merah tembaga
Untuk segala pesta meriah:
“Aroma pandan harum di taman,
jemputlah cerlang cahaya bersama malam!”

Kita ini tengah membagi cinta,
dalam kenangan airmata, yang jatuh
di gugur daun terakhir, di bulan purnama
hari kelima belas
Mengenang sembilan matahari
yang jatuh dipanah Hou Yi
Mengenang cinta abadi Chang Er
yang menyeru ke puncak bukit Kunlun
Mengenang Peng Meng
yang menelusup di peraduan Chang Er
--- Peng Meng pencuri
obat sakti hidup abadi

Maka Chang Er lembut berkata:
“Demi cintaku pada Hou Yi,
dan obat yang hendak kaucuri
aku minum sendiri penawar hidup abadi,
biar ragaku terbang menuju bulan,
tapi cintaku menerang
sepanjang zaman.”

Menyulut dupa di atas altar Dewa
kue bulan dan semangka,
Dewi Bulan di bawah malam
Anak-anak bergelak-tawa
di tali kasih antar saudara,
kami berdoa untuk keabadian keluarga

RUMAH LELAKIKU:
Bicarakan pada kue bulan
ini hariku terang dalam kelam

Engkau yang mengapung dalam amarah tepung
di atas tebaran biji teratai merah, kuning telur
yang pecah dalam belanga
Udara didih tungku, menguap aroma pandan
kue bulan mengeras dibelah empat penjuru
dimakan dalam hidang aroma dupa
mengambang engkau di bawah malam
meminta doa Dewa-Dewi:

“Perih hatiku di cerlang bulan,
Jangan biarkan nisanku dijejak perempuan.”

Minum arak di bawah bulan. Berjudi antar lelaki,
Tertawa untuk kerabat, gembira selamat untuk semua,
Sejahtera kita! berkah rezeki kita! umur abadi kita!

Aku membayangkan lelakiku telah menjadi Hou Yi
yang menikam jantung dengan sembilan panah.
Jika Hou Yi abadi menerbangkan raga pada matahari
dan membentangkan jembatan setia menuju bulan
dengan cahaya sepanjang malam;
maka aku biar berkata:
“Engkau yang menemu Chang Er pada hari kelima belas
di bulan delapan saat daun terakhir gugur!
Lihatlah sembilan panahmu,
telah tertancap di jantung perempuan.”

 Aku menghormatimu, Dewi Bulan
Tapi di rumah hatiku tiada harum
Tiada gandum yang berubah jadi tepung,
adonan kue keramat,
yang kelak diarak kerabat menuju altar.

Lihatlah didih tungku
yang mengembangkan kacang merah
menjadi tembaga,
leleh manis gula, mengental pada mata,
bulat kuning telur telah dibelah empat penjuru,
bersama semangka yang mengalirkan darahku:
hingga menyeru ke puncak bulanmu

Bicarakan pada kue bulan
ini hariku terang dalam kelam
Jakarta, september 2009

Catatan: Hou Yi dan Chang Er adalah suami isteri yang bernasib tragis dalam legenda kue bulan. Mereka merupakan simbol keutuhan keluarga etnis tionghoa. Hari Kue Bulan dirayakan pada bulan delapan tanggal lima belas dalam kalender Lunar, tepat di malam bulan purnama. 


KONDE
Penyair Han
menyanggul sajak
dengan bunga Padma:

"Tuan, sekepal jantungku berdegup mencarimu,
menggunting urat hasrat dari nafasmu,
dan Tuhanku mengajari menyimak,
mengejar lekuk yang kauasinkan dari hatimu.”


KAPUAS
Air Kapuas menyapu dedaunan
kering di lidah hitam berkerak
menjulur panjang. Aku mencari jejak perawanku
yang diterbangkan gagak menuju hulu
Riuh sepanjang tepian tempat leluhurku mengajari mandi
sebelum tiba umur berahi

Air mengalir. Air mengalir
Kotoran ngambang, cerlang cahaya siang, peri dan mambang
yang mencuci pipiku
pagi dan petang.

Kini di genap umurku, kucari kembali
bulu dan rambut yang ngalir bersama gurauan lelaki
di seberang kali. Dadaku tumbuh setiap hari
Para gadis yang malu-malu, melumuri kulit
agar terang purnama

Bunga bakung daun kecubung,
Mimpi yang nyangkut di bunga kastuba
Ibuku bilang jika gadis tiba matang,
Pergilah ke laut mencari pandang

Bebek-bebek. Kayu dan ranting. Tepian air.
Air mengalir. Air mengalir. Kubangun jembatan
dari perih nafasku, asin ludah pahit daki moyangku
mengalir lurus menuju laut, mencari tanah baru
tempat kekasih melabuhkan cinta. Menemu daratan rindu
tempat membuang segala sendu.

Aku berdenyar dalam sedih dermaga kayu
Aku bersijingkat pada pilu bayang perahu
Aku mengadu di atas sahdu rindang perdu
Dalam gelap bulan sinting aku bilang:
besok aku pergi
dan kembali
menjelma bidadari

Sungai yang beku, ataukah waktu kejam melaju
menuju hulu? Bau lumpur lantaran jejak ibuku ataukah
gelap bajuku karena rindu?

Air mengalir. Air mengalir.
Kapuas menjelma hantu seperti dulu
Hitam nasibku, hitam nasibmu, menderas angin
menuju samudera biru.
Kalimantan Barat, Januari 2010


SANG NAGA
: Abdurrahman Wahid

Di hari lain aku menghela khilin
mengiring barongsai lincah menari
sementara angin berkibar melaju
mengibas-ngibas kedua telingaku

Aku kian berjalan menyeberangi naga
yang engkau bentangkan,
kali ini aku di samudera luas
dengan segala ombak menyisir arus
kadang harus tenggelam
kadang muncul ke permukaan

Jiwaku terombang-ambing tarian gelombang
melambungkan aku di tinggi awang
hingga aku lelah bertanya,
“Siapa aku sesungguhnya?”

“Engkau.
Engkau adalah putriku,
naga yang ditolak separuh badan,
untuk dimakan separuh yang lain,
Tapi kini datanglah! Kau aman
di pelukan hatiku.”
Jakarta, Januari 2010

SURAT BUAT PAHLAWAN
: Bebek Peking

Berjuanglah kekasih, di rentang tali
sepanjang sungai mengalir
yang mengikat lehermu, dalam tali simpul mati
agar rentang sayang dan kakimu bebas menari

Lepaskan lemak, lepas peluh dalam tubuh
Surga menanti di pintu yang teduh!


Arus deras yang mengalir di bawah kakimu, jangan takut
Tak akan hanyut badan ke muara,
tak kan putus rentang tali di simpul mati.
Maka bergeraklah wahai kekasih,
kepak sayapmu, rentang tubuhmu hingga hilang
lemah dan apak, yang kelak jadi bukti bahwa engkau
benar lelaki.

Adalah tugas lelaki,
menyiapkan cinta dalam kuali


Baiklah kukatakan ini: Jikalau ada pacar sempat mampir
dalam semalam, pamitlah sebelum tiba fajar.
Sebab tajam pisau di lehermu nanti,
akan menjadi doa terakhir bagi betinamu yang khawatir,
Katakan padanya, "Tak perlu khawatir.
Bukankah telah kutanam benih di rahim subur,
dan tugasmu adalah merawat telur?
Aku cinta padamu, di surga kita bertemu."

Tahukah engkau nasib anjing belum genap umur
sebelum diracik bumbu dapur?
Dibekap mulut dalam karung,
dibentur batu
agar darah tetap beku. Sebab kelezatan darah beku,
mengalahkan rasa malu dari kalbu. Mau kamu begitu?
Tahukah engkau nasib babi panggang
yang ditikam besi panjang sebelum maut
benar menjemput?

Sebagai kekasih, tugasmu ringan sekali
sebab meski leher diikat tali panjang sepanjang malam,
engkau masih bisa terus bernyanyi.
Tak kan ada makanan di perutmu,
sebab perut kenyang selalu menghalang kesempurnaan.
Deras sungai akan mengalirkan kasih,
dingin malam begitu indah.
Bernyanyilah.
Asal kaki selalu berjejak rindu,
mengepak semua bulu di riak menderu.

Bernyanyilah.
Kutunggu nasibmu di fajar subuh:
laparmu hilang, dagingmu kesat,
dan apak tubuhmu lenyap begitu cepat.
Begitulah kewajiban dan seluruh kebahagiaan dimulai,
hingga jasadmu terbaring
di dasar kuali

Jika tajam pisau membuatmu ngeri,
sesendok cuka di perut kosongmu segera membuatmu lupa.
Percayalah, jika cuka masam dituang
sebelum mata pisau membenam,
seluruh bulumu akan merinding berdiri.
Urat-urat perutmu memang terkoyak,
mengejang sebentar
dalam gelepar,
lalu meradang mengaburkan pandang.
Untuk itulah bulumu terpaksa berdiri.
Jangan takut sebab matamu pasti buta.
Tak perlu gentar jika telinga tak lagi mendengar.
Pisau tajam akan menolongmu
untuk mati.

Apakah itu sakit?
Dengarkan: sakit yang melampaui batas sakit
akan menghilangkan rasa sakit.
Sebab engkau memang tengah sekarat.
Tapi hal terpenting dari semua pelajaran: adalah bakti
dari seluruh bulumu sepenuh hati.

Bagaimana kelak kulitmu licin seperti bayi,
jika kau sembunyikan urat akarmu di balik bulu?
Bukankah setiap makhluk selalu ingin kembali
seperti bayi?

Orang-orang sungguh mencintaimu, kekasih.
Terimalah, segenap pujian hanya untukmu.
Hanya untukmu saja. Bila kelak
mereka bicara, "Daging ini sedap sungguh.
Tak lengket di lidah.
Licin tak ada bulu. Tandas tak ada bau."
Semua itu semata demi nama baikmu.
Engkau boleh tersenyum tentu.
Di alam tempat segala kebaikan.
Di mana Tuhan
selalu bersemayam.

Semoga engkau berbahagia.
Amin.

TAIWAN DI KOLAM MATAKU
: Singkawang

Debur Natuna mengais asin Laut Kuala
Ke hulu Roban amis tubuh melayarkan perahu
Teringat Vihara Ci Kung, gunung-gunung
menghuyung, buih terombang-ambing,
mencari arwah angin
dari Bengkayang.

Di muara Sungai Singkawang
ribuan amoi memandang Laut Cina Selatan
Mencari gelombang biru,
dalam indah pecah matahari,
hangat cinta yang terus menunggu

Pohon-pohon selalu tumbuh di sini
pacarku: subur mengirim sejuk
ranting-ranting lampion
menusuk mata kalbu

Riak air riak kolam mata ibu
mengalir lurus ke jantung hati.

Ke Singapura kalian menuju
di Teluk Taiwan kalian tertawan
Mengapung beribu, Si Anak Gadis
dipinang diburu: “Cari, di sinilah cari,
sayangku. Mata sipit untuk setubuh Tuan,
dan sekaligus sanggup berpeluh. Pekerja keras
tak kenal mundur. Telapak keras,
garis tangan hidup. Singkawang
surga pelancong, Tuan. Carilah jodoh,
ajak gadismu melintas seberang.
Jadikan pacar Si Mata Sipit
untuk berkencan bukan semalam,
jadikan saja istri untuk bekerja.”

Samudera biru, lautan luas nyanyi
sendu. Kolam air mata ibu,
mengalir lurus ke jantung hati

Di Taman Bougenville Si Jangkung
kelopak melayang murung.
Udara tuba pelataran Vihara,
dupa ibu doa bagi yang menderita.
Arwah leluhur melayang
dari Bengkayang, menuju Laut Natuna
ke Cina Selatan.

Di Kuil Surga Neraka
aku berpulang ke kampung halaman
Jejakku kini
lunas kutuliskan
Singkawang, Agustus 2009

DI DEPAN KUBUR KELUARGA
di Hari Perayaan Hantu

Aku datang padamu dengan sepasang lilin putih
agar hidupku terang bercahaya

Tiga jenis buah, agar aku sehat senantiasa
Kua apam merah besar, agar jaya makmur sejahtera
Tak lupa seekor ayam jantan rebus
yang amat kausuka waktu di dunia
kupersembahkan semata demi berkahmu

Lihat aku bersimpuh, memberi hormat padamu
sepenuh hati, serendah-rendah derajat diri
lewat nyala tiga batang hio:
semoga namaku kelak seharum aroma dupa

Demi kehormatan keluarga, kubakarkan kau sedikit uang
yang kudapat susah payah dan kusimpan
hati-hati. Begitulah uang sedikit memang harus
disimpan teliti.
Kini aku bakar tanpa ragu, satu per satu,
di depan kemuliaan namamu:
agar kau sudi menukarnya bagiku, di alam nyata,
dengan kelipatan tak terhingga

Demi Dewa Chai Shen
yang berkeliaran pada malam imlek
Edan! Aku benar-benar edan!
Demi segala Dewa pemberi rezeki
yang berkeliaran sepanjang tahun
Lupa! Aku benar-benar lupa!
Baik kuakui aku hewan melata
yang pantas dimaafkan.
Di hadapan kuburan keramat
yang wajib dipuja, aku tak malu mengaku:
“Dulu, selagi kau hidup tak kurawat sedemikian rupa.
Dulu kau tiada berharta, sehingga kami pantas lupa …”

Tapi kini engkau lihat aku sungguh menangis
Kau telah mati di pelukan Tuh Thi Pak Kung,
Dewa Bumi dan Dewa Segala Rezeki,
Engkau terlihat begitu Berjaya.
Penuh ilmu ghaib
dan jampi-jampi:
bisa membuat kaya

Dengan nyala sepasang lilin putih
semoga hidupku bercahaya!
Dengan tiga jenis buah agar diriku sehat senantiasa!
Dengan merah apam besar agar diriku makmur sejahtera!
Aku berterus terang tanpa malu:
meminta segala yang kaupunya,
menjadi kaya

Tiga batang hio ke dua telah kubakar untukmu,
semoga namaku kelak semerbak seperti dupa

Nisan tegak
Nyala lilin cahaya berdetak
Dupa asap hio dan mantra
Debu asap uang menabur udara
Dari tembok pusara
Hingga pelataran gapura
Menjadi mantra

“Duhai arwah yang bersemayam dalam pusara,
Saudara kami penuh cinta. Terakhir kini kuminta.
Di luar nasib dan rezeki, bukankah ada nomor-nomor jitu,
angka angka meja judi, yang bisa engkau bisikkan
atas restu dari kemurahan para Dewa?”

“Engkau arwah yang dijauhkan dari duka lara,
kami telah datang memenuhi kewajiban,
memuliakan kubur yang jaya,
dengan syarat dan pinta,
menyenangkanmu semata.”

Bukakah hati kami pada ajaibnya angka-angka,
yang membuat kami kelak,
tidak perlu lagi bekerja.

Amin. Amin. Amin.
Sadhu. Sadhu. Sadhu.
Jakarta, September 2009

TENTANG KITA, 1
: pendamping hidupku, chin miauw fuk

Bulan berlabuh di samping dipan
Angin memang dingin, selalu menggigilkan tulang.
Di langit ada udara, ada bara,
tempat mendidihkan titik uap di tubuhmu.
Engkau terkapar sejak dijenguk panas dingin
yang enggan pulang.
Malam, siang, berganti dengan aneh dan selalu sama.
Gairah hidup memeras peluh.
Engkau tetap mendekap erat, bulan yang kini berkarat.
Aku melihatmu, engkau melihatku, kita saling pandang.
Duhai, apa yang sedang bergumul di depan mata?
Andai kubisa, ingin terjun dan tenggelam
dalam kubangan sakitmu.
Jika kau lihat bulan yang kini meluncur di langit,
di sana telah kusimpan derita seumur hidupku.
Untuk dirimu.
Sendiri.
Jakarta, 10 Juni 2009


TENTANG HANNA FRANSISCA (ZHU YONG XIA)
Hanna Fransisca (Zhu Yong Xia) lahir 30 Mei 1979, di Singkawang, Kalimantan Barat. Menulis puisi dan prosa. Puisi dan cerpennya pernah dimuat di Kompas, Koran Tempo, Suara Merdeka, Malang Pos, dll. Kumpulan puisinya ini masuk shortlist nominasi KLA tahun, kalau tak salah 2010. Tulisan-tulisan motivasinya bisa dijumpai di www.andaluarbiasa.com.