Minggu, 10 Mei 2015

PUISI-PUISI GOENAWAN MUHAMMAD

DI MALIOBORO

--kepada seseorang yang mengingatkan saya akan Iramani, yang dibunuh di tahun 1965--

Saya menemukanmu, tersenyum, acuh tak acuh
di sisi Benteng Vriedenburg

Siapa namamu, kataku, dan kau bilang:
Kenapa kau tanyakan itu.

Malam mulai diabaikan waktu.
Di luar, trotoar tertinggal.

Deret gedung bergadang
dan lampu tugur sepanjang malam

seperti jaga untuk seorang baginda
yang sebentar lagi akan mati.

Mataram, katamu, Mataram...

Ingatan-ingatan pun bepercikan
--sekilas terang kemudian hilang-- seakan pijar
di kedai tukang las.

Saya coba pertautkan kembali
potongan-potongan waktu
yang terputus dari landas.

Tapi tak ada yang akan bisa diterangkan, rasanya

Di atas bintang-bintang mabuk
oleh belerang,

kepundan seperti sebuah radang,

dan bulan dihirup hilang
kembali oleh Merapi

Trauma, kau bilang
(mungkin juga, "trakhoma?")
membutakan kita

Dan esok los-los pasar
akan menyebarkan lagi warna permainan kanak
dari kayu: boneka-boneka pengantin
merah-kuning dan rumah-rumah harapan
dalam lilin.

Siapa namamu, tanyaku.
Aku tak punya ingatan untuk itu, sahutmu.
1997

TIGRIS

Sungai demam
Karang lekang
Pasir pecah
pelan-pelan

Gurun mengerang: Babilon!
Defile berjalan

Lalu Tuhan memberi mereka bumi
Tuhan memberi mereka nabi

Antara sejarah
dan sawah
hama
dan Hammurabi

Setelah itu, kita tak akan di sini

Kau dengarkah angin ngakak malam-malam
ketika bulan seperti
susu yang tertikam
ketika mereka memperkosa
Mesopotomia?

Seorang anak berlari, dan seperti dulu
ia pun mencari-cari
kemah di antara pohon-pohon tufah

Jangan menangis.

Belas adalah
Iblis karena Tuhan telah menitahkan airmata
jadi magma, bara yang diterbangkan bersama
belibis, burung-burung sungai yang akan
melempar pasukan revolusi
dengan besi dan api
"Ababil! Ababil!" mereka akan berteriak.
Bumi perang sabil.

Karena itulah, mullah, jubah ini
selalu kita cuci dalam darah di tebing
Tigris yang kalah
Dari Najaf ada gurun. Kita sebrangi
dengan geram dan racun. Dan tiba di Kerbala
akan kita temui pembunuhan
yang lebih purba.

(Ibuku. Seandainya kau tahu kami adalah anak-anakmu)
1986

PADA ALBUM MIGUEL DE COVAROBIAS

Kuinginkan tubuhmu
dari zaman
yang tak punya tanda,
kecuali warna sepia.

Pundakmu
yang bebas ,
akan kurampas
dari sia-sia.

Akan kuletakan sintalmu
pada tubir meja:
telanjang
yang meminta

kekar kemaluan purba,
dan zat hutan
yang jauh, dengan surya
yang datang sederhana.

Akan kubiarkan waktu
mencambukmu,
lepas. Tak ada yang tersisa
dalam pigura

juga api yang tertinggal
pada klimaks ketiga,
juga para dewa, juga kau
yang akan runduk

Kematian pun akan masuk kembali
kembali, kembali...
Mari.
Kuinginkan tubuhmu

dari zaman
yang tak punya tanda
kecuali
warna sepia
1996

TENTANG SEORANG YANG TERBUNUH DI SEKITAR HARI PEMILIHAN UMUM

“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku”

Seperti jadi senyap salak anjing ketika ronda menemukan mayatnya
di tepi pematang. Telungkup. Seperti mencari harum dan hangat padi.
Tapi bau sing itu dan dingin pipinya jadi aneh, di bawah bulan.
Dan kemudian mereka pun berdatangan - senter, suluh dan
kunang-kunang - tapi tak seorang pun mengenalnya. Ia bukan orang sini, hansip itu berkata.

“Berikan suara-Mu”

Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih.
Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan bisik.
Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak
bertandagambar. Ia tak ada yang menagisi, karena kita tak bisa menangisi. Apa gerangan agamanya ?

“Juru peta yang Agung, dimanakah tanah airku ?”

Lusa kemudian mereka membacanya di koran kota, di halaman
pertama. Ada seorang menangis entah mengapa. Ada seorang
yang tak menangis entah mengapa. Ada seorang anak yang letih
dan membikin topi dari koran pagi itu, yang diterbangkan angin
kemudian. Lihatlah. Di udara berpasang layang-layang, semua
bertopang pada cuaca. Lalu burung-burung sore hinggap di kawat,
sementara bangau-bangau menuju ujung senja, melintasi lapangan
yang gundul dan warna yang panjang, seperti asap yang sirna.

“Tuhan, berikan suara-Mu, kepadaku”

2
Karena malam tak sepenuhnya tertembus, juga
oleh kelelawar yang mabuk, taufan antah-berantah
dan rembulan yang gila, harapan jangan-jangan
bermula dari sikap yang tak mengeluh pada batas.

Makin tahu manusia tentang luasnya alam semesta,
makin tampak bumi menyendiri dan manusia
terpencil. Planet ini hanya setitik noktah yang
cepat hilang. Tapi pada saat yang sama, dalam
keadaan yang praktis terabaikan itu, hilang dan
ketiadaan bukanlah sesuatu yang luar biasa.

Hidup begitu dekat dan Ketiadaan begitu megah.
Saya teringat sebaris kalimat Sitor Situmorang
dalam sajak “Cathedral des Chartres”: “hidup dan
kiamat bersatu padu.”



9
Angkor Wat: saya berdiri di depan Candi Bayon.
Hutan dan kesunyian, patung dan puing, kabut dan
hujan, dan para biksu yang berteduh di ruang-ruang
kecil candi seraya bersemadhi …

Tidakkah mereka sebenarnya tengah bersatu dengan
Waktu yang tak terduga dalamnya – bukan waktu
yang dibentangkan ke khalayak ramai, bukan waktu
yang gampang diukur, tapi sebuah ekstasis. Saat
yang dahsyat. Saat ketika sang subyek raib, tak lagi
berdaulat.

Buddha memang mengajarkan anatman dan anitya:
ia menunjukkan bahwa tak ada subyek yang sama,
tak ada yang permanen. Hidup adalah sebuah arus
eksistensi yang selalu lahir kembali, tapi tiap-tiap
kali berbeda, tiap-tiap kali satu momen kelahiran tak
ingat akan kelahiran sebelumnya, juga tak akan tahu
kelahiran yang kelak.

Agaknya itu sebabnya kematian, keberanian,
kesedihan, dan cinta, tak henti-hentinya ditulis
dan diabadikan oleh para penyair – dan apa yang
menggetarkan dari Mahabharata, yang sayu dari
Shakespeare tak terasa sebagai hanya replika, tak
cuma mengulang hal yang itu-itu saja.

Sebab itu, bagi mereka yang percaya akan dukkha,
anatman, dan anitya, patung adalah puing, hutan
adalah kesunyian, dan hujan seperti kabut. 

74
Antara alasan dan arah terbentang garis, tapi tak
selamanya hidup menempuh garis itu. Mawar
ada tanpa kenapa, ia mekar karena mekar, kata
Angelus Silesius.

Tak adakah alasan Tuhan? Sang mistikus
akan menjawab “tidak.” Hanya Tuhan yang
dibayangkan sebagai sosok, hanya Tuhan macam
itu yang butuh alasan dan tujuan – dan dengan
demikian seakan-akan Ia bergerak dalam-ruang.
Tanpa kejutan. Tanpa menyebabkan rasa lega.
Mungkin itu sebabnya Nietzsche hanya mau
percaya kepada Tuhan yang menari.

63
Tamblingan: Siapa yang pernah menanam pohon
akan tahu bahwa yang tumbuh bukan hanya
sebuah batang dalam ruang, tapi juga sebentuk
tanda dalam waktu.

Berapa ratus tahun terhimpun dalam hutan yang
masih utuh di sekeliling Danau Tamblingan?
Ribuan pokok tua dan muda saling merapat, jalin-
menjalin bersama perdu, carang dan sulur; sekitar
pun tambah rimbun oleh gugus-gugus pakis yang
entah sejak kapan menyembunyikan jalan setapak.

Senja itu saya berjalan di sana, di tepi telaga di
perbukitan Bali Utara itu, menembus semak,
entah berapa kilometer, dalam kesepian yang
hanya terusik oleh bunyi langkah sendiri. Jauh di
timur, di tepi danau, tampak sebuah pura kecil
yang nyaris terlindung. Di saat itu, di separuh
gelap yang hijau itu, yang kekal hadir. Keabadian
bergerak. Tiap detik seakan-akan menyelinap
menyatu dalam klorofil daun damar. Abad seakan-
akan bergetar di ruas batang trembesi.

Mungkin sebab itu, ketika hutan ditebang, waktu
pun berubah. Bagaikan sepetak tanah yang
gundul, di mana jalan akan direntang dan pasar
akan dibangun, waktu pun terhantar, datar, siap
diukur. Tamasya itu – hutan yang hilang, waktu
yang dirampat – tak lagi punya tuah. Ia hanya
punya harga. Ia hanya punya guna. Tiap jengkal
telah tercampak, menyerah ke dalam rengkuhan
kalkulasi manusia. Waktu yang menakjubkan, juga
“puak yang perkasa dan damai” itu – ungkapan
Marcel Proust tentang pohon-pohon – pun tak
dilahirkan kembali.

Hutan, saya kira, adalah wilayah penghabisan
di mana Kegaiban masih belum hilang, di mana
Misteri belum dipetakan. Itu sebabnya, dulu, raja-
raja yang uzur menyingkir ke dalamnya sebagai
pertapa, untuk – seperti Destarastra, disertai
Gandari dan Kunthi dalam bagian terakhir
Mahabharata – menantikan mati. Para penguasa
yang mengubah diri jadi resi itu tak lagi berniat
menaklukkan dunia. Mereka datang ke rimba
menemui kembali pohon-pohon.

35
Saya berdiri di bawah surya pukul 9:00 yang
menyenangkan di sebuah pagi di tahun 1962.
Pori-pori kulit serasa bergetar, ultraviolet matahari
meresap. Saya sendirian. Tapi burung-burung
gereja sibuk bergantian hinggap di pelataran.
Dari pohon tepi jalan, bayang-bayang juga turun
menyentuh tanah.

Apa gerangan arti burung-burung, hangat pukul
9, pohon yang rindang? Di tahun 1960-an itu saya
telah melupakan pertanyaan macam itu. Bangun
pagi, berjalan siang, dan tidur malam saya tak
menyadari bahwa ada nilai tersendiri dalam hal-
ikhwal yang cuma melintas, tak pasti, dan sepele.
Waktu itu Indonesia adalah arena kata-kata yang
membahana: “Revolusi,” “Sosialisme Indonesia,”
“Dunia Baru” – semuanya dengan huruf kapital,
semuanya dengan pekik, poster, dan pengeras
suara, semuanya menggugah, menerobos jiwa.

Saya memandangi kembali burung-burung itu.
Tiba-tiba saya sadar, tak pernah saya terkesima
akan hal yang sebenarnya dahsyat tapi tersisih:
warna bulu yang menakjubkan itu, sepasang mata
yang seperti merjan jernih itu, sayap yang serba
sanggup itu. Ternyata selama ini saya tak punya
waktu buat tetek-bengek. Kami hanya menyimak
soal-soal besar agar dunia jadi lebih adil di masa
depan.

Ada yang salah agaknya. Masa depan hanya
berarti jika kita tak bilang “tidak” kepada burung
gereja di pelataran hari ini.

81
Kita hidup dengan warisan Cervantes. Para
ksatria telah punah. Kita tahu, Don Quixote,
lelaki tua krempeng yang naik kuda jelek itu
– yang membayangkan diri seorang Don yang
bersedia berperang untuk menegakkan nilai-nilai
yang luhur – adalah tetap Alonzo Quixano yang
miskin. Bila ia meninggalkan rumahnya buat
bertualang dan berperang untuk memperbaiki
Dunia, itu karena ia majenun.

Namun dari tangan Cervantes, Don Quixote justru
kemajenunan yang mengharukan: di sampingnya
ada Sancho Panza. Petani pendek tambun dengan
pikiran sederhana ini mengikutinya dengan setia,
antara percaya dan tidak.

“Ajaibilah aku tanpa keajaiban!” serunya suatu
kali. Ia tak punya waham. Ia tahu bahwa
bertempur melawan kincir angin bukanlah
bertempur melawan raksasa yang menyamar
dengan sihir. Ia tak melihatnya sebagai suatu
konfrontasi yang dramatik. Ia bisa hidup tanpa
drama. Tapi ia tak meninggalkan Alonzo
Quixano.

Bagi Sancho, hidup adalah kiat untuk beroperasi
di celah-celah apa yang mungkin. Tapi hidup
tak hanya sepenuhnya terdiri atas yang “apa
tak mungkin.” Ternyata manusia juga bisa
menghendaki sesuatu yang mustahil tapi niscaya,
misalnya keadilan. Terkadang ada sesuatu yang
berharga di luar tatanan praktis, sesuatu yang
mendorong manusia untuk membuat sejarah.

Justru karena miskin, Sancho bisa dekat dengan
Don Quixote.

Ia tahu hanya manusialah yang bisa bermimpi
dan menyiapkan perubahan, justru di dunia yang
tak terpenuhi. “Manusia menentukan, Tuhan
mengecewakan,” begitulah ia berkata.

89
Keadilan adalah sesuatu yang ada justru karena
tak hadir. Ia ibarat akanan. Kita melihatnya ketika
kita berdiri di tepi laut dan memandang nun
jauh di sana, tanpa tahu bagaimana wujudnya.
Ia kosong yang selaik kolong – kosong yang
dapat diberi nama dan ditunjuk. Ia absensi yang
menghimbau; tandanya luka pedih yang terjadi
ketika ketidak-adilan menguasai ruang.

Mungkin itulah sebabnya riwayat pergolakan
sosial di Indonesia adalah riwayat orang-orang
tertindas yang menantikan yang tak ada: Ratu
Adil. Semakin absen keadilan, semakin yakin
orang-orang ia akan muncul secara dramatis di
hari akhir.

Akhirnya sejarah adalah kisah orang-orang yang
mencicil: dalam penantian itu, manusia menebus
yang absen dengan mencoba merawat keadilan
(dengan “K”) tiap hari, bagaikan merawat lapisan
humus di ladang kebersamaan.

Keadilan, dengan “K”, tentus saja tetap disimpan
dalam kamus, meskipun kamus itu tak dapat
mendefinisikannya dan mengurungnya.

45
Praha, atau Den Haag, atau … Kota ini seperti tak
terbiasa juga dengan dingin, dengan malam,
meskipun berabad-abad ia berdiri, setengah
lelah. Gedung-gedung menanggungkan musim
tak putus-putusnya, tapi juga di ujung Oktober
ini ada yang terasa mengkeret oleh cuaca; plasa,
taman, boulevard, juga pasar yang tadi siang
terhampar. Hujan menjatuhkan ujungnya yang
tajam, kerap, dingin. Dari beberapa sudut,
lampu jalan – masing-masing seperti bersendiri
– adalah cahaya yang kuyup. Angin mengaum.
Kita mendengar derunya lewat di antara celah
yang terbentuk oleh bangunan tinggi.

Tak ada orang di jalanan. Semakin larut malam,
semakin tampak aspal dan semen bertambah
datar. Mobil melintas satu-satu, seperti terpaksa.
Trem, bahkan dengan derak roda pada rel, jadi
bagian dari sunyi yang tak dikehendaki.

Kota ini seperti tak terbiasa juga dengan malam
… Tapi benarkah? Tiap kota mengandung paras
yang pura-pura. Tiap kota punya wajah yang
hanya kita ingat ketika gelap, hujan, dingin,
Desember; datang. Tiap kota adalah ruang scene
dan ob-scene: ada yang dipertontonkan, ada yang
disingkirkan seperti najis. Gelandangan yang
merapat ke pojok-pojok. Para penjaga malam
yang merasa sial. Pelacur yang terhalau. Bajingan
yang selamanya siap. Di sebelah lain dari poster
iklan Gucci yang dipasang di halte-halte, mungkin
ada anak kecil penjual korek api dari cerita
Andersen, seorang bocah lapar yang mencoba
melawan beku, di sebuah hari Natal, dengan
menyalakan batang-batang geretan satu demi
satu, sampai habis. Kita tahu ia akan mati, tak
nampak.

67
Laut itu perempuan. Menurut legenda yang
beredar sejak Mataram, ia Ratu Kidul dari
samudera Selatan yang sesekali datang
mendampingi Panembahan Senapati, pendiri
kerajaan itu, orang kuat abad ke-16.

Dalam Kitab Wedhatama yang ditulis tiga abad
kemudian, Senapati bukanlah seorang penakluk,
tapi pertapa pengembara yang menyapa siapa saja
dengan manis, sabar dan tulus, mardawa ing budaya
tulus. Demikianlah di pantai selatan itu ia duduk
bersemadi hingga larut, mengundang datang ke
dalam dirinya sumber yang dalam dan jauh yang
mengirim ombak tak putus-putusnya.

Tapi ada ambivalensi di sini. Dalam semadi itu
laut menjelma jadi sesuatu yang masuk ke dalam
diri, namun ia seakan-akan dapat digenggam di
telapak tangan:

Kinemat kamot ing ndriya
Rinegem sagegem dadi

Dengan kata lain, di satu pihak Senapati
membiarkan dirinya terbuka kepada yang-lain
yang nun di sana, tapi di lain pihak ada kehendak
merengkuh dan berdaulat atasnya, dumadya
angratoni. Dalam dirinya ada sikap menghayati
hidup sebagai pengembaraan di atas bumi, di
bawah langit, di antara yang fana, di hadapan
yang “ilahiat” – empat lipatan yang disebut
Heidegger sebagai das Geviert. Tapi pada saat
yang sama Wedhatama meletakkannya dalam posisi
yang unggul. Kepadanya sang Ratu Kidul datang
merunduk, sor prabawa lan wong agung ngeksiganda,
bagaikan kalah oleh aura yang terpancar dari
orang agung Mataram itu.

Tapi bagaimana pun sang laut tetap berdaulat.
Ratu Kidul hanya datang mendampingi sang
pertapa dalam alam yang tak terlihat, dalam
momen yang hening, djoroning alam palimunan,
ing pasaban saben sepi. Dengan kata lain, dalam
suasana meditatif. Hanya dengan itu, hanya
dalam keadaan itu, di mana empati berbicara
nugraha atau berkat Sang Ratu masih berlaku.

56
Yang membedakan Sherlock Holmes dari tokoh
dalam dongeng Andersen ialah pipanya. Dengan
itu sang detektif menutup mulutnya, menghindari
percakapan, berkonsentrasi penuh untuk berpikir,
dan secara sistematis menggerakkan nalarnya
setapak demi setapak sampai akhirnya, bravo, sang
pembunuh terungkap. Baru setelah itu, Holmes
berbicara dengan sahabatnya, Watson. Atau lebih
tepat, menjelaskan logikanya kepada pembaca
melalui Watson.

Dalam dongeng Andersen, tokoh dan kebenaran
lahir bersama dalam percakapan. Bahkan
terkadang dalam keramaian. Tentang maharaja
yang tertipu pakaian ajaib, misalnya. Kita ingat
saat kebenaran muncul ketika di sela-sela para
penonton yang tengah mengelu-elukan maharaja
itu seorang bocah berteriak, “Hai, baginda
telanjang!” hingga orang ramai pun sadar bahwa
si anak benar dan mereka pun berteriak, “Hai,
baginda telanjang!”

Tapi Andersen tak menutup dongengnya di
sini. Alkisah, Baginda pun tetap melanjutkan
parade, tetap tegak, tetap bugil, dan seperti yakin.
Mungkin ia berharap orang ramai itu akhirnya
akan percaya bahwa ia sedang mengenakan
pakaian yang tak akan tampak oleh mata mereka
yang pandir.

Dengan kata lain ia mempersoalkan: apa
kebenaran, sebenarnya? Seandainya ia pernah
dengar Goebbels …

Goebbels, menteri propaganda Nazi itu,
memperkenalkan sebuah mekanisme: bila
sepotong dusta diteruskan berulang-ulang, ia akan
berubah jadi kebenaran. Dengan meneruskan
parade, sang maharaja tampaknya setuju bahwa
kebenaran adalah hasil konsensus, dan konsensus
tak bebas dari kebohongan dan kekuasaan.

Dalam arti tertentu dongeng ini menertawakan
zaman rasionalisme, ketika subyek diperlakukan
sebagai sumber nalar yang kekar dan lurus –
ketika orang menduga bahwa tak ada kekuasaan
di luar itu dan percaya bahwa kita bisa mencapai
kebenaran dengan memasang pipa di mulut, tak
bicara, menyendiri.

28
Agama dimulai dari hening dan saat yang
dahsyat dan berakhir dengan konstruksi. Budha
di bawah sebatang pohon di Bodh Gaya, Musa
di puncak Sinai, Muhammad di Gua Hira: tiap
situasi hadir sebagai situasi terpuncak, momen
yang tak lazim, ketika seseorang mengalami
kehadiran sesuatu yang Maha Lain, yang numinous,
sebagaimana digambarkan Rudolf Otto: misterius,
menakutkan, memukau. Di abad ke-5, atau 500
tahun sebelumnya, Santo Agustinus mengucapkan
perasaan yang mirip: “Dan aku gemetar dengan
kasih dan ngeri.”

Agama dimulai dengan gemetar, ada rasa kasih
dan ngeri, ada amor dan horror – tapi tampaknya
sesuatu dalam sejarah manusia telah menyebabkan
ia berakhir dengan sesuatu yang rapi: desain dan
bangunan. Berabad-abad setelah bertemu dengan
sang numinous, kita pun menyaksikan sesuatu yang
tak lagi mengungkapkan senyap. Di hadapan kita
kenisah yang megah, mesjid yang agung, gereja
yang gigantis, patung Budha dari emas yang
terbujur 14 meter, pagoda dengan pucuk yang
berkilau – dan umat yang makmum, berdesak …

Tampaknya pengalaman religius akhirnya selalu
dicoba diabadikan dengan sesuatu yang kukuh
– yang sebenarnya fantasi tentang yang kekal.
Atau yang menjulang – yang sebenarnya fantasi
tentang yang luhur. Atau yang gemerlapan – yang
sebenarnya fantasi tentang yang indah mempesona.

Akhirnya bukan sepi yang mengambil alih, tapi
struktur.

Yang umumnya tak disadari ialah bahwa struktur
itu harus disusun dengan kekuatan yang terhimpun.
Siasat dan alat harus dikerahkan seperti ketika
kita membangun imperium dan mengurus bisnis.
Kalkulasi akan dibuat atas segalanya, termasuk
waktu – yang tak lagi sama dengan momen ajaib.
Waktu jadi sesuatu yang bisa dipetak-petak dan
diukur. Waktu jadi seculum.

Persis di situlah yang sekuler merasuk di dalam
yang religius.

34
Yang indah memang bisa menghibur selama-
lamanya, membubuhkan luka selama-lamanya,
meskipun puisi dan benda seni bisa lenyap. Ia
seakan-akan roh yang hadir dan pergi ketika kata
dilupakan dan benda jadi aus.

Tapi apa arti roh tanpa tubuh yang buncah dan
terbelah? Keindahan tak bisa jadi total. Ketika
ia merangkum total, ia abstrak, dan manusia dan
dunia tak akan saling menyapa lagi.

91
Dengan menerima metafor kita tahu, bahwa pada
mulanya bukanlah Kata, melainkan tafsir. Dunia
menyentuhnya sepanjang perjalanan, ruang dan
waktu mengubahnya.

Memang mencemaskan jika Yang Kekal, juga
tanda-tandanya, tak hadir di antara kita:
masa lalu akan terasa bodoh dan masa depan
hampa. Tapi kesalahan kita selama ini ialah
menyimpulkan bahwa jika Yang Kekal mustahil
bergabung dengan yang fana, maka ia sebenarnya
tak ada. Atau sebaliknya: yang fana kita anggap
yang berdosa.

DALAM KEMAH
Sudah sejak awal kita berterus terang dengan sebuah teori: cinta adalah potongan-
potongan pendek interupsi – lima menit, tujuh menit, empat … Dan aku akan
menatapmu dalam tidur.

Apakah yang bisa bikin kau lelap setelah percakapan? Mungkin sebenarnya kita
terlena oleh suara hujan di terpal kemah. Di ruang yang melindungi kita untuk
sementara ini aku, optimis, selalu menyangka grimis sebenarnya ingin menghibur,
hanya nyala tak ada lagi: kini petromaks seakan-akan terbenam. Jam jadi terasa kecil.
Dan ketika hujan berhenti, malam memanjang karena pohon-pohon berbunyi.

Kemudian kau mimpi. Kulihat seorang lelaki keluar dari dingin dan asap napasmu:
kulihat sosok tubuhku, berjalan ke arah hutan. Aku tak bisa memanggilnya.

Aku dekap kamu.
Setelah itu bau kecut rumput, harum marijuana, pelan-pelan meninggalkan kita.
2010

DI DEPAN SANCHO PANZA
Di depan Sancho Panza yang lelah,
seorang perempuan bercerita tentang sajak
yang disisipkan ke dalam hujan
yang tak tidur.

Tentu saja Sancho tak mengerti
bagaimana sajak disisipkan
ke dalam hujan, tapi ia mengerti
cinta yang sungguh. Dipegangnya tangan
perempuan itu dan berkata, “Jangan cemas.”

Memang sebenarnya perempuan itu cemas:
Seseorang mencintainya dan ia tak tahu
untuk apa. Ia tak tahu kenapa sajak-sajak tetap terbuang
dan laki-laki itu tetap menuliskannya, sementara hujan
hanya datang kadang-kadang. Malah guruh lebih sering,
seperti brisik kereta langit yang menenggelamkan
antusiasme yang tak lazim. Atau logat yang asing.
Atau angan-angan yang memabukkan.

“Semua ini jadi lucu,” kata perempuan itu.
Dan Sancho pun sedih. Sebab ia pernah melihat seorang kurus,
tua dan majenun, yang memungut sajak yang lumat
dalam hujan, yang percaya telah mendengar sedu-sedan
dan cinta dari cuaca, meskipun yang ia dengar
adalah sesuatu yang panjang dan sabar
seperti gerimis.
2009  

TELESKOP
Ia memandangimu dari jauh: sebuah teleskop tua, yang tak akan kelihatan,
seseorang yang sedikit sok-tahu tapi maklum: pejalan cahaya yang sebenarnya takut
menyentuhmu.

Itu sebabnya, nak, pada suatu sore, ia bertekad pergi ke pohon tumbang itu, tempat
kau pada suatu hari duduk. Tak ada jejak di sana. Mungkin tubuhmu selamanya tak
menginjak bumi: seperti capung dengan mata yang tak tampak dan sayap yang
bergetar berulang kali.

Ia tahu tanganmu menanting jam. Berkeringat. Tapi ia tak akan berani menghambur
ke depan menawarkan akhir yang lain. Ia hanya akan kembali memandangimu dari
jarak yang tak tentu. Merasa makin tua, merasa makin jauh, dalam ruang yang
memuai, meskipun ia tetap sisipkan teleskop itu

di saku jaketnya. Sebenarnya sejak tahun itu, sejak ia melihatmu terdiam di depan
pintu itu, ia sudah ingin berkata: Lihat, aku tak menguntitmu. Tapi ia tak pernah yakin
kepada siapa ia berkata. Ia cuma yakin suaranya tak mengejutkan. Hanya jam itu, di
tanganmu, yang selamanya mengejutkan.
2009

UNTUK FRIDA KAHLO
Frida Kahlo menulis dalam catatan hariannya: ”Hidup yang
diam, pemberi dunia, apa yang paling penting ialah tiada
harap.” Di sana disebutnya juga fajar, pagi, rekan-rekan merah,
ruang besar biru, daun-daun di tangan, burung yang gaduh …

Apakah yang kita mengerti sebenarnya, tadi: kesederhanaan
lagu tentang nasib, atau arus tak sadar pada tinta, darah dalam
dawat, deretan kata-kata murung? Apa penanda, apa petanda?

Frida tak pernah menjawab. Berhari-hari yang nampak adalah
lelaki, tamu-tamu, yang berdatangan, melalui beranda Rumah
Biru, menyapanya, duduk-duduk, minum teh, mencicipi kue,
dan berceloteh dan melucu, sambil berdiskusi tentang tuhan
yang mereka ingkari dan kedatangan Trotsky
Mereka berkata, ‘Tidak, Frida, kau tak apa-apa’
Tapi di alis itu …

di alismu langit berkabung
dengan jerit hitam
dua burung

di ragamu tiang patah
di kamar narkose, ampul tertebar:
sisa sakit dan sejarah

tapi kijang yang tak menjerit di hutan
pada luka lembing penghabisan
adalah seorang perempuan

uluhati yang tercerabut
tapi terbang, menjemput Maut
adalah seorang perempuan

Kemudian akan datang lusa: dari Cayougan orang-orang akan
pulang, dan akan datang pula orang lain. Ada yang telah
berangkat mengurus revolusi atau kembali menenteng tas dan
kertas-kertas – manifesto yang kehilangan bunyi. Tapi semua
berkata, “Tidak, Frida, kau, kita, juga Diego Riviera, telah
berusaha untuk setia, tapi kita bukan apa-apa lagi. Dunia
sudah tak seperti dulu.”

Bukan apa-apa …

tapi di matamu kaulihat
piramid-piramid sakit
mencari air kaktus
pada pucat langit

Lalu kaulukiskan airmatamu,
seperti mutiara dan
putih cuka
di tembikar kulitmu

Di atasnya para santo
dan wajah Diego: praba dan cahaya
yang membakar kekal
mimpi Meksiko


Di ruang Meksiko itu, dengan gaun putih Tehuana, Frida
menghentikan kursi rodanya. Kamar berubah suhu, tapi hidup,
seperti dulu, adalah kini yang berganti-ganti. Kekekalan – yang
telah mengalami semua, dan akan menyaksikan semua – tak
ada. Palet yang memamerkan luka, paras Judas, rangka dari
kertas, buket kembang lavender yang tertahan di tangan:
elemen waktu yang berakhir setiap hari, setiap kali.

Terkadang ia tergoda juga untuk lupa: dilukisnya korsase putih
yang tetap bersih dan Noguchi (di dada seorang perempuan, di
Manhattan, yang jatuh dari gedung-gedung, dengan raut
cemerlang, bunuh diri).

Apakah mati sebenarnya? Konon di tempat tidurnya – sebelum
orang mengangkatnya ke api kremasi – ada seorang yang
datang dan mencium parasnya, penghabisan kali, “Frida, kau
adalah ketakjuban kepada harum brendi, senyum di
percakapan dan ranum pisang dalam sajikan makan malam.
Kau tergetar kepada apa yang sebentar.”

Barangkali mati adalah transformasi, perjalanan ramarama
yang sedih yang menghilang ke arah roh: keabadian yang tak
tahu telah berubah lazuardi.

“Apa yang akan kulakukan tanpa yang absurd dan yang
sementara?”
Benar, begitulah ia pernah bertanya.
1993-1994

MISALKAN KITA DI SARAJEVO
Buat B.B dan kawan-kawan

Misalkan kita di Sarajevo; mereka akan mengetuk
dengan kanon sepucuk
dan bertanya benarkah ke Sarajevo
ada secelah pintu masuk.

Misalkan kita di Sarajevo: tembok itu,
dengan luka-luka peluru,
akan bilang “tidak”,
selepas galau.

Tapi kau tahu musim, di Sarajevo
akan mematahkan engsel,
dingin akan menciutkan tangan,
dan listrik lindap.

Orang-orang akan kembali
dari kedai minum,
dan memandangi hangus
di loteng-loteng.

Apakah yang mereka saksikan sebenarnya
di Sarajevo: sebentang samun,
tanah yang redam?
Apakah yang mereka saksikan sebenarnya?

Keyakinan dipasak
di atas mihrab dan lumbung gandung
dan tak ada lagi
orang membaca.

Hanya mungkin pada kita
masih ada seutas tilas,
yang tak terseka. Atau barangkali
sebentuk asli katahati?

Misalkan, misalkan, di Sarajevo: bulan
tak meninggalkan replika,
di dekat menara, tinggal warna putih
yang hilang dari azan

Misalkan angin juga kehilangan
perangai
di pucuk-pucuk poplar kuning
dan taman yang tak bergerak.

Pasti nenek peri, dengan suara kanker di perut,
akan berkata,
“Tinggal cobaan dalam puasa
di padang gurun, di mana kau tak bisa.”

Mengapa kita di Sarajevo?
Mengapa gerangan kita pertahankan kota ini?
Seperti dalam sebuah kisah film,
Sarajevo tak bisa takluk.

Kita tak bisa takluk
Tapi keluar dari gedung rapat umum,
orang-orang sipil
akan mengenakan baju mereka yang terbaik,

mencium pipi para isteri, ramah tapi gugup,
meskipun mereka, di dalam saku,
menyembunyikan teks yang gaib itu:
“Bukan roti, melainkan firman.”

Batu-batu di trotoar ini
memang tak akan bisa jadi roti
cahaya salju di kejauhan itu
juga tak akan jadi firman

Tapi misalkan kita di Sarajevo
Di dekat museum itu kita juga akan takzim
membersihkan diri: Biarkan aku mati
dalam warna kirmizi.”

Lalu aku pergi
kau pergi, berangkat, tak memucat
seperti awal pagi
di warna kirmizi
1994

PADA SEBUAH PULAU
Badai hanya pulang gema, di sini, seperti ratap pulau
dari karang-karang kambria
yang gelap.

Pantai mengangakan rahang, menelan waktu
yang datang bertubuhkan
gelombang

Tanah melulur
ekulaptus.
Sejarah menembus.

Pada batukapur tua ia menyusun sember itu – yang akhirnya tak ada
Beratus tahun kemudian ia pun kembali,
jejak, kerak, sisa, tanda: fana, barangkali tak fana
1994

BERLIN, 1993
Berlin berteriak
dalam bengis sirene
Kau tersentak:
“Jangan tinggalkan aku di Friedrichstrasse”

Kucium pelupukmu, kelopak yang gelap
di kaca etalase:
Kenapa luka itu tak pernah nampak
seusai berita dan parade?

Pohon-pohon linden sebelum Mei
seperti rangka, seperti berdiri,
nyeri, di kamp tahun ‘42
pagi hari.

Kulihat rautmu yang turki,
rambutmu yahudi
Berlinmu yang lain,
setelah aku pergi

Aku pun bertanya, bisakah kita berlindung
pada senja yang tak memihak,
pada malam sejenak,
dan metamorfose?

Berlin hanya berteriak
hanya berteriak
dalam serak
dan bengis sirine.
1994-1996

DI PASAR LOAK
Di pasar loak jejak timpa menimpa, menghapus kau dan aku,
mengingat kau mengingat aku

Pengalaman adalah karpet tua, anakku, pompa-pompa,
gambar burak, gambar yesus, kamus-kamus, gaun malam dan
hordin panjang, di mana dulu ada sebuah rumah, di mana kita
tak ada, kita tak punya, di mana seekor parkit mungkin
mencoba bernyanyi, mencoba menyanyi, dan seseorang tutup
pintu, dengar, papa, aku tak kembali, tak akan kembali

Kenangan adalah seperti manik-manik yang ditawarkan peniup
harmonika itu: butir-butir putih yang teruntai, tak berkait,
sebuah montase, sederet huruf morse, Selamatkan Kami,
Selamatkan Kami, Kami Tenggelam, percintaan yang tak ingin
jadi hantu dalam mimpi malam.

Perpisahan adalah sebuah isyarat kematian, orang tua penjual
kaca itu berkata dan bertanya, siapa kita sebenarnya, mengapa
1994

SAJAK SELATAN
Buat Y.Y

Ia lepas topi kepada burung-burung
dan sore hari orang Samarkand

Ia lihat matahari menitipkan parasnya pada pualam

Asar lewat, sekelebat
asar seorang komisar

ketika bayang dan cahaya yang silau
saling memburu
di madrasah biru

Ia dengar surah
seperti Tuhan belum pernah
dikalahkan

seperti desau kapas
dari ladang pedalaman

Tapi di dalam balai ada orang nyanyi, kisah caravan
dan sajak orang Bukhara
yang mereka bacakan, mereka bacakan, sampai
Lenin-Lenin plastik
leleh di aula
dan orang terdiam
dalam perjamuan

Barangkali ia dengar juga bunyi esok
yang lain lagi?

Bunyi waktu, yang seperti pisau,
bunyi mimpi yang robek,
bunyi malam yang kadang sampai
di langit Uzbek?

Ia lihat burung-burung bertambah hitam,
hinggap,
seperti tirai.

Di malam itu ditulisnya surat
(meski ia tak tahu di mana kau, Yevgeny),
“Di Samarkand sesuatu terlindung di kedap daun,
aku melihatnya
di pohon-pohon lampai.”
1996

BINTANG PAGI
Bintang pagi: seperti sebuah sinyal
untuk berhenti. Di udara keras kata-kata berjalan, sejak malam,
dalam tidur: somnabulis pelan, di sayap mega, telanjang,
ke arah tanjung

yang kadang menghilang. Mungkin ada
sebuah prosesi, ke sebuah liang hitam,
di mana hasrat – dan apa saja yang teringat – terhimpun
seperti bangkai burung-burung

di mana tepi mungkin tak ada lagi.
Siapa yang merancangnya, apa yang mengirimnya?
Dari mana? Dari kita? Ada teluk yang tersisih
dan garis lintang yang dihilangkan, barangkali.

Sementara kau dan aku, duduk, bicara,
dalam sal panjang.
Dan aku memintamu: Sebutkan bintang pagi itu,
hentikan kata-kata itu. Beri mereka alamat!

Kau diam. Mungkin ada sejumlah arti yang tak akan hinggap
di perjalanan, atau ada makna, di rimba tuhan,
yang selamanya menunggu tanda hari:
badai, atau gelap, atau –

bukan bintang pagi.
1996


DI MALIOBORO
Kepada seseorang yang mengingatkan saya akan Iramani, yang dibunuh di tahun 1965

Saya menemukanmu, tersenyum, acuh tak acuh
di sisi benteng Vriedenberg

Siapa namamu, kataku, dan kau bilang:
Kenapa kau tanyakan itu.

Malam mulai diabaikan waktu.
Di luar, trotoar tertinggal.

Deret gedung bergadang
dan lampu tugur sepanjang malam

seperti jaga untuk seorang baginda
yang sebentar lagi akan mati

Mataram, katamu, Mataram …

Ingat-ingatan pun bepercikan
-- sekilas terang kemudian hilang – seakan pijar
di kedai tukang las.

Saya coba pertautkan kembali
potongan-potongan waktu
yang terputus dari landas.

Tapi tak ada yang akan bisa diterangkan, rasanya

Di atas bintang-bintang mabuk
oleh belerang

kepundan seperti sebuah radang

dan bulan dihirup hilang
kembali oleh Merapi

Trauma, kau bilang
(mungkin juga, “Trakhoma”?)
membutakan kita

Dan esok los-los pasar
akan menyebarkan lagi warna mainan kanak
dari kayu: boneka-boneka pengantin
merah-kuning dan rumah-rumah harapan
dalam lilin.

siapa namamu, tanyaku
Aku tak punya ingatan untuk itu, sahutmu.
1997

30 TAHUN KEMUDIAN
30 tahun kemudian mereka bertemu di restoran dekat danau.

Hujan dan kenangan berhimpitan, berbareng,
seperti lalulintas yang langgeng.

Terkadang badai meracau,
langit kian dekat, dan dari tebing dingin berjalin dengan basah
pucuk andilau

ketika mereka duduk berlima,
dengan tuak putih tua,

bertukar cerita tentang lelucon angka tahun
dan rasa asing pensiun,

mengeluhkan anak yang pergi dari tiap bandar
dan percakapan-percakapan sebentar.

Terkadang mereka seakan-akan dengarkan teriak trompet dari
kanal seperti jerit malaikat yang kesal

dan mereka tertawa. Sehabis sloki ketiga,
waktu pun berubah seperti pergantian prisma:

masa lalu adalah huruf yang ditinggalkan musim pada
marmar makam Cina.
Kerakap memberinya warna. Kematian memberinya kata.

Dan pada sloki ke-4 dan ke-5 mereka dengarkan angin susul
menyusul, seakan seorang orang tua bersiul

dengan suara kisut
ke bulan yang berlumut.

Pada sloki ke-6 mereka menunggu malam singgah dalam
topeng Habsi. Dan tuhan dalam baju besi.

30 tahun kemudian mereka tak akan bertemu lagi di sini.
1996

NUH
Pada hari Ahad kedua, kota tua itu tumpas. Curah hujan
tak lagi deras, meskipun angkasa masih ungu, dan hari gusar.
Rumah-rumah runtuh, seluruh permukaan rumpang, dan
tamasya mati bunyi, kecuali gemuruh air. Memang ada jerit
terakhir, yakni teriak seorang anak.

“Ia jatuh,” kata laporan yang disampaikan kepada Nakhoda
“dari sebuah atap yang bongkah. Air bah menyeretnya
Kakinya memang lumpuh sebelah. Dengan cepat ia pun
tenggelam, seperti yang lain-lain: neneknya, ibu-bapaknya,
saudara-saudaranya sekandung. Ia tenggelam, seraya memekik,
begitu juga seluruh kota.”

Nakhoda itu tersenyum. Segera diberitakannya kabar terakhir itu
kepada Nuh yang sedang berdoa di kamarnya dalam bahtera.
Orang alim itu terdiam sebentar, lalu bangun dan berjalan ke
buritan. Ia ingin menyaksikan sendiri benarkah gelombang telah
selesai membunuh.

Memang: banjir itu tak lagi ganas, seakan-akan naga yang
kenyang bangkai.

Dan di sisa kota itu ia lihat mayat, terapung, menggelembung,
hampir hitam, beribu-ribu, seperti menantikan sesuatu.
Ia lihat gagak dan burung-burung marabou, bertengger di atas
perempuan-perempuan tua yang terserak busuk. Di permukaan
air itu bahkan hutan-hutan takluk dan senja seakan terbalik,
seperti pagi. Nuh pun berbisik,”Kaum yang musyrik, yang tak
dikehendaki…”

Ia menghela napas, lalu kembali ke anjungan. Bau bacin
menyusup dari cuaca, bahkan sampai ke ruang doa, dan ia
merasa kota itu akan segara jadi payau. Maka tatkala langit
teduh, Nuh segera meminta agar bahtera diarahkan ke sebuah
dataran tinggi yang masih utuh, di utara. Ia berkata, ”Keadilan,
perkara besar itu, telah dibereskan Tuhan.” Dan ia mendarat.

Lepas dari air, ia merunduk di tepian itu dan diucapkannya
syukur. Lalu segera disuruhnya persiapkan korban hewan di
kaki bukit. Harum daging bakar pun sampai ke langit, dan
membuat surga berbahagia. “Ya, Maha Dasar, tak ada lagi yang
bisa keluar,” begitulah sembah yang diucapkannya, ketika hari jadi
terang dan jemaat berdoa untuk kota-kota yang akan datang,
yang kukuh, patuh. Kota-kota Nuh.
1998


PERJALANAN MALAM
Wer reitet so spat durch Nacht und Wind?
Er ist der Vater mit seinem Kind
- GOETHE

Mereka berkuda sepanjang malam,
sepanjang pantai terguyur garam.
Si bapak memeluk dan si anak dingin,
menembus kelam dan gempar angin.

Adakah sekejap anak tertidur,
atau takutkan ombak melimbur?
“Bapak, aku tahu langkah si hantu,
ia memburuku di ujung itu.”

Si bapak diam meregang sanggurdi,
merasakan sesuatu akan terjadi.
“Kita teruskan saja sampai sampai,
sampai tak lagi terbujur pantai.”

“Tapi ‘ku tahu apa nasibku,
lepaskanlah aku dari pelukmu.”
“Tahanlah, buyung, dan tinggallah diam,
mungkin ada cahaya tenggelam.”

Namun si hantu tak lama nunggu:
dilepaskannya cinta (bagai belenggu).
Si anak pun terbang ke sebuah cuaca:
“Bapak, aku mungkin kangen di sana.”
1976

ASMARADANA
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa
hujan dari daun,
karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda
serta langkah
pedati ketika langit bersih kembali menampakkan
bimasakti,
yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada
yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia
melihat peta,
nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak
semuanya
disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis.
Sebab bila esok
pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh
ke utara,
ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang
akan tiba,
karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan
wajahku,
kulupakan wajahmu.
1971

DI BERANDA INI ANGIN TAK KEDENGARAN LAGI
Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin mendesak ke arah kita

Di piano bernyanyi baris dari Rubayat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba

Aku pun tahu: sepi kita semula
bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang esok mungkin tak ada
1966

BARANGKALI TELAH KUSEKA NAMAMU
Barangkali telah kuseka namamu
dengan sol sepatu
Seperti dalam perang yang lalu
kauseka namaku

Barangkali kau telah menyeka bukan namaku
Barangkali aku telah menyeka bukan namamu
Barangkali kita malah tak pernah di sini
Hanya hutan, jauh di selatan, hujan pagi
1973

CERITA UNTUK MITA
Di tromol itu kulihat permen dan bintang-bintang
dan gambar seorang perempuan pirang.
Ia memperkenalkan: “Aku dari sebuah masa kecil.
Kau kukenal dalam kenangan.”

Sebenarnya aku tak banyak punya kenangan
tapi malu untuk ditertawakan
“O, ya, siapa ya nyonya, kapan datang dari Belanda?
Ia tertawa: “Salah, aku merk manisan Amerika.”
1976

Z
Di bawah bulan Marly
dan pohon musim panas
Ada seribu kereta-api
menjemputmu pada batas

Mengapa mustahil mimpi
mengapa waktu memintas
Seketika berakhir berahi
begitu bergegas

Lalu jatuh daun murbei
dan air mata panas
Lalu jatuh daun murbei
dan engkau terlepas
1971

DINGIN TAK TERCATAT
Dingin tak tercatat
pada termometer

Kota hanya basah

Angin sepanjang sungai
mengusir, tapi kita tetap saja

di sana. Seakan-akan

gerimis raib
dan cahaya berenang

mempermainkan warna.

Tuhan, kenapa kita bisa
bahagia?
1971

KWATRIN TENTANG SEBUAH POCI
Pada keramik tanpa nama itu
kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol, ternyata
untuk sesuatu yang tak ada

Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi?
Sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi
1973

POTRET TAMAN UNTUK ALLEN GINSBERG
Ia menebak dari warna kulit saya
dan berkata, ‘Tuan pasti dari dunia ke-3.’
Lalu ia, dari dunia pertama, mengunyah makan pagi
seraya mengutip Mao Tse-tung
dan sebuah sajak gunung – ramah sekali.

Bisakah ia tidur
sebelum anggur
lalu mungkin mimpi
di lindungan malaikat masehi?

Ia telah jalan dalam angin
dan mengucup es-krim
dan membaca berita di halaman pertama
tentang sebuah perang
di Asia Tenggara

Ia kini duduk bersila
di bangku taman kotapraja
mungkin semadi
mungkin aku tidak mengerti
karena ia berkata:
‘Di Vietnam tak ada orang mati’
Tak ada Vietnam dan Orang tak mati.’

Lalu ia mencari kepak burung
ia mencari merpati
ia mencari lambang
ia mencari makna hari.
Ia mencari seakan ia tahu apa yang ia
ingin temukan dan tiba-tiba ia menuliskan:

‘Revolusi, Revolusi, Tak bisa Dipesan Hari Ini.’
Lalu ia bangkit ia mual ia mencium
bau biasa dari kakus umum;
ia basah oleh tangis dan ia meludah:
‘Kencingilah kaum borjuis!’
Adakah ia Nabi?

Tuhan. Di taman ini orang juga ngelindur
tentang perempuan-perempuan berpupur
dan sebuah mulut berahi kudengar memaki:
‘Bangsat, kenapa aku di sini!’
Atau mungkin ia ngelindur tentang sebuah dusun
yang hancur dan sisa infantri dan mayat
dan ulat dan ruh dan matahari?

Aku dengar seorang-orang tua, yang kesal dan
berkata: ‘Di sekitar hari Natal, pernah terjadi
hal yang tak masuk akal. Misalnya mereka
membom Hanoi sebelum (bukan sesudah) aku minum
kopi.’
1973

SAJAK UNTUK BUNGBUNG

Tiap tengah malam hujan mendarat
pada atap anak yang mimpi
Tentang seorang pilot, tanpa pesawat
di atas sawah dan pagi hari

Cemas itu, nak, memang telah jadi umum
dan akan sampai pula kemari
Nah rapikan rambutmu sebelum kucium
dengan tangkai daun yang lama mati
1976

NOTA UNTUK UMUR 49 TAHUN
Pasir dalam gelas waktu
Menghambur
Ke dalam plasmaku

Lalu di sana tersusun gurun
Dan mungkin oase
Tempat terakhir burung-burung
1990


TENTANG GOENAWAN MOHAMAD
GM lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. mengikuti pendidikan di Fakultas Psikologi UI (1960-1964), di College d’Europa, Brugge, Belgia (1965/1966), juga mendapatkan fellowship di Universitas Harvard, AS (1989-1990). Karyanya: Parikesit (kump. Puisi, 1971), Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang (kumpulan esai, 1972), Interlude (kump. Puisi, 1973),Seks, Sastra, Kita (kumpulan esai, 1980), Catatan Pinggir. Menerima hadiah sastra ASEAN (1981). Saat ini menjadi pemimpin redaksi majalah Tempo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar