Senin, 31 Agustus 2015

PUISI-PUISI SONI FARID MAULANA

SEMACAM SURAT
untuk Sutardji Calzoum Bachri

jika itu yang kau maksud: memang
aku punya hubungan baik dengan ikan
di kolam; -- juga dengan warna ungu
teratai dalam lukisan Monet.

tapi kucing yang mengeong
dalam aortamu: -- rindu daging paling mawar
rindu susu paling zaitun,
yang harum lezatnya semerbak sudah

dari arah al-kautsar. Tapi, seberapa sungguh
kegelapan bisa dihalau: -- jika gerhana
membayang di hati? Seberapa alif mekar

di alir darah; -- jika setiap tasbih diucap,
yang berdebur di otak hanya ombak syahwat?
dji, tangki airmata selalu bedah di situ
2002

CIWULAN
aku mendengar suara ricik air sungai yang ngalir
di antara batu-batu dan batang pohonan
yang rubuh ke ciwulan

aku mendengar suara itu mengusik jiwaku
bagai alun tembang cianjuran
yang disuarakan nenekku di gelap malam
1979

DAUN
siapa yang tak hanyut
oleh guguran daun: ketika angin
mempermainkannya di udara terbuka
ketika lembar demi lembar cahaya matahari

menyentuh miring dengan amat lembutnya
siapa yang tak hanyut oleh guguran daun
ketika maut begitu perkasa
mencabut usia hingga akarnya, ketika matahari

menarik tirai senja, ketika keheningan
menyungkup batu-batu di dada. Siapa
yang tak hanyut oleh guguran daun: ketika

lobang kuburan ditutup perlahan, ketika
doa-doa dipanjatkan dengan suara tersekat
ketika kutahu pasti kau tak di sampingku
1980

SUARA TEROMPET AKHIR TAHUN
di ujung malam sedingin
es dalam kulkas;

apa yang kau harap
dari suara
terompet akhir tahun?

fajar yang menyingsing
tanpa bunyi kayu dilahap api,

tanpa tubuh yang hangus
seperti sisa bakaran kardus?

kita berharap
semisal tak ada kurap
di daging waktu
yang esok hari kita kunyah
dalam pesta kehidupan yang renyah?

tapi apa artinya berharap
dan tidak berharap,
bila langit muram terus membayang
seperti pengalaman yang kelam:

o, bunyi kayu yang hangus
dan tulang kepala yang meletus
dalam kobaran api di bulan Mei
yang ngeri di ini negeri?

di ujung malam sedingin
es dalam kulkas;

apa yang kau harap
dari ujung bunyi terompet
akhir tahun?
1998

SELEPAS KATA
untuk Kautsar M. Attar

perempuan itu terbaring di ruang bersalin
bayang-bayang sang ajal berkelebat dalam
biji matanya; memperkenalkan diriku
pada warna darah dan tanah. Dan kau yang

dilahirkan sore itu, tangismu keras,
air matamu adalah arus sungai yang deras
menyeret kesadaranku ke palung derita
seorang ibu, yang sisa amis darah

persalinannya; masih melekat di tubuhku,
yang kini rapuh dikikis waktu, digali detik
jam yang terus melaju ke dunia tak dikenal,

di luar hiruk-pikuk kehidupan kota besar;
ada yang menjauh dari surau dari kilau
telaga kautsar yang Dia berikan
2003

LANSKAP
aku mendengar
nyanyian angin pagi
di tangkai pohonan

aku melihat cahaya sunyi matahari
berkilau lembut dalam bening embun pagi
yang bergayutan di punggung rumputan

aku mendengar salam itu,
salamNya, dilantunkan
kokok ayam jantan

negeri langit
1976

TEMBANG
Kau yang hidup dalam ingatanku
adalah tembang yang tak pernah selesai
dilantunkan angin sepanjang waktu

Kau yang memberi arah dalam hidupku
adalah petikan kecapi, alun suling,
lagu yang tak pernah sirna di kalbuku.
1977

TENTANG ULAR
di kamar ini, di antara bayang-bayang kelambu
aku cari wangi tubuhmu. Desis ular dari bayang-bayang
masa silam – kembali menggema dalam ingatanku,
lalu firmanNya yang menggetarkan itu.
1994

NARASI DI BAWAH HUJAN
hujan, curahkan berkahmu yang hijau
pada lembah hatiku.

puaskan dahaga tumbuhan,
hingga jiwaku terasa segar membajak kehidupan.

di pinggir jendela aku ingat benar tahun lalu
aku masih kanak, bersenda gurau, bernyanyi riang,

memutar-mutar payung hitam di bawah curahmu;
yang berkilauan bagai perak disentuh matahari.

o, hujan. Puaskan dahaga jiwaku
agar hidupku menyeruak bagai tumbuhan

menjemput Cahaya Maha Cahaya
1984-1989

ANGGUR DAN DAGING BAKAR
untuk Ian Campbell

sampai di pinggir jalan
di bawah rintik hujan, dalam derai angin
sore hari; sekar kenangan ligar lagi
dalam dirinya yang sunyi;

di Rotterdam
dalam hujan salju
yang kali pertama ia lihat
dengan penuh rasa takjub

anggur dan daging bakar
“bisa menghangatkan badan,”
katanya. Tapi ia tak menjamin

bisa meloloskan nyawamu,
dari sergapan maut musim dingin
yang melata bagai ular mencari korban
2003

DEMIKIAN CAMUS BERKATA
pemberontakan itu, demikian
Albert Camus berkata, memberi nilai
pada hidup1

yang kau punya
kubelai-belai mesra,
nyatanya hidup juga.

hihihi, mari kita masuki
wilayah malam
dengan seluruh api pemberontakan
yang menyala di dada.

o, airmata yang bergulir di cekung rasa
katakan padaku – masihkah kita bermukim
di negeri mimpi? Siang tadi kabar duka

sampai padaku, Tasik yang rusuh
dihanguskan api. Batu mengucap
batu. Darah melayah di gigir hari,

di gigir waktu apa yang rubuh
sehabis api pemberontakan
kita kobarkan hingga ke langit jauh?

hanya sunyi bertilam sunyi
di luar jendela. Lalu daun gugur
dan risik hujan kembali
bicara
1996
Sepatah kata bersayap Albert Camus dalam buku Mythe de Sisyphe

CATATAN DALAM HUJAN
aku serahkan seluruh jiwaku padaMu
karena menolak adaMu berdasarkan pikiran
adalah kesia-siaan belaka.

keimanan adalah kerinduan yang bengal
yang berulang jatuh memanjat langit rohani
hingga malam berlalu dalam tahmid dan takbir
hingga kokok ayam mengerek cahaya fajar

di kalbuku. Hujan yang turun menghapus
jejak kemarau di dahan-dahan pohonan
sungguh indah warnanya. Irama suaranya
yang menggetarkan ini sukma; adalah

salawat bagi segala jiwa yang berlayar
ke muara Cahaya Maha Cahaya
semata Cahaya Maha Cahaya
1991

PERAHU
kau buka kancing bajuku
seperti cahaya menguliti kegelapan
di sebuah kamar yang kekal

“ada perahu dalam tubuhmu
bawa aku berlayar menuju tanah asal!”

(detik arloji menafsir sepi, rumah karib
dalam diri. Perjalanan panjang,
desis ular hitam di rumpun malam)

lalu kita bicara dalam bahasa di luar kata
yang menampung gaung angin, dan gema ombak
di tepi pantai yang dulu ditinggalkan, berabad lalu.

“bawa aku ke tanah asal yang dulu kau sebut surga:
sebelum gelap kembali bersarang dalam kalbuku!”

(malam menarik diri sebelum maut menafsir
ruhku: dalam huruf-huruf kaku di batu
nisan. Di batu nisan) “Bawa aku ...”
2004

HALTE, 1
di halte dusun itu, di bangku peron
yang dingin bertilam angin; aku mendengar
siit incuing ngear dalam kelam.

“seseorang akan pergi jauh. Serupa kerlip bintang
di langit lengang!” begitu kau bilang. Dan waktu
adalah debur ombak lautan yang tiada henti
menggerus batu karang dalam tubuhku.

cahaya remang menyentuh miring rambutmu
hangat tanganmu menggenggam erat tanganku
“apa makna hari ini bagi hari esok yang lain?”
2003

HALTE, 2
tubuh adalah halte yang kelak roboh,
seperti rumah kayu
yang dihancurkan rayap
dan cuaca gelap

lalu apa makna persinggahan
bagi yang mengangkut dan menurunkan
penumpang? Kau tahu, sinyal itu

kembali mengirim isyarat ke arah yang lain
seperti kedip lampu morse
dalam kabut Waktu.

lalu setelah itu tajam mandau perpisahan
kembali menyayat sang kalbu
di ruang dalam yang kelam
lezat yang tinggal karat
2003

KAU
angsana dan gandasoli
yang kau tanam di pekarangan hatiku
tumbuh sudah dengan daun-daunnya yang lebat
kau bilang,
jika kedua tanaman itu tumbuh subur
itu artinya: cinta kita memuncak,
mendaki puting gairah seindah bulan merah

kini kau di mana? Hanya desir angin
dan guguran dedaunan di pekarangan hatiku
diiring bebunyian serangga,
sebelum tiba
musim penghujan

langit kosong dan sepi
seperti sumur tua yang ditinggalkan
dengan sisa air yang nyaris kering
diteguk garang kemarau
yang menghanguskan
akar rumputan

lalu api sunyi berkobar
dari gerbang langit tak dikenal
menjilat dan membakar angsana
dan gandasoli
yang dulu kau tanam
di pekarangan hatiku, pada sebuah pagi
yang diberkahi cahaya matahari
dan kicau burung dari syair attar,
hafiz dan sana’i. Cintaku,

kau di mana ketika rindu
menyemak di dada
ketika ajal melepas kata
dalam dadaku
2002

PASTORAL
di tengah perjalanan antara rumahku dan tanah kubur
Ia menyapaku. “Semoga api dan gigitan tujuh ular
berbisa: tak bersarang di tubuhmu,” kata-Nya. Ruhku
pucat-pasi, kalbuku gusar sungguh: miskin alif-lam-ra,
ya Rabbi!
2006

BERITA SATU KOLOM
“apakah dadamu dihuni ashabul kahfi?”
demikian kau bertanya di sebuah malam yang lengang
sehabis hujan. “Tidak. Ia justru dihuni sekompi
binatang buas. Raungnya kau dengar, mengguncang
tebing alif-lam-mim-mu, merindu cahaya al-Tawwab”
2000

DALAM HUJAN
ada yang jatuh ke dalam sumur waktu
suaranya sanggup menggetarkan hatiku,
sepanjang nadi jam
berdenyut dalam jantungku

lalu keriangan itu apa? Hatiku yang murung
kehilangan kaca kata. Sungguh di situ,
aku tak bisa lagi melihat wajahku serupa
apa?

cahaya perlahan susut diserap kabut
dering daun jatuh di lauhul mahfudz
bikin hutan kelabu dalam deras hujan
di tubuhku
2006


CAHAYA KECIL
di ujung dermaga seseorang menanti
ia jatuh cinta pada cahaya kecil
di bola matamu. Dicatatnya harum rambutmu
dalam tujuh larik puisi yang ringkas

jika salju turun seluas kalbumu
kau pasti memburunya tanpa ragu. Sebab api
yang menyala di rongga dadanya:
adalah kehangatan hidup yang kau cari

ya, memang sepanjang jarum jam berputar
di dinding jantungmu: ia hanya buih
yang menanti kawih. Tapi, jika waktunya tiba
ia metafora dalam merdu kawihmu.
2005

LINGSIR
jejak atas pasir
diusir deras arus air
maut bergulir
matahari pun lingsir

dan kau berkata:
apa yang tersisa di rongga dada
selain kata, selain cahaya, atau kelam?
langit redup seperti warna hutan
dalam kabut

barangkali dulu
seseorang pernah datang
ke ranjangmu. Datang
dengan berkuntum
bunga teratai

dan mungkin setelah itu:
ia berkemah di balik dastermu
berselancar di ombak tubuhmu
dan kau tak kuasa menolaknya?

ya, memang: maut menggilir
dan hari bergulir. Lalu detik jam
dalam tubuhmu kian lemah suaranya
aku dengar. Adakah ia serupa tanda

bahwa matahari yang lingsir
tak lagi menggelar fajar
sebab ia meledak sudah
di langit yang lain, di luar kata
yang diburu para penyair.

aku tahu ada yang ingin
kau katakan, sebelum subuh
sehening batu: ditebing
kalbumu yang curam
2005

DI SISIMU
aku tahu, hari itu akan tiba di luar kata dan cuaca
detik ini. Dan kau mendesah saat telapak tanganku
mengusap pundakmu.
rambutmu hitam
bagai ribuan garis tinta cina
dalam sebuah drawing Picasso
di sebuah galeri

dekaplah aku meski bukan
untuk yang terakhir kali. Angin terasa dingin
di batin. Pekik camar laut
mengguncang dinding kota. Mata arloji
menaksir detak jantungku,
di sisimu. Cahaya bulan menyentuh
miring tubuhku.
2005

KISTA ENDOMETRIOSIS
1
pohon-pohon berasap
tiga ekor burung menggigil
dalam kabut

lalu gaung timba
di sumur tua mengoyak
ketenangan air di kedalaman

“selamatkan aku sebelum bencana
bermukim dalam rahim pikiranku!”
kau bilang

tapi mengapa kau biarkan
kista endometriosis tumbuh di situ
yang akarnya menyubur di gelap
bawah-sadarmu?

2
medikamentosa, itukah
yang kau harap: mampu membebaskan diri
dari kelam kabut pikiran:

sebelum bunga bangkai
ligar di ranjangmu: pada sebuah malam
yang kau sebut malam pertama?

aku diam ditafsir air mata

desember runtuh dalam tubuhku
kegelapan menghapus cahaya
gemuruh laut malam
dikhianat garam
2004

LORONG
aku bercakap dengan bayang-bayang wayang
serupa amba. Tabuhan gamelan serupa risik angin
di tangkai pohonan. Suara-suara serangga malam
terdengar juga dari arah samping halaman rumahmu

yang kelam oleh kabut dukacita. Lalu kata-kata
menyusun dirinya dalam larik-larik puisi orang sufi
yang dari lembah ke lembah kehidupan tiada lelah
mencari kekasih idaman. Di cermin, rambutku

putih sudah. Malam kelam di buritan, dan kau
serupa amis gula, cintaku, terpisah dari sepah tebu
di lidahku. Dan kini segala yang aku teguk tawar

sudah. "Mengapa semua ini harus terjadi, selagi
segalanya belum genap melunas rindu?" tanya
tanpa jawab. Menggema di lorong jiwaku
2008

TAMASYA
                                              - untuk Rendra

di pantai laut merah di tepi kota Jeddah
tak kutemukan jejak musa selain deretan cafe
dan wajah para pelancong yang lelah
yang datang dari negeri jauh, yang menyandarkan
tubuhnya di kursi kayu, melepas pandang matanya
ke luas biru laut bertilam lembut angin panas
dengan ombak yang tenang

pemandangan seperti ini pernah aku lihat
dalam sebuah lukisan di sebuah galeri kota paris
ketika musim dingin menggigilkan daging dan tulang
dan kau tak ada di sampingku. Hanya pekik burung
yang aku dengar sore itu, sebagaimana aku dengar
siang ini di tepi pantai laut merah di tepi kota Jeddah
dan kau tak ada di sampingku

kini aku terperangah mendapatkan kaligrafi usiaku
memutih di tujuh helai rambutku, yang disingkap
lembut angin laut musim panas. ”Yang Maha Hakim
jangan sampai hamba karam ke dasar palung hitam
bagai fir'aun, yang lalai mengingatMu,” suara itu
aku dengar di tempat ini, bikin ruhku gemetar,
o menggelepar, layak seekor ikan di paruh
burung itu. Di paruh burung itu
2008

RENUNGAN JANTE ARKIDAM DI USIA 70 TAHUN
                                                                - untukAjip Rosidi

malam belum begitu gelap
ketika anjing melolong panjang
di bawah remang cahaya bulan

"ternyata hidup butuh agama!"
ujar Jante Arkidam seperti gumam
ketika maut menaksir detik jam
dalam detak jantungnya

kini kesepian
menampakkan dirinya
di hadapan Jante
yang dilanda batuk
dan sakit kepala

"ke mana nyi ronggeng
yang dulu hadir dalam hidupku,
yang dari meja ke meja perjudian
aku rajai dunia malam," tanya
Jante.

sesekali didengarnya
bunyi tiang listrik dipukul orang
juga lolong anjing tengah malam
sehabis mupukembang
lalu angin dingin kembali meraja
menghajar raga Jante dekat jendela
di sebuah rumah pinggir kota
yang dulu dijadikan tempat sembunyi
dari kejaran lelaki satu kampung
dan kini di mana lebat kebun tebu
setelah dengus zaman
menyulapnya jadi perumahan
yang dibuat asal jadi?

“betapa tanganku berlumur darah,
Betapa hidupku salah arah. Mengapa
cahayaMu terlambat aku kenal?”
batin Jante. Detik jam
bergeser lagi

sesaat, Jante menarik napas
dalam-dalam. Lalu dihembuskannya
pelan-pelan. Dari hari ke hari
ia buron sudah diburu bayang-bayang hidup
yang kelam, yang ingin dihapusnya
seperti menghapus sebuah tulisan
di papan tulisMu yang kekal

“masihkah terbuka celah ke Baitullah?”
tanya Jante saat ia berkaca
melihat wajahnya sendiri dalam cermin
seperti batu retak di dasar sumur tua
yang absen disapa timba
tanpa ikan dan lumutan

siit incuing ngear di batin Jante
“beri aku kesempatan meneguk
anggur cintaMu!” tangis Jante
di atas sajadah yang basah
oleh airmata
2007

LANSKAP
aku berkaca di alir sungai Seine
ada wajahmu di situ
yang dulu berkata, “sayangku!”

pekik burung gagak dan merpati laut
mengguncang dinding hatiku sehijau
lumut waktu. Kau? Entah di mana
2007

BINTANG PAGI
tiga jam ke arah utara,
kota tua, kabut mengendap
di bukit dan lembah raja
cahaya lembut bintang pagi
di atas pucuk cemara.
“itu bintangku!” katamu,
yang tiada bosan menarik tubuhku
ke dalam pelukanmu, sehabis bencana
dan kerusuhan melanda kalbuku
dan kau bertanya, kembali bertanya:
adakah esok hari, kebahagiaan hidup
tersaji senikmat hari ini?
jam digital berdenyut lagi
maut bergeser dari tempat duduknya
di ruang tunggu yang lengang,
yang gaib dari pandangan matamu
dan mataku, seperti pisau sepi
yang selalu menikam kalbu kau dan aku
yang tak pernah terlihat wujudnya
serupa apa. “Itu bintangku,
dan aku milikmu. Reguklah sedap
madu dari puting kalbuku,” bisikmu.
Langitmu dan langitku bersatu lagi
di kota tua, tiga jam ke arah utara.
“aku milikmu, paku aku cintaku
di kayu nasibmu, jangan ragu.”
2006

TAHARAH
sebelum sampai ke Raudhah, ingin kupotong
kegelapan di kalbuku: seperti memotong hewan
kurban. Hati yang karam ke dasar malam
betapa sulit dijangkau. Tinggal kilau mata pisau
ditanganku yang gemetar menujuMu
2008

TENTANG SONI FARID MAULANA
Soni Farid Maulana, lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 19 Februari 1962. SD, SMP, SMA di tempuh di kota kelahiran. Tahun 1985 menyelesaikan kuliah di Bandung di jurusan Teater, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Bekerja sebagai jurnalis di HU Pikiran Rakyat Bandung. Aktif menulis sejak tahun 1976. Antologi puisinya Variasi Parijs van Java (Kiblat Buku Utama, 2004), Secangkir Teh (Grasindo, 2005), Sehampar Kabut (Ultimus, 2006), Angsana (Ultimus, 2007), Opera Malam (Kiblat Buku Utama, 2008), Pemetik Bintang (kiblat Buku Utama, 2008). Juga menulis puisi berbahasa sunda, terkumpul dalam Kalakay Mega (Geger Sunten, 2007) dan telah memasuki cetakan ke 3. kumpulan cerpennya Orang Malam (Q-Press, 2005). Kumpulan esai Menulis Puisi Satu Sisi (Pustaka Latifah, 2004), Selintas Pintas Puisi Indonesia (Grafindo, Jilid 1 2004, Jilid 2 2007).