Selasa, 25 Agustus 2015

PUISI-PUISI RIKI DHAMPARAN PUTRA

NYEPI
Kukuuuruuyuuuuuuk
1998


PANTAI DEMI PANTAI
lapak-lapak rinduku
buyar
  di tepi kanal
ketika di bawah debur lampu
aku melihatmu pamit
dari pucuk-pucuk kirkit
yang melambai
dengan penuh sesal
seperti engkaulah pantai
dan keriuhan itu
tamasya-tamasya kosong
yang mencengangkan
darimana dongong-dongeng
lahir
membukakan pintu-
   pintu malam
angin laut yang jahat
dan bidari-bidari
yang menyulut sumbu
kiamat

hamba menyerah, tuanku
dari pantai yang tak kunjung
kukenal
di mana aku memeliharamu
pada serunai kapal
di kejauhan
mungkin tak kan ada yang tiba
hingga waktupun berhenti
dan aku istirah
memejam mata
di karang yang selalu basah
di antara batu-
batu yang tertidur
memeluk surga
1999

NGABEN
Api yang tak mati. Sudahkah kau basuh
tangan yang menyulutnya
seterik ini?
Barangkali di celah jari itu masih
ada sisa daging
Dan kukumu mungkin retak
Hingga tangismu yang suci sia-sia
dihapus peluh
orang banyak

Sebuah kereta tiba dengan pintu terbuka
Orang-orang lalu menyerbunya. Kau lihat?
Mereka tak ubahnya kanak-kanak
yang tak sabar
di hari tamasya
Karena itu ikutlah
agar jalan-jalan kembali hening
dan masa lalu bisa dibagi seindah kembang coklat
yang mekar
di pucuk-pucuk daging
Para leluhur mungkin tak pernah mengenalnya
Tapi hari ini orang-orang itu datang untuk
mencecap manisnya, lalu menghabiskannya.
Tidakkah kau lihat?

Burung-burung kayu itu terbang
Dan naga-naga itu menyala laksana
benteng api

(Seorang sahabat telah dimusnahkan
Dan abunya menjelma kupu-kupu yang lepas
di sungai-sungai
tanpa malam)

Sesekali ia pulang
Bertanya tentang kerlap lampu-lampu
di sanggah halaman
Ya, ia tak kan ke mana-mana
selama kartu-kartu di meja itu masih terbuka
dan perjudian ini masih tetap suci
untuk disajikan di altar hampa
bunga-bunga

Ia masih di sini selama sayap-sayap
masih menitik darah
dan taji-taji masih tajam
menoreh gelap warna tanah. Ia tak mati
Apakah yang mati? Api?
Api tak pernah mati. Saat ini bahkan
ia sedang menggila melalap kayangan
beranak-pinak seperti jamur yang tumbuh liar
di hutan-hutan

Dusun-dusun terik. Gurun-gurun kering kerisik
Anak-anak bermain gasing di padang-padang gatal.
Mereka seperti orang asing! Orang asing yang nakal!
Turun dari planet-planet tak dikenal
Sementara lidahmu
masih pahit oleh rumput. Dan matamu makin buram
oleh dongeng-dongeng indah
tentang kabut

Betapa ketinggalan. Sialan! Tapi lihatlah kereta itu
sudah berangkat sebelum kita gerah
pada debu
yang mengusung jasad
Tugu-tugu meninggalkan batu. Hidup adalah rahasia
yang tampak megah
dalam pesta kematianmu
2004

ORANG PULANG
Seperti ikan
Aku pulang membawa tulang dan insang
Hanya tulang dan insang
Dengan sepasang mata es yang kehausan
Ambillah wahai Ibuku
Inilah yang paling indah yang bisa kubawa
untukmu
sebab ikan-ikan adalah binatang ajaib
ketika semua cermin pecah
oleh mereka yang pergi mengadu nasib
2000

TAK JADI HUJAN DI SINGARAJA
Aku tau kau tak ingin pulang
tanpa hujan
Burung-burung sudah jauh. Peluit kapal
terdengar senja di daratan
Oktober penuh teka teki. Bunga bunga mekar
tak ingin membagi wangi
Aku terluka. Tanah hitam purbanimu mengerjarku
bagai akar akar anggur penuh doa
; mungkin sebentang layar. layar? bukan!
hanya angin puyuh
seribu tangan batu yang sunyi tiba-tiba meronta
ingin tumbuh!
tiang tiang patah
kendi kendi penuh dongeng berjatuhan
di pucuk pucuk tanah
bagai serpihan kaca benggala
lapar dagingku tak puas mengunyahnya

Saat itulah aku ingin melupakan
segala yang pernah kuketuk di tubuhmu
; desa desa menuju malam. menuju lampu!
kutu kutu tanpa pohon
mengendap di dasar senyap impianku;
buah-buahan yang tak pernah matang
gugusan arca dan aroma cengkeh di bukit
adalah ombak yang ingin tidur
di hamparan pasir penuh bulan

Engkau ingin menyepuhnya untukku. Untukku?
Jangan, Kekasih! Biarkan saja begitu.
Bukankah engkau ingin menjadi hujan
yang tak pernah turun
di altar cemas musim tanamku?
Cuaca begitu liar
Dan di bawah bintang jatuh
doa doa hanyalah gumpalan angin garam
yang gampang terbakar

Padam bersama waktu
Kembang kembang api di laut
adalah tangan lembut bidadari yang ingin kau sentuh
dengan hati kanak-kanakmu
2003

SAJAK PENDEK TENTANG KEPALA
Apakah indahnya kepala?
Sebuah tong sampah
Sepotong kepala anjing menyembul
meleler ludah
Aku harus bertahan
bertahan!
2004

SAHABAT YANG MEMBACA PUISI
: Puthut ea

Tanyakanlah padaku
Setinggi apakah burung-burung
                akan terbang?
Setinggi pucuk-pucuk bukit
Sesunyi menara-menara batu yang gemetar
menembus tabir langit

Burung-burung itu jiwaku
Dan menara-menara itu adalah ingatan
yang akan lenyap
bersama hutan-hutan api di darahku
Darah yang mengalir sungsang
Darah kupu-kupu
Sungai-sungai belerang dan kabut
bercampur wangi
                                di tambang-tambang waktu

Darah itupun milikmu wahai tangan
yang mengulur buram warna pagi
Tangan sahabat yang menggigil meracik remang
                                kata puisi
Begitu berarti bagimu. Bagiku
Bagi kita sahabat!
Bagi siapa saja yang melindungi diri
Dengan surat-surat kilat
                               tanpa alamat

Maka tanyakanlah padaku
Ke mana burung-burung itu pergi
Mengapa setiap jiwa harus terbang
dengan kesemuan-kesemuan
yang mereka miliki
Bahkan dengan kekonyolan-kekonyolan kecil
yang mereka dustakan
sepanjang pagi

Tanyakanlah terus. Terus!
Karena dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itulah
aku akan bertanya pada diriku sendiri
2004

TASBIH, SEBUAH PROLOG
Aku meninggalkan jalan penuh pasir. Kadang berkelebat
seperti bayangan, kadang dingin, kadang haru seperti
gerak lilin. Kadang hanya aku. Pucat seperti tepi langit
yang berdiri tanpa kaki dan kepala. Dan kalau kudapatkan
kembali kaki dan kepalaku, bumi berubah lengkung seperti
huruf U. Bagaimana aku akan berdiri tenang di situ?
Matahari seperti penyakit. Dedaun seperti teduh yang
bermusim dipingit. Kau apa, adakah kau Nama yang hidup
dalam panggilanku? Adakah Kau Kata yang membasahi
gurun pasir kering dalam perjalanan nasibku? Adakah kau
Huruf yang menyusun ingatan dan tulang-tulangku? Ada
nggak Kau bagiku?
Aku tak pernah ingin meragukan Adaku. Aku hanya
rindu. Tapi ketika kau tak muncul muncul juga dalam
gamang sembahyangku, berkeluh kesahlah aku. Dan ketika
semua Tanya berakhir pada batu, menjadi hampalah semua
bagiku.
Jalan-jalan berujung pada kelahiran baru. Kelahiran menjadi
pintu bagi penderitaan baru. Penderitaan member
persimpangan atas dua pengetahuan. Yaitu kesiaan dan
pencapaian. Aku inginkan pencapaian. Aku daki Kau pada
jalan yang berputar-putar seperti lingkaran aksara pada biji
tasbih. Hingga akupun merasa ditinggalkan oleh semua
keinginan itu. Oleh Kau yang tetap menjadi rahasia dalam
semesta istighfarku.
Di kota-kota aku terluntas seperti angin. Rambutku
berombak, sepasang mataku adalah layar yang ujungnya
samar. Dan tanganku melambai seperti garis yang dungu,
terputus-putus dengan kaku. Tak ada awal, tak ada
akhir. Tak ada perjalanan yang terlalu istimewa untuk dipuja
sebagai takdir.
Tak ada dalam perjalanan ini. Apakah artinya Kau bagiku?
Malam menjelma kotak yang makin sempit. Cinta menjelma
lorong-lorong. Dan ingatan merapuh seperti ludah laba-laba
yang terayun di karang-karang purba kegelapan. Garis-garis
menjelma aksara yang nista, tak ada ujung pangkalnya.
Aku tak pernah ingin meragukanmu Adaku. Aku hanya
ingin mengalirkan. Karena akata-kata adalah air yang
harus dialirkan. Dan seluruh pengetahuanku adalah
bendungannya. Namun mengalirkannya tidak mudah. Ia
memerlukan pengetahuan dan keyakinan, nyawanya
adalah keikhlasan.
Pengetahuan seperti bintang-bintang yang bertebar di
langit malam, dan keyakinan adalah gunung gunung batu
yang bersila meneguhkan isi alam. Keikhlasan adalah
pintunya. Darimana seorang kekasih dipanggil untuk lenyap
bersama cahaya yang menggantikan fana jasadnya.
Sementara bumi dan penghuninya akan terus membusuk.
Mereka yang tak terbebas, akan lahir kembali untuk
membersihkan seluruh masa lalunya. Tulang dan kayu kayu
lahir menjadi energi materi, dan sebagiannya lahir menjadi
pepohonan. Begitu terus, hingga suatu hari lingkaran itu
terputus, dan bola bola tasbih yang mengepungnya
menggelinding menjadi gelembung gelembung cahaya
yang kudus.
Serasa dekat dengan Budha, aku pun bersila. Karena semua
yang bersila dengan istighfar adalah tubuh bagi sang
Budha. Semua yang terbebaskan dan tercerahkan adalah
ruh bagi Budha. Rinduku adalah jalan. Engkau yang maha
hidup adalah sumber tenaga bagi semua kendaraan.
Kemudian aku menunggang kendaraan itu dengan
penyesalan dan ketakberdayaanku. Pergi dengan dentang
lonceng yang mendengung jauh di ubun dan urat
jantungku.
Hingga di sebuah kapal aku dilemparkan ke laut lepas dan
menjadi mangsa Ikan Nun. Dan selama bertahun-tahun
selimutku adalah hawa dingin, duniaku adalah kegelapan
yang membentuk labirin. Akupun menyalakan lilin. Selama
bertahun-tahun pula lilin itu menyala dari penyesalan dari
ketakberdayaanku. Bila Ikan itu merasa panas, diapun
memuntahkan aku ke sebuah pantai senja.
Bumi terus berguncang. Negeri-negeri tak pernah aman.
Aku yang membisu, belajar menjadi saksi bagi setiap
kejadian yang hendak menunjukkan keberadaan dan
kuasaMu. Kejadian-kejadian yang kusut. Dan aku terus
mengurainya dengan tangan yang gemetaran. Sehelai
demi sehelai, aku memilahnya. Menariknya lurus ke arah
kebenaran dan keindahanMu.
Tapi benang ini terlalu panjang untuk direntang lurus. Dan
juga terlalu panjang untuk kembali digulung dengan
tanganku yang lemas dan kurus. Bagaimana kau berdiam,
bagaimana kau bersemayam? Adakah kau yang berdetak
setiap kali aku sunyi memandangi lampu lampu malam?
Mereka seperti pepohonan dengan buahnya yang menyala.
Tapi di kejauhan, aku tak melihat tampuknya.
Aku inginkan itu wahai Kau yang menjadi tampuk
semua buah rindu. Aku inginkan itu, …
2003

PANTAI LINGGA
                 Agar-agar langit
                                                Agar-agar langit
Tunjukkan kapan dingin
                                                menjadi tulang
Pantai terlalu licin
untuk kutempuh sendirian
Kadangkadang dengan angin
Kadangkadang saja bergembira
                                                Kadangkadang
                                kurasakan laut ini
                tengah membuang dirinya
Menghempaskan aku
ke dalam sujud
                                                yang tak ada batasnya
1995

MIGRASI SEBUAH ZAMAN
kepada Afrizal Malna

Sejarah yang adil
Telah memberi amanah kepada benda-
benda
Yaitu kehidupan
Hingga tak ada lagi benda mati
Semua bergerak mencipta zaman

Aku kehilangan sahabat
tak sanggup mengucap diri
dalam benda-benda
Karena kupikir benda-benda mengalami
kiamat
Aku terdakwanya

Aku benar-benar membenci cinta
hari ini
Ketika pada hari yang lain
Tak ada tampak yang kekal
untuk dikasihi
Keinginanku yang terbesar adalah membunuh
Sebagaimana benda-benda itu menang
dengan gemilang menang
dengan gemilang
Tapi sejarahlah yang paling gemilang
Ia hendak mengadili diriku dalam
dirimu
Ketika migrasi besar-besaran
Terjadi ke dalam benda-
benda itu
2001

TULAMBEN*
Sekarang kau mengerti sahabatku
Surga bukan untuk orang miskin
Bukan juga untuk daun-daun lontar
yang bernafas lemah pada tanah hampa
di helai rambut sanyasin
Kita akan melupakannya pelan-pelan
Seperti laut timur
menyembunyikan diri di kedalaman
Karang-karang akan tetap basah
Hamparan kaktus dan ilalang
akan tetap tumbuh sebagai nyanyian hidup
paling nyata yang pernah ada
yang pernah kita punya
dan telah menemani kita pada sempitnya jalan setapak
yang panjang ini

Ke perbukitan bisu
kita mencari teguh janji waktu
seteguh gunung Agung
sesunyi batu-batu yang melepaskan seribu masa silam
dari pintu matanya yang murung
Laut akan tetap asin
Hamparan kaktus dan ilalang
Akan tumbuh kelak
sebagai hujan yang mengairi sungai sungai
di mana cinta mengalir
dan kata-kata dipanen seperti nyala bunga
yang menyatu dengan bening
mata air
Di keningmu cahayanya
Di dadaku matur burung tekukur siap membubung
bersamanya
ke perbukitan paling bisu
ke pucuk-pucuk tanah dan air yang tak letih-letih
menawan rindu jalan jalanmu
Juni, 2003
* Nama sebuah kecamatan di daerah Buleleng

PERCAKAPAN LILIN
(1)
Kau kira mereka peduli bagaimana
                kau takut?

Menyalaklah terus
dan jilat ludahmu
Mereka akan mengingatnya sebagai nyeri
yang harus dibalaskan
                sewaktu-waktu
Seperi lilin
Mereka adalah sayap
                di utus malam
Dan nafas mereka adalah tangan-tangan gandum
yang hancur
tergilas musim

Menapak dalam gemasku
Langit memendam jejak
Tanah menggumpal waktu
Sepasang nenek yang tak sabar
telah membuangmu
di luar pintu
Kanal-kanal lelah
Burung-burung adalah ribuan kantong mayat
yang ditimbun di kudung senja sendiri

Api dinyalakan
Roket-roket menari di jauhan
seperti taburan kembang
seperti sunyi yang terlepas dari gagang
   jutaan bintang
terlupakan

Tuhan, ini untukMu! Kata mereka
Untukmu? Engkau mencoba menirunya
Suara-suara lalu menjelma tambur yang nestapa
memantul ke kemah-kemah pengungsi yang gaduh
mencabik dingin
menitik serupa air batu yang terbelah
di pangkal daging

Akarmu
Apakah tanahnya serupa mayat kita?
Mestinya dia menjadi cermin
yang dapat memantulkan cacat di wajah kita
rambut yang kering
dan airmata
gugusan tulang
terhampar seperti bukit-bukit pasir
yang bersembunyi
sejuta laba-laba mendaki
sejuta laba-laba membangun sarang di atasnya

Sementara itu sesuatu yang seperti gunung berapi
terus meledak
Sesaat seperti apiMu. Sebatang lilin
Tapi mengapa semua masih begitu gelap?
Padahal kami belum begitu tua

(2)
Kita sesunyi air
Sebelum asap membubung hitam
dan bayangan kita bangkit
seperti hantu malam yang mengepung
pabrik dan taman-taman
kota
Kita selurus batang batang pinang awalnya
yang melindungi tebing
dan batu batu menjaga sungai
ke hilir
di laut menjelma ikan-ikan segar
teluk teluk karang
dan rumah burung

Kita sembahyang
Karena kata-kata adalah tanah yang harus dibagi
dengan rumput dan pohonan

Tapi kita juga babi! Serumu
Karena itu aku awasi sepasang cangis di mulutmu
Bulan menjadi musuh
Daratan menjadi Ibu yang mengejarku ke tampat-tempat
jauh

(3)
Kamu diam
Padahal kamu bukan mayat
Tapi sepotong duri yang suci
yang terbang
bubuh
di dagingku
Dan menyatu itu waktu, bisikmu
Ya, waktu. Kejarlah!
Tapi aku muntah

Semua terasa semu
Tulang-tulangku berderak seperti
Sepotong gunting kayu yang melulur angin
di celah pintu
Seekor lalat jatuh
Telingaku menjelma dinding
yang tiba-tiba mengaduh

Apa kamu juga merasa mual?
Buanglah! Ludah!
Sebab sebelum kita seseorang juga
pernah bunting dan meludah
Kamu mengiranya lilin
; seuntai rambut palsu
melilit seperti jembut sore
yang menjalar lembab
di punggung kebunmu
Siramlah! Buka untukku!

(4)
Selembar peta, kulupakan
Karena kupikir seseorang tak perlu petunjuk
untuk meneruskan perjalanan
Aku memegang kemudi
menaikkan layar
dan menjadi angin bagi kapalku sendiri
lautan terbentang
pulau-pulau menunggu pasang
tanpa batas waktu
kecuali gunung-gunung pasir meletus
di pantai kanak-kanakku

Aku menjadi pacar bagi birahi
dan kerinduanku sendiri
memangsa lapar dan puasa
dari hausku sendiri
terbang bersama duri-duri yang kukepakkan
di sayap
dan awanku sendiri

Aku tak menunggu waktu
atau apapun dari waktu
Waktu juga tak menunggu apapun dari perjalananku
Semua memiliki perhentian
Dan setiap perhentian adalah pohon
bagi mereka yang memiliki teduh
dedauanan

Tak padam denganmu
Peta peta kulupakan
Jalan-jalan dicaru
dengan membunuh seribu ekor anjing
dari seribu masa lalu
melolong padaku

(5)
Apa sayangku
Masih cemaskah kau pada dagingmu?
Kadang kita memang seperti cahaya lilin
yang saling membelit
kesepian
keringatmu mengucur
dan aku terhempas
bersama gugusan tahun yang telah memberi kita jalan
seperti daun
terjun dari pucuk pepohonan

Dan kau pun terlihat iba
tersedu pada nasib yang melantarkanku di bayang
hijau rerumputan kota

Tapi kita akan tetap bersama
Karena itu jangan sekali sekali berpaling
Karena kamu tidak bisa menutup waktu
Karena waktu adalah lukisan ikan di kaleng sarden
Rasa lapar yang tenang
pintu keheningan
sedang airmatamu adalah teduh
yang menungguku di bawah
gugusan panjang
hujan

Maka ikuti saja sayangku
sedih yang membangunkanmu malam malam
masuklah
aku ada di dalam
Dan bila kita menyala
Tak seorang bisa memadamkannya
2003

TENTANG RIKI DHAMPARAN PUTRA
Riki Dhamparan Putra lahir di sebuah dusun di kaki gunung Talamau, Sumatra Barat pada 1 Juli 1975. Mulai menulis kreatif semenjak di bangku SMA tahun 1991. Dimuat antara lain di Koran SemangatSinggalang dan Canang yang terbit di Padang. Tahun 1992, mendirikan komunitas sastra Elindra yang berlokasi di daerah tambang batubara Lumpo, Sumbar, bersama Raudal Tanjung Banua dan teman-teman seangkatan. Pada tahun itu juga ia diskor sekolah karena dituduh sebagai pembangkang kesenian. Ia memutuskan berhenti dari SMA dan mulai berladang. Menanam kayu manis, jeruk, cabe di tanah ibunya di Pesisir Selatan. Tapi itu semua ditinggalkan sebelum tumbuh besar. Ia merantau ke Bali, tahun 1994. Di sana ia pernah menjadi loper koran, buruh instalasi pipa air, tukang pukul di sebuah panti pijat, tukang parkir, pelayan rumah makan, dan berbagai pekerjaan serabutan lain demi bertahan hidup. Ia juga berkenalan dengan seniman Bali yang berada di Sanggar Minum Kopi. Juga memiliki masa belajar yang cukup panjang dengan Umbu Landu Paranggi. Tahun 1997, mendirikan komunitas apresiasi Selakunda di Tabanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar