Selasa, 25 Agustus 2015

PUISI-PUISI SANUSI PANE

PAGI

Pagi telah tiba, sinar matari
Memancar dari belakang gunung,
Menerangi bumi, yang tadi dirundung
Malam, yang sekarang sudahlah lari.
Alam bersuka ria, gelak tersenyum,
Berseri-seri, dipeluk si raja siang.
Duka nestapa sudah diganti riang,
Sebab Sinar Bahagia datang mencium.
Mari, O Jiwa, yang meratap selalu
Dalam rumahmu, turutlah daku.
Apa guna menangisi waktu yang silam?
Mari, bersuka ria, bercengkerema
Dengan alam, dengan sinar bersama-sama,
Di bawah langit yang seperti nilam.

 

KESADARAN

Pada kepalaku sudah direka,
Mahkota bunga kekal belaka,
Aku sudah jadi merdeka,
Sudah mendapat bahagia baka.
Aku melayang kelangit bintang,
Dengan mata yang bercaya-caya,
Punah sudah apa melintang,
Apa yang dulu mengikat saya.
Mari kekasih, jangan ragu
Mencari jalan; aku mendahului,
Adinda kini
Mari, kekasih, turut daku
Terbang kesana, dengan melalui,
Hati sendiri

 

CANDI MENDUT

Di dalam ruang yang kelam terang
Berhala Budha di atas takhta,
Wajahnya damai dan tenung tenang,
Di kiri dan kanan Bodhisatwa.
Waktu berhenti di tempat ini
Tidak berombak, diam semata;
Azas berlawan bersatu diri,
Alam sunyi, kehidupan rata.
Diam hatiku, jangan bercita,
Jangan kau lagi mengandung rasa,
Mengharap bahagia dunia Maya
Terbang termenung, ayuhai, jiwa,
Menuju kebiruan angkasa,
Kedamaian Petala Nirwana.

 

CANDRA

Badan yang kuning-muda sebagai kencana,
Berdiri lurus di atas reta bercaya,
Dewa Candra keluar dari istananya
Termenung menuju Barat jauh di sana.
Panji berkibar di tangan kanan, tangan kiri
Memimpin kuda yang bernapaskan nyala;
Begitu dewa melalui cakrawala,
Menabur-naburkan perak ke bawah sini.
Bisikan malam bertiup seluruh bumi,
Sebagai lagu-merawan buluh perindu,
Gemetar-beralun rasa meninggikan sunyi.
Bumi bermimpi dan ia mengeluh di dalam
Mimpinya, karena ingin bertambah rindu,
Karena rindu dipeluk sang Ratu Malam

 

MAJAPAHIT

Aku memandang tersenyum arah ke bawah:
Bandung mewajah di dalam kabut.
Jauh di sana bermimpi Gede-Pangrango,
Seperti pulau dalam lautan awan.
Langit kelabu,
Alam muram.
Dan ke dalam hatiku,
Masuk perlahan
Rindu dendam.
Jiwaku meratap bersama jiwa
Gembala yang bernyanyi dalam lembah.
Ratap melayang bersama suara
Kedalam kemuraman
Kehilangan.

 

TANAH BAHAGIA

Bawa daku ke negara sana, tempat bah’gia,
Ketanah yang subur, dipanasi kasih cinta.
Dilangiti biru yang suci, harapan cinta,
Dikelilingi pegunungan damai mulia.
Bawa daku kebenua termenung berangan,
Ke tanah tasik kesucian memerak silau,
Tersilang sungai kekuatan kilau kemilau,
Dibujuk angin membisikkan kenang-kenangan
Ingin jiwa pergi ke sana tidak terkata:
Hatiku dibelah sengsara setiap hari,
Keluh kesah tidak berhenti sebentar jua.
O tanah bah’gia, bersinar emas permata,
Dalam duka cita engkau mematahari,
Pabila gerang tiba waktu bersua?

 

MELATI

Kau datang dengan menari, tersenyum simpul,
Seperti dewi, putih-kuning, ramping-halus,
Menunjukkan diri, seperti bunga yang bagus.
Dalam sinar matahari, membuat timbul
Di dalam hati berahi yang suci-permai.
Jiwa termenung, terlena dalam samadi,
O Melati, memandang kau seperti Pamadi,
Kebakaan kurasa, luas, tenang dan damai
Engkau tinggal sebagai bunga dalam taman
Kenang-kenangan: dipetik tidak ‘kan dapat,
Biar warna dan wangi engkau berikan.
Engkau seperti bintang di balik awan,
Terkadang-kadang sejurus berkilat-kilat
Tapi jauh, ta’ ‘kan pernah tercapai tangan

 

KEMBANG MELATI

Aku menyusun kembang melati
Di bawah bintang tengah malam,
Buat menunjukkan betapa dalam
Cinta kasih memasuki hati.
Aku tidur menantikan pagi
Dan mimpi dalam bah’gia
Duduk bersanding dengan Dia
Di atas pelaminan dari pelangi
Aku bangun, tetapi mentari
Sudah tinggi di cakrawala
Dan pujaan sudah selesai
O Jiwa, yang menanti hari,
Sudah Hari datang bernyala,
Engkau bermimpi, termenung lalai.

 

ARJUNA

Kepada R.P. Mr. Singgih 

Aku merasa tenaga baru
Memenuhi jiwa dan tubuhku;
Hatiku rindu ke padang Kuru,
Tempat berjuang, perang selalu.
Aku merasa bagai Pamadi,
Setelah mendengar sabda Guru,
Narendra Krisyna, di Ksetra Kuru:
Bernyala ke dewan dalam hati.
Tidak ada yang dapat melintang
Pada jalan menuju maksudku:
Menang berjuang bagi Ratuku.
Mahkota nanti di balik bintang
Laksmi letakkan d’atas kepala,
Sedang bernyanyi segala dewa.

 

WIJAYA KESUMA

Di balik gunung, jauh di sana,
Terletak taman dewata raya,
Tempat tumbuh kesuma wijaya,
Bunga yang indah, penawar fana.
Hanya sedikit yang tahu jalan
Dari negeri sampai ke sana.
Lebih sedikit lagi orangnya,
Yang dapat mencapai gerbang taman.
Turut suara seruling Krisyna,
Berbunyi merdu di dalam hutan,
Memanggil engkau dengan sih trisna.
Engkau dipanggil senantiasa
Mengikuti sidang orang pungutan:
Engkau menurut orang biasa.

 

KEPADA KRISYNA

Aku berdiri sebatang kara,
Tidak berteman, tidak berkawan,
Tangan tertadah k’atas udara,
Jiwa menjerit disayat rawan.
Hatiku kosong, tanganku hampa,
Tidak ada yang sudah tercapai
Aku bermimpi di dalam tapa
Mengingat untung termenung lalai
O Krisyna tiadakanlah kembali
Meniup suling di tanah airku.
Biarkan daku sekali lagi
Jatuh ke dalam jurang gulita,
Supaya lupa, tidak bercita.

 

TAJ MAHAL

Kepada Andjasmara

Dalam Taj Mahal, ratu astana,
Putih dan permai: pantun pualam
Termenung diam di tepi Janma
Di atas makam Arjumand Begam
Yang beradu di sisi Syah Jahan,
Pengasih, bernyanyi megah mulia
Dalam nalam tiada berpadam,
Menerangkan cinta akan dunia.
Di sana, dalam duka nestapa,
Aku merasa seorang peminta
Di depan gapura kasih cinta
Jiwa menjerit, dicakra duka
Akh, Kekasihku, memanggil tuan.
Hanya Jamna membalas seruan.

 

TERATAI

Kepada Ki Hajar Dewantoro 

Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai;
Tersembunyi kembang indah permai,
Tidak terlihat orang yang lalu.
Akarnya tumbuh di hati dunia,
Daun berseri Laksmi mengarang;
Biarpun ia diabaikan orang,
Seroja kembang gemilang mulia.
Teruslah, O Teratai Bahagia
Berseri di kebun Indonesia,
Biar sedikit penjaga taman.
Biarpun engkau tidak dilihat,
Biarpun engkau tidak diminat,
Engkau turut menjaga Zaman

 

SAJAK

Di mana harga karangan sajak,
Bukanlah dalam maksud isinya,
Dalam bentuk, kata nan rancak
Dicari timbang dengan pilihnya.
Tanya pertama ke luar di hati,
Setelah sajak dibaca tamat,
Sehingga mana tersebut sakti,
Mengingat diri di dalam hikmat.
Rasa bujangga waktu menyusun,
Kata yang datang berduyun-duyun
Dari dalam, bukan nan dicari
Harus kembali dalam pembaca,
Sebagai bayang di muka kaca,
Harus bergoncang hati nurani

DIBAWA GELOMBANG
Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu,
Tidak berpawang, tidak berkawan,
Entah kemana aku ta’tahu

Jauh di atas bintang kemilau,
Seperti sudah berabad-abad;
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi, yang kecil amat.

Aku bernyanyi dengan suara
Seperti bisikan angin didaun;
Suaraku hilang dalam udara,
Dalam laut yang beralun-alun,

Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu,
Tidak berpawang, tidak berkawan,
Entah kemana aku ta’tahu

AWAN
Awan datang melayang perlahan,
Serasa bermimpi, serasa berangan,
Bertambah lama, lupa di diri,
Bertambah halus, akhirnya seri,
Dan bentuk menjadi hilang
Dalam langit biru-gemilang.
Demikian jiwaku lenyap sekarang
Dalam kehidupan teduh tenang.

TERATAI
Kepada Ki Adjar Dewantara

Dalam kebun di tanah airku
      Tumbuh sekuntum bunga teratai:
      Tersembunyi kembang indah permai,
Tidak terlihat orang yang lalu.

Akarnya tumbuh di hati dunia,
      Daun berseri Laksmi mengarang:
      Biarpun ia diabaikan orang,
Seroja kembang gemilang mulia.

Teruslah, o Teratai Bahagia,
Berseri di kebun Indonesia,
      Biar sedikit penjaga taman.

Biarpun engkau tidak dilihat
Biarpun engkau tidak diminat,
      Engkaupun turut menjaga Zaman.

SAJAK
O, bukannya dalam kata yang rancak,
Kata yang pelik kebagusan sajak.
O, pujangga, buang segala kata,
Yang ‘kan cuma mempermainkan mata,
Dan hanya dibaca selintas lalu,
Karena tak keluar dari sukmamu.

Seperti matari mencintai bumi,
Memberi sinar selama-lamanya,
Tidak meminta sesuatu kembali,
Harus cintamu senantiasa.

TANAH BAHAGIA
Bawa daku ke negara sana, tempat bah’gia
Ke tanah yang subur, dipanasi kasih cinta.
Dilangiti biru yang suci, harapan cita,
Dikelilingi pegunungan damai mulia.

Bawa daku ke benua termenung berangan,
Ke tanah tasik kesucian memerak silau,
Tersilang sungai kekuatan kilau kemilau,
Dibujuk angin membisikkan kenang-kenangan.

Ingin jiwa pergi ke sana tidak terkata:
Hatiku dibelah sengsara setiap hati,
Keluh kesah tidak berhenti sebentar jua.

O, tanah bah’gia, bersinar emas permata,
Dalam dukacita engkau mematahari.
Pabila gerang tiba waktu bersua?

BETAPA KAMI TIDAKKAN SUKA
Betapa sari
Tidakkan kembang,
Melihat terang
Simata hari.

Betapa kami
Tidakkan suka,
Memandang muka
Sijantung hati.

ARJUNA
Kepada R. P. Mr. Singgih

Aku merasa tenaga baru
      Memenuhi jiwa dan tubuhku;
      Hatiku rindu ke padang Kuru,
Tempat berjuang, perang selalu.

Aku merasa bagai Pamadi,
      Setelah mendengar sabda Guru,
      Nerendra Krisjna, di ksetra Kuru:
Bernyala ke dewan dalam hati.

Tidak ada yang dapat melingtang
      Pada jalan menuju maksudku:
      Menang berjuang bagi Ratuku

Mahkota nanti di balik bintang
      Laksmi letakkan d’atas kepalam
      Sedang bernyanyi segala dewa.

KEPADA KRISJNA
Aku berdiri sebatang kara,
      Tidak berteman, tidak berkawan.
Tangan tertadah k’atas udara.
      Jiwa menjerit disayat rawan.

Hatiku kosong, tanganku hampa,
      Tidak ada yang sudah tercapai:
Aku bermimpi di dalam tapa.
      Mengingat untung termenung lalai.

O, Krisjna tiadakanlah kembali
      Titah yang dulu menyuruh daku
      Meniup suling di tanah airku.

Biarkan daku sekali lagi.
      Jatuh ke dalam jurang gulita,
      Supaya lupa, tidak bercita.

TAJ MAHAL
Kepada “Anjasmara”

Dalam Taj Mahal, ratu astana,
      Putih dan permai: pantun pualam
Termenung diam di tepi Jamna
      Di atas makam Ardjumand Begam,

Yang beradu di sisi Syah Jahan,
      Pengasih, bernyanyi megah mulia
Dalam malam tiada berpadan,
      Menerangkan cinta akan dunia,

Di sana, dalam duka nestapa,
      Aku merasa seorang peminta
      Di depan gapura kasih cinta,

Jiwa menjerit, di cakra duka
      Ah, Kekasihku, memanggil tuan.
      Hanya Jamna membalas seruan.

PENYANYI
Pujangga, kalau ajal sudahlah sampai,
Engkau menutup mata di dalam damai,
Sebab mengetahui terang rahasia alam,
Engkau, yang bermahkota susunan ilham.

O, Pujangga, kalau dunia gundah gulana,
Engkau bersila, jiwa tersenyum jua,
Sebab merasa kegemetaran nyawa dunia,
Engkau, Penyanyi lagu mulia.

LAUTAN WAKTU
      Jiwaku talah lama merenang lautan waktu dan aku berhenti,
membiarkan diriku dipermainkan gelombang.
      Aku bermimpi dibawa arus ke darat sejahtera di bawah langit
bertabur bintang.
      Mata kubuka: awan mengandung guruh berkumpul di langit.
      Badai turun dan setinggi gunung gelombang naik, mengem-
pas-empaskan daku seperti tempurung.
      Tangan kukembangkan dan mulai lagi mengharung laut,
sebatang kara dalam ‘alam tidak berwatas.

DOA
      O, Kekasihku, turunkan cintamu memeluk daku.
      Sudah bertahun aku menanti, sudah bertahun aku mencari.
      O, Kekasihku, turunkan rahmatmu ke dalam taman hatiku.
      Bunga kupelihara dalam musim berganti, bunga kupelihara
dengan cinta berahi.
      O, Kekasihku, buat jiwaku bersinar-sinar!
      O, Keindahan, jiwaku rindu siang dan malam, hendak me-
mandang cantik parasmu.
      Datanglah tuan dari belakang pegunungan dalam ribaan pagi
tersenyum.
      O, beri daku tenaga, supaya aku bisa bersama tuan melayang
sebagai garuda menuju kebiruan langit nilakandi.

KECAPI
      O, Kekasih, dunia hiru-biru.
      Kita duduk berdua saja, terasing dari yang lain.
      Biarkan daku membunyikan kecapi dan berceritera dengan
bernyanyi.
      Siapa tahu ada orang yang berjuang yang rindu kepada
kedamaian dan keteduh-tenangan.
      Ia mendengar beberapa lagu dan ia terkadang menyanyikan-
nya dalam malam duka nestapa.
      O, Adinda, barangkali ia teringat akan kekasihnya dan pan-
tunku menghiburkan hatinya.

BIMBANG
      Aku duduk dalam kesunyian jiwaku dan mencoba membu-
nyikan lagu pada kecapi. Ah, tiada suara yang keluar dan
aku menundukkan kepala, termenung akan tanah air menge-
luarkan lagu yang tidak menyambung waktu silam.
      Adinda datang dan berkata dengan suara penuh duka,
      “Mengapa Tuan termenung saja, tidak membunyikan lagu
penghibur hati? Sudah lama cantingku berhenti, tidak sanggup
melukis tenunanku, karena engkau tidak kudengar membunyi-
kan kecapi.”
      Aku mengangkat kepada dan memandang dia dengan mata
murung caya.
      “Aduh, Adinda, hatiku lemah mendengar suara yang tidak
sepadan dengan kehijauan tanah airku.”

SYIWA-NATARAJA
Kepada R. Soeratmaka

Pada perjalananku melalui Langka purbakala,
Mengunjungi tempat keramat, dengan harapan bernyala
Di dalam hati, di bumi India yang mulia,
Yang dari dulu sampai ke akhir zaman dalam dunia
Tinggal kuat dan sakti dan termasyhur, aku melihat
Di Sailan, tempat zaman telah silam berkilat-kilat.
Astana Rawana sebagai bulan purnama raya.
Dan di negara Godawari dan Krisjna, Nataraja,
Mahadewa sebagai Penari, Sungai Mahanadi,
Dengan meninggalkan India Selatan, kuseberangi,
Dan mataku termenung memandang Pataliputra,
Tanah daratan, tempat Ayodia dan Hastinapura.
Mediadesa, kulalui dan aku berdiri, terkenang,
Penuh rindu dendam akan waktu yang silam, dipandang
Kuruksetra. Aku berada di Sarnath Negara,
Tempat Buda pertama kali mengeluarkan sabda.
Di Agra dan Fatehpur Sikri, di tepi Jamna,
Aku mengherani gedung marmar yang indah tidak terkata.
Dalam taman dan astana Taj Mahal, Mutiara Timur,
Tempat Syah Jahan dan Mumtaz-i-Mahal bersanding berkubur,
Aku bermimpi mengenang cinta.
                                    O, jiwa India
Kupandag gilang-gemilang, kurasa mahamulia.
Tetapi, yang kuingat seperti yang paling utama,
Ialah, ketika aku, setelah aku sejurus lama,
Memandang naiknya Surya Dewa ke cakrawala,
Dengan mulia raya, cerlang-cemerlang, bernyala-nyala.
Di tepi Gangga yang sakti, melutut dalam Samadi,
Dalam candi Kencana, yang berdiri di jantung hati
Tanah Hindustan.
                                    Aku terkenang akan Nataraja,
Yang kuherani denga mata yang bercaya-cahaya
Di Ratnadwipa dan India Daksina: Syiwa menari
Dalam lingkungan api bernyala-nyala, yang tahadi
Belum pernah aku dapat, biarpun aku sudah
Memandang hampir segala yang indah, yang belum punah
Oleh zaman dan tangan yang ganas, saksi bercaya
Dari abad kemegahan, abad yang kaya raya.
Di Indonesia, tanah airku,
                                    Natesa berdiri
Di atas buta, tangan kanan memegang gendang, kiri
Memegang api bernyala-nyala. Sikap badan, tangan
Dan kaki, wajah muka amat permainya: angan-angan
Keindahan.
                                    Genta candi, merdu, bersahut-sahutan
Dan aku merasa sebagai berada dalam lautan
Kedamaian, tiba-tiba ‘ku memandang dengan jiwa,
Menari dalam api dunia terang benderang, Syiwa.
Dalam dirinya bergerak dan beredar, tidak terperi
Berapa banyaknya, bersinar-sinar, berseri-seri,
Matahari, bulan dan bintang, semua mengikut bunyi
Gendang yang mahamerdu dan nyaring, yang tiada sunyi
Dari memenuhi seantero dunia, Alam yang muram
Melayang ke dalam hati teratai api dan suram
Diganti sinar caya yang terang benderang dan alam
Kembali beredar dalam dunia, menari dalam
Pesta cahaya dan suara.
                                    Tiap alam berhati
Sendiri, emas yang bersinar-sinar, teratai api
Yang kembang, machluk yang indah permai, yang gilang-gemilang
Masuk ke dalam, keluar kembali sebagai bintang,
Terbang bernyanyi, antara alam yang silang bersilang.
Beradu kebagusan, banyaknya tiada terbilang.
“Pandang kebagusan dunia, o putera Duka Nestapa,”
Kedengaran satu suara yang halus-merdu berkata,
“Tujuan sekalian ada dalam diri sendiri,
Tidak ada asal tujuan, pangkal ujung, yang diberi
Dari luar, apa yang kau pandang terjadi sekarang,
Tidak ada waktu dulu dan nanti, semua barang
Sudah ada, ada dan akan ada dalam sebentar
Itu jua. Supaya segala makhluk tahu benar,
Bahwa ia harus turut menari dalam pesta caya.
Agar berbahagia, ia harus dalam api bernyala
Membakar segala ikatan buta yang dikarangnya.
Dibikinnya sendiri. Api memusnakan kebatannya.
Dan jiwa merasa siksa, tetapi, lihat, ia terbang
Sebagai dewa, indah permai ke dalam cuara terang,
Tetapi belum ia merdeka, berkali-kali lagi.
Ia msuk untuk membersihkan diri ke dalam api,
Sehingga akhirnya ia sadar, bahwa Nataraja
Ia sendiri, bahwa dunia semata tidak ada
Di luar dirinya. Jalan ringkas, putra Nestapa.
Mencapai kemerdekaan ini, pandanglah dengan nyata.”
Seorang orang duduk termenung seorang diri,
Matanya muram, seperti dukacita dunia ini
Sekaliannya dirasanya. Pandangannya menyayat
Hatiku, membakar jiwaku, membuat ‘ku teringat
Akan sengsara kemanusiaan dan malapetaka.
Diri sendiri. O, ‘ku sudah pernah memandang mata
Yang demikian rupanya itu di alam jasmani,
Mata, yang menyuruh daku merdeheka atau mati,
Api bernyala-nyala datang mengelilingi dia,
Bertambah tinggi, bertambah besar, dan antero dunia
Tercengang, karena ia tinggal samadi, diam semata.
Akhirnya dalam kalbu hati dunia ia bertakhta.
Sekalian alam berhenti beredar memberi hormat.
Jiwanya makin lama makin lebar dan pada saat
Ia berdiri dari kalbu hati dunia, segala alam
Segala matahari, bulan dan bintang ada dalam
dirinya: Ia satu dengan Nataraja, Mahadewa,
Ialah dia: seseorang yang mencari sudah merdeka!
“O, putra Duka Nestapa, yang berjalan dari candi
Ke candi, dari negeri ke negeri, mencari
Kelupaan dan penglipur buat hatimu, yang dibelah
Oleh malapetaka dan keinginan, yang belum pernah
Bisa diobati,barang suatu, ketahuilah,
Bahwa Bah’gia berada dalam hatimu. Satuilah.
Tari segala alam, masukilah Api bernyala,
Sehingga engkau akhirnya jadi Syiwa-Nataraja.”


MENCARI
Aku mencari
Di kebun India,
Aku pesiar
Di kebun Junani,
Aku berjalan
Di tanah Roma,
Aku mengembara
Di benua Barat,

Segala buku
Perpustakaan dunia
Sudah kubaca,
Segala filsafat
Sudah kuperiksa.

Akhirnya ‘ku sampai
Ke dalam taman
Hati sendiri.

Di sana Bahagia
Sudah lama
Menanti daku.

SAJAK
Di mana harga karangan sajak,
      Bukanlah dalam maksud isinya,
Dalam bentuk, kata nan rancak
      Dicari timbang dengan pilihnya

Tanya pertama keluar di hati,
      Setelah sajak dibaca tamat,
Sehingga mana tersebut sakti,
      Mengikat diri di dalam hikmat.

Rasa bujangga waktu menyusun
Kata yang datang berduyun-duyun
      Dari dalam, bukan nan dicari,

Harus kembali dalam pembaca,
Sebagai bayang di muka kaca,
      Harus bergoncang hati nurani.

AIR MANCUR
Air mancur jatuh kuat keras,
Berdebar deru ke atas batu,
Bersimbah buih putih selalu,
Mengalir terus teramat deras.

Keras deras, bersorak berseru,
Mendesah desing, berdengung deruh
Air mengalir membawa batu,
Menggulung-gulung dengan gemuruh.

Gemuruh guntur di tengah rimba
Membuat terasa hening tenang
Di dalam hutan bertambah terang.

Ditekannya berat dasar jiwa,
Dibuatnya hati rindu dendam,
Tetapi tujuan hanya kelam.

KEMATIAN ANAK
Bagai mengambil mutia bagus
      Dari indungnya, bersukacita,
Datang malaikat, perbadan halus,
      Memetik jiwa anak tercinta.

Dibawa gaib ke dalam surga,
      Disuruh bermain di taman sari,
Di tengah bunga antakesuma
      Bersukaria sepanjang hari.

Siapa gerangan jadi cemburu
Dari lumpur terpungut mutu
      Dengan menangis sebagai ini?

Bukan anak yang jadi tangisan,
Ia meratap, iba kasihan
      Kepada badan diri sendiri.

MENUMBUK PADI
Dalam caya bulan purnama,
Anak dara menumbuk padi,
Alu arah lesung bersama,
Naik turun berganti-ganti.

Badan ramping tunduk berdiri
Dengan gerak manis selalu,
Muka cantik berseri-seri;
Berat kerja mengangkat alu.

Datang berombak suara salung,
Cinta berahi cinta kandung,
Hendak mengambil hati perawan.

Sebentar berhenti anak dara
Menumbuk padi, mendengar suara,
Tersenyum simpul memandang kawan

MENANTI KATA
Aku duduk diam semata,
      Membuat batin hening tenang,
Menanti-nanti timbul kata
      Dari dalam, bercaya terang.

Hendak direka jadi karangan
      Tidak terbanding dengan indahnya,
Akan diberi kepada tunangan,
      Penunjuk betapa cinta besarnya.

Berapa datang, semua masih
      Tidak sepadan dengan kekasih,
      Tidak sampai indah permainya.

Akh, ratuku, pabila gerangan
      Mendapat kata yang sepadan
      Dengan cantik paras adinda.

CANDI
Engkau menahan empasan kala,
Tinggal berdiri indah permai,
Tidak mengabaikan serangan segala,
Megah kuat tidak terperai.

Engkau berita waktu yang lalu,
Masa Hindia masyhur maju,
Dilayan putra bangsawan kalbu,
Dijunjung tinggi penaka ratu.

Aku memandang suka dan duka
Berganti-ganti di dalam hati,
Terkenang dulu dan waktu nanti.

Apa gerangan masa di muka
Jadi bangsa yang kucinta ini?
Adakah tanda megah kembali?

DI LERENG SALAK
Gunung berleret, mulanya hijau,
      Lenyap membisu jauh di sana.
      Padi menguning bagai kencana,
Sampai di lereng redam berkilau.

Sebelah Selatan dapat ditinjau
      Sebagian kecil Lautan Hindia
      Laksana tasik dipandang dia
Di bawah perak membiru silau.

Di rumput halus bagai beledu,
      Aku guling memandang s’orang,
            Bagai minum keindahan alam.

Teringat kota aku tersedu;
      Takut kembali ke tempat orang,
            Tak mengenal perasaan dalam.

KE PANTAI
Ombak berdesir
Di pantai pasir
Suka lagu
Dicium syamsyu

Mari gerangan adindaku sayang
Mendengar laut memuji cinta,
Waktu datang buat terbayang,
Kalau Laksmi mengikat kita.

Permainan mata,
Ratna permata,
Bunga melati,
Si jantung hati,

Dengar laguku di tepi pantai,
Diayun gelombang cinta kalbu,
Dari kata kuatur rantai,
Mengebat engkau pada jiwaku.

Adindaku mari,
Meriangkan hati,
Melihat mega
Berwarna neka.

Mendam berahi aku memandang
Ke dalam mata mimpi hidupku;
Di tepi laut teduh tenang
Sukma kita menjadi satu.

Desik berdesik,
Bisik berbisik,
Daun kayu
Memuji syamsyu

Berikan daku seperti ‘alam
Memuji tungangan dalam ribaan,
Penawar rengsa, sakit di dalam,
Beri gerangan, gadis pilihan.

RINDU
Lambat laun lara rohani
Disembuhkan penawar waktu
Luka terbuka hati nurani
Akan ditutup sudah tentu.

Rasa risau bertukar damai,
Kalau wajah hilang di mata,
Kenangan-kenangan indah permai,
Hanya tinggal semata-mata.

O, harapan tidak berguna.
Rindu bertambah sebalik kurang,
Cinta mendalam semakin hari.

Tinggal aku bermuram durja,
Serasa burung kehilangan sarang.
Tak berhasil buangan diri.

KENANGAN
Kenangan timbul pelbagai warna, pelbagai rupa,
Membuat keluar keluh kesah dari dadaku,
Teringat aku dirundung malang bukan salahku
Terkenang kehilangan suluh, kehilangan puspa.

Mengapa bunga sebelum kembang terpetik gerangan,
Belum sampai memuaskan hati, menyenangkan mata,
Mengapa aku baharu muda dapat petaka,
Habis harapan berbagia di sisi tunangan?

Di dunia bayang, tidak ada jadi penglipur
Jiwa adinda duduk terpaku mengingat untung,
Menangisi kita tidak diberi menjadi satu.

Seperti aku sampai sekarang setiap waktu,
Awan kedukaan hitam muram jadi kelubung
Hidup lelah, sebelum mati telah berkubur.

Seorang diri mengembara aku selalu,
Di dalam lembah tempat beta pertama kali,
Dipaksa waktu melahirkan cinta berahi
Merasa badanmu pada dadaku hilang malu.

Membawa ke seberang sungai engkau kuangkat,
Memeluk engkau aku lupa akan diriku.
Engkau kucium tidak insyap akan fi’ilku.
Seperti gelora cinta terikat.

Pergi ke lembah menyayat hati melemahkan tulang,
Membuat daku tidak sanggup bekerja selalu
Membuat kenangan tak dapat dihapuskan waktu.

Akh, adinda, mengapa tuan sudah berpulang,
Sebelum rumah kita pilih serta hiasi,
Tempat kita berangan-angan, kita diami?

Aku meminta kepada rupa bayang bengis
Membawa ke negara sana, ke sebelah kubur,
Tempat adinda selalu duduk hanya tepekur,
Menanti daku supaya sama meratap tangis.

Atau barangkali tak ada kehidupan baka,
Bersua kembali hari kudian hanya mimpi,
Pendapatan saja supaya ada bujukan hati,
Supaya ada jadi penawar malapetaka?

Permainan gerang kehidupan dibuat Dalang,
Jadi periang hati sendiri, bukan membela
Mengatur semua tak tetap, bermaraja lela.

Jikalau benar tidak kepalang rundungan malang
Harapan habis akan bersua sekali lagi,
Apa gerangan gunanya hidup walaupun mati.

Sinar bermain di lereng gunung,
Di dalam lurah, di atas padang.
Dengan girangnya suara burung,
Di dalam kebun, di atas ladang.

Sunting bunga menghiasi sanggul
Selendang di bahu melambai-lambai,
Diiringi pemuda bawa cangkul,
Perawan ke sawah tertawa ramai.

Keadaan beredar dengan pagi:
Malam hilang digantikan siang.
Setelah masgul alampun riang.

Tidak dapat dibimbangkan lagi:
Mimpi buruk kehidupan sekarang,
Dalam akhirat bagia datang.

TENTANG SANUSI PANE
Sanoesi Pane Lahir 14 November 1905 di Muarasipongi, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, meninggal dunia 2 Januari 1968 di Jakarta.
Dia pernah bekerja sebagai redaktur Balai Pustaka, tapi lebih banyak aktif dalam lapangan pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah kebangsaan. Dia pun banyak bergerak di lapangan jurnalistik. Dia memimpin majalah Timbul edisi bahasa Indonesia, 1932-1933.
Sanusi pernah melawat ke India (1929-1930) dan menghasilkan sekumpulan puisi berjudul Madah Kelana (1931). Bukunya yang lain: Pancaran Cinta (1926), Puspa Mega (1927). Banyak perhatiannya tercurah pada sejarah. Lima lakonnya, empat di antaranya berdasarkan sejarah di Jawa. Dua diantara judul itu dia tulis dalam bahasa belanda, yaitu Airlangga (1928) danEenzame Garoedavlucht (1930). Tiga judul lainnya dalam bahasa Indonesia: Kertajaya (1932), Sandhyakala ning Majapahit(1933), dan Manusia Baru (1940).
Karya sejarahnya: Sejarah Indonesia (1942) dan Indonesia Sepanjang Masa (1952). Dia pun menerjemahkan karya sastra lama dari bahasa Kawi berjudul Arjuna Wiwaha (1948) dan Bunga Rampai dari Hikayat lama (1946). Sejumlah puisinya ada dalam antologi Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (1963) susunan H.B. Jassin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar