Selasa, 25 Agustus 2015

PUISI-PUISI RAGIL SUWARNA PRAGOLAPATI

PUJA-PUJI UNTUK PETRUK

Terpujilah namamu, Truk! Sekarang zaman keemasanmu
Kawula Republikku memuliakan kau, di tahta agungmu
Rezim Puntadewa-Bima-Arjuna-ku sudah lama bangkrut
Bharatayudha paripurna. Para seniormu gulung tikar
Gatotkaca-ku tewas. Padahal Parikesit-ku kurang siap
Langgenglah di tahta agungmu. Memerintah Republik!
Rakyatku sengsara butuh humormu. Pelipur frustrasi

Kaum wanitaku memujamu, Truk! Kau jangkung, anggun
Publikmu suka kau periang. Dukacita rakyatku hilang
Dalam nestapa seberat apa pun, Republikku tersenyum
Hidup pun jadi ringan. Tidak lagi serius dan ilmiah
Apalagi stafmu dari atas ke bawah seluruhnya pelawak
Hidup rakyatku bagai ringan-damai-nyaman karena tawa
Dungu-rakusmu bukanlah cacat-noda bagi politik humor

Dimuliakanlah dirimu, Truk! Ideologimu pun bersahaja
Dua tanganmu mengomando ke atas, dua telunjukmu searah
Jikalau tangan kirimu lepas, terkulai mengurus bawah
Telunjuk kirimu menuding belakang. Jari kanan ke depan
“Rujak sentul!” keluhan orang. Itulah politik lawakan
“Ke selatan!” perintah atasan. Kawulaku pun ke selatan
“Ke utara!” tafsir bawahan. Rakyatku pun wajiblah paham

Salam, Truk! Di zamanmu, Republikku bagaikan makmur
Seluruh lelaki hamil, perut gendut, meniru sosokmu
Sirnalah duka-nestapaku, Indonesiamu berpesta humor-mu
Lapar dan miskinku terlipur. Tawa jadi obat mustajab
Republikku turun-temurun milikmu. Inilah dinasti lawak
Jakarta, 1986; Yogyakarta, 1988

GURUN PASIR PEMANCINGAN
Sang Penyair terkejut. “Aneh! Ini tanah Jawa
Di sini kok ada gurun pasir, bagaikan di Sahara
Betapa cocok untuk latihan, sebelum naik haji
Menjelang ke Saudi Arabia mampirlah Parangkusuma
Sayang, tanpa unta. Juga tidak punya kurma-kurma.”
Sang Yogawan tersenyum. “Wahai, penyair tersayang
Engkau kurang pergaulan. Anda kurang pengalaman
Gurun pasir di Pemancingan sudah sejak dahulu ada
Selama abad demi abad. Berapakah usiamu sekarang?
Oho, tigapuluh tahun. Padahal seharusnya sudah kenal
Dan berulang mengunjunginya belasan tahun silam.”
Sang Yogawan tertawa. Sang Penyair hanya nyengir
Andaikata seniman itu tidak diajaknya Lelana Brata
Mustahil pernah kenal: Gurun Sahara di Tanah Jawa
“Penyair! Betapa banyak orang serupa dengan dikau
Jutaan orang modern pada lingkungan pun emoh tahu
Sibuk dengan diri sendiri. Buta tuli sekeliling
Maka ketika melihat alam ajaib, dikau kaget. Aneh!
Tapi ngotot, enggan mengaku jadi kodok bawah batok.”

Sang Yogawan berdiri tegak. “Lihat ayat-ayat Allah!
Di sini, segalanya nampak elok. Ajaib lagi dahsyat
Tuhan adalah Maha Seniman, Sang Pelukis Yang Akbar
Inilah gurun! Bentangan karya-Nya agung bikin kagum
Inilah gurun! Hamparan ilmu-Nya luhur seluruh penjuru.”
Sang Penyair hanya menunduk. Muncul keinsyafan merasuk
“Aku terlambat tahu,” bisiknya. “Di luar ada gurun elok
Terlalu dini aku terpukau, dalam diriku ada gurun luas
Lebih kering dan tandus, bagaikan Kalahari yang ganas
Kini aku tahu, bentangan alam luar, Sang Makro Kosmos
Selalu punya pasangannya di dalam, Sang Mikro Kosmos.”
Penyair pun berjalan bersama Yogawan, gandengan tangan
Menyesal, demikian lamanya Sastra dan Yoga dulu pisah
Kecewa, seni-sastra-budaya membuatnya terpencil dahulu
Terlambat tahu, Yoga adalah induk semua seni atau ilmu
Glinggang, 1986; Grogol, 1988

PANEMBRAMA FORUM
Alhamdulillah! Akhirnya, kita jumpa juga, di forum
Allah berkenan mengatur. Padahal, kendala berjibun
Kesempitan waktu. Kesibukan mengepung seluruh sudut
Terasa, forum kita ini mahal, langka, sekaligus lux
Maka untukmu selamat datangku adalah segunung syukur

Alhamdulillah! Kita tidak malu, minder atau kasip usia
Buat selalu belajar. Kita emoh macet atau berpuas-puas
Dengan kualitas rendah manusia, minder, ataupun congkak
Forum ini siap mendidik kita, dengan belajar dan kerja
Menyelami manusia. Membaca alam-semesta, kita terbuka

Alhamdulillah! Datang kita membawa ragam niat dan hajat
Atau ilusi dan fantasi. Tetapi forum ini 100% realistik
Ada 1.001 faedah dan hikmah asalkan kita cerdik memetik
Tetapi ada 1.001 kesia-siaan dan kecewa jika manja diri
Letih dan kantuk, lapar dan dahaga, bakal jadi batu-uji

Alhamdulillah! Kita adalah anak-cucu manusia purbakala
Tiap berjumpa tergoda banyak bicara, pamer ego dahsyat
Padahal hikmah-faedah forum ini adalah kerja, perbuatan
Ngomong sebatas perlu, siang-malam menggarap pelajaran
Maksimalkan manfaat waktu, melupa lelah atau kesantaian

Alhamdulillah! Kita tahu, ilmu sejati bukan omong besar
Bukan teori muluk, maqalah ngayawara. Melainkan praktek
Menguji segala kebenaran melalui bukti, kerja, proses
Tuhanlah sang Guru Sejati. Alam-semestalah Kitab-Nya
Manusia lain, guru dan murid, hanya partner belajar
Klaten, 1988; Perwathin, 1989

LAUT KIDUL
Oommm! Sang Yogawan berkelana di pesisir laut kidul
Melintasi pasir dan dusun, karang dan bukit tandus
“Kemiskinan masih bersimaharajalela, di mana-mana
Bagai tiada tertaklukkan manusia,” katanya berduka
Dia tersenyum kepada rakyat yang bekerja amat keras
Menegurkan salam dan percakapan dengan hati terhangat
“Di mana-mana, orang bekerja dengan tabah, amat setia
Tetapi hasilnya, tiada sebanding cucuran keringatnya.”
Tetapi anak-anak muda santai-santai pun tambah banyak
Tetapi gerombolan orang di gardu dan kedai pun melimpah
Tetapi orang keisengan di simpang-jalan pun merajalela
Mereka menanti. Cewek. Kerja. Rezeki. Info. Nomor buntut
“Republik ini inflasi penduduk. Harga manusia kian turun
Duh, Gusti! Negara tidak punya lapangan kerja yang cukup
Potensi manusia berceceran mubadzir sepanjang laut kidul.”
Pada tiap lokawisata meledaklah hura-hura manusia kaya
Kebinalan anak muda. Cinta. Pesta. Sex. Harta. Uang
Orang haus hiburan. Belanja kesenangan mabuk kepuasan
Cowok-cewek lapar-dahaga kasih-sayang dan gila-gilaan
“Di Indonesiaku, cinta-asmara sudah lama jadi obralan
Sexualita berceceran, murah dan mudah di lokasi mewah
Nilai wanita naik-turun, dalam siklus zaman komputer
Sekolah mengkampanyekan emansipasi, karier dan mandiri
Tetapi lokawisata mendidik wanita jadilah sang parasit
Pemuas sesaat. Insah lemah suka dirayu. Mabuk dikibuli
Seminar-diskusi-simposium mengobral omong serba canggih
Tapi tenggelam di laut kidul, dalam gemuruh nafsu mesum
Wanita atas-bawah obral harga, demi asmara dan fasilitas
Duh, Gusti! Negeri ini penuh dilema, panen Simalakama
Fakta buruk disulap opini pembesar jadi pidato kemilau
Hidup gombal dibius khotbah agama dan seminar ilmiah
Laut kidul bicara banyak, parade kontroversia lengkap.”
Sang Yogawan terus berkelana. Melibat. Mencatat setia
Gemuruh dadanya oleh duka, sesal, kecewa penemuannya
Negerinya tidak seindah maqalah dan fiksi ilmiah kata
Di kota orang terus bicara di TVRI, RRI dan media-pers
Di desa nasib buruk tidak berubah, kian modern kian parah
Goa Langse, 1988

BUKIT-BUKIT PASIR
Sang Yogawan pun mengembara, pagi-sore dan siang-malam
Di gurun pasir, dia asyik menyimak misteri kehidupan
“Tandus lagi kering. Panas dan lestari langka air
Di sini, Tuhan telah membangun Kerajaan Sunyi purbawi
Manusia harus bertahan, sekadar menjadi si minimalis
Akhirnya tahu, lapar-dahaga-lelah merutin sehari-hari
Tidak perlu minder dan malu, jadi miskin seperti darwis
Sukacita dan rasa-syukur kepada Allah menegas pada bumi
Kata dan kerja, laku dan gerak: Alhamdulillah! Kodrati
Setiap lekuk hidup: memuji Allah!” katanya amat takjub
Dia mencari ujung-pangkal hidup, pada seluruh penjuru
Kehidupan bukanlah monopoli oase yang menghijau subur
Dataran pasir pun hidup, bukan hamparan Kraton Maut
“Inilah bentangan Ilmu Tuhan, ayat yang nyata dahsyat
Diriku alangkah lemah. Aku ini kalah!” katanya sendat

“Uang dan harta-kekayaan, apakah artinya di tempat ini?
Gurun pasir ini pun kekayaan Tuhan, tiada ternilai duwit
Manusia betapa ringkih dan kerdil!” bisiknya dalam pedih
Dia berteriak sewaktu berdiri, mengguncang semesta sunyi
Menyapa angin. Menegur langit. Menyalami jagad misteri
“Di sini, kulihat jenis benda lain sama sekali. Pasir!
Selama ini, murid sekolah mengenal tiga benda fisika
Padat. Cair. Gas. Tapi pasir ini? Benda marginal, aneh
Bentuknya memang padat tulen, tapi sifatnya selabil air
Mudah bergerak. Gampang goyah. Destruktif oleh garamnya
Betapa benar Allah, melarang manusia membangun atas pasir
Bahaya oleh sifat labil,” katanya heran dalam kontemplasi
Sang Yogawan pun berjalan terus. Mengembarai semua penjuru
Dalam konsentrasi, ada penghayatan observasi dan syukur
Dalam kontemplasi, terbaca semesta ilmu-pengetahuan luhur
Dalam meditasi, ada mikro-kosmos dan makro-kosmos melebur
Dalam extasi, ada keajaiban transendental kebahagiaan agung
Parangkusuma, 1980-1989

SOLIDARITAS “BRIGADE PENGEMIS”
Selamat datang di kota, ini kraton abadi bagimu. Kota tiada menanyaimu, “Anda dari mana? Hendak ke mana?” Klise hanya ada di desa-dusun jagad asal-usul tradisimu tempat setiap pribadi menyatu, mau kenal lagi mau serba tahu. Semboyanmu di kota haruslah, “Gua, gua! Lu, lu!” Buanglah mantra-japu-japa dan pusaka ampuh dusunmu, sebab kota cuma mengenal satu azimat dan pusaka tunggal paling sakti: duwit! Pakailah uang, kau pun sakti-mandraguna, jadi pendekar modern.

Selamat datang dalam brigade. Silakan masuk jadi Prajurit Tuna. Kau bebas pilih peleton. Tuna sosial. Tuna karya. Tuna wisma. Tuna susila. Dan beragam tuna lainnya. Dalam brigade ini, gelar mulia bagimu adalah Ge-Peng. Dinasti gelandangan, hidup meminta-minta mau enak-mudah-murah-gembira. Laskar Gepeng selalu memberi kesibukan dan lapangan kerja pada orang seragam itu. Hansip-Tibum-Satpam, untuk memburu-burumu, membakar rumah kardusmu. Pekerja-sosial, untuk menyantunimu ala kadar, atau membisniskanmu dalam seminar-lokakarya-simposium. Polisi, untuk mencidukmu jika muncul kriminalitas dan kasus kamtibnas. Ulama, untuk mengancamkan neraka dan mengiklankan surga dalam fatwa atau khotbah, biarpun surga-neraka belum pernah dihuninya.

Selamat datang di lahan kumuh. Inilah afkiran kota, sampah ketidakpedulian manusia. Siap-siaplah buat diserbu lapar-derita-dahaga. Mantra buat para pemula? Hafalkan saja, “Paring-paring, Den. Nyuwun kawelasan!” Praktekkan siang-malam, tiap ada kesempatan. Gantilah kalimatnya, sesuaikan dengan sikon maupun kebutuhan.

Jangan minder atau gentar. Jangan resah atau menyesal. Gelandangan dan pengemis ialah profesi halal. Di Indonesia ini, dinasti Gepeng anggotanya jutaan orang. Kraton kita bertebaran di mana-mana, di 27 provinsi. Tepi kali-kali. Rel-rel kereta api. Makam sepi. Trotoar. Lorong kumuh. Sikap mentalmu: tiap saat bergerak, lari atau pindah. Prinsipmu: emoh kerja-keras, suka hidup serba enak-bebas-murah-gembira-mudah saja.

Selamat datang di kota. Hayati filsafatmu, yaitu metamorfose. Ou, apa itu? Tidak apa-apa kau belum tahu. Itu bahasa asing. Arti metamorfose, berubah sosok bentuk secara bertahap dan bertingkat. Pralambang sucimu ulat-kepompong-kupu. Gepeng kelas ulat ialah kau yang kumuh dan menjijikkan. Kratonnya: makam, trotoar, kolong jembatan, taman kota, istana-kardus. Masyarakat menamakannya penyakit-sosial, benalu-masyarakat, sampah-kota. Gepeng kelas kepompong ialah priyayi-priyayi, bajunya beda, martabatnya lain, nafkahnya spesial tapi mentalitasnya sama seperti kau jua: minta-minta, emoh kerja-keras, spesial tapi mentalitasnya sama seperti kau jua: minta-minta, emoh kerja-keras, suka hidup mudah-enak-bebas-santai. Bisa saja priyayi itu Hansip, Tibum, Satpam, Makelar, Sopir, Kondektur. Wiraswasta atau Korpri. Juragan kecil dan juragan besar. Atau penganggur tersamar. Tiap ada transaksi selalu ngemis komisi. Tiap membeli-beli, selalu ngemis korting. Tiap ada rundingan khusus, selalu ngemis bonus, ngemis rezeki extra: uang tutup mulut, uang-dengar, uang-tunggu, uang-solidaritas dan lain-lain. Makan gaji tanpa kerja. Pokoknya mau serba enak-mudah.

Selamat datang di kota. Silakan pilih, kau ulat, atau kepompong. Bebas masuk kasta. Tapi mentalitasnya sama. Bau dan martabatnya lain, tapi kualitas orangnya sami-mawon. Gepeng tulen: sekali ngemis tetap ngemis!

Di puncak metamorfose, kau boleh jadi kupu. Apa fasilitas kebesaranmu? Jas lux. Sepatu import. Mobil mewah. Dasi mahal. Tas bergengsi. Kursi tinggi. Kantor megah. Telepon. Gaji besar. Rumah semewah istana. Sirkulasi duwit: nol lima-tujuh-sepuluh-duabelas. Operasi kerja? Sekali ngemis tetap ngemis! Itu mentalitas dan prinsip abadi. Ngemis proyek. Ngemis gengsi. Ngemis fasilitas. Ngemis subsidi. Ngemis monopoli. Ngemis dispensasi. Ngemis pidato. Ngemis seminar-penataran-simposium-lokakarya-pesta. Pokoknya ngemis!

Jangan kaget! Suatu kali sang kupu bisa sajalah makan ulat, atau membisniskan kepompong. Ada metode dan peluang. Proyek. Izin-usaha. Proposal. Penelitian. Yayasan. Sirkuler. Dispensasi. Seminar. Seluruhnya absah dan legal. Ada lembaga. Ada personalia. Ada stempel. Ada kantor. Ada telepon. Ada logo, kop-surat. Ada daftar nama penuh wibawa. Kelihatan mulia!

Kupu dan kepompong. Kepompong dari ulat. Namun ulat-kepompong-kupu sering tidak kenal, emoh mau tau. Lain hidup. Lain orde. Lain nasib. Tetapi mentalitas sama. Prinsipnya sama. Pokoknya ya ngemisss.

Selamat datang Ge-Peng! Kau manusia utuh punya hak-hak azasi. Republik ini menjamin solidaritas bagi Ge-Peng, nasibmu diatur UUD-1945. Demi hak azasi, kau bebas memilih. Ulat? Kepompong? Kupu? “Pengemis” itu profesi setua sejarah. “Pengemis” itu mentalitas purba, setua peradaban manusia. Pengemis itu fitrah, tiap manusia punya kadar ke-gepeng-annya tersendiri dalam ragam gaya dan citra, halus dan kasar sama saja. Pengemis itu ada kastanya, mustahil dibasmi. Hanya ge-peng kasta rendah diuber-uber, tapi pengemis tinggi nyaman di kursi. Jadi pengemis itu enak! Apalagi punya dalil demi agama-bangsa-negara. Selamat!
Jakarta, 1986
Surabaya, 1987
Semarang, 1988

PANORAMA SATU ASYURA PARANGKUSUMA
Laut menghempaskan gelombang raksasa. Pantai menghamparkan samudera manusia. “Orang begitu banyak! Siapakah mereka?” tanyamu lugas, orang kota besar terpingit alam modern. Kau pangling melihat bangsamu, di balik blangkon-surjan-dupa-kemenyan.

Pria gendut itu, kau lihat? Dia usahawan besar kotamu, hartanya tiada habis tujuh keturunan, meskipun anak-cucunya menolak Keluarga Berencana. Ayo tengok! Di laut kidul pria tambun itu menyembah Nyai Rara Kidul, mengupetikan segunung syirik dan selangit tahayul. Padahal dia sarjana lho.

 “Dan itu siapa?” tanyamu terbelalak. Ah, kau lupa jua? Dia sering muncul di radio, suratkabar, televisi. Pidatonya dipuji khalayak-ramai. Betul, maqalahnya lahir dalam seminar-simposium-diskusi. Wawancaranya jadi rebutan reporter. Lihatlah dia! Dia mencium bumi, menabur bunga, membakar setanggi, menyembah Watu Gilang, memohon rizki pada Ruh Panembahan Senapati. Dia minder dan lemah pribadi. Maka menambal diri pakai klenik, dukun dan keris.

Laut gemuruh. Lautan manusia dibisingkan mobil dan sepeda-motor, bergolak dalam nafsu. Pesisir jadi pasar-malam. Orang-orang berjualan. Jual makanan-minuman. Jual asmara atau syahwat eceran. Lalu di manakah Tuhan? Sssttt, Allah digusur Nyai Ratu Kidul, di balik asap kemenyan. Engkau heran?

Panorama ini abadi tiap Jumat Kaliwon dan satu Asyura. Kau begitu modern, namun lupa Kejawen. Begitu mudah kau apriori atau antipati. Kan rugi? Padahal segalanya ini adalah akar-budayamu sendiri.

 “Dalam duapuluh-dua usiaku, baru sekali ini kulihat lautan klenik!” keluhmu menyesali. Ah, di kampus kau terhanyut buku atau ilmu muluk. Di rumah kau terpenjara kemewahan membius. Di rumah Allah kau terpingit khotbah dan Kitab-Sucimu. Padahal di sini, buktikan sendiri, Kitab-Suci tidak laku, bahkan Tuhanmu pun tergusur oleh syirik purbakala: laut-kidul, watu-gilang, makam-kramat, benda- gaib, mantera, dupa, dukun dan mistik. Ayo, panggillah khotib, datangkan mubaligh, ujilah apa mereka berdaya di tengah ribuan manusia di pesona klenik? Malahan setiap bulan Maulud, khotbah Masjid Agung Kraton Yogya tenggelam, diterkam “Pasar Malam Sekaten” saat agama ditelan raungan bisnis.

 “Apakah yang mereka ingini, di sini? tanyamu bloon. Mestinya, kau ajak Biro Pusat Statistik agar meneliti dan menghasilkan data akurat. BPS boleh membuat klasifikasi dari motif mereka datang dari puluhan kota seluruh Jawa. Minta harta. Minta jodoh. Minta pangkat. Mohon pekerjaan. Minta kebahagiaan. Mohon nomor-buntutan. Minta anak-keturunan. Dan masih 1.001 keinginan. Sebaiknya kau jadi wartawan, mewawancarai mereka itu per seorang, jika perlu dipotret, dan direkam.

 “Mereka tidak beragama? Tidak ber-Tuhan?” gumammu bengong. Sudah tentu, di KTP mereka itu Islam, Kristen, Katholik, atau Kebatinan, atau yang lain. Mulut mereka fasih menyeru-nyeru: Gusti Allah, Tuhan, Pangeran, dalam 1.001 nama Maha Elok. Tapi mereka juga doyan syirik. Panembahan Senapati, Rara Kidul. Maulana Maghribi. Siluman. Dhukun. Mereka taat pada Pancasila dan UUD 1945. Mau apa?

 “Duh, apakah yang layak kuperbuat?” gerutumu di puncak gelisah. Ah, kau tidak usah berbuat apa pun, selain mengurus dirimu sendiri akurat. Coba, bersabar melihat. Saksama mendengar. Arif menyimak. Bijaksana merenung. Kau lihat kau muda sebayamu berduyun-duyun, berduaan atau berkelompok itu? Mereka bercinta, mungkin berzinah, iseng atau mencari pelipur. Kau lihat ibu-ibu duduk, antri buat menyembah batu? Dari ibu-ibu pemuja kemenyan takhayul, jangan harap lahir generasi baru yang amat ilmiah-religius-nasional bermutu. Kau lihat bapak dan lelaki tua menyembah laut? Dari ayah pembudak syirik, jangan mimpi lahir generasi penerus, yang tangguh dan serius. Kemelut kera (kenakalan remaja) itu lahir dari kentut (kenakalan orang-tuaan) maka jadilah dekadensi turun-temurun. Guru sekolah mengeluh: mutu anak-muda menurun! Jangan murka atau kikuk. Karena ibu produser dan bapak sponsor, kelahiran anak-muda itu, mutunya pun rapuh betul!

 “Jadi aku cuma pasif? Apatis? Skeptik?” protesmu. Jangan gitu! Pasif itu salah. Apatis keliru. Skeptik pun ngawur. Kau perlu paham realitas, asal-usul, dan tradisi bangsamu. Parangkusuma ini tidaklah sendirian. Pusat takhayul-klenik-syirik, di tanah Jawa pada satu Asyura ada ratusan, ribuan. Itulah Jawa. Itulah Kejawen. Itulah Indonesia. Pada tiap loncatan paling modern ke depan niscaya muncul ekor: takhayul-klenik-mistik. Pada teknologi canggih, begitu di-Jawa-kan, selalu jadilah mistik. Indonesia punya 1.000 doktor, tetap butuh 1.000.000 dukun. Insyafi bangsamu. Sadari akarmu! Agama Tauhidmu bagaimana? Pelajari lagi Wali Sanga!
Parangtritis, 1988  


BUKIT-BUKIT TEH PUNCAK
Spontan engkau teringat kawan wartawan di koran
Reportase bersambung, foto-foto, dan gosip pers
Atau bumi di sini telah dibangun opini zaman
Menjadi arca dan berhala, semesum aroma sex
Engkau tiada singgah. Waktumu kelewat sempit
Hanya mata menjelajah. Menaklukkan bukit-bukit
Tiada terbebas engkau dari gunjingan orang-orang
Artikel emosional, fiksi romantik, selalu tegang
Namun ingatanmu menguber-uber jejak Bung Karno
Melacak Pak Marhaen, fosil perjuangan 1927-1930
Terkenang sang perwira veteran dari kota Bogor
Miskin dan minder, perjuangannya panjang-lebar
Di sini, banyak erosi dan bukit longsor-longsor
Di manakah fosil Indonesia Menggugat tersohor?
Masa-silam, masa-kini, masa-depan, campur-baur

Kosong! Pepohonan amat jarang, tanpa ada dusun
Gugus-gugusan teh tidak lagi berpelindung rimbun
Tanpa suara nyanyi. Tiada mojang cantiknya lagi
Bumi Priangan berbeda dengan foto, liputan koran
Di manakah penyair yang jadi sang sinder perkebunan
Yang mengganti puisi denga lagu merdu pohonan teh
Yang kaya-raya bukan oleh sastra, melainkan cengkih
Kabut dan dingin enggan menjawab. Hanyalah senyap
Harapan dan mimpi melayang jauh. Lindap dan luruh
Kenyataan dan hidup kini menegas. Keras dan ganas

Paling berkuasa memang uang. Tangan orang hartawan
Cinta sexualita jadi bisnis panjang. Benar, kan?
Engkau membaca. Mendengar. Melihat foto-foto gempar
Namun di sini kau dungu, hanya jadi saksi melongo
Keinginan tahumu diganyang realitas dan tubuh loyo
Pasundan, 1982; Jabotabek, 1986

GEREJA PETERONGAN
Hening! Suasana Eropawi dipersuci koleksi antik
Kau bukan jemaah Katholik. Hanya musafir asing
Melihat dan menghayati. Iman butuh pembanding
Kini pada taraf seni tinggilah nilai lestari
Saat membersihkan lumpur-debu di rongga hati
Kau membisu, menyimpan 1.001 tandatanya dada
Membayar uang kolekte tanpa nyanyi dan komuni
Menyimak kumandang khotbah, bacaan ayat-ayat
Aneh! Iman Islam tambah hidup, mutu dan kuat
Allah di mana? Ada di masjid, juga di gereja

Kepada siapa Allah memihak? Bukan pada jemaah
Tuhan hanya Sang Tunggal tanpa sekutu saingan
Dia tidak butuh menang-kalah. Emoh blok-blokan
Hanya manusia sendiri asyik membangun golongan
Lalu menangkap Allah dalam kerangkeng monopoli
Yakin di luar jamaah hanya ada neraka kesesatan
Engkau tersenyum menyaksikan ayat Allah dikunyah
Mengenyangkan hati. Tapi memperlapar akal-pikir
Allah disekap di surga berterali. Mewah. Indah
Misa pun berakhir. Keluar. Berbuat dosa lagi

Di pintu luar kau menunduk, memelihara jiwa sadar
Yakin para Nabi tidak pernah kelahi dan bertengkar
Beribu kitab-suci berasal dan Maha Sumber Tunggal
Allah memihak diri-Nya sendiri, bukan aku dan kami
Engkaulah yang harus memihak Dia. Yakin lagi setia
Tidak perlu berperang, berebutan kebenaran tunggal
Tidak butuh bertikai, berkubu agama rumah ibadah
Perang bukan doktrin agama, bukan firman Cinta
Di pintu kau menggigil. Monopoli Allah mustahil
Di luar, orang terus bertikai memakai Kitab Suci
Semarang, Oktober 1981

CEWEK PARANGTRITIS
“Mari, Mazzz! Silakan singgah. Mangga, lho, Mazzz!”
Cewek cantik berdiri kemayu di muka pintu kamarnya
Matanya nakal menawarkan cinta spontan kelas gombal
Busananya seronok, menjajakan sexualita pincuk-an
Badannya menggairahkan pesona, nikmat bergula dusta
Sang Yogawan tersenyum. Berdiri kaku sejurus tertegun
“Ini ada cewek lapar-haus butuhkan sesuatu!” pikirnya
Padahal dia memiliki segala-galanya lebih dari cukup
Tapi dia menolak mesum. Maka singgah sajalah sejurus
Traktir makan-minum. Memberi honor. Menolak ngamar

Rindu apa? Sang cewek rindukan nikmat serba sesaat
Butuh apa? Cewek itu perlu uang untuk hidup pantas
Nikmat sexualita? Bukan tujuan, sudah lama hambar
Sex dan obrolan hanyalah alat memperoleh nafkah
Sang Yogawan ketawa. “Kini kau telah kuberi uang
Minta apalagi, coba?” Sang cewek pun tunduk risau
Merah pipinya menyemburatkan malu, fitrahnya dahulu
Sex atau kemesuman bukanlah nalurinya yang terkudus
Sex bukanlah terpenting. Cewek itu butuh sesuatu lain
Dia punya malu. Punya sesal. Rindu alamiah tanpa nakal
Sang Yogawan mengerti, tiap pribadi punya bakat baik
Manusia terlahir dengan fitrah dan nurani yang suci
Hanya hidup, proses dan lingkungan memberinya kotor
Hidup memberat. Nasib menonjok-nonjok. Nafkah nihil
Kebutuhan melangit. Zaman penuh beban, nafsu seronok
Namun sesekali muncul saat terbaik, enak, serba cocok
Naluri kebaikan muncul. Datang fitrah dan budi luhur
Ada kesadaran manusiawi memancarkan cinta-kasih tulus
Cewek itu pun merindu pengertian dan belaian sayang
Memeluk satu lelaki dengan sexualita suci bukan dagang

Sang Yogawan berlalu, tiada terhanyut kasus mesum
Sang cewek merenung. Tertunduk malu. Dielus rindu
Dia tercebur di jagad mesum, demi nafkah hidup
Dia kumuh dituntut butuh. Betapa dia ingin lelaki itu
Kemunculan Sang Yogawan mustahil dilupakan seumur hidup
Paranggendhog, 1980-1988 


MANTAN MUSIKUS JALANAN
Seorang wartawan beli rokok di tokonya, baca koran eceran, mewawancarainya di bawah Bungur berbunga ungu. “Mau dikorankan lagi? Lho, belum bosan-bosannya wartawan menulis?” katanya nyengir. “Ya, 10 anakku kini sudah jadi sarjana. Biaya studi mereka? Hasil toko klontong ini, 55 %. Sisa 45 % dari hasil kerja ngamen!”

Dia berumur 77. Jadi musikus jalanan pada umur 40 sejak 1950-an. Ia mahir memainkan semua instrumen dan pintar menyanyi. Dulu, dia tokoh orkes dan sering siaran di RRI. Dia berhenti ngamen ketika bungsunya sudah lulus dokter. “Aku menggugat pengamen masa kini!” protesnya sengit. “Cuma modal gitar, vokal jelek, bakat nihil, kok berani jadi pengamen. Walhasil, jumlah pengamen dilanda inflasi. Rumah orang sedang sibuk, 07.00-08.30, sudah dingameni. Tempo orang ngaso pada 18.00-22.00 masih diganggu pengamen. Siang, malam, melulu ngejar duwit. Ia merusak citra pengamen deh!”

Selama 1950-1977, dia profesional jadi musikus jalanan. Instrumennya beragam. Gitar. Suling. Harmonika. Biola. Ketipung. Semua jenis lagu, bisa. Semua alat musik dia mahir memainkannya. Ia hanya mengameni rumah para langganan. Jika tuan-rumahnya paceklik duwit, ia ikhlas main gratis. Mau dibayar beras, gula, palawija atau snack. Dia cinta musik, ngamen tidaklah sekadar memburu duwit. Demi hobi, dia suka main gratis.

Kini 10 anaknya jadi orang. Tokonya tetap dibuka, sekadar melayani langganan. Pecinta musiknya masih dikunjunginya gantian, tapi dia menolak bayaran. Ngamennya sekadar silaturahmi. Dia balas budi, tahu merekalah yang turut membiayai 10 anaknya studi sampai selesai.
Jakarta, 1986

YOGAWAN RONTOKAN
Sang Yogawan, berapa kali kau datang ke Parangkusuma?
“Tiada terbilang! Puluhan kali. Mungkin ratusan kali
Semua tercatat dalam dokumentasi rapi berjilid-jilid
Tapi tidak seutuhnya kuingat baik-baik sampai kini.”
Puluhan kali tamasya Yoga. Ratusan kali bina-membina
Merangkul kawula muda dengan kerja Sastra-Pers-Yoga
Berkegiatan positif, biarpun banyak orang mencelanya
Maju terus juga, sungguhpun banyak sahabat bercuriga
Berlanjut lagi, meskipun banyak siswa pemula rontok
Dia sabar melayani kader Yogawan yang macet, mogok

Barapa banyak kaum rontokan? Apakah faktor musababnya?
“Ratusan! Datang dengan antusias, akhirnya berguguran
Semangat besar pada awal proses, tahu-tahu berjatuhan
Gagal! Karena kualitas manusianya pun sekadar gombal
Rontok! Karena miskin disiplin, takluk oleh rasa malas
Gugur! Karena sistematika ditawar, Yoga disunat-sunat
Mundur! Karena mau mudahnya, enggan proses lambat berat
Gombal! Karena rapuh pendidikan, keluarga dan zamannya.”
Sang Yogawan kenal betul prototipe kaum rontokannya itu
Duh, celaka! Makin modern, kaum rontokan kian mayoritas

Sang Yogawan, para rontokan itu sebaiknyalah diapakan?
“Oommm! Ditobatkan, jika sadar dan sedia berubah total
Oommm! Dibiarkan, kalau memang ngeyel, bodoh, ingkar
Oommm! Didekati, bagi yang ikhlas, positif sadar diri
Oommm! Dikucilkan, jikalau jahat dan kambuhan kriminal
Oommm! Dibimbing, bagi yang rajin, terpanggil jalan baik
Oommm! Dibasmi, bagi kriminal besar dan over distruktif
Oommm! Dipasrahkan Allah, jika kita memanglah kewalahan.”
Sang Yogawan tersenyum. Rontok tujuh, di antara sepuluh
Dia tahu, mencari Yogawan tangguh memang langka betul
Pemancingan, 1985-1989


PANEMBRAMA YOGYAKARTA
Selamat datang, Saudara! Aku Yogya, impian dan legenda
Wajahku 1.000 dimensi. Tubuhku tradisi jiwaku Kejawen
Kucampur 1.000 unsur, jadi 1.000.000 sinkresi harmoni
Kuhimpun 1.000.000 soal jadi kohesi atau kontroversi
Watakku tulen: sopan tapi kikir, ramah tapi mencekik

Selamat datang, Saudara! Aku Yogya, kota sejuk purbakala
Kumanja-manja bisnis industri, nafkahku bergengsi modern
Tradisi dan seni kugeser, agama dan ilmu kuatur minggir
Maliabara? Dulu kraton seniman, kini kraton kelontong
Kraton? Dulu sakti anggun, kini pasar kaum pelancong

Selamat datang, Saudara! Aku Yogya, barometer konsepsi
Seniman-ilmuwan-agamawan bertahan, hidup sabar prihatin
Kuuji 1.00 teori, ada 1.000 seminar kujual jadi proyek
Barometer seni-budaya, ilmu dan kampusku kharisma elok
Kubu kompetisi, pasar 1.000 nilai hidup, sepi tapi mahal

Selamat datang, Saudara! Aku Yogya, kubu 1.000 kreator
Kau tumbuh di jagad seni-budaya-ilmu-agama dan tersohor
Jangan minta nafkah padaku, kau mustahil kaya atau cukup
Kaplingku kumuh, kompetisiku gemuruh, populasiku berjibun
Padahal sudah watakku: tidak memberi, tapi banyak menuntut

Selamat datang, Saudara! Aku Yogya, koloni Indonesia mini
Orang segala suku-agama-tradisi datang, tiap tahun antri
Uang dan gengsi bertarung, aku memberi suaka atau senyum
Baru bermukim semusim, kau frustrasi, cepat angkat kaki
Baru bercerai semusim, kau kangen, aku pun jadi legendaris
Minggiran, 1988-1989

SALAM PENYAIR
Salam padamu, Saudaraku. Di luar, hidup makin kemrungsung, zaman begini gemuruh, siang-malam-mu repot, namun kau sudi ayun langkah buang tempo, menikmati sajak dibaca dan penyair ditanggap. Hidup begini canggih berpacu, zaman super-modern melaju, jadual tugas bagai penjara mengungkung, waktu pun terus memburu. Kau juga mengeluh kekurangan waktu siang-malam-mu, padahal mustahil ada waktu extra dijual orang di pasar dan toko. Di sini, lho kok ada suaka istirah dalam santai, buka hati menikmati puisi mengalir ke samudera batin. Ya, siapa tahu kau beroleh hikmah dan nilai faedah, agar kalbumu bagai aki yang disetrumkan lagi, atau mobil turun mesin, bagai kendaraan sehabis servis. Kan tidak rugi?

Salam padamu, Saudaraku. Datangmu ke sini melalui jalan-raya padat problem lalu-lintas, tiap tikungan atau persimpangan penuh debar jantung boros energi, sekadar melibati komunikasi, mengaktualisasikan diri dan memuliakan silaturahmi, terseling baca puisi. Padahal, di luar, hidupmu makin canggih dalam ongkos tinggi dengan tuntutan aeng-aeng. Rumah penuh problem. Kampusmu memikul beban bagai deret uku tanpa akhir. Kantor pun penuh borjuasi dan birokrasi. Organisasi dan lembagamu penuh beban keterbatasan diri. Ruang pergaulan menyempit. Tegur-sapa komunikasi makin mahal dan rumit. Lho, kok masih sempat-sempatnya baca puisi dinikmati publik.

Salam padamu, Saudaraku. Ini forum elok, momentum ajaib, suasana bikin kangen. Maafkanlah jika puisi tidak selalu enak-efisien-baik. Ampunilah, jika sang penyair tidak selalu menarik publik ditanggap macam ini.

Salam padamu, Saudaraku. Adakah angka statistika: setahun berapa banyak puisi dibaca, bagaimana frekuensinya? Setahun berapa kali puisi jadi simposium-diskusi-seminar, berapa kali jadi lomba tulis dan baca, apa ada diagram biayanya, daftar penikmat dan sponsor? Ah, komputer belum memberi angka, dokumentasi tiada memberi fakta. Tapi kesan umum, puisi itu penting di forum. Mustahil disetop seminar-diskusi-simposium. Puisi terkuliahkan tiap semester. Jadi ujian akhir, skripsi dan disertasi. Ajaib, tiap periode selalu saja ada penyair lahir, dari rahim situasi-kondisi. Sebenarnya, berapakah nilai puisi, apa relevensinya bagi hidup kesehari?

Salam padamu, Saudaraku. Periksalah KTP atau SIM, adakah orang mengisi kolom pekerjaan sebagai: penyair? Cinta-asmara boleh kau ungkap dengan puisi, tapi jangan salahkan gadis enggan kawin dengan penyair atau calon mertua melecehkan lamaran si penyair, dengan mahar puisi. Jika ada orang berani hidup dengan nafkah puisi sungguh dia makhluk langka. Honorarium puisi amat rendah. Media puisi pun terbatas. Lumrahlah jika penyair: bukanlah profesi ideal cowok-cewek masa kini. Puisi atau jagad penyair itu seperti gunung api: ada kepundan frustrasi, ada magma minder, ada lahar konflik, ada pula gempa pahit-getir. Menjadi penyair seolah kompensasi manusia gagal, orang drop-out, penganggur tersisih.

Salam padamu, Saudaraku. Hidup kian canggih, demi gengsimu perlulah fasilitas dan duwit, padahal puisimu bukan konsumsi primer sehari-hari. Honor puisi sedikit, cukup dahsyat untuk mengabadikan rasa minder dan frustrasi penyair. Puisi mustahil jadi komoditi, bukan pula export non-migas. Orang jadi penyair mustahil kaya, malahan kekal melara. Penyair itu karikatur zamannya!

Salam padamu, Saudaraku. Lho kok tiap zaman selalu ada orang nyentrik mau jadi penyair? O, bacalah langit, renungkanlah bumi, maka kau boleh tahu bahwa Allah sendiri Sang Maha Penyair, setiap firman-Nya ialah puisi. Al-Quran adalah puisi canggih. Tripitaka dan Dharmapada-Nya adalah puisi abadi. Wedha dan Upanisad adah puisi dahsyat. Injil-Nya dan Taurat-Nya ialah puisi balada penuh pesona. Zabur, Amsal, Syirul Asyar ialah puisi akbar. Kitab-suci apa pun yang memuat firman Tuhan selalu berformat puisi, itulah sunnatullah abadi.

Salam padamu, Saudaraku. Muhammad Al-Amien terima firman Allah pertama kali berupa wahyu-puitika Al-Alaq berisi dua azimat Tuhan: Iqra dan Qalam. Al-Quran amat memuliakan kreativitas baca-tulis, bahkan Tuhan mengistimewakan Sang Penyair-Sastrawan dengan surah Asy-Syu’ara 227 ayat. Rasulullah Muhammad juga memuliakan kaum penyair kreator dengan Haditsnya, “Pada akhir zaman atau masa kebangkitan kelak tinta penyair-sastrawan-ilmuwan akan ditimbang setaraf dengan darah Syuhada.” Ada wahyu-puitika yang berisi amanah Iqra dan Qalam, ada puisi-sastra-kreativitas disetarafkan darah pahlawan, medan sastra-puitika disamakan dengan arena juang akbar, penyair-sastrawan dipermuliakan sekelas Syuhada.

Salam padamu, Saudaraku. Jangan pernah jemu dengan puisi. Sunnatullah jagad raya serba langgeng: tiap agama memuliakan wahyu Tuhan dengan keagungan puisi. Hidupmu kian berat- kemrungsung-lelah-frustratif, tetapi di sela-selanya berilah variasinya: puisi merasuki hati-nurani, membasuh akal-pikir-rohani, dalam hening meditasi. Puisi akan lestari jadi konsumsi untuk lapar-dahaga-rindu, batin. Tanpa puisi, hidupmu alangkah sunyi dan kering!
Purwokerto, 1987
Purworejo, 1988
Perwathin, 1989

TENTANG RAGIL SUWARNA PRAGOLAPATI
Ragil Suwarna Pragolapati, bungsu dari enam bersaudara, lahir di tepian Telaga Selarama, kaki Gunung Muria, Desa Selareja, Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati, pada Rabu Wage, 22 Januari 1948. Ayahnya Ki Wangsa Wijaya Karsan dan ibunya Nyi Bisah Kartadiranawelas. Tulis penyair ini mengenang: “Di tengah kecamuk perang gerilya, Petinggi Wangsa Sarja masih sempat membuatkan surat kelahiran. “Anakmu kauberi nama siapa?” tanya Petinggi. Ki Karsan sejurus merenung, cari-cari nama. “Tulis saja Warna!” ujarnya. Nama itu pun ditulis pakai huruf Jawa. Wa nglegena dilayar, jadi War. Dan Na nglegena, tanpa taling tarung, maka lengkapnya Warna bukan Warno. “Kamu aneh, Karsan! Nama itu kan tidak usah beli. Mengapa kau beri nama anakmu serba pendek dan jelek? Rata-rata hanya dua suku kata!” sergah Pak Petinggi. “Enam anakmu, kau namai pendek jelek. Parijan. Sayem. Warni. Sukri. Sinah. Warna.” Hanya ketawalah Karsan membawa pulang surat kelahiran yang tidak bisa dibaca huruf latinnya. Maklum, dia buta aksara latin. Hanya bisa baca huruf Jawa Hanacaraka.”
Warna mendapat tambahan kata Su, dikasih oleh Kepala Sekolah Rakyat I Cepu, Ibu Siti Umayah, pada Juni 1960. Tambahan nama Ragil dari kepala sekolah SMP-nya, Yitno Sudarso pada Juni 1963. Dan tambahan Pragolapati, oleh yang bersangkutan pada 2 Januari 1972, diangkat dari nama bumi kelahirannya.
Hobi mengarang rintisan 1963-1966 di Pati, meledak maksimal di Yogya, 1967-1971. Kuliah di Fakultas Ekonomi UGM, tapi drop out. Sering ikut aksi protes. Studi kacau. Sempat pula dibui. Pulang dari sel penjara, dia dipecat dari fakultas ekonomi UGM. Dalam aksi protes sering ditugasi baca puisi protes. Berikut aksi-aksi yang pernah diikuti: Menggugat Mashuri, S.H., Menteri PK, 1968. Memprotes Pemda Yogya, kasus Judi, 1968. Memprotes Taman Mini Indonesia Indah (TMII), 1971-1972. Menggugat manipulasi dan korupsi, 1970-1971. Aksi menolak komoditas Jepang, 1971-1974. Aksi menggugat SPP, 1971-1972. Aksi memprotes Golkarisasi, 1970-1972. Aksi menolak televisi warna, 1971-1973. Protes breidel pers 1977-1978. 
Kiprah kepenyairan RSP dimulai dengan Antologi Alit (Yogya, 9 penyair PSK, 1969) dan Tiga Bayangan (3 penyair PSK, 1970). Banyak mengeditori antologi puisi bersama. Salam Penyair adalah satu-satunya antologi puisi tunggal Ragil Suwarna Pragolapati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar