Selasa, 25 Agustus 2015

PUISI-PUISI RAUDAL TANJUNG BANUA

AYAH DAN BURUNG-BURUNG
aku terbayang ayah yang melangkah di pematang
sawah kenangan. sesekali langkahnya tertegun
ngungun bersama embun. kadang ayah
bagai orang-orangan dari jerami
di tengah menguning padi. kusentakkan tali rindu
di antara kami. maka tersintaklah ayah
bersama riuh burung-burung yang berlepasan
tak kembali lagi.
yogyakarta, 2011


DI BOULEVARD, UGM
Berdiri di sini
di sisi pinus merkusi tua
kita menjelma nafas hidupnya;
pucuk menusuk langit tinggi
akar tetap tegak di bumi
datanglah angin, kita tak akan
            pernah terlelap
menyandarkan impian padanya
kita mencatat usia
yang diberikan waktu
kepada kita
Waktu, sang penentu yang bijak itu,
            tak pernah berkhianat
pada setiap tunas yang tumbuh
ia memberikan segalanya
tapi yang kita butuhkan hanya sedikit;
bagaimana pintu terbuka, dan di langit
kita saksikan ribuan bintang ...
Yogyakarta, 1998

KENANGAN, ARAH SEGALA SIMPANG
Setiap kita punya kata dan peta
Suratan telapak tangan. Pernahkah kau baca
Di luar restu tukang ramal?

Aku membacanya dengan caraku sendiri
Di sepanjang jalan kesunyian. Kusaksikan
Begitu banyak simpang yang kubawa berlari
Dalam diri, hingga tak satu pun tersimpan
Untuk kujadikan tanda dan lambang
Agar terbaca semua orang.

Maka dengan sedih dan nyeri kukepalkan telapak tanganku ini
Mengacungnya ke langit, ke bintang-bintang, kuingin ia
            berputar
Dan berpendar, bagai globe, bola dunia, di keheningan
            puncak malam.

Begitulah ia terus berputar dengan sumbu sebelah lengan
Yang bersitahan dari penat, pusat segala lenggang
Sampai aku tersadar, rute masih panjang
Sedang bintang-bintang tak kunjung jadi rambu
Di tajam tikung jalan. Kiri-kanan

Nganga ngarai atau ujung jurang, apapun
Tanganku telah terbuka membentang sekalian salam
Kepada sesama seperjalanan. Juga sungai dan batu-batu
Kusentuh tanpa genggaman, hingga kau dan aku berlalu
Dalam sesenggol sentuhan ngilu, dalam sepenggal
Kenangan pilu. Sedang kenangan,

Kau tahu, kenangan adalah batu yang menjadi
Jantung jurang, adalah sungai yang menjadi
Jiwa ngarai, meski tak ada lagi bintang penerang
Di bentangan peta nasib telapak tanganku ini.

Tapi, di remang ujung jalan sebelum sempurna kelam
Kusaksikan sekalian simpang, berkilatan, ternyata mengarah
Ke satu tujuan: Kenangan!

Maka, kulenggangkan tanganku, kau langgengkan kata
Perpisahan, agar kenangan menjadi tanda dan lambang
Kekal terbaca di setiap simpang.
Yogyakarta, 2002-2003


SURAT YANG TAK (PERNAH) SELESAI
            : gus tf

Sebuah surat
hakikat beribu
kalimat sakitku

Akan kutulis padamu
Begitu malam
            Dan jalan-jalan
mengibaskan nasib yang payah
maka tersedulah aku
            teringat rumah!

Kugali sungai di kertas surat
air mata sunyi alir airnya
agar hanyut sangsaiku
            ke alamat rindu
maka rebahlah aku
            menahan sedu yang entah!

Sebuah surat adalah sungai
berhulu jauh
karena itu ia tak akan pernah selesai
dan mungkin tak akan sampai
padamu.
Denpasar, 1997

ALIENASI
- kuta

Cahaya memanjang menikam pesisir yang basah
meneteskan kenanganku di sayap-sayap senja
kukumpulkan pasir kerinduan, ‘kan kubangun
wajahmu di sini, walau rapuh:
Ombak berlapis mengintai silih berganti
Sekali waktu harus kurela
mata, kaki, tangan dan rambutmu terseret pergi
hanya wajahmu setia kupertahankan hingga nanti

Menatap langit, ceruk yang tenggelam ke tepian laut
istana camar yang tak pernah sendiri
kutiadakan kesetiaan camar, dan kunikmati
            kecemburuan ini
sambil menangkap angin lewat
dalam igauan

Di dahan yang kurus, kau terbuai kenangan
dan tak pernah bisa kugapai walau sesaat.
Kuta, 1996


JALAN KE BUKIT PENUH DURI
-- untuk Afrizal Malna

Ya, jalan ke bukit sudah berubah
dalam langkahku kini;
semak-semak meninggi, penuh duri
rumput, ilalang pun jelatang
berebut tumbuh di celah batu
menggores pundakku, sia-sia
mencari bekas pondok, pohon-pohon, mata air
bahkan batas ladang yang lama ditinggalkan

Tak ada suara seruling atau denting kecapi
di ladang-ladang mati. Tak ada langkah penyabit rumput
untuk lenguh ternak yang memang tak kedengaran lagi
Tak ada gegas laki-laki turun ke teratak
menyandang sekarung gandum musim panen.

Tapi aku tetap saja berjalan, mendaki
di antara kabut dan duri. Menguak semak-semak dan onak,
penuh debar, bagai menguak cadar perawan
(gadis-gadis kecil sepermainan)
berharap bertemu runcing bukit dan lekuk lembah kenangan.

Terus saja aku berjalan mengikuti desau ilalang
dari jurang ke jurang. Barangkali itulah lembah biru
tempat paling riang dalam hidupku:
yang di dasarnya memancar mata air
tempat membasuh lelah ibu
tempat pernah kugoreskan namaku di batu licin
tempat benih dan bijian tumbuh di subur rahim
tempat ayah berkubur akhirnya di gembur rahim.

Sungguh, semak-semak terasa bergetar
oleh rindu! Bahkan duri-duri terasa akrab
memahkotai diri. Dan aku gemetar, terbayang
semangka curian yang terlepas dari pangkuan
menggelinding liar dan jatuh di batu;
o, merah isinya bagai gelegak darah mudaku
ingin segera pergi mengenal peta baru dari lautan!
(tapi mengapa tak kunjung kukenali kembali
peta lama ladang sendiri di bukit-bukit pesakitan ini?)

wajahku tergores ilalang, bersama kembang
      darah mengalir dari kuntum usia yang hilang
ke dalam jurang. Sadarlah aku, semak bergetar
bukan karena rindu-dendam, bukan karena kilau bayang
      masa silam
tapi gedesau liar babi hutan atau geliat lapar harimau
      kumbang...

aku tersintak, hari hampir malam, atau barangkali matahari
tak sampai ke mari (telah jatuh di laut jauh). Aku tertatih
menyandang ransel sarat beban. Apa yang kau bawa
      penyair letih?
Bertanya aku pada diri sendiri, pada sepi. Apa yang kubawa?

Peta-peta kusam-kelabu. Tak terbaca karena gagu. Sobekan
      layar hilang warna
Pudar disepuh laut jauh tak berberita. Patahan jangkar.
      Bungkulan garam.
Sirip hiu. Moncong todak. Kulit penyu. Bulu camar. Akar bahar.
Kertas-kertas penuh coretan.

Pernah aku berkata, di pelabuhan penghabisan:
“Akan kugenapkan koleksi benda-benda yang kusimpan
serbuk cengkeh dan pala penuh aroma. Minyak nilam.
      Mata cangkul
dari tanah hitam. Bulu enggang. Paruh kuau. Jimat cakar
      elang. Taring celeng
Ketapel. Batu-batu lumutan. Akan kususun jadi bahasa baru
      penuh gema,
meski mungkin hanya aku yang tahu maknanya, aku seorang!”

Karena itulah aku pulang, berziarah. Persetan segala lelah!
Aku toh bisa bersandar di pohon rindang
dekat batu besar (serasa pokok ketapang di pantai, di celah
      karang)
Kelepak elang pulang sarang berselisih kelepak kelelawar
      ke luar kandang,
mengingatkan malam benar-benar akan segera datang
Aku tiba-tiba merasa sendirian, di tengah hutan, di dalam kelam
terasing di tengah tanda dan lambang-lambang
yang belum terumuskan. Sampai-

tanganku yang capai meraba licin lumut, lalu seperti tersesat
di kasat huruf. Aku temukan apa yang pernah kugoreskan:
batu itu menyimpan nama masa kecilku!

Dan segera kukenali kini: bekas pondok lapuk terlantar,
pusara tua, pancuran lama. Lalu, lidahku yang kelu
menyeru-nyeru ibu, “Ibu! Ibu! Kutemukan lembah yang riang
dan kemilau mata airku!”

Bahkan kunang-kunang pun berkilau di tepi hutan
dan semak-semak penuh duri, bercahaya. Aku teringat
bintang-bintang di atas pulau karang, penuh ranjau
Namun tetap kucari kata-kata yang lama hilang
dan kini terdampar di belantara warisan nenek-moyang!

Kutulis lagi mata bajak dan genta sapi
sampai semak kembali bergetar oleh irama yang akrab
      dikenali
bergetar, dalam pusaran angin malam. Bergetar, karena cinta
dan rindu-dendam. Aku pun gemetar, dan diam-diam
      menyorotkan cahaya senter ke tepi hutan;
sepasang mata harimau kumbang
bagai teror di jalan pulang!

Aduh ibu, mengapa teror kembali berulang
di ladang-ladang mati dan jelan penuh duri? Aduh, betapa berat
jalan kembali!

Tiba-tiba sebumbung asap menari dari sebalik bukit
yang lain lagi. Tapi bukan pertanda ladang atau tempat berdiang
yang aman. Tak ada aroma pisang panggang
      dan kelepak enggang
melainkan kobaran api, teror demi teror
melumat kenangan

Dan aku tinggal sendiri, di atas puing ribuan lambang:
menulis dengan abu, puntung dan arang
beserta perih duri-duri
tetap dengan riang...
Rumahlebah, yogyakarta, 2002

CERITAKAN PADAKU TENTANG IKAN
            : Wahida

Ceritakan padaku tentang ikan
yang tiap hari melintas menyapamu
Dari balik kaca tempatnya merentang sirip
Barangkali dirindunya matamu
Sebuah telaga sejuk berdayung nasib

Apa yang terbayang
ketika ikan-ikan kecil dan lucu itu
            akan menuju negeri yang jauh?

Telah ditawarkan keindahannya
Kepada dunia yang tak dikenalnya
Dipaksa melupakan karang-ganggang
            dunia sederhana miliknya

Tapi mengapa tak kita tawarkan
indahnya persaudaraan
Ke negeri-negeri yang jauh
            bahkan ke dunia yang kita punya?

Ceritakan padaku tentang ikan
Saat akan berangkat
Sampaikah lambaianmu menyentuhnya.

Pernahkah kau bayangkan
Aku satu di antara mereka
yang merindukan matamu
jadi telaga paling setia
            menadah lukaku?

Ceritakan padaku tentang seekor ikan
dari negeri yang jauh
setia melintas menyapamu
dari balik dunia kecil yang ia punya.

Ceritakan hanya padaku
Biar kudapatkan jawabannya.
Denpasar, 1996


TENTANG RAUDAL TANJUNG BANUA
Raudal Tanjung Banua lahir di desa Lansano, Kenagarian Taratak, Kab. Pesisir Selatan, Sumatera Barat pada 19 Januari 1975. Awal 1995, merantau ke Bali, bergabung dengan Sanggar Minum Kopi. Lalu pergi ke Yogya, masuk jurusan teater ISI, mendirikan komunitas rumahlebah dan bergiat di Akar Indonesia. Buku kumpulan cerpennya, Pulau Cinta di Peta Buta(Jendela, 2003) dan Ziarah bagi yang Hidup (Matahari, 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar