Senin, 31 Agustus 2015

PUISI-PUISI SIHAR RAMSES SIMATUPANG

NARASI SENJA MENGHILANG
"biarkanlah aku menjadi senja yang akan memucat setiap kau tutup jendela".
sebab senja adalah kematian yang manis. epilog bagi kelelawar dan derit engsel jendela untuk mencabut cerita yang sudah tidak bermakna.

"biarkanlah aku menjadi senja yang akan menghilang saat engkau menutup mata. sebab senja adalah penghabisan yang manis. ujung dari notasi
kesenduan yang masih terdengar dari kebungkaman seribu makam.
Jakarta, Mei 2002

SISA DUKA DI SENJA ITU
: buat si non

dan airmatamu yang telah menjelma hujan barangkali akan kering pada perjalanan musim. untuk sementara, beberapa bunga yang telah ku tebarkan pada tubuhmu masih melayu dalam sejarah kita.
fajar yang masih terjaga, embun-embun terus melekat, tetap pada cuping telingamu. tapi engkau tak merasakannya. seperti kebingungan batu, pada cinta dan masa lalu.
engkau yang masih terdiam di tanah itu, berpayung hitam dan sibuk memberikan airmata pada para pelayat yang belum beranjak pergi. malam masih terasa dingin, belum layak menghadirkan kicau burung buat cerita lain di pagi hari.
: aku masih terpekur di rerimbunan ilalang. sibuk memunguti airmatamu yang terselip di atas tanah itu. barangkali, engkau akan menerimanya.
(atau mengenangnya sebagai sebuah cenderamata buat bekal perjalanan kita di esok harinya).
In memoriam, 2002

REPORTOAR 
"semuanya sudah berakhir"

seperti kematian yang menggerogot tubuh kita
tulang ini akan kembali jua pada kata-kata terakhir
aku sangsai dalam perputaran roda waktu yang tak pasti.

lamat, aku mendengar sejarah
seperti putaran roda yang berjalan menuju pembakaran
inikah rumah sakit
ataukah kita sedang berjalan
menuju kepompong mayat-mayat?

"tak usah lagi saling memikirkan"

kota-kota hanyalah sebuah etalase mengerikan
bila kita merenunginya dalam sebuah kamar
kita bertambah tua.
cuma dongengan masa kecil yang mengalir di nadi kita.

aku benci dengan masa lalu
namun sesuatu selalu yang pecah dari dalam dadaku
tak akan pernah terbingkai lagi
seperti rekahan tanah liat yang dibawa menuju
aliran sungai yang tak berujung.

"dunia hanyalah dongeng-dongeng"

barangkali cerita pun percuma buat menghadirkan sejarah
makam kita pun belum tentu juga menghasilkan
kesaksian-kesaksian.
barangkali tak akan pernah ada makna dalam deretan
kata-kata di nisan.

"siapakah yang punya kesedihan?"

aku mengalir, dengan airmata yang kusimpan.
atau menutupnya rapat-rapat.
memendam kegetiran pada sejarah
dengan waktu yang membiru serupa dendam.

pada pucuk-pucuk masa depan,
aku mengembara
dengan ribuan kegilaan yang masih teracung.
Jakarta, awal 2002

PEJALAN KAKI DI SEBUAH PULAU
perempuan itu telah tertidur di sampingku.
tapi bukan raganya,
sebab aku hanya menari di samping jiwanya
dalam kemabukan, sebelum fajar datang
dan matahari merampok jadi mimpi-mimpi panjang.

laut malam di laut pulau jawa, aku menggelepar
sangsai. lelah mataku terbang, dari tidur satu
ke pucuk-pucuk mimpinya. di antara lekuk tubuhnya
yang putih bagaikan pualam. engkau tak lagi nyata
di mimpi ini.

aku tahu, engkau juga akan menghilang
seakan tubuhmu telah siap kau persembahkan
buat pejantan lain yang sejarahnya tak pernah
aku kenal.

tubuhku sesak, pemabuk yang menghindar dari
keterjagaan. sebab kesadaranku hanyalah kesedihan.
dari pantai ke pantai, terus kubentuk jiwanya
tapi misteri tubuhnya barangkali
tak lagi pernah bisa aku terima.
Surabaya, Awal 2002

SEBUAH BINGKAI TENTANGMU
: valentine

masihkah engkau ingat perjalanan itu
pada perjalanan kita, di antara kenangan malioboro
dan pantai parangtritis. kita mereguk malam.
mabuk cinta sepuasnya.

engkau pun menatap selembar daun. yang jatuh
dan terbawa air selokan.
"akh, engkau tak akan berlalu.
tak seperti daun itu" katamu.

namun siapa tahu. bila kita lebih rapuh,
bahkan bila dibandingkan daun. atau air selokan itu.

kita kemudian asing. larut dalam sejarah baru.
atau beranak pinak, atau tersesat dalam pengembaraan
: waktu kemudian jadi asing
misteri yang jadi kenyataan,
kau yang pergi,
dalam sebuah pengembaraan tak bertuan.

:engkau serasa tak kukenal!
Jakarta, Februari 2002

SEBUAH ODE BUAT KAWAN
Masih ada lagu-lagu senja yang membuatku muram
bercerita tentang sejarah perjalanan kita
ada aku dan engkau di mata sejarah
di antara lantunan sunyi seruling
di atas batu-batu yang mencakar dadaku
dalam sebuah almanak perjanjian
dalam peta-peta tua
yang kemudian kita itu kita namakan sebagai detik perjuangan.

ada tangis bocah yang menjerit lirih
di antara ladang-ladang sembako dan susu gula
engkau tersenyum
dengan api keringat yang telah menjadi jelaga dari asap
cerobong pabrik
kemarin lalu, di saat kau berteriak, turunkan harga, turunkan

kesunyian juga yang kini meraja di pembaringan kita
saat bulir-bulir padi ini sudah tak layak untuk dipanen
hanya kulitnya, seperti tulang kita yang rapuh
oleh kulit-kulit terkoyak
kuku matahari yang tajam mencakari tanah.
sebuah ode, belumlah cukup untuk disimpan hari ini.
Depok, 2001

DARI DUKA MASA LALU
dari ribuan sungai masa lalu
aku menatap garis garis pantai
yang terus berbuih di depanku.
sebuah kisah harus ditebarkan,
betapapun pahitnya
sebuah sejarah
seperti sejarah kanak-kanak
di jalan raya,
nenek tua yang merindukan anaknya
untuk pulang selepas perang telah usai,
atau duka tanpa airmata
pada onggokan mayat bayi
yang telah mengambang di sungai,
sisa dari takluk
ibunya,
pada kekejaman makhluk bersenjata.
1998-2000

PEPOHONAN I
aku telah mengubur 
seluruh kehidupan
dalam piyuh dedaun kering
yang kusiapkan sendiri
selepas senja itu.
biografi siapakah
yang menangis sendirian;
serupa desau bambu
beriring dengan daunnya,
perih dan sedih.

bayang bayang meninggalkan raga,
dan tubuh melolong tanpa cahaya,
berkeriap dalam kegelapan
memagut lubang-lubang nanah
dan penderitaan senja itu
belum selesai hanya
dengan desau bambu
dan dedaunnya yang sedih-perih.
Tuhan tetap berjaga
menghitung dusta dan pahala
bahkan ketika bayi.
tetapi bayi siapakah
yang harus menanggung
dosa turunan yang berlendir
di tangan dan telapak kakinya itu?
sepekak apakah kehidupan,
ah segelap apa pula kematian.

telah dilajur bangkai dedaun,
telah dideret ranting kering
telah ditumpuk cabang-cabang itu,
sebelum batang utama roboh
menimpa segenap bunga dan biji.
ah betapa bodohnya
bila perjuangan tunas
tak dihargai untuk doa-doa
pada Pencipta ini.
Lenteng Agung, 2013

PEPOHONAN II
nak, di dalam cucupku
telah aku ingkari sejarah
tetapi tetap tersusun
buah-buah di ranum mulutmu
dari air telaga,
lumpur dan pasir-bebatuan itu.
aku mematri perjuangan
dengan akar-akar
yang tak selalu berupa air
tetapi juga tuba yang mengalir
sampai ke reranting ini.
demikianlah, betapa senja
selalu degil mengejek
tiupan sepoi dari reranting muda
hingga buah jatuh sebelum matang
sebelum engkau dapat mencicipnya
dengan segenap lega
dan penuh kesegaran.
Depok, 2013

PEPOHONAN III
aku pernah berbagi duka
dengan pohon kamboja
dan malaka di pekuburan itu.
mengabarkan getir di semilirnya
tentang susunan panjang biografi
yang disesapkan lewat hara
pada akar mudanya
yang putih dan kuning.
pada telingaku ditiupkan
cerita-cerita yang kelak
akan aku korbankan
kepada pepohon itu,
satu demi satu. dari tubuhku
yang tak selalu terjaga
namun memberikan istirah untuk biografi
yang kelak melolong panjang
setelah pengembaraan selesai
di ujung akhiran. pepohon selalu diam
dalam kesetiaan yang rahasia,
menabung waktu dengan bertumpuk
kisah-kisah misteri yang rahasia.
sehingga kelak pun
akan sampai di telingamu;
sekerat biografiku.
Citayam, 2013

DURGA UMAYI
betapa dekat hitam busuk
dengan merah darah yang anyir.
suara serak itu  seperti menyodorkan
sepeti dendam lagi;
tak berkarat tapi  beramiskan kerinduan.
lalu parade gending, atau cuap kecak,
tabuhan pengantar keperihan.
puah! dia sakit, betari,
pernah dirajangnya daging sendiri
dengan sembilu yang tercipta
di rambutmu yang membawa luka
dan debu. seutas demi seutas
menjelma tambang, lebih mirip belatung
yang mengerogot pita suara
menjadi serak - seperti suara betari.

dinihari, 1 Oktober 2012

BIODATA: Sihar Ramses Sakti Simatupang. Kelahiran Jakarta, 1 Oktober 1974. Pernah bergabung di Teater Puska dan Teater Gapus di Surabaya dan Komunitas Seni Tanah Depok. Karya antologi puisnya antara lain Upacara Menjadi Tanah (Gapus, 1996), Adakah Hujan Lewat Di Situ (Gapus, 1996), Keberangkatan (KSTD, 2002), Antologi Puisi Digital Cyberpuitika (YMS, 2002) dan Antologi Lampung Kenangan “Krakatau Award” (Dewan Kesenian Lampung, 2002) dan "Dian Sastro for President" (Terbitan ON/OFF Yogyakarta, 2002). Salah satu cerpennya dibukukan bersama penulis lain pada antologi Tak Ada Pilihan Lain (Sumbu, 1998).
Menamatkan studi di Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Ikut baca puisi demonstrasi sejak awal menjadi mahasiswa di Surabaya hingga selesai. Tulisannya berupa essei, cerpen dan puisi pernah dimuat antara lain di majalah kampus Suara Airlangga Unair, Gatra F. Sastra Unair, majalah Amigos dan Dedicatio. Pernah memenangkan Pekan Seni Mahasiswa Regional juara II Jawa Timur tahun 1995. Karyanya berupa esai, cerpen dan puisi juga dimuat di harian umum Jawa Pos, Surabaya Post, Warta Kota, Memorandum, Karya Darma, Pos Kota, Sinar Harapan, majalah Plot, Radio Nederland dan Trans-TV. Karyanya termuat di situs sastra antara lain www.cybersastra.com dan www.poeticallyspeaking.net. Penulis saat ini sebagai wartawan budaya di Harian Umum Sore Sinar Harapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar