Selasa, 25 Agustus 2015

PUISI-PUISI PRANITA DEWI

SUATU HARI DI SUATU SENJA
: bagi Jengki

Suatu hari
di suatu senja
kau tahu di mana bayang kita
akan tiba

Gagak-gagak melengking pilu
seperti ingin mencari
rumah untuk pulang
istirahat dan tenggelam
pada diri yang asing

Aku asing pada hidupku sendiri
tak ada lagi bintang
yang kita lihat dulu
dan berharap cahaya
yang tak tertutup itu
adalah nujuman bagi kita

Segelas tuak
kita teguk
untuk hidup yang sia-sia

Kemana mimpi pergi
di mana bayang ibu
yang dulu kau sebut itu

Seteguk tuak
seperti membawamu kembali
bagai bocah
menatap bintang
dari balik cahaya kelereng biru
lalu kau tahu
bahwa bintang
sebenarnya tak punya cahaya
kecuali biru
dalam mata bocahmu

Suatu hari
di suatu senja
kau akan mengajakku pergi
membangun mimpi-mimpi
jadi puisi
yang kita gali bersama

Sejauh ombak yang datang
mata nelayan yang nyisakan kegundahan
kemalangan
ia tahu akan tiba

Kau tahu
bintang-bintang itu
tak lagi punya cahaya
selain abu di langit
yang tampak ragu
tenggelamkan senja
yang kita kejar
dari Denpasar
hingga ke kuta

Suatu waktu
di hari yang seperti senja
kita akan tiba
kembali
menjelma bayang bocah
penggali mimpi
atau apa saja
tapi kau lebih memilih
tuak
ketimbang bintang
nujuman kita.
SAJAK CINTA  
sempat pula kumerenung 
jika suatu nanti angin mendung 
tak lagi berkabung 
kita bersuami instri 
di sisi kita ada cinta
rumah kecil kita 
walau gubug reyot 
tapi ada cinta 
tempat tidur dipan kita 
walau keras 
namun ada cinta 
lantai tanah kita 
walau kasar 
tetap ada cinta
kita tak punya tv berwarna 
masih kita punya cinta 
kita mewarna dalam cinta 
sebab kita tumbuh dari cinta 
cinta untuk bercinta 
mawar sudah tak lagi dijamah 
edelweis di sebelah kita merekah 
di halaman cinta kita 
hati kita diteduhi cinta 
kita tak habis mencinta
2003

NGABEN
1.
Hanya ada nyala, nyala, dan nyala
serta senja yang karam perlahan
di garis laut yang jauh: di sana,
matahari, lentera kekal itu, setia
menunggu abuku
Hidup yang baru saja kuakhiri akan menjadi
seperti mimpi yang selalu terlupakan
di pagi hari.
Kini kubiarkan jasadku bermukim di semesta
dan kutinggalkan semua, wahai kalian kawan
seperjalanan.
2.
Terberkatilah semua yang dikira orang mati!
Lihatlah,
mayat yang terbahak ini
tergeletak serupa batu cadas,
sendiri dan abai, hanya memandang ke atas
dan tak sekalipun mengerdip.
3.
Tulang belulangku, kawan setia semasa hidup dulu,
betapa lega mayat ini menuju keluluhannya
Sebab telah kuterima persembahan tanpa mata dan
telinga: ulat-ulat ulung ini.
kini galilah kenanganku dengan
mantra, wahai engkau yang gemar
hidup, dan katakan
padaku apa masih ada siksaan
bagi jasad muda begini?
4.
Sebab ini kali aku belum akan moksa: api
akan meyakinkan bahwa aku masih fana.
Kini mesti kukembalikan tubuh pinjaman
yang compang-camping ini
kepada abu dan debu.
2010-2011

HUJAN
Di luar, hujan memaku kota,
deret bangku, taman-taman rahasia
yang kini tinggal jadi impian
Siapa berkisah tentang angin yang semalam cuma mampir
bertiupan, mendesah dan hilang sejenak
lalu menerpa dan menghampiri kita?
Sampai batas dan usiaku tiba di gerbang kayu
menunggu seorang penyihir datang
dan membukakan peta kematianku
Di mata penyihir itu
ada bola yang seperti lampu
merah, kuning, menyala
cerita terbuka
pada batang kayu
Hidup tak cuma bergegas pilu
sebab aku masih mampu
menyimpan sesuatu di balik kantung baju
tempat persembunyian rahasia
selembar surat cinta tua,
sajak-sajak buruk, balada,
juga kematian
tak ada yang begitu panjang
seperti hari-hari yang lumpuh itu
dan penyihir itu datang
membukakan peta kematianku
ia membelaiku, menciumi jari-jariku
sebelum semuanya jadi putih dan layu.
2011

BARUNAbaruna tiba
mengemas laut untukku

berkali aku meminta gelombang mengawiniku
tapi tanganmu hanya melengkung mabuk
guratkan pasir
tuntaskan buih di ceruk tubuhku

lalu kita bercumbu tak jemu
senja selalu samarkan bayangmu
tapi aku masih mampu mencium wangi garam di tubuhmu
yang memndam kupu-kupu

baruma kita pernah bercumbu
dalam kepungan wangi garam
hingga selaputku koyak oleh ombakmu yang bergulung
dan cerukku membuncah penuh buih
kenanglah! kenanglah!

kau tiba
dengan kereta kencana
seribu kupu-kupu mengitari tubuhmu
namun aku hanya kupu-kupu biru
yang terlanjur suka bercumbu

kini aku menagih janji gelombang
mengawiniku dalam pesta gangang
tapi kelahiranmu hanya cangkang kerang
rapuh dan telanjang...

SEBARIS LAGI KEKASIHaku pejam mata
kau mengintip ke kaca
aku julurkan lidah
ah, kau juga terperangkap basah
mana rambut ikalmu, ini tanganku
itu bayangan kita

antara lenguh tamu dan dingin lobi
kusisipkan bayangmu
kekasih cumbui aku seperti
percintaanmu yang tak selesai
pada puisi...

kusibakan pula mimpi-mimpi kita
seperti mengangmu pada gerimis pertama
ah, sayang mengapa tubuhmu
begitu sempurna dinujum waktu

dari rahimku puisi menetas
bagai jarum-jarum air di luar jendela
lihatlah lelaki, mari dekatkan diri
untuk sesaat jadi api
api yang membuncah
dii tubuhku yang bergairah...

sebaris lagi kekasih, sebaris lagi!
di situlah kutemukan ujung gerimis;
kelaminmu, kemarauku...

dan kita adalah halaman baru itu kekasih
dan kita mencari ke mana arah ingin
kita lupa waktu yang kandas di jendela
sebab birahi yang rekah,
kelaminmu yang basah...
2007


=============
Ni Wayan Eka Pranita Dewi, lahir di Denpasar, 19 Juni 1987. Menulis puisi, prosa liris dan cerita pendek. Sejumlah puisinya pernah dimuat Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Bali Post, Majalah Sastra Horison, Jurnal BlockNot Poetry, dan Jurnal Sundih. Sering menjadi juara lomba baca dan menulis puisi. Kumpulan puisinya “Pelacur Para Dewa” terbitan Komunitas Bambu, 2006. Kini ia aktif bergiat dalam Komunitas KembangLalang, Denpasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar