Jumat, 15 April 2011

INTERAKSI GURU DALAM PROSES BELAJAR SISWA

Saat Anda berdiri dalam kelas dan memulai bercerita kepada murid-murid Anda tentang mata pelajaran, tentunya Anda berharap murid antusias dengan pelajaran yang Anda terangkan. Anda menatap mata siswa satu persatu dan memperkirakan kemampuan mereka dalam menangkap bahan pelajaran yang Anda berikan.

Anda menatap Any yang Anda anggap cukup cerdas, tentu ia dapat menguasai pelajaran ini dengan mudah, ia akan mudah menguasai soal-soal yang akan diberikan, sementara di sudut kelas Andy menatap gurunya seakan mengerti dengan apa diajarkan, ia berusaha bersikap sewajarnya, ketika Anda menatap ke sudut kelas, Andy menundukkan kepalanya dan berpura-pura mencatat bahan pelajaran diberikan.

Sembilan dari sepuluh guru mengatakan bahwa mereka sering mengingat dan memperkirakan kegagalan siswa hanya dengan mengingat sikap siswa di masa lalunya, dan hasilnya sesuai dengan ramalan mereka. Apakah pandangan guru tersebut berpengaruhi terhadap prestasi dan citra diri siswa tersebut?

Dalam bekerja guru cenderung mengelompokan siswa dalam interaksi yang berbeda, mereka mengelompokan sebagai "golongan siswa berkemampuan tinggi" yang mereka anggap sebagai siwa yang cerdas, patuh, tertib, rajin, rapi dan sebagainya. Interaksi kedua adalah "golongan siswa berkempuan rendah", mereka adalah yang termasuk siswa yang mempunyai nilai rendah, bandel, pemberontak, malas, dan sebagainya.

Martin Seligman, Psikolog dari Universitas Pennsylvania menemukan bahwa setiap sebagian orang bereaksi lebih sensitif terhadap prasangka. Dalam ekspreimennya ia menguji sekelompok perenang untuk menentukan tingkat optimisme dan pesimisme pribadi mereka. Perenang yang dikelompokan sebagai perenang yang memiliki pesimise diberikan catatan rekor renang palsu yang sengaja dibuat buruk, ternyata akan memberikan umpan balik yang sama pula, catatan waktu yang mereka peroleh semakin buruk dan ini berbalik dengan perenang yang optimis, mereka memberikan umpan balik negatif, prestasi mereka terus membaik.

INTERAKSI GURU TERHADAP SISWA
Siswa Berkemampuan Tinggi Siswa Berkemampuan Rendah
Cenderung lebih murah senyum Cenderung berbicara lebih keras
Lebih banyak ngobrol Ngobrol seperlunya
Akrab Jarang senyum
Berbicara secara intelektual Berbicara lambat
Humoris Instruksional
Bertindak lebih matang Otoriter
Menggunakan kosa kata yang kompleks Menggunakan kalimat mentah

Keyakinan guru akan potensi manusia dan kemampuan semua anak untuk belajar dan berprestasi merupakan hal yang penting diperhatikan. Aspek-aspek teladan mental guru sangat berpengaruh terhadap iklim belajar siswa. Siswa menangkap pandangan penilaian guru terhadap dirinya lebih cepat dan akurat dibandingkan menangkap pelajaran yang diterangkan oleh gurunya.

Saat siswa mendapatkan penilaian negatif dari gurunya, otak terasa terancam oleh tekanan-tekanan tersebut, kapasitas syaraf untuk berpikir rasional mengecil. Otak "dibajak" secara emosional menjadi mode bertempur atau kabur [Inilah yang disebut siswa sebagai pelajaran yang tidak sukai, membosankan, menakutkan dan sebagainya], akibatnya otak tidak dapat mencerna lebih baik, Higher Order Thinking Skills.

Fenomena ini sering disebut dengan downshifting yakni tanggapan psikologis yang dapat menghentikan proses belajar saat itu dan sesudahnya.
Untunglah otak juga dapat melakukan sebaliknya, dengan tekanan positif dan supportif, dikenal dengan eustress, otak dapat melibatkan secara emosioal dan memungkinkan kerja syaraf secara maksimal dalam proses belajar anak. Kuncinya adalah membangun ikatan emosional dengan menciptakan kesenangan belajar, menjalinkan hubungan antara guru dan siswa yang lebih akrab dan ramah dan menyingkirkan ancaman-ancaman yang dapat mempengaruhi suasana belajar.

Sedangkan menurut Suparman, S.Pd, pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk membelajarkan siswa. Banyak komponen-komponen mempengaruhi proses belajar mengajar diantaranya penggunaan media dan metode pembelajaran. Selain itu faktor interaksi antara guru dan siswa juga sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Untuk itu perlu diciptakan interaksi antara guru dan siswa yang kondusif.

Untuk menciptakan interaksi antara siswa dan guru dalam melakukan proses komunikasi yang harmonis sehingga tercapai suatu hasil yang diinginkan dapat dilakukan contact-hours atau jam-jam bertemu antara guru dan siswa, dimana guru dapat menanyai dan mengungkapkan keadaan siswa dan sebaliknya siswa mengajukan persoalan-persoalan dan hambatan-hambatan yang dihadapinya.
Adapun interaksi pembelajaran yang dapat dilakukan sebagai berikut ;
1.Interaksi satu arah, dimana guru bertindak sebagai penyampai pesan dan siswa penerima pesan.
2.Interaksi dua arah antara siswa dan guru dimana guru memperoleh balikan dari siswa.
3.Interaksi dua arah antara guru dan siswa dimana guru mendapat balikan dari siswa selain itu saling berinteraksi atau saling belajar satu dengan yang lainnya.
4.Interaksi optimal antara guru, siswa dan antara siswa-siswa.

A.Guru-Anak Didik sebagai Dwitunggal
Guru dan anak didik adalah dua sosok manusia yang tidak dapat dipisahkan dari dunia pendidikan. Figur guru yang mulia adalah sosok guru yang dengan rela hati menyisihkan waktunya demi kepentingan anak didik, demi membimbing anak didik, mendengarkan keluhan anak didik, menasehati anak didik, membantu kesulitan anak didik dalam segala hal yang bias menghambat aktivitas belajarnya. Guru dan anak didik adalah sebagai dwitunggal.

B.Guru Sebagai Mitra Anak Didik
Di sekolah, guru adalah orang tua kedua bagi anak didik. Tugas dan tanggung jawab guru adalah meluruskan tingkah laku dan perbuatan anak didik yang kurang baik, yang dibawahnya dari lingkungan keluarga dan masyarakat.
Kegiatan proses belajar mengajar tidak lain adalah menanamkan sejumlah norma ke dalam jiwa anak didik. Guru dan anak didik berada dalam suatu relasi kejiwaan. Interaksi antara guru dan anak didik terjadi karena saling membutuhkan. Anak didik ingin belajar dengan menimba sejumlah ilmu dari guru dan guru ingin menimba dan membimbing anak didik dengan memberikan sejumlah ilmu kepada anak didik yang membutuhkan.

C.Pendekatan yang Diharapkan dari Guru
Dalam interaksi edukatif, guru berusaha menjadi pembimbing yang baik dengan peranan yang arif dan bijaksana, sehingga tercipta hubungan dua arah yang harmonis antara guru dan anak didik.

1.Pendekatan Individual
Pengelolaan kelas sangat memerlukan pendekatan individual karena perbedaan individual anak didik tersebut memberikan wawasan kepada guru, bahwa strategi pengajaran harus memperhatikan perbedaan anak didik pada aspek individual. Persoalan kesulitan belajar anak didik lebih mudah dipecahkan dengan menggunakan pendekatan individual, walaupun suatu saat pendekatan kelompok diperlukan.

2.Pendekatan Kelompok
Pendekatan kelompok memang suatu waktu diperlukan untuk membina dan mengembangkan sikap sosial anak didik. Pendekatan kelompok diharapkan dapat ditimbulkan dan dikembangkan rasa sosial yang tinggi pada diri setiap anak didik. Mereka dibina untuk mengendaliakn rasa egoisme dalam diri mereka masing-masing, sehingga terbina sikap kesetiakawanan sosial di kelas. Anak didik yang dibiasakan hidup bersama, bekerja sama dalam kelompok akan menyadari bahwa dirinya ada kekurangan dan kelebihan.

3.Pendekatan bervariasi
Dalam mengajar biasanya guru hanya menggunakan satu metode, sehingga sukar untuk menciptakan suasana yang kondusif. Jadi jika terjadi perubahan sulit dinormalkan kembali. Permasalahan yang dicapai oleh setiap anak didik biasanya bervariasi, maka pendekatan yang digunakan pun akan lebih tepat dengan pendekatan bervariasi pula.
Pendekatan bervariasi bertolak dari konsepsi bahwa permasalahan yang dihadapi oleh setiap anak didik dalam belajar bermacam-macam. Kasus ini biasanya dengan berbagai motif, sehingga pendekatan bervariasi ini sebagai alat yang dapat guru gunakan untuk kepentingan pengajaran.

4.Pendekatan Edukatif
Pendekatan yang benar bagi seorang guru adalah dengan melakukan pendekatan edukatif. Setiap tindakan, sikap, dan perbuatan yang guru lakukan harus bernilai pendidikan, dengan tujuan untuk mendidik anak didik agar menghargai norma hukum, norma susila, norma moral, norma sosial, dan norma agama.
Dalam pendidikan Islam, pada dasarnya, pendidikan berintikan interaksi antara guru dan siswa. Guru merupakan komponen utama dalam pendidikan karena tanpa guru pendidikan mustahil berlangsung. Begitu pentingnya guru dalam pendidikan sehingga perlu guru profesional. Guru yang profesional selain mampu menguasai materi peiajaran dan teknik mengajar juga harus memiliki moral atau akhlak yang baik. Pentingnya moral dan kode etik dalam interaksi dengan para siswa tersehut didasarkan pada tujuan pendidikan yang menurut Al-Qur’an adalah membina manusia seutuhnya (Insan Kamil,).

Dewasa ini, pola interaksi guru dan siswa jauh dan nilainilai Islam. Banyak guru yang hanya mengajar tanpa mendidik untuk mengejar keuntungan materi sehingga pola interaksi guru dan siswa bernuansa bisnis materiafistis. Pola ini menjadikan siswa kurang menghormati guru karena kurangnya nilai-nilai agama yang ditanamkan oleh guru yang akan menyebabkan krisis akhlak dikalangan para siswa.
Oleh karena itu, perlu saatnya diterapkan pola interaksi guru dan siswa yang Islami. Masalah yang muncul adalah, pertama, bagaimana pola sikap guru terhadap siswa dalam interaksi pendidikan pada pendidikan Islam? Kedua, bagaimana pola sikap siswa terhadap guru dalam interaksi pendidikan pada pendidikan Islam? Ketiga, bagairnana pola komunikasi guru dan siswa dalam interaksi pendidikan pada pendidikan Islam?

Tujuan penelitian ini adalah, pertama, mengetahui pola sikap guru terhadap siswa dalam interaksi pendidikan pada pendidikan Islam. Kedua, rnengetahui pola sikap siswa terhadap guru dalarn interaksi pendidikan pada pendidikan Islam. Ketiga, mengetahui pola komunikasi guru dan siswa dalam interaksi pendidikan pada pendidikan Islam.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian analisis isi (Content Analysis) terhadap berbagai sumber data yang dikumpulkan melalui teknik studi pustaka atau dokumenter untuk memperoleh kesimpulan-kesimpulan dan teori-teori.Setelah dilakukan penelitian dan pembahasan, hasilnya adalah pertama, pola sikap guru terhadap siswa dalam interaksi pendidikan pada pendidikan Islam berdasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam.

Ada beberapa pola interaksi pendidikan yaitu pola keikhlasan, pola kekeluargaan, pola kesederajatan, pola uswah al-hasanah dan pola kebebasan. Kedua, pola sikap siswa terhadap guru dalani inleraksi pendidikan pada pendidikan Islam berdasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam.

Ada beberapa pola ineteraksi pendidikan yaitu pola ketaatan, pola kasih sayang dan pola kritis. Ketiga, pola komunikasi guru dan siswa dalam interaksi pendidikan pada pendidikan Islam terbagi menjadi dua yaitu pola komunikasi sebagai aksi atau komunikasi satu arah dalam pendidikan dan komunikasi sebagai interaksi atau komunikasi banyak arah dalam interaksi pendidikan.

Studi-studi menunjukkan bahwa siswa lebih banyak belajar jika pelajarannya memuaskan, menantang, hubungan yang ramah antara guru dan siswa, dan mempunyai kesempatan yang sama untuk membuat keputusan. Bila demikian siswa pun akan tertarik melakukan hal-hal secara sukarela yang berhubungan dengan bahan pelajaran. Disamping itu, ikatan emosi juga mempengaruhi memori dan ingatan mereka akan bahan-bahan yang dipelajari. Seperti yang dikatakan oleh ilmuwan syaraf otak Joseph LeDoux;

... perangsangan amigdala agaknya lebih kuat mematrikan kejadian dengan perangsangan emosional dalam memori.... Semakin kuat rangsangan amigdala, semakin kuat pula pematrikan dalam memori (Joseph LeDoux, 1994, Emotion, Memory and the Brain)

Untuk para guru, berlatihlah untuk mengubah pandangan Anda terhadap siswa, tidak ada siswa yang dapat dikategorikan dalam stage tertentu sebagai siswa cerdas atau tidak cerdas, semua siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk berprestasi, ubahlah cara pandang Anda dengan membayangkan angka sempurna pada setiap kepala siswa seolah-olah mereka adalah semua murid top generasi Einstein-Einstein baru yang akan Anda poles... dan perhatikan perbedaan yang terjadi [PD/ayed]

Jumat, 08 April 2011

PERIODISASI SASTRA INDONESIA

1.Pengertian kesusastraan dan sastrawan

Menurut segi bahasa kesusastraan terdiri dari kata susastra yang ditambahi imbuhan ke–an. Menurut bahasa sanskerta susastra terbagi lagi menjadi dua kata yaitu kata su dan sastra.Su berarti indah atau baik dan sastra berarti lukisan atau karangan. Jadi, susastra berarti karangan atau lukisan yang baik dan indah. Kesusastraan berarti segala tulisan atau karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2001:
a)Sastra: bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari).
b)Kesastraan: perihal sastra (makna lebih luas daripada kesusastraan).
c)Sastrawan: 1. Ahli sastra, 2. pujangga, 3. (orang) pandai-pandai; cerdik cendikia.
d)Susastra: karya yang isi dan bentuknya sangat serius, berupa ungkapan yang ditimba dari kehidupan kemudian direka dan disusun dengan bahasa yang indah sebagai saranya sehingga mencapai estetika yang tinggi.
e)Kesusastraan: 1. perihal sastra, 2. ilmu pengetahuan tentang segala hal yang bertalian dengan susastra, 3. buku-buku sejarah tentang sejarah susastra.

Dari pengertian yang telah dituliskan tadi maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sastra merupakan seni bahasa yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah dan memiliki makna yang dalam berdasarkan pengalaman jiwa manusia serta disusun dengan bahasa yang indah sehingga mencapai nilai estetika yang tinggi.

2.Periodisasi Sastra di Indonesia
Periodisasi Sastra adalah pembagian kesusastraan berdasarkan masa atau zamannya yang ditandai oleh ciri-ciri tertentu. Berikut periodisasi sastra Indonesia yang dibuat oleh berbagai ahli sastra:
1.B. Simorangkir-Simanjuntak berpendapat bahwa periodisasi sastra adalah sebagai berikut:
a)Masa Lama atau Purba (sebelum datangnya pengaruh Hindu).
b)Masa hindu-arab (mulai dari pengaruh hindu sampai kedatangan agama islam, sampai kedatangan orang asing).
c)Masa baru (dari zaman Abdullah bin abdul kadir Munsyi, hingga perang dunia ke-II)
d)Masa mutakhir (dari tahun1942 sampai sekarang)
2.Nj. Nursinah Supardo, menurutnya periodisasi sastra dibagi menjadi :
a)Angkatan Abdullah atau zaman peralihan
b)Angkatan balai pustaka
c)Angkatan pujangga baru
d)Angkatan Jepang
e)Angkatan 45
3.Zuber Usman, B.A. menyusun periodisasi sebagai berikut :
a)Kesusastraan lama
b)Zaman peralihan
c)Kesusastraan baru yang dibagi atas :
oAngkatan balai pustaka
oAngkatan pujangga baru
oAngkatan Jepang
oAngkatan 45
4.Sabaruddin Ahmad, B.A. membuat pembagian sebagai berikut:
a)Sastra angkatan lama yang dibedakan atas :
oZaman dinamisme (masa pra sejarah)
oZaman hinduisme (masa pengaruh hindu)
oZaman islamisme (masa masuknya islam ke Indonesia)
b)Sastra Angkatan Baru yang dibagi pula atas:
oAngkatan Balai Pustaka
oAngkatan Pujangga Baru
oAngkatan Jepang
oAngkatan 45
5. Drs. Nugroho Sotosusanto membagi kesusastraan indonesia berdasarkan sejarahnya sebagai berikut:
a)Sastra Melayu Lama
b)Sastra Indonesia Modern, yang dibagi atas:
oMasa Kebangkitan (1920-1945)
1)Periode 1920
2)Periode 1933
3)Periode 1945
oMasa Perkembangan (1945 hingga sekarang) dibagi pula atas:
1)Periode 1945
2)Periode 1950
Kesimpulan:
Berdasarkan periodisasi di atas maka pembagian periodisasi sastra indonesia adalah sebagai berikut:
A.Kesusastraan lama, yang dibagi atas:
1)Zaman Purba
2)Zaman Hindu
3)Zaman Islam
4)Zaman Abdullah (Zaman Peralihan)
B.Kesusastraan baru, yang dibagi atas
1)Angkatan Balai Pustaka (Angkatan 20)
2)Angkatan Pujangga Baru (Angkatan 30)
3)Angkatan 45
4)Angkatan 50
5)Angkatan 66

Angkatan Balai Pustaka

Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 - 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.
Pengarang dan karya sastra Angkatan Balai Pustaka

Merari Siregar

Merari Siregar (lahir di Sipirok, Sumatera Utara pada 13 Juli 1896 dan wafat di Kalianget, Madura, Jawa Timur pada 23 April 1941) adalah sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka. Setelah lulus sekolah Merari Siregar bekerja sebagai guru bantu di Medan. Kemudian dia pindah ke Jakarta dan bekerja di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Terakhir pengarang ini pindah ke Kalianget, Madura, tempat ia bekerja di Opium end Zouregie sampai akhir hayatnya.
Karya-karyanya yang terkenal adalah
1.Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. 1 tahun 1920, Cet.4 1965.
2.Binasa Karena Gadis Priangan. Jakarta: Balai Pustaka 1931.
3.Cerita tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi. Jakarta: Balai Pustaka 1924.
4.Cinta dan Hawa Nafsu. Jakarta: t.th.
5.Si Jamin dan si Johan. Jakarta: Balai Pustaka 1918

Marah Roesli

Marah Rusli, sang sastrawan itu, bernama lengkap Marah Rusli bin Abu Bakar. Ia dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Agustus 1889. Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah seorang bangsawan dengan gelar Sultan Pangeran. Ayahnya bekerja sebagai demang. Marah Rusli mengawini gadis Sunda kelahiran Bogor pada tahun 1911. Mereka dikaruniai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan Marah Rusli dengan gadis Sunda bukanlah perkawinan yang diinginkan oleh orang tua Marah Rusli, tetapi Marah Rusli kokoh pada sikapnya, dan ia tetap mempertahankan perkawinannya.

Meski lebih terkenal sebagai sastrawan, Marah Rusli sebenarnya adalah dokter hewan. Berbeda dengan Taufiq Ismail dan Asrul Sani yang memang benar-benar meninggalkan profesinya sebagai dokter hewan karena memilih menjadi penyair, Marah Rusli tetap menekuni profesinya sebagai dokter hewan hingga pensiun pada tahun 1952 dengan jabatan terakhir Dokter Hewan Kepala. Kesukaan Marah Rusli terhadap kesusastraan sudah tumbuh sejak ia masih kecil. Ia sangat senang mendengarkan cerita-cerita dari tukang kaba, tukang dongeng di Sumatera Barat yang berkeliling kampung menjual ceritanya, dan membaca buku-buku sastra. Marah Rusli meninggal pada tanggal 17 Januari 1968 di Bandung dan dimakamkan di Bogor, Jawa Barat.

Dalam sejarah sastra Indonesia, Marah Rusli tercatat sebagai pengarang roman yang pertama dan diberi gelar oleh H.B. Jassin sebagai Bapak Roman Modern Indonesia. Sebelum muncul bentuk roman di Indonesia, bentuk prosa yang biasanya digunakan adalah hikayat. Marah Rusli berpendidikan tinggi dan buku-buku bacaannya banyak yang berasal dari Barat yang menggambarkan kemajuan zaman. Ia kemudian melihat bahwa adat yang melingkupinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Hal itu melahirkan pemberontakan dalam hatinya yang dituangkannya ke dalam karyanya, Siti Nurbaya. Ia ingin melepaskan masyarakatnya dari belenggu adat yang tidak memberi kesempatan bagi yang muda untuk menyatakan pendapat atau keinginannya.

Dalam Siti Nurbaya, telah diletakkan landasan pemikiran yang mengarah pada emansipasi wanita. Cerita itu membuat wanita mulai memikirkan akan hak-haknya, apakah ia hanya menyerah karena tuntutan adat (dan tekanan orang tua) ataukah ia harus mempertahankan yang diinginkannya. Ceritanya menggugah dan meninggalkan kesan yang mendalam kepada pembacanya. Kesan itulah yang terus melekat hingga sampai kini. Setelah lebih delapan puluh tahun novel itu dilahirkan, Siti Nurbaya tetap diingat dan dibicarakan.

Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli juga menulis beberapa roman lainnya. Akan tetapi, Siti Nurbaya itulah yang terbaik. Roman itu mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.Karya-karyanya yang terkenal antara lain :
1.Siti Nurbaya. Jakarta: Balai Pustaka. 1920 mendapat hadiah dari Pemerintah RI tahun 1969.
2.La Hami. Jakarta: Balai Pustaka. 1924.
3.Anak dan Kemenakan. Jakarta: Balai Pustaka. 1956.
4.Memang Jodoh (naskah roman dan otobiografis)
5.Tesna Zahera (naskah Roman)

Nur Sutan Iskandar

Nur Sutan Iskandar (Sungai Batang, Sumatera Barat, 3 November 1893 - Jakarta, 28 November 1975) adalah sastrawan Angkatan Balai Pustaka. Nur Sutan Iskandar memiliki nama asli Muhammad Nur. Seperti umumnya lelaki Minangkabau lainnya Muhammad Nur mendapat gelar ketika menikah. Gelar Sutan Iskandar yang diperolehnya kemudian dipadukan dengan nama aslinya dan Muhammad Nur pun lebih dikenal sebagai Nur Sutan Iskandar sampai sekarang.

Setelah menamatkan sekolah rakyat pada tahun 1909 Nur Sutan Iskandar bekerja sebagai guru bantu. Pada tahun 1919 ia hijrah ke Jakarta. Di sana ia bekerja di Balai Pustaka, pertama kali sebagai korektor naskah karangan sampai akhirnya menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Balai Pustaka (1925-1942). Kemudian ia diangkat menjadi Kepala Pengarang Balai Pustaka, yang dijabatnya 1942-1945.

Nur Sutan Iskandar tercatat sebagai sastrawan terproduktif di angkatannya. Selain mengarang karya asli ia juga menyadur dan menerjemahkan buku-buku karya pengarang asing seperti Alexandre Dumas, H. Rider Haggard dan Arthur Conan Doyle. Karya-karyanya yang terkenal antara lain:
1.Apa Dayaku karena Aku Perempuan (Jakarta: Balai Pustaka, 1923)
2.Cinta yang Membawa Maut (Jakarta: Balai Pustaka, 1926)
3.Salah Pilih (Jakarta: Balai Pustaka, 1928)
4.Abu Nawas (Jakarta: Balai Pustaka, 1929)
5.Karena Mentua (Jakarta: Balai Pustaka, 1932)
6.Tuba Dibalas dengan Susu (Jakarta: Balai Pustaka, 1933)
7.Dewi Rimba (Jakarta: Balai Pustaka, 1935)
8.Hulubalang Raja (Jakarta: Balai Pustaka, 1934)
9.Katak Hendak Jadi Lembu (Jakarta: Balai Pustaka, 1935)
10.Neraka Dunia (Jakarta: Balai Pustaka, 1937)
11.Cinta dan Kewajiban (Jakarta: Balai Pustaka, 1941)
12.Jangir Bali (Jakarta: Balai Pustaka, 1942)
13.Cinta Tanah Air (Jakarta: Balai Pustaka, 1944)
14.Cobaan (Turun ke Desa) (Jakarta: Balai Pustaka, 1946)
15.Mutiara (Jakarta: Balai Pustaka, 1946)
16.Pengalaman Masa Kecil (Jakarta: Balai Pustaka, 1949)
17.Ujian Masa (Jakarta: JB Wolters, 1952, cetakan ulang)
18.Megah Cerah: Bacaan untuk Murid Sekolah Rakyat Kelas II (Jakarta: JB Wolters, 1952)
19.Megah Cerah: Bacaan untuk Murid Sekolah Rakyat Kelas III (Jakarta: JB Wolters, 1952)
20.Pribahasa (Karya bersama dengan K. Sutan Pamuncak dan Aman Datuk Majoindo. Jakarta: JB Wolters, 1946)
21.Sesalam Kawin (t.t.)

Abdul Muis

Abdul Muis (lahir di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat, 3 Juli 1883 – wafat di Bandung, Jawa Barat, 17 Juni 1959 pada umur 75 tahun) adalah seorang sastrawan dan wartawan Indonesia. Pendidikan terakhirnya adalah di Stovia (sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta akan tetapi tidak tamat. Ia juga pernah menjadi anggota Volksraad yang didirikan pada tahun 1916 oleh pemerintah penjajahan Belanda. Ia dimakamkan di TMP Cikutra - Bandung dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 218 Tahun 1959, tanggal 30 Agustus 1959).

Karir yang pernah dia jalani:

Dia pernah bekerja sebagai klerk di Departemen Buderwijs en Eredienst dan menjadi wartawan di Bandung pada surat kabar Belanda, Preanger Bode, harian Kaum Muda dan majalah Neraca pimpinan Haji Agus Salim. Selain itu ia juga pernah aktif dalam Syarikat Islam dan pernah menjadi anggota Dewan Rakyat yang pertama (1920-1923). Setelah kemerdekaan, ia turut membantu mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan
Riwayat Perjuangan melawan penjajah antara lain :

•Mengecam tulisan orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia melalui tulisannya di harian berbahasa Belanda, De Express
•Pada tahun 1913, menentang rencana pemerintah Belanda dalam mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis melalui Komite Bumiputera bersama dengan Ki Hadjar Dewantara
•Pada tahun 1922, memimpin pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta sehingga ia diasingkan ke Garut, Jawa Barat
•Mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda dalam pendirian Technische Hooge School - Institute Teknologi Bandung (ITB)

Karya-karyanya yang terkenal:
•Salah Asuhan (novel, 1928, difilmkan Asrul Sani, 1972)
•Pertemuan Jodoh (novel, 1933)
•Surapati (novel, 1950)
•Robert Anak Surapati (novel, 1953)

Novel asing yang pernah diterjemahkan oleh Abdul Muis antara lain :
•Don Kisot (karya Cerpantes, 1923)
•Tom Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928)
•Sebatang Kara (karya Hector Melot, 1932)
•Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950)

Tulis Sutan Sati

Tulis Sutan Sati (Bukittinggi, Sumatra Barat, 1898 - 1942) adalah penyair dan sastrawan Indonesia Angkatan Balai Pustaka. Karya_karyanya yang terkenal antara lain :
•Tak Disangka (1923)
•Sengsara Membawa Nikmat (1928)
•Syair Rosina (1933)
•Tjerita Si Umbut Muda (1935)
•Tidak Membalas Guna
•Memutuskan Pertalian (1978)
•Sabai Nan Aluih: cerita Minangkabau lama (1954)

Aman Datuk Madjoindo

Aman Datuk Madjoindo (Supayang, Solok, Sumatera Barat 1896 - Sirukam, Solok, Sumatera Barat 6 Desember 1969) adalah sastrawan Angkatan Balai Pustaka. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Si Doel Anak Betawi, yang kemudian dijadikan film Si Doel Anak Betawi oleh sutradara Syumanjaya, dan menjadi inspirasi sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Aman pernah mengenyam pendidikan di HIS di Solok, serta Kweekschool (Sekolah Raja) di Bukittinggi. Setelah lulus sekolah dia sempat menjadi guru di Padang di tahun 1919 sebelum pindah ke Jakarta dan bekerja di Balai Pustaka pada tahun 1920.

Pada awal masuk Balai Pustaka Aman pertama kali bekerja sebagai sebagai korektor, sebelum menjadi ajudan redaktur dan kemudian redaktur. Dia juga pernah menjabat direktur penerbit Balai Pustaka.

Ada lebih 20 buku yang telah dikarang Aman Datuk Madjoindo.Si Doel Anak Betawiditulis pada tahun1956. Namun jauh dia sebelumnya telah menulis berbagai cerita lain, di antaranya Menebus dosa (1932), Rusmala Dewi (1932, bersama S. Hardjosoemarto), Sebabnya Rafiah Tersesat (1934, bersama S. Hardjosoemarto), Si Cebol Rindukan Bulan (1934), Perbuatan Dukun (1935), Sampaikan Salamku Kepadanya (1935).

Selain cerita Aman juga menulis karya Melayu lama berbentuk syair dan hikayat. Syair-syairnya antara lain Syair Si Banto Urai (1931) dan Syair Gul Bakawali (1936). Karya-karya yang berbentuk hikayat adalah Cerita Malin Deman dan Puteri Bungsu (1932), Cindur Mata (1951), Hikayat Si Miskin (1958), Hikayat Lima Tumenggung (1958). Dia juga menyelenggarakan penerbitan edisi Sejarah Melayu pada 1959.

Suman Hasibuan

Suman Hasibuan (lahir di Bengkalis, Riau, 4 April 1904 – wafat di Pekanbaru, Riau, 8 Mei 1999 pada umur 95 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Hasil karya dari Suman Hasibuan antara lain adalah:
•Pertjobaan Setia (1940)
•Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1932)
•Kasih Ta' Terlarai (1961)
•Kawan Bergelut (kumpulan cerpen)
•Tebusan Darah

Adinegoro

Adinegoro (lahir di Talawi, Sumatera Barat, 14 Agustus 1904 – wafat di Jakarta, 8 Januari 1967 pada umur 62 tahun) adalah sastrawan Indonesia dan wartawan kawakan. Ia berpendidikan STOVIA (1918-1925) dan pernah memperdalam pengetahuan mengenai jurnalistik, geografi, kartografi, dan geopolitik di Jerman dan Belanda (1926-1930).
Nama aslinya sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan. Ia adalah adik sastrawan Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah. Ia memiliki seorang istri bernama Alidas yang berdarah Sulit Air ,Solok, Sumatera Barat.

Dua buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya dibuat pada tahun 1928), yang membuat namanya sejajar dengan nama-nama novelis besar Indonesia lainnya, adalah Asmara Jaya dan Darah Muda. Ajip Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1982), mengatakan bahwa Adinegoro merupakan pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih jauh menentang adat kuno yang berlaku dalam perkawinan. Dalam kedua romannya Adinegoro bukan hanya menentang adat kuno tersebut, melainkan juga dengan berani memenangkan pihak kaum muda yang menentang adat kuno itu yang dijalankan oleh pihak kaum tua.

Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel lainnya, yaitu Melawat ke Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan pada tahun 1930. Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul "Kritik atas Kritik" terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja (1977). Dalam esainya itu, Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan demikian pun sebaliknya.
Buku
•Revolusi dan Kebudayaan (1954)
•Ensiklopedi Umum dalam Bahasa Indonesia (1954),
•Ilmu Karang Mengarang
•Falsafah Ratu Dunia

Novel
•Darah Muda. Batavia Centrum: Balai Pustaka. 1931
•Asmara Jaya. Batavia Centrum: Balai Pustaka. 1932.
•Melawat ke Barat. Jakarta: Balai Pustaka. 1950. Cerita pendek
•Bayati es Kopyor. Varia. No. 278. Th. Ke-6. 1961, hlm. 3—4, 32.
•Etsuko. Varia. No. 278. Th. Ke-6. 1961. hlm. 2—3, 31
•Lukisan Rumah Kami. Djaja. No. 83. Th. Ke-2. 1963. hlm. 17-18.
•Nyanyian Bulan April. Varia. No. 293. Th. Ke-6. 1963. hlm. 2-3 dan 31-32.

Hamka

HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Daftar Karya Buya Hamka
1. Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938)
2. Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1957)
3. Tuan Direktur (1950)
4. Didalam Lembah Kehidoepan (1940)


Angkatan Pujangga Baru

Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi "bapak" sastra modern Indonesia. Pada masa itu, terbit pula majalah "Poedjangga Baroe" yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu 1. Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah dan; 2. Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.

Sutan Takdir Alisjahbana

Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 – wafat di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun), adalah sastrawan Indonesia. Menamatkan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987).Diberi nama Takdir karena jari tangannya hanya ada 4.

Pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968). Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).

Setelah lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung, STA melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Di Jakarta, STA melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan di dalam biro itulah STA bertemu dengan banyak intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane.

Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama pendudukan Jepang,Takdir melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, buku mana masih dipakai sampai sekarang,serta Kamus Istilah yang berisi istilah- istilah baru yang dibutuhkan oleh negara baru yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai bidang. Setalah Kantor Bahasa tutup pada akhir Perang Dunia kedua, ia tetap mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia melalui majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, Takdir adalah pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970 Takdir menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa- Bahasa Asia tentang "The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober 1967).

Karya-karyanya antara lain :
• Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
• Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
• Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
• Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
• Layar Terkembang (novel, 1936)
• Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)
• Puisi Lama (bunga rampai, 1941)
• Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
• Pelangi (bunga rampai, 1946)
• Pembimbing ke Filsafat (1946)
• Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
• The Indonesian language and literature (1962)
• Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
• Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
• Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)
• Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)
• The failure of modern linguistics (1976)
• Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
• Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai
Bahasa Modern (kumpulan esai, 1977)
• Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
• Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)
• Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)
• Kalah dan Menang (novel, 1978)
• Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)
• Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)
• Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world (1983)
• Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984)
• Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985)
• Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)
• Sajak-Sajak dan Renungan (1987).

Buku yang dieditorinya: Kreativitas (kumpulan esai, 1984) dan Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai, 1984). Terjemahannya: Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944), Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944).

Armijn Pane

Armijn Pane (lahir di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 18 Agustus 1908 – wafat di Jakarta, 16 Februari 1970 pada umur 61 tahun) adalah seorang penulis yang terkenal keterlibatannya dengan majalah Pujangga Baru. Bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah, Armijn Pane mampu mengumpulkan penulis-penulis dan pendukung lainnya dari seluruh penjuru Hindia Belanda untuk memulai sebuah pergerakan modernisme sastra. Selain menulis puisi dan novel, Armijn Pane juga menulis kritik sastra. Tulisan-tulisannya yang terbit pada Pujangga Baru, terutama di edisi-edisi awal menunjukkan wawasannya yang sangat luas dan, dibandingkan dengan beberapa kontributor lainnya seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan saudara laki-laki Armijn, Sanusi Pane, kemampuan menilai dan menimbang yang adil dan tidak terlalu terpengaruhi suasana pergerakan nasionalisme yang terutama di perioda akhir Pujangga Baru menjadi sangat politis dan dikotomis.

Karya-karyanya yang terkenal yaitu :

• Puisi
o Gamelan Djiwa. Jakarta: Bagian Bahasa Djawa. Kebudayaan Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. 1960
oDjiwa Berdjiwa, Jakarta: Balai Pustaka. 193

• Novel
o Belenggu, Jakarta: Dian Rakyat. Cet. I 1940, IV 1954, Cet. IX 1977, Cet. XIV 1991

• Kumpulan Cerpen
o Djinak-Djinak Merpati. Jakarta: Balai Pustaka, Cet. I 1940
o Kisah Antara Manusia. Jakarta; Balai Pustaka, Cet I 1953, II 1979

• Drama
o Antara Bumi dan Langit”. 1951. Dalam Pedoman, 27 Februari 1951.



Sanusi Pane

Sanusi Pane (lahir di Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905 – wafat di Jakarta, 2 Januari 1968 pada umur 62 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru yang karya-karyanya banyak diterbitkan antara 1920-an sampai dengan 1940-an.

Karya-karyanya yang terkenal yaitu:
• Pancaran Cinta (1926)
• Prosa Berirama (1926)
• Puspa Mega (1927)
• Kumpulan Sajak (1927)
• Airlangga (drama berbahasa Belanda, 1928)
• Eenzame Caroedalueht (drama berbahasa Belanda, 1929)
• Madah Kelana (1931)
• Kertajaya (drama, 1932)
• Sandhyakala Ning Majapahit (drama, 1933)
• Manusia Baru (drama, 1940)
• Kakawin Arjuna Wiwaha (karya Mpu Kanwa, terjemahan bahasa Jawa Kuna, 1940)


Tengku Amir Hamzah


Tengku Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera (lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, 28 Februari 1911 – wafat di Kuala Begumit, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Ia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu dimana kemampuannya dalam bidang ini tumbuh dan berkembang.

Amir Hamzah bersekolah menengah dan tinggal di Pulau Jawa pada saat pergerakan kemerdekaan dan rasa kebangsaan Indonesia bangkit. Di saat-saat ini ia memperkaya dirinya dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia yang lain.


Dalam kumpulan sajak Buah Rindu yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935, terlihat jelas perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi sajak yang lebih modern.

Amir Hamzah dibunuh dalam kekacauan revolusi sosial yang terjadi di Sumatera Timur, di awal-awal tahun Indonesia merdeka. Amir Hamzah tidak hanya menjadi penyair besar pada jaman Pujangga Baru, tetapi juga menjadi penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di tangannya Bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga zaman sekarang. Beliau wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat.


Karya-karyanya:
• Nyanyi Sunyi (1954)
• Buah Rindu (1950)
• Setanggi Timur (1939)


Muhammad Yamin

Prof. Muhammad Yamin, SH (lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903 – wafat di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Talawi, Sawahlunto Beliau merupakan salah satu perintis puisi modern di Indonesia, serta juga 'pencipta mitos' yang utama kepada Presiden Sukarno.

Yamin memulakan karir sebagai seorang penulis pada dasawarsa 1920-an semasa puisi Indonesia mengalami romantisisme yang hebat. Karya-karya pertamanya ditulis dalam bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera, sebuah jurnal berbahasa Belanda, pada tahun 1920. Karya-karyanya yang awal masih terikat kepada kata-kata basi bahasa Melayu Klasik. Pada tahun 1922, Yamin muncul buat pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah Air ; maksud "tanah air"-nya ialah Sumatera. Tanah Air merupakan himpunan puisi modern Melayu yang pertama yang pernah diterbitkan. Sitti Nurbaya, novel modern utama yang pertama dalam bahasa Melayu juga muncul pada tahun yang sama, tetapi ditulis oleh Marah Rusli yang juga merupakan seorang anak Minangkabau. Karya-karya Rusli mengalami masa kepopuleran selama sepuluh tahun.

Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini amat penting dari segi sejarah karena pada waktu itulah, Yamin dan beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa muncul juga pada tahun yang sama. Antara akhir dekad 1920-an sehingga tahun 1933, Roestam Effendi, Sanusi Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana merupakan pembentuk-pembentuk utama bahasa Melayu-Indonesia dan kesusasteraannya.

Walaupun Yamin menguji kaji bahasa dalam puisi-puisinya, dia masih lebih menepati norma-norma klasik bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi penulis yang lebih muda. Beliau juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah dan puisi yang lain, serta juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath Tagore.

Karya-karyanya yang terkenal:
•Tanah Air, 1922
•Indonesia, Tumpah Darahku, 1928
•Ken Arok dan Ken Dedes, 1934
•Sedjarah Peperangan Dipanegara , 1945
•Gadjah Mada, 1948
•Revolusi Amerika, 1951



Angkatan '45

Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik - idealistik.

Chairil Anwar

Chairil Anwar (lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 – wafat di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun) atau dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku ) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia.

Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di "Majalah Nisan" pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.
Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku: Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin). Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC. Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

Karya-karyanya:
•Deru Campur Debu (1949)
•Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
•Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
•"Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
•Derai-derai Cemara (1998)
•Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide
•Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck

Asrul Sani

Asrul Sani (lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1926 – wafat di Jakarta, 11 Januari 2004 pada umur 77 tahun) adalah seorang sastrawan dan sutradara film asal Indonesia. Menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia (1955). Pernah mengikuti seminar internasional mengenai kebudayaan di Universitas Harvard (1954), memperdalam pengetahuan tentang dramaturgi dan sinematografi di Universitas California Selatan, Los Angeles, Amerika Serikat (1956), kemudian membantu Sticusa di Amsterdam (1957-1958).

Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, ia mendirikan "Gelanggang Seniman" (1946) dan secara bersama-sama pula menjadi redaktur "Gelanggang" dalam warta sepekan Siasat. Selain itu, Asrul pun pernah menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Gema Suasana (kemudian Gema), Gelanggang (1966-1967), dan terakhir sebagai pemimpin umum Citra Film (1981-1982).

Karyanya: Tiga Menguak Takdir (kumpulan sajak bersama Chairil Anwar dan Rivai Avin, 1950), Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen, 1972), Mantera (kumpulan sajak, 1975), Mahkamah (drama, 1988), Jenderal Nagabonar (skenario film, 1988), dan Surat-Surat Kepercayaan (kumpulan esai, 1997).

Idrus

Idrus (lahir di Padang, Sumatera Barat, 21 September 1921 – wafat di Padang, 18 Mei 1979 pada umur 57 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia. Perkenalan Idrus dengan dunia sastra sudah dimulainya sejak duduk di bangku sekolah, terutama ketika di bangku sekolah menengah. Ia sangat rajin membaca karya-karya roman dan novel Eropa yang dijumpainya di perpustakaan sekolah. Ia pun sudah menghasilkan cerpen pada masa itu.

Minatnya pada dunia sastra mendorongnya untuk memilih Balai Pustaka sebagai tempatnya bekerja. Ia berharap dapat menyalurkan minat sastranya di tempat tersebut, membaca dan mendalami karya-karya sastra yang tersedia di sana dan berkenalan dengan para sastrawan terkenal. Keinginannya itu pun terwujud, ia berkenalan dengan H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisyahbana, Noer Sutan Iskandar, Anas Makruf, dan lain-lain.

Meskipun menolak digolongkan sebagai sastrawan Angkatan ’45, ia tidak dapat memungkiri bahwa sebagian besar karyanya memang membicarakan persoalan-persoalan pada masa itu. Kekhasan gayanya dalam menulis pada masa itu membuatnya memperoleh tempat terhormat dalam dunia sastra, sebagai Pelopor Angkatan ’45 di bidang prosa, yang dikukuhkan H.B. Jassin dalam bukunya. Hasratnya yang besar terhadap sastra membuatnya tidak hanya menulis karya sastra, tetapi juga menulis karya-karya ilmiah yang berkenaan dengan sastra, seperti Teknik Mengarang Cerpen dan International Understanding Through the Study of Foreign Literature. Kemampuannya menggunakan tiga bahasa asing (Belanda, Inggris, dan Jerman) membuatnya berpeluang untuk menerjemahkan buku-buku asing. Hasilnya antara lain adalah Perkenalan dengan Anton Chekov, Perkenalan dengan Jaroslov Hask, Perkenalan dengan Luigi Pirandello, dan Perkenalan dengan Guy de Maupassant.

Karena tekanan politik dan sikap permusuhan yang dilancarkan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat terhadap penulis-penulis yang tidak sepaham dengan mereka, Idrus terpaksa meninggalkan tanah air dan pindah ke Malaysia. Di Malaysia, lepas dari tekanan Lekra, ia terus berkarya. Karyanya saat itu, antara lain, Dengan Mata Terbuka (1961) dan Hati Nurani Manusia (1963).

Di dalam dunia sastra, kehebatan Idrus diakui khalayak sastra, terutama setelah karyanya Surabaya, Corat-Coret di Bawah Tanah, dan Aki diterbitkan. Ketiga karyanya itu menjadi karya monumental. Setelah ketiga karya itu, memang, pamor Idrus mulai menurun. Namun tidak berarti ia lantas tidak disebut lagi, ia masih tetap eksis dengan menulis kritik, esai, dan hal-hal yang berkenaan dengan sastra di surat kabar, majalah, dan RRI (untuk dibacakan).

Karya-karyanya yang terkenal yaitu:

Novel
•Surabaya
•Aki
•Perempuan dan kebangsaan
•Dengan Mata Terbuka
•Hati Nurani Manusia
•Hikayat Putri Penelope
•Hikayat Petualang Lima
•NJ mania KEBANTENAN

Cerpen
•Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
•Anak Buta

Drama
•Dokter Bisma
•Jibaku Aceh
•Keluarga Surono
•Kejahatan Membalas Dendam

Karya Terjemahan
•Kereta Api Baja
•Roti Kita Sehari-hari
•Keju
•Perkenalan dengan Anton Chekov
•Cerita Wanita Termulia
•Dua Episode Masa Kecil
•Ibu yang Kukenang
•Acoka
•Dari Penciptaan Kedua


Mochtar Lubis

Mochtar Lubis (lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922 – wafat di Jakarta, 2 Juli 2004 pada umur 82 tahun) adalah seorang jurnalis dan pengarang ternama asal Indonesia. Sejak zaman pendudukan Jepang ia telah dalam lapangan penerangan. Ia turut mendirikan Kantor Berita ANTARA, kemudian mendirikan dan memimpin harian Indonesia Raya yang telah dilarang terbit. Ia mendirikan majalah sastra Horizon bersama-sama kawan-kawannya. Pada waktu pemerintahan rezim Soekarno, ia dijebloskan ke dalam penjara hampir sembilan tahun lamanya dan baru dibebaskan pada tahun 1966. Pemikirannya selama di penjara, ia tuangkan dalam buku Catatan Subversif (1980).

Karya-karya populernya:
•Tidak Ada Esok (novel, 1951)
•Jalan tak ada ujung (novel, 1952)
•Si Jamal dan Cerita-Cerita Lain (kumpulan cerpen, 1950)
•Teknik Mengarang (1951)
•Teknik Menulis Skenario Film (1952)
•Harimau-Harimau! (1977)
•Harta Karun (cerita anak, 1964)
•Tanah Gersang (novel, 1966)
•Senja di Jakarta (novel, 1970; diinggriskan Claire Holt dengan judul Twilight in Jakarta, 1963)
•Judar Bersaudara (cerita anak, 1971)
•Penyamun dalam Rimba (cerita anak, 1972)
•Manusia Indonesia (1977)
•Berkelana dalam Rimba (cerita anak, 1980)
•Kuli Kontrak (kumpulan cerpen, 1982)
•Bromocorah (kumpulan cerpen, 1983)

Terjemahannya:
•Tiga Cerita dari Negeri Dollar (kumpulan cerpen, John Steinbeck, Upton Sinclair, dan John Russel, 1950)
•Orang Kaya (novel F. Scott Fitgerald, 1950)
•Yakin (karya Irwin Shaw, 1950)
•Kisah-kisah dari Eropa (kumpulan cerpen, 1952)
•Cerita dari Tiongkok (terjemahan bersama Beb Vuyk dan S. Mundingsari, 1953

Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer (lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 – wafat di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun), secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.

Berikut adalah karya-karyanya kecuali judul pertama, semua judul sudah disesuaikan ke dalam Ejaan Yang Disempurnakan.

•Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947
•Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi
•Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949
•Keluarga Gerilya (1950)
•Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen
•Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen
•Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951)
•Bukan Pasarmalam (1951)
•Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947
•Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpen
•Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953
•Gulat di Jakarta (1953)
•Midah Si Manis Bergigi Emas (1954)
•Korupsi (1954)
•Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
•Cerita Dari Jakarta (1957)
•Cerita Calon Arang (1957)
•Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958)
•Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963; III & IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965


Angkatan 50

Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra. Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.

Ajip Rosidi

Ajip Rosidi (baca: Ayip Rosidi), (lahir di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938; umur 71 tahun) adalah sastrawan Indonesia.

Ada ratusan karya Ajip. Beberapa di antaranya
•Tahun-tahun Kematian (kumpulan cerpen, 1955)
•Ketemu di Jalan (kumpulan sajak bersama SM Ardan dan Sobron Aidit, 1956)
•Pesta (kumpulan sajak, 1956)
•Di Tengah Keluarga (kumpulan cerpen, 1956)
•Sebuah Rumah buat Haritua (kumpulan cerpen, 1957)
•Perjalanan Penganten (roman, 1958, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh H. Chambert-Loir, 1976; Kroatia, 1978, dan Jepang oleh T. Kasuya, 1991)
•Cari Muatan (kumpulan sajak, 1959)
•Membicarakan Cerita Pendek Indonesia (1959)
•Surat Cinta Enday Rasidin (kumpulan sajak, 1960);
•Pertemuan Kembali (kumpulan cerpen, 1961)
•Kapankah Kesusasteraan Indonesia lahir? (1964; cetak ulang yang direvisi, 1985)


Haji Ali Akbar Navis

Haji Ali Akbar Navis (lahir di Kampung Jawa, Padang, Sumatra Barat, 17 November 1924 – wafat 22 Maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami. Navis 'Sang Pencemooh' adalah sosok yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para kopruptor. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu risikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justeru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.

Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002.

Beberapa karyanya yang amat terkenal adalah:
•Surau Kami (1955)
•Bianglala (1963)
•Hujan Panas (1964)
•Kemarau (1967)
•Saraswati
•Si Gadis dalam Sunyi (1970)
•Dermaga dengan Empat Sekoci (1975)
•Di Lintasan Mendung (1983)
•Dialektika Minangkabau (editor, 1983)
•Alam Terkembang Jadi Guru (1984)
•Hujan Panas dan Kabut Musim (1990)
•Cerita Rakyat Sumbar (1994)


Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin

Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin (lahir di Semarang, Jawa Tengah, 29 Februari 1936) atau lebih dikenal dengan nama NH Dini adalah sastrawan, novelis, dan feminis Indonesia.
•Dua Dunia (1950)
•Hati Yang Damai (1960)


Nugroho Notosusanto

Nugroho Notosusanto (Rembang, 15 Juli 1930 - Jakarta, 3 Juni 1985) adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan IV (1983-1985). Sebelumnya juga ia pernah menjadi Rektor Universitas Indonesia (1982-1983). Ia berkarir di bidang militer dan pendidikan.
Beberapa karyanya:
•Hujan Kepagian (1958)
•Rasa Sajangé (1961)
•Tiga Kota (1959)


Sitor Situmorang

Sitor Situmorang (lahir 2 Oktober 1923 di Harianboho, Samosir, Sumatera Utara)dengan nama Raja Usu adalah wartawan, sastrawan, dan penyair Indonesia. Ayahnya adalah Ompu Babiat Situmorang yang pernah berjuang melawan tentara kolonial Belanda bersama Sisingamangaraja XII.

Beberapa karyanya yaitu:
•Dalam Sadjak (1950)
•Djalan Mutiara: kumpulan tiga sandiwara (1954)
•Pertempuran dan Saldju di Paris (1956)
•Surat Kertas Hidjau: kumpulan sadjak (1953)
•Wadjah Tak Bernama: kumpulan sadjak (1955)

Toto Sudarto Bachtiar

Toto Sudarto Bachtiar (Cirebon, Jawa Barat, 12 Oktober 1929, meninggal karena serangan jantung di Cisaga, Banjar, Jawa Barat 9 Oktober 2007) adalah penyair Indonesia yang seangkatan dengan W.S. Rendra. Penyair angkatan 1950-1960-an ini dikenal masyarakat luas dengan puisinya, antara lain Pahlawan Tak Dikenal, Gadis Peminta-minta, Ibukota Senja, Kemerdekaan, Ode I, Ode II, dan Tentang Kemerdekaan.
Beberapa karyanya:
•Suara: kumpulan sadjak 1950-1955 (1962)
•Etsa, sadjak-sadjak (1958)


Willibrordus Surendra Broto Rendra

Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935; umur 73 tahun) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.
Beberapa karyanya:

Drama
•Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
•Bip Bop Rambaterata (Teater Mini Kata)
•SEKDA (1977)
•Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 2 kali)
•Mastodon dan Burung Kondor (1972)
•Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)- dimainkan dua kali
•Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
•Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
•Lisistrata (terjemahan)
•Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles,
•Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,
•Kasidah Barzanji (dimainkan dua kali)
•Perang Troya Tidak Akan Meletus (terjemahan dari karya Jean Giraudoux asli dalam bahasa Prancis: "La Guerre de Troie n'aura pas lieu")
•Panembahan Reso (1986)
•Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali)

Sajak/Puisi
•Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
•Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta
•Blues untuk Bonnie
•Empat Kumpulan Sajak
•Jangan Takut Ibu
•Mencari Bapak
•Nyanyian Angsa
•Pamphleten van een Dichter
•Perjuangan Suku Naga
•Pesan Pencopet kepada Pacarnya
•Potret Pembangunan Dalam Puisi
•Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
•Rick dari Corona
•Rumpun Alang-alang
•Sajak Potret Keluarga
•Sajak Rajawali
•Sajak Seonggok Jagung
•Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
•State of Emergency
•Surat Cinta


Angkatan 66

Angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra, munculnya karya sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dll pada masa angkatan ini di Indonesia. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya karya sastra pada masa angkatan ini. Sastrawan pada akhir angkatan yang lalu termasuk juga dalam kelompok ini seperti Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.

Seorang sastrawan pada angkatan 50-60-an yang mendapat tempat pada angkatan ini adalah Iwan Simatupang. Pada masanya, karya sastranya berupa novel, cerpen dan drama kurang mendapat perhatian bahkan sering menimbulkan kesalah-pahaman; ia lahir mendahului jamannya.


Sutardji Calzoum Bachri

Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu pada tanggal 24 Juni 1941 adalah pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.

Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.

Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.

Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand.

O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.



Abdul Hadi Widji Muthari

Abdul Hadi Widji Muthari (lahir di Sumenep, Madura, Jawa Timur, 24 Juni 1946; umur 62 tahun) adalah salah satu sastrawan Indonesia. Sejak kecil ia telah mencintai puisi. Penulisannya dimatangkan terutama oleh karya-karya Amir Hamzah dan Chairil Anwar, ditambah dengan dorongan orangtua, kawan dan gurunya.
Beberapa karyanya:
•Meditasi (1976)
•Laut Belum Pasang (1971)
•Cermin (1975)
•Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975)
•Tergantung Pada Angin (1977)
•Anak Laut, Anak Angin (1983)


Sapardi Djoko Damono

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20 Maret 1940; umur 68 tahun) adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka. Ia dikenal dari berbagai puisi-puisi yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer.
Beberapa karyanya:
•Dukamu Abadi – (Kumpulan Puisi)
•Mata Pisau Dan Akuarium – (Kumpulan Puisi)
•Perahu Kertas – (Kumpulan Puisi)
•Sihir Hujan – (Kumpulan Puisi)
•Hujan Bulan Juni – (Kumpulan Puisi)
•Arloji – (Kumpulan Puisi)
•Ayat-Ayat Api – (Kumpulan Puisi)


Goenawan Soesatyo Mohamad

Goenawan Soesatyo Mohamad (lahir di Karangasem, Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941; umur 67 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia terkemuka. Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo.

Goenawan Mohamad adalah seorang intelektual yang punya wawasan yang begitu luas, mulai pemain sepak bola, politik, ekonomi, seni dan budaya, dunia perfilman, dan musik. Pandangannya sangat liberal dan terbuka. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah pemikiran monodimensional.

Beberapa karya Goenawan Mohammad antara lain:
•Interlude
•Parikesit
•Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang – (kumpulan esai)
•Asmaradana


Iwan Martua Dongan Simatupang

Iwan Martua Dongan Simatupang lahir di Sibolga, Sumatera Utara tanggal 18 Januari 1928. Ia belajar di HBS di Medan, lalu melanjtukan ke sekolah kedokteran (NIAS) di Surabaya tapi tidak selesai. Kemudian belajar antropologi dan filsafat di Leiden dan Paris. Tulisan-tulisannya dimuat di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia mulai tahun 1952.

Karya novel yang terkenal Merahnya Merah (1968) mendapat hadiah sastra Nasional 1970, dan
Ziarah (1970) mendapat hadiah roman ASEAN terbaik 1977. Iwan Simatupang meninggal di Jakarta 4 Agustus 1970.

Beberapa karyanya antara lain:
•Ziarah
•Kering
•Merahnya Merah
•Koong
•RT Nol/RW Nol – (drama)
•Tegak Lurus Dengan Langit


Taufiq Ismail

Taufiq Ismail (lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935; umur 73 tahun) ialah seorang sastrawan Indonesia. Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan '66 oleh Hans Bague Jassin merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain.

ARAH PERKEMBANGAN KAJIAN SASTRA INDONESIA

Oleh: Aprinus Salam
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Pelopor Kajian Sastra Islam. Diambil dari Kedaulatan Rakyat, 25 Mei 2008, halaman 15)


Beberapa kalangan menggelisahkan arah perkembangan kritik sastra. Kegelisahan tersebut antara lain disebabkan kritik sastra dianggap tidak mampu mengakomodasi perkembangan karya sastra. Kegelisahan itu juga disebabkan karena saat ini tidak ada kritikus sastra seberwibawa HB Jassin. Di samping itu, kritik sastra dianggap tidak mampu menjelaskan arah perkembangan karya sastra, yang kita tahu, akhir-akhir ini karya sastra terbit dengan cara yang cepat dan sangat beragam. Terdapat beberapa hal yang perlu diletakkan dalam porsi persoalan yang lebih pas. Pertama, apa yang sebenarnya terjadi dalam perkembangan studi-studi sastra. Kedua, mengapa kewibawaan kritik sastra model HB Jassin sekarang tidak berkembang. Ketiga, bagaimana studi sastra melihat arah perkembangan karya sastra.

Hingga tahun 1970-an, bahkan hingga tahun 1980-an, istilah dan konsep kritik sastra memang masih sangat populer. Istilah dan konsep itu dimaksudkan sebagai satu telaah yang berkaitan dengan ‘analisis-analisis intrinsik’ berkaitan dengan penjelasan struktur karya, dan kemudian diikuti semacam penghakiman tentang ‘kualitas estetis’ karya sastra bersangkutan.

Pada umumnya, teori yang cukup dominan pada waktu-waktu itu adalah teori-teori struktural, dalam berbagai versinya, sehingga mutu estetis perkembangan karya sastra dapat dilacak dan diketahui. HB Jassin, dan beberapa pengikutnya, ada dalam koridor kritik sastra ini.

Akan tetapi, kelemahan umum kritik sastra semacam itu adalah bahwa karya sastra dilepaskan dari konteks sosial masyarakatnya. Itulah sebabnya, banyak kajian sastra pada waktu itu seolah asyik dengan dirinya sendiri. Memang, mungkin kajian seperti itu berguna bagi para sastrawan dalam mengembangkan teknik-teknik penulisan karya sastra. Akan tetapi, belum tentu berguna bagi masyarakat.

Tentu HB Jassin memang kritikus sastra besar. Hal itu bukan saja karena beliau sangat tekun dan menulis banyak kritik sastra, tetapi karya sastra pada waktu HB Jassin berkiprah tidak banyak seperti sekarang. Dan lagi, HB Jassin pada waktu itu berdiri sebagai ‘pusat’ ketika proses perkembangan teknologi penerbitan tidak seperti sekarang. Hampir seluruh sastrawan Indonesia mengirimkan karya ke HB Jassin dan menunggu ‘baptis pusat’ untuk mendapatkan legitimasi kepenyairan atau kesastrawanan seseorang.

Pada tahun 1990-an, karena perkembangan teknologi dan globalisasi, juga wacana desentralisasi dan demokratisasi mulai menguat, maka ‘kegunaan pusat’ mulai diragukan dan dianggap tidak penting. Maka mulai banyak sastrawan dan penyair tidak merasa perlu mendapatkan legitimasi dari pusat, dan kritik sastra HB Jassin pun mulai tidak diperlukan. Setiap orang bisa dan dapat menerbitkan karyanya tanpa harus mendapatkan kritik model HB Jassin. Bukan saja para sastrawan dan penyair juga mulai ‘risih’ jika dihakimi tentang mutu karyanya, tetapi memang terdapat pergeseran tentang asumsi karya sastra itu sendiri.

Senyampang dalam perubahan di atas, orientasi studi sastra sudah lebih dahulu mengalami pergeseran. Hingga tahun 1980-an awal kajian-kajian sastra masih didominasi studi-studi bernuansa kritik ala HB Jassin. Juga pernah muncul polemik antara kritik sastra akademis dan kritik sastra nonakademis. Kritik sastra model HB Jassin, walaupun sangat dekat dengan teori struktural intirinsik, dianggap mewakili kritik berupa analisis-analisis kesan tanpa pretensi dan pertanggungjawaban akademis. Cara kerja seperti itu mulai diragukan kadar keilmiahannya.

Dalam perkembangan sosial, ekonomi, dan politik yang mengharu biru, banyak ahli sastra menjadi inferior dibanding ahli politik, ahli ekonomi, bahkan ahli olahraga dan kecantikan. Hal itu terjadi karena ahli sastra dengan bawaan struktural intrinsik seolah mengasingkan diri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karya sastra ditempatkan bukan sebagai data sosial, politik, ekonomi atau data tentang persoalan ketimpangan gender, masalah kebudayaan, dan sebagainya. Sastra dilihat sebagai persoalan sastra itu sendiri.

Hal penting yang ingin disampaikan adalah bahwa studi-studi sastra mulai mengalami pergeseran dari dominasi teori struktural ke teori-teori semiotik, sosiologi sastra, resepsi, feminisme, wacana, poskolonial, posstrukturalisme atau posmodernisme, dan sebagainya, yang setiap teori secara keseluruhan menempatkan sastra sebagai persoalan dan teks sosial. Teori-teori sastra itu juga tidak lagi menghakimi mutu karya, tetapi menempatkan karya sastra sebagai data, dokumen, atau monumen sosial. Secara dialektis karya sastra ditempatkan dan difungsikan dalam konteks sosial masyarakatnya. Dalam konteks itu, praksis kritik (yang menghakimi) semakin tidak dipakai. Studi atau kajian sastra menjadi lebih terintegrasi dengan kajian-kajian sosial, politik, dan budaya. Sekarang, kajian seperti itu tentu sudah cukup banyak. Masalahnya memang tidak seluruh karya sastra (baik novel, puisi, cerpen, maupun naskah drama) dapat dikaji.

Pertama, terdapat beberapa pertimbangan akademis mengapa sebuah karya sastra harus diteliti. Sebagai satu penelitian kualitatif, tidak seluruh karya sastra harus diteliti, apalagi jika karya tertentu memperlihatkan kecenderungan yang sama dengan karya yang lain. Itulah sebabnya, terdapat kategori chicklit dan atau teenlit, untuk satu kategori kecenderungan. Untuk meneliti kecenderungan teenlit atau chicklit, tidak seluruh novel dalam kategori itu diteliti karena tentu jumlahnya ratusan.

Kedua, setiap kajian memberikan kesimpulan sendiri-sendiri yang berbeda sesuai dalam koridor dan paradigma teoretis kajian bersangkutan. Akan tetapi, hal yang perlu dipahami adalah bahwa kecenderungan teoretik kajian menempatkan karya sastra sebagai bagian yang terintegrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Teks sastra ditempatkan sebagai ‘informan’, sebagai ‘tanda-tanda sosial’ yang ditinjau secara bolak balik, baik berdasarkan karya sastra melihat masyarakat, atau sebaliknya, melihat masyarakat berdasarkan karya sastra.

Ketiga, di fakultas-fakultas yang memiliki Program Studi Sastra Indonesia hingga kini masih secara konstan melakukan penelitian dan kajian sastra khususnya untuk skripsi dan tesis. Secara reguler juga ada pertemuan ilmiah sastra, baik HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia) atau PIBSI (Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia), yang membicarakan perkembangan sastra dari berbagai sisi. Berdasarkan itu, karya-karya sastra paling mutakhir pun, jika dianggap perlu, akan mendapat perhatian untuk dijadikan skripsi, tesis, atau paper-paper. Novel atau teks-teks seperti Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi, atau Edensor sudah mendapat perhatian dan mulai dikaji untuk dijadikan skripsi atau tesis.

Persoalannya, memang tidak seluruh skripsi, tesis, atau paper-paper memberikan kajian yang kuat dan memadai. Kecenderungan skripsi, tesis, atau paper untuk terjebak dalam stereotip merupakan penyakit akademis yang sulit diatasi. Cukup banyak skripsi atau tesis dikerjakan oleh mereka yang malas berpikir dan bekerja keras. Ada beberapa persoalan dalam kasus ini. Pertama, calon ahli atau sarjana sastra pada mulanya tidak menempatkan pilihan sebagai ahli sastra sebagai pilihan utama.

Hal itu menyebabkan SDM yang mempelajari sastra bukan berdasarkan motif yang kuat.
Hal itu disebabkan, kedua, hingga hari ini menjadi ahli sastra belum menjadi profesi yang menjanjikan dibanding ahli politik, ekonomi, atau sosial. Akan tetapi, mengingat terjadi beberapa pergeseran teoretis tersebut, sangat mungkin pada waktu-waktu yang akan datang, akan muncul ahli sastra yang bisa menjelaskan problem dan arah perkembangan masyarakat, negara, dan bangsa ini, dan sastra itu sendiri, dengan melihat karya sastra sebagai data, dokumen, atau monumen sosial.

Rabu, 06 April 2011

PERAIH NOBEL SASTRA

Hadiah kesusastraan yang di berikan oleh Akademi Swedia setiap tahun dalam rangka pemberian hadiah nobel. Bidang-bidang lain yang di anugerahi Hadiah Nobel adalah Fisika, Kimia, Ekonomi, Kedokteran, dan perdamaian. Hadiah ini di berikan sejak tahun 1901. Penerima pertama hadiah novel kesusastraan adalah penyair Prancis Sully Prudhome. Sejak tahun 1901 samapai sekarang hadiah Nobel selalu di serahkan kepada sastrawan-sastrawan terpilih. Pada tahun 1914, 1915, 1918, 1925, 1935, 1949 tidak di berikan hadiah Nobel kesusastraan karena alasan-alasan tertentu, antara lain.

Pemberian hadiah novel di biayai oleh Yayasan Nobel. Tujuannya adalah untuk memberikan penghargaan kepada sastrawan yang karyanya telah memberikan sumbangan besar terhadap umat manusia. Penilaian dan penghargaan tidak pernah di berikan hanya untuk satu karya seorang sastrawan, betapapun karya tersebut di nilai sangat hebat. Penghargaan di berikan untuk ke seluruh karya seorang sastrawan. Pemenang hadiah Nobel kesusastraan menerima medali emas, piagam Nobel, dan sejumlah uang.

Pemilihan pemenang setiap tahun di lakukan oleh Akademi Swedia yang di percayai oleh pencetus dan penanggung hadiah ini, Alferd Bernhard Nobel untuk mengadakan penilian. Akademi Swedia yang berkedudukan di Stockholm menunjuk beberapa pihak yang berhak mengajukan calon. Pihak tersebut, antara lain:
1. Para anggota Akademi Swedia dan badan atau lembaga lainnya yang setaraf dan mempunyai keanggotaan serta tujuan yang sama dengan Akademi Swedia,
2. Para profesor bahasa atau kesusastraan pada Universitas yang di pilih Akademi Swedia,
3. Orang yang pernah menerima Nobel,
4. Ketua-ketua organisasi sastrawan yang pernah mewakili kegiatan kesusasteraan di tiap negara.

Sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, beberapa kali di dominasikan sebagi peraih hadiah nobel.
TAHUN PEMENANG NEGARA
1901 Sully Prudhomme Prancis
1902 Theodor Mommsens Jerman
1903 Bjornstjerne Bjornson Norwegia
1904 Frederic Mistral Prancis
Jose Echergaray y Eizaguirre Spanyol
1905 Henryk Sienkiewicz Polandia
1906 Giosue Carducci Italia
1907 Rudyard Kipling Inggris
1908 Rudolf C. Eucken Jerman
1909 Selma O.L. Lagerlof Swedia
1910 Paul von Heyse Jerman
1911 Maurice Maeterlinck Belgia
1912 Gerhart Hauptmann Jerman
1913 Sir Rabinddranathh Tagore India
1914 Tak Ada -
1915 Romain Rolland Prancis
1916 Verner von Heidenstam Swedia
1917 Karl Gjellerup – Hendrik Pontoppidan Denmark
1918 Tidak Ada -
1919 Carl Spitteler Swiss
1920 Knut Hamsun Norwegia
1921 Anatole France Prancis
1922 Jacinto Benavente y Martinez Spanyol
1923 William Butler Yeats Irlandia
1924 Wladyslaw S. Reymont Polandia
1925 George Bernard Shaw Inggris
1926 Grazia Deledda Italia
1927 Hendri Louis Bergson Prancis
1928 Sigrid Undset Norwegia
1929 Thomas Mann Jerman
1930 Sinclair Lewis AS
1931 Erik Axel Karlfeldt Swedia
1932 Jhon Galsworthy Inggris
1933 Ivan Alekseevich Bunin Uni Sovyet
1934 Luigi Pirandello Italia
1935 Tidak Ada -
1936 Eugene Gladstone O’Neill AS
1937 Roger Martin du Gard Prancis
1938 Pearl Buck AS
1939 Fraans Eemil Sillanpaa Finlandia
1940 Tidak Ada -
1941 Tidak Ada -
1942 Tidak Ada -
1943 Tidak Ada -
1944 Johannes V. Jensen Denmark
1945 Gabriella Mistral Chili
1946 Hermann Hesse Swiss
1947 Andre Gide Prancis
1948 Thomas Stearns Eliot Inggris
1949 William Faulkner AS
1950 Bertrand A.W. Russell Inggris
1951 Par F. Lagerkvist Swedia
1952 Francois Mauriac Prancis
1953 Sir Winston Churchill Inggris
1954 Ernest Hemingway AS
1955 Halldor Kiljan Laxness Iceland
1956 Juan Ramon Jimenez Spanyol
1957 Albert Camus Prancis
1958 Borris L. Pasternak Uni Sovyet
1959 Salvatore Quasimodo Italia
1960 Saint Jhon Perse Prancis
1961 Ivo Andric Yugoslavia
1962 Jhon Erns Steinbeck AS
1963 George Saferis Yunani
1964 Jean – Paul Sartre Prancis
1965 Mikhail A. Sholokhov Uni Sovyet
1966 Shmuel Yosef, H.Agnon, Nelly Sachs Israel, Jerman - Swedia
1967 Miguel Angel Austrias Guatemala
1968 Kawabata Yasunari Jepang
1969 Samuel Beckett Irlandia
1970 Aleksandr I. Solzhenitzyn Uni Sovyet
1971 Pablo Neruda Chili
1972 Heinrich Boll Jerman Barat
1973 Patrich V.M White Australia
1974 Eyvind Johnson Harry Martinson Swedia
1975 Eugenio Montale Italia
1976 Saul Bellow AS
1977 Vicente Aleixandre Spanyol
1978 Isaac Bashevis Singer AS
1979 Odysseus Elytis Yunani
1980 Czeslaw Milosz Polandia - AS
1981 Elias Canetti Inggris
1982 Gabriel Garcia Marquez Columbia
1983 William Golding Inggris
1984 Jaroslav Seifert Chekoslowakia
1985 Claude Simon Prancis
1986 Wole Soyinka Nigeria
1987 Joseph Brodsky AS
1988 Naguib Mahfouz Mesir
1989 Camilo Jose Cela Spanyol
1990 Octavio Paz Mexico
1991 Nadine Gordimer Afrika Selatan
1992 Derek W. Walcott St. Lucia
1993 Toni Morisson AS
1994 Oe Kenzaburo Jepang
1995 Seamus Heaney Irlandia
1996 Wislawa Szymborska Polandia
1997 Dario Fo Italia
1998 Jose Saramago Portugal
1999 Gunter Grass Jerman
2000 Gao Xingjian Cina
2001 V.S. Naipaul Trinidad - AS
2002 Imre Kertesz Hongaria
2003 John Maxwell Coetzee Afrika Selatan – Australia

TENTANG CHAIRIL ANWAR

Chairil Anwar adalah seorang legenda dalam dunia kesusastraan Indonesia. Penulis legenda ini lahir di Medan, Sumatera Utara tanggal 26 Juli 1922 dan meninggal di Jakarta tanggal 28 April 1949. Pendidikannya hanya sampai kelas Dua MULO, namun bacaan dan pengetahuannya tentang sastra cukup meyakinkan.
Ketika Chairil Anwar menulis larik sajaknya dalam puisi Yang Terhempas dan Yang Putus . . . di karet, di karet (daerahku...) sampai juga deru angin, banyak orang yang membacanya yakin bahwa penyair ini mempunyai kekuatan paranormal: dia bisa meramalkan dirinya akan meninggal dunia.

Karet memang nama sebuah kompleks pemakaman di Jakarta, dan Chairil memang segera menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 28 April 1949, sementara puisi tersebut ditulisnya pada tahun yang sama.

Chairil adalah legenda, cerita lain tampak dalam peristiwa yang kemudian dikisahkan kembali oleh Evawani Alissa, satu-satunya anak Chairil yang ditinggal mati saat usianya baru 10 bulan. Dalam sebuah percakapan dengan Hapsah Wiriaredja, ibu Evawani, Chairil berucap bahwa jika umurnya panjang, dirinya akan menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, jika usianya pendek, sebagaimana kata Chairil, “anak-anak sekolah akan berziarah ke kuburku menabur bunga.”
Chairil tak salah, usianya memang pendek, tak sampai genap 27 tahun. Soal anak-anak sekolah, esensinya dia juga benar: namanya menjadi hapalan wajib dan sajak-sajaknya menjadi bacaan wajib, terutama untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Soal ziarah dan menabur bunga, tampaknya tak harus dimaknakan secara harfiah. Yang jelas hingga kini tanggal kematiannya (28 April), diam-diam telah dijadikan sebagai patokan Hari Sastra Indonesia.
Masih terkait dengan pelegendaan atas dirinya, berbagai tingkah laku Chairil menjadi semacam acuan bagi para seniman yang selama ini menganggap kehidupan Chairil tidak pernah tertata: pakaian lusuh, wajah kotor, dekat dengan berbagai macam penyakit, juga tentang gaya hidupnya yang tak teratur yang kemudian membuatnya akrab dengan beragam penyakit. Anak angkat STA pernah menemukan tubuh Chairil sedang tergolek di sebuah ujung gang. Nasrul Sani, karibnya, juga pernah mengisahkan bagaimana sahabatnya itu berniat mencuri sebuah buku filsafat di sebuah toko buku sementara yang tercuri malah kitab Injil – karena keduanya sama tebal dan sampulnya sama-sama hitam.
Namun untuk gaya berpakaian yang terkesan kacau, Asrul Sani menyangkal dengan menginformasikan bahwa dalam berpakaian Chairil bahkan terkesan ‘dandy’. Leher kemeja senantiasa kaku dikanji saat dicuci dan pakaiannya selalu rapi dan tersetrika. Begitulah legenda, dia menjadi keniscayaan bagi sosok yang dianggap tertempatkan dalam posisi lebih tinggi.

Tentu tak sebatas tingkah fisikal yang pantas dicatat. Sajak-sajaknya dianggap sebagai representasi pemberontakan terhadap tatanan yang berlaku masa itu. Dalam khazanah sastra Indonesia modern sendiri, Chairil memberontak terhadap pola estetika sastra yang dihasilkan babakan sebelumnya, yakni Angkatan Pujangga Baru yang dimotori oleh STA. Bahwa pada era sebelumnya, penyair Roestam Efendy, juga ingin melakukan hal yang sama yakni dengan mendendangkan ‘untaian seloka lama, beta buang, beta singkiri...’

Pemberontakan Chairil tak sebatas ungkapan estetika sastra. Dalam keseharian, sekalipun ia memiliki orangtua asal Minangkabau, dia menolak dipanggil dengan sebutan ‘uda’ dia memilih dirinya dipanggil ‘nini’.

Berdasarkan penelitian H.B.Jassin, selama kegiatannya dari tahun 1942-1949, Chairil Anwar telah menghasilkan 94 tulisan, yang terdiri atas 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan.
Akan tetapi, jumlah 70 puisi asli itu harus dikurangi dua sebagai puisi saduran, yaitu

1.Puisi “Di Mesjid” sebagai saduran puisi ‘De Waan Zinnige’ karangan Jan H. Eekhout.
2.Puisi “Taman” sebagai saduran puisi ‘De Tuin’ karangan Anthonie Donker dalam kumpulan puisinya ‘De Einder’

Dari jumlah semuanya itu, menurut penyelidikan ternyata 8 puisi Chairil berupa plagiat, yang terdiri atas 6 puisi saduran dan 2 puisi terjemahan.
Puisi plagiat yang berupa saduran kecuali 2 puisi yang ditunjukkan oleh Y.E.Takengkeng seperti tersebut di atas, maka puisi yang lain adalah:

1.“Rumahku” saduran puisi ‘Woninglooze’ karangan Slauerhoff
2.‘Kepada Peminta-minta’ saduran puisi ‘Tot Den Arme’ karangan Willem Elsschot
3.‘Orang Berdua’ saduran puisi ‘de Gesheineden’ karangan H. Marsman
4.‘Krawang Bekasi’ (Kenang-Kenanglah Kami) saduran puisi ‘The Young Dead Soldiers’ karangan Mac Leish.

Satu di antara saduran tersebut di tunjukkan di bawah ini berdasarkan penelitian H.B.Jassin:
Tot Den Arme

1 gij met uw’ weiflend’handen
2 en met uw’ vreemden hoed
3 uw aanblik streamt mijn bloed
4 en doet mij klappertanden
5 verhalen moej gij niet
6 van uh eentoning leven
7 het staat op u geschreven
8 war et met u geschiedt
9 de letterteekens spelen
10 om uwen armen mond
11 die kommervolle wond
12 waarlangs uh vingers streelen
13 het klinkt uit uwen tred
14 het snikt uwe kluchten
15 het sujpelt uit de luchten
16 waar gij u nederzet
17 het kom mijn droommen storen
18 en smakt mij op den ground
19 ik prof het in mijn mond
20 het grinnikt in mijn ooren
21 ik zal ter kerek gaan
22 en biecthen mijne zonden
23 en leven met de honden
24 maar staar mij niet zoo aan
(Willem Ellschot)
kepada peminta-minta

21 baik, baik aku akan menghadap dia
22 menyerahkan diri dan segala dosa
24 tapi jangan tentang lagi aku
3 nanti darahku jadi beku
5 jangan lagi kau bercerita
7 sudah tercacar semua di muka
nanah meleleh dari muka
sambil berjalan kau usap juga
13 bersuara tiap kau melangkah
mengerang tiap kau memandang
15 menetes dari suasana kau datang
sembarang kau merebah
17 mengganggu dalam mimpiku
18 menghempas aku di bumi keras
19 di bibirku terasa pedas
20 mengaum di telingaku
21 baik, baik aku akan menghadap dia
22 menyerahkan diri dan segala dosa
24 tapi jangan tentang aku lagi
3 nanti darahku jadi beku

Adapun plagiat yang berupa terjemahan yaitu:
1.“Datang Dara Hilang Dara” terjemahan sajak ‘A Song of the Sea’ karangan Hsu Chih Mo
2.“Fragmen”(tiada lagi yang akan diperikan) satu fragmen dari ‘Preludes to Attitude’ yaitu bagian IX yang berjudul ‘Nothing to Say You Say’ karangan Conrad Aiken

Berikut ini adalah kutipan dari satu bagian terjemahan ‘A Song of the Sea’:
“girl, girl alone,
why do you wander
the twilight shore
Girl, go home girl !
“No, I won’t go !
Let the evening wind blok
On the sands, in the glow
My hair is combed by the winds
As jander to and fro”

Terjemahannya:
“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja
Dara, ayo pulang saja, dara !

“Tidak, aku tidak mau!
Bila angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu!
(Jassin, 1956:95)

Memang tak dapat dipungkiri, bahwa Chairil Anwar mendapat pengaruh dari beberapa penyair Belanda Perang Dunia II, seperti H.Marsman, Slauerhoff, E.Du Perron, Ter Braak, Jan H.Eekhout, dan lain-lain.

Pengaruh Marsman pertama-tama tampak pada sikap hidup Chairl, yaitu sikap hidup yang penuh vitalitas. Vitalitasme Marsman banyak memberikan dorongan dalam kehidupan Chairil. Di samping itu, juga sajak-sajak Marsman memberikan pengaruh pada sajak-sajak Chairil.

Tentang pengaruh-pengaruh pada diri Chairil Anwar ini, H.B.Jassin menyatakan bahwa pengaruh-pengaruh itu sudah demikian meresapnya pada jiwanya sehingga terjalin secara organis dalam hasil seninya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa dalam pengaruh itu tampak pula keaslian diri pribadinya.

Lebih lanjut, H.B.Jassin memberikan analisis proses pengaruh itu pada Chairil Anwar. Mula-mula ada sesuatu yang hidup pada jiwa Chairil yang menghendaki pengucapan. Dalam usaha mencari bentuk pengucapan itu, ia bertemu dengan Marsman dan Slauerhoff, dan kemudian ia menggunakan alat yang dipakai oleh kedua penyair Belanda itu dalam pengucapannya.

Pengaruh yang ada padanya itu dapat berupa pengambilan motif yang sama, penggunaan kata dan perbandingan yang serupa, dapat juga berupa persamaan semangat.
Oleh Jassin diberikan beberapa contoh pengaruh dalam penggunaan hal motif yang sama, tetapi dalam wujud pernyataan pikiran yang berbeda, antara lain sebagai berikut:

weining lief de en wijn, vee water
soms en racket, een zweep maar
stelling nimmer een zwaard
(marsman)

Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu !
(chairil anwar)
Contoh lain:
Do rozen worden zwarten in uh haar
Waar zijn uh handen?
(marsman)

Matamu ungu membatu
Masih berdekapankah kami atau
Mengikut juga bayangan itu?
(chairil anwar)

Adapun sajak Chairil yang mendapat pengaruh dari sajak-sajak H.Marsman, baik pengaruh dalam arti penggunaan motif yang sama maupun pengaruh dalam arti saduran, yaitu:
1.“Orang Berdua” (dengan Mirap), saduran puisi sajak Marsman yang berjudul ‘De Gesheidenen’
2.“Kepada Kawan” mendapat pengaruh dari sajak-sajak Marsman yang berjudul ‘de Hand van Diechter, Doodsstrijd; Don Juan; Ont Moeting in Memoriam Mijzelf’

Di samping itu sajak-sajak Chairil yang berjudul “Selamat Tinggal” dan “Aku”, menurut Slamet Muljana juga ada unsur pengaruh dari sajak-sajak Marsman, tetapi oleh Jassin dikatakan bahwa adanya pengaruh itu terlalu dicari-cari.

Selain H.Marsman, maka Slauerhoff adalah penyair Belanda yang banyak mempengaruhi Chairil Anwar. Mereka berdua bersama Du Perron, Ter Braak, dan Elsschot (Belgia) adalah penyair-penyair yang banyak menulis dalam majalah Forum dan De Vrije Bladen.
Tentang daftar selengkapnya nama puisi karangan Chairil, baik yang asli, saduran, terjemahan maupun pengaruh-pengaruh yang tampak pada puisi-puisi tersebut dapat di baca pada buku ‘Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45’ yang disusun oleh H.B.Jassin.
Memang tak dapat disangkal bahwa peranan Jassin besar sekali bagi terkenalnya Chairil sebagai penyair, baik dalam masyarakat sastra Indonesia maupun di luar negeri, terutama di dunia barat. Dalam hal ini perlu disebutkan juga jasa Sutan Sjahrir yang memberikan keterangan-keterangan tentang penyair Chairil pada tahun 1947 di Paris sehingga sastrawan-sastrawan barat tertarik pada puisi-puisi Chairil Anwar.

Dalam masyarakat sastra Indonesia, pembicaraan tentang Chairil dan karangan-karangannya telah banyak dilakukan. Dari sejumlah sajaknya, telah lahir sejumlah juara baca puisi dan deklamasi, mengingat salah satu puisi wajibnya kerap diambil dari karya Chairil juga dari sajak-sajaknya yang tercatat termasuk naskah pidato, telah pula melahirkan sejumlah sarjana baik sarjana sastra maupun sarjana psikologi, sebagaimana sosiolog Arief Budiman, yang kemudian membukukan skripsinya: “Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (Jakarta Pustaka Jaya,1976)”. Bahkan Boen S.Oemarjati telah memperoleh gelar doktor dalam bidang ilmu sastra dengan mengambil disertasi yang berjudul “Chairil Anwar: The Poet and His Language” (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972) di bawah bimbingan A.Teeuw. karya-karya yang lain tentang Chairil Anwar, diantaranya: Chairil Anwar: Memperingati Hari 28 April 1949 diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953) Abdul Kadir Bakar, Sekelumit Pembicaraan Tentang Penyair Chairil Anwar (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974), S.U.S.Nababan, A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar (New York, 1976), Robin Anne Rose, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar (Auckland, 1976), Husain Junus Gaya Bahasa Chairil Anwar (Manado, Universitas Sam Ratulangi, 1984), Rachmad Djoko Pradopo, Bahasa Puisi Penyair Utama Sastra Indonesia Modern (Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), Sjumandjaya, Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitypers, 1987), Pamusuk Eneste, Mengenal Chairil Anwar (Jakarta: Obor, 1995), Zaenal Hakim, Edisi Kritis Puisi Chairil Anwar (Jakarta: Dian Rakyat, 1996), Kusuma K.Mahmud, Chairil Anwar dan H.B.Jassin (Cipta Cendekia, 2002).

Di samping itu, dalam masyarakat Indonesia dewasa ini ada kecenderungan menjadikan hari wafatnya Chairil Anwar tanggal 28 April sebagai hari kegiatan kesusastraan. Bahkan pernah ada pemikiran untuk menjadikan tanggal tersebut sebagai Hari Kesusastraan atau Hari Chairil Anwar.

Kepeloporan Chairil Anwar dalam perkembangan sastra Indonesia memang tidak dapat diragukan. Ia telah mengadakan pembaharuan dalam bidang puisi Indonesia. Beberapa keistimewaan puisi-puisi Chairil Anwar, antara lain:
> Penggunaan bentuk-bentuk puisi bebas yang tidak terikat oleh jumlah baris, jumlah suku kata, dan rima akhir yang teratur.
> Penggunaan unsur-unsur bunyi secara intensif, sehingga di samping fungsinya sebagai pendukung arti, bunyi-bunyi tersebut mampu menjelmakan suasana tertentu.
> Penggunaan gaya bahasa, lambang, dan perbandingan-perbandingan baru yang bersifat universal, misalnya:
- Mengembara serupa Ahasveros
- Dikutuk sumpahi eros

> Penjelmaan ide, pikiran dan pengalaman jiwa dalam wujud yang bersifat primastis, yang memiliki kedalaman maksud dan keluasan pengertian. Puisi primastis adalah puisi yang bersifat membias, yang tidak langsung berbicara kepada kita. Ide dan makna yang terkandung di dalamnya perlu di tafsirkan melalui lambang, perbandingan, motif-motif yang digunakan dalam puisi itu. Puisi-puisi yang ditulis sebelum Chairil umumnya bersifat diafan, artinya langsung dapat dimengerti maksudnya tanpa banyak penafsiran.
> Pemilihan kata yang digali dengan segenap kemampuannya, sehingga kata-kata yang terdapat dalam puisinya benar-benar digunakan setepat-tepatnya, baik ditinjau dari segi arti, bunyi, bentuk, susunan, maupun gaya bahasanya.
> Penggunaan gaya ekspresi yang benar-benar mengutamakan keaslian pengucapan, menjelmakan pikiran-pikiran dalam wujudnya yang murni.
> Dalam usahanya menjelmakan pikiran dengan kata yang setepat-tepatnya tersebut, Chairil telah menempa pemakaian bahasa Indonesia dalam wujudnya yang baru, yang sering dipandang menyimpang dari cara-cara tradisional.

Jika dikaji benar-benar, masih ada hal lain pada puisi Chairil yang dapat dipandang sebagai satu pembaharuan dibandingkan dengan puisi-puisi masa sebelumnya.
Rachmad Djoko Pradopo (1976:11) mengatakan bahwa bila diselidiki, dalam puisi-puisi Chairil tampak adanya gaya imajisma, yaitu suatu gaya yang “melukiskan pengertian dengan imaji-imaji, dengan memberikan lukisan/keadaan yang berarti ganda,yang sugesti”. Diberikan contoh misalnya baris-baris puisi Chairil yang berbunyi “ hidup dari hidupku pintu yang terbuka // Selama matamu bagiku menengadah” dapat ditafsirkan “penyair akan selalu mendapat jalan , harapan-harapan (pintu terbuka), selama kekasihnya / istrinya masih cinta / setia (menengadah) kepadanya”.
Puisi imajisma yang murni lazimnya berbentuk pendek-pendek, bebas, dan berupa lukisan-lukisan saja. Ide dan emosi penyair dijelmakan melalui imajimaji yang jelas dan tepat yang merupakan suatu kebulatan.

Dalam perkembangan puisi kontemporer pada dewasa ini beberapa penyair menggunakan gaya mantra dan tipografi sebagai unsur kepuitisan yang penting. Seorang tokoh dalam hal ini ialah Sutardji Calzoum Bachri yang telah menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul ‘O Amuk, Kapak’. Menurut Rachmad Djoko Pradopo, prototipe gaya mantra itu sesungguhnya sudah ada pada puisi Chairil Anwar, antara lain berjudul ‘Cerita Buat Dien Tamala’. Kepeloporan Chairil tak dapat disangkal lagi. Ia telah membawa corak baru dalam perkembangan puisi Indonesia, terutama dalam gaya dan pengucapannya yang puitis, juga dalam hal ide dan pikiran yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, dari mana pembaharuan itu dan bagaimana nilai puisi-puisinya orang dapat berbeda pendapat.

STA (1975:55) menilai bahwa dalam hal perkembangan bahasa Indonesia, Chairil telah membuka kemungkinan-kemungkinan ke arah yang tidak terduga-duga. Chairil memiliki keberanian memberikan arti sendiri pada kata-kata, mengadakan kombinasi kata-kata yang menantang semua konvensi, membuat susunan kalimat yang melompat-lompat dengan tiba-tiba, lekuk dan kelok yang tidak tersangka-sangka, dengan memakai logika yang sering bersifat anti-logika, tetapi justru karena sekaliannya itu menimbulkan ketajaman dan kedalaman arti yang jarang tersua.
Dalam hal ini STA memandang bahwa percobaan ke arah puisi serupa telah tampak pada Roestam Effendi, bahkan lebih-lebih pada Armijn Pane.
Beberapa puisi Chairil tentang maut oleh STA dipandang sebagai gejala pesimisme, akibat pertemuannya dengan penyair-penyair Eropa sebelum Perang Dunia II. Oleh karena itulah, dalam penilaian keseluruhan puisi Chairil Anwar, akhirnya STA (1975:60) sampai pada suatu pendapat sebagai berikut:

“ saya bandingkan sajak-sajak Chairil dengan makanan rujak yang asam , pedas dan asin yang bermanfaat untuk menyegarkan bagi orang yang terlampau banyak makan yang bergemuk atau yang mempunyai diet yang terlampau monotopi, dan selanjutnya saya berkata: ‘seharusnya kita girang dengan kesegaran yang dibawanya dalam suasana di negeri kita, asal saja kita ingat, bahwa rujak yang asam, pedas, asin, dan banyak terasinya ini bermanfaat untuk mengeluarkan keringat, tetapi tidak dapat dijadikan sari kehidupan manusia. Ini kebudayaan meniti benang di atas jurang’. rujak bukanlah makanan yang mengenyangkan, yang menumbuhkan tulang dan otot yang dapat menjadi dasar dari kehidupan yang sehat.”

Demikianlah beberapa penilaian kembali tentang Chairil Anwar dan karyanya. Di samping itu, ada hal-hal yang perlu dibicarakan disini, walaupun hal itu sudah sejak lama dibicarakan orang.

A.Vitalitas Chairil Anwar

Vitalitas berarti kemampuan hidup penuh dengan semangat. Seorang vitalis berarti seorang yang memiliki semangat atau nafsu hidup yang meluap-luap. Bahwa Chairil Anwar seorang vitalis, tidak dapat dibantah lagi. Akan tetapi vitalitas Chairil Anwar berbeda dengan vitalitas pengarang-pengarang sebelumnya.

Vitalitas Chairil Anwar merupakan semangat hidup yang berusaha ini mengisi eksistensi hidup ini dengan sepenuh-penuhnya dan mempertanggungjawabkan hidup dengan penuh kesadaran. Chairil Anwar dalam menghidupi hidup ini dengan seluruh adanya dirinya, dengan akunya yang bebas, Chairil ingin merubah cara berpikir yang dogmatis dan ingin menegakkan pikiran-pikiran baru demi martabat manusia. Sikap inilah yang menyebabkan beberapa puisi Chairil tampak bersifat anarkistis dan individualistis.

Chairil berupaya mereguk hidup ini sepuas-puasnya, ingin mengisi hidup ini sepenuh-penuhnya dan menyelami hidup ini sampai pada segala ceruk meruknya. Sebagai konsekuensi sikap hidup semacam itu ialah pergulatannya dengan maut. Itulah sebabnya Slamet Muljana dan STA memandang vitalitas Chairil sebagai vitalitas yang bersifat pesimistis dan tragis. Dalam penyelidikan terhadap puisi-puisi Chairil, terutama yang terdapat dalam kumpulan puisi “Deru Campur Debu”, Slamet Muljana berkesimpulan bahwa puisi-puisi Chairil mulai dengan kesedihan dan berakhir dengan kesedihan.

Dibandingkan dengan vitalitas STA lain halnya. STA memiliki semangat hidup yang penuh dengan kegembiraan, semangat hidup yang bergelora demi perjuangan bangsa.
Sebenarnya, vitalitas itu ada pada setiap pengarang, hanya corak, kadar, dan intensitasnya berlainan. STA menilai vitalitas Roestam Effendi tak kurang dari vitalitas Chairil Anwar. Akan tetapi, vitalitas Roestam Effendi masih kusut berbelit-belit dengan romantik, kurang memiliki kebebasan sebagaimana Chairil Anwar.

B.Individualisme Chairil Anwar

Individualistis Chairil Anwar bukan individualistis yang egoistis dan ‘uber mens’. Individualisme atau ke- akuan Chairil berpangkal pada sikap hidup yang eksistensialistis.

Ke-aku an Chairil bukan untuk kepentingan diri sendiri atau berpusat pada dirinya sendiri. Ke-akuan Chairil dimaksudkan untuk kepentingan martabat dan nilai-nilai kemanusiaan. Manusia hidup harus bisa mengisi eksistensinya. Memperjuangkan hakikat kemanusiaannya yang semua itu tidak perlu harus sejalan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, tradisi atau konvensi-konvensi yang sudah ada.

C. Pandangan Chairil Anwar tentang Ilham dan Keindahan

Chairil membedakan dua macam ilham, yaitu ilham yang sebenarnya dan ilham yang tidak sebenarnya. Tidak semua yang menggetarkan jiwa itu ilham. Ilham harus dicari dan jika diperoleh harus ditimbang, dipilih dan dikupas, dan jika perlu dilemparkan sama sekali. Dalam mencari ilham, seorang pengarang seharusnya aktif mengadakan orientasi terhadap pengarang-pengarang dunia, dan menyelami seluruh liku-liku kehidupan. Menurut Chairil Anwar, seni adalah harmoni antara ilham dan pikiran.
Berbeda dengan sikap Chairil Anwar tentang ilham, pengarang-pengarang Pujangga Baru pada umumnya bersikap menunggu dan beranggapan bahwa seni itu terutama adalah perasaan.

Tentang keindahan, Chairil Anwar berpendapat bahwa keindahan harus berpangkal pada vitalitas, pada hidup, dan nafsu hidup. Chairil Anwar menyebutkan bahwa vitalitas itu ‘chaostis voorstadium’, sedangkan keindahan itu ‘cosmis eindstadium’. Vitalitas itu sifatnya kacau balau, campur baur, sedangkan keindahan itu bersifat harmonis, penuh keselarasan.

D.Masalah Bentuk dan Isi

Chairil berpendapat bahwa hasil sastra ‘terbagi’ dalam bentuk dan isi, walaupun batas antara keduanya tidak dapat dikemukakan karena keduanya “rapat berjalan sama, mereka gonta-ganti menutupi.

Yang jadi bentuk adalah cara si seniman menyatakan perasaan-perasaan dengan yang istimewa, yang khas, dan yang sanggup mengharukan pembaca dan peminat. Jadi, yang penting menurut Chairil ialah “si seniman dengan caranya menyatakan harus memastikan tentang tenaga-tenaga perasaan”, yang dengan bahan bahasa yang dipakai secara intuitif.

Adapun karangan-karangan Chairil yang sudah dibukukan, yaitu:
1.Deru Campur Debu, kumpulan puisi yang diterbitkan pertama kali tahun 1949 oleh Penerbit Pembangunan. Kumpulan ini terdiri atas 27 puisi.
2.Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus kumpulan puisi yang diterbitkan pada tahun 1949 oleh Pustaka rakyat. Kumpulan ini terbagi atas dua bagian yaitu :”Kerikil-Kerikil Tajam” yang terdiri atas 32 puisi dan “Yang Terhempas dan Yang Putus” terdiri dari 11 puisi.

Anehnya, sebagian besar puisi yang terdapat dalam kumpulan Deru Campur Debu terdapat pula pada ”Kerikil-Kerikil Tajam” dan “Yang Terhempas dan Yang Putus”.
Selain tiga kumpulan puisi tersebut di atas, ada beberapa puisi Chairil yang dikumpulkan bersama puisi Asrul Sani dan Rivai Apin, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1950 dengan judul ‘Tiga Menguak Takdir’. Dalam kumpulan puisi bertiga ini hanya ada satu puisi yang belum disiarkan dalam dua kumpulan puisinya yang terdahulu.

Judul ini menarik perhatian para penelaah sastra karena mengandung kata-kata yang dapat ditafsirkan dalam dua pengertian, yaitu (1) Tiga Menguak Takdir (takdir = nasib) atau (2) Tiga Menguak Takdir (Takdir = pemimpin Pujangga Baru). Judul yang berupa kata-kata semacam itu terdapat juga dalam sastra Belanda, yaitu kumpulan puisi yang berjudul ‘Drie op een Perron’, yang di dalam buku itu tiga penyair muda Belanda menentang seorang penyair, kritikus, dan esais terkenal, Du Perron.
Selain tiga kumpulan puisi tersebut di atas, masih ada beberapa karangan Chairil yang berserak-serak pada berbagai majalah, sebagian besar berupa puisi dan ada juga yang berbentuk prosa.

H.B.Jassin telah mencoba mengumpulkan dan menganalisis tulisan-tulisan tersebut yang kemudian diterbitkan dengan judul ‘Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45’. Karangan Chairil yang berupa prosa ada 6 yang asli, yaitu yang berjudul ‘Pidato Chairil Anwar 1943’ Berhadapan Muka, Hoppla, Tiga Muka Satu Pokok, Pidato Radio 1946, dan Membuat Sajak Melihat Lukisan’.
Berikut ini adalah kutipan sebagian karangan Chairil yang berbentuk prosa.

Pidato Radio 1946.
Kawan-kawan pendengar

Sebuah sadjak jang mendjadi adalah satu dunia. Dunia jang didjadikan, ditjiptakan kembali oleh si penjair. Ditjiptaknnja kembali, dibentukkannya dari benda (materie) dan rohani, keadaan (ideel dan visueel) alam dan penghidupan sekelilingnya, dia djuga mendapat bahan dari hasil-hasil kesenian lain jang berarti bagi dia, hubungan djiwa dengan dia, dari pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat orang lain, segala jang masuk dalam bajangannja, (veerbeelding), anasir-anasir atau unsur-unsur jang sudah ada didjadikannja, dihubungkannya satu sama lain, dikawinkannya mendjadi satu kesatuan jang penuh (indah serta mengharukan) dan baru, satu dunia baru dunia kepunyaan penjair itu sendiri. Djalan ketumbuhan, proses dan pentjiptaan kembali ini, datngnja, keluarnya, tersemburnya dari konsepsi si penjair, penglihatannya (visi), tjita-tjitanja (ideaal-ideaal), perasaan dan pergeseran hidupnya, pandangan hidupnya, dasar pikirannja.
Semua tjabang-tjabang dan ranting-ranting dari bahan pokok jang besar ini haruslah sesuatu jang dialami, didjalani (dalam djiwa, tjita, perasaan, pikiran atau pengalaman hidup sendiri) oleh si penjair, mendjadi sebagian dari dia, suka dan dukanja sendiri, kepunjaannja, kepunyaan rohaninya sendiri. Dan ditambah lagi dengan tenaga mentjipta, tenaga membentuk jang mengatur dengan pikiran serta rasa, dengan pertimbangan dan pikiran sehingga terdjadilah suatu kehidupan, suasana, kehidupan dan tokoh (gestalte).

Sebuah sadjak, sebuah hasil kesenian mndjadi penting dan berarti bukanlah karena pandjangnja atau pendeknya, tetapi karena tingkatnja, kadarnja (gestalte). Jang menentukan ini adalah dalamnya (karena ketinggiannya, djauhnja) penglihatan, kupasan, pandangan si seniman tadi dalam mendjatuhkan, memadukan suara, kehidupan dan tokoh (gestalte).

Berikut ini kutipan karya Chairil yang mengandung gaya mantra:

Cerita Buat Dien Tamela

Beta pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu

Beta pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut

Beta pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan

Beta pattirajawane menjaga hutan pala
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama

Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa

Pohon pala badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba

Mari menari !
Mari beria !
Mari berlupa !

Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu
Beta ada di malam
Irama ganggang dan api membakar pulau . . .
Beta pattirajawane
Yang dijaga dat-datu
Cuma satu

Chairil Anwar merupakan seorang penyair yang muncul di zaman Jepang yang membawa pembaharuan di bidang puisi modern. Puisi-puisi yang diciptakannya bersifat revolusioner, baik bentuk maupun isinya. Kata-kata dan perbandingan yang dipergunakannya sangat tepat sehingga menjelmakan isi yang padat. Ia mengatakan bahwa dalam melukiskan sesuatu harus sampai pada hakikatnya, kita harus sanggup bukan hanya mengambil gambar-gambar biasa saja, melainkan juga gambar rontgen sampai ke putih tulang belulang.

Chairil adalah seorang penyair yang mempunyai vitalitas atau tenaga hidup yang meluap-luap. Ia berusaha hendak mereguk hidup ini sepuas-puasnya. Ia ingin mengisi eksistensi hidup ini sepenuh-penuhnya. Akibat dari sikap ini , ia tampak terlalu bersifat individualistis, tidak merasa terikat oleh konvensi dan tradisi yang berlaku dalam masyarakat. Sikapnya terhadap orang-orang pusat kebudayaan pun demikian sehingga ia sering di pandang sebagai kuda yang lepas dari kusirnya.
Puisi yang mula-mula disiarkan berjudul ‘Nisan’ yang digubahnya pada bulan Oktober 1942. Puisinya yang paling terkenal, yang kemudian sering dianggap sebagai ‘proklamasi’-nya Angkatan 45ialah berjudul ‘Aku’, yang ditulisnya pada tanggal 3 Maret 1943. Puisi tersebut kemudian oleh Pusat Kebudayaan diubah judulnya menjadi ‘Semangat’ agar tidak bersifat individualistis sehingga dapat disiarkan. Berikut ini adalah kutipan puisi tersebut:
Aku

Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa ku bawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Deru Campur Debu)

Dari puisi tersebut, Chairil Anwar menamakan dirinya ‘binatang jalang, dari kumpulannya terbuang’. Apabila satu keyakinan telah terhunjam dalam hatinya, ia tidak akan ambil pusing dengan orang lain, ia akan hidup seribu tahun lagi dengan keyakinan itu.

Di samping puisi Aku seperti tersebut di atas, ada satu lagi puisinya yang berjudul Aku tetapi bentuk dan isinya lain. Puisi Aku yang kedua ditulisnya tanggal 8 Juni 1943, yang bunyinya sebagai berikut:

Aku

Melangkahkan aku tak perlu tuak menggelegak
Cumbu buatan satu biduan
Ku jauhi ahli agama serta lembing katanya

Aku hidup
Dalam hidup di mata tampak bergerak
Dengan cacar melebar, darah bernanah

Dan kadang satu senyuman ku kucup minum
Dalam dahaga

(Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus)

Beberapa puisi Chairil memang terasa meledak-ledak. Kata-katanya tajam menyayat. Nadanya keras dan memberontak.

Dalam dunia puisi Indonesia, kiranya belum pernah ada puisi yang bersifat ekspresionistis seperti puisi Chairil yang berjudul ‘1943’. Dalam puisi tersebut terlukis penderitaan jiwa yang sangat mendalam, konon diilhami oleh penghayatan Chairil Anwar terhadap penderitaan bayi yang berumur 14 bulan dalam keadaan terlantar.

1943

Racun berada direguk pertama
Membusuk rabu terasa di dalam dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam membelam
Jalan kaku, lurus. Pupus
Candu
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku

Ekspresionisme adalah suatu aliran seni yang berusaha menangkap pikiran dan perasaan dari sumbernya semula, yang masih dalam bentuknya yang asli yang belum dipengaruhi oleh pikiran dan perasaan yang ditangkap dari sumbernya itu, kemudian dilontarkan dengan serta-merta, dalam wujudnya yang asli, yang belum tersusun dalam urutan yang runtut.

Chairil sebagai pencetus ekspresionisme dalam sastra Indonesia berusaha mengutamakan keaslian pengucapan jiwa dalam puisi-puisinya itu. Ada beberapa puisi Chairil yang berupa terjemahan, saduran bahkan plagiat. Akan tetapi dari terjemahan dan sadurannya tampak bahwa pribadi Chairil terasa berperan di dalamnya.

Puisi Chairil yang berjudul ‘Siap Sedia’ yang ditulis pada tahun 1944, walaupun sudah lolos dari sensor Jepang, kemudian digugat oleh Pemerintah Militer Jepang (Goenseireibu) karena dalam puisi tersebut terdapat baris yang berbunyi ”mengayun pedang ke dunia terang”. Kalimat tersebut oleh Pemerintah Militer Jepang dianggap ditujukan kepadanya karena lambang dan bendera Jepang berupa matahari. Karena itu, redaktur harian Asia Raya yang memuat puisi itu mendapat teguran keras. Majalah Kebudayaan Timur pernah juga memuat puisi tersebut, tetapi tanpa 3 bait penghabisan.
Lengkapnya puisi tersebut sebagai berikut:

Siap Sedia
Kepada Angkatanku
Tanganmu nanti tegang kaku
Jantungmu nanti berdebar berhenti
Tubuhmu nanti mengeras batu
Tapi kami sederap mengganti
Terus memahat ini tugu

Matamu nanti kaca saja
Mulutmu nanti habis bicara
Darahmu nanti mengalir berhenti
Tapi kami sederap mengganti
Terus berdaya ke masyarakat jaya
Suaramu nanti diam ditekan
Namamu nanti terbang hilang
Langkahmu nanti enggan ke depan
Tapi kami sederap mengganti
Bersatu maju ke kemenangan

Darah kami panas selama
Badan kami tertempa baja
Jiwa kami gagah perkasa
Kami akan mewarna di angkasa
Kami membawa ke bahagia nyata

Kawan, kawan
Menepis segar, angin terasa
Lalu menderu menyapu awan
Terus menebus surya cahaya
Memancar pencar ke penjuru segala
Riang menggelombang sawah dan hutan
Segala menyala-nyala !
Segala menyala-nyala !

Kawan, kawan
Dan kita bangkit dengan kesadaran
Mencucuk menerang hingga belulang
Kawan, kawan
Kita mengayun pedang ke dunia terang !

Chairil sering datang ke Kantor Pusat Kebudayaan untuk membacakan atau mendiskusikan puisi-puisinya dengan angkatan muda masa itu. Puisi-puisi Chairil oleh para sastrawan di pandang merupakan pemberontak, yang belum sepenuhnya orang dapat menghargainya ketika itu.

E. Apa dan Mengapa Chairil Anwar melakukan Plagiat

Hal ini perlu dipertanyakan, apa dan mengapa Chairil Anwar melakukan plagiat? Apakah plagiat adalah hobinya? Apakah ia menganggap orang Indonesia cukup bodoh untuk tidak akan pernah menemukan plagiatnya? Tapi, agaknya anggapan itu tidak pernah terpikir olehnya, karena Chairil adalah seorang penyair yang berjiwa nasionalis, yang tak pernah memberi kesan negatif kepada negeri ini. Agaknya ada alasan lain yang membuatnya sebagai plagiator, di samping sebagai plagiator seperti dijelaskan sesudahnya, jiwa dan kepribadiannya masih melekat pada karya saduran dan plagiatnya.

Plagiat yang paling menggemparkan adalah “Datang Dara Hilang Dara” yaitu terjemahan dari sajak Hsu Chin Mo, beberapa bulan sebelum ia meninggal. Ini bisa diterangkan disebabkan karena penyakitnya yang banyak makan ongkos untuk pembayaran ongkos. Kira-kira pada waktu ini pulalah ia mengumumkan di bawah namanya sajak-sajak “Fragmen”, dan “Krawang Bekasi”. Banyak yang bertanya: “Mengapa Chairil tidak menyerahkan sajak-sajak itu sebagai terjemahan kepada redaksi majalah?- Jawabannya cukup prosais, tapi begitulah adanya: “Tidak akan diterima, majalah-majalah kebanjiran sajak-sajak yang asli dan terjemahan jarang diterima, atau kalau diterima lama sekali dimuat dan honorariumnya pun kurang dari honorarium sajak asli dan Chairil begitu memerlukan uang dan segera untuk pengobatannya”.
Chairil bukan seorang yang lancar membuat sajak dalam pengertian bahwa dia dengan mudah menulis sajak. Ini ternyata dari hasilnya yang dalam 6,5 tahun hanya berjumlah 70 sajak dan sudah termasuk karya terjemahan dan saduran.
Menarik hati memperbandingkan perubahan-perubahan yang diadakan penyair pada sajak-sajaknya seperti kita lihat dalam naskah aslinya, memperbandingkan beberapa sajak yang dimuat dalam “Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Melawan” dan “Deru Campur Debu” dan yang dimuat dalam berbagai majalah, sajak-sajak yang sama tapi mengalami perubahan-perubahan kecil di sana sini.

Ini suatu studi yang menarik untuk menyelidiki cara Chairil Anwar mempergunakan bahasa untuk mewujudkan apa yang terpikir dan terasa olehnya. Sebab sajak-sajaknya tidak hanya sekali tulis lalu jadi.

Naskah tulisannya memperlihatkan kata-kata yang dicoret beberapa kali untuk mendapatkan kata yang tepat mendukung isi, sajak itu ditulis lagi, diadakan lagi perubahan-perubahan, sampai sesudah dicoba dicetak masih mungkin dia mengubahnya lagi.

Menarik juga mengetahui betapa penyair berhari-hari kadang berminggu-minggu malah berbulan-bulan berjalan-jalan dengan sajak yang dimatangkan dalam pikiran. Digoreskan satu baris, ditimbang, diteliti, kadang-kadang satu hari hanya satu baris, baris-baris yang lain menyusul kemudian. Kadang-kadang 3 baris 4 baris sekali jadi, tapi jarang sekali mungkin tidak ada yang satu sajak ditulis dalam satu helaan nafas. Dan ini pun berlaku untuk terjemahan-terjemahan yang dikerjakannya. Beberapa buku tulis dan notes yang ditinggalkan penyair ada yang Cuma satu halaman ditulisi beberapa baris, perbuatan buat satu sajak.

F.Beberapa Pandangan Pada Chairil Anwar

>Pandangan Artati Sudirdjo (redaksi Majalah Wanita Karya)

Sebagai seorang yang pertama-tama merintis dan membentuk aliran baru dalam kesusastraan Indonesia, ia dapat dikatakan orang yang terbesar pengaruhnya dari Angkatan 45.

Sajak-sajaknya yang menghembus jiwa, semangat dan cita-cita muda, bukan berarti tidak masak, masih hijau tapi dalam arti terus menerus , bersifat membaharui, dalam arti segar-segar, vital, penuh hidup, bergerak dan menggerakkan, bahwasanya sajak-sajaknya sungguh mewakili – walaupun mendahului – segala apa yang hidup dalam hati sanubari angkatan muda, tak dapat disangkal lagi, karena walaupun mula-mula sajak-sajaknya bersifat individual, kini ternyata penyair-penyair muda lain mengenal pula dan mewujudkannya dalam sajak-sajak mereka barang apa yang mula-mula dilakukan oleh Chairil.

Nafsu hidup jiwanya itu, seperti menjerit-jerit dalam sajak-sajak ”...aku ini binatang jalang – aku mau hidup seribu tahun lagi” menyebabkan ini selalu ingin meresapkan kenikmatan hidup dalam segala bentuknya dan dengan segala akibatnya. Bila dalam ‘Diponegoro’ ia mengatakan ‘...sekali berarti, sudah itu mati...’ Hal ini pun rupanya dijadikan pedoman hidupnya – walaupun sukar diciptakan bahwa ia memikirkan soal pedoman demikian. Sebab hidup baginya berarti hidup, dan bukan memikirkan atau membicarakan saja.

Nafsu jiwanya itu demikian mendorongnya, sehingga Chairil itu sama dengan paham hidup, paham selalu bergerak.

Maka mudah dimengerti pula bahwa kadang-kadang ia menimbulkan kesan, seakan-akan ia takut menjadi tua, tua bukan dalam usia, tapi dalam pendiriannya dan cita-citanya, karena tua berarti statis, kaku dan beku.

Walaupun banyak orang mengatakan, ia kurang ajar, tidak mengenal sopan santun, sebenarnya ini bukan perkataan yang tepat. Ia senantiasa selalu terus terang dalam pendapatnya tentang barang sesuatu atau seseorang. Kecakapannya mengenal dan mengupas watak serta terutama kelemahan orang itu sungguh sangat mengherankan, sehingga aneh pula bahwa pembawaannya mengupas segala-galanya, yang kadang-kadang terlalu sinis, terlalu mengiris dan menyayat, itu menjadikan juga seorang pendorong di belakang layar majalah kita, kadang-kadang sampai jam tiga malam ia membantu kami, sambil membicarakan cara-cara bagaimana serta alat-alat untuk menggerakkan jiwa wanita Indonesia.

Chairil sungguh seorang yang tinggi cita-citanya, terutama dalam hal menggerakkan dan mengembangkan jiwa budaya bangsa kita. Akibat revolusi atau jiwa budaya ini diramalkannya lebih besar dari pada akibat-akibat politik. Ia mempunyai keinsafan bahwa bangsa Indonesia harus meninjau ke buah kesusastraan bangsa-bangsa lain dari pada bangsa Belanda, agar supaya kesusastraan Indonesia dapat bersemi baru. Ia sendiri telah mencurahkan tenaganya menyalin berbagai-bagai karangan dan syair dari bahasa asing. Berikut ini adalah sebuah puisi Chairil :

Penerimaan
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih sendiri
Ku tahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari telah terbagi

Jangan tunduk ! tantang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
Sedangkan dengan cermin aku enggan berbagi

> Pandangan Waluyati

Pandangan Waluyati pada sosok Chairil Anwar dapat kita maknai lewat puisinya di bawah ini

Berpisah
Bersama-sama bunga digubah
Menjadi rangkaian halus pewangi
Dan pulang kita bersuka hati
Di kala surya terbenam merah

Di jalan simpang kita berpisah
Gubahan bunga gemetar di tangan
Dan sambil kita berpandangan
Jatuh rangkaian, dua terbelah

Ku ambil setengah, seutas lagi
Kau pegang erat dan kau melompat

Di kala senja ku jalani sendiri
Hanyalah bunga kau bawa lari
Mengirimkan wanginya ke arah lagi

Dari puisi di atas dapat dipahami begitu simpatiknya Waluyati menaruh perhatian pada Chairil Anwar dan segala apa yang telah dicapai oleh Chairil.

> Pandangan Bung Usman (Penyair Zaman Jepang)

Bung Usman termasuk penyair masa Jepang yang puisi-puisinya banyak dimuat dalam antologi ‘Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang’. Puisi Bung Usman umumnya bersifat sinis, mengejek masyarakat keliling. Akan tetapi kesan puitis dari puisi-puisinya hampir tidak terasa. Nadanya datar dan kering dari irama persajakan. Mungkin karena itulah, kepenyairan Bung Usman tidak berkembang lagi setelah kemerdekaan.
Pandangannya terhadap Chairil Anwar cukup sinis dan mengejek. Hal ini terbukti dari dua puisinya di bawah ini:
Hendak Tinggi
Mau tinggi,
Di muka bumi ???

Panjat kelapa
Sampai ke puncak ???

Alangkah tinggi
Di muka bumi !!!

Hendak Jadi ‘Orang Besar’ ???
Hendak jadi orang besar ???
Di mana-mana nama tersiar?

Besarkan saja kepalamu !
Katakan saja katamu,
Tuliskan saja pikiranmu

Datang saja di mana kau mau

Jangan pusing orang
Anggap dirimu ‘binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang’
Berlakulah jangan kepalang !!!

Orang akan berkata: “Kepala Besar !”
Nah kau sudah jadi ‘Orang Besar !!!’



DAFTAR PUSTAKA

Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. 2004. Ensiklopedi Sastra Indonesia I. Bandung: Titian Ilmu.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. 2004. Ensiklopedi Sastra Indonesia II. Bandung: Titian Ilmu.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. 2004. Ensiklopedi Sastra Indonesia III. Bandung: Titian Ilmu.
Djojosuroto, Kinayati. 2006. Pengajaran Puisi: Analisis dan Pemahaman. Bandung: Nuansa
M.N, Fajar. 2008. Mengenal Tokoh-Tokoh Seni di Indonesia. Tanpa Kota: Eureka Dwi Raga.
Soetrisno, Eddy dan Elizabeth Tara, MD. Tanpa Tahun. Seri: Pahlawan Nasional dan Sejarah Perjuangannya. Dr. Morton Grosser (ed.). Tanpa Kota: Ciptamedia Binanusa.
Soetrisno, Eddy dan Elizabeth Tara, MD. 2001. Buku Pintar: 100 Pahlawan Nasional dan Sejarah Perjuangannya. Dr. Morton Grosser (ed.). Jakarta: Ladang Pustaka
Sarwadi, H.Frof.Drs. 2004. Sejarah Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: GAMA Media
Tarigan, H.G dan Djago Taringan. 1995. Pintar Berbahasa Indonesia 3. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan