Sabtu, 28 Mei 2011

SIKAP BAHASA DAN PELAKSANAAN KEBIJAKSANAAN BAHASA NASIONAL

BAB I

PENDAHULUAN


Salah satu faktor yang mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan kebijaksanaan bahasa nasional adalah sikap bahasa yang dimiliki oleh warga masyarakat yang bersangkutan baik sebagai perseorangan maupun sebagai satu kesatuan kemasyarakatan. Faktor-faktor lain yang juga berpengaruh, meliputi :
1. kecermatan dan ketegasan kebijaksanaan bahasa nasional,
2. ketelitian di dalam perencanaan strategi pelaksanaan kebijaksanaan bahasa nasional,
3. tingkat kesenyawaan antara kebijaksanaan bahasa nasional dengan kebijaksanaan pembangunan nasional baik secara umum maupun secara sektoral,
4. tersedianya sarana kelembagaan yang berwenang penuh dan berwibawa,
5. tersedianya tenaga pelaksana professional yang bermutu, cakap, terampil, dan tekun dalam jumlah yang sesuai dengan keperluan,
6. tingkat keterlibatan segenap instansi pemerintah, media massa, lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal, dan segenap lapisan masyarakat, dan
7. tersedianya sarana dan prasarana kerja, termasuk dana.


1.Latar Belakang Masalah

Bahasan dalam makalah ini hanya terbatas pada masalah sikap bahasa sebagai landasan pelaksanaan kebijaksanaan bahasa nasional Indonesia. Di dalam hubungan ini, pertanyaan-pertanyaan pokok yang perlu dicari jawabannya adalah sebagai berikut :
a. Apakah yang dimaksud dengan sikap bahasa?
b. Apakah yang dimaksud dengan kebijaksanaan bahasa nasional?
c. Sampai dimanakah nasionalisme dipertahankan di dalam kebijaksanaan bahasa nasional?
d. Sampai kemanakah unsur-unsur bahasa lain, baik bahasa asing maupun bahasa daerah, dapat diterima dan diserap dalam pengembangan bahasa Indonesia?
e. Di dalam hubungan dengan bahasa asing sebagai sumber bahan pengembangan bahasa Indonesia, bahasa asing manakah yang diutamakan?

Pembatasan masalah dan pernyataan-pernyataan pokok di dalam makalah ini tentu saja tidak berarti bahwa masalah dan pertanyaan-pertanyaan pokok yang lain jadi diabaikan.

2.Tujuan Penulisan Masalah

Yang paling mendasar dalam makalah ini hanyalah ingin mengemukakan masalah sikap dan pelaksanaan kebijaksanaan bahasa nasioanal yang selama ini telah mempersatukan segala perbedaan yang ada dikalangan masyarakat Indonesia. Sikap bahasa yang selama ini telah menjadi media pemersatu antara kita, pemersatu segala perbedaan (suku, kebudayaan, warna kulit, agama dan segala perbedaan yang lain) dan bahasa inilah yang selama ini menjaga kemajemukan bangsa kita. Sedikit memberi kita gambaran bagaimana sebenarnya bahasa Indonesia itu dalam kehidupan sehari-hari yang sebenarnya mempunyai konsep yang diatur oleh perundang undangan. Makalah ini mencoba mempersepsikan kepada kita bersama bahwa bahasa Indonesia itu memiliki aturan yang sengaja diberlakukan. Dengan ini, maka selayaknyalah kita tidak melakukan pemerkosaan bahasa lagi. Agaknya hal ini merupakan masalah yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari ditengah-tengah masyarakat yang mempunyai lapisan pendidikan yang berbeda-beda.

* * *



BAB II

SIKAP BAHASA DAN PELAKSANAAN KEBIJAKSANAAN BAHASA NASIONAL

1. Sikap Bahasa

Sikap bahasa adalah salah satu diantara berbagai sikap yang mungkin ada. Masalah sikap telah agak banyak diteliti, dan berbagai batasan telah dikemukakan di dalam hubungan dengan psikologi sosial. Namun menurut Triandis (1971:24), unsur yang umumnya terdapat didalam berbagai batasan itu adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan. Kesiapan ini dapat merujuk kepada sikap mental atau kepada sikap prilaku. batasan yang masih sangat berpengaruh adalah batasan yang dikemukakan oleh Allport pada tahun 1935: “sikap adalah kesiapan mental dan saraf yang terbentuk melalui pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi terhadap seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu”, selanjutnya para ahli teori mengenai sikap mengemukakan batasan yang menyatakan bahwa sikap memiliki tiga komponen, yaitu
a. Komponen kognitif,
b. Komponen afektif, dan
c. Komponen prilaku.

Komponen kognitif menyangkut pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan di dalam proses berpikir. Misalnya hubungan dengan keadaan kebahasaan di Indonesia, komponen kognitif menyangkut pengetahuan kita mengenai bahasa-bahasa yang terdapat atau digunakan di Indonesia dan penggolongan bahasa-bahasa itu menjadi bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing, serta hubungan diantara kategori-kategori ini. Komponen afektif menyangkut perasaan atau emosi yang mewarnai atau menjiwai pengetahuan dan gagasan yang terdapat didalam komponen kognitif. Komponen afektif menyangkut nilai rasa baik atau tidak baik dan suka atau tidak suka. Apabila seseorang memiliki nilai rasa baik atau sukaterhadap sesuatu atau suatu keadaan , maka dalamn hal ini orang ini dikatakan memiliki sikap positif, demikian sebaliknya.

Jadi apabila seseorang menerima bahasa Indonesia dengan hati yang terbuka, maka orang itu dikatakan memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Komponen pelaku menyangkut kecenderungan berbuat atau bereaksi dengan cara tertentu terhadap sesuatu atau suatu keadaan. Seperti halnya dengan komponen kognitif dan komponen afektif, komponen prilaku pun terbentuk melalui pengalaman.

Ketiga komponen sikap itu (kognitif, afektif, dan prilaku) pada umumnya berhubungan erat. Namun, pengalaman seseorang mungkin mengakibatkan ketidak seimbangan diantara ketiga komponen itu. Anderson (1974:37-47) mengutip batasan sikap yang dikemukakan oleh Milton Rokeach: Sikap adalah tata keyakinan yang relative berjangka panjang, mengenai suatu objek atau keadaan yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu yang disenanginya. Atas dasar batasan yang dikemukakan oleh Rokeach itu, Anderson membagi sikap menjadi dua jenis, yaitu sikap bahasa dan sikap non-bahasa seperti sikap politik, sikap sosial, dan sikap estetis. Baik sikap bahasa maupun sikap non-bahasa dapat menyangkut keyakinan atau kognisi mengenai bahasa. Dengan demikian, menurut Anderson, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya.

Oleh karena pada dasarnya adalah kesiapan mental dan syaraf atau tata keyakinan (kognisi), kita berhadapan dengan kenyataan bahwa sikap tidak diamati secara langsung. Kadang-kadang orang menyimpulkan sikap seseorang terhadap sesuatu atau suatu keadaan atas dasar apa yang dikatakan orang itu mengenai sikapnya terhadap sesuatu atau suatu keadaan, atau atas dasar perbuatannya dalam hubungan dengan sesuatu atau keadaan itu. Kesimpulan mengenai sikap seperti ini tidak selamanya benar karena pengalaman kita menunjukkan bahwa pernyataan verbal atau perbuatan seseorang belum tentu merupakan menifestasi sikapnya yang sebenarnya.

Edward (1957:7) menyatakan bahwa perbuatan dan sikap tidak memiliki hubungan langsung. Sikap sebagai faktor yang mempengaruhi atau menentukan perbuatan mungkin merupakan salah satu faktor saja dan belum tentu merupakan faktor yang terkuat. Apakah kita hendak meramalkan perbuatan atas dasar perasaan atau sikap, faktor-faktor yang lain itu harus diperhitungkan. Sebaliknya, apabila kita hendaknya menyimpulkan sikap atau perasaan atas dasar pengamatan perbuatan, kita harus selalu mengingat kemungkinan bahwa kesimpulan kita tidak benar karena perbuatan itu mungkin ditentukan oleh faktor-faktor selain perasaan atau sikap. Triandis (1971:6-16) dengan tegas menyatakan bahwa asumsi sikap merupakan faktor perbuatan seseorang tidak benar. Dia berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa perbuatanlah yang menentukan sikap, bahwa hubungan antara sikap dan perbuatan adalah hubungan yang lemah. Malah, menurut Triandis penelitian yang dilakukan oleh R.T.La Piere (1934) sama sekali tidak menentukan hubungan antara apapun antara sikap dan perbuatan.

Triandis berpendapat bahwa hubungan antara sikap dan perbuatan itu ada. Sikap menyangkut apa yang dipikirkan orang, apa yang dirasakan dan bagaimana orang ingin berbuat dalam hubungan dengan sesuatu atau suatu keadaan. Perbuatan tidak hanya ditentukan oleh apa yang ingin dilakukan orang tetapi juga oleh apa menurut pendapatnyaharus dilakukan sesuai dengan norma-norma social, oleh apa yang biasanya dilakukannya, dan oleh akibat yang mungkin ditimbulkan oleh perbutannya itu. Dengan kata lain, perbuatan adalah fungsi sikap, norma sosial, kebiasaan, dan akibat yang mungkin terjadi. Diantara keempat faktor ini, faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap perbuatan adalah kebiasaan, dan faktor yang paling kecil adalah sikap. Kesimpulan mengenai urutan tingkat pengaruh faktor-faktor ini, menurut Triandis, dicapai oleh K.Sugar (1967) di dalam penelitiannya mengenai hubungan antara sikap dan perbutan dalam kaitannya dengan kegemaran merokok di kalangan mahasiswa.

Sikap bahasa yang dikemukakan oleh Garvin dan Mathiot (1956) adalah :
a. Kesetian bahasa, yang mendorong suatu masyarakat bahasa mempertahankan bahasa mempertahankan bahasanya dan, apabila perlu, mencegah adanya pengaruh asing,
b. Kebanggan bahasa, yang mendorong orang mengembangkan bahasanya danm menggunakan sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakatnya,
c. Kesadaran adanya norma bahasa, yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun, merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan, yaitu kegiatan penggunaan bahasa.

Dalam hubungan dengan keadaan kebahasaan di Indonesia, ketiga komponen sikap bahasa telah menghasilkan penggunaan bahasa di dalam masyarakat kita seperti yang kita jumpai dewasa ini. Salah satu fungsi lembaga pendidikan kita adalah menanamkan dan mengembangkan sikap bahasa yang fositif dan sehat pada anak didik terhadap bahasa Indonesia dengan jalan membimbingnya kearah kesetiaan bahasa, kebanggan bahasa dan kebiasaan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan cermat sesuai dengan norma-norma bahasa Indonesia baku dan norma-norma sosiolinguistik dan budaya yang terdapat di dalam masyarakat kita. Didalam hal ini, sikap bahasa yang fositif dan sehat dibina melalui pemupukan kebiasaan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan cermat. Dengan kata lain, kebiasaan dan perbutan yang dipupuk itu dijadikan dasar untuk membina sikap bahasa yang fositif dan sehat terhadap bahasa Indonesia.

2. Kebijaksanaan Bahasa Nasional

Pada dasarnya, sikap bahasa yang dikemukakan diatas adalah sikap bahasa yang dapat atau mungkin terdapat atau seharusnya terdapat pada anggota suatu masyarakat sebagai perseorangan. Kebijaksanaan bahasa nasional adalah pernyataan, baik lisan maupun tertulis, mengenai sikap bahasa yang menyangkut keseluruhan masyarakat yang bersangkutan.

Oleh karena kebijaksanaan nasional yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat, dalam hal ini bahasa Indonesia, kebijaksanaan bahasa nasional Indonesia merupakan pernyataan sikap nasional terhadap keseluruhan masalah bahasa Indonesia, yang merupakan jaringan masalah kebahasaan yang dijalin oleh :
a. Masalah bahasa Indonesia,
b. Masalah bahasa daerah,dan
c. Masalah bahasa asing, baik yang diajarkan dilembaga-lembaga pendidikan maupun yang digunakan tanpa pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan.

Salah satu fungsi kebijaksanaan bahasa nasional adalah memberikan dasar dan pengarahan bagi perencanaan serta pengembangan bahasa nasional perencanaan serta pengembangan bahasa daerah, dan pengembangan pengajaran bahasa asing. Pada waktu yang sama, kebijaksanaan bahasa nasional merupakan pernyataan sikap nasional terhadap masalah-masalah kebahasaan seperti :
a. fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia dalam hubungan dengan bahasa daerah dan bahasa asing,
b. ciri-ciri bahasa Indonesia baku,
c. pembakuan dan pengembangan bahasa Indonesia, dan
d. pengembangan pengajaran bahasa Indonesia pada semua jenisdan tingkat lembaga pendidikan.

Dipandang dari segi tujuan umumnya, kebijaksanaan bahasa nasional merupakan pernyataan sikap nasional terhadap masalah pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Dengan pembinaan bahasa Indonesia yang dimaksudkan peningkatan mutu komponen kognitif dan komponen afektif sikap bahasa warga masyarakat Indonesia.

Komponen kognitif menyangkut kesadaran dan pengetahuan mengenai keadaan kebahasaan di Indonesia yang meliputi bahasa Indonesia, bahasa daerah, bahasa asing sesuai dengan fungsi dan kedudukannya masing-masing. Komponen kognitif juga menyangkut pengetahuan dan kesadaran bahwa masalah kebahasaan di Indonesia merupakan masalah nasional, yang melibatkan segenap lapisan masyarakat, instansi-instansi pemerintah, sektor swasta, media massa, dan lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal.

Di dalam hubungan dengan bahasa Indonesia, komponen kognitif juga menyangkut pengetahuan dan kesadaran bahwa bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu, yang telah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan selama berabad-abad di seluruh Indonesia dan diperkaya dengan unsur-unsur serapan dari bahasa daerah dan bahasa asing. Kenyataan ini berhubungan erat dengan pendekatan dan strategi yang perlu ditempuh di dalam pembakuan bahasa Indonesia di dalam pertumbuhannya dari bahasa Melayu sebagai bahasa perhubungan menjadi bahasa nasional kita sesuai dengan Sumpah Pemuda 1928 dan bahasa negara kita sesuai dengan Bab XV, Pasal 36, Undang-Undang Dasar 1945, perkembangan bahasa Indonesia seperti yang kita miliki sekarang telah dimungkinkan oleh adanya tingkat toleransi kebahasaan yang tinggi di dalam masyarakat kita.

Dengan demikian, pembakuan bahasa Indonesia haruslah tidak berarti pembakuan mutlak dan ketat di seluruh Indonesia. Ini terutama berlaku bagi pembakuan perbendaharaan kata. Demikian juga halnya dengan pembakuan ragam lisan bahasa Indonesia.
Komponen afektif sikap bahasa kita dalam hubungan dengan bahasa Indonesia mencakup nilai rasa bangga memiliki bahasa nasional sebagai lambang kebulatan tekad dan semangat kebangsaaan Indonesia sebagai sarana penyatuan berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang kebahasaan, kebudayaan, dan kesukuannya di dalam satu masyarakat nasional Indonesia

Rasa bangga ini timbul dan berkembang sejalan dengan keberhasilan perjuangan kebangsaan Indonesia di dalam menemukan identitasnya sebagai bangsa. Selain itu, rasa bangga ini juga timbul dari kenyataan bahwa bahasa Indonesia tidak merupakan milik khas daerah atau suku tertentu sehingga ia benar-benar merupakan sarana perhubungan antar suku dan antar daerah yang dapat diandalkan. Sikap bangga terhadap bahasa berhubungan erat dengan sikap setia terhadap bahasa Indonesia.

Kebijaksanaan bahasa nasional, seperti yang saya kemukakan di atas, juga merupakan pernyataan sikap nasional terhadap masalah pengembangan bahasa Indonesia. Dengan pengembangan bahasa Indonesia dimaksudkan peningkatan mutu dan kelengkapan bahasa Indonesia sedemikian rupa sehingga benar-benar dapat berfungsi sebagai bahasa negara, bahasa pengantar dilembaga-lembaga pendidikan, bahasa perhubungan di dalam media massa, bahasa pendukung kebudayaan, dan bahasa pendukung ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Dengan demikian pengembangan bahasa Indonesia berhubungan erat dengan pemupukan komponen prilaku sikap bahasa warga masyarakat Indonesia. Pengembangan bahasa Indonesia memungkinan terbinanya kegairahan penggunaan bahasa Indonesia sesuai dengan fungsinya. Sejalan dengan itu, kegairahan penggunaan bahasa Indonesia diharapkan menjelma menjadi kenyataan yang disertai oleh kecermatan dan ketaatan didalam pelaksanaan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baku dan norma-norma kebahasaan yang berlaku.

Di dalam hubungan dengan bahasa daerah, kebijaksanaan bahasa nasional merupakan pernyataan nasional mengenai sikap bahasa terhadap bahasa daerah. Untuk dapat mencapai tujuaannya, kebijaksanaan bahasa nasional perlu memperhitungkan bahwa :
a. kelangsungan hidup dan pembinaan serta pengembangan bahasa-bahasa daerah yang tetap dipelihara oleh masyarakat pemakaiannya dijamin oleh UUD 1945,
b. bahasa-bahasa daerah adalah lambang nilai sosial budaya yang mencerminkan kebudayaan yang hidup dikalangan masyarakat pemakainya,
c. bahasa-bahasa daerah adalah kekayaan budaya yang dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan pengembangan bahasa Indonesia maupun untuk kepentingan pengembangan bahasa daerah itu sendiri,
d. bahasa-bahasa daerah berbeda-beda bukan saja di dalam struktur kebahasaannya tetapi juga duidalam jumlah penutur aslinya,
e. bahasa-bahasa daerah tertentu dipergunakan sebagai sarana perhubungan baik secara lisan maupun secara tulisan, sedangkan bahasa-bahasa daerah lainnya hanya dipergunakan secara lisan,
f. di dalam perkembangan dan pertumbuhannya, bahasa daerah mempengaruhi dan, pada waktu yang sama, dipengaruhi oleh bahasa Indonesia, bahasa-bahasa daerah lain, dan bahasa asing tertentu sebagai akibat meningkatnya penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia, bertambah lancarnya hubungan antar daerah, dan meningkatnya arus perpindahan penduduk serta jumlah perkawinan antar suku

3. Pelaksanaan Kebijaksanaan Bahasa Nasional

Pada dasarnya sikap bahasa kita sebagai bangsa, sikap bahasa para pemimpin negara dan masyarakat kita, dan sikap bahasa kita sebagai perorangan serta warga masyarakat kita merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam kebijaksanaan bahasa nasional kita.

Ketiga komponen sikap bahasa kita (kognitif, afektif, dan prilaku) menentukan arah serta mempengaruhi kwalitas perbuatan kita didalam pelaksanaan bahasa nasional kita itu. Oleh karena itu, keberhasilan kita di dalam pelaksanaan kebijaksanaan bahasa nasional itu sebagian besar tergantung kepada sampai kemana kebijaksanaan bahasa nasional kita itu benar-benar merupakan pernyataan sikap bahasa kita sebagai bangsa yang ditunjang oleh sikap bahasa kita sebagai perseorangan dan warga masyarakat kita.

Selain itu, kelancaran pelaksanaan kebijaksanaan bahasa nasional kita itu tergantung pula kepada sampai kemana kita berhasil melibatkan segenap lapisan masyarakat kita, termasuk lembaga-lembaga pemerintahan, sektor swasta, media massa, dan lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal.

Di dalam hubungan dengan pelaksanaan bahasa nasional itu, keutuhan semangat kebangsaan dan identitas kita sebagai bangsa disamping bangsa-bangsa lain di dunia harus tetap terjamin. Keutuhan semangat kebangsaan dan identitas kita sebagai bangsa itu harus tetap mewarnai sikap bahasa kita dan menentukan arah serta kwalitas prilaku kita di dalam bidang kebahasaan, terutama prilaku kita dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa Indonesia. Namun ini tidaklah berarti bahwa kita menolak kenyataan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa yang hidup dan dinamis senantiasa tumbuh, berubah, dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan, perubahan, dan perkembangan masyarakat pemakainya. Kita harus mengakui bahwa lingkungan kehidupan kita sebagai bangsa disamping bangsa-bangsa lain di dunia menghendaki adanya keserasian antara sikap hidup kita sebagai bangsa dan tata pergaulan antar bangsa.

Sejalan dengan perkembangan kebudayaan kita kearah peradaban dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, ciri kecendekiaan bahasa Indonesia harus mampu mengungkapkan proses pemikiran dan penalaran yang rumit secara tepat dan tegas dengan tidak mengorbankan identitasnya seperti bahasa kebangsaan bahasa Indonesia.

Di dalam peng-Indonesia-an unsur-unsur dalam bentuk istilah dari bahasa asing, ada dua jalan yang dapat ditempuh. Pertama, istilah dari bahasa asing di-Indonesia-kan dengan menggunakan unsur-unsur yang sudah ada dalam bahasa Indonesia. Kedua, apabila dalam bahasa Indonesia tidak terdapat padanannya yang tepat, istilah bahasa asing itu dapat di-Indonesia-kan dengan menggunakan unsur-unsur bahasa daerah.

Kecenderungan menempuh jalan yang kedua, apabila jalan yang pertama tidak mendatangkan hasil sama sekali. Kecenderungan ini timbul atas dasar sikap dan semangat kebangsaan kita.

* * *





BAB III
P E N U T U P

Seperti telah kita ketahui bersama, bahwa pembinaan bahasa Indonesia adalah tugas setiap lapisan masyarakat, karena pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia melibatkan segenap lapisan masyarakat termasuk lembaga-lembaga pemerintah, sektor swasta, media massa, terutama lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal yang secara langsung berorientasi dengan bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar dalam dunia pendidikan.

Namun, sejauh manapun kita melibatkan diri pada usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia itu, kita mesti juga mengetahui bahwa kita tidak begitu saja mengembangkan bahasa Indonesia itu tanpa aturan, karena bahasa Indonesia ini milik semua suku, milik semua kebudayaan, dan milik semua perbedaan yang ada di negara kita ini. Maka dalam usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia ini haruslah ada campur tangan pemerintah dalam penyerataan dalam penggunaan bahasa Indonesia agar tidak terjadi ketidak sesuaian dalam penerimaan pemakai bahasa Indonesia itu.

1. Kesimpulan

Sikap bahasa warga masyarakat kita adalah salah satu faktor yang menentukan kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan kebijaksanaan bahasa nasional kita. Pada dasarnya, kebijaksanaan bahasa nasional adalah pernyataan sikap bahasa nasional terhadap masalah bahasa. Di Indonesia, masalah bahasa merupakan jaringan masalah yang dijalain oleh masalah bahasa Indonesia, masalah bahasa daerah, dan masalah bahasa asing.

Di dalam pelaksanaan kebijaksanaan bahasa nasional diperlukan adanya keseimbangan antara sikap bahasa dan perilaku bahasa, antara sikap warga masyarakat baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok perseorangan dan sikap bahasa kita sebagai bangsa, diantara pemeliharaan identitas bahasa Indonesia dan peningkatan kemampuan bahasa Indonesia melaksanakan fungsinya. Selain itu, diperlukan pula keselarasan diantara ketiga komponen sikap bahasa, yaitu kognitif, afektif, dan prilaku.
Bahasa Indonesia dapat dikembangkan dan diperkaya dengan jalan penerimaan dan penyerapan unsur-unsur bahasa lain, baik bahasa daerah maupun bahasa asing. Unsur-unsur serapan itu hendaklah terbatas pada unsur-unsur yang sangat diperlukan dan yang padanannya yang tepat tidak terdapat dalam bahasa Indonesia.
Untuk kepentingan pengembangan bahasa Indonesia selanjutnya, terutama dibidang peristilahan, bahasa asing yang diutamakan sebagai bahasa sumber, apabila perlu, adalah bahasa Inggris.

2. Saran-Saran

Untuk memudahkan pembinaaan dan pengembangan bahasa Indonesia maka haruslah melibatkan segala lapisan masyarakat mulai dari lembaga-lembaga pemerintah terutama Lembaga Pengembangan Bahasa Indonesia yang secara langsung menangani masalah pengembangan bahasa Indonesia, sektor swasta yang menjadi pengguna bahasa secara langsung didalam dunia perekonomian di Indonesia, media massa sebagai alat untuk memperkenalkan bahasa Indonesia kepada masyarakat luas juga harus turun tangan dan ambil bagian dalam mengembangkan bahasa Indonesia, dan yang paling utama dan sebagai sentral penggunaan bahasa di Indonesia adalah lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal, karena disinilah untuk pertama kalinya dikenalkan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tanpa pengenalan bahasa Indonesia disini maka seterusnya generasi muda akan merasa aneh dan asing dengan bahasa Indonesia itu. Semua itu dapat dibuktikan dengan:
a. Memiliki sikap bahasa yang positif terhadap bahasa Indonesia,
b. Menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dengan benar, dan
c. Menghindari pemerkosaan bahasa agar bahasa Indonesia tetap digunakan sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.

Sebagai seorang mahasiswa, kita haruslah ikut pula dalam usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia tersebut, malah kita haruslah memiliki sikap yang positif terhadap bangsa Indonesia itu sendiri. Kita harus memiliki jiwa nasionalisme dalam usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia itu, namun sikap nasionalisme itu jangan berkembang menjadi sikap fanatisme yang menolak penyerapan bahasa asing menjadi bahasa Indonesia yang mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku di negara kita.

* * *






DAFTAR PUSTAKA

Halim, Amran. 1976. Fungsi Politik Bahasa Indonesia Dalam Politik Bahasa Nasional. Jilid I. Amran Halim, editor. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Nasional.

Moeliono, Anton M. 1976. Ciri-Ciri Bahasa Indonesia Yang Baku Dalam Politik Bahasa Nasional. Jilid II. Amran Halim, editor. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Marahimin, Ismail. 2004. Menulis Secara Populer. Jakarta: Pustaka Jaya.

Kamis, 12 Mei 2011

Langkah Mudah di dalam Menulis

1. Pemilihan Topik
Pertama-tama tentukan terlebih dahulu topik apa yang akan Anda tulis, sebelum melakukan penulisan. Topik adalah pokok bahasan yang akan menjadi ide utama sebuah tulisan. Apa saja bisa menjadi topik tulisan. Yang penting Anda menguasai masalah tersebut dan menarik bagi Anda. Jika topik tulisan sudah ditentukan, langkah selanjutnya adalah membuat batasan terhadap topik tersebut. Sebab kadang topik yang Anda tentukan itu masih sangat umum dan luas, sehingga kalau nanti dikembangkan menjadi kurang fokus. Untuk itu perlu dilakukan pembatasan terhadap topik tersebut agar tulisan yang Anda kembangkan menjadi lebih jeias dan fokus dan jangan lupa sudut pandang Anda membuat tulisan tersebut. Maksud iya posisi Anda ini sebagai apa? Apakah sebagai anak remaja yang sekedar ingin menyampaikan pendapat, atau sebagai orang yang memahami masalah tersebut, atau menyampaikan fakta yang ada, dan lain sebagainya.

2. Pengumpulan bahan yang Sesuai dengan Topik
Sesudah menentukan topik dan sudut pandang yang jelas, maka langkah selanjutnya adalah mengumpulkan bahan sesuai dengan topik tersebut. Di dalam mengumpulkan bahan ini, Anda dapat melakukan dengan berbagai cara, misalnya mencari buku-buku yang membicarakan masalah tersebut, membaca jurnal atau tulisan ilmiah yang pernah diterbitkan, melakukan pengamatan, melakukan wawancara dengan nara sumber, mencari informasi dari surat kabar, atau dari internet, dan bisa juga cara-cara lain yang pe nting bahan untuk penulisan Anda didapatkan.

3. Menuangkan Ide yang Berhubungan Dengan Topik
Ketika memulai penulisan, bisanya orang bingung harus memulai dari mana? Itu pertanyaan yang selalu dilontarkan orang, dan memang itulah masalah yang pertama kali muncul ketika akan menulis. Jawabannya yaitu dari mana saja. Saat Anda ingin menulis, sebaiknya Anda tidak terkungkung oleh struktur, sistematika, metodologi, atau apa pun namanya. Pokoknya yang ada di pikiran Anda saat itu apa? kemudian yang betul-betul Anda pahami itulah yang pertama Anda tuliskan. Menulislah apa yang terlintas di pikiran Anda? Mengalir, mengalir begitu saja yang Anda ketahui sampai semuanya tuntas. Pokoknya jangan dipusingkan oleh urutannya. Bahkan kalau itu juga masih sulit, Anda bisa mencoba dengan cara lain. Misalnya topik yang sudah Anda tentukan tadi Anda ceritakan kepada orang lain, siapa saja misalnya teman Anda, orangtua, dan lain sebagainya. Ketika Anda bercerita, cobalah Anda rekam dengan kaset, kalau tidak punya tape dan kasetnya untuk merekam, bisa juga cerita Anda itu ditulis di kertas sampai tuntas. Tidak sulit kan? Saya yakin dengan kedua cara ini Anda bisa melakukannya. Kedua cara ini hampir sama, artinya Anda bisa memulai dari mana saja yang penting yang Anda sampaikan itu yang terpikirkan saat itu dan Anda memahaminya.

Baru setelah semua tertulis langkah selanjutnya yaitu menata ulang tulisan Anda sesuai dengan urutan yang Anda inginkan. Bagaimana caranya untuk mengurutkan tulisan yang sudah ditulis tadi? Caranya yaitu baca kembali semua yang sudah Anda tuliskan, kemudian setiap paragraf Anda beri tanda misalnya diberi garis bawah, diberi warna lain, atau dicatat di sebelah kiri atau kanan tulisan, inti dari paragraph tersebut. Setelah semua paragraph Anda temukan intinya, baru Anda urutkan dengan cara memberi nomor unit paragraf atau urutan inti paragraf. Itulah yang bisaa orang sebut outline atau kerangka karangan/tulisan. Jadi ada orang yang ketika ingin menulis membuat kerangka karangan/tulisan terlebih dahulu ini yang bisaa orang sebut secara konvensional, tetapi ada juga yang memulai menulis apa saja, baru kemudian menemukan kerangka karangan/tulisan. Ketika sudah menemukan kerangka tulisan inilah, Anda bisa memikirkan mana yang harus didahulukan, mana yang di bagian tengah, dan sebagai penutup. Dengan cara ini proses menulis menjadi begitu mudah. Kita tidak terikat oleh aturan-aturan yang baku yang kadang-kadang justru menghambat kelancaran kita dalam menyelesaikan tulisan.

Penulisan konvensional adalah proses penulisan yang dilakukan dengan cara menuliskan pembukaan terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan penjelasan awal masalah, dilanjutkan analisis-analisis yang diperlukan, dan terakhir sebagai kesimpulan atau penutup. Proses penulisan seperti ini bisa seperti Anda lihat pada penulisan buku atau karya ilmiah lain. Anda boleh mencoba cara mana yang menurut Anda cocok. Apakah dengan cara menulis apa saja yang Anda pahami baru diurutkan atau memulai dengan kerangka yang sudah unit baru dikembangkan.

Tapi pada umumnya kerangka tulisan bermanfaat bagi Anda untuk memandu tulisan agar tetap konsisten pada topik dan sudut pandang Anda. Pertanyaannya lalu bagaimana membuat outline/kerangka tulisan itu? Sebenamya tidak ada patokan yang baku bagaimana cara membuat kerangka. Anda bisa membuat sesuai dengan seiera dan kemampuan Anda yang tentu saja sesuai juga dengan kebutuhan tulisan Anda. Yang penting, outline itu bisa membuat Anda kebih mudah saat mengembangkan dan menyelesaikan tulisan.

4. Pengembangan Kerangka/Outline
Langkah-langkah proses penulisan pada akhirnya tetap sama-sama membuat outline tulisan baik yang konvensional maupun gaya bebas, p. Perbedaannya gaya konvensional membuat outline dulu baru dikembangkan dalam bentuk kalimat dan paragraph, sedangkan gaya bebas menulis dulu apa saja yang dikethaui dan mengalir saja, baru setelah semua tertulis, kemudian ditentukan inti kalimatnya dan diurutkan sehingga menjadi outline.
Untuk yang gaya konvesnional, outline tersebut dikembangkan tentu saja menjadi kalimat yang runtut dan dalam bentuk paragraph. Inti kalimat bias ada di awal paragraph, di akhir paragraph, atau bias di awal dan diakhir, bahkan ada juga yang ada diseluruh bagian paragraph. Kadang-kadang setelah outline tersebut dikembangkan, urutan saj'annya bisa diubah juga.

5. Pengeditan Tulisan
Setelah yang Anda pahami dan ingin Anda tuangkan dalam tulisan sudah ditulis semua, langkah selanjutnya yaitu membaca kembali tulisan sekaligus membetulkan dan merapikan sajian agar urutannya lebih runtut dan logis. Urutan sajian ini perlu, sebab apabila tulisan Anda tidak runtut atau melompat-lompat, maka ketika orang lain membaca tulisan Anda akan sulit untuk memahaminya. Dengan demikian tujuan Anda untuk menyampaikan informasi kepada pembaca tidak sampai.

Ketika melakukan pengeditan jangan lupa untuk membetulkan tata bahasa, ejaan, dan pilihan kata. Bahkan kalau perlu juga mengedit kalimatnya, atau urutan paragrafnya.

Sumber: http://perpustakaan-online.blogspot.com/2008/05/langkah-mudah-di-dalam-menulis.html

Selasa, 10 Mei 2011

BUDAYA MEMBACA SEBAGAI MODAL PENTING DALAM MENULIS

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budaya membaca dan budaya menulis yang tinggi merupakan ciri sebuah negara yang maju. Sementara di negara kita Indonesia, budaya membaca dan budaya menulis masih jauh dari apa yang kita harapkan. Budaya lisan dan budaya dengar masih sangat kental menjadi bagian dari keseharian rakyat bangsa kita. Apakah yang sebenarnya terjadi dengan negara kita? Pertanyaan di atas bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab dan tidak mudah untuk dirobah. Untuk merobah budaya lisan dan budaya dengar di negara kita Indonesia ini haruslah kita lakukan bersama dan dimulai dari nol.

Hal inilah yang menjadi latar belakang dari penulisan makalah ini. Namun untuk lebih spesifiknya dapat dilihat dari poin-poin di bawah ini:
a.Budaya membaca dan budaya menulis merupakan salah satu ciri negara yang maju dan ingin maju, sementara negara kita masih jauh dari hal-hal yang demikian.
b.Tentunya untuk bisa menulis, kita harus banyak membaca dan inilah timbal balik antara menulis dan membaca. Kita menulis untuk di baca dan kita membaca untuk dapat menulis dengan baik.

1.2Batasan Masalah

Untuk menjadikan makalah ini berbeda dengan tulisan lain, maka penulis perlu juga membuat batasan-batasan dalam makalah ini. Adapun batasan-batasan tersebut, adala sebagai berikut:
a. Budaya membaca sebagai modal penting dalam menulis
b. Menulis adalah seni
c. Menjadi penulis yang menulis
d. Ide besar sebuah tulisan
e. Dari mana datangnya ide besar menulis
f. Menulis untuk pembaca

1.3 Rumusan Masalah

Dari batasan masalah di atas dapat pula kita buat rumusan masalah dalam makalah ini, yakni:
a. Budaya membaca sebagai modal penting dalam menulis
b. Menulis adalah seni
c. Menjadi penulis yang menulis
d. Ide besar sebuah tulisan
e. Dari mana datangnya ide besar menulis
f. Menulis untuk pembaca

1.4 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui tentang budaya membaca sebagai modal penting dalam menulis
b. Untuk mengetahui tentang menulis adalah seni
c. Untuk mengetahui tentang menjadi penulis yang menulis
d. Untuk mengetahui tentang ide besar sebuah tulisan
e. Untuk mengetaui dari mana datangnya ide besar menulis
f. Untuk mengetahui tentang menulis untuk pembaca
* * *



BAB II
KAJIAN TEORITIK

Apa betul kegiatan membaca dapat membantu seseorang untuk kreatif? Jordan E. Ayan menjelaskan bahwa membaca dapat memicu kreativitas. Buku mengajak kita membayangkan dunia beserta isinya, lengkap dengan segala kejadian, lokasi, dan karakter. Bayangan yang terkumpul dalam tiap buku yang melekat dalam pikiran, membangun sebuah bentang ide dan perasaan yang menjadi dasar dari ide kreatif (Hernowo 2003: 37). Padahal salah satu faktor yang mendorong agar anak mempunyai minat menulis ialah kebiasaan membacanya.

Sudahkah minat baca anak kita tinggi? Ini merupakan pertanyaan yang sedikit ironis karena pada kenyatannya, minat baca anak-anak Indonesia sangatlah rendah. Banyak fakta menunjukkan bahwa anak-anak kita lebih suka bermain video game daripada duduk berlama-lama untuk membaca sebuah buku. Murti Bunanta menganjurkan, sedari kecil, anak-anak perlu didekatkan pada bacaan. Penelitian Prof. Benyamin Bloom mengungkapkan, saat berusia empat tahun, anak berada dalam periode suka meniru perbuatan orang tuanya tanpa terkecuali. Jadi dapat diharapkan, jika orang tua suka membaca, anak juga akan melakukan hal yang sama. Sebagai contoh, jika sejak kecil anak sudah dibiasakan dengan bacaan (sastra), mereka akan didekatkan dengan kehidupan manusia (Bunanta 2004: 85). Dengan membaca karya sastra seperti cerpen, puisi, dll., mereka akan belajar banyak hal dan memuliakan perasaan (Kartono 2001: 116).

Boleh dikatakan, membaca dan menulis bak dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Dengan membaca, wawasan anak akan semakin berkembang. Negara yang terencana dan tersistematis membangun negara dan bangsanya melalui gerakan pendidikan massal dengan sikap ilmiah, rasional, kritis, dan rajin membaca apa saja dan di mana saja, tegas Suryopratomo, pemimpin redaksi/penanggung jawab harian "Kompas" dalam pernyataannya yang dikutip dalam Matabaca edisi Juli 2004.

2.1 Menulis Adalah Seni

Kita mungkin masih ingat ketika sewaktu kecil kita suka sekali menulis suatu kejadian dalam sebuah diari. Dengan mudahnya kita meluapkan segala perasaan itu ke dalam sebuah untaian kata-kata dan akhirnya sebuah cerita. Kita tidak menyadari bahwa kegiatan itu merupakan bagian dari proses kreatif yang sedang kita ciptakan sebagai salah satu bentuk seni. Jika bakat tersebut sudah terlihat pada anak Anda, jangan sia-siakan. Berikan ruang buat mereka untuk mengembangkan bakat tersebut.

Menulis merupakan sebuah seni. Karena dalam menuangkan ide seorang penulis ke dalam sebuah tulisan itu bebas, sesuai dengan kreativitas dan daya seni seseorang. Kata seni mengandung arti keahlian membuat karya yang bermutu atau kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi dan luar biasa. Menulis, sesuai dengan pendapat Tony Tedjo, berarti menuangkan isi hati si penulis ke dalam bentuk tulisan sehingga maksud hati penulis bisa diketahui banyak orang melalui tulisan yang disajikan. Setiap anak mempunyai potensi untuk menulis. Biarkan imajinasinya mereka tumpahkan dalam cerita yang mereka ciptakan. A. Ataka A.R. mengatakan bahwa dia seperti mempunyai dunia sendiri manakala dia sedang menulis sebuah cerita.

Novel pertama yang dia ciptakan dengan judul "Misteri Pedang Skinhead# 1" yang diterbitkan oleh Penerbit Alenia, dia selesaikan dalam waktu satu tahun. Kita dapat membayangkan betapa luar biasa imajinasi yang ada di otak mereka. "Yang dibutuhkan dari seorang penulis adalah 10% bakat, sisanya 90% adalah kemauan dan latihan," begitulah pengakuan dari Gary Provost sebagaimana dikutip Tony Tedjo.

2.2 Menjadi Penulis Yang Menulis

Gertrude Stein menulis, menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis. (Dia juga menulis, Mawar adalah mawar adalah mawar adalah mawar). Maksud perkataannya itu tidak lain adalah bahwa menulis itu adalah soal menulis, dari awal sampai akhir. Bahwa menulis adalah menulis. Pokoknya menulis. Bagaimana mulai menulis? Menulis. Bagaimana untuk dapat terus menulis? Ya terus menulis.

Sayangnya, banyak dari kita yang menganggap hal itu tidak sesederhana kelihatannya. Kita bermasalah saat akan mulai menulis, kita bermasalah untuk bisa terus menulis, dan sering kali kita menyerah begitu saja, semangat dan kegigihan kita sedikit demi sedikit menghilang, seperti sungai yang mengering.

Namun karena menulis ada dalam hati, jiwa, dan DNA kita, setelah beberapa minggu atau bulan atau bahkan tahun, kita kembali bersemangat untuk menulis. Bahkan lebih giat dari sebelumnya, dan saat itu, kita dapat mempertahankan semangat menulis itu.
Mungkin kita seperti itu atau mungkin juga tidak. Dari pengalaman saya sebagai guru, banyak orang yang sering kali tidak dapat mempertahankan semangatnya. Bagi beberapa orang, siklus semangat menulis seperti di atas terjadi berulang kali.
Karena kita tidak konsisten, kita mulai menghakimi diri sebagai orang yang tidak berbakat menulis, harga diri kita ikut terbuang bersama lembaran-lembaran kertas yang kita lempar ke sampah, dan kemudian kita semakin sulit untuk dapat mulai menulis. Hal itu membuat hati sakit. Karena kita adalah penulis dan saat kita tidak utuh -- saat ada bagian dalam diri kita yang hilang -- kita tidak pernah bisa merasa nyaman berada di dunia, tidak ada damai dalam diri. Menulis adalah hidup kita. Memang bukan seluruh hidup, akan tetapi hal tersebut cukup untuk membuat kita merasa tidak utuh saat tidak menulis.

a. Mengklaim Diri Sebagai Penulis

Anda tidak akan pernah menjadi penulis (dan terus menulis) sampai Anda menyebut diri sendiri sebagai penulis.

Kebanyakan penulis yang kita tahu, terutama yang karyanya tak terpublikasi, mengatakan, Aku ingin jadi penulis. Atau, Aku adalah ... dan suka menulis. Atau, Sudah lama aku ingin menjadi penulis. Namun, mereka tidak menyebut diri mereka sebagai penulis. Pikirkan kata-kata lain untuk menyebut diri kita: pria/wanita, ibu/ayah, istri/suami, teman, guru, teknisi, pramupijat, pengacara, tukang kebun, koki. Kita memakai kata-kata itu untuk memperkenalkan diri kita sendiri, baik kepada orang lain maupun kepada diri kita sendiri. Apa sebutan kita untuk diri kita, itulah kita. Dalam beberapa budaya, nama baru diberikan pada saat seseorang mengalami perubahan. Nama baru itu mengisyaratkan bahwa orang itu telah berubah.
Jika kita memanggil diri kita penulis, tidak hanya mengatakan ingin menjadi seperti apa kitaa, kita akan berubah. Cobalah. Sekarang. Teriakkan nama kita dengan keras dan diikuti kata-kata, Aku adalah penulis. Biarkan diri kita mengalami sensasi yang kita rasakan saat kita melakukannya. Tapi tulisanku belum ada yang terpublikasi, mungkin kita berkata seperti itu, seolah-olah itu yang memberikan kita hak untuk menyebut diri sebagai penulis. Lagipula, saat kita mengatakan kepada orang lain bahwa kita adalah penulis, pasti mereka akan bertanya, Oh, tulisan apa yang pernah Anda publikasikan?

Dengar, tulisan yang dipublikasikan tidak ada hubungannya dengan menjadi penulis! Publikasi berhubungan dengan mencari uang sebagai penulis. Mungkin juga dengan pengakuan publik dan kemashyuran. Meski benar, kebanyakan penulis yang tulisannya dipublikasikan tidak mendapat terlalu banyak uang atau pun terkenal. Kita mungkin berkata, terpublikasi adalah terpublikasi adalah terpublikasi. Bahkan, terpublikasi adalah tujuan kebanyakan dari kita. Namun, itu bukanlah alasan untuk kita menulis. Kita menulis karena itulah yang harus kita lakukan. Anne Sexton berkata, Saat aku menulis, aku melakukan hal yang seharusnya aku lakukan.
Lagipula, sekalinya tulisan kita dipublikasikan, bukan berarti itu membuat kita berhenti menulis. Kita akan terus menulis. Itulah yang penulis lakukan. Aku memiliki visi seperti itu saat menulis, aku menulis dan terus menulis. Seperti gurauan kuno berkata, Penulis tua tidak pernah mati, mereka terus memperbaiki bagian akhir dari tulisannya.

b.Bagaimana Mengklaim Diri Sebagai Penulis?

Pertama, katakan, Aku adalah penulis. Katakan itu dengan keras. Katakan pada diri sendiri di depan cermin. Katakan pada keluarga dan teman. Katakan pada orang yang ditemui di pesta yang bertanya, Apa pekerjaan Anda? Katakan pada orang asing saat kita mengantri di toko grosir. Katakan pada ibumu. Katakan paling sering pada diri sendiri, Aku adalah penulis.

Pilih satu tempat untuk menulis, tempat sakral di mana kita merasa nyaman, bukannya merasa terbeban. Jika belum memiliki ruang seperti itu, maka buatlah. Pakai satu ruangan penuh atau sebagian dari ruangan sebagai tempat menulis. Saat kita ada di ruangan sendiri untuk menulis, bawalah serta lilin atau lampu, atau bunga, apa pun yang dapat membuat ruangan menjadi unik. Buatlah senyaman mungkin.
Ambil alat-alat yang diperlukan. Hargai tulisan dengan kertas atau agenda yang disuka. Beli pulpen berkualitas yang selalu diimpi-impikan. Belilah komputer yang khusus untuk sendiri dan mesin cetak yang bagus. Siapkan kamus, kamus tesaurus, dan buku EYD yang berkualitas. Cari buku-buku berkualitas dan berlanggananlah jurnal menulis.

Membaca sebagai penulis. Belajar dari yang terbaik. Pelajari penulis favorit kita, dan salin sebagian tulisannya untuk dapat merasakan ritme dan gaya tulisannya. Pilah-pilah kalimat, paragraf, dan bab yang ada di tulisannya untuk menemukan teknik dan rahasia menulisnya. Selain menulis, membaca tulisan yang bagus akan menjadi guru yang terbaik.

c. Atur Waktu untuk Menulis

Hal kedua yang perlu dilakukan untuk menjadi penulis yang menulis adalah dengan mengadakan waktu untuk menulis. Kita tidak akan pernah menulis jika tidak mengadakan waktu untuk menulis. Jangan pernah berkata, Aku akan segera menulis.
Cari waktu yang cocok dengan kita. Jangan atur waktu menulis selama dua jam jika hanya betah selama setengah jam. Jangan atur alarm pada pukul 05.30 pagi jika memang susah bangun pagi dan tidak suka suasana pagi hari. Sama halnya, jangan bilang kalau akan menulis pada malam hari setelah semua pekerjaan beres jika pada saat itu biasanya berbaring di sofa dan tidak dapat menahan kantuk. Cari waktu yang mendukung. Ambil setengah waktu dari jam makan siang. Menulislah langsung setelah kerja. Bangunlah setengah jam lebih awal. Jika memiliki kebebasan untuk mengatur waktu, tetapkan waktu menulis selama jam kerja.

Kita mungkin sudah sering mendengar bahwa jika ingin menjadi penulis, harus menulis setiap hari. Itu bukan harga mati. Tapi memang ada beberapa aturan yang harus dilakukan untuk jadi penulis. Untuk menjadi penulis (yakni penulis yang menulis), harus menulis beberapa kali dalam seminggu -- setidaknya empat atau lima kali, lebih bagus kalau setiap hari. Menulis akan lebih mudah dengan menulis secara rutin. Kita akan lebih baik saat melakukan sesuatu dengan sering.

Seperti halnya berolah raga, berdiet, atau kuliah, terkadang latihan menulis akan lebih mudah dilakukan dengan adanya teman. Buat janji dengan teman untuk menulis. Jika kit dan teman tidak bisa menulis bersama di satu tempat, saling teleponlah atau kirimlah e-mail dan berkata.

Jangan tunggu inspirasi datang baru menulis. Sia-sia. Saat muncul di hadapan kertas inpirasi akan mendatangi. Ada yang berkata, Menulis itu 20% inspirasi dan 80% keringat." Lagipula, jika menulis adalah latihan sehari-hari, tidak perlu inspirasi untuk mulai menulis.

d. Menulis

Akhirnya, langkah ketiga untuk menjadi penulis yang menulis adalah tentu saja menulis itu sendiri. Membicarakan tentang menulis itu bukan menulis. Berpikir tentang menulis itu bukan menulis. Bermimpi atau berkhayal itu bukan menulis. Membuat kerangka, meneliti, dan membuat catatan juga bukan menulis. Semua itu mungkin adalah bagian dari menulis dan diperlukan untuk menulis, tapi menulis itu tentu saja menulis.

Jadi setiap hari, pada saat yang telah ditetapkan (atau yang tidak ditetapkan sebelumnya/spontan), duduklah di meja tulis (atau di meja kafe atau di atas rumput di taman), kemudian menulislah.

2.3 Ide Besar Sebuah Tulisan

Menulis adalah menjual ide. Maksudnya, ketika menulis seorang penulis sedang memaparkan idenya kepada pembaca dengan tujuan agar setiap pembaca dapat menangkap, menerima, tertarik, dan mengaplikasikan hal-hal yang menjadi buah pikiran penulis tersebut.

Ide bisa disebut sebagai benih tulisan dan sangat memengaruhi tulisan. Ide tersebutlah yang akan menentukan keputusan calon pembaca untuk membaca tulisan lebih lanjut. Oleh karena itu, setiap penulis harus bisa menemukan idenya dalam menulis. Ide seperti apa yang disebut sebagai ide besar sebuah tulisan?


a. Ide yang Orisinal

Tidak semua penulis memiliki ide yang berbeda-beda. Akan tetapi, semua penulis harus memiliki ide yang orisinal. Ide besar sebuah tulisan dapat terlihat dari keorisinalitasan idenya. Namun seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, tidak semua penulis memiliki ide yang berbeda, ini berarti tidak semua ide yang ditulis merupakan ide yang benar-benar baru. Banyak sekali ide yang muncul setelah membaca tulisan orang lain, mendengar pembicaraan orang lain, mengamati sebuah gambar, mendengarkan lirik-lirik sebuah lagu, dan sebagainya. Sebuah ide tetap bisa dikatakan orisinal apabila dari hasil membaca, mengamati, atau mendengarkan, tercetus sebuah pemikiran atau penjabaran yang baru mengenai hal tersebut. Ini tidak dapat dikatakan mencuri ide orang lain karena ide tersebut diolah dan dijabarkan dengan cara yang berbeda dan dari sudut pandang yang berbeda pula, terlebih jika akhirnya muncul ide baru dari ide yang sudah ada. Jadi, ide besar harus merupakan ide yang orisinal, ide yang benar-benar muncul dari pemikiran penulis, dan merupakan olahan dari ide-ide yang sudah ada sebelumnya.

b. Ide yang Memberikan Pencerahan

Maksud dari kalimat di atas adalah sebuah ide harus dapat menjawab tantangan zaman, tren, atau fenomena yang sedang muncul. Ide besar yang didapatkan merupakan hasil dari pengamatan penulis atas apa yang sedang terjadi di lingkungan dan masyarakat sekitar, atau dalam lingkup yang lebih luas lagi. Misalnya, ketika pemanasan global sedang menjadi fokus utama dunia saat ini, maka seorang penulis dapat menyumbangkan ide atau gagasannya dengan menulis hal-hal seputar gerakan penghijauan, penghematan energi, menjaga kelestarian alam, dan hal-hal lain yang dapat dilakukan dan aplikatif untuk mengantisipasi pemanasan global. Dengan kalimat lain, ide yang memberikan pencerahan adalah ide yang dijabarkan oleh penulis dalam tulisannya, di mana penjabaran dari ide tersebut dapat menggugah dan menggerakkan pembaca untuk melakukan sesuatu atau bertindak atas apa yang sedang terjadi.

c. Ide yang Spesifik

Meskipun idenya bagus, namun tidak akan menarik bagi pembaca bila ide tersebut terlalu luas. Mengapa ide harus spesifik? Selain agar pembahasan tidak melebar ke mana-mana, juga akan memudahkan penulis ketika menjabarkan idenya ke dalam bahasa tulis. Dengan ide yang spesifik, pembaca dapat lebih fokus menangkap gagasan yang ingin disampaikan penulis.

d.Ide Klise dari Sudut Pandang Berbeda

Ide yang klise, setiap orang mungkin akan meremehkannya, namun ide yang kelihatan klise ini ternyata bisa disebut ide besar sebuah tulisan dengan syarat kita melihat dan mengemasnya dari sudut pandang yang berbeda. Mungkin sudah banyak tulisan-tulisan yang mengemukakan tentang cinta, kasih, perceraian, pernikahan, namun akan sangat berbeda jika mengupasnya dengan cara kita dan dari sudut yang berbeda. Kita menguraikannya dari cara pandang yang lain dari pemikiran orang pada umumnya.

e. Ide yang Memuat Topik yang Menarik bagi Orang Banyak

Ide besar sebuah tulisan salah satunya adalah ketika dijabarkan akan memuat topik-topik yang menarik orang banyak dan bukan untuk beberapa orang saja. Ide seperti itu adalah ide yang up to date atau ide yang mengikuti perkembangan zaman sehingga banyak orang akan tertarik pada ide yang diangkat. Jika saat ini perhatian masyarakat pada munculnya fenomena aliran-aliran suatu agama, ide tulisan yang memuat topik tersebut akan mendapat perhatian masyarakat pembaca.

f. Ide yang Menambah Sesuatu Jika Dibaca

Seseorang akan kecewa bila tidak mendapatkan apa pun setelah melakukan suatu kegiatan, demikian halnya dalam kegiatan membaca. Bahkan, tulisan yang dibaca tersebut bisa dicap tidak bermutu. Karena itu, seorang penulis haruslah memiliki ide yang dapat mencukupi kebutuhan pembaca yang satu ini. Ide yang bisa menambah sesuatu ketika dibaca, entah itu pengetahuan baru, informasi, inspirasi untuk melakukan sesuatu, bahkan sekadar menghibur pembacanya.

2.4 Dari Mana Datangnya Ide Besar Menulis

Dari mana datangnya ide besar dalam menulis? Apakah kita bisa menemukannya? Ide bisa datang secara tidak terduga. Ketika penulis sedang tidak melakukan apa pun, ide itu pun bisa datang.

Namun, tidak semua seperti itu. Ada ide yang didapat penulis setelah penulis melakukan sesuatu, seperti membaca buku, menonton film, jalan-jalan, mengalami kejadian yang luar biasa, dan sebagainya. Ide juga bisa diperoleh dengan dicari atau ditemukan dengan sengaja. Penulis melakukan pengamatan maupun penelitian, sampai akhirnya menemukan ide yang baik. Di mana mencarinya?

1. Dalam Diri. Hidup ini adalah sumber gagasan yang tidak akan pernah kering. Dari pengalaman hidup, dapat menemukan ide-ide menarik untuk sebuah tulisan. Banyak penulis yang menemukan ide besarnya dari pengalaman hidupnya sendiri. Sebut saja, Leo Tolstoy -- salah satu ide bukunya ketika dia mengikuti perang, Ian Fleming -- James Bond lahir dari pengalamannya menjadi agen rahasia, Khalil Gibran -- beberapa karya sastranya adalah cinta yang dia berikan untuk sahabat penanya, Pramudya Ananta Toer -- salah satu bukunya adalah pengalamannya ketika dibuang dan dipenjarakan, dan masih banyak lagi lainnya.

2. Media Elektronik dan Cetak. Buku, surat kabar, majalah, televisi, radio, maupun internet dapat dipakai sebagai sumber untuk menemukan ide. Tidak jarang penulis dapat menemukan ide besar setelah mereka memakai dan memanfaatkan media-media tersebut. Ide muncul atau diperoleh setelah membaca buku, mengikuti berita di surat kabar, melihat siaran di televisi, dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan tersebut jika dimanfaatkan dengan baik, akan melentikkan ide di kepala.

3. Lingkungan Sekitar. Jika ingin menjadi seorang penulis yang penuh dengan ide, haruslah didukung dengan kepekaan dalam dirinya atas lingkungan sekitarnya. Karena apa yang terjadi di sekitarnya adalah sumber ide yang tidak ada habisnya. Pengamatan atas apa yang terjadi di lingkungannya maupun menangkap setiap fakta yang terjadi serta mengolahnya, dapat menjadi sebuah ide untuk ditulis.

Setelah mengetahui ide besar sebuah tulisan dan sumber-sumber untuk menemukan ide tersebut, satu hal yang harus diperhatikan seputar ide ini adalah sebesar dan sebagus apa pun ide, tidak akan ada artinya apabila tidak bisa ditangkap oleh pembaca lewat bahasa tulisan kita. Entah itu ide orisinal, ide yang memberikan pencerahan, ide yang spesifik, maupun ide yang akan memberikan kontribusi ketika dibaca, akan gagal diterima pembaca jika tidak dapat disampaikan lewat jalinan kata dan kalimat yang membentuk alinea-alinea dalam tulisan kita dengan baik.

Karena itu, selain memiliki ide yang cemerlang, seorang penulis harus mampu dan terampil menguasai teknik-teknik kepenulisan. Sehingga apa yang menjadi ide atau gagasan penulis dapat dijabarkan lewat bahasa tulisan sehingga sampai kepada pembaca yang menikmati karya tulis kita.

2.5 Menulis Untuk Pembaca

Alasan seseorang dalam menulis dapat memengaruhi hasil tulisannya. Jika seseorang menulis untuk menyenangkan dirinya sendiri, tulisan tersebut mungkin hanya menjadi konsumsi pribadi. Dalam menulis, tentunya ia tidak mempertimbangkan siapa yang akan membaca tulisan tersebut karena ia tidak menulis untuk para pembaca, tetapi untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan para penulis yang ingin membagikan apa yang dia pikirkan kepada orang lain. Itu berarti dia menulis untuk pembacanya.

a. Mengetahui Pembaca

Menulis untuk pembaca dapat diawali dengan mengenali para pembacanya terlebih dahulu. Perlu mengetahui pembaca yang menjadi target tulisan. Hal ini akan menentukan cara penyampaian dan muatan yang akan ditulis. Dengan mengenali pembaca, kita dapat mengetahui apa yang dibutuhkan pembaca dan bagaimana memenuhinya lewat tulisan-tulisan. Jika tulisan memenuhi kebutuhan target pembaca yang kita tuju, pastinya mereka akan membaca tulisan-tulisan kita.

Tulisan untuk orang dewasa tentunya berbeda dengan tulisan untuk anak-anak. Jika yang menjadi target tulisan adalah anak-anak, pastinya tulisan yang dibuat tidak menggunakan bahasa ilmiah yang berat dan sulit dimengerti anak. Lebih baik menulis sesuatu yang ringan, dituturkan dalam bahasa anak-anak yang mudah dimengerti, namun tetap memuat pesan yang dapat ditangkap untuk anak-anak.

b. Memuat Pesan Untuk Pembaca

Setiap penulis yang memunyai arah dalam menulis pasti menetapkan tujuan tertentu ketika membuat tulisannya. Tulisan dapat dibuat dengan tujuan menghibur, memberikan informasi, bahkan mendidik. Ketiganya dapat pula menjadi satu kesatuan dalam sebuah tulisan.

Tulisan memiliki kelebihan dan kekuatan yang besar, yaitu dapat memberikan pengaruh yang signifikan bagi para pembacanya. Oleh karena itu, sebelum menulis tetapkanlah tujuan. Banyak yang telah menyadari pengaruh besar dari sebuah tulisan sehingga mereka memilih menggunakan media tulisan untuk meraih tujuan-tujuannya.

c. Memerhatikan Media Yang Dipakai Pembaca
Dalam menulis juga perlu memperhatikan media yang dipakai oleh para pembaca. Tidak semua pembaca menggunakan bentuk maupun jenis media yang sama. Ada yang lebih senang membaca melalui media internet (situs, blog, milis publikasi) atau media cetak (surat kabar, majalah, buletin, dan lainnya). Pada umumnya, perbedaan membaca menggunakan media tertentu adalah karena setiap pembaca memiliki karakter yang berbeda-beda pula.

Pembaca yang lebih senang membaca media cetak dengan jenis surat kabar tentu berbeda dengan mereka yang memilih membaca dari jenis majalah. Pembaca surat kabar cenderung memilih sesuatu yang aktual dan informasi yang dapat cepat mereka tangkap. Pembaca majalah lebih senang membaca sesuatu yang ringan dan menghibur mereka di kala senggang. Pembaca yang menggunakan media cetak berbeda pula dengan pembaca di media internet.

Dibanding pembaca media cetak, pembaca media internet ingin sesuatu yang lebih ringkas dan padat. Mereka tidak akan menghabiskan banyak waktu untuk membaca tulisan-tulisan yang terlalu panjang. Jadi, dalam membuat tulisan, perhatikanlah media yang digunakan sehingga tulisan pun dapat menarik atensi dari pembaca yang menggunakan media-media tersebut. Selain dibagi dalam bentuk dan jenis, pembaca juga sangat memerhatikan sasaran dari media-media tersebut, apakah untuk umum atau untuk kelompok khusus.

d. Strategi Penyajian Tulisan

Setelah mengetahui target pembaca, menetapkan tujuan tulisan, memerhatikan hal-hal agar dapat menulis bagi pembaca, strategi penyajian tulisan juga perlu diperhatikan.

Tulisan yang disajikan harus merupakan sesuatu yang menarik pembaca, seperti sesuatu yang sedang marak, baru, segar, maupun sesuatu yang dibutuhkan pembaca dalam kondisi-kondisi khusus. Penulis juga harus dapat menyampaikan tulisan dengan sebaik mungkin. Dengan kata lain, dapat dipahami pembaca karena apa yang menjadi gagasan penulis dapat diwujudnyatakan lewat jalinan kalimat-kalimat dalam tulisan.
Bagaimana caranya? Menulis dan terus menulis, itu yang dapat penulis lakukan agar semakin terampil dalam menulis. Sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi adalah setiap penulis harus selalu menambah wawasan dan mengembangkan diri sehingga bank data penulis semakin luas dan berkembang.

e. Menetapkan Standar

Meskipun tujuan kita menulis adalah untuk dibaca para pembaca, seorang penulis perlu menetapkan standar tertentu. Apa yang diinginkan pembaca tidak harus selalu dipenuhi oleh penulis. Apabila karakter pembaca adalah orang-orang yang menyukai sesuatu yang tidak baik, misalnya kekerasan dan pornografi, jangan sampai penulis terseret ke dalamnya dengan menyajikan tulisan-tulisan yang semakin merusak pembaca tulisan kita.

Hindarilah menyajikan tulisan-tulisan yang tidak membangun dan tidak berkualitas meskipun hal-hal seperti itulah yang sangat menarik minat banyak pembaca. Justru, sikapilah hal tersebut dengan menuliskan sesuatu yang berseberangan, sesuatu yang dapat menyadarkan pembaca untuk menjadi lebih baik lagi sehingga hidup mereka lebih berkualitas. Kembali lagi, diperlukan banyak latihan dan pengembangan diri agar tulisan yang kurang diminati pasar pada akhirnya dapat dilirik dan dibaca para pembaca yang menjadi target.
* * *






BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian di atas dapatlah kita mengambil kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
a. Jordan E. Ayan menjelaskan bahwa membaca dapat memicu kreativitas. Buku mengajak kita membayangkan dunia beserta isinya, lengkap dengan segala kejadian, lokasi, dan karakter. Bayangan yang terkumpul dalam tiap buku yang melekat dalam pikiran, membangun sebuah bentang ide dan perasaan yang menjadi dasar dari ide kreatif (Hernowo 2003: 37). Padahal salah satu faktor yang mendorong agar anak mempunyai minat menulis ialah kebiasaan membacanya.
b. Menulis merupakan sebuah seni. Karena dalam menuangkan ide seorang penulis ke dalam sebuah tulisan itu bebas, sesuai dengan kreativitas dan daya seni seseorang.
c. Gertrude Stein menulis, menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis. (Dia juga menulis, Mawar adalah mawar adalah mawar adalah mawar). Maksud perkataannya itu tidak lain adalah bahwa menulis itu adalah soal menulis, dari awal sampai akhir. Bahwa menulis adalah menulis. Pokoknya menulis. Bagaimana mulai menulis? Menulis. Bagaimana untuk dapat terus menulis? Ya terus menulis.
d. Ada beberapa yang termasuk kategori ide besar sebuah tulisan, yaitu:
>Ide yang Orisinal
>Ide yang Memberikan Pencerahan
>Ide yang Spesifik
>Ide Klise dari Sudut Pandang Berbeda
>Ide yang Memuat Topik yang Menarik bagi Orang Banyak
>Ide yang Menambah Sesuatu Jika Dibaca

3.2 Saran-Saran

Untuk mengakhiri makalah ini, penulis mengajukan beberapa saran, diantaranya:
a. Seperti halnya pada bagian latar belakang, kiranya orang tua, guru, dan siapa saja yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi tentu saja membina minat baca dan minat tulis adalah saat yang tepat untuk menunjukkannya.
b. Membina minat baca dan minat tulis tentunya harus dimulai dari diri kita, apalagi sebagai calon guru bahasa Indonesia.
* * *









DAFTAR PUSTAKA

Bunanta, Murti. 2004. Buku, Mendongeng dan Minat Membaca. Jakarta: Penerbit Tangga.
Harefa, Andrias. 2002. Agar Menulis Mengarang Bisa Gampang. Jakarta: Gramedia.
Hernowo. 2005. Menulis Membutuhkan Membaca dan Membaca Membutuhkan Menulis, dalam http://pelitaku.sabda.org/node/144.
Levy, Mark. 2005. Menjadi Genius dengan Menulis. Bandung: Kaifa.
Tedjo, Tony. Menulis Seni Mengungkapkan Hati, dalam http://www.sabda.org/pelitaku/ node/225
Wilson, Kennet. 2001. Bagaimana Menjadi Penulis yang Sukses. Edisi Kedua. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Selasa, 03 Mei 2011

HUBUNGAN ANTARA KREATIVITAS DAN INTERAKSI GURU PADA SISWA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendekatan pengajaran merupakan haluan atau aspek yang digunakan untuk mendekati atau memulakan proses pengajaran sesuatu isi pelajaran, sesuatu mata pelajaran atau beberapa mata pelajaran atau sesuatu kemahiran. Pendekatan-pendekatan wujud berdasarkan aspek-aspek pengajaran yang kita ingin utamakan atau memberi perhatian yang lebih utama. Sebab itu ada kalanya pendekatan meyerupai klasifikasi pengajaran di mana jenis-jenis pendekatan wujud berdasarkan kriteria-kriteria yang kita gunakan untuk meneliti proses pengajaran.

Pendekatan-pendekatan pengajaran boleh digolongkan mengikut cara pengelolaan murid, cara-cara fakta disampaikan, keaktifan pengajaran atau pelajar, pengajaran bahasa dan pengajaran mata pelajaran lain.

Pendekatan pengajaran yang berasaskan pengelolaan murid adalah seperti pendekatan individu, pendekatan pasangan, pendekatan kumpulan, pendekatan kelas, pendekatan kelas bercantum dan sebagainya. Pendekatan yang dimaksudkan di sini tidak menyentuh tentang kaidah yang boleh digunakan dalam pengajaran.

Guru bebas memilih kaidah yang dipikirkan wajar bagi setiap pendekatan tersebut. Berdasarkan kriteria bagaimana isi pelajaran disampaikan maka terdapatlah pendekatan induktif, pendekatan deduktif, pendekatan eklektik, pendekatan dari segi isi mudah ke isi susah dan pendekatan dari isi maujud ke isi abstrak.

Pendekatan yang memberi tumpuan kepada pengajar disebut sebagai pendekatan memusatkan guru manakala pengajaran yang mementingkan murid disebut sebagai pendekatan memusatkan murid. Kaidah-kaidah yang seiring dengan pendekatan yang memusatkan guru adalah seperti kaidah syarahan dan kaidah demonstrasi manakala kaidah-kaidah pengajaran yang selari dengan pendekatan pengajaran yang memusatkan murid adalah seperti kaidah menyelesaikan masalah, kaidah bermain dan kaidah perbincangan kumpulan.

Rumusan yang boleh dibuat ialah pendekatan merupakan sesuatu yang agak umum dan ia seolah-olahnya menunjukkan sesuatu haluan tetapi tidak menerangkan bagaimana caranya untuk menuju haluan itu. Cara-cara yang digunakan untuk menuju arah yang ditetapkan oleh sesuatu pendekatan pengajaran adalah kaidah-kaidah pengajaran.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam sebuah karya ilmiah, sudah barang tentu dibutuhkan sujumlah rumusan masalah, di mana rumusan masalah ini akan memusatkan pembahasan pada materi yang dibahas dalam karya ilmiah tersebut. Dengan landasan tersebutlah maka karya ilmiah ini pun dibuat. Adapun rumusan masalah dalam karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1.Hakikat kreativitas
2.Kreativitas guru
3.Hakikat mengajar

1.3 Batasan Masalah

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka batasan masalah dalam karya ilmiah ini juga dibutuhkan sebagai lebih mensfesifikkan pembahasan rumusan masalah di atas, namun bukan berarti kehadiran masalah-masalah lain dalam makalah ini begitu saja diabaikan, kehadiran masalah lain tersebut hanya akan dibahas sesuai dengan kebutuhannya saja dan dipergunakan untuk mendukung pembahasan masalah dalam karya ilmiah ini. Untuk itu, adapun batasan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.Membahas tentang hakikat kreativitas
2.Membahas tentang kreativitas guru
3.Membahas tentang hakikat mengajar

1.4 Tujuan Penulisan

Dari rumusan dan batasan masalah di atas, maka penulis membahas masalah “Hubungan Antara Kreativitas dan Interaksi Guru pada Anak Didik” adalah semata untuk:
1.Mengetahui tentang hakikat kreativitas
2.Mengetahui tentang kreativitas guru
3.Mengetahui tentang hakikat mengajar

BAB II
KAJIAN TEORITIK

2.1 Kreativitas Guru
2.1.1 Hakikat Kreativitas
a. Defenisi Kreativitas

Kreativitas merupakan suatu bidang kajian yang kompleks, yang menimbulkan berbagai perbedan pandangan, perbedaan tersebut terletak pada bagaimana kreativitas itu didefenisikan. Adapun kreativitas didefenisikan sangat berkaitan dengan penekanan pendefenisian dan tergantung pada dasar teori yang menjadi dasar acuannya.
Kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang baru. Hasil karya atau ide-ide baru itu sebelumnya tidak dikenal oleh pembuatnya maupun orang lain. Kemampuan ini merupakan aktivitas imjinatif yang hasilnya merupakan pembentukan kombinasi dari informasi yang diperoleh dari pengalaman pengalaman sebelumnya menjadi hal yang baru, berarti dan bermanfaat ).

Kreativitas ialah kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru dan menerapkannya dalam pemecahan masalah. Kreativitas meliputi baik ciri-ciri kognitif (aptitude) seperti kelancaran, keluwesan (fleksibilitas), dan keaslian (orisinalitas) dalam pemikiran maupun ciri-ciri afektif (non-aptitude), seperti rasa ingin tahu, senang mengajukan pertanyaan, dan selalu ingin mencari pengalaman baru).

Kreativitas juga merupakan kemampuan untuk membuat kombinasi baru berdasarkan data, informasi, atau unsur-unsur yang ada. Biasanya orang mengartikan kreativitas sebagai daya cipta, sebagai kemampuan untuk menciptakan hal-hal yang baru. Sesungguhnya apa yang diciptakan itu tidak perlu hal-hal yang baru sama sekali, tetapi merupakan gabungan (kombinasi) dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya.

Yang dimaksud dengan data, informasi, atau unsur-unsur yang sudah ada, dalam arti sudah ada sebelumnya, atau sudah dikenal sebelumnya, adalah sebuah pengalaman yang telah diperoleh seseorang selama hidupnya baik selama di bangku sekolah maupun yang di peroleh dalam keluarga dan masyarakat. Jelaslah makin banyak pengalaman dan pengetahuan tersebut untuk bersibuk diri dengan kreatif ).

Dari beberapa defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kreativitas ialah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gaya hidup, gagasan, proses maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan yang telah ada sebelumnya.

b. Ciri-Ciri Kreativitas

Setelah dilakukan penelitian mengenai kreativitas dengan analisis faktor, Guilford menemukan bahwa faktor penting yang merupakan ciri dari kemampuan berpikir kreatif adalah:

Pertama, kelancaran berpikir (fluency of thinking), yaitu kemampuan untuk menghasilkan banyak ide yang keluar dari pemikiran seseorang secara cepat. Dalam kelancaran berpikir yang ditekankan adalah kuantitas, bukan kualitas.

Kedua, keluwesan (flexibility), yaitu kemampuan untuk memproduksi sejumlah file ide, jawaban-jawaban atau pertanyaan-pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda, mencari alternatif atau arah yang berbeda-beda dan mampu menggunakan bermacam-macam pendekatan atau cara pemikiran. Orang yang kreatif adalah orang yang luwes dalam berpikir. Mereka dengan mudah dapat meninggalkan cara berpikir lama dan menggantikan dengan cara berpikir yang baru

Ketiga, elaborasi (elaboration), yaitu kemampuan dalam mengembangkan gagasan dan menambahkan atau memperinci detil-detil dari objek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik.

Keempat, keaslian (originility), yaitu kemampuan untuk mencetuskan gagasan unik (unusual) atau kemampuan untuk mencetuskan gagasan asli ).
Ada pendapat lain yang dikemukakan oleh Supriadi (1994) bahwa ciri-ciri kreativitas dapat dikelompokkan dalam dua kategori, kognitif dan nonkognitif. Ciri-ciri kognitif, diantaranya:
a. Orisinalitas
b. Fleksibilitas
c. Kelancaran, dan
d. Elaborasi,

Sedangkan ciri-ciri non kognitif, diantaranya:
a. Motivasi sikap
b. Kepribadian kreatif

Kedua ciri ini sama pentingnya, kecerdasan yang tidak ditunjang dengan kepribadian kreatif tidak akan menghasilkan apapun. Kreativitas hanya dapat dilahirkan dari orang cerdas yang memiliki kondisi psikologis yang sehat. Kreativitas tidak hanya perbuatan otak saja namun variabel emosi dan kesehatan mental sangat berpengaruh terhadap lahirnya sebuah karya kreatif. Kecerdasan tanpa mental yang sehat sulit sekali dapat menghasilkan karya kreatif.

c. Faktor Pendukung Kreativitas Guru

Suatu hal yang tidak dapat kita pungkiri bahwa banyak faktor yang menjadikan guru menjadi pendidik yang kreatif salah satu faktor pendukung untuk memacu peningkatan kualitas mengajar guru adalah kunjungan. Seringnya sekolah yang dikunjungi dan ditonton saat mengajar, telah memberinya bahan bakar sehingga semangatnya terus menyala.

Di samping itu terdapat faktor lain sebagai pendukung guru menjadi pendidik yang kreatif sebagaimana yang dikemukan oleh Toto Perdamean (2009). Adapun faktor pendukung yang lain adalah mulai dari keleluasaan dan kebebasan guru untuk bereksplorasi mengembangkan pengetahuan dan pola pengajarannya sampai kepada penghargaan atas profesionalitasnya baik dalam bentuk pengakuan dan intensif merupakan anugrah yang selama ini hanya khayalan yang rasanya tak mungkin terjadi.

Dari penjelasan di atas dapat dikemukakan bahwa yang mempengaruhi kreativitas mengajar guru adalah kunjungan-kunjungan dari luar, keleluasaan, kebebasan guru untuk bereksplorasi serta berbagai bentuk penghargaan yang diberikan oleh pihak sekolah atau pemerintah kepada guru.

2.1.2 Kreativitas Guru
a. Ciri-Ciri Guru Kreatif dan Profesional

Untuk dapat mengidentifikasi karakter seorang guru kreatif atau tidak maka ada beberapa ciri yang dapat dijadikan indikator yaitu sebagai berikut:
1. Fleksibel. Dibutuhkan guru yang tidak kaku, luwes, dan dapat memahami kondisi anak didik, memahami cara belajar mereka, serta mampu mendekati anak didik melalui berbagai cara sesuai kecerdasan dan potensi masing-masing anak.

2. Optimistik. Keyakinan yang tinggi akan kemampuan pribadi dan keyakinan akan perubahan anak didik ke arah yang lebih baik melalui proses interaksi guru-murid yang fun akan menumbuhkan karakter yang sama terhadap anak tersebut.

3. Respek. Rasa hormat yang senantiasa ditumbuhkan di depan anak didik akan dapat memicu dan memacu mereka untuk lebih tidak sekedar memahami pelajaran, namun juga pemahaman yang menyeluruh tentang berbagai hal yang dipelajarinya.

4. Cekatan. Anak-anak berkarakter dinamis, aktif, eksploratif dan penuh inisiatif. Kondisi ini perlu diimbangi oleh guru sehingga guru mampu bertindak sesuai kondisi yang ada.

5. Humoris. Menjadi guru killer? Anak-anak malah takut dan tidak mau belajar. Meskipun tidak semua orang mempunyai sifat humoris, sifat ini dituntut untuk dimiliki seorang pengajar. Karena pada umumnya, anak-anak suka sekali dengan proses belajar yang menyenangkan, termasuk dibumbui dengan humor. Secara tidak langsung, hal tersebut dapat mengaktifkan kreativitas otak kanan mereka.

6. Inspiratif. Meskipun ada panduan kurikulum yang mengharuskan semua peserta didik mengikutinya, guru harus menemukan banyak ide dari hal-hal baru yang positif di luar kurikulum. Hal ini dapat membuat anak didik terinspirasi untuk menemukan hal-hal yang baru dan lebih memahami informasi-informasi pengetahuan yang disampaikan gurunya.

7. Lembut. Di manapun guru yang bersikap kasar, kaku, atau emosional, biasanya mengakibatkan dampak buruk bagi peserta didiknya, dan sering tidak berhasil dalam proses mengajar kepada anak didik. Pengaruh kesabaran, kelembutan, dan rasa kasih sayang akan lebih efektif dalam proses belajar mengajar dan lebih memudahkan munculnya solusi atas berbagai masalah yang muncul.

8. Disiplin. Disiplin disini tidak hanya soal ketepatan waktu, tapi mencakup berbagai hal lain, sehingga guru mampu menjadi teladan kedisiplinan. Contoh disiplin dalam waktu, menyimpan barang, belajar, dan sebagainya. Dengan demikian akan timbul pemahaman yang kuat pada anak didik tentang pentingnya hidup disiplin.

9. Responsive. Ciri guru yang profesional antara lain cepat tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, baik pada anak didik, budaya, sosial, ilmu pengetahuan maupun teknologi dan lain-lain.

10. Empatik. Setiap anak mempunyai karakter yang berbeda-beda, cara belajar dan proses penerimaan serta pemahaman terhadap pelajaranpun berbeda-beda. Oleh karena itu seorang guru dituntut mempunyai kesabaran lebih dalam memahami keberagaman tersebut sehingga biasa lebih memahami kebutuhan-kebutahan belajar mereka

11. Nge-fren. Jangan membuat jarak yang lebar dengan anak didik hanya karena posisi sebagai guru. Jika kita dapat menjadi teman mereka akan menghasilkan emosi yang lebih kuat daripada sekedar hubungan guru-murid. Sehingga anak-anak akan lebih mudah beradaptasi dalam menerima pelajaran dan bersosialisasi dengan lingkungan.

Di samping itu menurut penulis, seorang guru yang kreatif harus bersifat ikhlas, cinta kasih, sayang, selektif, inovatif, objektif, persuasif, sabar, visioner dan misioner, rendah hati, menghargai proses, menyenangi kegiatan mengajar, konsisten dan komitmen dalam bertindak, memiliki pengetahuan yang luas, haus akan pengetahuan, memiliki semangat pantang menyerah dan lain-lain.

b. Peranan Guru dalam Meningkatkan Kreativitas

Kreativitas sangat dibutuhkan bagi seorang guru, karena bila seorang guru kreatif maka akan memberikan dampak yang positif pula pada murid. Ada sebuah istilah yang sangat populer “guru kencing berdiri murid kencing berlari” hal ini mengandung makna bahwa jika gurunya kreatif maka kemungkinan besar akan menjadikan murid lebih kreatif. Siswa yang kreatif akan belajar kreatif pula, belajar kreatif itu sangat penting sebagaimana yang dikemukan oleh Treffinger yang dikutip Conny Semiawan, dkk. yang memberikan empat alasan mengapa belajar kreatif itu penting.
a. belajar kreatif membantu anak menjadi lebih berhasil guna jika kita tidak bersama mereka,
b. belajar kreatif menciptakan kemungkinan-kemungkinan untuk memecahkan masalah yang tidak mampu kita ramalkan, yang timbul dimasa depan,
c. belajar kreatif dapat menimbulkan akibat yang besar dalam kehidupan kita,
d. belajar kreatif dapat menimbulkan kepuasan dan kesenangan yang besar ).

Beberapa alasan mengapa kreativitas perlu dipupuk dan dikembangkan dalam
diri anak:

Pertama, karena dengan berkreasi orang dapat mewujudkan dirinya, dan perwujudan dirinya itu termasuk salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia. Seorang ahli, Maslow, yang menyelidiki sistem kebutuhan manusia menekan bahwa kreativitas merupakan menifestasi dari individu yang berfungsi sepenuhnya dalam perwujudan dirinya.

Kedua, kreativitas atau berfikir kreatif, sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah, merupakan bentuk pemikiran yang pada saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam pendidikan formal.

Ketiga, bersibuk diri secara kreatif tidak hanya bermanfaat, tetapi juga memberikan kepuasan pada individu. Ini tampak sekali jika kita mengamati anak-anak yang sedang asyik bermain balok-balok kayu atau bahan-bahan permainan kontruktif lainnya. Mereka tidak mau diganggu seolah-olah tidak bosan-bosan setiap kali membuat kombinasi baru dari balok-baloknya. Demikian pula hal ini berlaku pada orang dewasa.

Keempat, kreativitaslah yang memungkinkan manusia maningkatkan kualitas hidupnya. Dalam era ini tak dipungkiri bahwa kesejahteraan dan kejayaan masyarakant dan negara kita tergantung pada sumbangan kreatif, berupa ide-ide baru, penemuan-penemuan baru, dan teknologi baru dari anggota masyarakatnya. Untuk mencapai hal ini, perlulah sikap dan prilaku dipupuk sejak dini, agar anak didik kelak tidak hanya menjadi konsumen pengetahuan, namun mampu menghasilkan pengetahuan baru, tidak hanya pencari kerja, namun mampu menciptakan lapangan baru (wiraswasta).

Menurut penulis tentu bukan hanya siswa yang harus kereatif, tapi guru sebagai pendidik tentu harus lebih kreatif dari murid, jika pendapat di atas dibalik pentingnya kreativitas bagi seorang murid akan menjadi pentingnya kreativitas bagi seorang guru yaitu:

Pertama, kreativitas merupakan salah satu kreasi manusia dengan berkreasi orang dapat mewujudkan dirinya, dan perwujudan dirinya itu termasuk salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia. Seorang ahli, Maslow, yang menyelidiki sistem kebutuhan manusia menekan bahwa kreativitas merupakan menifestasi dari individu yang berfungsi sepenuhnya dalam perwujudan dirinya.

Kedua, kreativitas atau berfikir kreatif, sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah, merupakan bentuk pemikiran yang pada saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam pendidikan formal.hal ini sangat penting bagi guru karena dengan kreativitas yang tinggi seorang guru akan memberikan solusi tak terbatas terhadap berbagai persoalan murid

Ketiga, bersibuk diri secara kreatif tidak hanya bermanfaat, tetapi juga memberikan kepuasan pada individu. Ini tampak sekali jika kita mengamati anak-anak yang sedang asyik bermain balok-balok kayu atau bahan-bahan permainan kontruktif lainnya. Mereka tidak mau diganggu seolah-olah tidak bosan-bosan setiap kali membuat kombinasi baru dari balok-baloknya. Demikian pula hal ini berlaku pada seorang guru.

Keempat, kreativitaslah yang memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya. Dalam era ini tidak dipungkiri bahwa kesejahteraan dan kejayaan masyarakat dan negara kita tergantung pada sumbangan kreatif, berupa ide-ide baru, penemuan-penemuan baru, dan teknologi baru dari anggota masyarakatnya. Untuk mencapai hal ini, perlulah sikap dan prilaku dipupuk sejak dini oleh guru, agar anak didik kelak tidak hanya menjadi konsumen pengetahuan, namun mampu menghasilkan pengetahuan baru, tidak hanya pencari kerja, namun mampu menciptakan lapangan baru

c. Cara Mengajar Guru yang Kreatif dan Sikap Kreatif Guru

Faktor penting dalam meningkatkan kreativitas di sekolah adalah peran guru. Banyak sekali hal yang dapat dilakukan guru di sekolah untuk merangsang dan meningkatkan daya pikir siswa, sikap dan perilaku kreatif siswa, melalui kegiatan di dalam atau di luar kelas. Potensi kreatif siswa di sekolah dapat ditingkatkan dengan cara mengusahakan iklim di dalam kelas yang dapat menggugah kreativitas siswa.
Selanjutnya guru harus menghargai keunikan pribadi dan potensi setiap siswa dan tidak perlu selalu menuntut dilakukannya hal-hal yang sama (Utami Munandar, 1988). Pada waktu tertentu siswa diberi kebebasan untuk melakukan atau membuat sesuatu yang disenangi oleh siswa.

Dalam kegiatan belajar, proses berfikir kreatif dan pemecahan masalah secara kreatif dirangsang dengan mengundang siswa untuk mengajukan pertanyaan, untuk menemukan masalah sendiri, untuk menggunakan imajinasinya dalam mengemukakan macam-macam gagasan atau kemungkinan jawaban terhadap suatu persoalan. Dalam hal ini guru lebih banyak memberi umpan balik dan meminta siswa untuk menilai sendiri produk-produk kreativitasnya (internal locus of evaluation).

Lindgren (1976) dalam Achmad Sudrajat (2000) menyatakan bahwa kreativitas siswa dapat ditingkatkan dengan cara menyediakan kesempatan di dalam kelas untuk berfikir divergen. Sementara Spaulding (1963) dalam Connie Kartasutedja (1998) dalam studinya terhadap interaksi guru-siswa di kelas, menemukan dua cara mengajar yang cenderung menghilangkan fleksibilitas dan originalitas (dua aspek dari berfikir divergen dan kreativitas) pada siswa. Cara mengajar yang pertama adalah membentuk, dalam hal ini guru menciptakan kondisi yang terstruktur dengan mengawasi hal-hal yang bersifat memalukan, tertawaan/ejekan, atau memberi peringatan. Sedangkan cara mengajar yang kedua adalah guru cenderung untuk merespon kualitas sosial-emosional dari siswa, daripada performansi kognitifnya. Cara mengajar kedua tersebut dicirikan dengan tindakan guru yang membebaskan siswa, namun kurang perhatian terhadap prestasi dan perfomansi siswa. Kuncinya adalah kebebasan saja tidak cukup, guru harus memperhatikan bahwa teman-teman di kelas dari siswa yang kreatif mungkin tidak toleran dengan cara berfikir divergen. Mereka bahkan akan menganggap siswa yang kreatif sebagai orang yang memiliki ide yang gila.

Lindgren (1976) juga menyatakan bahwa semakin kreatif seorang guru maka ia cenderung untuk memupuk kreativitas siswanya secara lebih tinggi, demikian pula sebaliknya. Menurut Lindgren pula, seorang guru yang mendorong dirinya agar kreatif akan menyebabkan ia meningkatkan kreativitas pada siswanya.

Torrance (1964) dalam Lindgren (1976) menemukan hubungan antara kreativitas guru dan kreativitas siswa. Ia mengemukakan bahwa siswa yang diberi skor oleh guru di atas median dalam tes motivasi kreatif (keingintahuan intelektual) menunjukkan peningkatan yang signifikan di dalam kemampuan menulis secara kreatif selama 3 bulan, sementara siswa yang dinilai oleh guru di bawah median, tidak ada peningkatan. Sementara itu dari sisi guru, semakin banyak guru yang kreatif karena mereka menerima dorongan dan semangat dari kepala sekolah.

Menurut Torrance (1967) dalam Lindgren (1976), pengajaran kreatif ialah pengajaran untuk mengembangkan kreativitas siswa, yang meliputi adanya hubungan kreatif guru-siswa dan digunakannya metode-metode mengajar kreatif. Ditambahkan pula bahwa antara guru dan siswa perlu membina hubungan yang kreatif, yaitu hubungan yang megembangkan proses berfikir yang otomatis, cepat, dan spontan, serta menghindari hubungan yang reaktif, yang justru mengganggu proses berfikir tesebut.

Menurut Conny Semiawan (1988) pengajaran kreatif memungkinkan siswa belajar kreatif, yaitu belajar yang mengasyikkan, yang menggerakkan potensi kreativitas, dan menimbulkan berbagai getaran penemuan terhadap hal-hal yang sebelumnya belum diketahui, dikenal atau dipahaminya. Sebagaimana pengalaman belajar yang sangat menyenangkan, pada belajar kreatif siswa terlibat secara aktif serta ingin mendalami bahan yang dipelajari, digunakan proses berpikir divergen dan proses berpikir konvergen serta berpikir kritis. Belajar kreatif banyak memberi peluang untuk mencegah penurunan kreativitas siswa (Semiawan, 1988).

Dalam melaksanakan pengajaran kreatif, guru harus kreatif dan memiliki semangat petualang (Torrance, 1967). Hal ini berarti bahwa cara guru mengajar seharusnya bervariasi, dengan untuk mencoba-coba sesuatu yang baru, tidak kaku dalam melaksanakan kurikulum atau aturan-aturan yang ada, serta bersikap hangat kepada siswa. Guru dalam mengajar hendaknya juga menciptakan lingkungan yang merangsang belajar kreatif, terampil mengajukan dan mengundang pertanyaan, dan dapat memadukan perkembangan kognitif dan afektif (Munandar, 1987).

Munandar (1987) memberikan saran agar guru dapat mengajar secara kreatif. Saran-saran tersebut adalah sebagai berikut:
a. guru menghargai kreativitas siswa,
b. guru bersikap terbuka terhadap gagasan-gagasan baru,
c. guru mengakui dan menghargai adanya perbedaan individual,
d. guru bersikap menerima dan menunjang anak,
e. guru menyediakan pengalaman mengajar yang berdiferensisasi,
f. guru cukup memberikan struktur dalam mengajar sehingga anak tidak merasa ragu-ragu tetapi di lain pihak cukup luwes sehingga tidak menghamabat pemikiran, sikap dan perilaku kreatif anak,
g. setiap anak ikut mengambil bagian dalam merencanakan pekerjaan sendiri dan pekerjaan kelompok,
h. guru tidak bersikap sebagai tokoh yang “maha mengetahui” tetapi menyadari keterbatasannya sendiri.

Horrocks (1985) memberikan saran bagi guru untuk mengembangkan kreativitas anak seperti berikut:
a. Provide for variety in instructional materials and forms of student Exprssion
b. Develop favorable attitudes toward creative achievement
c. Encourage continuing creative expression
d. Foster productivity
e. Provide assistance and feedbac

Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, khususnya untuk mengembangkan kreativitas siswa, saran Horrocks tersebut sangatlah tepat. Materi pengajaran yang bervariasi hendakya senantiasa disediakan oleh guru. Dalam hal ini guru hendaknya tidak terpaku pada materi yang ada pada Satuan Pelajaran yang telah ada, namun berusaha menambah materi pelajaran dari berbagai sumber. Selain itu, dalam mata pelajaran yang diajarkannya, guru perlu memberi tugas yang bervariasi pula agar siswa dapat menunjukkan kreativitasnya.

Dari saran Horrocks di atas jelas bahwa guru perlu mengembangkan sikap yang mendukung kreativitas, misalnya guru tidak perlu tergesa-gesa memberikan penilaian terhadap ide/gagasan, maupun bentuk lain sebagai hasil kreativitas siswa.

Sementara itu, guru juga diharapkan selalu mendorong munculnya gagasan-gagasan kreatif siswa sehingga dapat menghasilkan produk kreatif. Adapun tugas lain yang dapat dilakukan oleh guru dalam upaya mengembangkan kreativitas adalah membimbing siswa, baik diminta maupun tidak, dan memberikan umpan balik terhadap apa yang dilakukan oleh siswa. Dalam hal ini guru dapat bertindak sebaai nara sumber bagi siswa.

d. Hakekat Mengajar

Mengajar merupakan proses yang komplek, tidak sekedar menyampaikan informasi dari guru kepada siswa, banyak kegiatan maupun tindakan yang harus dilakukan, terutama bila diinginkan hasil belajar yang lebih baik pada siswa. Karena itu banyak terdapat aneka ragam pengertian mengajar, antara lain. Menurut M. Ali mengartikan, “mengajar adalah segala upaya yang disengaja dalam rangka member kemungkinan bagi siswa untuk terjadinya proses belajar sesuai dengan tujuan yang dirumuskan” ).

O. Screeuder (dalam Roestiyah) “mengajar adalah kegiatan yang dilakukan guru dengan memakani bahan pelajaran sebagai medium untuk membawa anak-anak dalam pembentukkan pribadi termasuk kegiatan pembentukkan kejasmanian” ). Mengajar merupakan satu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moral yang cukup berat. Berhasilnya pendidikan pada siswa sangat bergantung pada pertanggung jawaban guru dalam melaksanakan tugasnya.

Mengajar merupakan suatu perbuatan atau pekerjaan yang bersifat unik tetapi sederhana. Dikatakan unik karena hal itu berkenaan dengan manusia yang belajar yakni siswa, dan yang mengajar, yakni guru, dan berkaitan erat dengan manusia di dalam masyarakat yang semuanya menunjukkan keunikkan. Dikatakan sederhana karena mengajar dilaksanakan dalam keadaan praktis dalam kehidupan sehari-hari, mudah dihayati oleh siapa saja.

Mengajar pada prinsipnya membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar atau mengandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan proses belajar mengajar ).

Dari beberapa defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa mengajar merupakan suatu proses, upaya, kegiatan, perbuatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh seorang guru kepada siswa yang bertujuan untuk mencapai rumusan yang telah ditentukan yang membutuhkan tanggung jawab moral yang cukup berat, namun mengajar merupakan suatu pekerjaan yang unik dan sederhana.

e. Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan menyenangkan

Pekerjaan menjadi seorang guru adalah pekerjaan professional. Agar pendidikan berhasil dengan baik maka perlu ada sebuah standar tentang guru yang dikenal dengan standar kompetensi guru. Standar ini meliputi empat komponen yang satu dengan lainnya saling melengkapi dan terkait erat, komponen-komponen itu adalah:
a. pengelolaan pembelajaran;
b. pengembangan potensi;
c. penguasaan akademik;
d. sikap kepribadian.

Secara keseluruhan standar kompetensi guru terdiri dari tujuh kompetensi, yaitu:
a. penyusunan rencana pembelajaran;
b. pelaksanaan interak belajar mengajar;
c. penilaian prestasi belajar peserta didik;
d. pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar peserta didik;
e. pengembangan profesi;
f. pemahaman wawasan pendidikan;
g. penguasaan bahan kajian akademik (Direktor Tenaga Kependidikan Depdiknas, 2003).

Untuk menciptakan pembelajaran kreatif dan menyenangkan seorang guru haruslah mempunyai kompetensi professional. Kompetensi professional yang cukup kompleks, sebagai integrasi dari berbagai kompetensi guru secara utuh dan menyeluruh. Turney (1973) mengungkapkan 8 (delapan) keterampilan mengajar yang sangat berperan dan menentukan kualitas pembelaran, yaitu keterampilan bertanya (questioning skilisme), mberikan penguatan (reinforcement skilisme), mengadakan variasi (variation skilisme), menjelaskan (explaining skilisme), membuka dan menutup pelajaran (set induction and closer), membimbing diskusi kelompok kecil, mengelola kelas dan mengajar kelompok keci dan perorangan.

Moh. Uzer Usman secara rinci menjelaskan secara detil keterampilan mengajar tersebut dapat sebagai berikut:

1. Keterampilan Bertanya

Dalam proses belajar-mengajar, bertanya memainkan peranan penting sebab pertanyaan yang tersusun dengan baik dan teknik pelontaran yang tepat pula akan memberikan dampak positif terhadap siswa, yaitu
- Meningkatkan partisipasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar,
- Membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap suatu masalah yang sedang dihadapi atau dibicarakan,
- Mengembangkan pola dan cara belajar aktif dari siswa sebab berpikir itu sesungguhnya bertanya,
- Menuntun proses berpikir siswa sebab pertanyaan yang baik akan membantu siswa agar dapat menentukan jawaban yang baik,
- Memusatkan perhatian siswa terhadap masalah yang sedang dibahas.

2. Keterampilan Memberi Penguatan

Penguatan (reinforcement) adalah segala bentuk proses, apakah bersifat verbal ataupun nonverbal, yang merupakan bagian dari modifikasi tingkah laku guru terhadap tingkah laku siswa, yang bertujuan untuk memberikan informasi atau umpan baik (feedback) bagi si penerima (siswa) atas perbuatanya sebagai suatu tindak dorongan ataupun koreksi. Atau, penguatan adalah respon terhadap suatu tingkah laku yang dapat meningkatkan kemungkinan berulangnya kembali tingkah laku tersebut. Tindakan tersebut di maksudkan untuk mengajar atau membesarkan hati siswa agar mereka lebih giat berpartisipasi dalam interaksi belajar mengajar.

3. Keterampilan mengadakan variasi.

Variasi stimulus adalah suatu kegiatan guru dalam konteks proses interaksi belajar- mengajar yang di tunjukan untuk mengatasi kebosanan murid sehingga, dalam situasi belajar mengajar, murid senantiasa menunjukan ketekunan, antusiasme, serta penuh partisipasi. Untuk itu anda sebagai calon guru perlu melatih diri agar menguasai keterampilan tersebut. Keterampilan ini memiliki tujuan dan manfaat untuk menimbulkan dan meningkatkan perhatian sisawa kepada aspek-aspek belajar-mengajar yang relevan, untuk memberikan kesempatan bagi berkembangnya bakat ingin mengetahui dan menyelidiki pada siswa tentang hal-hal yang baru, untuk memupuk tingkah laku yang positif terhadap guru dan sekolah dengan berbagai cara mengajar yang lebih hidup dan lingkungan belajar yang lebih baik, untuk memberi kesempatan kepada siswa untuk memperoleh cara menerima pelajaran yang disenanginya.

4. Keterampilan menjelaskan.

Yang dimaksud dengan keterampilan menjelaskan dalam pengajaran ialah penyajian informasi secara lisan yang diorganisasi secara sistematik untuk mewujudkan adanya hubungan yang satu dengan yang lainnya, misalnya antara sebab dan akibat, didefenisi dengan contoh atau dengan sesuatu yang belum diketahui. Penyimpanan informasi yang terencana dengan baik dan di sajikan dengan urutan yang cocok merupakan ciri utama kegiatan menjelaskan.

Pemberian penjelasan merupakan salah satu aspek yang amat penting dari kegiatan guru dalam intertaksinya dengan siswa di dalam kelas. Dan biasanya guru cenderung lebih mendominasi pembicaraan dan mempunyai pengaruh langsung, misalnya dalam memberikan fakta, ide, ataupun pendapat. Oleh sebab itu, hal ini harus dibenahi untuk di tingkatkan keefektifannya agar tercapai hasil yang optimal dari penjelasan dan pembicaraan guru tersebut sehingga bermakna bagi murid.

Tujuan Memberikan Penjelasan yaitu untuk membimbing murid untuk mendapat dan memahami hukum, dalil, fakta, defenisi, dan prinsip secara objektif dan benar, untuk melibatkan murid untuk berfikir dengan memecahkan masalah-masalah atau pertanyaan, untuk mendapat balikan dari murid mengenai tingkat pemahamannya dan untuk mengatasi kesalahpahaman mereka, untuk membimbing murid untuk menghayati dan mendapat proses penalaran dan menggunakan bukti-bukti dalam pemecahan masalah.

5. Keterampilan membuka dan menutup pelajaran.

Yang dimaksud dengan set induction ialah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar untuk menciptakan prokondisi bagi murid agar mental maupun perhatian terpusat pada apa yang akan dipelajarinya sehingga usaha tersebut akan memberikan efek yang positif terhadap kegiatan belajar. Dengan kata lain, kegiatan yang di lakukan oleh guru untuk menciptakan suasana siap mental dan menimbulkan perhatian siswa agar terpusat pada hal-hal yang akan dipelajarinya.

Kegiatan membuka pelajaran tidak hanya di lakukan oleh guru pada awal jam pelajaran, tetapi juga pada awal setiap penggalan kegiatan inti pelajaran yang diberikan selama jam pelajaran itu. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mengemukakan tujuan yang akan dicapai, menarik perhatian siswa, memberi acuan, dan membuat kaitan antara materi pelajaran yang telah dikuasai oleh siswa dengan bahasa yang akan di pelajarinya.

6. Keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil.

Diskusi kelompok adalah suatu proses yang teratur yang melibatkan sekelompok orang dalam iteraksi tatap muka yang informal dengan berbagai pengalaman atau informasi, pengambilan kesimpulan, atau pemecahan masalah. Pengertian diskusi kelompok dalam kegiatan belajar mengajar tidak jauh berbeda dengan pengertian di atas. Siswa berdiskusi dalam kelompok-kelompok kecil di bawah pimpinan guru untuk berbagai informasi, pemecahan masalah, atau pengambilan keputusan.

Diskusi tersebut berlangsung dalam suasana terbuka. Setiap siswa bebas mengemukakan ide-idenya tanpa merasa ada tekanan dari teman atau gurunya, dan setiap siswa harus menaati peraturan yang di tetapkan sebelumnya. Diskusi kelompok merupakan suatu kegiatan yang harus ada dalam proses belajar-mengajar. Akan tetapi, tidak setiap guru dan calon guru mampu membimbing para siswanya untuk berdiskusi tanpa mengalami latihan. Oleh karena itu, keterampilan ini perlu diperhatikan agar para guru mampu melaksanakan tugas ini dengan baik.

7. Keterampilan mengelola kelas.

Pengelolaan kelas adalah keterampilan guru untuk menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal dan mengembalikanya bila terjadi dalam proses belajar-mengajar.dengan kata lain kegiatan-kegiatan untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar-mengajar.

Yang termasuk kedalam hal ini misalnya menghentikan tingkah laku siswa yang menyelewengkan perhatian kelas, pemberian ganjaran bagi ketepatan waktu penyelesaian tugas oleh siswa, atau penetapan norma kelompok yang produktif. Suatu kondisi belajar yang optimal dapat jika guru mampu mengatur siswa dan sarana pengajaran serta mengendalikanya dalam suasana yang memyenangkan untuk mencapai tujuan pengajaran, juga hubungan interpersonal yang baik antara guru dengan siswa merupakan syarat keberhasilan pengelolaan kelas. Pengelolaan kelas yang efektif merupakan prasyarat mutlak bagi terjadianya proses belajar-mengajar yang efektif.

8. Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perseorangan.

Pengajaran kelompok kecil dan perseorangan memungkinkan guru memberikan pengertian terhadap setiap siswa serta terjadinya hubungan yang lebih akrab antara guru dan siswa maupun antara siswa dengan siswa. Adakalanya siswa lebih mudah belajar dari temanya sendiri, adapula siswa yang lebih mudah belajar karena harus mengajari atau melatih temannya sendiri. Dalam hal ini pengajaran kelompok kecil dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Pengajaran ini memungkinkan siswa belajar lebih aktif, memberikan rasa tanggung jawab yang lebih besar, berkambangnya daya pelatih dan sifat kepemimpinan pada siswa serta dapat memenuhi kebutuhan siswa secara optimal.

Akhinya dapat disimpulkan bahwa kombinasi pengajaran klasikal, kelompok kecil, dan perseorangan memberikan peluang yang besar bagi tercapainya tujuan pengajaran. Dengan demikian, penguasaan keterampilan mengajar kelompok kecil dan perseorangan merupakan satu kebutuhan yang sensial bagi setiap calon guru dan guru profesional.

2.2 Interaksi Guru

Sembilan dari sepuluh guru mengatakan bahwa mereka sering mengingat dan memperkirakan kegagalan siswa hanya dengan mengingat sikap siswa di masa lalunya, dan hasilnya sesuai dengan ramalan mereka. Apakah pandangan guru tersebut berpengaruhi terhadap prestasi dan citra diri siswa tersebut?

Dalam bekerja guru cenderung mengelompokan siswa dalam interaksi yang berbeda, mereka mengelompokan sebagai "golongan siswa berkemampuan tinggi" yang mereka anggap sebagai siwa yang cerdas, patuh, tertib, rajin, rapi dan sebagainya. Interaksi kedua adalah "golongan siswa berkempuan rendah", mereka adalah yang termasuk siswa yang mempunyai nilai rendah, bandel, pemberontak, malas, dan sebagainya.

INTERAKSI GURU TERHADAP SISWA
Siswa Berkemampuan Tinggi Siswa Berkemampuan Rendah
Cenderung lebih murah senyum Cenderung berbicara lebih keras
Lebih banyak ngobrol Ngobrol seperlunya
Akrab Jarang senyum
Berbicara secara intelektual Berbicara lambat
Humoris Instruksional
Bertindak lebih matang Otoriter
Menggunakan kosa kata Menggunakan kalimat mentah
yang kompleks

Keyakinan guru akan potensi manusia dan kemampuan semua anak untuk belajar dan berprestasi merupakan hal yang penting diperhatikan. Aspek-aspek teladan mental guru sangat berpengaruh terhadap iklim belajar siswa. Siswa menangkap pandangan penilaian guru terhadap dirinya lebih cepat dan akurat dibandingkan menangkap pelajaran yang diterangkan oleh gurunya.

Saat siswa mendapatkan penilaian negatif dari gurunya, otak terasa terancam oleh tekanan-tekanan tersebut, kapasitas syaraf untuk berpikir rasional mengecil. Otak "dibajak" secara emosional menjadi mode bertempur atau kabur [Inilah yang disebut siswa sebagai pelajaran yang tidak sukai, membosankan, menakutkan dan sebagainya], akibatnya otak tidak dapat mencerna lebih baik, Higher Order Thinking Skills.

Fenomena ini sering disebut dengan downshifting yakni tanggapan psikologis yang dapat menghentikan proses belajar saat itu dan sesudahnya.
Untunglah otak juga dapat melakukan sebaliknya, dengan tekanan positif dan supportif, dikenal dengan eustress, otak dapat melibatkan secara emosioal dan memungkinkan kerja syaraf secara maksimal dalam proses belajar anak. Kuncinya adalah membangun ikatan emosional dengan menciptakan kesenangan belajar, menjalinkan hubungan antara guru dan siswa yang lebih akrab dan ramah dan menyingkirkan ancaman-ancaman yang dapat mempengaruhi suasana belajar.

Sedangkan menurut Suparman, S.Pd, pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk membelajarkan siswa. Banyak komponen-komponen mempengaruhi proses belajar mengajar diantaranya penggunaan media dan metode pembelajaran. Selain itu faktor interaksi antara guru dan siswa juga sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Untuk itu perlu diciptakan interaksi antara guru dan siswa yang kondusif.

Untuk menciptakan interaksi antara siswa dan guru dalam melakukan proses komunikasi yang harmonis sehingga tercapai suatu hasil yang diinginkan dapat dilakukan contact-hours atau jam-jam bertemu antara guru dan siswa, dimana guru dapat menanyai dan mengungkapkan keadaan siswa dan sebaliknya siswa mengajukan persoalan-persoalan dan hambatan-hambatan yang dihadapinya.

Adapun interaksi pembelajaran yang dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Interaksi satu arah, dimana guru bertindak sebagai penyampai pesan dan siswa penerima pesan.
2. Interaksi dua arah antara siswa dan guru dimana guru memperoleh balikan dari siswa.
3. Interaksi dua arah antara guru dan siswa dimana guru mendapat balikan dari siswa selain itu saling berinteraksi atau saling belajar satu dengan yang lainnya.
4. Interaksi optimal antara guru, siswa dan antara siswa-siswa.

2.2.1 Guru-Anak Didik sebagai Dwitunggal

Guru dan anak didik adalah dua sosok manusia yang tidak dapat dipisahkan dari dunia pendidikan. Figur guru yang mulia adalah sosok guru yang dengan rela hati menyisihkan waktunya demi kepentingan anak didik, demi membimbing anak didik, mendengarkan keluhan anak didik, menasehati anak didik, membantu kesulitan anak didik dalam segala hal yang bias menghambat aktivitas belajarnya. Guru dan anak didik adalah sebagai dwitunggal.

2.2.2 Guru Sebagai Mitra Anak Didik

Di sekolah, guru adalah orang tua kedua bagi anak didik. Tugas dan tanggung jawab guru adalah meluruskan tingkah laku dan perbuatan anak didik yang kurang baik, yang dibawahnya dari lingkungan keluarga dan masyarakat.

Kegiatan proses belajar mengajar tidak lain adalah menanamkan sejumlah norma ke dalam jiwa anak didik. Guru dan anak didik berada dalam suatu relasi kejiwaan. Interaksi antara guru dan anak didik terjadi karena saling membutuhkan. Anak didik ingin belajar dengan menimba sejumlah ilmu dari guru dan guru ingin menimba dan membimbing anak didik dengan memberikan sejumlah ilmu kepada anak didik yang membutuhkan.

2.2.3 Pendekatan yang Diharapkan dari Guru

Dalam interaksi edukatif, guru berusaha menjadi pembimbing yang baik dengan peranan yang arif dan bijaksana, sehingga tercipta hubungan dua arah yang harmonis antara guru dan anak didik.

a. Pendekatan Individual

Pengelolaan kelas sangat memerlukan pendekatan individual karena perbedaan individual anak didik tersebut memberikan wawasan kepada guru, bahwa strategi pengajaran harus memperhatikan perbedaan anak didik pada aspek individual. Persoalan kesulitan belajar anak didik lebih mudah dipecahkan dengan menggunakan pendekatan individual, walaupun suatu saat pendekatan kelompok diperlukan.

b. Pendekatan Kelompok

Pendekatan kelompok memang suatu waktu diperlukan untuk membina dan mengembangkan sikap sosial anak didik. Pendekatan kelompok diharapkan dapat ditimbulkan dan dikembangkan rasa sosial yang tinggi pada diri setiap anak didik. Mereka dibina untuk mengendaliakn rasa egoisme dalam diri mereka masing-masing, sehingga terbina sikap kesetiakawanan sosial di kelas. Anak didik yang dibiasakan hidup bersama, bekerja sama dalam kelompok akan menyadari bahwa dirinya ada kekurangan dan kelebihan.

c. Pendekatan bervariasi

Dalam mengajar biasanya guru hanya menggunakan satu metode, sehingga sukar untuk menciptakan suasana yang kondusif. Jadi jika terjadi perubahan sulit dinormalkan kembali. Permasalahan yang dicapai oleh setiap anak didik biasanya bervariasi, maka pendekatan yang digunakan pun akan lebih tepat dengan pendekatan bervariasi pula.
Pendekatan bervariasi bertolak dari konsepsi bahwa permasalahan yang dihadapi oleh setiap anak didik dalam belajar bermacam-macam. Kasus ini biasanya dengan berbagai motif, sehingga pendekatan bervariasi ini sebagai alat yang dapat guru gunakan untuk kepentingan pengajaran.

d. Pendekatan Edukatif

Pendekatan yang benar bagi seorang guru adalah dengan melakukan pendekatan edukatif. Setiap tindakan, sikap, dan perbuatan yang guru lakukan harus bernilai pendidikan, dengan tujuan untuk mendidik anak didik agar menghargai norma hukum, norma susila, norma moral, norma sosial, dan norma agama.

Dalam pendidikan Islam, pada dasarnya, pendidikan berintikan interaksi antara guru dan siswa. Guru merupakan komponen utama dalam pendidikan karena tanpa guru pendidikan mustahil berlangsung. Begitu pentingnya guru dalam pendidikan sehingga perlu guru profesional. Guru yang profesional selain mampu menguasai materi peiajaran dan teknik mengajar juga harus memiliki moral atau akhlak yang baik. Pentingnya moral dan kode etik dalam interaksi dengan para siswa tersehut didasarkan pada tujuan pendidikan yang menurut Al-Qur’an adalah membina manusia seutuhnya (Insan Kamil).

Dewasa ini, pola interaksi guru dan siswa jauh dan nilai-nilai Islam. Banyak guru yang hanya mengajar tanpa mendidik untuk mengejar keuntungan materi sehingga pola interaksi guru dan siswa bernuansa bisnis materiafistis. Pola ini menjadikan siswa kurang menghormati guru karena kurangnya nilai-nilai agama yang ditanamkan oleh guru yang akan menyebabkan krisis akhlak dikalangan para siswa.

Oleh karena itu, perlu saatnya diterapkan pola interaksi guru dan siswa yang Islami. Masalah yang muncul adalah, pertama, bagaimana pola sikap guru terhadap siswa dalam interaksi pendidikan pada pendidikan Islam? Kedua, bagaimana pola sikap siswa terhadap guru dalam interaksi pendidikan pada pendidikan Islam? Ketiga, bagairnana pola komunikasi guru dan siswa dalam interaksi pendidikan pada pendidikan Islam?

Tujuan penelitian ini adalah, pertama, mengetahui pola sikap guru terhadap siswa dalam interaksi pendidikan pada pendidikan Islam. Kedua, rnengetahui pola sikap siswa terhadap guru dalarn interaksi pendidikan pada pendidikan Islam. Ketiga, mengetahui pola komunikasi guru dan siswa dalam interaksi pendidikan pada pendidikan Islam.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian analisis isi (Content Analysis) terhadap berbagai sumber data yang dikumpulkan melalui teknik studi pustaka atau dokumenter untuk memperoleh kesimpulan-kesimpulan dan teori-teori.Setelah dilakukan penelitian dan pembahasan, hasilnya adalah pertama, pola sikap guru terhadap siswa dalam interaksi pendidikan pada pendidikan Islam berdasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam.

Ada beberapa pola interaksi pendidikan yaitu pola keikhlasan, pola kekeluargaan, pola kesederajatan, pola uswah al-hasanah dan pola kebebasan. Kedua, pola sikap siswa terhadap guru dalani inleraksi pendidikan pada pendidikan Islam berdasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam.

Ada beberapa pola ineteraksi pendidikan yaitu pola ketaatan, pola kasih sayang dan pola kritis. Ketiga, pola komunikasi guru dan siswa dalam interaksi pendidikan pada pendidikan Islam terbagi menjadi dua yaitu pola komunikasi sebagai aksi atau komunikasi satu arah dalam pendidikan dan komunikasi sebagai interaksi atau komunikasi banyak arah dalam interaksi pendidikan.

Studi-studi menunjukkan bahwa siswa lebih banyak belajar jika pelajarannya memuaskan, menantang, hubungan yang ramah antara guru dan siswa, dan mempunyai kesempatan yang sama untuk membuat keputusan. Bila demikian siswa pun akan tertarik melakukan hal-hal secara sukarela yang berhubungan dengan bahan pelajaran. Disamping itu, ikatan emosi juga mempengaruhi memori dan ingatan mereka akan bahan-bahan yang dipelajari. Seperti yang dikatakan oleh ilmuwan syaraf otak Joseph LeDoux; ... perangsangan amigdala agaknya lebih kuat mematrikan kejadian dengan perangsangan emosional dalam memori.... Semakin kuat rangsangan amigdala, semakin kuat pula pematrikan dalam memori (Joseph LeDoux, 1994, Emotion, Memory and the Brain)

Seorang guru haruslah berusaha untuk mengubah pandangan terhadap siswa, tidak ada siswa yang dapat dikategorikan dalam stage tertentu sebagai siswa cerdas atau tidak cerdas, semua siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk berprestasi, mengubah cara pandang dengan membayangkan angka sempurna pada setiap kepala siswa seolah-olah mereka adalah semua murid top generasi Einstein-Einstein baru yang akan dipoles dan memperhatikan perbedaan yang terjadi.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Setelah mengkaji hubungan antara kreativitas dan interaksi guru pada siswa di bagian kajian teoritik di atas, maka dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang baru. Hasil karya atau ide-ide baru itu sebelumnya tidak dikenal oleh pembuatnya maupun orang lain. Kemampuan ini merupakan aktivitas imjinatif yang hasilnya merupakan pembentukan kombinasi dari informasi yang diperoleh dari pengalaman pengalaman sebelumnya menjadi hal yang baru, berarti dan bermanfaat
2. Guilford menemukan bahwa faktor penting yang merupakan ciri dari kemampuan berpikir kreatif adalah: kelancaran berpikir (fluency of thinking), keluwesan (flexibility), elaborasi (elaboration), dan keaslian (originility). Sedangkan indikator yang diperlukan adalah sebagai berikut: fleksibel, optimistik, respek, cekatan, humoris, inspiratif, lembut, disiplin, responsive, empatik, dan nge-fren.
3. Treffinger yang dikutip Conny Semiawan, dkk. yang memberikan empat alasan mengapa belajar kreatif itu penting, yakni, (1) belajar kreatif membantu anak menjadi lebih berhasil guna jika kita tidak bersama mereka; (2) belajar kreatif menciptakan kemungkinan-kemungkinan untuk memecahkan masalah yang tidak mampu kita ramalkan, yang timbul dimasa depan; (3) belajar kreatif dapat menimbulkan akibat yang besar dalam kehidupan kita; dan (4) belajar kreatif dapat menimbulkan kepuasan dan kesenangan yang besar
4. Munandar (1987) memberikan saran agar guru dapat mengajar secara kreatif. Saran-saran tersebut adalah sebagai berikut: guru menghargai kreativitas siswa, guru bersikap terbuka terhadap gagasan-gagasan baru, guru mengakui dan menghargai adanya perbedaan individual, guru bersikap menerima dan menunjang anak, guru menyediakan pengalaman mengajar yang berdiferensisasi, guru cukup memberikan struktur dalam mengajar sehingga anak tidak merasa ragu-ragu tetapi di lain pihak cukup luwes sehingga tidak menghamabat pemikiran, sikap dan perilaku kreatif anak, setiap anak ikut mengambil bagian dalam merencanakan pekerjaan sendiri dan pekerjaan kelompok, guru tidak bersikap sebagai tokoh yang “maha mengetahui” tetapi menyadari keterbatasannya sendiri.
5. Suparman, S.Pd, mengemukakan sejumlah interaksi pembelajaran yang dapat dilakukan sebagai berikut: (a) interaksi satu arah, dimana guru bertindak sebagai penyampai pesan dan siswa penerima pesan; (b) interaksi dua arah antara siswa dan guru dimana guru memperoleh balikan dari siswa; (c) interaksi dua arah antara guru dan siswa dimana guru mendapat balikan dari siswa selain itu saling berinteraksi atau saling belajar satu dengan yang lainnya; (d) interaksi optimal antara guru, siswa dan antara siswa-siswa.
6. Interaksi dari seorang guru dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, di antaranya adalah pendekatan individual, pendekatan kelompok, pendekatan bervariasi, dan pendekatan edukatif.

2.2 Saran

Sebagai akhir dari kajian karya ilmiah ini, penulis mengemukakan sejumlah saran kepada pembaca karya ilmiah ini yang kiranya akan menjadi suatu pandangan bagi para calon guru sebelum memasuki dunia kependidikan. Adapun saran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bagi seorang guru, kreativitas sangatlah dibutuhkan sebab dengan kreativitasnya seorang guru dalam memberikan pembelajaran kepada siswa maka secara langsung akan memberikan dorongan kepada siswa untuk kreatif pula.
2. Kreatifnya seorang guru tentunya akan memberikan sumbangan besar bagi para siswa untuk masa depannya dan ini berarti guru telah memberikan perubahan besar untuk masa depan, karena dengan kekreatifan itu akan sangat dibutuhkan ke masa depan.
3. Kreatifitas seorang guru tentunya bukan datang secara sendirinya kapada guru tetapi haruslah dilakukan sejumlah program oleh guru maka dibutuhkan guru yang akrab dengan lingkungan dan tidak merasa diri sebagai tokoh maha tahu.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, M, Guru dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru Algesindo 1987
Anshori, Fuad dan Rachmawati Diana Muchtaram, Mengembangkan Kreativitas dalam Perspektif Psikologi Islam, Yogyakarta: Menara Kudus 2002
Asfandiyah, Andi Yudha, Kenapa Guru Harus Kreatif? Bandung: Mizan 2009
Iyus, 2009, Manajemen Berbasis Sekolah, (Online), (http://www,mbs-sd,org, diakses 17 Maret 2011)
Kertasutedja, Connie, Konsep Mengajar Secara Kreatif, Bandung: PT Remaja Rosda Karya 1998
Kunandar, Guru Professional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, Jakarta: Grafindo 2007
Lindgren, Pengaplikasian Konsep Belajar Kreatif (Alih Bahasa: Mansyur Said, 1997), Yogjakarta: UGM Press 1997
Mulyasa, E,, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT Remaja Rosdakanrya 2006
Munandar, SC, Utami, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Jakarta: PT Gramedia Widya Indonesia 1999
N,K,, Roestiyah, Didaktik Metodik, Jakarta: Bumi Aksara 1989
Pardamean, Toto, 2009, Profesionalitas Guru Perlu Daya Kreativitas, (Online), (http://www,ipsmantm,co,cc, diakses 17 Maret 2011)
Putri, Femmy Eka Kartini, Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kreatifitas Siswa SMU Negeri 70 di Jakarta (Menggunakan Pendekatan Pribadi, Proses, Pendorong Dan Produk Kreatif Dengan Analisis Model Persamaan Struktura), Depok: UI 1998, Thesis (tidak diterbitkan), h, 33 (Online) (
Setiawan, Conny, dkk, Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah, Jakarta: PT Gramedia 1990
Sudrajat, Achmad, Guru Kreatif Siswa Kreatif, Jakarta: PT Gramedia 2000
Usman, Moh, Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT Remaja Rosda Karya 2006