Sabtu, 14 Juni 2014

LAPORAN MEMBACA BUKU

JUDUL BUKU                   :     MEMBACA SASTRA (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi)
PENYUSUN                          :     MELANI BUDIANTA
                                                      IDA SUNDARI HUSEN
                                                      MANEKKE BUDIMAN
                                                      IBNU WAHYUDI
PENYUNTING                      :     MANEKKE BUDIMAN
                                                      IBNU WAHYUDI
                                                      I MADE SUPARTA
PENYELIA AKHIR              :     GUNAWAN BUDI SUSILO
                                                      KHOTIMATUL HASNA
PERANCANG SAMPUL     :     W. IDA LAZARTI
PERWAJAHAN                    :     SAKA WEDA
PENERBIT                             :     INDONESIA TERA
CETAKAN                             :     KEDUA, SEPTEMBER 2003
TEBAL                                   :     x + 256 halaman; 21 cm
ISBN                                       :     979-9375-84-3



SASTRA
(Disusun: Melanti Budianta)

Sastra Itu Apa?
Pengantar
“Sastra itu apa?” Pertanyaan tersebut akan berusaha mendorong untuk lebih tahu tentang objek yang dibicarakan. Dengan pertanyaan itu pyla, kita diharapkan mampu melakukan suatu proses penjelajahan yang meningkatkan bukan saja kepekaan  dan pemahaman tentang karya sastra, tetapi juga rasa sayang setelah mengenal “apa itu sastra”. Dengan demikian, yang penting di sini bukanlah suatu kesimpulan yang jelas dan baku, atau suatu deretan hafalan, tetapi suatu pengalaman menikmati karya sastra itu sendiri.

Konsep dan Definisi
Beberapa kritikus  mengajukan beberapa batasan yang berbeda-beda tentang sastra, Danziger dan Jhonson (1961) melihat sastra sebagai suatu “seni bahasa”, yakni cabang seni  yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. (Dalam hal ini bisa dibandingkan dengan seni music, yang mengolah bunyi; seni tari mengubah seni gerak dan seni rupa mengolah bentuk dan warna). Daiches (1964) mengacu pada Aristoteles yang melihat sastra sebagai  suatu karya yang “menyampaikan suatu jenis pengetahuan yang tidak bisa disampaikan  dengan cara yang lain”, yakni suatu cara yang memberikan kenikmatan yang unik dan pengetahuan yang memperkaya wawasan pembacanya.

Sastra: Antara Konvensi dan Inovasi
Pengantar
Sastra selalu berubah dari zaman ke zaman karena sastrawan secara kreatif selalu mengubah batasan-batasan yang sudah diterima dalam masyarakat. Dinamika sastra juga berkaitan dengan pengembangan masyarakat dan terkait dengan konteks budaya.

Konsep dan Definisi
Konvensi atau aturan merupakan suatu kesepakatan yang sudah di terima banyak orang dan sudah menjadi tradisi. Artinya, kebiasaan itu dilakukan orang secara terus menerus dari waktu ke waktu. Sastra berkaitan dengan konvensi semacam itu. Artinya, apabila Anda mau menulis sebuah puisi, Anda harus tau bagaimana menuliskannya.
Sastra selalu berubah dari zaman ke zaman. Pada zaman dahulu orang Melayu mengenal pantun. Pada zaman modern, pantun masih banyak dipakai orang, namun selain pantun, ada sajak dengan bentuk-bentuk lain yang lebih bebas dan bervariasi. Perubahan itu terjadi karena sastrawan yang kreatif selalu mencari hal-hal yang baru yang mengubah konvensi atau aturan yang ada. Aturan dan konvensi bukan hanya berubah dari zaman ke zaman, tetapi juga berkaitan dengan konteks budaya pada masanya.
Secara umum, konvensi yang paling dasar adalah penggolongan jenis-jenis teks sastra menjadi tiga, yakni genre prosa, puisi, dan drama. Masing-masing genre masih bisa dibagi lagi menjadi sub-sub genre lagi. Tetapi sekali lagi, konvensi yang berlaku di suatu masyarakat tertentu pada waktu tertentu menentukan klasifikasi yang seperti ini.

Fungsi Sastra
Pengantar
Salah satu fungsi sastra adalah untuk menghibur dan azas manfaat lainnya.

Konsep dan Definisi
Seorang pemikir Romawi, Horatius, mengemukakan istilah deluce enutile, dalam tulisannya yang berjudul Ars Poetica. Artinya, sastra mempunyai fungsi ganda, yakni menghibur sekaligus bermanfaat bagi pembacanya.
Sastra menghibur dengan menyajikan keindahan, memberikan makna terhadap kehidupan (kematian, kesengsaraan, maupun kegembiraan), atau memberikan pelepasan ke dunia imajinasi.
Bagi nbanyak orang, misalnya karya sastra menjadi sarana untuk menyampaikan pesan kebenaran, tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Ada pesan yang sangat jelas di sampaikan, ada pula yang bersifat tersirat secara halus. Karya sastra juga dapat dipakai untuk menggambarkan apa yang ditangkap sang pengarang tentang kehidupan di sekitarnya. Gagasan-gagasan yang muncul ketika menggambarkan karya sastra itu dapat membentuk pandangan orang tentang kehidupan itu sendiri.
Kemampuan sastra dalam menyampaikan pesan dapat menempatkan sastra menjadi sarana kritik sosial. Kegunaan sastra dalam kehidupan sehari-hari dapat pula kita lihat dari penggunaan puisi sebagai alat menyatakan perasaan. Di sini sastra merupakan media komunikasi yang melibatkan tiga komponen, yakni pengarang sebagai pengirim pesan, karya sastra sebagai pesan, dan penerima pesan yakni pembaca.
Perlu juga diperhatikan bahwa fungsi sastra berubah dari zaman ke zaman, sesuai dengan kondisi dan kepentingan masyarakat.

Produksi dan Reproduksi Sastra
Pengantar
Komponen-komponen dalam proses produksi dan reproduksi karya sastra tersebut mencakup pengarang, karya sastra, pembaca, penerbit, kritikus, pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan, dan komunitas sastra.

Konsep dan Definisi
Karya sastra tidak diciptakan dalam sesuatu yang hampa, melainkan dari satu konteks budaya dan masyarakat tertentu. Proses penciptaan (produksi karya sastra) serta penyebaran dan penggandaannya (reproduksi) sastra melibatkan berbagai macam pihak. Yang pertama adalah pencipta karya sastra, yakni pengarang yang berdasarkan kreativitas, imajinasi, dan kerjanya menulis atau menciptakan suatu karya sastra. Pada zaman dahulu karya sastra hanya berbentuk manuskrip yang aslinya ditulis langsung oleh pengarang.
Penerbit merupakan salah satu lembaga dalam hal produksi dan reproduksi karya sastra di zaman sekarang. Selain itu ada lembaga-lembaga lain seperti komunitas sastra, lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga yang mengayomi kegiatan sastra, di samping itu ada pula kritikus sastra.
Semua pihak yang terkait sangat menentukan  perkembangan kesusastraan di tempat tertentu dan pada zaman tertentu.. pihak-pihak tersebut dapat juga menghambat perkembangan sastra tadi dengan menyensor dan mengekang karya sastra yang kurang baik dan tidak sesuai dengan norma dan nilai yang di anut masyarakat tertentu.

PUISI
(Oleh: Manekke Budiman)

Puisi Itu Apa?
Pengantar
Mengenali contoh-contoh ekspresi puitis dalam kehidupan sehari-hari.

Konsep dan Definisi
Kehidupan sehari-hari kaya dengan berbagai ekspresi puitis yang tidak secara langsung berkaitan dengan kegiatan berpuisi atau bersastra. Kehidupan manusia sehari-hari tidak lagi dapat dilepaskan dari kesusastraan, meskipun kegiatan “bersastra” tersebut dilakukan tanpa sadar, dan sekalipun kesusastraan itu sendiri tidak mendapat tempat dalam kehidupan masa kini yang didominasi oleh materialisme dan konsumenisme

Unsur-Unsur Pembangun Puisi
Pengantar
Mengenali dan memahami kekhasan puisi dari segi bentuk, bunyi, citraan, dan bandingan.

Konsep dan Definisi
Dari zaman ke zaman ada berbagai pandangan tentang pengertian puisi. Barangkali pandangan yang paling memberikan tekanan pada unsur bahasa dalam sebuah puisi adalah yang berasal dari ahli-ahli linguistik modern yang meminati sastra, yang mengemukakan bahwa puisi menjadi khas karena sebagai teks iam menarik perhatian pembaca kepada teks tersebut, bukan pada pengarangnya, atau kenyataan yang diacunya, atau pembacanya.
Horaitus, seorang kritikus Romawi, mensyaratkan dua hal bagi puisi, yaitu puisi harus indah dan menghibur (dulce), namun pada saat yang sama puisi juga harus berguna dan mengajarkan sesuatu (utile). William Wordsworth, penyair romantik Inggris memahami puisi sebagai luapan spontan dari perasaan-perasaan yang kuat – a spontaneous overflow of powerful feelings. Roman Jacobson, seorang ahli linguistik dari Prancis, menekankan pada fungsi puitik (poetic function) teks yakni sebuah fungsi yang mengarahkan segenap upaya dan perhatian pada unsur-unsur teks itu sendiri.
Secara konvensional, puisi biasanya menggunakan beberapa atau salah satu unsur secara dominan untuk membangun makna yang sering dikenal sebagai gaya bahasa, seperti metafora, simile, personifikasi, metonimi, serta kita kenal pula rima dan gaya repetisi. Hal tersebutlah yang sering kita temui dalam sebuah puisi.
Patut dicatat bahwa konvensi puisi selalu berubah dari masa ke masa di berbagai tempat yang berbeda. Tidak jarang sebuah teks diterima begitu saja sebagai puisi hanya karena penulisnya adalah seorang penyair, atau karena teks tersebut memiliki unsur-unsur puitik. Namun, seperti dikatakan Wellek dan Warren, fungsi puisi pada akhirnya adalah setia pada dirinya sendiri (fidelity to its own nature). Dengan kata lain, kita tahu bahwa kita sedang menghadapi sebuah puisi ketika yang menjadi acuannya adalah teks itu sendiri, dan bukan pengarangnya, atau pembacanya, atau masyarakat dan zamannya.

Aneka Ragam Puisi
Pengantar
Mengenali keragaman jenis puisi dari berbagai zaman dan bentuk.

Konsep dan Definisi
Banyak yang meyakini bahwa bentuk “puisi” tertua adalah mantra, yang merupakan bagian penting ritual-ritual masa lampau. Dalam mantra bunyi lebih penting dari makna.

Segi Ungkapan
Ada beberapa cara untuk menggolongkan ragam-ragam puisi. Dari segi ungkapan, puisi dapat dikategorikan dalam lirik dan epik. Puisi lirik banyak mengekplorasi subjektivitas dan individualitas aku lirik dalam sajak. Biasanya, puisi lirik lebih mengutamakan suasana daripada tema, dan makna kerap perlu dipahami dalam kaitan dengan suasana batin tentu yang hendak di bangun daripada dengan pesan-pesan moral.
Epik banyak menggunakan kisahan yang lebih bergaya prosaic sambil tetap mempertahankan unsur-unsur puitik yang umumnya terdapat dalam puisi, seperti rima, kesamaan jumlah ketukan, dan semacamnya. Oleh sebab itu epik juga kerap disebut dengan sajak naratif yang berisi petualangan atau perjalanan seorang pahlawan.

Segi Bentuk
Dari segi bentuk, secara garis besar dapat disebutkan adanya sajak-sajak yang bentuknya terikat seperti soneta, kwatrin, dan pantun serta sajak-sajak bebas. Adapula Puisi Konkret merupakan salah satu cirri puisi modern, yang menekankan pada efisiensi kata dan menghindari abstraksi. Di Indonesia, puisi jenis ini kerap dirancukan dengan puisi bebas yang dipelopori oleh sejumlah mahasiswa ITB.

Segi Isi
Dari segi isi, kita kenal sajak yang berisi puji-pujian yang kita kenal sebagai ode. Kita juga menganal sajak yang diguratkan pada batu nisan di makam seseorang yang disebut epitap yang berisi pesan atau ajaran moral yang dipetik dari pengalaman. Ada juga puisi yang berisi semacam duka cita atau rasa sesal yang disebut elegi.

PROSA
(Oleh: Ida Sundari Husen)

Prosa: Struktur Narasi
Pengantar
Mengenal struktur dan unsur-unsur narasi, perbedaan antara narasi (kisahan) lengkap dengan ringkasannya.

Konsep dan Definisi
Prosa narasi merupakan semua teks/karya rekaan yang tidak berbentuk dialog, yang isinya dapat merupakan kisah sejarah atau sederetan peristiwa. Ke dalam kelompok ini dapat dimasukkan roman/novel, cerita pendek, dongeng, catatan harian, (oto)biografi, anekdot, lelucon, roman dalam bentuk surat menyurat (epistoler), cerita fantastik maupun realistik.
Prosa bukanlah monopoli karya sastra, tetapi ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya warta berita, laporan dalam surat kabar atau lewat televise, berita acara, ataupun sas-sus (Luxemburg dkk., 1984).

Unsur-Unsur Prosa: Tokoh, Latar, Alur
Pengantar
Mengenali unsur-unsur prosa naratif (kiasan), seperti tokoh, latar tempat dan waktu, serta alur.

Konsep dan Definisi
Dalam suatu karya narasi ada unsur-unsur penting dan unsur-unsur kurang penting atau tidak penting. Unsur-unsur penting akan membangun cerita, sedangkan unsure-unsur yang tidak/kurang penting diperlukan sebagai unsure pendukung, ilustrasi, deskripsi atau sekadar untuk memperpanjang.
Menurut definisinya, tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1990). Selain tokoh, dalam narasi ada juga latar yakni segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Deskripsi latar dapat bersifat fisik, realistis, documenter, dapat pula berupa deskripsi perasaan. Latar adalah lingkungan yang dapat berfungsi sebagai metonomia, metafora, atau ekspresi tokohnya (Wallek dan Warren, 1989).
Namun, unsur yang juga sangat penting adalah lakuan atau peristiwa, yang membentuk kerangka cerita (alur utama). Rangkaian peristiwa direka dan dijalin dengan seksama dalam membentuk alur yang menggerakkan   jalannya cerita melalui rumitan kea rah klimaks dan selesaian (Sudjiman, 1990).

Struktur Penceritaan/Penuturan
Pengantar
Memahami aspek tuturan dan penuturan, terutama masalah teknik sudut pandang, dan bahwa peristiwa-peristiwa yang membentuk dunia fiksi tidak dikemukakan kepada kita sebagaimana adanya tetapi menurut sudut pandang tertentu atau akan dikemukakan dengan cara tertentu (Todrov, 1985).

Konsep dan Definisi
Dalam narasi, pencerita sering menyebut diri “aku” atau “saya” (pencerita akuan). Pencerita akuan adalah tokoh dalam ceritanya tetapi tidak selalu tokoh utama. Namun seringkali mengacu pada tokoh-tokoh dengan kata ganti orang ketiga, dia atau ia. Pencerita diaan berada di luar cerita (eksternal). Ia hanya menyampaikan suatu kisahan, tetapi tidak terlibat di dalamnya. Dalam menyampaikan kisahnya, pencerita selalu mengambil posisi dan bercerita menurut suatu sudut pandang (point of view, point of vue). Jika ia “berada” dalam cerita sebagai tokoh (pencerita akuan internal), pandangannya terbatas pada apa yang dapat diketahui oleh seorang tokoh. Namun, jika ia berada di luar (pencerita diaan, eksternal), pengarang dapat menjadi perngarang yang mahatahu yakni pencerita yang mengetahui maksud dan pikiran semua tokoh serta semua yang mereka lakukan. Semua tokoh dipandang dari dalam (fokalisasi intern).




DRAMA
(Oleh: Ibnu Wahyudi)

Hakikat Drama
Pengantar
Mengenal dan memahami salah satu genre sastra, yaitu drama, serta mampu mencirikan maupun membedakan drama dari genre sastra lainnya. Di samping itu juga mampu memahami teater, yang selama ini sering ditumpangtindihkan saja dengan istilah drama.

Konsep dan Definisi
Terlepas dari apakah karya drama itu dipentaskan atau hanya dibaca, pada intinya apa yang disebut dengan drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal adanya dialogue atau cakapan di antara tokoh-tokoh yang ada. Selain di dominasi oleh cakapan yang langsung itu, lazimnya sebuah karya drama juga memperlihatkan adanya semacam petunjuk pemanggungan yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi atau apa yang dilakukan oleh tokoh. Pengertian umum mengenai karya drama ini mengikuti batasan sebagaimana pernah dikemukakan oleh Sir John Pallock (1958) bahwa a play as a work of art composed of work spoken, or motion performed, by imagined characters and having a subject, action, development, climax and conclusion.

Sejarah Ringkas
Sebagai istilah, drama dan teater  ini dating atau kita pinjam dari khazanah kebudayaan barat. Secara lebih khusus, asal kedua istilah ini adalah dari kebudayaan atau tradisi bersastra di Yunani. Pada awalnya di Yunani, baik “drama” itu sendiri, seperti dikemukakan oleh Boen S. Oemarjati (1971), pada masa Aeschylus (525-456 SM) – satu di antara tiga penyair tragedi Yunan – sudah menyiratkan makna ‘peristiwa’, ‘karangan’, dan ‘risalah’. Sedangkan istilah “teater” yang berasal dari “théátron” yang juga merupakan turunan dari kata “theáomai” mengandung makna ‘dengan takjub melihat atau memandang’. Secara khusus lagi, pada masa Thucydés (471-395 SM) dan Plato (428-348 SM), “teater” juga dimaksudkan sebagai gedung pertunjukan, panggung atau public, auditorium pada zaman Heradotus (490-424 SM), dan ‘karangan tonil’, sebagaimana disebutkan dalam kitab Perjanjian Lama.
Pada masa awal pertumbuhannya di barat, sebagai bentuk upacara agama, drama silaksanakan di lapangan terbuka. Para penonton duduk melingkar atau membentuk setengah lingkaran, sedangkan upacara dilakukan di tengah lingkaran tersebut. Sementara para teater di Yunani khususnya, di tempat penonton berada membentuk setengah lingkaran yang semakin besar radiusnya, semakin tinggi tempat duduk penonton bersangkutan. Bentuk seperti dikenal sebagai amphitheater, yang dibuat sedemikian rupa itu pada zaman itu. sesuai dengan sifat drama dan merupakan suatu penyiasatan terhadap mutu suara maupun pandangan penonton yang masih belum terbantu oleh penemuan teknologi pandang-dengar (audio-visual), seperti sekarang ini.
Perkembangan drama, pada gilirannya kemudian, memperlihatkan adanya pergeseran ritual keagamaan menuju kepada suatu oratoria, suatu seni berbicara yang mempertimbangkan intonasi untuk mendapatkan efektivitas komunikasi.. dari opratoria ini, kemudian perkembangan memperlihatkan adanya dua kecenderungan besar. Di satu pihak, ada kecenderungan oratoria yang sarat dengan music sebagai elemen utamanya, yang hingga kini kita kenal sebagai opera dan operet, dan di pihak lain muncul pula bentuk oratoria yang hanya mengandalkan cakapan atau dialog sebagai elemen utama seperti yang kini kita kenal sebagai drama.
Dan sudah barang tentu, bentuk-bentuk teater mengalami perkembangan pula sejajar dengan perkembangan drama dan perkembangan teknologi pandang-dengar yang ada.

Karakteristik, Elemen Drama, dan Sarana Dramatik
Pengantar
Memberikan pemahaman yang lebih rinci berkenaan dengan karakyeristik, elemen drama, dan sarana dramatic yang biasa dipergunakan. Dengan memahami penjelasan di bawah ini, diharapkan kita mampu mengenali dan memahami genre drama secara lebih mendalam dan utuh.

Konsep dan Definisi
Sebuah pementasan drama tidak selamanya berdasarkan pada karya yang sejatinya memang telah berujud karya drama atau scripi – mengikuti istilah yang setidak-tidaknya dipergunakan oleh Donald Hall (1981) – yang secara eksplisit memperlihatkan adanya cakapan atau petunjuk pemanggungan. Sangat banyak pementasan drama yang tidak di dasarkan pada karya drama tertentu, melainkan berdasarkan novel, cerpen, puisi, atau bahkan lagu. Namun demikian, jika kita kembali kepada pengertian umum yang bahkan kemudian juga menjadi semacam  pembeda dengan genre prosa dan puisi misalnya, maka niscaya akan diperoleh jati diri dari drama itu, yaitu bahwa drama telah diniatkan dari awal oleh penulisnya sebagai karya sastra yang sesungguhnya dimaksudkan untuk dipertunjukkan atau jika mengikuti rumusan Sylvan Barnet dan kawan (1983), A play is written to be seen and to be heard.
Dalam kaitannya dengan niat yang mendasari penciptaan karya drama yang sedemikian itu maka apa yang disebut sebagai dialog tidak lain adalah suatu sarana yang telah disediakan  oleh penulisnya agar cerita atau kisah yang ditampilkan itu nantinya berujud suatu percakapan yang diajarkan  oleh para pemain.
 Elemen Drama
Jika dalam prosa, tokoh-tokoh yang muncul itu cenderung berhenti dalam imajinasi dan identifikasi subjektif pembaca saja, tidak demikian halnya yang terjadi dengan drama mengingat drama berkemungkinan untuk melaksanakan interpretasi tokoh-tokoh itu dalam bentuk konkret. Sebagai akibat dari bentuk yang demikian ini, maka dalam drama, tingkat kepentingan antara tokoh dengan alurv menjadi seimbang.. hal ini tentu berbeda dengan prosa pada umumnya, yang cenderung lebih mengutamakan alur daripada tokoh-tokohnya, sejalan dengan hakikat prosa yang lebih bertumpu pada narasi.
Bertolak dari sifat alami drama yang sedemikian itu maka tokoh dalam dan alur dalam drama, pada gilirannya kemudian, sangat mungkin berada dalam posisi yang terus bersaing.. dalam hubungan ini, W.H. Hudson (1958) mengemukakan adanya dua jalur pendapat, yaitu:
a.       Alur lebih dipentingkan, sedangkan tokoh hanya untuk mengisi dan menyelesaikan alur itu, dan
b.      Tokoh yang lebih penting, sedangkan alur hanya digunakan untuk mengembangkan tokoh.
Dari situ, Hudson sendiri, berkenaan dengan hal ini, cenderung mengatakan bahwa pementingan terhadap tokoh lebih utama dibandingkan dengan pementingan terhadap alur. Menurutnya, sesuatu cerita akan meninggalkan  kesan yang dalam bahkan mungkin “abadi” lantaran penokohan dalam cerita itu begitu kuat dan meyakinkan dalam membangun alur cerita. Sementara apabila alur saja yang menarik karena kerumitan atau kompleksitas masalahnya, ia cenderung mengendap sebentar dan cenderung menguap. Contoh drama yang kekuatannya terletak pada segi penokohannya dapat kita lihat  misalnya pada karya-karya Shakespheare. Namun demikian, tentu banyak pula yang berpendapat bahwa alur lebih penting daripada tokoh; tokoh hanyalah sub ordinat saja dari alur, seperti yang dikemukakan oleh Bernard Grebanier (1981).
Dalam kaitannya dengan drama, banyak ahli mengatakan bahwa drama yang baik harus selalu memperlihatkan adanya konflik atau konflik-konflik seperti yang dikatakan Hudson, atau juga konflik yang oposisi seperti disebutkan Grebanier. Adanya konflik-konflik seperti mengajarkan kepada kita bahwa drama lazimnya akan memberikan kepada pembaca maupun penontonnya “perjalanan” cerita yang diwarnai oleh konflik-konflik itu. dalam istilah Hudson, perjalanan itu disebut dengan dramatic-line yang secara garis besarnya adalah:
a.       Pemaparan/eksposisi (exposition),
b.      Pengawatan/komplikasi,
c.       Krisis/klimaks,
d.      Peleraian/antiklimaks, dan
e.       Penyelesaian.

Sarana Dramatik
Agar tema dalam sebuah drama dapat lebih dipahami dan lebih hidup ketika dipentaskan , sejumlah penulis drama bisa memanfaatkan berbagai sarana dramatic, yaitu dengan monolog (monologue), solilokui (soliloquy), dan sampingan (aside). Yang dimaksud dengan monolog adalah sebuah komposisi yang ditulis –dalam naskah drama– atau yang berbentuk lisan yang menyajikan wacana satu orang pembicara. Dalam sebuah pementasan, istilah ini menunjuk pada ujaran yang dilakukan oleh satu tokoh yang biasanya menjelaskan segala sesuatu yang sudah terjadi.
Sementara itu, apa yang dimaksud dengan “soliloku” sepintas lalu agak mirip dengan monolog dalam hal tampilnya seorang tokoh atau pemain. Pada soliloku, yang diujarkan/ucapkan oleh tkoh biasanya panjang dan isinya merupakan prmikiran subjektif yang ditunjukkan kepada penonton untuk menyarankan hal-hal yang akan terjadi.
Sedangkan “sampingan”, biasanya memang lebih tampak pada sebuah pementasan, menggambarkan adanya ujaran yang ditujukan pada penonton. Ujaran tersebut sengaja agar tidak didengar oleh pemain lainnya, karena ujaran yang diucapkan ini biasanya berisi pikiran tikih itu sendiri yang berisi komentar terhadap peristiwa yang sedang berlangsung. Dalam pementasan, pemain mengucapkan sampingan biasanya mengarahkan wajahnya atau memalingkan mukanya ke arah penonton, cenderung menempati posisi di samping pentas.

Pengkategorian Drama
Pengantar
Memberikan gambaran ringkas mengenai jenis-jenis drama yang dipilah  berdasarkan kemungkinan pementasannya, ragam bahasa, kecenderungan statistic, dan pola sajian. Sedangkan penjelasan yang bersangkut paut dengan perkembangan pola kesenian atau kebudayaan umumnya, cenderung mengelompok ke dalam apa yang disebut dengan aliran , belum dibicarakan di sini.
Konsep dan Definisi
Ada karya drama yang memang cocok dipentaskan tetapi tidak sedikit pula yang sesuai untuk dibaca sendiri sebagaiman sebuah novel atau prosa lainnya. Kelayakan atau kekuranglayakan  sebuah naskah untuk dipentaskan, bukan saja karena bentuk penulisannya yang seperti prosa misalnya, tetapi juga terdapat dalam karya drama. Dengan demikian, di lihat dari kemungkinan untuk dipentaskan , ada naskah-naskah yang dapat dan akan menarik perhatian orang jika dipentaskan, dan banyak pula yang tidak memberikan kemungkinan untukdipentaskan. Naskah yang masuk dalam kategori pertama disebut sebagai drama pentas atau drama saja, dan yang tepat untuk dibaca saja disebut sebagai drama baca. Namun demikian, sebuah naskah untuk sampai pada keputusan layak atau tidak layak dipentaskan bukan hanya tergantung pada proses pasca pembacaan, melainkan juga sangat dipengaruhi oleh niat penulis itu sendiri. Banyak penulis yang menulis karya sastra dalam bentuk drama tetapi tidak diniatkan untuk dipentaskan.. meminjam ungkapan Shipley (1960), karya seperti ini yang disebut sebagai closet drama atau drama baca itu, adalah á playor dramatic poem written solely for reading not for performance. Sedangkan Abrams (1993), untuk istilah yang sama, menjelaskan sebagai “… is written in the form of a drama, with dialogue, indicated settings, and stage directions, but is intended by the author to be read rather than to be performed in the theater”.
Bahasa yang dipergunakan dalam sebuah drama tentu bukan hanya bertolak dari keformalan atau maupun ketidakformalan bahasa, namun juga dari pemanfaatan sarana-sarana puitik maupun naratif. Berdasarkan hal ini, maka terdapat sejumlah karya drama yang berbentuk puisi, dan banyak pula karya drama yang berbentuk lirik. Pada karya drama yang berbentuk puisi, ada yang sangat ketat dengan kaidah-kaidah puitis, seperti terikat oleh aturan rima, atau yang tidak terikat dengan aturan-aturan semacam itu tetapi sarat dengan diksi yang konotatif dan sugestif. Sementara itu, karya drama yang menumpukan kekuatannya pada lirik, pada dasarnya hampir sama dengan yang terikat pada puisi. Yang membedakannya pada drama lirik ini ada kecenderungan untuk mengikat lirik itu denganb baris, yaitu potongan birama dalam setiap baris, seperti pernah dinyatakan oleh Tambayong (1981).
Kelima bentuk drama itu adalah tragedi, komedi, tragikomedi, melodrama, dan farce. Tragedi adalah drama yang akhir kisahnya berakhir dengan kedukaan atau duka cita. Biasanya, tokoh utama menghadapi kematian dengan mengenaskan di akhir cerita. Sebaliknya komedi berakhir dengan sukacita. Selain kedua sajian drama yang sekilas tampak berlawanan itu, ada sebuah drama yang justru menggabungkan dua kecenderungan sajian itu, yaitu menggabungkan antara tragedi dan komedi. Drama yang merupakan paduan  dua kecenderungan emosional yang sangat mendasar pada diri manusia itulah yang disebut sebagai tragikomedi. Sedangkan melodrama sesungguhnya berasal dari alur opera yang dicakapkan dengan iringan musik. Dan terakhir adalah farce, yang secara umum dapat dikatakan sebagai sebuah sajian drama yang bersifat karikatural. Sebagai kisahan, ia bercorak komedi, tetapi gelak yang muncul itu sendiri ditampilkan melalui ucapan dan perbuatan. Dalam konteks masa kini, banyak yang menyamakan farce dengan “komedi situasi” di sejumlah tayangan televisi.

CATATAN UNTUK PENGAJAR
CATATAN UNTUK PENGAJAR SASTRA
Pengertian Sastra
Dari pertanyaan “Sastra itu apa?”, diharapkan mahasiswa mampu membangun kesadaran kritis mahasiswa tentang objek yang akan dibicarakan. Kesadaran itu akan sangat mungkin memancing keingintahuan yang menuntut penjelajahan untuk menyelami karya sastra. Jadi, tujuannya bukan untuk memberikan suatu kesimpulan yang sangat jelas dan baku, suatu harga mati, melainkan justru proses mengalami atau menggauli karya sastra itu sendiri.
Pendekatan ini diharapkan terus berlangsung sampai akhir mata kuliah, sebaiknya merupakan pendekatan yang interaktif. Mahasiswa dihadapkan dalam satu situasi yang merangsang mereka untuk membaca, merespon, dan menggali karya sastra itu secara aktif, kemudian mendiskusikannya dalam dialog terbuka. Pengajar berfungsi sebagai fasilitator dan tidak berperan sebagai sumber yang maha tahu.
Tujuan instruksional agar mahasiswa mampu mengenali dan memahami kekhasan karya sastra, termasuk fungsinya, proses penciptaannya yang dibangun atas konvensi dan inovasi, serta penyebarannya. Tujuan ini disampaikan dalam beberapa tahap.
Pertemuan Pertama    :  membandingkan karya sastra dengan karya ilmiah.
Pertemuan Kedua       :  memperlihatkan bahwa dikotomi sastra itu bukanlah harga mati
Pertemuan Ketiga       :  melihat sastra sebagai sesuatu yang dibangun atas konvensi atau kesepakatan masyarakat yang tidak pernah berhenti berkembang karena adanya inovasi yang selalu memperbaharui konvensi.
Pertemuan Keempat   :  membahas sastra sebagai kegiatan produksi dan reproduksi yang melibatkan bermacam-macam pelaku dari penulis, penerbit, kritikus, pembaca dan lembaga-lembaga masyarakat yang ikut merespon.
Pertemuan Pertama
Sub Bab Sastra Itu Apa?
Pengantar                    :  Sastra selalu berubah dari zaman ke zaman karena sastrawan secara kreatif selalu mengubah batasan-batasan yang sudah diterima dalam masyarakat. Dinamika sastra juga berkaitan dengan pengembangan masyarakat dan terkait dengan konteks budaya.
Konsep dan Definisi   :  Banyak defenisi yang diajukan oleh kritikus dan teoritikus sastra tentang apa itu karya sastra, dari yang bersifat pengantar sampai ulasan filosofis. Tetapi suatu teknik yang menarik dan cocok untuk dipakai dalam kegiatan kelas adalah yang dilakukan oleh Murray Krieger (dalam Adams, 1969:87-91). Dalam hal ini, Krieger menyarankan agar tidak dimulai dengan berkhotbah, tetapi langsung menyodorkan karya sastra untuk dibaca dan dialami oleh mahasiswa. Agar proses menyenangkan dan menantang dijadikan permainan kelompok yang dibagi menjadi dua tahap:
                                       Tahap pertama adalah kegiatan yang menekankan pada proses memahami suatu karya sastra dan tahap kedua adalah membandingkan pemahaman yang didapat dari karya sastra itu dengan penjelasan akademis teks ilmiah.
Kegiatan                      :  1.  Memahami karya sastra, dalam kegiatan ini dapat ditunjukkan (a) prinsip keabsahan penafsiran makna; (b) makna ganda.
                                       2. Membandingkan karya sastra dengan karya ilmiah
Tugas                           :  Menemukan unsur-unsur sastra dalam kehidupan sehari-hari.

Pertemuan Kedua
Sub Bab Sastra: Antara Konvensi dan Inovasi
Pengantar                    :  Sastra selalu berubah dari zaman ke zaman karena sastrawan secara kreatif selalu mengubah batasan-batasan yang sudah diterima dalam masyarakat. Dinamika sastra juga berkaitan dengan pengembangan masyarakat dan terkait dengan konteks budaya.
Konsep dan Definisi   :  Menunjukkan bahwa antara karya sastra dan karya ilmiah itu tidak bersifat kaku dan lugas. Melalui tugas sebelumnya, menunjukkan bahwa banyak unsure-unseur sastra ditemukan dalam teks yang secara formal tidak digolongkan sebagai karya sastra. Dari situ masuk ke masalah konvensi dalam karya sastra merupakan konvensi dalam masyarakat pada waktu dan konteks budaya tertentu. Contoh bisa diambil dari kesusastraan berbagai Negara sesuai penguasaan bidang pengajar masing-masing. Tekanan selanjutnya ada pada dinamika antara konvensi dan inovasi. Jadi, contoh-contoh kegiatan dipakai untuk melihat bagaimana konvensi it uterus direvisi melalui inovasi pengarangnya.
Kegiatan                      :  memilih teks sastra dari berbagai negara dan dengan ini akan menunjukkan  dua hal penting; (a) bahwa dikotomi sastra dan non sastra itu hanyalah menunjukkan posisi ektrem, yang di antara dua kutub terletak berbagai macam teks yang menghubungkan kedua kutub tersebut; (b) menunjukkan bagaimana penggolongan sastra dan bukan sastra bersifat konvensional, tergantung kesepakatan masyarakat pada waktu dan tempat tertentu.
Tugas                           :  membandingkan sajak Sutardji Calzoum Bachri dengan salah satu sajak Pujangga Baru tentang percintaan dan perkawinan.

Pertemuan Ketiga
Sub Bab Fungsi Sastra
Pengantar                    :  Salah satu fungsi sastra adalah untuk menghibur dan azas manfaat lainnya.
Konsep dan Definisi   :  Konsep Horatius, dulce et utile, bisa dipakai untuk masuk dalam pembahasan mengenai fungsi karya sastra dalam masyarakat. Selain membahas yang bersifat umum, suatu cara lain yang penting adalah mengajak mahasiswa untuk melihat kegunaan sastra dalam kehidupan sehari-hari mereka seperti penggunaan puisi untuk alat menyatakan perasaan (cinta, marah, benci, dan sebagainya). Di sini pengajar dapat membahas sastra sebagai media komunikasi, yang melibatkan tiga komponen, yakni pengarang sebagai pengirim pesan, kerya sastra sebagai pesan itu sendiri, dan penerima pesan yakni pembaca karya sastra. Mahasiswa juga diajak untuk melihat bahwa fungsi sastra berubah dari zaman ke zaman, sesuai dengan kondisi dan kepentingan masyarakat pendukungnya.
Kegiatan                      :  menggunakan contoh lain untuk menemukan fungsi sastra yang belum terwakili dari buku referensi
Tugas                           :  mengumpulkan contoh-contoh penggunaan sastra dalam kehidupan kampus.

Pertemuan Keempat
Sub Bab Produksi dan Reproduksi Sastra
Pengantar                    :  Komponen-komponen dalam proses produksi dan reproduksi karya sastra tersebut mencakup pengarang, karya sastra, pembaca, penerbit, kritikus, pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan, dan komunitas sastra.
Konsep dan Definisi   :  Memanfaatkan beberapa acuan dari sosiologi sastra, walaupun tidak dianjurkan untuk memakai istilah-istilah yang terlalu teknis dalam tahapan. Dalam proses penciptaan dan penyebaran karya sastra dalam masyarakat, dapat ditekankan kaitan antara suatu proses dengan proses lainnya, juga interaksi antara satu pelaku sastra dengan  yang lainnya.
Kegiatan                      :  mengundang pembicara/tamu atau mengatur pemutaran video tentang kehidupan para sastrawan
Tugas                           :  menyusun suatu ulasan atau komentar tertulis terhadap salah satu puisi F. Rahardi dalam peran yang berbeda-beda, misalnya sebagai pembaca, kritikus, penerbit, dan seterusnya.

 CATATAN UNTUK PENGAJAR PUISI

Pertemuan Kelima
Sub Bab Puisi Itu Apa?
Pengantar                    :  Mengenali contoh-contoh ekspresi puitis dalam kehidupan sehari-hari.
Konsep dan Definisi   :  Tidak dianjurkan masuk terlalu jauh ke dalam pembicaraan yang bersifat teknis karena hal itu akan dilakukan pada pertemuan selanjutnya. Yang perlu dilakukan adalah memmbuat mahasiswa sadar akan kehadiran unsur-unsur puitis seperti itu dan mengetahui apa fungsinya. Selain itu, perlu juga ditekankan bahwa unsur-unsur puitis tidak eksklusif terdapat pada karya-karya sastra belaka tetapi juga dapat dijumpai dalam bahasa atau kehidupan sehari-hari. Ini untuk memperlihatkan bahwa sastra bukan benda yang asing yang sulit dipahami.
Kegiatan                :  1.   Membagi mahasiswa ke dalam beberapa kelompok dan mengarahkan  mahasiswa pada aspek-aspek puitis pada teks nonsastra yang mereka pilih.
                                 2.   Menggali berbagai kemungkinan manfaat yang diberikan oleh nilai-nilai puisi itu. hal ini tentu saja tidak berorientasi pada manfaat material dan finansial, namun apabila ada mahasiswa yang mengaitkannya, jangan dihambat.
                                 3.   (Boleh lanjut atau tidak, tergantung waktu). Kelompok berembuk untuk memilih salah satu teks yang unsur-unsur puistisnya paling dominan. Teks dibacakan atau ditayangkan OHP. Setiap selesai membaca teks, mahasiswa lain dapat menyampaikan kesan-kesannya.
Tugas                     :  Meminta pada mahasiswa untuk memilih salah satu dari empat puisi dan minta pada mereka untuk mendaftar unsur-unsur puitis yang ada dengan merujuk pada bagian-bagian tertentu teks yang dipilih dan minta juga mereka untuk menanggapi unsur-unsur itu dari segi suasana atau kesan yang dibangun, serta nuansa makna yang dimiliki. (tugas diketik sesuai dengan petunjuk yang diberikan).

Pertemuan Keenam
Sub Bab Unsur-Unsur Pembangun Puisi
Pengantar                    :  Mengenali dan memahami kekhasan puisi dari segi bentuk, bunyi, citraan, dan bandingan.
Konsep dan Definisi   :  Ada sejumlah istilah yang berkaitan dengan gaya bahasa dan bunyi yang perlu dikuasai dan diperkenalkan pada awal pertemuan. Untuk memperkuat pemahaman mahasiswa, pengajar boleh menggunakan daftar istilah sebuah buku.
                                       Selain itu, belum semua unsur puitik termuat dalam sesi ini. Ada gaya bahasa lain. Dalam sesi ini juga ada informasi tentang defenisi puisi oleh berbagai tokoh dari periode yang berbeda, hal ini diberikan agar pemahamn puisi tidak melulu melihat dari segi intrinsiknya melainkan ada banyak faktor yang menentukan sebuah teks dapat diterima sebagai puisi atau tidak.
Kegiatan                      :  1.   Membagi mahasiswa menjadi beberapa kelompok dan memberikan puisi “Sungai” karya Dorothea Rosa Herliany, dan membahasnya untuk menentukan gaya bahasa, perulangan, dan lain sebagainya.
                                       2.   Membuat ringkasan puisi setelah mahasiswa memahami puisi secara keseluruhan.
                                       3.   Mengarahkan mahasiswa pada pola-pola ulangan serta efek bunyi yang dihasilkannya dan mencari tau teknik yang digunakan penyair.
Tugas                           :  Mahasiswa diminta untuk memilih sebuah sajak dan menelaah berbagai unsure pembangun puisi yang digunakan di dalamnya yang mencakup fungsi unsur-unsur itu serta makna atau suasana serta efek yang dibangunnya.
Pertemuan Ketujuh
Sub Bab Aneka Ragam Puisi
Pengantar                    :  Mengenali berbagai ragam puisi yang ada dari berbagai latar budaya dan zaman dengan mengamati cara pengungkapan, pembaitan, dan isinya. Tujuannya untuk memperkaya pengetahuan mahasiswa akan puisi.
Konsep dan Definisi   :  Semua ulasan sifatnya minimal dan lebih tertuju pada suatu apresiasi awal daripada suatu pendalaman yang serius dan pelik. Dalam tahap ini yang perlu adalah menanamkan kecintaan pada kesusastraan. Untuk itulah, kepada mahasiswa perlu diberikan kesempatan yang luas untuk berbagi informasi tentang ragam-ragam puisi lainnya yang mereka kenali. Perlu juga untuk selalu mengingatkan kepada mahasiswa bahwa segala kategorisasi yang digunakan tidak boleh diterapkan secara kaku karena terdapat banyak persinggungan dan bahkan tumpang tindih di antara kategori-kategori tersebut. Banyak puisi yang dapat digolongkan ke dalam beberapa ragam yang berbeda karena dalam proses kreatif selalu terjadi tegangan-tegangan antara isi, pengungkapan, bentuk, pengaruh zaman, dan sebagainya.
Kegiatan                      :  1.   Mahasiswa diminta untuk melakukan sesuatu yang bersifat produktif, yakni menggunakan kreativitas yang mereka miliki untuk menghasilkan sajak-sajaknya sendiri.
                                       2.   Mengumpulkan hasil kreativitas mahasiswa dan menjilidnya secara kreatif. Pengajar membentuk tim kreatif penjilidan.
Tugas                           :  Apabila proses kreatif pada kegiatan 1, maka dilanjutkan di rumah.


CATATAN UNTUK PENGAJAR PROSA
Pertemuan Kedelapan
Sub Bab Prosa: Struktur Narasi
Pengantar                    :  bertujuan membiasakan mahasiswa membaca karya sastra lengkap secara aktif sambil melihat unsur-unsur penting, dan tidak penting dalam membangun suatu narasi. Hal ini akan memudahkan mereka memahami cerita secara global atau komprehensif.
Konsep dan Definisi   :  membahas perbedaan antara narasi dengan puisi yang telah dipelajari sebelumnya untuk memantapkan pemahaman pada kedua genre sastra tersebut.
                                       Prosa narasi merupakan genre yang paling dominan dalam karya sastra yang diterbitkan baik sebagai buku maupun dalam sastra surat kabar. Genre ini mencakup semua jenis karya sastra yang bukan berbentuk dialog.
                                       Banyak mahasiswa yang mempunyai kebiasaan buruk membaca karya sastra dengan puas membaca ringkasannya saja. Tugas pengajar mengubah kebiasaan buruk ini dan menunjukkan bahwa kebiasaan ini sangat keliru karena ringkasan tidak mampu menggambarkan keindahan karya tersebut secara keseluruhan. Tidak mengungkapkan gaya kepenulisan, pengunggunaan diksi.
Kegiatan                      :  1.   Membagi mahasiswa ke dalam bebrapa kelompok. Usahakan setiap mahasiswa berdiskusi dengan leluasa.
                                       2.   Menunjuk satu kelompok meringkas Robohnya Surau Kami (sekitar 125-150 kata) kelompok lain mencari unsur-unsur pentingnya.
                                       3.   Kelompok yang membuat ringkasan membacakan di depan kelas dan kelompok lain memberikan komentar.
                                       4.   Meminta mahasiswa untuk mengcopi sebuah teks sastra dan minta mereka membuat daftar istilah dan membuat defenisinya.
Tugas                           :  Mahasiswa membuat suatu tulisan ringkasan sebuah karya sastra terjemahan.
Pertemuan Kesembilan
Sub Bab Unsur-Unsur Prosa: Tokoh, Latar, Alur
Pengantar                    :  Bertujuan agar mahasiswa mampu mengenali unsur-unsur prosa naratif (kisahan).
Konsep dan Definisi   :  Penetapan tokoh tentu saja harus didasari penelitian. Namun, perlu ditekankan pada mahasiswa, bahwa sebagai pembaca kita dapat saja menetapkan siapa tokoh utama, yakni secara kasat mata memang menonjol dan terlihat diberbagai peristiwa.
                                       Selain tokoh, dalam narasi terdapat latar, yakni segala keterangan mengenai waktu, ruang , dan suasana terjadinya lakon. Deskripsi latar dapat berupa fisik, realistis, documenter, dan dapat pula berupa deskripsi perasaan. Latar adalah lingkungan yang dapat berfungsi sebagai metonomia, metafora, atau ekspresi tokohnya (Wallek dan Warren, 1989).
                                       Unsur yang juga sangat penting adalah lakuan atau peristiwa., yang membentuk cerita. Rangkaian peristiwa direka dan dijalin dengan seksama membentuk alur yang menggerakkan jalannya cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian (Sudjiman, 1990). Ada beberapa jenis alur dan yang paling penting adalah alur utama dan bawahan. Untuk alur ini pun, tidak perlu semua istilah diberikan yang penting mahasiswa memahaminya.
Kegiatan                      :  1.   Membagi mahasiswa ke dalam beberapa kelompok untuk mendiskusikan sebuah cerita dan setiap kelompok hanya diwajibkan membahas hanya satu unsur, yakni: (a) tokoh dan deskripsi tokoh; (b) latar dan deskripsi latar; (c) unsur-unsur alur dan pembentukannya.
                                       2.   Wakil kelompok melaprkan hasil diskusinya dan menuliskan di papan tulis dalam bentuk bagan atau tabel, mahasiswa lain memberi kritik dan saran.
Tugas                           :  Mintalah mahasiswa membuat struktur alur dengan sebuah karya sastra yang telah ditentukan.
Pertemuan Kesepuluh
Sub Bab Struktur Penceritaan/Penuturan
Pengantar                    :  mahasiswa diharapkan memahami aspek tuturan dan penuturan, terutama masalah teknik sudut pandang dan bahwa peristiwa-peristiwa yang membentuk dunia fiksi tidak dikemukakan kepada kita sebagaimana adanya, tetepi menurut sudut pandang tertentu atau dikemukakan dengan cara tertentu (Todorov, 1985).
Konsep dan Definisi   :  Dalam narasi, pencerita sering menyebut diri “aku” atau “saya” (pencerita akuan). Pencerita akuan adalah tokoh dalam ceritanya tetapi tidak selalu tokoh utama. Namun seringkali mengacu pada tokoh-tokoh dengan kata ganti orang ketiga, dia atau ia. Pencerita diaan berada di luar cerita (eksternal). Ia hanya menyampaikan suatu kisahan, tetapi tidak terlibat di dalamnya. Dalam menyampaikan kisahnya, pencerita selalu mengambil posisi dan bercerita menurut suatu sudut pandang (point of view, point of vue). Jika ia “berada” dalam cerita sebagai tokoh (pencerita akuan internal), pandangannya terbatas pada apa yang dapat diketahui oleh seorang tokoh. Namun, jika ia berada di luar (pencerita diaan, eksternal), pengarang dapat menjadi perngarang yang mahatahu yakni pencerita yang mengetahui maksud dan pikiran semua tokoh serta semua yang mereka lakukan. Semua tokoh dipandang dari dalam (fokalisasi intern).
Kegiatan                      :  1.   Salah seorang mahasiswa menyampaikan laporan di muka kelas tentang hasil bacaannya atas Robohnya Surau Kami tentang: (a) siapa yang bercerita?; (b) bagaimana sudut pandangnya?; (c) adakah kesamaan gagasan yang diungkapkan tokoh lain dengan sudut pandang berbeda?
                                       2.   Membagi kelompok mahasiswa untuk menulis cerita fable yang sudah ada dengan sejumlah sudut pandang yang dibahas.
Tugas                           :  1.   Membuat rangkuman tentang struktur penceritaan, dengan contoh-contoh yang diambil dari hasil kerja kelompok.

CATATAN UNTUK PENGAJAR DRAMA
Pertemuan Kesebelas
Sub Bab Hakikat Drama
Pengantar                    :  Mengenal dan memahami salah satu genre sastra, yaitu drama, serta mampu mencirikan maupun membedakan drama dari genre sastra lainnya. Di samping itu juga mampu memahami teater, yang selama ini sering ditumpangtindihkan saja dengan istilah drama.

Konsep dan Definisi   :  Terlepas dari apakah karya drama itu dipentaskan atau hanya dibaca, pada intinya apa yang disebut dengan drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal adanya dialogue atau cakapan di antara tokoh-tokoh yang ada. Selain di dominasi oleh cakapan yang langsung itu, lazimnya sebuah karya drama juga memperlihatkan adanya semacam petunjuk pemanggungan yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi atau apa yang dilakukan oleh tokoh. Pengertian umum mengenai karya drama ini mengikuti batasan sebagaimana pernah dikemukakan oleh Sir John Pallock (1958) bahwa a play as a work of art composed of work spoken, or motion performed, by imagined characters and having a subject, action, development, climax and conclusion.
Kegiatan                      :  1.   Membaca cuplikan dua buah drama secara berulang dan teliti dan menemukan perbedaan kedua drama tersebut.
                                       2.   Memberi kesempatan bagi mahasiswa yang pernah aktif berdrama untuk berbagi pengalaman dengan tujuan untuk memperkaya pemahaman dan merangsang dan memotivasi mahasiswa untuk memahami drama secara profesional.
Tugas                           :  Membandingkan teks drama dengan teks wawancara
  
Pertemuan Keduabelas
Sub Bab Karakteristik, Elemen Drama, dan Sarana Dramatik
Pengantar                    :  Memberikan pemahaman yang lebih rinci berkenaan dengan karakyeristik, elemen drama, dan sarana dramatic yang biasa dipergunakan. Dengan memahami penjelasan di bawah ini, diharapkan kita mampu mengenali dan memahami genre drama secara lebih mendalam dan utuh.
Konsep dan Definisi   :  Sebuah pementasan drama tidak selamanya berdasarkan pada karya yang sejatinya memang telah berujud karya drama atau scripi – mengikuti istilah yang setidak-tidaknya dipergunakan oleh Donald Hall (1981) – yang secara eksplisit memperlihatkan adanya cakapan atau petunjuk pemanggungan. Sangat banyak pementasan drama yang tidak di dasarkan pada karya drama tertentu, melainkan berdasarkan novel, cerpen, puisi, atau bahkan lagu. Namun demikian, jika kita kembali kepada pengertian umum yang bahkan kemudian juga menjadi semacam  pembeda dengan genre prosa dan puisi misalnya, maka niscaya akan diperoleh jati diri dari drama itu, yaitu bahwa drama telah diniatkan dari awal oleh penulisnya sebagai karya sastra yang sesungguhnya dimaksudkan untuk dipertunjukkan atau jika mengikuti rumusan Sylvan Barnet dan kawan (1983), A play is written to be seen and to be heard.
                                    Elemen Drama bertolak dari sifat alami drama yang sedemikian itu maka tokoh dalam dan alur dalam drama, pada gilirannya kemudian, sangat mungkin berada dalam posisi yang terus bersaing.. dalam hubungan ini, W.H. Hudson (1958) mengemukakan adanya dua jalur pendapat, yaitu: (a) Alur lebih dipentingkan, sedangkan tokoh hanya untuk mengisi dan menyelesaikan alur itu, dan (b) tokoh yang lebih penting, sedangkan alur hanya digunakan untuk mengembangkan tokoh.
                                      
                                       Adanya konflik-konflik seperti mengajarkan kepada kita bahwa drama lazimnya akan memberikan kepada pembaca maupun penontonnya “perjalanan” cerita yang diwarnai oleh konflik-konflik itu. dalam istilah Hudson, perjalanan itu disebut dengan dramatic-line yang secara garis besarnya adalah: (a) pemaparan/eksposisi (exposition); (b) pengawatan/ komplikasi; (c) krisis/klimaks; (d) peleraian/antiklimaks, dan (e) penyelesaian. Ada tiga sarana dramatik yang berperan penting dalam drama yaitu monolog (monologue), solilokui (soliloquy), dan sampingan (aside).
Kegiatan                      :  1.   Mendiskusikan  mengenai manfaat dua buah drama yang telah dibicarakan pada pertemuan sebelumnya.
                                       2.   Membahas mengenai karya drama yang konvensional dan yang inovatif baik dari segi tema maupun dari segi gaya penyampaian.
                                       3.   Mengajukan sejumlah persoalan seputar tokoh/penokohan dan alur/pengaluran dan melihat dari sisi dominasinya.
                                       4.   Melihat kecenderungan yang ingin ditampilkan pengarang melalui solilokui, monolog atau sampingan
Tugas                           :  menugasi mahasiswa untuk menyaksikan drama yang sesungguhnya secara langsung dan mencatat pengalaman secara diri pribadi

Pertemuan Ketigabelas
Sub Bab Pengkategorian Drama
Pengantar                   : Memberikan gambaran ringkas mengenai jenis-jenis drama yang dipilah  berdasarkan kemungkinan pementasannya, ragam bahasa, kecenderungan statistic, dan pola sajian. Sedangkan penjelasan yang bersangkut paut dengan perkembangan pola kesenian atau kebudayaan umumnya, cenderung mengelompok ke dalam apa yang disebut dengan aliran, belum dibicarakan di sini.
Konsep dan Definisi    :  Sebuah naskah untuk sampai pada keputusan layak atau tidak layak dipentaskan bukan hanya tergantung pada proses pasca pembacaan, melainkan juga sangat dipengaruhi oleh niat penulis itu sendiri. Banyak penulis yang menulis karya sastra dalam bentuk drama tetapi tidak diniatkan untuk dipentaskan.. meminjam ungkapan Shipley (1960), karya seperti ini yang disebut sebagai closet drama atau drama baca itu, adalah á playor dramatic poem written solely for reading not for performance. Sedangkan Abrams (1993), untuk istilah yang sama, menjelaskan sebagai “… is written in the form of a drama, with dialogue, indicated settings, and stage directions, but is intended by the author to be read rather than to be performed in the theater”. Ada lima bentuk drama itu adalah tragedi, komedi, tragikomedi, melodrama, dan farce.
Kegiatan                      :  1.   Bersama teman kelompoknya, mahasiswa mendiskusikan pola sajian maupun kecenderungan tematik dari karya drama yang telah mereka baca.
                                       2.   merancang sebuah pementasan drama yang berdasarkan suatu fragmen dari naskah yang dipilih.
Tugas                           :  Secara individu, mahasiswa ditugasi mengapresiasi sebuah karya drama atau sebuah pementasan drama dengan menekankan pada satu pokok persoalan saja, misal penokohan saja, alur saja, dan lain-lain.

BUKU BANDINGAN
Judul                           :     Pengajaran Puisi: Analisis Dan Pemahaman
Penulis                         :     Kinayati Djojosuroto
Editor                          :     Muhammad Ali Hadhirin
Desain Cover              :     Tatang Rukyat
Tata Letak                   :     Wahyu A. Pratama
Penerbit                       :     Nuansa
Cetakan                       :     Pertama, September 2006
Tebal                           :     196 Halaman; 24 X 16 Cm
ISBN                           :     979-24-5635-X

Setelah membaca buku “Membaca Sastra” tentang Puisi yang ditulis oleh Manekke Budiman dan buku “Pengajaran Puisi: Analisis dan Pemahaman” karangan Kinayati Djojosuroto, penulis dapat membedakan metafora, yang dalam tulisan Manekke Budiman diterangkan bahwa metafora merupakan sebuah kata atau ungkapan yang maknanya bersifat kiasan dan bukan harfiah karena ia berfungsi menjelaskan sebuah konsep. Sedangkan Djojosuroto mengutip pendapat Wahab (1986:11) dimana metafora diartikan sebagai ungkapan kebahasaan yang tidak dapat diartikan secara langsung dari lambang yang dipakai, karena makna yang dimaksud terdapat pada predikasi ungkapan kebahasaan itu yang dalam penciptaannya seorang penyair dipengaruhi oleh lingkungannya karena persepsi penulis terhadap gejala alam dan gejala sosial tidak dapat lepas dari lingkungannya juga.
Tentang gaya bahasa metonimi, Maneke Budiman mengatakan bahwa gaya bahasa ini selalu memiliki hubungan kedekatan dengan hal yang diwakilinya, sementara Djojosuroto mengungkapkan gaya bahasa metonimia sesuai dengan pendapat Pradopo (1987:77) yang berangkat dari pendapat Altenbernt, Djojosuroto mengatakan bahwa gaya bahasa metonomia adalah bahasa kias pengganti nama, yakni berupa penggunaan sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat dengan objek yang digantikan. Kedua pendapat ini kedengarannya memang hampir sama namun pengungkapannya jelas berbeda.
Kemudian komentar penulis selanjutnya, dalam membandingkan buku Membaca sastra: Pengantar Memahami Sastra Untuk Perguruan Tinggi dengan Pengajaran Puisi: Analisis dan Pemahaman terdapat perbedaan yang mencolok, dimana dalam buku Membaca sastra pembahasan tentang puisi dipaparkan secara jelas disertai dengan cara mengajarkannya, sedangkan dalam buku Pengajaran Puisi cenderung kepada unsur- unsur puisi dan jenis-jenis puisi.Dalam buku Membaca Sastra  dibahas juga prosa, drama, dan catatan untuk pengajar jadi cakupan pembahasannya cukup luas, sementara dalam buku Pengajaran puisi yang dibahas adalah hal-hal yang khusus berkaitan dengan puisi.
Buku berikutnya yang menjadi perbandingan dalam memberikan komentar terhadap buku Membaca Sastra ini adalah buku Pengantar Teori Sastra karangan Dr. Wahyudi Siswanto. Dalam buku ini secara garis besar isinya hampir sama dengan Membaca Sastra hanya perbedaannya dalam buku ini yang dibahas adalah tentang sastarawan, sastrawan dan proses kreatifnya, sastrawan dan semesta, dan bagaimana hubungan antara satrawan dengan pembaca. Sedangkan prosa dalam buku ini cenderung kedalam bentuk prosa rekaan dan perbedaan antara prosa rekaan dengan drama. Kemudian pembahasan berikutnya dalam buku ini adalah keterkaitan sastra dengan dunia pendidikan artinya bagaimana sastra itu mampu mempengaruhi dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan bebrbahsa peserta didik, sehingga peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual bangsa Indonesia.

 DAFTAR PUSTAKA

Budianta, Melani dkk. 2003. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra Untuk
Perguruan Tinggi. Jakarta: Indonesiatera.
Djojosuroto, Kinayati. 2006. Pengajaran Puisi: Analisis Dan Pemahaman. Nuansa.

Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta. Grasindo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar