Sabtu, 14 Juni 2014

SOSIOLOGI SASTRA

Tri Rahmiyati, Yusniati Rambe, dan Rohana

A.    Pendahuluan
Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya. Wellek dan Warren (1976) membahas hubungan sastra dan masyarakat sebagai  berikut:
Literature is a social institution, using as its medium language, a social creation. They are conventions and norm which could have arisen only in society. But, furthermore, literature ‘represent’ ‘life’; and ‘life’ is, in large measure, a social reality, eventhough the natural world and the inner or subjective world of the individual have also been objects of literary ‘imitation’. The poet himself is a member of society, possesed of a specific social status; he recieves some degree of social recognition and reward; he addresses an audience, however hypothetical. (1976:94).

Senada dengan pernyataan diatas, Damono (2003:1) mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan itu disebut sosiologi sastra dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra (Damono, 2003:3).
Sosiologi adalah telaah tentang lembaga dan proses sosial manusia yang objektif dan ilmiah dalam masyarakat. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah ekonomi, agama, politik dan lain-lain — yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial— kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing.
Sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat sebagai usaha manusia untuk menyesuakan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dengan demikian, novel dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial yaitu hubungan manusia dengan keluarga, lingkungan, politik, negara, ekonomi, dan sebagainya yang juga menjadi urusan sosiologi. Dapat disimpulkan bahwa sosiologi dapat memberi penjelasan yang bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa sosiologi, pemahaman kita tentang sastra belum lengkap.
Pradopo (1993:34) menyatakan bahwa tujuan studi sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat.
Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra dan landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan tersebut beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat sosial.

Kritik Sastra:

Kritik  sastra memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan kesusastraan. Menurut Hardjana (1981) , kritik sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan oleh para peneliti sastra bagi perkembangan dan pembinaan sastra. Hal senada juga diungkapkan oleh Pradopo (1993), bahwa untuk bisa menentukan bagaimana sesungguhnya perkembangan kesusastraan Indonesia, dibutuhkan suatu kritik.
Kita tahu, pendekatan dalam kritik sastra cukup beragam. Pendekatan-pendekatan tersebut bertolak dari empat orientasi teori kritik. Yang pertama, orientasi kepada semesta yang melahirkan teori mimesis. Kedua, teori kritik yang berorientasi kepada pembaca yang disebut teori pragmatik. Penekanannya bisa pada pembaca sebagai pemberi makna dan pembaca sebagai penerima efek karya sastra. Resepsi sastra merupakan pendekatan yang berorientasi kepada pembaca. Untuk yang ketiga, teori kritik yang berorientasi pada elemen pengarang dan disebut sebagai teori ekspresif. Sedangkan keempat adalah teori yang berorientasi kepada karya yang dikenal dengan teori obyektif.
Dalam kaitan ini, sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca.
Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Rene Wellek dan dan Austin Warren membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh  Watt (2001) dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat.
Telaah suatu karya sastra menurut Watt (2001) akan mencakup tiga hal, yakni konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra.
Konteks sosial pengarang adalah yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Sastra sebagai cermin masyarakat menelaah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat bagi pembaca.
Junus (1986) mengemukakan, bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya. Ia juga menyangkut penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra. Termasuk pula penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya. Selain itu juga berkaitan dengan pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas. Tak boleh diabaikan juga dalam kaitan ini pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman (1980) dan pendekatan Devignaud yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra. Sastra bisa dilihat sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Bagaiamanapun karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.
Demikian pula obyek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap realitas tersebut sastrawan tidak mengambilnya secara acak. Sastrawan memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan tertentu. Goldmann (1980) mengatakan, bahwa sastrawan menganalisis “data” kehidupan sosial, memahaminya dan mencoba menentukan tanda yang esensial untuk dipindahkan ke dalam karya sastra.
Apabila realitas itu adalah sebuah peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Kecuali itu, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa sejarah dan ketiga seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.
Hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial budaya memperkuat anggapan bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat mempengaruhi realitas sosial. Memang benar, sastra mengambil sebagian besar karakternya dari bahasa, namun bentuk dan isi novel lebih banyak berasal dari fenomena sosial daripada dari seni lain, terkecuali film. Novel seringkali merupakan ikatan dengan momentum tertentu dalam peristiwa sejarah masyarakat. Goldmann (1980) mengatakan, bahwa karya sastra merupakan analisis estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu dan novelis senantiasa melakukan analisis dan sintesis sebelum memulai menulis.
Karya sastra mengeksploitasi manusia dan masyarakat. Hal ini yang menjadi alasan utama mengapa sosiologi sastra penting dan dengan sendirinya perlu dibangun pola-pola analisis sekaligus teori-teori yang berkaitan dengannya. Meskipun masalah sastra dan manusia/masyarakat sudah dibicarakan jauh sebelumnya, sosiologi sastra sebagai ilmu yang berdiri sendiri dengan menggunakan teori dan metode ilmiah dianggap baru mulai pada abad ke-18.
Paradigma sosiologi sastra berakar dari latar belakang historis dua gejala, yaitu masyarakat dan sastra: karya sastra ada dalam masyarakat, dengan kata lain, tidak ada karya sastra tanpa masyarakat. Sosiologi sastra, meskipun belum menemukan pola analisis yang dianggap memuaskan, mulai memperhatikan karya seni sebagai bagian yang integral dari masyarakat. Tujuannya jelas untuk memberikan kualitas yang proposional bagi kedua gejala: sastra dan masyarakat. Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran, atau yang hendak digambarkan. Namun Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu. Karya sastra dapat juga mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang-kadang kurang jelas dalam masyarakat.
Pada hakikatnya seorang sastrawanpun adalah bagian dari masyarakat. Oleh sebab itu, sastrawanpun tak dapat lepas dari status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya; dan bahasa adalah adalah salah satu ciptaan sosial. Tak jarang, karya sastra merupakan cerminan atau pantulan hubungan sosial individu dengan individu lain, atau anatara individu dengan masyarakat.
Sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sudah sejak dulu, karya sastra dikenal dalam beberapa tinadakan sosiokultural masyarakat seperti pada upacara keagamaan, ilmu gaib, pekerjaan sehari-hari atau permainan. Ketika membaca sebuah karya sastra, mungkin kita akan merasakan kenikmatan seperti kita sedang melakukan permainan. Atau bahkan kita akan merasakan ketenangan seperti setelah melakukan upacara keagamaan, ataupun karena dalamnya kita dalam membaca sebuah karya sastra, kita akan lebih mudah dalam menjalani pekerjaan sehari-hari. Sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sifat sosial tertentu, atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
Pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan dalam sastra oleh beberapa ahli disebut sosiologi sastra. Pada dasarnya sebutan ini pun tak berbeda dengan sebutan-sebutan lain, masing-masing tetap didasarkan dan berlandaskan pandangan teoretis. Meskipun pandangan kritikus satu sama lain berlandaskan pengertian tertentu akan tetapi pada dasarnya semua pendekatan mengacu pada sebuah kesamaan. Sastra adalah sebuah lembaga sosial yang diciptakan oleh sastrawan yang tak lain adalah anggota dari masyarakat.
Sudah banyak telaah yang dilakukan beberapa ahli dalam buku atau dalam tulisan lepas, dapat disimpulkan bahwa ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologi sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin dari proses sosial-ekonomi belaka. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang dipergunakan dalam sosiologi sastra adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra.
Beberapa penulis telah mencoba untuk membuat klasifikasi masalah sosiologi sastra. Wellek dan Warren (1976: 84) membuat klasifikasi yang singkatnya sebagai berikut: pertama, sosiologi pengarang, kedua sosiologi karya, dan ketiga sosiologi pembaca. Klasifikasi lain adalah yang dibuat oleh Goldmann (1980) yang didalamnya membicarakan tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat.
Istilah pendekatan sosiokultural terhadap karya sastra dapat kita simak dalam buku Grebstein (1968: 161-169) yang isinya antara lain sampai pada beberapa kesimpulan antara lain karya sastra tidak dapat dipahami secara tuntas apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan yang telah menghasilkannya, gagasan yang terdapat dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya, setiap karya yang bisa bertahan lama pada hakekatnya adalah suatu moral, masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah yaitu sebagai suatu kekuatan material istimewa dan sebagai tradisi, selain itu kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis tanpa pamrih, dan yang terakhir kritikus sastra bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra yang akan datang.
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat. Seperti halnya sosiologi, sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat. Perbedaan keduanya adalah bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan novel menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukan cara-cara manuisa menghayati masyarakat dengan perasaannya.
Dalam hubungannya dengan kritik dan sosiologi, Daiches berpendapat bahwa kritik sosiologis paling bermanfaat apabila diterapkan pada prosa. Prosa banyak tergantung kepada apa yang dianggap penting oleh masyarakat. Yang dianggap penting itu adalah hal-hal yang dapat mengubah hubungan-hubungan sosial. Pengarang besar tentu saja tidak sekedar menggambarkan kondisi sosial secar mentah. Sastra karya pengarang besar melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia. Oleh karena itu barangkali ia merupakan salah satu barometer sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap keuatan-kekuatan sosial dan arena sastra juga akan selalu mencerminkan nilai-nilai dan perasaan sosial.
Kalaupun novel dikatakan mencerminkan struktur sosial, maka yang didapatkan didalamnya adalah gambaran masalah masyarakat umum ditilik dari sudut lingkungan tertentuyang terbatas, yang berperan sebagai mikrokosmos sosial seperti lingkungan bangsawan, borjuis, seniman, intelektual, dan lain-lain.

B.           SOSIOLOGI SASTRA INDONESIA:

a.       StudiC.W.Watson
Secara eksplisit tesis Watson mengemukakan bahwa dasar teorinya adalah strukturalisme genetik Goldmann yang tak lain adalah pengembangan teori George Lukacs. Dalam tesisnya yang membahas tentang novel Indonesia dari rentang tahun 1920 sampai 1950, yang dilihat dari latar sosiokultural dan segi pandangan dunianya. Sama seperti Goldmann, Watson juga menaruh perhatian yang kuat pada teks sastra sebagai suatu struktur yang koheren. Akan tetapi dalam pengembangan tesisnya, ia ternyata tidak sepenuhnya setia pada kerangka teori yang ia gunakan. Ini disebabkan karena factor genesis yang tak tak dapat dijelaskan secara sosiokultural sebagaimana yang dijelaskan goldmann sehingga tersisiplah teori hegemoni Gramscian dalam analisisnya mengenai novel terbitan balai pustaka dan non balai pustaka. Keduanya terbatas pada sebuah eksplanasi berupa perubahan system nilai masyarakat dan diperhitungkannya sejumlah mediasi yang oleh Goldmann tak pernah terpikirkan, misalnya tentang mediasi tradisi sastra tradisional.

Genesis Novel Indonesia.

Novel Indonesia menurut Watson adalah novel yang terbit mulai tahun 1920 yang diterbitkan oleh balai pustaka. Novel Indonesia dibangun dari rentang tradisi yang sangat panjang sejak terjadinya perkembangan komunikasi di jawa dan sumatera, terutama sejak munculnya pers pribumi dalam bahasa melayu rendah dan jawa. Melayu rendah disini adalah sastra hasil pembaca cina peranakan karena ceritanya dianggap berbahan dari sastra tradisional cina. Pada tahun-tahun terakhir banyak novek realisme sosialis yang ditulis oleh penulis orang belanda atau indo-eropa yang tak lain adalah tiruan dari novel hindia belanda berbahasa belanda. Sirkulasi novel tersebut terbilang luas sehingga cukup membuat pemerintah colonial resah karena takut jika pada akhirnya, “melek huruf” ini akan mengganggu stabilitas keamanan politis kekuasaannya. Untuk menangkal hal seperti itu, pemerintah colonial akhirnya membentuk sebuah komisi bacaan yaitu balai pustaka yang novel-novel kita sebut sebagai awal dari novel-novel Indonesia.

Determinasi Faktor-Faktor Kultural

Dalam analisisnya mengenai karya-karya, Racine dan Goldmann tidak hanya berbicara tentang pandangan dunia, melainkan genesis dari pandangan dunia tersebut. Genesisi itu didapatkan dari mengidentifikasi asal kelompok sosial pengarang dan posisi kelompok sosial tersebut dalam tatanan kelas masyarakat. Hal tersebut tidak dilakukan oleh Watson. Yang ia kaji hanyalah perubahan system nilai dalam masyarakat.
Watson hanya mengkaji system nilai itu pada masyarakat Minangkabau karena kebanyakan buku balai pustaka dikarang oleh pengarang asal Minangkabau. Watson berpendapat bahwa transisi bentuk sastra tradisional ke modern merupakan salah satu akibat dari perubahan system sosial pasca perang Padri hingga tahun 1920-an. Meskipun perang padre diakhiri oleh menangnya kaum adat, akan tetapi karena kaum penghulu semakin terikat dengan Belanda, penghormatan terhadap otoritas tradisional menjadi lenyap, digantikan oleh orientasi nilai yang bersifat status pencapaian. Makin lama. Kekuatan otoritas tradisional di minangkabau makin kikis. Hingga sesudah abad 19, keaslian pandangan yang berpusat pada komunitas itu tak dapat dipertahankan lagi. Perkembangan berikutnya adalah mengkonsolidasi pandangan baru dan membentuk etika dan norma-norma baru. Meurut Watson novel balai pustaka cenderung berplot romantik.
Sekitar tahun 1933, ketika munculnya pujangga baru, novel Minangkabau tak lagi bercerita tentang masyarakatnya saja, melainkan juga masyarakat daerah lain misalnya Sunda.
Masyarakat kota telah berkembang menjadi masyarakat yang pluralis. Watson membedakan elit Indonesia menjadi dua macam. Yaitu kelompok yang menyukai asosiasi dan kelompok yang cenderung radikal. Konteks tersebutlah yang menjadi penting dan menentukan bagi perkembangan pujangga baru. Menurut Watson, pembacaan terhadap novel-novel pujangga baru telah berbeda, karena yang ditawarkan adalah menerima norma-norma dan nilai-nilai dunia modern. Ini disebabkan oleh pembacaan kesusastraan barat. Sebagai contoh novel layar terkembang, lingkungannya adalah kota dan tokohnya adalah bangsawan sunda. Gaya hidupnya cenderung seperti orang eropa. Tokohnya berorientasi nasionalis.Selain itu Watson menilai belenggu lebih maju daripada layar terkembang. Belenggu lebih menyoroti kelas menengah lingkungan perkotaan. Selain itu, belenggu tak bersifat tendensius.
Berbeda dengan Goldmann, Watson menggunakan konvensi sastra yang digunakan masayarakat sastra Indonesia. Karya sastra Indonesia tidak sepenuhnya modern, akan tetapi masih terikat pada konteks sastra tradisional. Itulah sebabnya sesuai dengan kebijaksanaan Bbalai Pustaka yang lebih menganggap bahwa masyarakat indonesia itu adalah anak-anak. Pada dasarnya karya yang diterjemahkan dari eropa itu adalah bacaan anak-anak. Kebijakkan serupa itu menurut Watson sesuai dengan kebijaksanaan politik pemerintah secara general. Sebagai mana telah dikemukakan, balai pustaka didirikan untuk menyaingin penerbit-penerbit swasta yang banyak menerbitkan karya sensasional dan politis. Itulah sebabnya buku terbitan balai pustaka meruapakan bacaan yang menghibur dan “aman”.
Ariel melakukan studi mengenai kesusastraan Indonesia mutakhir atas dasar teori hegemoni gramscian terutama dengan model yang digunakan oleh Williams. Dalam studi ini, sastra dianggap sebagai praktek atau aktifitas politik. Sesuai dengan konsep teori hegemoni yaitu meliputi dua level yaitu politik kesusastraan itu sendiri dan level politik general yang meliputi struktur sosial pada tingkat makro. Ariel membagi kajiannya menjadi tiga yaitu hegemoni dalam sastra Indonesia mutakhir, politik bersastra dan sastra yang berpolitik.
Sastra Indonesia menurut Ariel dihegemoni oleh bentuk kesusastraan tertentu. Bentuk itu dapat dilihat dari dominasinya dalam berbagai sector kehidupan yang bersangkutan Sebagai missal keberadaan kanon sastra yang berkembang dengan definisi konseptual, studi, dan penulisan sejarahnya. Bentuk kesusastraan yang hegemonic tersebut disebut ariel sebagai kesusastraan yang “diresmikan atau diabsahkan”. Selain itu terdapat beberapa bentuk kesastraan yang subordinat yang dibagi tiga oleh ariel yaitu kesusastraan yang terlarang, yang diremehkan, dan dipisahkan. Sastra yang terlarang sebagai contoh adalah karya Pramoedya Ananta Toer, yang diremehkan adalah novel remaja, dan yang dipisahkan yaitu non-sastra Indonesia dan non-sastra, sebagai contoh yang non-sastra Indonesia adalah sastra daerah dan yang kedua adalah sejumlah karya jurnalistik, essai, dll.
Menurut Ariel, secara struktural politik kesusastraan Indonesia mengidap pertentangan, dalam kenyataannya variasi ideologis dan pertentangan politis antar individu atau kelompok individu atau kelompok individu dalam setiap ragam kesusastraan yaitu sastra yang terlarang, diremehkan, non-sastra Indonesia dan non-sastra.
Dalam tulisannya ini, aril tidak sepenuhnya setia dengan teori hegemoni Gramsci dan Raymond Williams. Ariel  lupa akan prinsip hegemoni dan suborninat Gramsci dan kategori-kategori budaya residual, bangkit, dominan dari Williams.  Ariel terlalu mendasarkan kategorisasinya pada biografi pengarangnya, pada estetikanya, dan kadang-kadang pada sisi ideologisnya sesuai informasi empiric yang berhasil dilihatnya dipermukaan. Akhirnya Ariel mendapti kesulitan ketika memberi tafsiran ideologis yang general terhadap formasi kehidupan politik kesusastraan yang dibangunnya dengan formasi ideologis yang general. Akan tetapi secara teoretik, ariel tetap ditutntut untuk melakukan tafsiran tersebut. Ia malah kemudian melenyapkan kategori politik kesusastraan yang telah dibangunnya sebelumnya. Ia menggantinya dengan konsep ideologi bersastra yang menurutnya bisa dibangun oleh sastra yang politis dan apolitis atau bahkan dapat memilih salah satunya saja. Menurut Ariel, sastra Indonesia dibangun dari ideology apolitis yang sesungguhnya bagaimanapun tetap merupakan politik juga. Kesusastraan apolitis itu berkaitan dengan factor sosial politis yang general, yaitu depolitisasi Negara, kuantitas sejarah belum lama terjadi, hegemonisasi estetika sebagai acuan, sejarah resmi kesusastraan itu sendiri, dan perkembangan teknologi dan komunikasi massa mutakhir.
Depolitisasi Negara adalah merupakan kebijakan tak terelakan dengan ideology politis yang dipilih. Depolitisasi dapat dianggap sebagai usaha meredam yang dilakukan pemerintah sebagai tindakan praktis penghindar konflik. Kuantitas pemahaman sejarah yang dimaksud adalah pengalamn sejarah masyarakat hamya luas ketika awal orde baru saja dan itu sangat mendukung proses depolitisasi. Pemerintah melakukan berbagai pembantaian terhadap pelaku aktifitas politik terlarang sebelumnya, sehingga tercipta trauma yang malah membuat masyarakat lebih memilih untuk bersikap apolitis. Akibat dari hal diatas adalah terciptanya lingkungan sosial yang tak mendukung pertumbuhan aspirasi masyarakat dan persaingan mereka dalam ajang demokrasi yang terbuka. Akan tetapi semua itupun belum menjelaskan bertahan dan berlanjutnya gairah besar untuk bersastra yang apolitis itu. Akhirnya salah satu kelompok yaitu manifestasi kebudayaan secara tegas menolak lekra dan mereka tetap pada anggapannya bahwa bersastra itu meski sebaik-baiknya, bukan berpolitik.
Hegemoni estetika menjadi acuan ketika manifest kebudayaan menggunakan konsep ini sehingga menimbulkan kemungkinan politik apolitis itu tersusup. Yang menjadi patokan resmi adalah nilai-nilai dan konsep estetika. Akan tetapi konsep ini mendapat banyak kritik pedas karena keasyikannya bereksperimen dengan estetika yang agak seragam dan bersifat non-realis dan anti sejarah.
Menurut ariel, kekuatan sosial lain yang ikut memperlemah daya politis adalah teknologi komunikasi masa yang telah merombak kedudukan dan kekuatan sastra sebagai salah satu medium bermasyarakat. Sejak terpacunya pencanggihan teknologi, dalam masa orde baru, para penguasa secara sadar betul telah menyingkirkan sastra sebagai medium bermasyarakat yang efektif. Lahan ini—media massa—dianggap sebagai media yang paling berpengaruh dan disebut sebagai yang paling politis dan banyak menjadi sponsor dan sensor politik .

Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan dalam Menganalisis Karya Sastra

Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat dengan orang-orang, antar manusia, antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran, atau yang hendak digambarkan. Namun Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu
Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang- orang yang berada disekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya.
Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya.
Berangkat dari uraian tersebut, dalam tulisan ini akan diuraian pengertian Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan dalam Menganalisis Karya Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral. Sosiologi adalah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif.
Menurut Ratna (2003:2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain.
1.      Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya.
2.      Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.
3.      Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi.
4.      Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat, dan
5.      Sosiologi sastra berusaha menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan. Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1989:3-4) yang meliputi hal-hal berikut.
1.       Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan : (a) bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya, (b) profesionalisme dalam kepengaragannya, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
2.       Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap carmin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis, (b) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (c) genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat, (d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.
3.       Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan (1) sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi sebagai pengbaharu dan perombak, (2) sastra sebagai penghibur saja, dan (3) sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Dalam bukunya A Glossary of Literarye Terms. Abrams menulis bahwa dari sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti yaitu:
1.      Penulis dengan lingkungan budaya tempat ia tinggal.
2.      Karya, dengan kondisi sosial yang direfleksikan di dalamnya.
3.      Audien atau pembaca (1981:178).
Lanjut Damono (1989:14) mengemukakan bahwa segala yang ada di dunia ini sebenarnya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Seniman hanyalah meniru apa yang ada dalam kenyataan dan hasilnya bukan suatu kenyataan. Pandangan senada dikemukakan oleh Teeuw (1984-220) mengatakan bahwa dunia empirek tak mewakili dunia sesungguhnya, hanya dapat mendekatinya lewat mimesis, penelaahan, dan pembayangan ataupun peniruan. Lewat mimesis, penelaahan kenyataan mengungkapkan makna, hakikat kenyataan itu. Oleh karena itu, seni yang baik harus truthful berani dan seniman harus bersifat modest, rendah hati. Seniman harus menyadari bahwa lewat seni dia hanya dapat mendekati yang ideal.
Perkembangan sosiolgi sastra modern tidak terlepas dari Hippolyte Taine, seorang ahli sosiologi sastra modern yang pertama membicarakan latar belakang timbulnya karya sastra besar, menurutnya ada tiga faktor yang mempengaruhi, yaitu ras, saat, dan lingkungan (Abrams, 1981:178). Hubungan timbal-balik antara ras, saat, dan lingkungan inilah yang menghasilkan struktur mental pengarang yang selanjutnya diwujudkan dalam karya sastra. Taine, menuruskan bahwa sosiologi sastra ilmiah apabila menggunakan prinsip-prinsip penelitian seperti ilmu pasti, hukum. Karya sastra adalah fakta yang multi-interpretable tentu kadar “kepastian” tidak sebanding dengan ilmu pasti. Yang penting peneliti sosiologi karya sastra hendaknya mampu mengungkapkan hal ras, saat, dan lingkungan
Dalam hubungan ini Teeuw (1984:18-26) mengemukakan ada empat cara yang mungkin dilalui, yaitu (a) afirmasi ( merupakan norma yang sudah ada, (b) restorasi ( sebagai ungkapan kerinduan pada norma yang sudah usang), (c) negasi (dengan mengadakan pemberontakan terhadap norma yang sedang beralaku, (d) inovasi (dengan mengadakan pembaharuan terhadap norma yang ada).

C.          Penutup
Perkembangan sosiologi sastra merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik yang memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Sebagai salah satu pendekatan dalam kritik sastra, sosiologi sastra dapat mengacu pada cara memahami dan menilai sastra yang memprtimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial).
Pengkajian sastra dapat memahami dan menelaah karya sastra dari sosiologi pengarang, sosiologi karya, dan sosiologi pembaca. Melalui sosiologi pengarang misalnya akan dikaji novel Pramoedya Ananta Toer Bumi Manusia dengan hubungan dengan latar sosial pengarang yang berasal dari Blora sebuah kota di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia anak sulung dari sembilan bersaudara. Ayahnya adalah nasionalis tulen yang sebelum perang ikut dalam berbagai kegiatan, tetapi secara politik tidak tergolong sayap kiri. Gelar bangsawan “Mas” ia coret dari namanya, hingga Pram kecil bertahun-tahun kemudian masih melihat coretan di awal papan nama di rumah orang tuanya.
Contoh penerapan sosiologi karya sastra dalam hubungannya dengan masalah sosial adalah pengkajian novel Bumi Manusia dengan mengaitkannya dengan realitas kehidupan yang terjadi dalam masyarakat. Novel tersebut dipahami dalam hubungannya dengan masalah latar cerita hukum Belanda dan hubungan antara pribumi dan orang Belanda yang memiliki hubungan bersekat antara tuan kelas atas dan kaum rendahan. Sejarah mencatat kaum pribumi berada pada bawah. bahkan dibawah Cina secara hubungan hirarki dalam sejarah kekuasaan Belanda. Novel ini membuat pembaca mengerti hubungan Nyai yang bukanlah seorang Meufrow atau nyonya. Hukum belanda yang tak berpihak kaum pribumi. Sampai posisi kaum terdidik yang tetap tak sama dengan kamu terdidik dari keturunan Belanda. Cerita ini menggambarkan keadaan struktur sosial, ekonomi dan budaya pada jamannya. setiap manusia menempati posisinnya masing-masing. Sebagai bukti struktur sosial berlaku sampai sekarang.
Selanjutnya, penerapan sosiologi pembaca Bumi Manusia sebagai karya sastra yang tergolong banyak dibaca dan ditanggapi masyarakat. Walaupun motivasi para pembaca dalam membaca novel tersebut mungkin bermacam-macam, misalnya ada yang menganggapnya sebagai huburan belaka. Ada yang tertarik karena ceritanya tentang kehidupan seorang nyai yang kuat, prinsif, dan objektif. Hal ini juga didukung oleh fakta bahwa Buku ini ditulis Pramoedya Ananta Toer ketika masih mendekam di Pulau Buru. Sebelum ditulis pada tahun 1975, sejak tahun 1973 terlebih dahulu telah diceritakan ulang kepada teman-temannya.Setelah diterbitkan, Bumi Manusia kemudian dilarang beredar setahun kemudian atas perintah Jaksa Agung. Sebelum dilarang, buku ini sukses dengan 10 kali cetak ulang dalam setahun pada 1980-1981. Sampai tahun 2005, buku ini telah diterbitkan dalam 33 bahasa. Pada September 2005, buku ini diterbitkan kembali di Indonesia oleh Lentera Dipantara.

Buku ini melingkupi masa kejadian antara tahun 1898 hingga tahun 1918, masa ini adalah masa munculnya pemikiran politik etis dan masa awal periode Kebangkitan Nasional. Masa ini juga menjadi awal masuknya pemikiran rasional ke Hindia Belanda, masa awal pertumbuhan organisasi-organisasi modern yang juga merupakan awal kelahiran demokrasi pola Revolusi Perancis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar