Sabtu, 14 Juni 2014

SASTRA RELIGIUS

1.            PENGANTAR
Karya sastra sudah diciptakan orang jauh sebelum orang memikirkan apa hakikat sastra dan apa nilai serta makna sastra. Karena sastra sendiri adalah pengungkapan kaku dari apa yang telah disaksikan dan diakui orang dalam kehidupan, yang direnungkan dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung dan kuat dengan kata adalah pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa. Dengan pengertian ini dapat dikatakan bahwa yang mendorong lahirnya sastra adalah keinginan dasar manusia untuk mengungkapkan diri, menaruh minat pada dunia realitas tempat hidupnya dan pada dunia angan-angan yang dikhayalkannya sebagai dunia nyata dan keinginan dasar untuk mencintai bentuk sebagai bentuk. Oleh karena itu sastra tidak hanya meliputi karya yang diteliti tetapi juga karya tidak tertulis yang dihasilkan oleh orang atau sekelompok orang yang belum mengenal sistem huruf.
Dalam karya sastra – dari awal berkembangnya sampai sekarang – tentulah memerlukan sebuah etika atau konsep sastra. Yakni suatu batasan agar nilai kebenaran yang terkandung didalamnya senantiasa utuh. Dan etika dalam penulisan sastra ternyata membuat kita miris hanya kita temukan pada kesusastraan kita yang lama/tradisional. Mengapa? Karena didalamnya, yaitu sebuah filsafat dapat dikembalikan pada pendangan bersahaja menganai hidup. Pada intinya, dalam kesusastraan lama dituntut pengembalian antara hal-hal yang baik dan buruk. Sehingga pertentangan yang terjadi harus diselesaikan dan mesti berakhir dengan kemenangan yang baik, bijak, benar, dan seterusnya.
Namun, beberapa karya sastra yang berkembang saat ini cenderung lebih bersifat terbuka, blak-blakan, dan terus-terang. Beberapa diantaranya juga terkesan “membelokkan” pandangan hidup yang lama, yang selama ini dianggap tabu oleh masyarakat kita. Barangkali juga, hal ini sebagai akibat pengaruh dari globalisasi yang tengah berkembang.
Perkembangan itu menjadi fenomena sastra cyber yang menimbulkan sentakan dalam diri kalangan sastrawan. Tapi sebetulnya, bukan sastra cybernya yang menyentak, melainkan fenomena dunia kesusastraam yang mulai memasuki dunia cyber. Sastra cyber sendiri tak berbeda dengan sastra koran, sastra majalah, sastra bulletin, dan lain sebagainya. Soal estetika memang hal utama.

2.            RINGKASAN
Puritanisme adalah gejala keagamaan yang mengedepankan keinginan untuk menjaga kemurnian dalam beragama dan hidup sesuai dengan nilai-nilai keagamaan yang ketat. Sejarah dunia dengan gamblang menggambarkan proses lahirnya puritanisme sebagai iringan terhadap reformasi Protestan dan berdirinya gereja Anglikan pada abad 16. Dalam referensi kesusasteraan Inggris klasik, periode puritan (1620-1660) adalah tonggak pemicu lahirnya sastra yang berelevansi dengan agama. Ragam sastra yang muncul adalah puisi metafisis. Pelopornya adalah John Donne (1573-1631). Sumber inspirasi gaya metafisik ini adalah cinta dan agama.
Menyoal hubungan agama dan sastra adalah diskursus yang sudah langgam dibahas, baik di dalam sastra Inggris maupun sastra Indonesia. Dikotomi antara sakral dan profan adalah salah satu ulasan yang kerap dilakukan kendati upaya menggabungkan keduanya dalam satu bentuk karya sastra juga pernah terjadi. Dalam artian labelisasi sastra telah melahirkan beberapa bentuk dan corak karya sastra yang berhubungan dengan agama dan nilai-nilai keagamaan, sebut saja dalam perkembangan kesusasteran Indonesia, sastra religius dan sastra sufi. Keduanya merupakan model karya kesusasteraan yang telah eksis. Sejak zaman Hamzah Fansyuri, Balai Pustaka, tahun 1970-an, hingga sekarang; telah sering diselenggarakan diskusi atau tulisan lepas yang menekankan adanya religiusitas dalam karya sastra.
Awal kontra persepsi yang terjadi antara lain adalah sewaktu HAMKA menerbitkan dua roman populer, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1938) dan Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938). Status HAMKA sebagai ulama dan tokoh pergerakan Islam menjadi sumber utama awal perdebatan tersebut. Kalangan yang menolak menyebut HAMKA sebagai Kiai Cabul sebab bukanlah kepantasan roman percintaan dibumbui dengan aroma Islam. HAMKA sendiri menanggapi bahwa tidak sedikit roman yang berpengaruh positif bagi pembaca, dan ini juga dapat berimplikasi pada cara pandang keagamaan masyarakat terutama pada pembaharuan pemikiran keagamaan.
Benih perdebatan mulai tersemai. Nilai yang dikedepankan dalam upaya menemukan sastra religi berpusat pada adakah nilai keagamaan yang terkandung pada karya sastra. Tolak ukur kepribadian pengarang sudah bukan pedoman utama untuk menyebutkan bahwa karya ini religius atau tidak. Inilah babak awal diskursus sastra untuk memilah karya sastra.
Karya sastra berada di sebuah ranah estetika di mana ia adalah simbolisasi keindahan. Ia menjelaskan tentang objek estetik, kualitas serta pengaruhnya terhadap jiwa manusia, yaitu perasaan, imajinasi, alam pikiran dan institusi. Begitu juga dalam agama yang berorientasi pada etika. Ia menciptakan jalan lurus lengkap dengan peraturan yang mencegah manusia keluar dari jalur. Agama seperti ikatan yang tidak melepas seorang hambanya melenceng dari nilai kebenaran yang absolut – tentunya berdasarkan tendensi agama tersebut. Etika dapat juga disederhanakan dengan bahasa “benar dan salah” atau bermoral dan amoral.
Berdasarkan hal tersebut kita temukan perbedaan mencolok antara keduanya. Ranah estetis mempunyai konsekuensi logis ketidakberaturan terutama dalam kandungan estetika yang dimuat karya sastra. Kata “indah” adalah subjektivitas pengarang sehingga ia dapat sekehendaknya membalik fakta dari sebuah realitas yang ia tuangkan. Hal yang buruk berubah menjadi baik dan sebaliknya. Teks sastra selalu ambigu dan menyamarkan konsepsi “benar-salah” yang berelasi erat dengan agama. Sehingga menyematkan label agama pada karya sastra seperti sastra Islam, sastra Kristen dan sebagainya menjadi sebuah paradoks karena sekat yang ada antarkeduanya.
Sebagai bukti bahwa estetika seringkali tidak bersatu tubuh dengan etika adalah maraknya pergoncangan argumentasi tentang Goyang Inul beberapa tahun silam. Beberan kemuakan dan kebencian atas visualisasi goyang ngebor dan disamakan dengan goyang striptease (telanjang) lahir dari eratnya proses pejawantaham bentuk etis dan dikaitkan dengan moral bangsa yang menganut adab ketimuran. Lagi-lagi pendapat ini dikuasai oleh kalangan pemuja taat agama. Sementara luapan dukungan mengalir dari pihak yang mengatasnamakan pemuka pencinta seni. Apa yang ditampilkan Inul bukanlah bentuk dari pornografi melainkan representasi dari keindahan dan kesenian yang bebas nilai.
Di Indonesia, sering terjadi labelisasi karya sastra sebagai sastra religi. Sebut saja puisi karya Amir Hamzah “Padamu Jua” atau puisi “Lagu Bulan Mei” karya Acep Zamzam Noor. Hanya karena interpretasi material yang berbau keagamaan serta merta kedua karya tersebut dikategorikan dalam sastra religi. Amir Hamzah, sastrawan yang dibabtis HB. Jassin sebagai raja penyair Pujangga Baru, dalam puisi “Padamu Jua” menuliskan larik: pulang kembali aku padamu, seperti dahulu. Kata ganti mu diartikan sebagai simbolisasi Tuhan sehingga karyanya terkesan religius. Ini tentu bukan penafsiran yang salah sebab teks menyediakan paradigma semiotis bagi simbolisasi apapun bahkan Tuhan. Namun apa yang terjadi ketika kata ganti tersebut -mu pada larik tersebut diartikan dengan makna lain, seperti mantan pacar atau bahkan tempat prostitusi dan kedua penafsiran ini dapat menjadi acuan dalam teks tersebut, tentu akan melahirkan tiga model keindahan makna yang berbeda dan berseberangan.
Acep Zamzam Noor malah membikin pengakuan yang kontradiktif dengan wilayah sakral religi. Pada puisi “Lagu Bulan Mei” dituliskan: Sebuah sungai di pahamu, Berkelok-kelok dengan riang, Menyirami rumpun bunga dan sayuran, Tangannya yang panjang bahkan mencapai, Altar gereja. Di sini, teks puisi sengaja mempersatukan dua diksi berlawanan – antara sungai di pahamu dengan altar gereja – dalam satu tindak dan satu tujuan.
Karya sastra adalah produk teks. Ia adalah wujud imajinatif yang terangkum dalam simbol-simbol bahasa. Acuannya adalah bahasa yang menghidupi pengarang. Bersastra adalah proses mencapai klimaks estetik dengan menyusun pondasi-pondasi berupa imajinasi, fantasi, fiksi dan ekspresi dengan perantara bahasa. Tak heran, jika kita seringkali menemukan analisis karya sastra yang berbeda bahkan bertentangan dan ini adalah hal yang lumrah terjadi.
Teks sastra menciptakan multi kebenaran karena pada dasarnya merasuki ranah sastra berarti bermain-main di dalam labirin teks bahasa. Dampaknya pun beragam ditilik dari konsep kebahasaan yang telah mapan. Teks sendiri adalah ungkapan bahasa yang menurut pragmatik, sintaktik, dan semantik/isi merupakan suatu kesatuan. Walau begitu, meski beberapa unsur tersebut telah terpenuhi, bukan berarti perkara yang mudah untuk mencari makna dalam teks sastra. Bahasa mempunyai kelemahan-kelemahan yang menjadikannya sulit untuk didekati, kesamaran (vagueness), implisit (inexplicitness), ketaksaan (ambiguity) dan tergantung pada konteks (context-dependence) adalah perihal yang sering menyebabkan kita mengalami kesalahan untuk mencari kebenaran makna di dalam bahasa. Sebagai bukti adalah puisi Amir Hamzah yang ternyata memungkinkan untuk dimaknai lain, meski ia telah menyebutkan makna sebenarnya yang ia tasbihkan dalam karyanya.
Lalu lalangnya pandangan semiotis (bahasa sebagai tanda) sekiranya bisa untuk menyelesaikan problematika penafsiran ini. Atau mungkin konsep intertektualitas (hubungan antar teks) dapat mengantarkan kita menuju pemahaman sempurna akan teks. Konsep-konsep linguistik lainnya jikalau ikut urung rembug mungkin dapat mengatasi hal ini. Tetapi terbatas pada metode untuk menafsiri makna bukan menghasilkan. Sebab yang akan terjadi adalah munculnya multi-kebenaran yang didapatkan dari proyeksi analisis teks sastra.
Seiring dengan membuminya pemikiran post-strukturalisme, teks sastra tak ubahnya seperti pelancar dari formulasi yang dicetuskan oleh para pemikir post-strukturalisme. Teks sastra mencoba menghadirkan nilai-nilai yang sebelumnya disikut oleh nilai dominan masyarakat. Teks sastra memunculkan celah yang tak pernah terlihat sebelumnya. Struktur nilai dominan/primer yang merupakan konvensi masyarakat bisa dijungkirbalikkkan oleh struktur nilai sekunder yang terlupakan.
Sederhananya, etika yang menjlentrehkan oposisi biner (saling berlawanan) sangat disamarkan oleh sastra. Yang benar bisa salah, dan yang salah dapat dipoles menjadi varian kebenaran yang sebelumnya tidak disentuh oleh masyarakat. Sehingga seringkali banyak karya sastra yang dibredel, dilarang dan tidak diterbitkan hanya untuk memenuhi arogansi etika yang selalu mengikat.
Djoko Sarjono berpendapat, imajinasi, fantasi, fiksi, dan ekspresi kebaruan yang bebas sebebas-bebasnya bukan “penguasaan tunggal” untuk memperoleh estetik dan stilistik. Semua itu bukan ukuran pencapaian mutu sastra dalam konsep kenusantaraan kita. Ukuran mutu sastra didasarkan atas seberapa jauh kemampuannya menjadi presensi dan representasi tutur aktifitas eksistensial dengan mematuhi, kebulatan, dan kesatuan religiositas, filosofis, etik, dan estetik. Namun apalah artinya jikalau teks sastra masih menghendaki yang lain. Nilai religiusitas, filosofis, etis apalagi estetis adalah macam ambigu yang tertampil dalam karya sastra. Menurut Malinowski (Santoso, 2003), konteks situasi menentukan pemilihan bentuk dan makna sekaligus. Sehingga potongan bentuk makna dari tiap kata adalah konsensus masyarakat yang bersifat arbitrer dan tentu mempunyai perbedaan berdasarkan kultur yang berbeda. Tetapi yang menjengkelkan adalah hasil makna yang terjadi dapat berupa penindasan terhadap makna lain yang sesuai tetapi terbelenggu oleh kekuasaan nilai dominan yang ada.
Kembali pada permasalahan labelisasi sastra religius, adalah macam dikotomistik yang rancu. Membatasi teks sastra dengan labelisasi adalah kemustahilan. Sebab kajian sastra selalu meluas, satu perbedaan saja, memastikan adanya corak anyar di dalam sastra. Kemampuan manusia yang selalu terikat dengan simbol, tanda dan identitas adalah penyebab utama. Mereka cenderung untuk memberikan simbol baru pada realitas yang berbeda demi peneguhan identitas – sebagai pembeda. Karya sastra menjadi licin untuk dipegang. Memang telah ada model-model sastra yang telah paten, sebut saja sastra daerah, sastra erotik, sastra rakyat, sastra sufi, sastra religi dan lain-lain. Tetapi itu bukan hal yang dapat ditetapkan dengan semena-mena.

3.            PEMBAHASAN
ADA satu konsepsi tema dalam perbincangan sastra, sebuah kerja nyaris sia-sia: religiusitas sastra. Sejak zaman Hamzah Fansuri, Balai Pustaka, tahun 1970-an, hingga sekarang; diselenggarakan diskusi atau tulisan lepas yang menekankan adanya religiusitas dalam karya sastra. Dipelopori Abdul Hadi W.M., aliran sastra sufi pun muncul. Mengapa konsepsi tema religi rekat pada perbincangan sastra? Apakah kontribusinya bagi tradisi sastra?
Amir Hamzah, sastrawan yang "dibaptis" H.B. Jassin sebagai raja penyair Pujangga Baru, dalam puisi Padamu Jua menuliskan larik pulang kembali aku padamu, seperti dahulu. Sebuah puisi cerdas, dan karenanya membikin pembaca terpesona. Kata ganti mu diartikan simbolisasi Tuhan. Ini tentu bukan penafsiran yang salah, teks menyediakan paradigma semiotis bagi simbolisasi Tuhan. Konsepsi ketuhanan pembaca memperoleh keselarasan atau terwakili oleh imaji ritual puisi Amir Hamzah. Pertemuan dua kutub dalam ruang sublimitas. Pembaca dan puisi. Aku lirik kembali ke jalan yang benar setelah berlepotan tindak dosa dalam berpetualang di alam profan. Jalan Tuhan. Pulang kembali aku padamu, Tuhan. Penafsiran religi mendapat sandaran dalam larik puisi. Pembaca, sekali lagi, terpesona. Kesimpulan muncul, puisi Amir Hamzah religius.
Amir Hamzah, kiranya, bukan satu-satunya penyair yang mendapat hasil penafsiran religius. Ada banyak penyair yang puisinya membuka diri pada pengalaman berseru terhadap Tuhan disebut penyair religius. Puisi religius, sastra religius. Ini klaim massal yang melekat – nyaris abadi – dalam puisi. Juga dalam prosa. Juga dalam drama. Semisal drama Emha Ainun Nadjib berjudul Perahu Retak. Kumpulan prosa Fariduddin Attar dan Kahlil Gibran, bahkan sering, dipajangkan pada deret buku-buku agama.
Sesungguhnya yang terjadi adalah pemberian identitas sastra oleh pembaca. Massa pembaca. Bagaimanakah karya sastra pada kerangka akar sastra? Bagaimana religi dalam kerangka akar religi? Bagaimana juga posisi sastra berhadapan dengan religi? Persandingan sastra sebagai institusi kerja independen dengan religi sebagai institusi independen pula.
Sastra hidup dan dihidupi oleh dataran estetika. Dataran pembebasan. Karya sastra akan semakin berhasil – memesona dan menakjubkan – bila mampu membongkar tatanan. Mempertanyakan kepastian sekaligus meluruhkan paradigma ideologisnya. Sastra seperti sorot mata yang memandang tajam batu hitam pekat. Lima menit pertama, batu itu hanya bergetar. Lima menit kedua, batu tersebut melepuh menjadi adonan. Sastra hadir untuk membuktikan kerapuhan setiap ikatan.
Religi hidup dan dihidupi oleh dataran etika. Dataran ikatan. Religi menciptakan jalan lurus, lengkap dengan rambu-rambu dan tanda seru. Lembaga agama merupakan contoh paling tepat dari kerja religi. Ada kitab pegangan menempuh hidup. Religi senantiasa mempersatukan ketidakberaturan melalui kekokohan tatanan. Kehadirannya seakan ingin menegaskan kesatuan cemerlang. Religi seperti lanskap arakan elang mengangkasa di suatu sore yang redup.
Sastra berusaha menyamarkan pemilahan benar-salah. Dua nilai kunci ini diacak dan dipertauttengkarkan. Religi bersikukuh dengan kemutlakan benar-salah. Keduanya jelas terpisah dan berdiri pada tempat berlawanan. Baik-buruk bertukar tangkap dengan lepas dalam sastra. Satu tindak bisa serentak baik sekaligus buruk. Sastra akan sangat gembira dengan penggambaran orang yang berjalan jauh – berpakaian merah kelam dan bersenjatakan golok – di tengah perjalanan orang tersebut meninggal. Apakah pejalan tersebut salah atau benar sangat sulit ditentukan. Dia hanya bisa direka-reka.
Bisa benar bila dia bertujuan menebang kayu sendiri. Salah bila ternyata dia ingin merampok juragan dermawan. Karena itu, seorang pejalan yang mati sebelum sampai di tujuan, bergerak dalam kemungkinan yang serentak salah dan benar. Bergantung pada akhir; jawaban tegas yang jarang tercantum dalam sastra. Ambiguitas.
Religi menceraikan tindak baik dan buruk. Satu tindak tidak dapat bermuatan baik sekaligus buruk. Religi adalah pejalan yang telah sampai di tempat tujuan. Lepas dari hasil tindakannya, sang pejalan telah selesai ternilai. Ia hanya berhak menyandang satu nilai, tidak serentak keduanya. Jangankan mempersatukan, bersinggungan pun tidak, sebab keduanya saling berlawanan. Religi -etika- menciptakan pagar sedangkan sastra -estetika- membongkarnya. Sastra merayakan kerapuhan, sedangkan religi memperkokohnya kembali.
Kembali pada puisi Amir Hamzah, bagaimana bila kata ganti -mu pada larik kembali aku padamu diartikan bekas pacar. Lebih jauh lagi, diartikan sebagai tempat pelacuran. Antara Tuhan, bekas pacar, dan tempat pelacuran menjadi berposisi seimbang karena sama-sama mendapatkan acuan dalam teks. Padahal, hasil penafsiran ketiga kemungkinan tersebut sangat berbeda. Mungkin sangat berlawanan secara aturan nilai terapan pembaca. Tiga model ketakjuban yang berseberangan.
Bagaimana mungkin teks yang memungkinkan adanya perseberangan berlawanan dapat diakui sebagai teks religi? Bagaimana mungkin teks religi membuka diri bagi beberapa kebenaran yang saling bertentangan. Saling mempersalahkan. Religi dalam teks Amir Hamzah hanya benar dalam penafsiran yang sewenang-wenang, menaifkan penafsiran lain yang sama-sama mendapat paradigma semiotik dalam konstruksi teks.
Acep Zamzam Noor malah membikin pengakuan yang kontradiktif dengan wilayah sakral religi. Pada puisi Lagu Bulan Mei dituliskan: Sebuah sungai di pahamu, Berkelok-kelok dengan riang, Menyirami rumpun bunga dan sayuran, Tangannya yang panjang bahkan mencapai, Altar gereja. Di sini, teks puisi jelas sengaja mempersatukan dua diksi berlawanan – antara sungai di pahamu dengan altar gereja – dalam satu tindak dan satu tujuan.
Perpaduan diksi berbeda, bahkan berlawanan, artinya berusaha menguji keabsahan makna baku berkaitan dengan diksi-diksi lain yang juga diuji keabsahannya. Patokan-patokan etika atau makna puisi, diwakili oleh diksi, menjadi terapuhkan. Diksi-diksi, entah sakral atau profan, berbenturan lalu memaksa memasuki medan makna baru. Teks puisi mempersilakan pembaca memproduksi sendiri arah dan hasil penafsiran. Pada puisi Acep terjadi reproduksi etika, oleh pembaca, dengan bermaterialkan reruntuhan etika.
Inilah estetika. Sejalan dengan yang diungkapkan Oktavio Paz: harmoni puisi lahir dari disharmoni. Keindahan tercipta melalui pertentangan-pertentangan antarmakna. Di sini etika, dataran religi, dihapuskan untuk memenuhi dataran estetika. Kecuali mempertentangkan, ada kalanya puisi mengikuti nuansa citra dan alur logika religi.
Tidak untuk disepakati. Puisi mempertanyakan dari dalam, semacam autokritik. Tampak pada puisi Muh. Aris dalam judul Barongsai (antologi Ngilu Peju, Gapus: 2000): dendam kepala kami hantam, bara, wujud Tuhan, wujud Tuhan, yang pendam neraka/dan kami lempar sentil, kelingking pada sorga/yang tak lebih, maya. Puisi terhadap religi seperti menggunting dalam lipatan. Menohok kawan seiring. Gambaran neraka yang rucah, beringas, dan panas justru diperlakukan sebagai pola sintaksis bahasa. Tragik. Larangan dijadi permainan.
Berhadapan dengan sakralitas neraka, puisi Aris, seperti anak kelas 3 SD yang diberi tahu ibunya agar tidak berlari di tengah jalan raya. Bukannya menurut, si anak malah cepat melompat menghadang truk dari arah berlawanan. Saya membayangkan tokoh dalam puisi Muh. Aris sengaja masuk neraka. Di sana, dia tidak berkelenjotan kepanasan tetapi berenang santai sambil memainkan alat tabuh Irian Barat dengan cengkok-cengkok Jawa. Apalagi digambarkan wujud Tuhan yang pendam neraka. Sudah itu, dilempar masuk surga. Terakhir, semuanya dinyatakan maya.
Kegiatan ini sangat mirip dengan dekonstruksi dari Derrida. Membongkar-bongkar konstruksi lalu menisbikan segala hal. Puisi Aris jelas mempermainkan dan membongkar konstruksi etika atau sakralitas religi, bahkan menisbikan segalanya. Karya sastra bergenre prosa, rupanya, tidak berperilaku berbeda. Pramoedya Ananta Toer dalam Cerita dari Blora sempat mengisahkan tentang laku Islam sejati. Seorang anak yang ingin menjadi Islam sejati disuruh melakukan khitan. Setelah dijalani, ternyata dia merasa sebaliknya. Birahinya meningkat tajam.
Lebih rumit lagi, peristiwa-peristiwa dalam novel Ziarah karya Iwan Simatupang. Di situ tokoh-tokohnya mengalami kejadian yang tidak beraturan, mendadak, asing, dan hanya dapat terjawab dalam kuburan. Mengurusi kematian. Menanti mati. Sendiri.
Apakah dengan begitu masih ada karya sastra yang religius? Saya lebih percaya pada teks sastra yang cerdas. Bahwa teks sastra bukan saja tidak bernuansa religius, justru yang diusahakan adalah merapuhkan religiusitas.
Semacam kodrat, diakibatkan berpijak pada dataran estetika. Ketakjuban/keindahan dari terapan pertentangan, ketegangan, permainan, serta ketidakpastian. Semuanya berada di luar wilayah religi. Anak haram dari keketatan konstruksi etika. Hanya, ada memang karya sastra yang masuk dan menaati ajaran religi. Karya sastra yang turut membangun tata aturan etika. Ditinjau dari ukuran sastra, karya-karya semacam ini tidak bagus. Sebab, mengabaikan estetika. Lari dari keindahan.
Karya sastra jenis ini sering membangkitkan decak kagum dan mengundang tepuk tangan pembaca. Bersifat menghibur. Sebuah hiburan. Misalnya puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul Idul Fitri (Antologi Puisi Indonesia, KSI: 1998): lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini, ngebut, di jalan lurus, Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoar. Mungkin, puisi ini akan sukses bila dibacakan di acara penutupan reuni SMU. Tidak untuk acara pembacaan puisi, jalinan diksi dan orientasi teksnya membuat orang enggan berpikir dan membayangkan imajinasi jiwa. Jauh berbeda dengan puisi Sutardji dalam “Amuk Kapak” pada 1970-an.
Sastra tanpa betah religi, begitulah "tidak ada sastra religius", meskipun bertentangan dengan institusi religi, itu hanya terjadi pada teks. Di luar teks, keduanya menemukan titik temu. Saling menjalin merumuskan kebudayaan. Sastra dan religi ada dalam masyarakat, dihidupi masyarakat, serta hidup untuk masyarakat.
Religi membangun tata krama agar orang mengerti, menjalankan yang benar dan yang baik. Juga memicu situasi daya cipta. Sastra, dengan paradoksnya, membuat orang mengerti hidup dan yang terjadi pada hidup. Sastra berguna untuk religi sebagai autokritik. Religi berjasa bagi sastra sebagai modalitas kreatif.

4.            KESIMPULAN
Setelah menguraikan secara singkat tentang sastra religius di atas, maka pandangan pada sastra religius itu sebenarnya bukanlah sebuah warna dalam kesusastraan. Namun, keterkaitan antara kesusastraan dengan agama memang tak dapat dipisahkan. Hal ini disebabkan karena banyaknya masalah-masalah keagamaan yang masih kabur di mata masyarakat sehingga memanggil jiwa para sastrawan untuk mencoba mengungkapkannya melalui karya sastra. Terkadang pandangan para sastrawan itu terhadap agama juga malah melenceng dengan penggunaan diksi-diksi yang kurang tepat, seperti apa yang di tulis oleh Acep Zamzam Noor, Muh. Aris, Pramoedya Ananta Toer dalam karya-karya mereka.
Seperti apa yang pernah dibahas Harris Effendi Thahar dalam Majalah Annida rubrik Bengkel Cerpen Nida, inilah yang disebut imajinasi yang kebablasan. Seorang sastrawan hanya mengetengahkan estetika dalam karyanya tanpa peduli sampai di mana is membahas sesuatu itu, termasuk masalah agama. Sehingga bisa dipastikan, bahwa sastra religius itu tidak ada dalam khazanah sastra. Dalam khazanah sastra, agama memang sering dibahas dan dikemukakan namun tetap saja agama bukan warna dalam kesusastraan. Dalam kesusastraan, agama hanya berperan sebagai tema.
Namun tidak bisa juga dikatakan, kalau kebenaran agama hanyalah milik para ulama, kyai, pendeta dan pemuka-pemuka agama lainnya. Kebenaran agama sesungguhnya ada pada bagaimana agama itu dalam pandangan penganutnya, apakah sesuai dengan kitab suci atau tidak. Dengan demikian, sekali ditegaskan bahwa sastra religius itu tidak ada menurut apa yang kami uraikan dalam bagian ringkasan dan pembahasan di atas. Sastra religius itu ada hanyalah karena para sastrawan memasukkan agama sebagai pokok permasalahan yang dituliskannya dalam karyanya, sehingga boleh dikatakan bahwa agama hanyalah sebagai tema dalam kesusastraan.
Lebih jauh, sastra religius itu sepertinya akan mencakup banyak hal, misalnya saja dalam ceramah-ceramah agama, khutbah-khutbah agama dan yang lainnya. Tentu saja penulisan naskah ceramah dan khutbah tersebut tidak lepas dari etika dan estetika yang dimiliki juga oleh karya sastra. Kalau tanpa etika dan estetika, kita bisa bayangkan berapa orang yang sanggup mendengarkan para pemuka agama menyampaikan ceramah dan khutbah selama berjam-jam. Lantas mengapa kita tidak menyebut kalau naskah ceramah dan khutbah itu sebagai hasil sastra religius? Dari sebuah karya sastra yang telah teridentifikasi dengan satu label, sebut saja sastra religius sebenarnya ia mengandung makna-makna lain yang berakibat ia juga layak diberikan corak baru, berlainan dengan anggapan awal.

Biarlah sebuah karya sastra itu bebas tanpa embel-embel apapun. Karena ketika ada stigma terhadap bentuk sastra, maka ia berpeluang untuk menciptakan konflik di dalam sastra sehingga yang terjadi nilai estetis menjadi hal yang semakin jarang ditemukan dalam karya sastra. Biarlah sastra itu bebas untuk dinikmati, dipandang dari sudut apapun. Jikalau kita tetap membatasi sastra, maka yang terjadi adalah penindasan  terhadap nilai-nilai atau makna yang sebenarnya ada namun ditiadakan. Akan ada kriminalitas terhadap analisis sastra, sebab pengaruhnya adalah yang berkuasa dialah yang menang dan penafsirannya yang akan diakui orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar