Selasa, 14 Juli 2015

PUISI-PUISI OMI INTAN NAOMI

SAJAK CINTA SOLO II
aku mencintaimu tanpa pernah berpaling
dan membandingkan kamu dengan yang lain.
sebab udara yang kuhirupi itu ada di sini
air yang mengalir itu di sini
dan nyawaku tertanam di sini
entah kapan - tapi pasti.

aku mencintaimu tanpa pernah berhenti
mencintai setiap sudut jalan
dan segala jenis kere kota ini.
mencintai segala jenis makhluk yang ada –
dari pelacur sampai walikota
dari pengusaha sampai sopir biskota
aku mencintai karena aku mengerti
1987

DI TUGU
sedang dijual: sebuah kota
saat mataku sedang dirampok
dari cakrawala yang biasa
makin benarlah yang dibenarkan!

umbul-umbul sebuah obrolan::
dunia lagi cuci gudang. aku tak akrab!
pak dirman kepanasan dalam jas hujan
aku sedang kapan? waktu mogok di musium.

habisi! habisi!
belilah kota kami.
yogya, 1991: senisono

PUISI-PUISI OKA RUSMINI

1967
Di museum kutemukan dahimu penuh kerak timah,
meleleh membutakan matamu.
Diam-diam kutawarkan tali mungkin kau ingin menjerat tubuhku.
''ku jajah tubuh belalangmu.
Kita bersembunyi di gua.
Lari dari topeng- topeng yang kita pentaskan.
Jangan lempar tali !
Ayahku akan kehilangan wujud laki-lakinya.
Ibuku memuntahkan ulat yang lama dikandungnya''
Di museum matamu memecahkan seorang perempuan.
(kau terbangun dari kantuk)
Aku menelan gelap,
mengunyah api
(agaknya aku mulai membakar jantung)
Mana taliku?
Ingatkah kau, di mana kutanam impian yang disembunyikan perempuan jalang
yang harus kupanggil ''tante''.
(perempuan itu tak lagi memiliki hati.
Hidupnya digadaikan untuk orang-orang yang rajin menyapanya di jalan.
Mungkin dia ibuku?) ''
Jangan melilitkan tubuhku dengan tali.
Batang tubuhku buas.
Tak ada tali mampu mengikatnya.
Jangan hidangkan impian.
Mari meneguk kata-kata.
Kau tahu, tumpukan huruf kuserap.
Tumbuhlah anak rambutmu.
Ayahku diam-diam menanam kebesaran.
Tapi aku tak punya rangka iga.
mari sanggama di batu-batu,
mungkin ingin kau kuliti karang tubuhku''
Kau terlihat pandir, tolol.
uapmu mencairkan satu demi satu bukit yang kusimpan di urat tangan.
Di museum kau begitu pengecut.
Aku mulai menggantung bayi di ujung rambutmu.
Matanya memuntahkan pisau.
Aku memperingati hidup.
Dengan seratus tahun sunyi milik Garcia.
Ikan-ikan meluncurkan sperma,
betina memuntahkan gelembung karang.
Di museum, sunyi jadi begitu runcing.
tahun-tahun yang pernah kita pinjam kumasukkan dalam upacara pengabenan.
Pulangkah aku?
Siapa yang kucari.
Diam-diam, Garcia sering mengajakku sanggama di atas tajam ombak.
Di museum, atau dalam mata, jantung, hati, dan keliaranmu.
Aku tetap gua kecil, yang ditenggelamkan rasa dingin.
Berlayarlah selagi kau masih ingat laut.
Jangan catat namaku.
Karena ibuku pun pandai membuangku di buih laut,
mencongkel hatiku dengan lokan.
1999

1992
pertemuan itu, jadi benih pulau, bongkahan karang dan pasir, kukenang seperti anak sungai yang melarutkan wujud perempuanku.
''Aka kabar percintaanmu. Sungaikah dia? Lautkah? Kematian panjang, surga, kebun bunga, ladang tambang, atau hutan puisi?''
Aku melarutkan garam dalam darah. kau menitipkan hati, huruf-huruf kau sebar di seluruh ranjang tidurku. ''Mungkin ini bangkai kenangan percintaanku, kupikir mampu merangkaimu dalam lubang otakku. Hurufku, Jadikan kalung, kirimkan. Akan kutanam ditubuhku. Aku tak pandai mendongeng. datanglah tanpa tubuh. kubuka seratus pintu tubuhku.selagi tak bisa kau kerat kulitmu'' aku mulai merangkai gelisah dan rasa takut, muntahannya jadi pohon tumbuh di nadiku. Dalam persembunyian yang menyakitkan. Kulubangi hati. Bahkan selagi lapar aku tanah pikiranku.
''matamu menjelma laut hitam. Penyamunkah yang rajin mencangkul mata, dan menebasmu. Kulihat api melingkari tubuh kurumu, memerasnya berkali-kali. Mari mendekat, sentuh tubuhku. Kutuntun kau menjerang nasib. berbungakah huruf-hurufku?''
kau bangunkan aku dari tidur panjang. Menguapkan tahun-tahun yang kupinjam. aku tak lagi memiliki kaki. Memanjati sejarah yang terus berputar di ujung rambut ku.
''lelahkah kau, terbang dengan sepasang sayap patah, yang meleleh ditiup kisah-kisah percintaan. Lelakikah dia? Atau lumut yang mengisap mata air hidupmu. Mari mendekat, kuhangatkan kau. Dongengkah yang kau pinta?
Atau, kutawarkan tubuhku.''
Api itu terus menjilati tubuhku. Lelakikah kau?
''mari menari dalam tidur panjangku. Kuteguk tubuhmu dalam gelap''
1999

1996
:mp

aku mengantarkan sepotong tubuh perempuan pada lelaki. Sebuah jurang pelan-pelan melahap mataku yang mengairkan sungai. Kunaiki batu-batu yang menumpu tubuh. Orang mengantar bunga, kue-kue pasar dan sesaji air mata. Di mana ibu kita? Di mana bapak kita? Aku terus menaiki tangga-tangga karang sambil menyusui rasa lapar. Kuremukan bukit-bukit, kutelan karang, berharap kutemukan keping wajah ibuku.
Muray, mulai menampung cairan tubuhku, mendongeng tentang api, kelahiran, sedikit kematian. Dia bungkus di ketiak dan tubuh kecilnya.
''Muray aku telah nikahi laut. Dia maui tubuhku. Mana tubuhnya?''
Langit muram. Percikan api pada ban mobil. sunyi meraup tubuh telanjangku. Kurakit disumsum tulang. Aku mulai melukis perjalanan. Telah kutinggalkan seorang perawan di sebuah bukit dengan tumpukan batu runcing yang melahap tubuhnya. Perempuan itu tidak berpaling. Kucoba tinggalkan hati, tak disentuhnya. Muray, mulai mengurai rambutnya membilas gelisahku. Aku melarutkan perjalanan, sambil melubangi tubuh, kuhirup aroma rasa takut. Kebisuan panjang mengerat tubuh. Muray, mungkin akan kunikahi darahku.
''Inilah permainan kecil, laut dengan ombaknya. Karang mengawinkan buih. Matahari dengan pecahannya, kau merasa terbakar? Biarkan, kau akan rasakan sanggama. Ketika Tuhan datang, jangan pernah bukakan pintu. Remas tubuhmu, biarkan tetesannya merusak wajah-Nya''.
Muray, aku kehilangan perawan kecilku. Lengking tangisnya masih menggantung di helai rambutku. Rasa laparnya dia ayunkan di hati. Ibuku telah lama mati, Muray. dia khabarkan kehilangan keseluruh orang-orang: agar dilupakan dosa dan kelaparan wujud perempuannya. Orang-orang mengutukku. Ibuku duduk diperapian membakar kelahiranku.
''perempuan memiliki beratus wujud. Genggam tanganku, seratus laki-laki akan menghayutkan tubuhmu ke laut'' Muray, perawan kecilku hilang. Tak ada kata-kata berlarian dari mulutnya. Dia hanya memanggil nama ibunya. Lelaki itu telah mencuri tubuhnya. Muray, apakah kita harus pulang? diam-diam kau menikahi perjalanan mengunci petiku.
1999

15-06-1998
:gp

orang-orang memang pandai merajang sejarah. Ketika kau datang seorang perempuan mengeram, memaki seuruh rongga tubuhku. Dia lupakan sejarah kanak-kanak, (kami telah kehilangan ibu, ketika kau menangis) tak ada orang menyiram tubuhnya. Dia tetap tumbuh. Kau ingat lelaki setengah baya, yang memandangmu dengan api. Orang-orang menanamkan ulat di mulut dan darahnya.
''hanya lelaki yang ada dalam pori-pori otakku. Mereka akan larutkan tubuhku di api. Sempurnalah wujudku'' Lelaki itu, mulai memberi sedekah: sekotak mimpi coklat. Tanahnya ditanak. Orang-orang hidup di atas lukanya. Ketika lelaki itu tua, mulai mahir mendongeng kau datang, berselimut ari-ari. Tak ada lelaki menyentuh kulitmu. Lelaki tua itu memandang orang-orang, mereka mahir menggali tulang-tulangnya, memeras mimpi dan dongengnya. tubuhnya dijual ke laut.
Sebuah upacara kau miliki. Orang-orang yang melahap tanahnya tak pernah menyentuh tubuhnya. Mereka bakar dosa. Anak-anak terus mengelupas di dahiku.
(mungkin kita akan membuka sebuah pesta sambil memeras tubuh lelaki, meneguknya berhari-hari, sampai kita mabuk, darah kita akan meluap melahirkan pohon) Kau terus tumbuh, diurat tanganku. Lelaki-lelaki itu hanya bisa berlari, menanam arak, menanam kerak.
1999

DI DEPAN MEJA RIAS
sebatang lipstik mendekat. Aromanya liar.
dengan pandai dilumatnya bibirku.
dia meneteskan:
arak, kekentalan susu, dan aroma asin aku melihat topeng menari-nari lewat mataku (seorang laki-laki mendekat) Kau perlukan segenggam bedak.
kurebut kucairkan di wajahku aku mulai mengurai butir-butir itu menutupi lubang pori-pori wajahnya.
Pori-pori itu diam, menikmati kehangatannya Sebatang pensil alis mengangkat dirinya tinggi-tinggi.
Dia pandai memainkan huruf-huruf di atas mataku dia mulai melukis dan membuat huruf baru katanya: huruf ini hanya milik perempuan (seorang laki-laki mendekat) dia kagumi keliaran warna-warna yang melekat.
aku mulai menggeliat, agak panas.
benda-benda itu terus menahanku.
aku berloncatan, mengurai diriku.
hati-hati kubakar wajahku.
(laki-laki itu menjauh)
Denpasar, Januari 1997

GARBAPUTRI
kunikahi kelahiranmu. Kita memang telah berjanji, ketika kekasih kita masih darah menggumpal yang mengganjal tubuh perempuan dengan tulang-tulang besar, lemak amis menutupimu.
"ke mana orang-orang itu? Ketika kekasih kita mendekat mereka berlarian,
Mengusung sejarah dan mitos. Anak-anak mereka dimandikan cahaya.
Kenapa warnanya hitam? Bukankah kakek mereka utusan Tuhan?"
kekasih kita datang. Kau mulai merekatkan pori-pori, dan menutup masa silam. Kautenggelamkan kuncinya di cairan otakmu.
"Dendamkah yang mencair di rongga tubuhku? Wajah-wajah penuh taring mengunci pintuku, tubuhku pecah menjelma pisau, dan keris penuh racun menjilati kulit, membunuh mahkota pendetanya"
Kekasih kita datang, dengan mata besar. Ketika sakit tak dirasakannya darah dan tulangnya patah. Besikah tulangnya? Emaskah matanya? Aku ingin menanam hutan-hutan dan jurang di tubuhnya. Apa yang kau tanam untuknya?
Akan kurakit sampah tubuh para pendeta. kutancapkan pandan berduri di gentanya. Kulayarkan menyeberangi tubuh lelaki pengasah panah. Tahukah kau, panah itu jadi nanah busuk. Aku rajin memeras lukanya dan membasuhkan wajahku. Cantikkah aku? Dengan ular-ular yang siap menelan kepala pendetanya. Aku akan menelan, mengunyahnya dengan halus, lalu menyusupkan di sumsum tulang kekasih kita"
kita akan menikahinya dengan beratus upacara dan sesaji. Mungkin Tuhan lapar dan menunggu kita.
"ketika upacara dimulai tak ada lelaki datang. Aku menelan nanah busuk yang berlayar dalam darah. Kelak kubakar bersama lelaki milik Bapak"
1999

KEPOMPONG
(14-5-1999)

Tahun-tahun mengering, air mata, masa lalu.
Dan tumpukan kebusukan-kebusukan menanam rohnya di tubuhku.
aku rajin merangkainya,
kukalungkan di kepala
tapi mana hatiku?
Seorang perempuan dengan mulutnya rajin menerkam tubuhku
aku mulai menyusun menu
kusantap tubuhku (di sebuah meja makan)
kuteguk air mataku
seorang perempuan datang
pedang di matanya.
Seratus tentara di mulutnya (dia minta kakiku)
aku mulai pandai menanak hati,
juga jantung dengan sop darah yang kuisap dari permainan ini
trotoar kuimpikan jadi kubur
orang-orang akan datang tanpa jari
mereka akan lumat tubuhku
seperti perempuan yang meminta tubuhku juga
keringat yang kusulam jadi kertas
seorang lelaki, atau seorang perempuan yang menanamku
mulai menanam manusia baru
tak ada lagi wajahku,
mereka menari sendiri
dengan anak-anak yang pandai melepaskan busur ke jantungku.
Lelaki itu hanya bisa diam.
Dia ikut menyantap tubuhku.
Orang-orang datang dan memakiku.
''Sebuah pementasan kau mainkan lagi''
mereka menyulam darahku di atas batu.
1999

LELAKI TUA DAN 6 PERI
Anjing-anjing buas telah melahap daging-daging merah
orang-orang tak lagi bisa menanam padi
melarutkan anak-anak ikan di laut
pabrik-pabrik menciutkan nafasnya
orang-orang berlari ke luar
tak ada lagi mesin-mesin uang yang menunggu
anak-anak menjerit perutnya menggelembung,
perempuan-perempuan mulai menjual tubuh untuk susu
orang-orang mulai tega melahap temannya untuk sepiring nasi satu potong daging lelaki tua itu mengantar pengganjal perut yang dibungkus kertas coklat
''aku peduli rakyatku''
Esok pagi ketika matahari membuka matanya
orang-orang itu tak lagi melihat kertas coklat itu
(sebuah kepompong terbuka tetapi bukan kupu-kupu)
mereka membawa spanduk, berteriak dan menggiring
orang-orang tak puas memaksa mengaitkan nurani
satu demi satu kepompong dirajam
(lelaki tua itu membuka sayapnya, terbang)
Kali ini mereka menjadi peri
darahnya menjadi api membakar kota-kota,
menelan gedung-gedung dan peluru
orang-orang kerauhan menari di atas bangkai teman-temannya
(lelaki tua itu hanya berkata: cuma 6 Peri kecil)
Denpasar, 12 Mei 1998

LELAKI TUA DAN 6 POTONG DAGINGNYA
Kota-kota jadi abu
bangkai-bangkai tertanam di dinding-dinding pucat
lelaki itu tetap duduk
sebuah upacara besar dilakukan sambil mendekap 6 potong dagingnya yang menjelma jadi buas
mirip anjing-anjing lapar yang menggigit rupiah, gedung-gedung bertingkat, tumbuhan, binatang
(mereka juga melahap seluruh benda-benda hidup di bumi ini)
''perempuanku mati 2 potong dagingku meletuskan api merubuhkan pagar penjagaku''
Lelaki tua itu melepasnya
amarahnya, seperti kanak-kanak yang kehilangan gundu
diam-diam dibukanya sayapnya
anjing-anjing mulai mendekat berharap menjadi penjaganya sambil sesekali ikut melahap seluruh benda hidup milik rakyatnya
Anjing-anjing itu menjadi penjaga
mereka menari di layar TV
ketika lelaki tua itu memberi mereka nama
''jaga 6 potong dagingku, telah kuselamatkan bumi dari rajam sejarah hitam''
Denpasar, 12 Mei 1998

METAMORFOSA
14-5-1995

percakapan-percakapan jadi api tubuhku menjelma kayu kutanam dalam bara aku mulai rajin menjilati tubuh menyimpan hati yang mulai hitam dimana kuburku?
(sebuah pesta dimulai. Perempuan dan laki-laki menanam manusia di rahim bumi) ''maukah kau ikut? Menjadi petani. beternak manusia?''
lelaki itu datang dengan air mata. setumpuk kitab terbuka menyiram tubuhku. mana tubuhnya? Matanya jadi serpihan kecil ibunya telah menanam impian keliaran dengan dongeng-dongeng yang terus berputar tentang: rasa lapar tanah-tanah dipagari ulat-ulat ''dia telah bunuh seorang perempuan dengan dua anaknya'' aku mulai membuka meja. Sebuah permainan dimulai (aku terjebak) aku mulai rajin membakar usia
1999


PELABUHAN API
setiap kubakar dupa
percikan api mengurai seluruh luka menanamnya kembali dalam darah
(seekor parkit melepas bulunya mengubur tanah dan sedikit bangkai pohon)
aku melata di sini lidah anyir bayanganku yang mengepung hidup
(aku tetap perempuan yang rajin mengurai abu perjalanannya. dekat perapian, para pemangku melahap asap)
aku diam menimbang setiap sepi yang datang sambil menguapkannya
April 1997

 PEREMPUAN BATU
 -- ubud, menjelang sore

sebuah tikung kita pilih
''ini kitab perjalanan, tentang romantisme, yang kita telah lupakan''
mungkin benar katamu ketika Cokot, atau Lempad menatah batu para perempuan mengumpulkan kerak batu menjalin tanah dengan kaki telanjang tubuhnya berbingkai hujan meratakan sungai
Ketika Cokot dan Lempad menatap batu
perempuan-perempuan mulai menari di pinggir matahari
tubuhnya lumut diceritakan dongeng percintaan
''sebuah batu diselipkan dalam tubuh''
Cokot dan Lempad mengurai bumi
para perempuan memulangkan matahari
melingkar seperti biasa meletakkan benih keringat
''tatah tubuhku''
Denpasar, 1997

SILUET I
dupa itu menembus langit
mengotori altar para dewa
tubuh-tubuh mati berteriak
orang-orang bermantel hijau
telah membenamkan peluru
juga api yang disulutkan di kaki
para pemangku duduk bersila
memanggil upacara
mengorek seluruh lubang
berharap Tuhan menampakkan wajahnya
lalu memulangkan anak, istri,
suami yang di telan lahar bumi
seorang perempuan
memeras air mata darahnya,
dibiarkan tubuh anaknya
di peram bumi
perempuan yang kehilangan anaknya duduk
lingkaran api melintas di mata pucatnya
ada upacara lengkap meminang nafasnya
tanah menangis dipeluknya
laki-laki tua itu masih
menyuarakan filsafat
mengkidungkan sejarah masa lalunya
''aku telah menanam bumi''
Denpasar, 12 Mei 1998

SILUET II
kota-kota jadi abu
beratus-ratus lelaki bermantel
dengan senjata dan air
menumpas orang-orang lapar
yang berharap mampu meraup: kulkas, TV
perempuan-perempuan ikut sibuk
mengerat susu, atau pakaian baru
untuk anaknya yang kedinginan
di pinggir kali
''sudah lama aku kehilangan suami
sudah lama anak tiga bulanku
tak minum susu formula
aku pekerja pabrik yang dilempar
setelah orang-orang menguras tubuhku
juga menelanjangi wujud perempuanku
mereka hanya sisakan potongan
daging berumur tiga bulan
yang kumuntahkan sendiri
di pinggir kali''
perempuan-perempuan lain juga menjerit
anak lelaki mereka dilepas di dunia baru
''kucairkan usia'' mereka bekerja
untuk sebuah kemapanan yang terus
mereka tanak di kepala
pagi-pagi orang-orang mengantar jasad
''itu anakku, kemana nafasnya''
perempuan itu berlari,
matahari tak lagi menyisakan isak
seorang lelaki tua
yang tak pernah menyisakan
tempat duduk untuk orang-orang
dengan lahap menghirup roh rakyatnya
Denpasar, 12 Mei 1998

TOTEM
(kelahiran)

tubuhku meneteskan abu
ulat-ulat menguliti setiap perjalanan yang kupentaskan
mereka baru belajar menanam akar
di setiap liang nafasku kukalungkan nafsu
bulan retakan lumut melekat
pada setiap batu mereka mengisapnya
batu-batu diletakkan di kepala
para perempuan menopang bumi
aku hanya bisa mengumpulkan pecahan keringat dan menggulung setiap abu yang retak
Denpasar, 1997

ULAT
peristiwa: 14-05-1995

sebuah pintu kubuka dengan darah.
impian-impian pecah di genggam tangan
berharap sepotong daging
menambal lubang yang rajin dicangkul
seorang perempuan yang pernah memintaku jadi anaknya.
sebuah pintu kubuka dengan luka
''jangan mendekat. bara di tanganku akan membakarmu''
tapi aku tak punya sungai tidak juga laut.
sajak kau muntahkan untuk seorang perempuan.
sebuah pintu kututup.
mata lelaki itu datang padaku.
Berpuluh-puluh tahun dia sembunyikan rahasia kami
''kau miliki permainan itu.
Jangan mendekat.
Perahu layar.
Laut yang kuuntai.
Huruf-huruf yang kusebar dipejam matamu''
Sebuah jendela kubuka
(penuh belatung.
Bangkai manusia.
sepotong kepala anjing.
lendir perempuan)
1999

WISLAWA
kukenal perempuan tua dengan senyum pahit dan rambut blonde kering.
Dia hidup dengan dua laki-laki yang disimpan dalam ketiak penuh parfum.
Dia pandai merajut huruf dengan keliaran yang dipahatkan di sudut bumi.
Bau tanah, bau otak, dan rasa lapar wujud perempuannya muncrat. Dia bicara dengan segaris senyum pahit, tak terbaca. orang-orang merasa menyentuhnya (mungkin: melumat).
Aku sering memandang matanya. Sebuah anak sungai kecil, yang membunuh aliran darah laut.
Kukenal perempuan tua dengan bunga rumput di dada tipisnya. Tersenyum dengan mata sipit mengajakku bertaruh. Dia maui wujudku. Rasa lapar dan segenggam kegilaan.
''cangkul otakmu. Kusemaikan bibit bunga rumput di setiap helai rambutmu. Perkawinan? Sebuah permainan penuh busa bir. Teguk, pecahkan buihnya. Jangan sentuh tubuhnya, tidurkan dia di kakimu. Aku pandai merajut helai kehidupan, diambang usiaku: kutelan masa kanak- kanakku. Para lelaki, kulecut di dada sambil meminang cairn dengan darah. Memisahkan tubuhku. Hanya tiga detik. Kau ikut? Berpesta sambil merajam tubuh.''
Kukenal perempuan tua dengan garis pucat di dahi. sering sekali dia datang, membakar daging, meremas tulagn, jantung. Pelan-pelan: kumuntahkan anak-anak.
1999

ZIARAH
:mg

engkau menjelma kuda dengan dua kaki patah. Anak lelaki yang kau tanam dalam lautan darahmu, memasuki seluruh lubang pori-porimu. Kau biarkan tubuhmu terbuka, bahkan ketika dia minta igamu. Kau berkata:
''petikkan api di pohon. Siapkan ranting, air suci, dan kelopak teratai. Bingkai wajahku dengan daun sirih. Juga ilalang panjang yang menutupi daging linggaku. Makanlah tanah-tanah yang kucangkul dari tubuhku. Anakku perempuan tak mahir memanggul tubuh. Serakkan tulangku dipasir'' engkau menjelma elang dengan satu sayap. Mendarat dirambutku. Kau makan otakku. Seorang perempuan kau titipkan. Tubuhnya penuh ulat, mulutnya nanah. Dia siram hatiku dengan belatung. kemana anak lelakimu? katamu; ''anak lelakiku telah menghabiskan seluruh tanahku. tanpa wajah, dia larutkan tubuhku di api. setiap detik uratku diperas. Kepalanya tombong, tubuhnya beringin tua'' engkau meletus. meninggalkan sepotong perempuan dengan dua tunas kecil di rahimnya.
Tak ada sesaji api membakar tubuhmu. Lelakimu telah mengunyah tanahmu. Menanamnya di tubuh anak-anaknya. Aku terus mencairkan wujudmu, bersama perempuan aku menjilati butir tanah yang kami pijak.
1999

TENTANG OKA RUSMINI
OKA RUSMINI lahir di Jakarta 11 Juli 1967.  Saat ini bekerja sebagai wartawan Bali Post.  Antologi yang memuat sajak-sajaknya adalah: Doa Bali Tercinta (Sanggar Cipta Budaya, 1983); Rindu Anak Mendulang Kasih (Balai Pustaka, 1987); Perjalanan Malam (Himsa, 1991); Ambang (Bentang, 1992) ; Teh Ginseng (Sanggar Minum Kopi, 1993); Negeri Bayang-Bayang (Yayasan Seni Surabaya, 1996); Mimbar Penyair Abad 21 (Balai Pustaka, 1997) 
Di samping itu, sejumlah sajak dan cerpennya juga muncul di berbagai media massa serta jurnal  kebudayaan, termasuk Matra, Kalam, Horison dan Ulumul Quran.  Novelnya, Putu Menolong Tuhan, terpilih sebagai cerpen terbaik Femina 1994 dan diterjemahkan oleh Vern Cork dalam buku Bali Behind The Seen (Australia, 1996). 
Pada 1992, ia diundang sebagai penyair tamu dalam Festival Kesenian Yogyakarta IV. Mengikuti Mimbar Penyair Abad 21 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1996. Dan pada bulan Oktober 1997 terpilih sebagai peserta Bengkel Kerja Penulisan Kreatif (Bengkel Puisi) yang diikuti tiga negara anggota Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), di Jakarta.  Sajak-sajaknya telah dipublikasikan di berbagai media massa lokal maupun nasional, termasuk dalam jurnal Kalam dan Horizon.   Kini tinggal di Denpasar.

PUISI-PUISI NUR WAHIDA IDRIS

AKU SEDANG TIDAK MELUDAHI DIRI SENDIRI
aku sedang tidak meludahi diri sendiri!
bila langit berubah perangai
di mana kakiku mesti berjejak
agar tanah tak salah tuju
mengalirkan mata air

aku hanya tahu musim tak berkaki
menawan angin dalam tubuhku
biar jinak kehendak sendiri oleh waktu
yang tak tentu mengubah wujudnya di mulutku

si kucing liar! serumu
sambil mengeong di ujung lidahku
lalu melompat geram di jejak kaki
mengendus langkahku yang pincang

aku sedang tidak meludahi diri sendiri
kaislah bau tubuhku
bagai kutuk abadi di jalan kini dan masa lalu
yang terus menanti
Yogya, Oktober 2003

PENARI
: desak putu kari

memang akhirnya kami kembali
dan berkumpul di carangsari...

tubuh penariku
melemparkan bunga tumbal
ke asap dan air yang berpusar
di dasar takdir aku menari
kuserahkan kaki dan tangan ke dalam ruhmu
tapi mata dan ruh yang bergerak
menemu senyap cahaya di rahimku

duh ratu,
gending tangis anak-anak berdesingan
menabuh gamelan di ubun-ubun merah
dikeraskan darah kering ayah mereka
sedang aku,
terus berpusar di tarian maut ini!

aku ibu yang menari tanpa bunga dan air suci
bintang-bintang yang sembunyi
di lelap mata anakku
memercik duri-duri cahaya
membakar mahkota bunga
di kening mereka

di carangsari...
memang akhirnya kita bertemu

langit memutih
membuat bayangan menjadi abu
darah menggenang di kening berlubang
dan hari-hari menguning di pelukan kami
miri-sawit, juli 2004

KHOTBAH
riwayat dosa selalu menguntit
keingintahuan yang ragu
mengekalkan ketidaktahuanku

jumat kekal di hari-hari naif
buah tangan matang
sebelum kupersembahkan
buat makan malamku yang sendiri
mengunyah mimpi manisku

kenyataan di sekitarku redup
di mata orang-orang merajah bintang
dan sebak nafasnya
melicinkan lidah, senyap gerit di perutku

wahai bayang di cermin
yang lantas tak berwajah
gairah disucikan untuk tak meraba
berikan seteguk madu
untuk orang-orang suci melenggang
di jalanku yang sesat
miri-sawit, november 2005

TURUN DARI DIENG
ketika malam naik
kami turun dari dieng
jurang-jurang benderang
tapi tatahan di batu berlumut
mengirim kabut ke lembah-lembah

kami lupakan asap dupa
yang mengeraskan altar
terusir dari dataran dingin penjinak kabut
dan bersitegang dengan maut

kami berlima bagai segerombolan
makhluk ganjil yang naas
saut moksa di tikungan
tan, dal, dan juha
sepanjang jalan tak henti meniup dupa
dan bunga yang berguguran

di batas jalan yang dikeramatkan
kami hentakkan kaki yang membatu
dan sebagian keropos
tersentaklah ruh para pendeta
yang terikat di pohon-pohon
candi-candi melayang
bersama saut yang menjelma jadi pendeta
dan mantra-mantra tertatah
di batu lontaran lahar dan kata-kata
banjarnegara-sawit, 2004-2005

KEINGINAN
aku biarkan diriku
menemuimu petang ini
kubiarkan musuh-musuh dalam diriku
menggiring kuda-kudanya
ke padang rumput berwarna merah
                - cahaya mataku yang merana
                                dan udara bergetar di atas rumputan

kau mungkin mengenang
lambaian tangan dan pesan-pesan
agar berkabar setelah sampai tujuan,
lalu aku mengenang kelam jalan-jalan

adakah kau siap-siaga mengintai debar jiwaku
                yang kehilangan
                dan selalu berhasrat menghukumku?

kau menemuiku bagai cahaya yang melesat
seketika alam di sekitarku padam
aku telah kehilangan waktu
untuk abai padamu
miri-sawit, juni 2005

AROMA KOPI DI KENING IBU
aroma kopi mengingatkanku pada kening ibu
menyangrai biji matanya, bagi hidupku yang terus nyala
pecah biji pelupuk
jadi arang menisik bibir ibu
biar diam segala cecap
lalu batu membungkus diri di lidahku

aroma dan angin saling meminang
biarkan aku tumbuh di keras keningmu
biar kucecap setiap ingatan sampai ke lubuk
lesung hitam kening ibu, menggerus ujung aluku
bertubi-tubi berhasrat sempurnakan jalan panjang kini
yang tak kutahu berujung di telunjukmu

ayak, ayaklah kini darah yang mengental
di simpang tubuhku
pilih, ibu, pilihlah kalimat sakit di kubur tidurku
biar pecah biji kopi di gelas piala
dan waktuku
pelupukmu yang terus berjaga
miri-sawit, oktober 2003

LOLOAN
apa yang dapat kukenang
dari kampung halaman
ayah yang murung di kamar
atau lambaian kain ibu
mengipas angin menarik layar

kampung kian mengecil
terhapus ombak di gigir sampan
ke mana tangis yang tadi beriak di antara kami
ah, hanyalah sekelebat bagian
yang minta jadi kenangan

kenangan hanya milik ayah dan para lelaki

kampungku tak pernah terasing
di negeri asing yang mengurungnya
dan kami bagai anak piatu
tak sempat mengenal suara ibu

senandung buaian selalu kami cari dari negeri yang jauh
dari pemilik ranah beribu
dan kami pun terbuai
bagai tangan kasih mengusap-usap keletihan
dari jejak diri yang mengabur

lalu aku meminjam senandung-senandung itu
bagai milikku sendiri
peninggalan nenek-moyang kami
yang saling bertukar tempat dan bersilang turunan

dan kubayangkan suara ibu bersenandung pelan
mendongengkan asal-usul leluhur dan tersebab kelahiranku
ah, kenangan
mengajakku menemui ibu

di maha luas gelombang yang saling bertepuk
dapatkah kucari kenangan tentang kampung halaman
yang tak lagi yatim-piatu
yogya, 2003

STATELESS
hidup takkan pernah aman
kapan dan di mana pun
selamanya terancam bahaya
(umbu landu paranggi)

telah kupijak tanah subur
bagi sejarah kematianku

langit biru cerah
secerah warna biru kertas surat cinta
pertama dari kekasih
orang-orang berwajah kehijauan menyambutku
seperti kartu hijau yang kini menyidikku

dari mana asalku,
mengapa aku tiba di sini,
ke mana aku menuju,
apa saja kehendakku?

isi koperku
menyerap seribu wujud maut di setiap pintu
sapaan penjaga, petugas periksa dan alat rekam
bagi jalan-jalan gelap di tubuhku
lampu-lampu putus, kata-kata tanpa kartu,
jalan masuk tak tertera, tanpa surat jalan

di mana pun hidup
tak kan pernah aman,
satu masa memihak
lain tempat menolak

di mana pun berpijak
aksenku bersiap jadi tajuk interogasi
meretas garis edar sidik jari
ribuan mata menyamun wajah asingku
bahkan seekor lalat yang hinggap di pipi
menduga-duga aroma pa yang tercium

sebuah ruang transit
garis lingkar demarkasi
terus mengecil, setiap kusebut nama,
tujuan dan keinginan
menjadi kolam kutukan
yang bertahun mencelup kakiku
benda-benda sekeliling mencair
membuat air meluap jadi danau
menjadi lautan, sepi sekeliling ...

tapi jarak pandang hanya sebatas lengkung bumi
kapal-kapal besar, layar-layar megah
dan kibaran bendera bermunculan
lebih dalam tercelup ke punggung laut
menandai batas jalan air yang tak tersentuh tanganku

gerak gelombang memunculkan hurup-hurup
dari arus kecemasan, kekuasaan
kapalku hanya tinta yang memercik dari hurup-hurup itu
nama-nama mengambang di permukaan laut
dan berkibaran di ujung tiang kapal
menyeru arah mata angin – sebagian dari napas
yang kuhembuskan

laut dan daratan sama saja
kapal ditenggelamkan agar tak mencapai daratan
dan langit yang kupuja
imajinasi tersekat bayang-bayang diri yang menakutkan

kapan dan di mana pun
selalu dihadang bahaya,
maka kuikhlaskan tubuh ini
tak aman bagi setiap tanah
bagi setiap pijakan

kutolak bumi dan langit untuk yang fana
tapi setiap ingatan yang kumau dalam pikiranmu
menjadi tanah wakaf bagi hakekatku
miri-sawit, 2006 – maret 2008

BULAN KETUJUH
: chit ngiat pan

tiga ekor kerbau menyisir kota
tepat ketika malam sirap dalam gelap
mengintai lima palung sarang rangrang

yang ganjil
cahaya takluk di punggung legam
tiga pengintai, seekor bertanduk
mengendus hijau lalang, lebat miang
bagi arwah yang sedih
pulang tak berumah
gairah ranum tak berdaun

yang jalang lecut maut
mengubah jalan-jalan jadi sungai
gedung dan ruko-ruko mengambang bagai sampan
mengalir ke muara api ...

lima palung sarang rangrang
mengulum kabut bagi mula cahaya
memasang perangkap untuk maut
yang lengah menakar nasib
abai mata angin
dan hilang rasa pada waktu

aku sebuah palung
yang memasang jerat tujuh lubang rahasia
bagi mata nujum yang menjarah doa suci
walau lingkaran bulan makin ganjil
denyar cahaya menyepuh kata pahit
dan janji maut tak sanggup terucapkan

tiga ekor kerbau
menikung jalan ke arah kuil
mengarak rangrang sepenuh jalan kota
ke makam leluhur yang setengah hati
kuberi penghormatan

kini, cahaya bulan sepenggal
menjauh dari kota
menyihir yang tersedu jadi serbuk kayu
mengalir ke sungai-sungai dangkal
belinyu-sawit, agustus 2006
Chit ngiat pan adalah sembahyang arwah yang dilakukan di rumah masing-masing oleh masyarakat tionghoa, pada bulan ke tujuh hitungan tahun cina

KETUGTUG

ketugtug, kampung hulu
kudengar sumur-sumur mulai dangkal
dan gemerincing uang logam
jadi hiasan kalung bidak catur

kampung hulu, derak gerobak perempuan yang berjaga
bunda malam yang riang dalam rinai
mengelus embun dengan syahdu

kini kudengar lagi jerit yang menggeretak
akar bambu terbakar, sungai lenyap dalam semalam
kampung ditinggalkan buaiannya
yang hendak menyelam rindu
ke mana pergi?
jembatan rubuh
hawa angin bersisik peluh
apakah hujan hendak berkabar?

sementara aku di sini
menunggu gerak angin
memulihkan mainan kenangan
berlayar di lautan daun musim gugur
menghalau gigil perahuku
menggapai tepi
miri-sawit, 2000

TENTANG NUR WAHIDA IDRIS
Nur Wahida Idris lahir di Ketugtug, Loloan, Negara, Bali, 28 April 1976. puisi-puisi awalnya banyak muncul di rubrik “Apresiasi” Bali Post Minggu, di bawah asuhan Umbu Landu Paranggi (1994-2000). Tahun 1998 hijarah ke Yogyakarta, aktif di Komunitas Rumahlebah dan AKAR Indonesia. Menyelesaikan studi di jurusan kriya/tekstil, fakultas seni rupa , ISI Yogyakarta, 2007. puisinya dipublikasikan al Koran Tempo, Kompas, Suara Merdeka, Minggu Pagi, Bernas, majalah Horison, dll.