Selasa, 14 Juli 2015

PUISI-PUISI NANANG SURYADI

PRIBADI YANG TERBELAH
bercakap sebagai karib yang selalu menghinakan satu sama lainmelecehkan, bertempur dalam ruang dan waktu: diri!

ada berapa kepribadian yang hadir pada dirimu?bertolak belakang paradoksalatau saling melengkapi sebagai harmoni

sekular atau takdikotomis atau bukan
engkau hadir mencoba untuk tidak goyah, utuh mengatakan pada dunia
tapi tak bisasenantiasa ada dialektik
senantiasa ada keinginan-keinginan manusiayang tak terpadamkan , sepertinya.....
Malang, 7 Juni 1997

ORANG YANG MERENUNG
buat: cak zen

tanda yang membayang pada bola mataadalah dunia berputaran dalam benak kepalaterbacalah kegundahan manusia merenungkan kehidupansebagai cerita tiada habis-habisnya

seperti juga ayat yang terbuka untuk ditafsirkanalam mengajarkan rahasia-rahasia sebagai tanda-tanda
terbacakah juga di situ segala jawaban?

orang yang merenung membaca tanda-tandamencoba menyibak rahasiatak usai juga
Malang, 02 Agustus 1997

JAMBANGAN RETAK
menderulah badai memporakan harapan yang disusun dalam hatinyaseseorang yang mencinta meletakkan bunga layu pada jambangan retak

kepada siapa kan disampaikan kegundahanorang sunyi yang merindu menyimpan bayanganmenari-nari sebagai cerita tiada terlupakan

catatan pada buku menguningabadikan kisah percintaan dan kesedihan
Malang, 02 Agustus 1997

SERAUT WAJAH MASA SILAM
menatapmu adalah menatap silam dimana kutemukan bayangan menari
adakah kurindukan masa lalu kembali kin ipada senyum yang melambai pada pesona cinta yang menjerat hati
raut wajah yang membayang pada kedua matakuadalah sejarah yang hendak kutimbun dalam kelampauantapi tak!
kenangan itu tetap membayang
senyum itu mengapa menggoda diriraut wajah itu mengapa melambai lagi
apakah manusia hidup dari kenangan demi kenangandan tak kunjung beranjak pergi
bayangan itu menari-nari o, menari- nari
Malang, 29 September 1997

CAHAYA MATA 
angin kemarau mendera tubuhku panas dan berdebu
kala begini kurindu menatap wajahmu sebagai kesejukan menyiram kegundahanku
wahai betapa bening telaga pada sepasang mata mencahaya
Malang, 23 September 1997

SESEORANG YANG HENDAK MELUKIS
ada seraut wajah mencoba menyelinap ke dalam mimpiku sunyi,o, kegundahan seorang lelaki membaca tanda-tanda: siapakah yang telah merenggut hati?

kemudian, angan beterbangan menari-nari menuju cakrawalaingin melukis serupa pelangi,atau bunga-bunga yang bermekaranatau ketakutanatau mimpi-mimpi

(wahai, tangan yang gemetar, hati yang gemetar...hendak melukis apa?)
mungkin hanya impian,sekedar harapan di ujung malamtak ada jawaban pasti!
Malang, 09 Oktober 1997

POTRET
di manakan dijejakkan kaki?
orang sendiri membaca diri pada sunyi dipahatkan mimpi
menggeleparlah ia pada sepi menuai kenangan-kenangan menusuk ke lubuk hati
dalam puisi, sepertinya....hanya sunyi hanya sepi hanya mimpi terbubuh lewat jemari
orang sendiri membaca diri tak henti-henti
Malang, 23-09-1997

TANYA
dari senyuman tertebar adakah kegundahan?
dari cerita hari-hari kegembiraan, tawa dan cintaadakah kesedihan dan rindu yang menikam?
dari cuaca yang terbaca dengan pikiran bersahajaadakah mimpi-mimpi kita?
tanya demi tanya mengalir,adakah jawaban?
Malang, 29 September 1997

OBROLAN DI WARUNG KOPI
bergelas kopi berbatang rokok terhidang. sebagai tanda. kehangatan itu terjalin dari bualan tentang apa saja. (inginkah kau kenal diriku seperti kau kenal dirimu sendiri?)

katamu: mari kita bicara. dari puntung berasap. kerumitan puisi. dan tentang teman-teman yang sukar dimengerti maunya

(kataku: tidakkah kau tahu kitapun begitu. berlari sepanjang waktumenolak pemastian demi pemastian. mencoba mengelak dari pola rekayasa.mengeja diri tak henti-henti. menjadi rahasia tak henti-henti...)
Malang, September 1996

MENELPON SEORANG TEMAN
halo! apa kabar? masih adakah yang tersisa dari percakapan kemarin sore.secarik kertas bergambar waru tertusuk anak panah. kau bidikkansungguh-sungguh atau bercanda saja?
katamu: "adakah yang sungguh-sungguh di sini?"
Malang, September 1996

ALDORA MELUKIS KOTA (1)
aldora melukis kota, jemarinya memulas cat hitam dan merah pada kanvas yang lusuh, ada kegusaran yang memusar, pada wajah 

"mengapa rusuh juga yang membakar kota-kota?"

kau mau minum kopi aldora? atau sebatang rokok
mungkin bisa hilangkan pening dalam kepala

aldora melukis kota, juga manusia tak jelas wajahnya merah hitam dipulasnya, dicampur baur, mungkin sebentuk luka

tanganmu kotor, aldora
jemari halus dan kuku putih tak berupa
:mengapa luka?
"mengapa bukan cinta!"

ALDORA MELUKIS KOTA (2)
aldora melukis kota. dengan jemarinya ia guratkan kota yang telah berubah. wajah-wajah manusia yang muram.

"berapa banyak rumah yang harus ditumbangkan, dora? berapa sawah berubah menjelma rumah mewah?"
kau tak menjawabnya dengan kata-kata. karena apa? (takutkah engkau untuk mengatakannya dengan mulutmu?)

aldora melukis kota. warna-warna memar tumpah ruah di kanvas. meledak juga tangisnya di lukisan kota yang terbakar!
cilegon, 1997

PEREMPUAN YANG MENJERIT
perempuan yang menjerit. adalah ibu melihat kanak yang marah membakar gedung  juga rumah ibadah. dengan kepedihan yang terpendam. sekian lama. siapa menyulut siapa. kerusuhan meledak di mana-mana. ( mobil-mobil terjungkal penuh asap dan api, perempuan diperkosa hingga mati, kepala manusia diarak di jalan-jalan, darah berceceran ---hugh perutku mual! sungguh!)
"cinta! mengapa berlari?" aku bertanya
"adam, nuh, ibrahim menangiskah engkau?" ibu ganti bertanya
"cinta! mengapa berlari?"
ibu menatapku, tapi tatapnya adalah gelombang menghantam hatiku:
"kanak-kanakku, kalian semua bersaudara. kalian semua bersaudara. mengapa terus kau sulut kebencian di mana-mana?"

NEGERI TEROR
kau merasa dinding mendengarkan pembicaraan
mata-mata membayangi setiap gerak-gerik

sepertinya, telinga penguasa ada di mana-mana
menguping obrolan-obrolan kebosanan

ketakutan yang mencekam
ketika pistol teracung menempel di jidatmu

makian yang mana hendak dimuntahkan
kepada siksaan penuh teror
memasuki mimpi-mimpimu
Malang, 1998

SENDANG DRAJAT
bunga yang ditabur bawah pohonan
batu berserak, imaji kepurbaan
kolam kecil, janji kejayaan

sipa menyepi di tengah bumi
di dalam goa

alir air kecil sekali
hanya gemercik
menimpa batu kali

"nenek moyang, nenek moyang", ada suara memanggil

aku lihat tarian kekhusukan
melawan ketakutan pada kekuatan tak terpahami

kesunyian ini begitu angker
hutan jati mengepung
batuan terjal angkuh menjulang
akar pohonan tersembul di permukaan
bau kembang bertebaran
sisa asap dupa

"apa yang diingini manusia, harta atau bahagia?"
6 September 1998

NEGERI YANG MENANGIS
beribu kata terlontar dari bibir gemetar: senja yang kaugugurkan dari tatapan perlahan tumbuh menjadi nyala. anak-anak berpaling dari masa lalu.

betapa sunyi. betapa sunyi. menyusuri nasib negeri sendiri. ada yang teramat sedih menderaskan airmata. ada yang teramat marah memuntahkan api.

"kuasa! kuasa!"
dan aku menggigil
menulis: indonesia!
Madiun, September 1998

NYANYIAN BUAT KANAK
Sungguh, di masa sulit ini
Aku ingat wajahmu,
Sebagai pengobat kegetiran

Binar mata, tawa mengekeh
Atau tangis pada dini hari
Luruhkan kesumpegan

Dari tangan-tangan yang mencoreti dinding rumah
Aku temukan lukisan terindah lahir dari kemurnian

Aku menimba kesejukan
Pada tatapan

Lebur darah keringatku
Di dalam dirimu
Madiun, 2 September 1998

IN MEMORIUM
melambaikan senja padamu.
bersama air mata yang terasa asin di bibir.
mata yang berkaca. melewati jendela
menatap kematian
dengan begitu bersahaja.
amboi, langkah ini hendak menuju ke mana.
selain menjejak pada kemungkinan hari-hari penuh kegelisahan,
kehampaan dan kesunyian diri sendiri.
meraba kegelapan yang melumuri isi kepala.
kereta warna hitam yang kau sorongkan melewati pelataran. yang begitu lengang. tawarkan sebuah kenangan di masa lalu.
ketika kehidupan baru di hembuskan ke dalam dadamu...
bikin perjanjian untuk kembali pada asal mulamu, anak manusia.
sepertinya tak ada yang patut ditangiskan.
selain mengaca pada hari yang penuh warna dan cerita penuh deru di masa lalu.
(Tuhan, aku hantarkan doa melewati senja ini)

AKU YANG MERINDU, SIAPA TAHU?
serupa lonceng berdentang
di tangan poe, atau yono wardito
ia menarik-narik tangan kakiku
hendak menari. hendak menari
mungkin ia semacam kerinduan
begitu asing, melekat pada kaca jendela
neng-neng-neng-neng
neng-neng-neng-neng
semacam dentangan lonceng,
di tangan siapa kau tahu?
aku yang merindu, siapa tahu
malang, 26 mei, 1999

WAHAI ENGKAU YANG MENATAP
Seorang manusia mencari jalan hidupnya
Memetakan langit
Mencari jawab: siapakah aku, siapakah engkau?

Wajah pada bayang-bayang membusur
Dari masa lalu sebuah kesaksian
Begitu samar
Antara hari berselang
Sebuah tatapan, tak pernah gugur
Menyentuh kedalaman
Rongga dada
Berbisiklah, berbisik, manusia yang mencari jawab:
"Engkau yang begitu samar dalam ingatan
kusapa dalam doa,
juga dosa"
begitu lindap
Malang, 15 Oktober 1998

MATA KESUNYIAN
Pada mata, sebuah dunia kutemukan, jalinan cerita
Manusia hidup dengan kesendiriannya
Di tengah riuh gemuruh
Kesunyian di mana batasnya
Dari kelam hitam mata
Seribu tikaman terasa menyentuh jantungku
Malang, 15 Oktober 1998

SANG PENGAWAS AGUNG
Ada yang begitu seksama memperhatikan segala tindak-tanduk, gemetaranlah
aku menghitung detik-detik perhitungan yang muncul di pelupuk mata,
menelanjangiku dengan sangat polos dan bugil, memeriksa bulu demi bulu,
daki demi daki yang menempel, pada tangan, pada kaki, sedang mulut
dibiarkan diam; dengan begitu bening dan jujur: mereka menjadi saksi
sebuah pengkhianatan...
Malang, Juli 1997

RASA BERSYUKUR
Tuhan,
bibirku yang gemetar
menyebutmu

ucapkan syukur
tiada habis-habisnya
terlimpah kenikmatan

kukecap kasih sayang-Mu
dengan segala cinta

kureguk kasih-Mu
kureguk sayang-Mu
kureguk cinta-Mu

Tuhan,
gemetaran aku mengingat-Mu
wahai, Pemilik Cinta Sejati
Banyuwangi, 09-09-1997

TATAPAN YANG BEGITU TAJAM
begitu tajam,
begitu tajam tatapan-Mu,
menghunjam ke dalam lubuk hatiku

"Siapakah yang akan mendengarkan keluhku lagi,
selain Engkau wahai...."

aku tertunduk
aku tertunduk
mengharap
mendamba

dan tatapanmu begitu tajam
menghunjam ke dalam kalbu
Banyuwangi, 09-09-1997

TATAPAN YANG BEGITU LEMBUT
begitu lembut.
begitu lembut tatapan-Mu
menyiram sejuk ke dalam batinku

segala gundah
segala amarah
punah

menjelma cinta
menjelma cinta
ingin kubalas tatapan-Mu

tapi aku sekedar hamba

tak sanggup aku
tak sanggup aku

wahai,
aku tertunduk malu,
atas segala pengkhianatanku
Banyuwangi, 09-09-1997

ADA YANG MEMBERI ISYARAT 
isyarat apa yang disampaikan, kepada seseorang ---yang bercampur baur
perasaannya--- mendengar sesuatu tentang maut?

sepertinya orang sering pula bercerita, tentang orang yang menjerit
histeris, atau uban satu-satu yang tumbuh di kepala, atau raut muka yang
kerut merut, atau tubuh kekar dan gagah, lalu : mati

ada yang memberiku isyarat dari balik jendela, seperti dalam mimpi,
menyelinap dan mengendap, mengajak seseorang untuk pergi: entah
kemana.....
Malang, Juli 1997

MENYAPAMU
aku menyapamu dalam mimpi yang mengembun,
pada subuh yang sebentar kan merekah,

cuma sepi dan rasa nyeri yang dibisikkan,
menanti matahari, mungkin akan pecah dalam kepala,

betapa panasnya, bergolak ini benak kepala,
juga dalam dada....

sepertinya telah habis semua kuceritakan,
tiada lagi rahasia,

diriku tegak telanjang,
di hadapan-Mu
Cilegon, 22 Januari 1997


MENCATAT NAMAMU
Dalam hati masih ada kegundahan itu
Secara perlahan membakar angan

Dalam sunyi mengingat wajahmu,
berderai potret pecah
terbanting tangan-tangan waktu

Begitu kukuh memisahkan kekinianku
dengan cerita dulu

Engkaukah itu,
yang bercakap dalam gemerisik angin meniup daunan.

Kabarkan sesuatu entah kebencian atau kecintaan?

Berayun angan menari
dalam jagat semesta pertanyaan

Begitu samar
Begitu samar

Namamu yang terbubuh
dalam kabut yang melulur keheningan.
Senduro-Pandansari, 21 Agustus 1995

REPORTOAR BUKU HARIAN
telah berapa kesah yang tertumpah. tinta merah atau hitam. dalam hidupmu yang bercerita apa. selain cinta yang sukar dipahami. dan juga hidup penuh gelisah yang memburu. karena peristiwa demi peristiwa menjelma di depan mata. tak perlu teori, katamu pasti. ah, mana lagi yang pasti buatmu. segalanya kau ragui. bahkan dirimu sendiri. kau tak percaya dirimu sendiri ada. menjalani hidup dan berjalan di muka bumi.
katamu: "siapa bilang bumi bulat? tidakkah ia kotak, kerucut, prisma atau benjol-benjol?"
cilegon, 1997

KESUNYIAN MILIK PENYAIR
sepertinya,
hanya mimpi yang kusimpan di sini
dalam benak yang selalu bertanya
adakah aku sebagai ilalang?
bergoyang tertiup angin semilir
atau tertidur rebah memeluk bumi yang kucinta
ketika angin prahara tiba
adakah aku sebagai angin?
bergerak ke segala arah
menghamburkan cerita pada bumi dan cakrawala
berjuta serpihan tanya kuhamburkan ke cakrawala
jatuh ke bumi juga akhirnya,
berserak tangis, tawa, cinta dan kemarahan,
menjelma cerita,
apa yang kau kira kini?
kubawakan cerita padamu,
sebagai kesunyian dalam dadaku,
sepertinya...
hanya kesunyian milik para penyair,
dari waktu ke waktu,
merangkai kata
dari kedalaman kegelisahan yang memburu
ke mana pergimu,
kesunyian menyergap,
kecemasan membekap,
berjuta tanya kau lemparkan
hanya kesunyian yang menjawab!
Malang, 25 maret 1997


SURAT
sajak yang kutulis pada suatu ketika menjelma menjadi surat bercerita padamu sebagai kawan bercerita tentang penyair yang kehilangan kata-katanya karena kata-kata telah menjelma teror bagi siapapun, aku terkadang takut untuk menuliskan apapun dari benak kepalaku
aku tak ingin menyakiti hati siapapun,
karena ternyata seulas senyuman itu lebih menyenangkan
daripada wajah yang marah penuh kepedihan
malang, 1997


SANG PEJALAN
berapa panjang jalan yang disusur,
pejalan merengkuh angin,
mungkin sebuah ingin,
galau yang tersisa
dari sebuah jeda,
tanya dan jawab,
makna dari keburaman rahasia
mencari telaga,
bening mata,
lunaskan dahaga
matahari,
rembulan,
gemintang,
kegelapan,
keremangan,
waktu,
usia,
menjelma dalam pusaran
ilusi atau nyata
"sebuah takdir atau kehendak bebas?", katanya
menatap langit,
mengayun juga kakinya,
menuju "apa"
Malang, 8 Juli 1998

DERAI HUJAN TAK LERAI
derai hujan,
tubuhmu kuyup,
sayup mata,
isyaratkan keraguan
jalanan basah, becek dan berlumpur
"kemana pergi? kemana pergi?"
tak ada arah dituju,
hanya kabut dan putih buih hujan,
menyapa pandangan
langit begitu kelabu
"kakiku goyah, lemah, gamang melangkah"
derai hujan tak lerai;
begitu samar pandangku
Cilegon, 28 Juli 1998

FANTASI KENANGAN
ada yang hidup dalam bayang-bayang
selubung mimpi kelampauan
fantasi kenangan
temaram malam
tak ada cahaya rembulan atau kerdip bintang
hanya sorot mata
letikan bara; kerinduan atau kehampaan memandang?
Cilegon, 31 Juli 1998

SILHUET PANORAMA
dari kelampauan yang buram, tak ada tersisa airmata
diseka waktu, mungkin hanya gurau, sebuah entah
tapi bayang itu datang, mengekalkan
sunyi, barangkali milikmu, cuma
sebagai buku terbuka, atau kerdipan mata
pembacaan isyarat tanda, mungkin sebuah wacana
gerutuan lepas, namun
mimpi yang terbubuh tak niscaya menjelma, sebuah idea
(gapaian tanganmu mungkin letih ingin menjamahnya….)
terantuk pandang pada nyata, walau menari juga
segala yang mungkin ingin dikenang
Malang, 7 Agustus 1998

BUBYEE
"aku kan pergi dari hidupmu, janganlah menanti…"
burung mengepakkan sayapnya
terbang menuju entah,
layar dikembangkan tak tahu menuju,
mengikut kemana angin punya ingin,

"siapa punya kehendak jelmakan mimpi jadi nyata?"
karena pergulatan tak kunjung usai
karena hidup adalah pemberian tanda: pemaknaan

menjadi orang sunyi
menjadi diri sendiri
menatap sepi tak bertepi
"selamat tinggal…."
Malang, 30 agustus 1998

KIRANYA
menyeru juga pada engkau hati yang berduka, kiranya kenangan terpateri, begitu lekat
berlari juga pada engkau keinginan memeluk, kiranya kerinduan menikam, begitu menusuk
cuma!
kehadiran,kerling bola mata, isyarat tanda

sia!
menengadah juga pada engkau sebuah harap, kiranya
sebuah ketidakpastian, begitu menakutkan
sepertinya…
malang, 30 agustus 1998

SOLITER
kenangan menggigilkanku sebagai kerinduan merenangi rahasia. matamu bulat kabarkan cerita: kegalauan manusia mencari diri sendiri. siapa yang bertapa di hatimu? mengisi relung sukma. terlukis serupa bianglala. menyinari serupa matahari.
mencoba memasuki bilik kesendirianmu,
aku membaca diriku: serupa udara!
Madiun, 1 September 1998

LAGU ORANG MABUK
beri seteguk lagi. lagi. dan lagi
aku ingin terus begini. melayang-layang
mabuk
dalam cintamu
Madiun, 1 September 1998

MEMANDANG LANGIT ABU-ABU
betapa kelabu itu langit. seperti cerita yang kusampaikan padamu. tak
hitam tak putih. cukup kelabu saja. karena tak ada garis di situ yang
jelas memisahkan.

dan apa sikapmu kini. akankah terus diam. memandang langit warna kelabu?

langit warna kelabu. dalam buku. dalam dada. dalam matamu. hitam putih
tersamar pudar.
Malang, 1996

CANDI BADUT ATAWA LINGGA -YONI
siapakah yang bertahta di situ.
pada kejayaan masa lalu.
dalam pertemuan lingga-yoni.
pada batu-batu.
pada relief sejarah .

hanya bunga kanthil.
hanya desir angin maghrib.
hanya lamunan kita
pahatan-pahatan pada kebisuan batu-batu.
pada raja-raja jawa.
pada yoga dan tantra.

berkecamuklah dalam deru bayangan menari.
persetubuhan lingga-yoni
menjadi mimpi-mimpi
malam hari
Malang, 1996

MEMOTRET SENJA
seorang lelaki pada senja menatapi kanak yang berlari
dilihatnya disitu ada embun dan sinar matahari pagi

pada senja cahaya matahari bikin cakrawala semburat merah
burung pulang pada sarangnya

"sebentar lagi malam"

lelaki pada senja tak tahu ada apa dibalik tabir malam
selain sekedar menduga-duga dan menerka
bagaimana ia nantinya
1995

NISBI
yang terdiam pada tanya,
adalah bayang-bayang
menyusut pada kabut,
hempas angin pada pintu
dan kirai,
alis lengkung
rambut terurai
mata meredup
setelah nanar dalam sasar,
jemari ditekuk dieratkan,
hendak
menatap langit
cuma detak menetak:
sebuah kesunyian!
malang, 1999 

MENARILAH BAYANG-BAYANG
aku ingin merenggutmu dari masa lalu,
dengan senyum gemintang, goda sepiku
coba katakan pada lengkung langit wajah siapa tertatah
mungkin kerinduan atau kepak burung yang terbang ke utara
mulailah menari
dengan gaun warna-warni
paras binar
mata menikam
ke dalam dadaku!
malang, 1999

SENYUM
sebuah senyum, sorot mata,
berulang mengeja: kehidupan begitu bengisnya
mengapa benci, bukan cinta, katamu bertanya
arelia, arelia
udara begitu bertuba, kita asing berdua
dan dunia? ia tertawa
malang, 1999

MENGENANG KANAK
"sakadang kuya akhirnya dikawinkan dengan puteri petani," kata abah
wonderland, dreamland...
kupu-kupu kecil, bidadari kecil, kancil yang cerdik, kuya panjang akal, monyet
yang licik, mari bermain denganku. lihat peter pan! lihat peter pan!
tapi katamu:
mungkin aku serupa kelinci melompat-lompat. atau kepompong menggantung, bertapa:
dalam kesunyian panjang
(kanak! masuklah dalam duniaku)
dremland, wonderland..
pinokio, puteri salju, cinderella, kau lihat andersen! kau lihat andersen!
mereka bermain di sini
(kanak! masuklah dalam duniaku)
: abah ke mana mereka pergi?
abah terdiam
buku berdebu
televisi menyerbu kamarku
penuh darah, perselingkuhan, pesta kematian
(kanak! masuklah ke dalam millenium! masuklah! dengan penuh kebingungan)
abaaaaaaaaaaaaaah!

malang, 1999

EKSISTENSI KEHENDAK
buat:f.n.

mari kita menari, katamu
bersama darah! bersama darah!
karena manusia punya kehendak
mari menari
( kartu pos bergambar lelaki memekik ---mungkin orgasme---
kuharap kau datang, acara: pentas tari zaratustra
pukul: nol-nol, lokasi : rumah sakit jiwa, kamar no 13)
: sebentuk ikon, indeks, buku, arketiph, mitos
berguguran! berguguran!
mari kita menari
bersama darah! bersama darah!
karena manusia
punya kehendak
: kuasa!
malang, 1999


AIR MATA IBU
butiran bening yang menggelincir lewat pipi keriput dipahat angin dan waktu.
menjelmalah negeri-negeri yang penuh kenangan. menyanyikan tanah leluhur yang
tergusur.

kupeluk ibu. mereguk kasih sayang yang terus mengalir. dari mata air tak pernah
kering. menyirami ladang-ladang kerontang dalam dada.

dimanakah suara orang mengaji itu ibu? ketika malam berangkat subuh, ketika
tertidur aku di pangkuanmu.

siakah engkau ibu? melukisi matahari dengan jemari. memahati batu dengan
airmata. dalam dada anak-anakmu sepanjang waktu.

dan airmata itu melumuri mukaku. datang dari negeri jauh. tanah yang
ditinggalkan; sejak adam terusir dari surga
malang, 1995

DI USIA SENJA
menikahi cakrawala merah saga. senja melembayung di depan mata. kecuplah dengan
penuh kasih sayang. kehangatan alami menjelma setiap saat. lewat kepurbaan
menyapa detik demi detik wajah kita yang merindu.

selamat petang ayah ibu. anak-anak bermandikan keringat dan airmata asin
kalian. tenaga yang tercurah menderas setiap waktu. pikiran yang disusun pada
lembar kehidupan.

selamat petang. selamat senja. langit merah saga. kami kecup kalian sebagai
kasih sayang. sebagai kenangan abadi terbayang.
sengkaling, september 1996

ADA
ada yang membaca puisi diam-diam,
dalam kamar,
ada yang teriak kesakitan,
di jalan-jalan
ada yang berdarah,
di kamar gelap
ada yang mengaduh,
..........
ada yang.......,
...........
ada ...... ...... ,
........

PESAN
dalam benak kita banyak keinginan: cita-cita
mungkin juga kenangan yang bergayut
di depan mata tersodor pilihan demi pilihan
"aku memilih jalan ini," katamu suatu ketika
tak ada yang perlu menjadi sesal
ketika kenyataan terucap pasti
ya, semoga kita tabah menjalani…....
Malang, 27 Nopember 1998

MENJELANG 1999
Aku berangkat dari waktu lalu
Fajar merekah sebagai masa
Membuka pintu
Kaki melangkah
Semoga tak lagi goyah
Diterpa goda berulang juga
Gamit ini diri kasihku
Ajarkan ketabahan,
kesabaran,
keberanian
dan keteguhan
Pada senyum
Tatapan kesejukan
Aku ingin berlari
(Matahari menyibak kegelapan
Aku pun terbang mengepakkan sayap
Bersama kupu dan burung-burung
Akupun tumbuh bersama mekaran bunga-bunga
Mewangi-mewangi
Membuka hari
Membuka lembaran
Semoga menemu
Apa yang dituju!)
Malang, 31 Desember 1998 pukul 11.30

AKU BERLARI MENUJUMU
aku berlari menujumu,
dan senyummu yang mawar
merekah. bersama embun.
matahari tertawa.
dan dunia?
o tetap berputaran
seperti juga dulu
kau hawa yang tergoda
aku: adam yang terluka

IN MEMORIUM
:romo mangun
senja itu menangkup ayah, yang bijak
"selamat tinggal negeri. selamat tinggal. semoga damai selalu"
bidadari-bidadari kecil bersayap menebarkan bunga
di langit menyambut kedatangan: selamat datang!

RUMAH KITA ITU
jika kau pergi,
pintu ini tetap terbuka
dan kau pasti tahu jalan
untuk kembali
ke rumah kita yang menyimpan senyum
atau tangis atau kegeraman!
dan ia adalah kerinduan!

AKU INGIN BICARA PADAMU
aku ingin bicara padamu, dengan ketulusan, menatap kejernihan
dalam-dalam, berenangan kanak di matamu, telaga
mereka menyebutmu ibu, dan merentangkan rambutmu sebagai jembatanke masa depan mereka menuju
"aku takut pada bapak", kata mereka suatu ketika
aku pun ingin berenang bersama mereka, menjemput kekanakan,
dalam puisi, kebeningan
aku ingin bicara padamu: kerinduan!

CHATING
hanya bualan,
candu,
menusuk rabu,
kepala pening,
puyeng,
mikirin utang,
habibie
kapan harga bisa turun?

SAJAK PEREMPUAN
"ia telah menjadi penzinah. gundik intelektual"
lalu tangan siapa hendak
merajamnya di dekat pintu gerbang.
mungkin di balik tabir. di kedalaman tubir.
rabu yang simpan kesah, atau rahasia
kata-kata.
"sesahlah. sesahlah!"
tangan siapa tak berdosa. lemparlah batu kepadanya!
malang, 20-3-1999 

SAJAK IBU
"aku merindukanmu", malin kundang menyeru.
kau tahu, kasihmu tak mungkin
menyulapku jadi batu.
"kanak, mana cintamu padaku?" ibu menatap wajahku
mataku kuyu, menatap
ragu:"cinta?"
sangkuriang, sangkuriang ke mana ibu?
malinkundang, malinkundang ke mana ibu?
aidipus, aidipus ke mana ibu?
mereka menyebutnya sebagai ibu,
telaga, tumpahan kesah kanak yang resah
malang, 20-3-1999

SEBUAH CATATAN PINGGIR
Dan kelepak pun terkulai
Memikul keraguan

Dengan desir
Angin tawarkan ingin

Pada batas penantian
Terangan juga
Masa lalu dan masa depan

Sebuah fatamorgana:
Kau tahu, ragu juga aku pada kata-kata
Apatah puisi, cerita sebagai dusta
Malang, 5 April 1998

JANGAN GOYANG KURSIKU
Jangan kau goyang kursiku,
nanti kakinya patah,
terjatuh aku

Jangan kau goyang kursiku,
nanti kupatahkan tangan dan kakimu
Jangan teriak-teriak di sini,
nanti kutampar kau hingga pekak telingamu

Betul, aku tak main-main
jika kau jera juga
setelah kusumpal mulutmu
Buktikan, bahwa aku pun akan tega
memenggal kepalamu!

Awas!
sekali lagi kukatakan:
Jangan kau goyang kursiku!
Malang, 15 April 1998

GERAK KURSOR ATAU SESUATU YANG RAPUH
Kursor bergerak
Ketukan pada keyboard
Memetakan sepi

Dunia menggoda gelisahku
Sebuah ketidakmenentuan
Sikap membaja atau sesuatu yang rapuh
Menahan diri, dari segala yang kan jadi sesal
Cuma tatap, entah sedih atau marah
Mengarah ke lubuk hatiku
Menghunjam dalam

Menakik tajam
Aorta jantungku

Menderas darah
(mengapa tak airmata?)

Limbung aku
Jatuh
Betapa rapuh
Malang, 19 April 1998

SUARA YANG MEMANGGIL
Sebatang pohon yang tumbuh lurus ke langit
Daunnya tertiup angin
Mendesau-desau
Memanggil-manggil

"seperti suara maut" katamu
Bersama gigil yang membayang pada wajah

Suara itu, sepertinya akrab juga di telingaku
Malang, 19 April 1998

AIR MATA YANG DISEKA
mari kuseka airmatamu, sebagai butiran hujan
bikin hatiku kuyup, atau kristal berpendaran tertimpa cahaya, tapi

aduh menusuk
dadaku

ada yang diseka, mungkin bukan airmata,
tapi nama dari sebuah negeri bernama: kenangan

atau wajahmu?
deraian yang kudengar
dari balik masa lalu

ada yang kuseka, air mataku sendiri
rupanya...
malang, 27-maret-1999

BUAT ANGGI YANG MURAM
gundah juga yang membakar hati,
negerimu yang jauh,
tatapan kesedihan atau kemarahan
pada cuaca,
"ibu, ibu, aku rindu pelukmu"
cuma hampa! jawaban tak ada
yang ada hanya gebalau:
mungkin api, letusan, atau derap serdadu
"prahara! prahara! dusta aniaya!"
malang, 17 maret 1999

 

KEMARAU

: devi ps

ada yang takut melangkahkan kaki,
karena kemarau begitu bengisnya
menghadang langkah,
menantang dengan kerontangnya,
kau tahu?
tak ada oase,
walau fatamorgana,
dalam pandang, juga bayang,
ada yang gamang
meniti waktu
karena kepedihan kerap diteguknya
ada yang ragu
menatap cuaca
walau pernah pada mata
dicari telaga
"duhai, mengapa
kemarau semata!"
malang, 1999

KUDA HITAM BERLARI KENCANG
:anggi

anggi, kuda yang tegar itu
dulu berlari kencang sekali
ke mana pergi?
mungkin berdiri termangu
dalam belenggu
tapi kutahu: ia tak kan terus begitu
kakinya yang kekar
surainya yang tebal
napasnya yang panjang
: hei, kudaku lari kencang!
malang, 1999

PADA ALAM KAU BERNYANYI
:samsul bachri

alam mengajarkan, banyak hal:
daun yang jatuh
tak mengaduh
tersenyum ia
karena tanah merindukannya
dan pada daun muda
ia memberi kesempatan
pada alam kau bernyanyi
bernyanyilah dengan kemerduan
suaramu
malang, 1999

EYANG YANG BIJAK
: medy

di taman itu bermain,
cucu-cucumu yang manis
ada juga yang nakal
dan bengal
eyang, kucium tanganmu
: puisi memenuhi dadaku
malang, 1999

SEBUAH PERTEMUAN
: dodi

mungkin, aku akan mengarungi selatmu
madura yang kau cinta,
tapi kutahu lebih kau cinta tuhanmu
yang menyirami kerontang kerinduan
sebuah pertemuan,
: padang mahsyar
keadilan sejati!
malang, 1999

SERUPA TELAGA DALAM MIMPI
: inong

pernah, aku bermimpi
berkaca pada telaga, bening sekali
mungkin serupa mata,
sebuah tatap, larutkan duka dalam dada
malang, 1999

PEJALAN WAKTU
: james

waktu
kutahu
aku
tak tahu
waktu?
adakah linear
adakah lingkaran
waktu
kusimpan
dalam saku!
malang, 1999

SANG PEJALAN KESUNYIAN
:deden

mungkin serupa kerinduan
berjalan dalam kesunyian,
rasakan dekat-Nya
pada detak
malang, 1999

ARIELLA MENULIS SURAT
: ariella

ada yang tak henti bertanya
mencari jawab
surat yang dikirim
pada angin
telah sampai
pada senyap suara
dan ia menjadi puisi
suatu ketika, mungkin kanakku
kan membacanya
dengan lantang:
ada yang tak henti bertanya
mencari jawab....
malang, 1999

DALAM HUTAN 
: yono

ada yang tersesat
dalam hutan
dan kau bernyanyi
menghibur hati
malang, 1999

MUTIARA
: hafid

kata-kata yang kau tulis
menjelma kalung mutiara,
kukalungkan ia
pada waktu
: sebuah keindahan
kejujuran kata-kata
malang, 1999

COKLAT DI GENGGAMAN NONNY
:nonny

*nonny makan coklat*
: bagi dong...
dengan senyum, coklat diulurkan
duhai, manis
manis sekali sebuah kebahagiaan
malang, 1999

PADA KEYBOARD 
: sukma

pada keyboard, aku ketuk:
"d-i-n-i-i
k-a-u--m-e-n-a-n-t-i?"
dua kanak, memanggil:
"ibu, peluk aku"
malang, 1999

LENTERA YANG HARUS TETAP DINYALAKAN
buat: wiwin isnawati

mengapa tetap disimpan kekecewaan sedang waktu telah berlalu dan akan
tumbuh harapan-harapan baru, sebagaimana bermekaran bunga-bunga,
bertumbuhan tunas-tunas baru.

dalam kegelapan, bukankah lentera di tanganmu harus tetap dinyalakan,
sekecil apapun, biarkan menerangi jalan, di mana ditapakkan langkah
kaki ke depan..

karena kebencian hanya akan menjadi batu-batu yang menyumpal dalam
rongga dada, lemparkan saja ia pada kesunyian cakrawala renungan.

walau cakrawala selalu menggoda kita untuk semakin mendekat. mendekat.
mendekat. dan ia adalah harapan-harapan kita. yang tak kunjung sampai
tergapai. namun akankah kau diam dan menyimpan bara dalam dada. membakar
dirimu perlahan dengan kebencian & penyesalan mengutuki nasib sendiri.
Malang, 17 Juni 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar