Selasa, 14 Juli 2015

PUISI-PUISI NENDEN LILIS AISYAH

aku ingin melukis wajahmu yang temaram
dengan kuasku yang menggeletar rindu
di kanvas langit yang memerah
akan kubingkai dengan mega senja
dan kugantungkan di dinding redup bumi
aku ingin melukis wajahmu yang memajar
dengan kuasku yang menggelepar rindu
di kanvas bumi yang berembun
akan kubingkai dengan bias pagi
dan kupampangkan di bentangan biru langit.
aku ingin melukismu
di kanvas hatiku.
1992
SUNGAI BATU
aku tak memiliki apa-apa dalam tubuhku
tapi para petani menugalnya seakan tubuhku tanah
kami akan menanam benih, seru mereka
kau pun datang, begitu saja melinggis dadaku
aku haus tedas darah, desahmu
aku katakan padamu
di dadaku tinggal sungai kering berbatu
tak ada lagi yang mengalir
batu? batu pun tak apa-apa
tiba-tiba kau dan petani-petani itu berebut
"yang kita butuhkan sekarang memang batu!"
dan batu, satu-satunya milikku yang tersisa, mereka ambil
KERIKIL
akhirnya, tinggal kerikil di hatiku
dan rasa linu jari-jari yang dicongkel kukunya
bertahun mengingatmu, hanya mengundang
kesedihan seseorang yang menimba air
di sumur kering yang tua
di hening malam derit katrolnya kian terasa
tapi masih juga kakakanmu menggemaung
menepikan angin
lalu lama berhuni di gelap dadaku
memperdengarkan kepuasan seseorang
yang mengulur dan menarik tali
pada tangan yang tak kau sempatkan meraihnya
ada sereset bambu di ulu tenggorokan
yang ingin kuteriakkan agar kau dengar
sebelum lebih dalam menggoresi pita suaraku
dan membuatnya berdarah
1999
NIGHTMARE
perempuan-perempuan dengan napas busuk
muka kotor dan kusut
keluar dari lembah-lembah gelap
menjulurkan lidahnya padaku
jari-jari tangannya dengan kuku-kuku runcing
dihujamkan ke dadaku
aku sendiri datang dari rahim malam
yang paling aneh, mimpi paling ngeri
muram menafsirkan rambut-rambut
tergerai yang melecutku
beginikah bumi melahirkan dan mengajari kita
untuk memikul dosa dan saling mengerat luka

PENJEMPUT MAUT
kau mengirim musik
dari badai yang menghempaskan
kerikil-kerikil es ke kaca jendela
dan derak pohon-pohon tumbang
raungan angin menyungkurkan
gelandangan yang lapar di jalanan
udara seperti mayat
yang tersangkut di tepi jembatan
seringai langit sedingin penjemput maut
dan kau, seorang yang sakit hati,
berada di baliknya
terus mengintai dengan kesumat nasar
paruhmu yang bengkok siap mengerkap

PENGUNGSI
ini dada kami
segetas gelas, serapuh kasa tua
dapat dengan mudah kau pecahkan atau kau robek
apalagi jika kau bidik dengan senjata
dan kau koyak dengan runcing tombak
setelah itu, di rongga yang dalam
akan kau temukan darah menghitam
yang mengalirkan nyeri hantaman ratusan tahun
jika kau masih haus pada anyirnya
tenggaklah sekalian mengunyah jantungnya
bagus pula mengemasnya dalam labu
lalu berteriak, "kami mengalahkan pengacau!"
kami hanya pengungsi yang turun ke kaki gunung
pendatang yang tiba di pinggir laut
orang yang lama melata di jalanan kota
atau baru muncul dari balik waktu
tapi ini dada kami
berbaris melingkarimu
1999

QUE SERA-SERA
kepada para penyair Indo

pulang dari kotamu malam hari, di kereta
yang melaju dalam angin keras musim dingin
masih terhirup uap anggur yang hangat
parfum tajam menyengat
dan semerbak dadamu dalam kota gemerlap
masih terasa kental bau pertemuan itu
dari tubuh kita tercium napas benua yang jauh
di matamu perahu-perahu nenek moyang berlabuh
mulutmu menjeritkan lagu keroncong tanah yang hilang
terpatah-patah mengeja syair
dari sebuah negeri yang ditelan mimpi
(di wajah kami seperti kau lihat kembali
bukit jelita, kebun lada, dan kerinduan itu
"aku pulang! aku pulang!"
tapi suaramu terpendam dataran yang diam)
akhirnya kami yang mesti pulang
di stasiun Utrecht kita saling melambai
ketika kau berlalu, kulihat kulit coklat
serta rambut hitammu disepuh bulan biru

MELAYARI AIR MATA IBU
Akulah kini yang mengambang di telaga air matamu
Meski masih kuingat lengking weker itu
Membawaku ke negeri jauh
Kuingat sendu matamu menatap rahimku penuh haru
Kupasang kaki mungil menendang-nendangku
Sementara hatiku lemas dalam rahimmu
Dan suaraku menggema pada dinding-dindingnya
Menjerit, memanggil, merindumu, Ibu
Tapi mengapa jarak tiba-tiba saja
Seakan kekal di antara kita
Dan aku terus mengambang melayari air mata;
Air matamu dulu!
1994

*Nenden Lilis Aisyah, beliau adalah dosen sastra Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia. Beliau lahir di Garut, Jawa Barat, 26 September 1971. Sempat mengenyam pendidikan S1 Jurusan Pendidikan dan Sastra Indonesia FBPS IKIP Bandung, S2 di IKIP Bandung. Pernah menjadi redaktur majalah Kampus, Isola. Aktif menulis esai, resensi, reportasi, cerpen, dan puisi di beberapa surat kabar antara lain : Kompas, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Pikiran Rakyat, Surabaya Post, Majalah Sastra Horison, dll. Karya-karyanya banyak beredar di sejumlah media. Puisi yang terbit dalam antologi : Mimbar penyair abad 21, Malam Seribu Bulan, Tangan Besi, Gelak Esai dan Ombak Sajak Anno 2002, Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia, Dari Fansuri ke Handayani, Wanita Penyair Indonesia, Nafas Gunung Bunga Berserak, Aku akan Pergi ke Banyak Peristiwa. Penghargaanyang pernah diraih terpilih dalam Cerpen Pilihan Kompas 2000, pemenang lomba penulisan cerpen yang diselenggarakan Pikiran Rakyat Edisi Cirebon dan Bank BTPN Cirebon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar